Anda di halaman 1dari 136

ISBN: 978-623-7440-63-5

Diterbitkan: Oktober 2019

BIOPROSPECTING
HYDROID
Penulis
Eva Johannes
Magdalena Litaay
Mustika Tuwo
Wilma J. C Moka
Afriansyah

Editor
Nenis Sardiani

Cover Design
Sahabat Pena

Diterbitkan oleh:
Sahabat Pena
Alamat: Jl. Kemauan 3, No. 11, Kelurahan Maccini Parang Kota
Makassar

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang


@Sahabat Pena, Makassar

ii
PRAKATA

Bioprospekting adalah proses penemuan dan komersialisasi

produk-produk baru berdasarkan sumber daya hayati. Sumber daya

atau senyawa bioaktif yang terkandung dalam organisme memiliki

banyak manfaat berguna di banyak bidang, termasuk obat-obatan,

pertanian, bioremediasi, dan nanoteknologi. Khususnya bioprospekting

laut didefinisikan sebagai pengambilan biota laut yang akan digunakan

untuk proses penemuan, pengembangan dan jika memungkinkan,

penyediaan bahan obat secara komersial. Buku ini membahas tentang

salah satu bagian kecil dari invertebrata laut yaitu hydroid yang memiliki

bioprospekting.

Hydroid adalah hewan invertebrata laut dari filum Cnidaria atau

Coelenterata sering ditemukan tumbuh bersama organisme laut

lainnya, seperti: spons, karang laut, moluska, arthropoda dan alga.

Hewan ini banyak tersebar disekitar kepulauan spermonde. Morfologi

hydroid sepintas menyerupai tumbuhan pakis , dengan mengeluarkan

nematocyst sebagai bentuk pertahanan diri untuk melawan predator

yang berada disekitarnya. Keunikan hydroid ini belum banyak diketahui

orang terutama para peneliti, disebabkan nematocyst yang dikeluarkan

oleh tubuhnya dalam bentuk sintesis senyawa kimia seperti toksin dapat

menyebabkan iritasi bagi kulit yang tersentuh. Selain keindahan

3
tubuhnya menyerupai tumbuhan, nematocyst yang dihasilkan oleh tubuh

hydroid ternyata mengandung sejumlah senyawa bioaktif yang sangat

bermanfaat bagi perkembangan ilmu biologi terutama dalam bidang

bioteknologi. Sejak tahun 2008, penulis dan kawan-kawan melakukan

penelitian yang terfokus pada hydroid khususnya species Aglaophenia

cupressina Lamoureoux, hingga kini masih masih terus dikembangkan.

Penulisan buku ini merupakan langkah awal untuk mengungkapkan

keunikan hydroid dari segi biologi dan kandungan kimia yang memiliki

bioprospekting untuk dikembangkan dalam berbagai bidang ilmu

khususnya bidang kesehatan dan kimia bahan alam laut.

4
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN ............................................................. i


PRAKATA ........................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................ v
BAB I Pendahuluan
Oleh : Eva Johannes............................................................ 1

BAB II Invertebrata Laut


Oleh : Wilma J. C. Moka ...................................................... 8

BAB III Bahan Alam Laut


Oleh : Eva Johannes dan Magdalena Litaay........................ 31

BAB IV Uraian Umum Hydroid


Oleh : Eva Johannes............................................................ 35

BAB V Aspek Biologi Hydroid


Oleh : Eva Johannes dan Afriansyah ................................... 45

BAB VI Siklus Hidup Dan Reproduksi


Oleh : Eva Johannes dan Afriansyah ................................... 48

BAB VII Bioekologi Hydroid Aglaophenia


Oleh : Magdalena Litaay ...................................................... 67

BAB VIII Toksikologi Hydroid


Oleh : Eva Johannes dan Mustika Tuwo .............................. 77

BAB IX Penggolongan Senyawa Kimia


Oleh : Eva Johannes............................................................ 81

BAB X Senyawa Kimia Hydroid


Oleh : Eva Johannes............................................................ 86

BAB XI Bioaktivitas Senyawa


Oleh : Eva Johannes dan Mustika Tuwo .............................. 105

DAFTAR PUSTAKA............................................................ 123

5
BAB I

PENDAHULUAN

Eva Johannes

Bioprospekting adalah pencarian sumberdaya hayati terutama

pada kandungan materi genetik dan senyawa kimianya yang berguna

bagi kehidupan manusia. Sumber daya atau senyawa ini dapat menjadi

penting dan berguna di banyak bidang, seperti obat-obatan, pertanian,

bioremediasi, dan nanoteknologi. Kajian bioprospekting merupakan

bagian dari penelitian penemuan dan pengembangan obat dari bahan

alam , dan merupakan tahap awal dalam proses penemuan tersebut.

Bioprospekting melibatkan pengambilan ribuan sampel organisme dari

habitatnya untuk memenuhi harapan dapat menemukan substansi

bioaktif baru dan mengembangkannya menjadi obat. Pengambilan awal

biasanya bersifat luas dan spekulatif untuk memaksimalkan

kemungkinan ditemukannya substansi bioaktif atau metabolit sekunder.

Kunci utama bioprospekting adalah menyediakan ribuan senyawa

yang memiliki keunikan struktur kimia dan bioaktivitas.. Hingga saat ini,

sebagian besar sumber substansi bioaktif adalah metabolit sekunder

yang berasal dari invertebrata laut yang bertubuh lunak dan menempel

pada substrat (sessile), seperti Porifera (spons), Cnidaria (ubur-ubur,

karang batu, karang lunak, hydroid, dan anemone laut), maupun

1
Urochordata (ascidian). Hal ini disebabkan karena biota-biota tersebut

relatif lebih mudah diperoleh dengan penyelaman dari habitat dengan

keanekaragaman yang tinggi, perairan yang dangkal seperti pada

terumbu karang.

Proses yang terlibat dalam pencarian senyawa aktif adalah

melalui ekstraksi, fraksinasi dan kromatografi. Ekstraksi dilakukan

dengan melakukan perendaman atau maserasi sampel biota laut di

dalam larutan kimia seperti metanol dan jenis pelarut lainnya, untuk

memperoleh ekstrak kasar. Ekstraksi didefinisikan sebagai suatu

metode pemisahan atau pengambilan secara selektif zat terlarut dari

campuran yang didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan

perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi adalah lama

ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Metode ekstraksi

yang digunakan adalah metode fase organik karena dalam prosesnya

digunakan pelarut organik yaitu berupa alkohol teknis (96%) atau etanol,

metanol dan pelarut lainnya. Fraksinasi adalah suatu teknik untuk

memisahkan komponen organik dan ionik (larut dalam air) dalam suatu

senyawa campuran menjadi dua fraksi berbeda. Fraksinasi merupakan

kegiatan awal pemurnian dalam tahapan isolasi dan melibatkan uji

bioaktivitas untuk menentukan apakah ekstrak memiliki aktivitas atau

tidak. Kromatografi adalah teknik analisis kimia bagi pemisahan

2
komponen senyawa yang masih bercampur. Kromatografi analitik

digunakan untuk menentukan identitas dan konsentrasi molekul pada

suatu senyawa campuran, dimana pemisahan kromatografi dapat

memurnikan sejumlah besar sampel molekul. Teknik kromatografi untuk

pemisahan suatu campuran dipengaruhi oleh sifat kelarutan dari

komponen yang bersangkutan didalam eluennya, sifat interaksi

komponen dengan bahan yang terdapat dalam fase diam dan interaksi

pelarut dengan fase gerak. Tahap pengembangan, senyawa aktif “lead”

memasuki standar uji pra-klinis dan klinis. Untuk menyiapkan uji ini,

biasanya akan dibutuhkan bahan baku tambahan yaitu sampel biota

laut. Proses pengambilan kembali (re-collection) sampel spesies yang

merupakan kandidat atau lead . Pada tahap kedua ini kuantitas sampel

(per spesies) yang diambil akan lebih banyak daripada kuantitas sampel

pada tahap pertama. Hal ini disebabkan: sangat rendahnya konsentrasi

alami senyawa aktif yang terkandung sehingga memungkinkan

dilakukannya pengambilan sampel basah secara besar-besaran. Kajian

kimia ekologi biota laut berhasil mengungkap bahwa metabolit sekunder

yang dikandungnya tidak hanya berperan pada beragam peran

metabolisme tetapi juga dalam menghadapi lingkungan hidupnya.

Produk alami laut merupakan salah satu cabang ilmu kimia yang

membahas tentang senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam bahan

alam laut baik dari tanaman atau hewan laut. Sebenarnya senyawa

3
kimia yang biasa kita jumpai seperti karbohidrat, lipid, vitamin dan asam

nukleat termasuk bahan alam, namun ahli kimia memberikan arti yang

lebih sempit tentang istilah bahan alam yaitu senyawa kimia yang

berkaitan dengan metabolit sekunder saja seperti alkaloid, terpenoid,

golongan fenol, feromon dan sebagainya. Produk alami laut

dikelompokkan atas: (1) sumber biokimia yang mudah diperoleh dalam

jumlah yang besar dan diharapkan dapat diubah menjadi bahan-bahan

yang lebih berharga; (2) substansi bioaktif yang termasuk (a) senyawa

antimikroba, (b) senyawa aktif secara fisiologis (sinyal kimia), (c)

senyawa aktif secara farmakologi dan (d) senyawa sitotoksik dan

antitumor. Metabolit terbagi atas dua tipe yaitu primer dan sekunder.

Metabolit primer memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan

kehidupan bagi semua makhluk hidup dan terbentuk melalui

serangkaian reaksi metabolit yang terbatas. Metabolit primer berperan

sebagai bahan penyusun dalam pembuatan makromolekul seperti

protein, asam nukleat, karbohidrat dan lipid. Sedangkan metabolit

sekunder tidak memiliki peran penting dalam kehidupan makhluk hidup

dan terbentuk dari metabolit primer

Metabolit primer terdapat pada semua makhluk hidup karena zat

itu terlibat langsung dalam pertumbuhan normal, perkembangan, dan

reproduksi. Metabolit sekunder adalah senyawa organik yang tidak

secara langsung terlibat dalam pertumbuhan normal, perkembangan,

4
atau reproduksi suatu organisme. Ada atau tidak adanya metabolit

sekunder dalam suatu organisme tidak mengganggu pertumbuhan,

perkembangan, dan reproduksi organisme tersebut. Kehadiran metabolit

sekunder dalam suatu organisme berperan penting dalam membentuk

pertahanan diri organisme terhadap predator atau hama. organisme

memperlihatkan aktifitas menghambat, meracuni, mengobati, atau

merangsang fisik organisme lain. Tidak semua organisme memiliki

metabolit sekunder. Keberadaan metabolit sekunder terbatas hanya

pada beberapa organisme tertentu, dan fungsinya tidak untuk

pertumbuhan dan perkembangan organisme, tetapi untuk pertahanan

diri, berkomunikasi, dan menanggapi perubahan kondisi lingkungan.

Pada umumnya, metabolit sekunder terdapat pada mikroba, bakteri,

lumut, jamur, tumbuhan, dan hewan. Dari organisme-organisme

tersebut, beragam senyawaan kimia dengan berbagai struktur molekul

yang dapat diisolasi. Oleh karena metabolit itu berasal dari alam, materi

dimaksud dinyatakan sebagai produk alami atau bahan alam.

Bahan alam meliputi: (1) seluruh organisme yang belum

mengalami pengolahan atau perlakuan selain proses pengawetan yang

sederhana (contohnya pengeringan), (2) bagian dari suatu organisme

(daun atau bunga tanaman, organ hewan), (3) ekstrak dari suatu

organisme atau bagian dari organisme, dan eksudat, atau (4) senyawa

murni (contohnya alkaloida, flavonoid, glikosida, steroid, terpenoid) yang

5
diisolasi dari tanaman, hewan, atau mikroorganisme. Meskipun

metabolit primer juga berasal dari organisme, para pakar sepakat untuk

merujuk metabolit sekunder sebagai bahan alam berdasarkan

fungsinya.

Definisi metabolit sekunder yang berlaku secara luas yaitu

senyawa yang terbentuk di dalam tubuh makhluk hidup tetapi tidak ikut

berperan dalam proses metabolisme yang diperlukan dalam kehidupan

dan perkembangan makhluk hidup. Kebanyakan metabolit sekunder

berfungsi meningkatkan kemampuan bertahan hidup suatu organisme

sebagai contoh, senjata kimia untuk melawan bakteri, jamur, serangga

dan hewan yang besar. Fungsi metabolit sekunder inilah yang dikatakan

memiliki aktivitas biologis atau disebut juga sebagai substansi bioaktif.

Sebagian besar produk alami yang menjadi perhatian industri farmasi

adalah metabolit sekunder tetapi ada pula yang tertarik pada produk

metabolit primer seperti beragam lipid laut, enzim dan

heteropolisakarida yang kompleks.

Karakteristik senyawa metabolit sekunder adalah : (1). Masing-

masing senyawa metabolit sekunder dihasilkan oleh beberapa

organisme tertentu saja; (2). Metabolit sekunder bukanlah merupakan

senyawa yang esensial bagi pertumbuhan dan reproduksi; (3).

Pembentukan senyawa metabolit sekunder sangat dipengaruhi oleh

kondisi lingkungan organisme; (4). Beberapa senyawa metabolit

6
sekunder yang dihasilkan organisme merupakan kelompok senyawa

yang berkerabat (memiliki kesamaan struktur); (5). Beberapa organisme

membentuk berbagai substansi yang berbeda sebagai metabolit

sekundernya; (6). Regulasi biosintesis metabolit sekunder sangat

berbeda dengan metabolit primer; (7). Produksi metabolit sekunder

seringkali dapat terjadi secara berlebihan jika terkait dengan produksi

metabolit primer; (8). Produk metabolit sekunder dapat berasal dari hasil

samping produk metabolit primer, atau disebut juga berasal dari

beberapa produk intermediat yang terakumulasi selama metabolisme

primer.

Prospek diisolasinya senyawa metabolit sekunder dengan struktur

kimia baru yang memiliki bioaktivitas pada biota laut, baik yang hidup di

sekitar, bersimbiose, atau berasosisi dengan terumbu karang mencapai

probabilitas 300 hingga 400 kali , dibandingkan dengan biota yang ada

di daratan. Hingga saat ini para ahli taksonomi laut, baru berhasil

mengidentifikasi 10% dari biodiversitas organisme hidup penghuni

terumbu karang. Dapat diperkirakan besarnya potensi kimia bahan alam

yang bisa digali dari laut. Sehingga Pemanfaatan sumberdaya alam

dewasa ini sedang mengarah pada sumberdaya yang berasal dari laut.

Cnidaria adalah salah satu dari kelas hydrozoa biota laut yang memiliki

senyawa metabolit aktif yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan

manusia.

7
BAB II

INVERTEBRATA LAUT

Wilma J. C. Moka

Hewan-hewan laut secara mendasar dapat dibagi dua kelompok

besar, yaitu kelompok hewan yang memiliki tulang belakang (susunan

tulang belakang) dan kelompok hewan yang tidak mempunyai susunan

tulang belakang, yang disebut invertebrate. Dari semua hewan yang ada

diperkirakan ada 97% merupakan hewan invertebrate (avertebrata) dan

kelompok hewan ini hidup di laut (Castro dan Huber, 1992).

Protozoa

Protozoa yang disebut juga hewan Protista; secara harafiah

disebut sebagai hewan mula-mula (pertama). Protozoa dapat hidup

pada semua habitat berairr baik air tawar maupun air laut (bergaram),

bahkan dapat dijumpai di dalam tubuh organisme lain.

Protozoa bersifat eukaryotic yang hidup dalam bentuk koloni atau

kenyakan bersel tunggal yang hanya dapat di lihat di bawah mikroskop.

Protozoa laut dapat dijumpai di dasar perairan, yang kaya bahan

organic, di permukaan alga laut, pada lambung hewan laut dan sampel

plankton.

8
Sponges (Spons)

Spons adalah hewan yang memiliki sel tubuh yang fungsinya

terpisah. Sel-sel ini berdiri sendiri yang tidak membentuk jaringan dan

organ tubuh yang sebenarnya. Kebanyakan spons hidup di laut dan

bersifat sesil di atas permukaan substrat. Spons mempunyai banyak

variasi pada bentuk, warna dan ukuran tubuh. Pada tubuh spons

terdapat banyak lubang kecil (pori-pori) untuk masuknya air ke rongga

dalam melalui saluran yang berliku-liku. Air membawa bahan organik

dan plankton sebagai sumber makanan. Air ditarik masuk melalui

saluran besar oleh sel colar (Collar cells) atau koanosit (Choanocytes).

Sel ini mempunyai flagella yang menggerakkan arus air melalui sel kolar

yang lebih kecil. Organ ini akan menangkap makanan yang terbawa

oleh air kemudian dicerna dalam sel tubuh. Air kemudian keluar melalui

oskulum; suatu lubang besar yang berada di bagian atas tubuh spons.

Spons bersifat „suspension feeders’, spons aktif memilah makaan yang

kemudian disebut “filter feeder”. Tubuh spons dapat tegak karena

memililki organ yang disebut spikula. Spikula terbuat dari dari bahan

silikat atau dari bahan kapur. Ada juga dari bahan elastis yang disebut

„spongin‟.

Phylum Cnidarians

Cnidaria atau disebut juga Coelenterata yang berasa dari Bahasa

Yunani koilos= rongga dan enteron = usus, sehingga disebut hewan

9
berongga (Yasin, 1991; Kimbal, 1999). Tubuh hewan yang tergolong

Phylum Coelenterata bersifat radial simetris artinya hewan ini apabila

dipotong secara radial akan ada bagian yang sama setiap potongan

(Gambar 1).

Gambar 1. Bentuk tubuh hewan simetri radial (Radiopoetro, 1977)

Tubuh Coelenterata memiliki dua bentuk dasar, yaitu bentuk polip

dan medusa (ubur-ubur) (Gambar 2). Bentuk polip (kantung), yaitu satu

ujung badan melekat (tertutup) di dasar perairan, ujung tubuh yang lain

terbuka. Bentuk medusa seperti polip terbalik yang beradaptasi untuk

berenang. Baik polip maupun medusa masing-masing mempunyai

bukaan di tengah tubuh yang dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi

untuk menangkap makanan.

10
a b

Gambar 2. Bentuk dasar phylum Coelenterata (a) polyp, (b) medusa


(Radiopoetro, 1977)

Tubuh hewan ini terdiri dari dua lapis sel yaitu sel epidermis dan

sel gastrodermis. Di antara kedua sel ini terdapat sel mesoglea. Cnidaria

(Coelenterata) mempunyai sel jelatang (kninodblast). Setiap kninoblast

memiliki nematosis yang mempunyai racun. Kninoblas digunakan

sebagai senjata untuk melumpuhkan mangsanya atau untuk

mempertahankan diri dari musuhnya.

Berdasarkan bentuk tubuhnya Coelenterata terbagi atas 3 kelas

(Yasin, 1991; Castro dan Huber 1992; Kimball, 1999)

Kelas Hydrozoa:

Hydrozoa adalah bagian dari Knidaria yang mempunyai bentuk

kehidupan yang luas termasuk Hydra yang hidup di air tawar. Bagian

tubuh banyak berbentuk seperti bulu ayam dengan koloni polip yang

sangat kecil. Hewan ini melekat dan tumbuh di tiang-tiang jembatan,

cangkang kerang, alga laut, dan permukaan substrat yang keras

(Gambar 3). Medusa yang kecil dan transparan bersifat plankton yang

dihasilkan oleh polip yang bereproduksi. Larva knidaria disebut planula,


11
berbentuk oval dan berflagela. Setelah fase plankton, planula akan jatuh

ke dasar perairan kemudian bermetamorfosa sebagai polip. Beberapa

hydrozoa tidak melalui stadium polip namun dari planula ke stadium

medusa. Medusa atau ubur-ubur adalah tipe polip yang terbalik,

berenang atau melayang di perairan laut. Contoh ubur-ubur yang

mempunyai nematosit sangat beracun ialah Physalia physalia

(Portuguese Man of War).

Gambar 3. Hydrozoa jenis Aglaophenia cupressina (Allen and Steene,


1996)

Kelas Scyphozoa

Scyphozoa berasal dari Bahasa Yunani skypos yang berarti

mangkok, dan zoon atau zoa yang berarti hewan, hewan yang

berbentuk mangkok. Scyphozoa yang semuanya berbentuk medusa,

merupakan ubur-ubur (Aurelia) bentuk payung, mempunyai ukuran

tubuh yang besar. Penyebarannya bersifat kosmopolitan (terdapat

dimana-mana) (Gambar 4).


12
Gambar 4. Ubur-ubur jenis Mastigias papua (Allen and Steene, 1996)

Kelas Anthozoa

Semua anggota kelas ini hidup di laut mulai dari daerah pasang

surut hingga ke laut dalam. Anthozoa berasal dari Bahasa Yunani

(Anthos=bunga, zoon/zoa=hewan), yang berarti hewan yang

menyerupai bunga. Kebanyakan anthozoa bersifat soliter atau polip

berkoloni, yang pada stadium medusa terlepas kemudian berenang

bebas. Struktur tubuh anthozoa lebih kompleks dari hydra dan

scyphozoan. Pada bagian perut misalnya terbentuk serat-serat tipis

yang disebut septa sehingga perut menjadi lebih luas.

Anemon laut merupakan anthozoa yang memiliki banyak warna

dan ukuran, mulai dari ukuran tubuh kecil hingga ukuran yang besar.

Bila dilihat dari kerangka susunan tubuh maka anthozoa dapat dibagi

13
dua subkelas, yaitu subkelas Octocorallia (Alcyonaria) atau karang lunak

(soft coral) dan subkelas Hexacorallia (Zoantharia) atau karang batu

(stony coral). Kelompok karang batu bersifat polip dan sesil dapat

menyimpan zat kapur kalsium karbonat yang memperkuat struktur

tubuhnya. Kelompok ini membentuk terumbu karang (coral reefs)

(Gambar 5).

Gambar 5. Terumbu karang (Veron, 1986)

Gorgonia ialah koloni Anthozoa yang bercabang menyerupai kipas

(seafan). Heliopora dikenal sebagai karang biru. Penatula (Pena laut)

hidup berkoloni, sumbu polip panjang, skeleton lunak.

14
a b c

Gambar 6. Jenis-jenis hewan di kelas Anthozoa, (a) karang lunak, (b)


Gorgonia, (c) Pena laut (Allen and Steene, 1996)

Phylum Ctenophora

Dinamakan ubur-ubur sisir, mempunyai tubuh radial simetris

seperti pada Cnidaria namun mempunya delapan silia sisir dan silia

yang menyatu di ujung. Ubur-ubur ini tidak mempunyai Nematosit

seperti yang ada pada Cnidaria.

Phylum Platyhelminthes

Struktur tubuh hewan ini setingkat lebih tinggi dibandingkan

dengan Porifera atau Coelenterata. Platyhelminthes berasal dari Bahasa

Yunani; platy yang berarti pipih dan nelminthes yang berarti cacing.

Tubuh cacing ini pipih dorsoventral dengan struktur tubuh sederhana

yaitu tersusun atas organ tubuh sebenarnya dan sistem organ. Perut

sama seperti Cnidaria dan Ctenophora yang memiiki satu lubang keluar

(Gambar 7).

15
Gambar 7. Cacing pipih jenis Pseudoceros bedfordi (Friese, 1973)

Trematoda (cacing hisap) hidup bersifat parasit pada hewan lain

yang mengambil makanannya dari jaringan tubuh, darah atau isi usus.

Pada tingkat dewasa hidup dalam tubuh vertebrata, sedangkan pada

tingkat larva hidup pada invertebrata.

Turbelarria, merupakan cacing pipih yang sering dijumpai di laut. Ada

yang hidup di dalam atau bagian luar tubuh kepiting, bulu babi (sea

urchin) dan invertebrate lainnya.

Phylum Nemathelminthes

Cacing ini dapat hidup diaman-mana, di air laut, air tawar, pada

hewan atau pada tubuh manusia. Contoh umum hewan ini ialah

Nematoda.

16
Phylum Annelida

Annelida memiliki tubuh bersegmen (septa) yang memiliki rongga

tubuh (Coelom) yang berisi cairan tubuh dengan saluran pencernaan di

sepanjang tubuh, tetapi saluran ekskresi terdapat di setiap lapisan

bagian segmen tubuh. Tubuh mempunyai lapisan epidermis

(peritonium). Segmen ini terlihat jelas pada lapisan cacing tanah.

Kelas Polychaeta

Hampir semua cacing laut masuk dalam kelas polychaeta. Setiap

segmen tubuh terdapat sepasang organ gerak yang disebut parapodia

yang memiliki beberapa cilia pendek (setae). Cacing ini mempunyai

system circulatoria yang berfungsi iuntuk pengangkutan makanan,

oksigen dan karbondioksida. Memiliki saluran peredaran tertutup.

Banyak polychaeta menjalar di dasar perairan atau bersembunyi di

antara karang batu. Contoh umum cacing pasir ini ialah Nereis, yang

bersifat karnivora. Di bagian kepala terdapat beberapa pasang mata dan

organ sensoris lain

Polychaeta yang ada di air laut tropis disebut cacing Palolo

(Eunice) (Gambar 8). Cacing ini secara periodic berenang ke

permukaan untuk melakukan perkawinan (spawning) dan kebiasaan ini

disebut „swarning‟ yang mengalami puncak kemunculan pada 2-3 hari

setelah bulan purnama.

17
Gambar 8. Polychaeta (Eunice sp.) (Allen and Steene, 1996)

Kelas Hirudinae (Lintah)

Jenis ini umumnya berada di air tawar, tetapi ada pula dijumpai

melekat pada ikan laut dan invertebrate laut. Tanda khusus adanya

organ pengisap di kedua ujung tubuhnya. Tidak memiliki parapodia

Phylum Mollusca (Moluska)

Siput, kerang, cumi-cumi, sotong dan gurita merupakan contoh

hewan yang tergolong ke dalam phylum ini. Tubuh bilateral simetris,

tidak beruas, memiliki cangkang yang terbuat dari CaCO3.

Perkembangan tubuh Moluska sudah tergolong maju. Jumlah jenis

terbanyak berada di laut, beberapa jenis dijumpai di sungai, danau dan

di darat. Kebanyakan Moluska mempunyai kepala tubuh yang sudah

berkembang maju dengan bentuk kepala bervariasi, mempunyai mata

dan organ sensoris lainnya.

18
Kelas Gastropoda

Kelompok moluska ini dikenal sebagai siput. Kata Gastropoda

berasal dari Bahasa Yunani, yaitu gaster yang berarti perut dan podos

yang berarti kaki. Kelompok siput ini mempunyai radula (gigi parut)

untuk mengais alga yang melakat di batu (Gambar 9).

Gambar 9. Beberapa ragam bentuk morfologi cangkang gastropoda; (a)


Harpa articularis, (b) Lambis lambis (c) Cypraea tigris (d)Terebralia
palustris, (e )Murex pecten (f) Conus geografus. (Koleksi pribadi-Moka,
2019)

Ada yang bersifat deposit feeders, yaitu yang berdiam di dasar

perairan yang lunak, misalnya siput lumpur (Hydrobia). Ada yang

bersifat karnivora seperti pada kelompok Conus. Nudibranchia (seaslug)

merupakan gastropoda yang tidak memiliki cangkang (Gambar 10).

19
Gambar 10. Salah satu jenis Nudibranchia (Phidiana crassicornis)
(Castro and Huber, 1992)

Kelas Bivalvia

Kelas ini disebut juga Pelecypoda atau Lamellibranchiata. Kelas ini

disebut Bivalvia karena memiliki sepasang katup (cangkang) yang

memipih lateral. Kepala kecil, mulut tidak memiliki radula, mempunyai

insang yang selain berfungsi menarik oksigen dari air, juga berfungsi

untuk menapis partikel makanan yang terbawa oleh air. Tubuh

mempunyai mantel yang berfungsi melindungi organ dalam tubuh. Air

yang masuk dan keluar tubuh melalui sifon (sifon untuk air masuk dan

sifon untuk air keluar) (Gambar 11)

20
Gambar 11. Beberapa ragam bentuk morfologi cangkang bivalvia (a)
Codakia tigerina, (b) Modiolus sp. (c) Fimbria fimbriata (d) Hippopus
hippopus (Koleksi pribadi-Moka, 2019)

Tidak semua kerang membenamkan diri di dasar perairan. Ada

yang melekatkan tubuhnya melalui rambut-rambut halus (byssus) pada

substrat keras, batu, tiang-tiang jembatan di dalam air, misalnya kerang

Oyster (Ostrea dan Crassustrea). Ada jenis Bivalvia yang dapat

membuat lubang pada kayu (tiang jembatan, badan perahu kayu

(Gambar 12).

Gambar 12. Kayu berlubang akibat kerrang pengebor (Carnegie


Museum of Natural History dalam Puiu, 2019)

21
Kelas Cephalopoda

Termasuk dalam kelas cephalopoda adalah sotong, cumi-cumi,

gurita, Nautilus. Cephalopoda berasal dari Bahasa Yunani; Cephala

yang berarti kepala dan podos yang berarti kaki. Pada kepala terdapat

lengan (tentakel) yang dilengkapi alat penghisap, mempunya mata yang

besar yang perkembangan organnya jauh lebih maju dibandingkan

hewan invertebrata lainnya. Bentuk tubuh membulat pada gurita dan

lonjong (oval) pada sotong dan cumi-cumi. Tubuh dilindungi oleh otot

mantel yang tebal dibelakang kepala. Rongga mantel melindungi organ-

organ dalam. Air masuk ke dalam tubuh melalui rongga mantel dan

keluar melalui sifon (Gambar 13)

Gambar 13. Tipikal morfologi Cephalopoda (Vandervlugt, 1998)

Kelas Scaphopoda

Hewan ini mempunyai cangkang yang melengkung seperti gading

gajah dan berlubang di kedua ujung cangkang. Hidup di dasar perairan

pasir-lumpur (Gambar 14)

22
Gambar 14. Cangkang scaphopoda (Vaughan, 2008)

Kelas Aplacophora

Jenis moluska primitif karena bentuk morfologinya nampak seperti

cacing, tidak memiliki cangkang seperti moluska pada umumnya

(Gambar 15). Namun, memiliki perkembangan organ tubuh yang baik.

Mempunyai saraf tangga tali seperti pada polyplacophora dan

monoplacophora genus Neopilina. Terdapat radula, rongga mantel dan

organ tubuh lain seperti yang ada pada moluska. Ukuran tubuh biasanya

tidak lebih dari 5 cm. Hidup di kedalaman lebih dari 50 m di dasar

perairan, melingkar pada gorgonia laut dalam atau pada cangkang

hewan lain.

23
Gambar 15. Aplacophora (Epimenia babai) (Nordsieck, 2019)

Kelas Monoplacophora

Hewan ini memiliki satu cangkang dan terdapat di laut dalam di

hampir semua samudera. Hewan ini pernah dinyatakan telah punah

tetapi kemudian ditemukan kembali pada tahun 1952 (Castro and

Huber, 1992) (Gambar 16).

Gambar 16. Monoplacopohora (a) tampak atas, (b) tampak samping


(Lazo-Wasem, 2009 dalam Yale Peabody Museum)

24
Kelas Polyplacophora

Hewan ini disebut Chiton yang mempunyai 8 lempeng cangkang

yang tersusun seperti atap genteng di bagian dorsal tubuh (Gambar 17)

Gambar 17. Polyplachora (Chiton) (Vaughan, 2001)

Phylum Arthropoda

Arthropoda merupakan phylum terbesar dari semua phylum yang

masuk dalam Kingdom Animalia. Kelompok hewan Arthropoda dapat

hidup di berbagai habitat termasuk di laut. Termasuk ke dalam

Arthropoda antara lain udang, serangga. Kelompok lain misalnya

bernakel (barnacles), udang karang (Lobster),kepiting (crabs). Tubuh

Arthropoda bersegmen bilateral simetris yang terbungkus oleh zat kitin

(exoskeleton). Kaki dan bagian-bagian mulut beruas-ruas. Untuk

pertumbuhan tubuhnya Arthropoda mengalami pergantian kulit (molt

atau ecdysis).

25
Kelas Crustacea

Contoh kelas ini antara lain Kepiting, udang-udangan, lobster

(udang karang). Crustacea hidup dalam air karena itu mereka memiliki

insang untuk pernapasan. Crustacea mempunyai dua pasang antenna

yang berfungsi untuk mengetahui keadaan sekelilingnya. Crustacea

kecil dapat dijumpai di berbagai lingkungan perairan; sebagai plankton,

bentos, di antara sedimen, menempel pada hewan lain di antara alga

laut. Contoh Crustacea kecil, ialah Copepoda, amphipoda, isopoda.

Decapoda merupakan jenis crustacea ukuran besar, yaitu udang,

kepiting, dan lobster (udang karang). Kelompok Crustacea ini

mempunya 5 pasang kaki jalan. Bagian kepala menyatu dengan dada

yang disebut cepalothorax. Bagian badan disebut abdomen. Pada

kepiting, abdomen berada di bawah cepalothorax yang melebar.

Kepiting jantan mempunyai abdomen berbentuk V, sedang kepiting

betina memiliki abdomen berbentuk U. Kepiting hidup di pantai berbatu

atau berpasir. Mereka turun ke air untuk melepaskan telur-telurnya

(Gambar 18).

(a) (b)

Gambar 18. Bentuk perut kepiting (a) betina, (b) jantan (Castro and
Huber, 1992)
26
Phylum Echinodermata

Echinodermata berasal dari Bahasa Yunani; echinos yang berarti

duri dan derma yang berarti kulit, atau dengan kata lain hewan yang

berkulit duri. Tubuh Echinodermata bersifat radial simetris seperti pada

Knidaria. Namun pada stadium larva yang bersifat plankton tubuhnya

bersifat bilateral simetris, yang berbeda dengan Knidaria.

Kebanyakan Echinodermata bersifat radial simetris pentagenerous

(simetris lima bagian). Echinodermata tidak mempunyai kepala, tubuh

tidak memiliki ujung anterior atau ujung posterior atau sisi dorsal-ventral,

tetapi hanya dinyatakan memiliki sisi oran dan lawan sisi ini disebut sisi

aboral. Echinodermata tidak memiliki saluran pencernaan yang

sempurna,skeleton bersifat endoskeleton. Hewan ini memiliki sistem air

vascular yaitu suatu jaringan saluran yang berisi air. Ada kaki tabung

yang berhubungan dengan saluran air tadi. Saluran ini akan terhubung

keluar melalui madreporite yang berada di sisi aboral (Gambar 19).

Gambar 19. Madreporit pada sisi aboral kelas Asteroidea (Castro and
Huber, 1992)
27
Kelas Asteroidea (Bintang Laut)

Tubuh dengan 5 lengan radial berbentuk bintang. Di sisi oral

bagian tengah terdapat mulut yang dikelilingi oleh membrane periston

dengan 5 alur ambulakral pada lengan radial. Pada tiap saluran

ambulakral terdapat kaki tabung dan di sisi aboral terdapat madreporite

dan anus.

Kelas Ophiuroidea (Bintang Mengular)

Bintang mengular mempunyai tubuh bila cakram degan 5 lengan

memanjang lateral. Di sisi lateral lengan terdapat duri-duri pendek

sedangkan sisi dorsal dan ventral tidak berduri. Pada bagian sisi ventral

terdapat kaki ambulakral yang kecil. Sistem digestivum (pencernaan)

terdapat di dalam badan bola cakram (Gambar 20).

Gambar 20. Bintang mengular jenis Ophiomastix mixta (Friese, 1973)

28
Kelas Holothuroidea (Teripang atau Ketimun Laut)

Tubuh bulat memanjang, tidak memiliki duri. Dari sisi mulut (Oral)

ke anus (Aboral) merupakan satu garis sumbu. Kulit tubuh dilapisi oleh

kutikula yang menutupi epidermis. Kebanyakan teripang bersifat deposit

feeder. Kaki tabung yang berada di sekitar mulut bermodifikasi sebagai

tentakel untuk mengambil makanannya dari dasar perairan (Gambar 21)

Gambar 21. Holothuria jenis Paracucumaria tricolor (Friese, 1973)

Kelas Crinoidea (Lili Laut)

Hewan ini bersifat suspension feeder. Lengan yang memanjang

seperti bulu ayam menggerakkan air untuk menangkap makanannya

(Gambar 22). Tubuh lili laut yang berbentuk seperti mangkuk disebut

calyx yang dari tubuh ini keluar 5 lengan panjang yang memiliki tentakel

29
pendek yang masing-masing memiliki pininulae yang banyak sehingga

bentuknya seperti bulu ayam. Mulut dan anus terdapat di sebelah

menyebelah dari calyx. Makanan Crinoidea berupa plankton atau bahan

mmikroskopis lainnya yang ditangkap oleh tentakel bersilia, kemudian

digiring ke mulut. Lili laut bertangkai atau batang banyak dijumpai dalam

bentuk fosil.

Gambar 22. Lili laut jenis Oxycomanthus benneti (Allen and Steene,

1996)

30
BAB III BAHAN

ALAM LAUT

Eva Johannes dan Magdalena Litaay

Laut dengan keunikan ekosistemnya menyimpan berbagai potensi

sumber farmasi baru dengan struktur molekul baru (novel) dan

mekanisme farmakologi baru. Ekosistem laut merupakan bagian

terbesar biosphere di bumi ini. Indonesia Sebagai negara maritim

terbesar di dunia dengan garis pantai terpanjang (81.000 km) kedua

setelah Kanada. Diyakinkan bahwa laut Nusantara menyimpan mega

potensi sumberdaya hayati dan non hayati. Khususnya untuk

sumberdaya hayati laut sebagai marine Natural Product. Sumberdaya

hayati laut mencakup kandungan senyawa metabolit primer dan

sekunder dari mikro-makro organisme dan tumbuhan laut. Senyawa

metabolit primer dijabarkan sebagai senyawa kimia organik, biasanya

terdapat dalam kuantitas yang relatif besar dan keberadaan senyawa ini

berperan dalam proses metabolisme. Sebaliknya metabolit sekunder

diartikan sebagai senyawa kimia organik yang terkandung dengan

kuantitas yang sedikit atau renik (trace) dan tak terlibat langsung dalam

proses metabolisme tapi sangat berperan dalam upaya

mempertahankan kelangsungan hidup. Mempertahankan kelangsungan

hidup tidak hanya menghindar dari gangguan predator,tetapi juga

31
mengatasi fluktuasi lingkungan yang relatif ekstrim. Sebagai contoh

kelompok metabolit sekunder adalah terpena, alkaloida, polypenol, dsb.

Dalam beberaapa decade belakangan ini senyawa metabolit sekunder

dari laut diminati secara luar biasa ekstensif sebagai sumber farmasi

baru selain sumber terrestrial dan senyawa-senyawa sintetik yang

merupakan produk dari kimia rekombinan.

Kespesifikan apakah yang membuat senyawa metabolit sekunder

dari laut menjadi primadona bagi dunia farmasi? Hal ini disebabkan

karena pada senyawa metabolit sekunder dari laut, sering ditemukan

struktur molekul baru yang belum pernah sama sekali ditemukan pada

senyawa metabolit sekunder terrestrial. Kekhasan lain dari struktur

senyawa metabolit sekunder laut adalah kandungan unsur halogen.

Kekhasan struktur metabolit sekunder dari laut ini sangat dipengaruhi

atau merupakan konsekuensi dari kondisi lingkungan laut yang sangat

bervariasi. Faktor abiotik sebagai contoh: suhu air laut bervariasi dari –

1,5 derajad Celcius di wilayah Antartika, hingga mencapai 350 derajat

Celcius pada hidrotermal. Tekanan atmosfer air bervariasi dari 1 hingga

1000 atm. Keberadaan nutrien (unsur hara) berkisar dari eutrofik (kaya

hara) dan oligotrofik (miskin hara). Intensitas cahaya juga sangat variatif

dari zonase perairan yang mendapat cahaya cukup (zona fotik) hingga

zonase afotik (tak ada cahaya). Kandungan hara laut secara umum

relatif sedikit. Minimnya kandungan hara ini mendorong mikroorganisme

32
untuk hidup berasosiasi (bersimbiose) dengan flora dan fauna laut

lainnya untuk saling bertukar nutrisi. Pada tataran mikroorganisme laut,

simbiose ini sangat umum dijumpai, dan kompetisi untuk mendapatkan

unsur hara atau sumber nutrisi lainnya sangatlah intensif. Intensifnya

kompetisi ini mengakibatkan makhluk laut dituntut secara alamiah untuk

dapat mensintesis metabolit sekunder yang dapat dipakai sebagai

senjata pertahanan dan kompetisi. Senyawa metabolit sekunder dapat

berupa toksik atau non-toksik, dapat pula berupa produk intra atau

ekstra sellular. Senyawa metabolit sekunder ini lebih banyak dijumpai

pada organisme bentik yang hidup menetap di dasar perairan pesisir

wilayah tropik. Karena ketidakmampuannya menjauhkan diri dari

predator, maka melalui produksi senyawa metabolit sekunder-lah,

organisme ini dapat mereduksi gangguan predator. Sponge, ascidian,

karang lunak (soft coral), dan mikroorganisme seperti mikroalgae, jamur,

dan bakteri adalah beberapa contoh dari organisme bentik. Senyawa-

senyawa baru metabolit sekunder inilah yang dicari-cari oleh para pakar

marine natural product untuk diisolasi dan dimurnikan, dan selanjutnya

diuji bioaktivitasnya dengan metoda bioassay terhadap terhadap

bakteria (antibiotect test), sel kanker (cytotoxicity), dan uji hayati lainnya

yang produk akhirnya dapat diaplikasikan bagi kepentingan farmasi,

pemacu pertumbuhan, pestisida, kosmetika, dsb.

33
Beberapa negara berkembang seperti Cina, India, Pakistan, dan

Mesir telah memiliki kemampuan untuk melakukan riset Marine Natural

Product secara komprehensif. Negara-negara berkembang tersebut

perlu diteladani karena mereka bukanlah negara berbasis kelautan, tapi

keseriusan mereka dalam menggali Marine Natural product. Penelitian

dalam bidang Marine Natural Product bukanlah suatu kajian jangka

pendek tapi butuh investasi dana, sarana, waktu, kapabilitas, dan

interdisiplin ilmu. Kajian komprehensif Marine Natural Product

melibatkan ahli biologi kelautan, taksonomi, kimia, farmasi, dan

kedokteran. Riset dengan orientasi jangka pendek dengan luaran

langsung bukanlah prototipe riset Marine Natural Product.

34
BAB IV

URAIAN UMUM HYDROID

Eva Johannes

Hydroid adalah hewan invertebrata laut yang masuk ke dalam

kelas Hydrozoa, filum Cnidaria. Kebanyakan buku teks zoologi

avertebrata umum, baik secara implisit maupun eksplisit,

mengelompokkan Cnidaria sebagai sebuah takson monofiletik yang

ditandai dengan karakter khas, yaitu: adanya cnidosist. Filum Cnidaria

lazim dibagi menjadi empat kelas, yaitu: Anthozoa (hanya memiliki fase

polip), Schyphozoa (memiliki polip yang menghasilkan medusa melalui

strobilasi), Cubozoa (menghasilkan medusa melalui metamorfosis polip)

dan Hydrozoa (menghasilkan medusa melalui pertunasan). Cornelius

(1995) mengangkat Hydrozoa ke ranking super-kelas. Bouillon & Boero

(2000) mengusulkan ranking taksonomi yang sama untuk Hydrozoa,

dengan tiga kelas: Automedusa, yang menghasilkan medusa melalui

pertumbuhan langsung planula atau melalui fase : aktinula”,

Hydroidomedusa, menghasilkan medusa melalui sebuah nodul

medusari, dan Polypodiozoa, dengan pola pertumbuhan parasitic yang

sudah termodifikasi.

Hydrozoa merupakan kelompok yang luas dan heterogen, yang

mencakup 3.702 spesies yang memiliki sejumlah kesamaan sifat.

35
Hydrozoa lazimnya adalah karnivora, termasuk diantara predator

planktonic dan bentik paling penting; ketika jumlahnya melimpah,

mereka akan menjadi konsumen utama larva ikan, krustasea dan

organisme planktonic dan benthik lainnya. Beberapa spesies memiliki

makanan berupa bakteri, protozoa, fitoplankton dan bahkan zat organik

terlarut, sementara spesies lain menempel di Alga intraseluler secara

simbiotik yang darinya mereka mendapatkan gizi. Hydromedusae telah

digunakan sebagai indikator biologis untuk mendeteksi pergerakan-

pergerakan air laut.

Hydrozoa termasuk hewan avertebrata yang dominan hidup di

laut, dikelompokkan ke dalam phylum Cnidaria atau Coelenterata.

Hewan ini telah memiliki struktur tubuh lebih maju dibandingkan hewan

spons (Sponge), yaitu memiiki jaringan tubuh yang telah mempunyai

fungsi khusus termasuk saat bereaksi apabila mendapat rangsangan

dari luar tubuhnya. Dengan memiliki organ penyengat (nematocyst)

hydrozoa tergabung ke dalam ubur-ubur (jellyfish) dan karang api

(Milliepora) (Allen Stoner, 1996) Hydroid adalah bentuk umum dari

hydrozoa yang dapat dijumpai di dasar perairan ekosistem terumbu

karang. Hidup melekat pada substrat kasar seperti pada karag batu,

tumbuhan air atau tiang-tiang kaki jembatan. Bentuk morfologi hydroid

seperti tumbuhan dan menyerupai bulu ayam yang memiiki batang

tengah dengan cabang-cabang kecil ke samping (Gambar 1).

36
Memiliki polip sangat kecil yang terdapat di setiap cabang

(Gambar 2). Organ ini merupakan karakteristik hewan Cnidaria.

Beberapa polip berfungsi untuk makan dan organ penyengat. Fungsi

lain sebagai organ reproduksi. Polip untuk makan akan menyaring air

yang membawa mikroorganisme dan bahan-bahan organik. Makanan

yang diperoleh kemudian didistribusi ke polip yang lain melalui rongga

pencernaan (Castro and Huber, 1992).

Hydroid umumnya ditemukan dalam bentuk kumpulan mirip bulu

yang tumbuh pada bebatuan, di bawah terumbu karang, pada rumput

laut, dan berdampingan dengan struktur-struktur bawah air. Medusa

kecil menonjol keluar dari kumpulan polip yang bercabang. Hydroid

umumnya diklasifikasikan sebagai spesies koloni, dimana beberapa

polip hidup bersama-sama dan saling terhubung, atau terpisah-pisah,

dimana satu polip tunggal akan hidup sendiri. Dalam bentuk koloni, ada

sejumlah derajat divisi fungsi makanan dan reproduksi dalam polip.

Pada beberapa spesies, seperti Obelia, fungsi-fungsi ini dilaksanakan

oleh polip-polip berbeda dalam koloni yang sama; sementara pada

spesies lain, seperti Tubularia, fungsi reproduksi dan makanan

digabungkan pada satu polip.

Hydroid bereproduksi secara seksual. Medusa kecil terbentuk pda

cabang. Medusa kemudian terlepas dari cabang dan berenang bebas.

Hewan ini dapat menghasilkan telur (sel kelamin betina) dan jantan (sel

37
kelamin jantan). Sel telur yang telah dibuahi oleh sperma akan menetas

menjadi larva planula. Planula kemudian melekat pada substrat keras di

dasar perairan kemudan tumbuh menjadi cabang koloni baru.

Klasifikasi (Erhardt and Moosleitmer, 1995)

Phylum: Cnidaria (Coelenterata)

Kelas : Hydrozoa

Ordo: Atheca

Sub-Ordo : Capitate

Familia: Milleporidae

Genus: Millepora (Gambar 3)

Ordo: Thecata

Familia: Campanulariidae

Genus: Obelia

Familia: Sertulariidae

Genus: Sertularia

Familia: Plumulariidae

Genus: Halopteris

Familia: Aglaopheniidae

Genus: Gymnangium

Genus: Aglaophenia

38
Morfologi

Hydroid umumnya adalah spesies kolonial, yang memuat banyak

polip individual; beberapa diantaranya menyendiri. Lazimnya, mereka

melekat permanen ke substrat mereka, tetapi mereka juga bisa pelagis

(hidup di laut terbuka): Climacocodon, Margelopsis, Pelagohydra,

Porpita, Velella. Hidroid-hidroid soliter yang melekat pada substrat keras

memiliki cakram basal yang mengikat mereka ke pendukungnya,

sementara hydroid yang menempel pada substrat lunak memiliki dasar

yang runcing dan akar kecil berfilamen; kedua tipe struktur alas ini

mendukung sebuah pedikel atau hydrocaulus untuk menopang sebuah

badan, atua hydranth, dengan mulut apikal yang normalnya dikelilingi

oleh tentakel. Dalam bentuk koloni, area basal biasanya membentuk

sebuah sistem tabung hampa, stolon atau hydrorhizae, yang mengikat

koloni ke substrat dan yang darinya muncul polip langsung, atau polip

yang didukung oleh sebuah pedikel pendek, atau batang-batang besar,

lurus, sering bercabang yang memuat banyak polip, baik tumbuh

langsung maupun bertangkai. Batang-batang utama dan pedikel

membentuk hydrocauluus, hydrocladia merupakan cabang-cabang

lateral yang menopang hydranth. Stolon, hydrocauli dan hydrocladia

dibentuk oleh pemanjangan tubular ekto-endodermal rongga-rongga

gastrik hydranth, yang diselubungi oleh lapisan kitin protektif, atau

perisarc. Bagian ekto-endodermal hidup dari tabung-tabung ini adalah

39
coenosarc. Dengan sistem tubular coenosarc inilah semua hydranth

yang membentuk sebuah koloni berkomunikasi satu sama lain, yang

memungkinkan, misalnya, sirkulasi makanan. Coenosarc

merepresentasikan jumlah curah material hidup dari koloni tersebut.

Hydranth baru selalu terbentuk melalui pertunasan aseksual, yang

mana ini umumnya mengarah pada pembentukan dan pertumbuhan

koloni. Pertunasan hydranth jarang terjadi pada hydranth, kecuali pada

bentuk soliter, dimana pertunasan lateral merupakan cara reproduksi

aseksual yang mengarah pada individu tersendiri. Dalam bentuk koloni,

pertunasan biasanya terjadi pada batang dan stolon. Medusa dan tugas

setara tereduksi lepas dari hydranth, hydrorhizae, hydrocauli atau

hydrocladia.

Koloni-koloni hydroidomedusae kebanyakan berukuran kecil,

dengan sedikit diantaranya yang melebihi beberapa sentimeter atau

desimeter (misal: Cladocarpus lignosus 70 cm); hydranth biasanya kecil,

jarang melebihi beberapa milimeter, tetapi ada pengecualian (misal:

Hydrocoryne miurensis 6 cm, Corymorpha nutans 12 cm, Monocoryne

gigantea 40 cm, Candelabrum penola 85 cm, Branchiocerianthus

imperator: lebih dari 2 m).

40
Gambar 23. Morfologi hydroid, jenis-jenis umum dan siklus. (A-B)
Antomedusae,Teisseierida = Teissiera milleporoides); (A)
Koloni polimorfis dengan gastrozooid, dactylozooid,
gonozooid dan spines; (B) medusa muda = tunas
medusari; (D) dactylozooid; (E) spine; (G) gono-
gastrozooid; (S) spine; (Sp) Spirobranchus. (Bouillon, J.,
et all, 2006)

41
Gambar 24. Morfologi hydroid, jenis umur dan siklus. (A-B)
Leptomedusae; (A) siklus hidup yang terdiri dari fase
medusae: Obelia geniculate (Campanulariidae); (B)
Siklus hidup paedomorphic yang direduksi menjadi fase
hydroid dan sporosac tetap: Dynamena pumila
(Sertulariidae); (C) Siphonophorae. Skema struktur
umum Calycophoran. Ac = Akrosist; As = bract; Bro =
bagian tunas stolon; Cor = cormidia; Cy = dactylozooid;
D = diafragma; Fip = tentakel dengan tentilla; Gon =
gonozooid; Gz = gastrozooid; Hc = hydrocladium; Hd =
hydranth; Hydc = hydrocaulus; hyr = hydrorhiza; Med =
medusa; Mfl = nektofora atau tali renang; O = telur; Oph
= somatosist; Pl = planula; Po = polip; Siph = siphon
atau gastrozooid terminal; St = stolon. (Bouillon, J., et
all, 2006)
42
Gambar 25. Morfologi hydroid, tipe-tipe umum dan siklus.
Anthomedusae. (A, C-D) siklus hidup paedomorfis yang
direduksi ke tahap hydroid dan sporosac tetap; (A)
Eudendriidae, Eudendrium ramosum; (C) Clavidae, Clava
multicornis; (D) Hydractiniiidae, Hydractinia echinata; (B)
siklus hidup yang terdiri dari stadium medusa: Pandeidae,
Neoturris pileata, morfologi; (E) Leptomedusae, bagian
dari kerangka sebuah hydrotheacae bertangkai dan
simetris. Ann = annulations; Ap = apofisis; BM = tunas
medusa; D = diafragma; Dac = dactylozooid; Gas =
gastrozoooid; Got = gonotheca; Hc = Hydrocaulus; Hca =
hydrocladium; Ht = hydrotheca; Hth = hydranth; Hy =
hydrorhiza; INo = internode; IT = gigi internal; MT = gigi
marginal; No = node; O = operculum; P = perisac; Ped =
pedikel; Pth = pseudohydrotheca; She = shell; S = spinal;
Sp = sporosac tetap; SpF = sporosac betina; SpM =
sporosac jantan; T = tentaculozooid. (Bouillon, J., et all,
2006)

43
Gambar 26. Morfologi hydroid, Leptomedusae. (A-D) Sertulariidae:
Abietinaria abietina; (A) keseluruhan koloni; (B) bagian
dari hydrocladium; (C) rincian hydrotheca dan gonotheca;
(D) gonotheca; (E) Plumulariidae, posisi nematothecae;
tampilang samping (kiri), sumber hydrocladium (tengah),
tampilan depan (kanan). Ap = apofisis; CN = nematotheca
cauline; Hc = hydrocaulus; Hca = hydrocladium; Ht =
hydrotheca; Hy = hydrorhiza; L1 = nematotheca lateral
pertama; L2 = nematotheca lateral kedua; MI =
nematotheca inferior median; MI = mamelon; MS1 =
nemaotheca superior median pertama; MS2 =
nematotheca superior median kedua; Pe = pedikel; Sp =
sporosac tetap. (Bouillon, J., et all, 2006)

44
BAB V

ASPEK BIOLOGI HYDROID

Eva Johannes dan Afriansyah

Hydroid termasuk dalam kelas hydrozoa, karena ukuran tubuhnya

umumnya kecil dan penampakannya seperti tumbuhan, maka

kebanyakan orang tidak mengetahui keberadaannya sebagai hewan.

Dalam siklus hidupnya dikenal bentuk polip sehingga disebut hydroid.

Ditemukan hidup berkoloni melekat pada suatu tempat dengan

menggunakan bagian tubuh berbentuk seperti batang yang disrbut

hydrocaulus yang dapat tumbuh membentuk beratus-ratus cabang.

Koloni hydroid dapat bersifat polimorfisme yaitu dalam satu koloni

terdapat lebih dari satu jenis polip. Masing-masing polip memiliki

peranan berbeda. Hydran atau gastrozoid adalah polip yang berperan

menyediakan nutrisi untuk koloninya yang dilengkapi dengan mulut dan

tentakel untuk menangkap makanan. Gonozooid adalah polip yang

berfungsi dalam reproduksi dan kadang dispesialisasikan untuk

memproduksi meduzoid. Polip ini tidak dilengkapi dengan tentakel dan

mulut. Dactylozooid adalah polip yang berperan dalam perlindungan diri

dilengkapi dengan cnodocyst dansel adhesive (sel perekat), umumnya

terdapat disekitar gastrozoid sehingga sering dianggap sebagai

gastrozooid.

45
Hydroid dapat beregenerasi dari stolon jika bagian tubuhnya

dimangsa oleh predator atau akibat tekanan lingkungan maka dengan

cepat akan diperbaiki. Faktor lain yang juga mempengaruhi keberadaan

hydroid adalah perkembangan terumbu karang pada tingkat kedalaman,

kekeruhan atau cahaya matahari. Jika terlalu dalam atau terlalu keruh,

penetrasi cahaya yang diperlukan oleh zooxanthelae untuk

berfotosintesa berkurang yang mempengaruhi kemampuan untuk

memproduksi unsur-unsur nutrisi yang diperlukan oleh terumbu karang.

Keadaan ini mempengaruhi organisme hydroid yang sangat

membutuhkan nutrisi untuk pertumbuhannya.

Hydroid umumnya ditemukan pada lokasi yang berbeda beda

pada kedalaman 2-15 meter. Pertukaran oksigen dan material matrial

yang telah disintesis oleh polip bergantung dari hydranth dan hydrorhiza,

karena pertukaran tersebut terjadi pada saat hydranth berkontraksi dan

sel-sel hydrorhiza mendistribusi makanan ke gastrovaskuler. Jika terjadi

perubahan tempratur mendadak, atau terjadi kekeruhan, kerusakan

pada hydrorhiza, menyebabkan gerakan hydroplasmik akan berhenti

untuk sementara. Gerakan hydroplasmik adalah gerakan cairan

makanan, oksigen, dan unsur-unsur lain yang telah disintesis oleh polip

atau stolon melewati rongga gastrovaskuler.

46
Klasifikasi hydroid

Kingdom : Animalia
Filum : Cnidaria (Coelenterata)
Class : Hydrozoa
Ordo : Hydroida
Familia : Plumaridae
Genus : Aglaophenia
Spesies : Aglaophenia cupressina Lamoureoux

Koloni tumbuh tegak lurus, berbulu menyerupai tumbuhan pakis

dengan banyak percabangan. Polip tersusun rapat , pendek dan

berhadapap-hadapan terlihat lebat. Koloni berwarna coklat kekuningan

dan melekat pada spons dan algae, hydrocaulus berwarna coklat muda,

tebal dan keras. Jika tersentuh akan menimbulkan rasa terbakar atau

gatal pada kulit. Tinggi koloni kira-kira 22-28 cm, ujung koloni membelah

dengan adanya dua cabang koloni yang berhadapan dan dapat hidup

pada suhu 27∘-30∘C.

Gambar 27. Aglaophenia cupressina Lamoureoux


(Sumber : Dokumentasi Eva Johannes, 2017)
47
BAB VI

SIKLUS HIDUP DAN REPRODUKSI

Eva Johannes dan Afriansyah

Tidak semua Hydrozoa memiliki siklus hidup klasik seperti yang

lazim dijelaskan dalam buku-buku teks, yaitu: telur yang difertilisasi,

planula, larva hydroid, medusa dewasa, telur dan sperma, telur

terfertilisasi dan seterusnya. Siklus ini sangat karakteristik bagi

kebanyakan hidroidomedusae terkecuali Siphoniphorae, dimana planula

menghasilkan larva khusus (yaitu calyconula dan siphonula) yang

tumbuh langsung menjadi stadium poligastrik dewasa siipohonophoran.

SIklius hidroidomedusae yang disebutkan di atas bisa mengalami

perubahan. Yang paling penting adalah supresi stadium medusa,

sebuah fitur yang terjadi pada hampir setengah spesies. Bahkan ketika

medusa tidak dilepaskan, kebanyakan gonofor mempertahankan

arsitektur medusa.

Perubahan siklus hidup lainnya mencakup misalnya: keberadaan

stadium embrio terselubung-kista (misal: Hydra, Margelopsis,

Paracoryne) yang diduga lebih umum dibanding yang saat ini diyakini;

transformasi planula menjadi polip planktonic tunggal yang

mengeluarkan medusa tunggal, yang mana selama pembentukannya,

meresorpsi hydroid secara utuh (misal: Eirena hexanemalis);

48
keberadaan dua pola siklus berbeda, tergantung pada musim, yaitu pola

tipikal dan pola lain dimana planula mengendap dan secara langsung

menghasilkan sebuah gonotheca yang melepaskan medusa tanpa

membentuk hydranth (misal: Laodicea indica), ata membentuk hydranth

tunggal, dengan gonotheca yang melekat (misal: Clytia viridicans), dll.

Penelitian siklus hidup Hydroidomedusae merupakan salah satu bidang

penelitian paling menjanjikan dalam biologi hydrozoa dan bisa

memberikan indikasi penting untuk memahami evolusinya.

Gambar 28. Siklus Hidup Hidroid Kolonial (Mills, 1981)

Siklus hidup hydroid seperti Obelia dan spesies kolonial terkait

melibatkan 2 fase, yaitu: fase feeding atau polip, dan fase reproduktif

atau medusa. Reproduksi dimulai di akhir musim semi atau di awal

musim panas dengan munculnya polip-polip reproduktif. Tunas-tunas ini

melepaskan medusa kecil yang makan dan tumbuh selama beberapa

bulan. Jenis kelamin terpisah pada hydrozoa, seperti halnya semua

knidari yang lain. Selanjutnya di musim tersebut medusa bereproduksi


49
secara seksual. Telur-telur dilepaskan, difertilisasi oleh sperma dari

medusa lain, dan larva planula yang dihasilkan mengendal ke dasar laut

untuk bermetamorfosis menjadi polip remaja. Polip ini kemudian

tumbuh, dimulai dengan pembelahan aseksual, dan pada akhirnya

membentuk koloni. Siklus umum ini hanya berlaku bagi beberapa tipe

spesies koloni; banyak spesies soliter yang berbeda dalam derajat

pemisahan polip feeding dan polip reproduktif, dan dalam hal lama

bertahan stadium medusa.

Proboscidactyla flavicirrata

Beberapa peneliti di Hopkins Marine Station, Cailfornia

menemukan sebuah simbiosis tak lazim antara sebuah hydroid

Proboscidactyla sp. dengan cacing tabung sabellid Pseudotarnilla

ocellata (lihat Gambar 29 sebelah kiri). Koloni hydroid menempatilingkar

tabung dari cacing tersebut dan terdiri dari 2 jenis individu, yaitu

gastrozooid dan gonozooid, dan kemungkinan tipe ketiga, yaitu

dactylozooid. Gastrozooid memiliki tinggi sekitar 0,8 mm, memiliki 2

tentakel, dan hidup pada lingkar tabung cacing tersebut.

50
Gambar 29. Gastrozooid P. favicirrata pada lingkar tabung
Pseudotarnilla ocellata (Hand & Hendrickson, 1950)

Gonozooid memiliki panjang sekitar 1 mm dan hidup pada sisi-sisi

tabung cacing. Tunas-tunas medusa keluar pada sekitar setengah ke

bawah kolom gonozooid dan biasanya berjumlah empat (lihat gambar

kanan bawah).

Gambar 30. Tunas medusa di kolom gonozooid di 4 tahap


perkembangan yang berbeda (Hand & Hendrickson,
1950).

51
Polip tampak menangkap partikel makanan yang dibawa dalam

aliran arus yang dihasilkan oleh cacing, yang bergerak ke atas dan

melalui mahkota tentakuler. Gastrozooid juga bisa menggapai dan

mengambil makanan dari alur-alur makanan filamen-filamen individu

cacing.

Hydroid bertentakel-2 Proboscidactyla flavicirrata memiliki siklus

hidup tak lazim yang sebanding dengan cara hidupnya dalam bentuk

koloni pada lingkar-tabung spesies-spesies cacing tabung berbeda.

Penelitian-penelitian di Friday Harbor Laboratories, Washington

menunjukkan bahwa planula yang berenang bebas tertangkap pada

arus-arus siliari yang dihasilkan oleh bulu-bulu tentakel cacing, dan

pada awalnya melekat dengan pelepasan nematosist ke atas pinula.

Ketika cacing kembali ke dalam tabungnya, larva yang lepas juga ikut

terbawa ke dalam lingkar tabung. Metamorfosis, yang dimulai 4-6 jam

setelah pelepasan, memerlukan keberadaan cacing, tetapi eksperimen

menunjukkan bahwa tabung tersebut bisa artifisial atau natural. Sebuah

rudiment tentakel muncul setelah 4,5 jam dan ini berkembang sempurna

pada 7 jam. Di sekitar waktu ini tonjolan atau “kaki” muncul dan embrio

menggunakan ini sebagai sarana temporer untuk meluncur. Dalam

sehari atau lebih tentakel kedua telah muncul, yang menandakan akhir

dari metamorfosis. Beberapa dari tahapan pertumbuhan ini ditunjukkan

sebagai berikut:

52
Panula 3 jam setelah kontak dengan cacing host. Endoderm

bertransformasi.

Planula 4,5 jam setelah kontak. Yang pertama dari 2 tunas tentakel

muncul.

Planula 7 jam setelah kontak. Tentakel telah tumbuh dan rudiment “kaki”

muncul”

Polip yang baru bermetamorfosis. Tonjolan “kaki” digunakan untuk

bergerak (Strickland, 1971).

53
Spesies Lain

Sebuah penelitian di UC Berkeley, California memberikan rincian

tentang tahap perkembangan larva dari spesies hydroid Corymorpha

palma. Berbeda dengan banyak hydroid lain, medusanya tidak

dilepaskan. Telur tampak dilepaskan sepanjang tahun. Telur tenggelam

ke dasar perairan dan menempel. Perkembangan yang terjadi adalah

menuju stadium mirip planula non-diferensiasi, yang melekat ke dasar

laut sesaat sebelum menetas, dan tidak pernah berenang bebas (lihat

gambar kanan atas). Dalam periode waktu yang singkat, polip

memanjang, dan menghasilkan beberapa tentakel distal dan proksimal.

Gambar 31. Perkembangan menuju stadium mirip planula non-


diferensiasi, yang melekat ke dasar laut sesaat sebelum
menetas (Torrey, 1907)

Gambar 32. Polip memanjang, dan menghasilkan beberapa tentakel


distal dan proksimal (Torrey, 1907)

54
Dalam penelitian lain, kumpulan besar medusa dari hydroid Clytia

gregaria sering ditemukan muncul di perairan sekitar Pulau San Juan,

Washington selama musim panas. Pengamatan laboratorium untuk

kondisi gonad, dan jumlah sperma dalam air yang mengandung jantan,

memberikan informasi tentang reproduks seksual. Hitungan kasar dari

masing-masing jantan menunjukkan bahwa 3 juta sperma bisa

dilepaskan setiap hari, beberapa diantaranya terus menerus, tetapi yang

lebih besar dilepaskan pada saat yang sama dengan lepeasan telur dari

betina. Betina melepaskan telur dalam kondisi laboratorium, hingga 50-

70 pada satu waktu dari spesimen yang sudah tumbuh sempurna.

Pelepasan telr kebanyakan terjadi 1-3 jam setelah matahari terbenam

dan/atau 1 jam sebelum matahari terbit, yang menandakan bahwa

perubahan kondisi cahaya bisa menjadi faktor stimulator. Pembelahan

dimulai sekitar empat jam setelah fertilisasi (pada suhu 12oC) dan

stadium 32-sel dicapai dalam 4 jam.

Gambar 33. Clytia (Phialidium) sp (Roosen-Runge, 1962)

55
Siklus hidup diketahui hanya untuk beberapa spesies hydroid

pantai barat. Salah satunya adalah Clytia hemispaerica (Phialidium

hemisphaericum), yang dikumpulkan sebagai medusa dari dock

Laboratorium Friday Harbor, Washington dan ditumuhkan dalam wadah

plastik dalam laboratorium pada suhu 12,5oC. Palnula yang terpisah

dikumpulkan pada slide mikroskop gelas yang ditempatkan pada dasar

wadah. Kebanyakan planula lepas dalam beberapa hari, dan pada 4-5

pekan setelah fertilisasi, pertumbuhan koloni dengan stolon cukup masif

(lihat foto sebelah kiri. Gonangia pertama muncul setelah 3 pekan dan

medusa pertama dilepaskan pada 4-5 pekan.

Medusa yang baru dilepaskan memiliki diameter sekitar 1,3 mm

dan memiliki 4 tentakel. Medusa mampu mengambil makanan saat

masih melekat ke blastosyle. Dalam beberapa hari medusa memiliki 8

tentakel dan setelah 4 pekan sudah dewasa secara seksual, dengan

sekitar 2 lusinan tentakel dan diameter 1 cm). Hydroid betina dalam

biakan laboratorium bisa menghasilkan 50 telur per hari selama 60 hari,

atau sekitar 3000 telur selama siklus hidupnya.

Penelitian di Oregon Institute of Marine Biology menjelaskan

perkembangan awal pada sebuah spesies hydroid Candelabrum

fritchmanii. Penemuan spesies baru ini di Oregon selatan menjadikan

jumlah spesies Candelabrum menjadi 3 yang ditemukan di Samudera

Pasifik utara. Polip-polip bisa terbentuk secara sendiri-sendiri atau

56
dalam bentuk “koloni” yang terdiri dari 2-3 polip. Blastostyles terbentuk

sebagai tonjolan tubular atau komikal dari dinding tubuh, dan

mengandung gonofora penghasil medusoid. Tidak ada stadium medusa

yang hidup bebas, dan telur berkembang dalam sebuah gonofora betina

menjadi stadium actinulai yang bergerak. Ini bergerak dari gonofora

dengan ukuran sekitar 1 mm dan memiliki banyak tentakel yang

membawa kelompok-kelompok nematosist. Dalam satu pekan

hypostome pada ujung-mulut distal aktinula menghasilkan banyak

tentakel sekunder dan menjadi polip primer yang aktif makan. Sebuah

struktur mirip akar terbentuk pada ujung posterior. Ketiadaan medusa

yang berenang bebas atau stadium-stadium planula-larva seharusnya

sangat membatasi penyebaran C. fritchmanii dan sejauh ini hanya

diketahui berada di Cape Arago dan perairan kawasan Humbug di

pantai Oregon (Hewitt & Goddard, 2001).

Salah seorang peneliti di Monterey Bay Aquarium, California

memberikan rincian tentang siklus hidup hydroid Motrocoma cellularia.

Larva didapat dari medusa dewasa dan dibiakkan dalam laboratorium

pada suhu 11oC. Stadium-stadium hidup berupa polip dan medusa

ditunjukkan berikut. Masa hidup medusa di laboratorium diperkirakan

oleh peneliti sekitar 6 bulan, dan mungkin dua kali lipat jika berada di

alam bebas. Makanan medusa di alam terdiri dari mangsa berbadan

lunak seperti panedikularia dan telur avertebrata (Widmer, 2004).

57
Stadium-Stadium Hidup yang ditunjukkan di sini adalah biakan di

laboratorium. Telur pada hari 0, palnula pada hari 1-3, koloni hidroid

pada pekan ke-6. Hydranths (polip pemangsa = gastrozoid) ditunjukkan

bersama dengan 2 gonangia (polipreproduktif). Gonangia muncul

setelah 6,5 pekan pada suhu 11°C. Hydranths mulai makan setelah

sekitar 5 hari. Setiap gonangium hanya melepaskan satu tunas medusa

tunggal ditunjukkan pada bagian atas polip Kanan. Medusa terbentuk

selama stadium-stadium 2-4 tentakel hingga 8-6 tentakel setelah 8

pekan dalam biakan laboratorium.

Ekologi Fisiologis

Dalam Salah satu penelitian dilaporkan bahwa sedikitnya terdapat

60 spesies hydromedusae yang mendiami pantai Washington dan

Biritish Columbia. Kebanyakan hidup di perairan permukaan dimana

keberadaan pycnoclines, yang umum disebabkan oleh air-tawar

permukaan yang ada di atas air dengan salinitas lebih tinggi, bisa

memberikan tantangan bagi penjagaan buoyancy yang lebih baik atau

tantangan untuk pergerakan dalam lapisan-lapisan salinitas. Penelitian

di Pacific Biological Station, British Columbia terhadap spesies hydroid

Clytia gregaria (Phialidum gregarium) dan Sarsia tubulosa menunjukkan

bahwa medusa nya mampu mengindera dikonstinuitas salinitas hingga

2o/oo . Bahwa diskontinuitas tersebut tidak bertindak sebagai kendala

58
fisik dibuktikan dengan membuat lapisan-lapisan salinitas di sekitar yang

berdensitas sama dengan tambahan sukrosa ke larutan yang kurang

saline. Medusa dengan mudah melewati batas tersebut.

Kumpulan medusa Sarsia tabulosa dalam air di seputar Friday

Harbor Laboratories menunjukkan kebanyakan individu kurang padat

dibanding air laut. Dengan memotong tentakel dan manubrium, peneliti

menunjukkan bahwa lonceng (bell) tersebutlah yang merupakan struktur

pengapung, karena bagian yang dipotong tenggelam. Jika ditempatkan

di air laut encer ke bawah hingga 20o/oo medusa juga bisa

mendapatkan buoyancy netral atau positif dalam beberapa jam,

kemungkinan dengan dikeluarkannya ion-ion sulfat.

Dalam salah satu penelitian, efek gradien-gradien salinitas

terhadap buoyancy dari 9 spesies hydromedusa diuji di Friday Harbor

Laboratories, Washington. Spesimen-spesimen uji ditempatkan dalam

beaker gelas yang mengandung air laut salinitas berbeda dengan

kisaran 19-38o/oo dan diamati hingga 48 jam. Setelah ini, terlepas dari

akomodasi buoyancy telah terjadi atau tidak, medusa kembali ke air laut

alami dengan salinitas sekitar 30 o/oo dan kembali diamati. Dalam salah

satu eksperimen, spesimen Aequorea victoria ditempatkan dalam 5

salinitas berbeda yang berkisar mulai dari 75-127% selama 24 jam, dan

sampel-sampel jaringan diambil untuk analisis osmolalitas mesogleal.

Hasilnya menunjukkan osmokonformasi umum pada kisaran salinitas

59
yang diuji, tetapi dengan kecenderungan hypoosmotisitas ringan (lihat

gambar).

Gambar di atas menunjukkan bahwa spesimen-spesimen yang

berpindah dari air laut normal ke air laut yang lebih asam tenggelam

pada awalnya karena densitas yang lebih besar dan kemudian, setelah

menyesuaikan diri secara osmotic dan mendapatkan kembali buoyancy

kesetimbangan, mulai berenang bebas dalam beaker gelas percobaan.

Sebaliknya, spesimen-spesimen yang ditransfer ke air dengan salinitas

lebih tinggi awalnya mengapung ke permukaan, tetapi kemudian

mendapatkan kembali densitas keseimbangan dan juga berenang


bebas. Air dengan salinitas terendah (19o/ oo) dapat mematikan bagi

banyak spesies, sementara penyesuaian osmotic pada salinitas tes lain

dicapai oleh kebanyakan spesies dalam 1-10 jam. Berdasarkan hasil ini

dan hasil lainnya para peneliti menganjurkan bahwa medusa mungkin

tidak mampu melintas gradient densitas tajam tetapi, jika berhasil,

kemampuan mereka untuk beradaptasi akan memungkinkan mereka

melanjutkan aktivitas normal dalam waktu singkat.

Salah satu penelitian terkait oleh kelompok peneliti yang sama

menguji apakah eksklusi ion-ion sulfat terlibat dalam regulasi buoyancy

dan begitu juga dalam hal migrasi vertikal beberapa spesies

hidromedusa yang ditemukan di sekitar Puget sound, Washington dan

Barkley Sound, British Columbia. Para peneliti menemukan perbedaan

60
signifikan dalam hal konsentrasi ion sulfat pada spesies-spesies

berbeda yang diuji, tetapi tidak ada bukti perubahan siang/malam yang

signifikan pada konsentrasi ion, sehingga menandakan bahwa migrasi

vertikal bisa dicapai hanya dengan berenang.

Peningkatan insidens kondisi-kondisi hipoksik dilingkungan laut

telah mendorong parapeneliti dari Evergreen State College, Washington

untuk menyelidiki kinerja metabolik dan kelangsungan hidup pada

kondisi-kondisi hipoksik pada 12 spesies hydroid. Hasilnya

menunjukkan bahwa setengah spesies memiliki karakteristik

oxyregulating pada berbagai kejenuhan oksigen mulai dari 0-80%,

sementara setengah lainnya memiliki karakteristik oxyconforming.

Catatan untuk hydroid A. victoria yang memiliki karakteristik

oxyregulating, penurunan laju respirasi secara signifikan pada

konsentrasi oksigen kurang dari sekitar 10% kejenuhan. Kelangsungan

hidup pada kondisi anoksia, seperti yang diperkirakan, lebih besar pada

spesies oxyregulating dibanding pada spesies oxyconforming. Misalnya,

2 spesies yang ditunjukkan pada gambar, kelangsungan hidup adalah

100% untuk A. victoria oxyregulating dan 25% untuk E. flammea

oxyconforming. Menariknya, semua spesies oxyconforming memiliki

aperture velar yang sempit yang cenderung membatasi pertukaran

diantara kavitas-kativas sub-umbrella dengan air laut sekitarnya.

Sebagai konsekuensinya, volume sub-umbrellar menjadi lebih cepat

61
kekurangan oksigen. Kebanyakan dari spesies oxyconforming juga lebih

pasif dibanding oxyreglating, sehingga semakin memperburuk efeknya.

Masih sedikit yang diketahui tentang ekologi fase-fase polip

hydroid, khususnya yang ada di pantai barat, dan bahkan lebih sedikit

lagi tentang spesies non-natif. Ini mendorong para peneliti di University

of California, Davis yang menggunakan 3 spesies di 5 tempat di Estuari

San Francisco. Mereka menggunakan plat tenggelam untuk merekam

pengendapan dan distribusi dalam periode penelitian satu tahun, dan

memantau beberapa parameter abiotik yang kemungkinan terkait

dengan pola-pola ini, termasuk suhu, salinitas, kedalaman, transparansi

air, dan oksigen terlarut. Peneliti menggunakan analisis untuk

mengeksplorasi hubungan antara parameter-parameter kualitas air ini

dengan pola-pola perekrutan. Hasilnya menunjukkan perbedaan

spesifik-spesies dalam hal perekrutan polip dari 3 spesies, dimana

Moerisia sp lebih menyukai area dengan oksigen terlarut tinggi,

Blackfordia virgnica menyukai area dengan salitas relatif tinggi,

transparansi air tinggi, dan suhu tinggi, serta kedalaman lebih besar,

dan Cordylophora caspia meyukai area dengan kadar sedang-hingga-

tinggi dari parameter-parameter ini. Ketiga spesies berbeda signifikan

dalam hal korelasi distribusi dengan variabel-variabel lingkungan yang

diukur.

62
Sejumlah eksperimen laboratorium di Universitas California, Davis

untuki menentukan efek suhu dan salinitas terhadap pertumuhan

populasi hydroid seperti Cordylophora caspia, menunjukkan bahwa

meskipun peningkatan suhu mengarah pada tingginya pertumbuhan

populasi, namun peningkatan salinitas hanya memiliki sedikit pengaruh.

Makanan, Feeding, & Pertumbuhan

Semua Cnidaria bergantung pada nematosist-nya untuk

penangkapan makanan dan untuk pertahanan. Ujung-ujung yang

menonjol dari polip hydroid Coryne sp. Mengandung sel-sel penyengat

kuat, diantaranya yang bisa menyebabkan ruam persisten dan

terkadang nyeri ketika tersentuh oleh manusia. Pada penampang

melintang, setiap benjolan kecil pada knob tersebut merupakan

nematosist tunggal yang termuat dalam sebuah sel besar atau

nematosist. Jenis nematosist ini adalah tipe penetrative, atau stenotele.

Ia memiliki kapsul bulbosa yang terisi dengan material protein toksik

yang bersifat hygroskopis, yakni, mudah menyerap air. Keluarnya

nematosist umum memerlukan 2 stimulus, satu stimulus kimia dan satu

stimulus fisik, dimana stimulus fisik ini adalah sentuhan pada pemicu

kecil atau knidosil pada ujung yang menonjol dari nematosist. Ketika ada

krustasea kecil atau mangsa lain yang menyentuh knidosil tersebut,

kapsul akan menjadi bisa ditembus air, tekanan terbentuk, kelopak

63
terbuka, dan untai terpilin internal terlepas secara eksplosif. Utas

tersebut membuka seperti jejari sarung tangan karet yang ditiup.

Lancipan dan bulu-bulu yang sebelumnya berada di dalam utas

sekarang berada di luar, dan bulu-bulu tersebut membantu dalam

penetrasi utas. Walaupun cita-rasa mangsa dan sentuhan merupakan

stimulus proksimal yang mengarha pada tebukanya nematosist, namun

diduga bahwa pada akhirnya nematosist dikendalikan oleh sistem

kontrol saraf. Keluarnya nematosist hanya terjadi beberapa milidetik dan

merupakan salah satu respon tercepat yang dikenal dalam dunia hewan.

Ujung utas berakselerasi pada 40.000g.

Polip dari hydroid seperti Obelia spp didukung oleh eksoskeleton

polisakarida yang disekresikan oleh epidermis di bawahnya. Sebuah

penelitian di Friday Harbor Laboratories, Washington tentang

pertumbuhan awal embrio dalam polip hydroid kolni Clyti gregaria

dengan menggunakan teknik staining histokimia menunjukkan bahwa

selama perkembangan awal, banyak polisakarida yang termuat dalam

telur, blastula, gastrula, dan planula motil. Seperti terlihat pada gambar,

sel-sel epidermis yang membentuk planula memiliki distribusi

polisakarida yang merata, tetapi ada pemusatan sel-sel polisakarida ini

di ujung anterior yang tumpul. Selama pengendapan, planula melekat

pada ujung anteriornya, dan mulai mensekresikan bahan kitin keras

yang pada akhirnya membentuk perisarc. Sebuah lubang muncul pada

64
lokasi yang sebelumnya merupakan ujung posterior. Perisarc

memanjang, membentuk anulasi, dan menjadi polip feeding pertama

atau primer (hydranth). Pada saat tersebut semua sel epitel juga

kehilangan staining polisakarida secara intens.

Gambar 34. Coryne sp. Hydroid dengan kelompok nematosit pada


tentakel (Kass-Simon dan Scappatici, 2002)

Sebuah penelitian tentang perilaku beberapa spesies

hydromedusae di Friday Harbor Laboratories, Washington menunjukkan

65
bahwa spesies-spesies khusus ini tidak secara aktif menangkap

makanan mereka seperti yang terjadi pada spesies lain; justru, mereka

tampak bergantung pada kontak secara kebetulan dengan mangsa

mereka. Kontak dengan makanan akan memicu respon menggenggam

dari tentakel, diikuti dengan pembengkokan margin lonceng (bell)

menuju ke manubrium, yang juga membengkok untuk membuat kontak

dengan manubrium. Makanan umumnya mencakup krustasea kecil dan

cacing. Dengan menggunakan dye merah-tua yang ditambahkan ke

bahan makanan yang cocok seperti ikan atau kerang, peneliti

menunjukkan bahwa dalam 30 menit zat makanan telah berpindah ke

seluruh sistem gastrovaskuler dan dicerna oleh sel-sel gastrodermal

(lihat gambar). Beberapa spesies, seperti Sarsia mirabilis, memiliki area

yang meluas di dekat ujung manubrial yang kadang-kadang disebut

sebagai perut. Pada kebanyakan medusa lain, perut merupakan area

terekspansi dalam puncak lonceng.

66
BAB VII

BIOEKOLOGI HYDROID Aglaophenia

Magdalena Litaay

Distribusi dan Sebaran Hydroid Famili Aglaopheniidae

Hydroid Aglaophenia merupakan salah satu anggota famili

Aglaopheniidae. Hydroid Aglaopheniidae (Marktanner-Turneretscher,

1890) merupakan salah satu kelompok famili terbesar dari hydrozoa,

terdiri dari delapan genera and lebih dari 250 species yang telah

terdiskripsi (Bouillon et al. 2006). Genus dari famili ini ditentukan

berdasarkan morfologi apparatus reproduksi (gonosome) disamping

karakter morfologi umum dari koloni (trophosome) (Allman 1883;

Nutting 1900; Millard 1975; Calder 1997; Bouillon et al. 2006).

Menurut Lecl_ere et al. 2007, 2009, karakter morfologi gonosome

dan siklus hidup hydrozoa saat ini menunjukan beberapa kasus

plesiomorphy and evolusi convergen. Olehnya Postaire et al 2016

menyatakan penggunaan karakter tersebut untuk identifikasi genera

anggota famili Aglaopheniidae sekarang dipertanyakan. Sebagai contoh,

hasil penelitian berdasarkan filogeni molekular famili ini (Moura et al.

2012), menunjukan bahwa berdasarkan 25 putative species dari enam

genera, terutama yang menggunakan monofili dari beberapa genera

bukan berdasarkan morfologi gonosome. Selanjutnya Moura et al.

67
(2012) mempelajari sejumlah besar species, namun kebanyakan sampel

berasal dari daerah temperata dari samudera Atlantik dan laut

Mediterranean, menunjukan bahwa diversitas phyletik diantara famili

Aglaopheniidae kemungkinan tidak lengkap. Hal ini sudah disebut

sebelumnya dalam publikasi Nutting (1900) bahwa diversitas famili

Aglaopheniidae (penulis menyebutkan family Statoplea) secara khusus

tinggi di daerah tropis samudera Atlantik (West Indies). Sejak saat itu,

banyak studi dilakukan dan publikasi telah menunjukkan bahwa

diversitas famili Aglaopheniidae melimpah pada kawasan laut tropis,

terutama pada daerah terumbu karang (Vervoort 1967; Calder 1997;

Schuchert 2003; Gravier-Bonnet & Bourmaud 2006a,b, 2012; Di Camillo

et al. 2008). Penelitian terbaru oleh Postaire et al 2016 meguatkan

informasi tentang distribusi dan keanekaragaman famili Aglaopheniidae

pada kawasan tropis di Indo-Pacifik.

A. cupressina adalah spesis yang sangat khas dan menjadikannya

mudah dalam identifikasi. Koloni-koloni sering dijumpai pada area yang

sangat dangkal. Bentuk morfologi jenis ini mudah dikenal karena

bentuknya seperti kipas, namun karena sengatannya yang menyakitkan.

Morfologi hydroid A. cupressina Lamoureoux, membentuk koloni-koloni

berukuran besar, 7-20 cm, bercabang hingga empat tingkatan,

percabangan seringkali pada satu bidang, biasanya sebuah pusat

sumbu utama (batang primer) tebal dengan dua percabangan lateral

68
pada sisinya, percabangan saling berdekatan berlawanan, secara tetap

berjarak-jarak, beberapa percabangan sisi-sisi ini bercabang lagi serupa

dengan sumbu utama. Batang utama dan semua percabangannya

dengan tebalnya berbentuk polysiphonic (terdiri atas berbagai tabung

penyokong tubuh), hanya perenggangan yang sangat pendek pada

ujung distal berbentuk monosiphonic (terdiri atas tabung tunggal

penyokong tubuh), bagian-bagian polysiphonic tersusun dari sebuah

tabung utama superficial dan sekumpulan tabung-tabung pembantu.

Titik-titik percabangan dari tabung utama selalu ditumbuhi oleh

beberapa tabung-tabung pembantu. Tabung-tabung utama

tersegmentasi pada bagian-bagian ujung (terminal), tiap-tiap segmen

dengan sebuah apophysis dari hydrocladium dan dua nemathothecae

pada sisi dari apophysis. Tabung-tabung utama biasanya dengan

hydrohydrocladia, tapi semua ini kemungkinan rusak pada bagian

proximal dari batang. Stolon-stolon kusut, bergerak dengan perlahan,

koloni berlekat pada substrat padat. Bagian dalam dari periderm dalam

suatu koloni dengan padatnya ditutupi dengan satu macam

zooxanthelae berbentuk bola (sperichal), berukuran 7- 9 µm (Schuchert,

2003).

69
Sebaran dan Distribusi Hydroid A. cupressina Lamoureoux

Hydroid Aglaophenia cupressina tersebar meluas pada daerah

tropis Indo-Pasifik. Menariknya, tidak diketahui kehadirannya pada

pulau-pulau kecil di kawasan tropis Pasifik (Polynesia). Penyebarannya

mulai dari Zanzibar dan Mozambique di Afrika hingga kawasan Karang

Penghalang Raksasasa (Great Barrier Reef), Indonesia, Papua Nugini,

Filiphina, Jepang dan Laut Okhotsk. Bahkan tampak pada area sangat

dangkal (1 meter) (Schuchert, 2003). Tetapi ditemukan juga pada

kedalaman 564 m (Billard, 1913 dalam Schuchert, 2003). Spesies ini

merupakan tipe lokal Hindia Belanda (East Indies) (Lamouroux, 1816

dalam Schuchert, 2003).

Hewan ini hidup sebagai hewan yang berenang bebas maupun

menempel pada substrat keras seperti batu-batuan, tiang-tiang

pelabuhan dan pasir. Hewan ini menyebar dari daerah tropis sampai

subtropis. Catatan tentang hydroid Aglaophenia cupressina di kawasan

Indonesia timur telah ada sejak awal abad ke 20. Penelitian tentang

penamaan Hydroid telah dilakukan cukup lama, seperti dalam expedisi

Danish tahun 1922 di Kepulauan Kei, Indonesia. Beberapa nama

Hydroid dari perairan Maluku telah diberikan oleh Pieter dan Bedot,

1890 yang telah direvisi. Sejak awal abad ke 20, terdapat 15 spesies

hydroid tercatat dari perairan Indonesia (Kozloff, 1990).

70
Gambar 35. Koloni Hydroid A. Cupressina Lamoureoux
(www.lightandmation.com, 2014)

Faktor Pembatas Penyebaran Hydroid Aglaophenia cupressina

Lamoureoux

Penelitian sebelumnya menununjukan sekitar 3000 species

Hydroid di temukan hidup di perairan laut, yang dalam siklus hidupnya,

kelas ini mengalami tahap polip medusa. Penyebaran dari daerah

peraian dangkal sampai kedalaman sampai laut dalam. Hewan ini hidup

sebagai hewan yang berenang bebas maupun menempel pada substrat

keras, seperti batu-batuan, tiang-tiang pelabuhan, pasir dan hewan ini

menyebar dari daerah tropis sampai subtropics (Kozloff, 1990).

Hydroid merupakan salah satu penyusun terumbu karang. Oleh

kerena itu, pengaruh-pengaruh lingkungan terhadap terumbu karang

secara tidak langsung dapat memengaruhi perkembangan hydroid yang

hidup pada terumbu karang tersebut. Terumbu karang umumnya dapat

71
berkembang dengan baik di daerah tropic, yaitu pada perairan yang

dibatasi oleh permukaan isotherm (20°C). organisme hydroid

membutuhkan suhu kira-kira 25°C – 28°C untuk pertumbuhan

optimalnya. Sedangkan faktor salinitas yang sesuai untuk pertumbuhan

terumbu karang adalah 25–40°/oo (Wilkinson & Baker, 1994).

Faktor lain yang memengaruhi perkembangan organisme terumbu

karang adalah kedalaman, kekeruhan dan cahaya. Pada kondisi terlalu

dalam atau terlalu keruh penetrasi cahaya matahari ke dalam terumbu

akan berkurang. Akibatnya cahaya yang diperlukan oleh zooxanthella

untuk berfotosinteis berkurang dan mempengaruhi kemampuannya

untuk memproduksi unsur-unsur nutrisi yang diperlukan oleh organisme

terumbu. Keadaan ini dapat mempengaruhi organisme penyusun

terumbu karang lain yang sangat membutuhkan nutrisi ini untuk

pertumbuhannya. Selain itu, sedimentasi atau pengendapan pada

kawasan terumbu karang dapat menyebabkan struktur pemberian

makanan dari organisme tertutup sehingga transportasi makanan akan

terganggu. Adanya gerakan air atau arus akan menyebabkan aliran

suplai makanan jasad renik dan oksigen terjadi dan organisme dapat

terhindar dari timbunan endapan (Kozloff, 1990).

Hampir di seluruh dunia dengan penyelaman diketahui bahwa

polip atau hydroid ditemukan hidup melekat pada terumbu karang

dengan substrat berkarang. Sedangkan medusa yang berenang bebas

72
umumnya ditemukan pada pantai. Hasil ekspedisi Snellius,

menunjukkan bahwa hydroid umumnya ditemukan pada lokasi yang

berbeda pada kedalaman 2-15 m atau 50-100 m dan secara langsung

pada terumbu karang atau air dalam di sekitar pulau. Materi-materi yang

telah di peroleh selama ekspedisi diketahui bahwa polip umumnya

tersebar secara luas di perairan tropis dan sub tropik.

Perilaku dan Migrasi

Migrasi vertikal merupakan karakteristik umum dalam perilaku

berbagai spesies hydroid. Kebanyakan spesies melakukan perjalanan

50 meter atau kurang, ada yang hingga 10 kali lebih jauh; sementara

yang lainnya tidak bergerak sama sekali. Observasi terhadap 7 spesies

hydromedusae dari San Juan Islands, Washington dalam sebuah tangki

eksperimen tinggi 2 m menunjukkan bahwa kebanyakan spesies

melakukan migrasi vertikal dan itu dilakukan dengan berenang. Cahaya

tampak sebagai faktor proksimal yang memicu migrasi, bahkan pada

spesies yang diketahui tidak memiliki fotoreseptor.

Perpindahan/pergerakan medusa, baik schypomedusae atau

hydromedusa, adalah dengan propulsi jet. Kebanyakan bell

hydromedusan terdiri dari mesoglea non-seluler transparan yang

dilintasi oleh berbagai serat yang tertata secara radial.

73
Jaringan kontraktil sirkuler pada permukaan subumbrela

mentenagai siklus tenaga jet. Kontraksi jaringan ini mengurangi

diameter bell dan mendorong air keluar dalam sebuah jet. Selama

kontraksi bell tidak berubah panjangnya, tetapi mesoglea mengalami

deformasi yang tidak merata di seputar lingkar bell dan ada lipatan yang

terjadi. Bagian pemulian dari siklus propulsive ini terjadi secara pasif,

ditenagai oleh energi potensial yang tersimpan selama deformasi bell.

Tidak ada energi yang digunakan untuk mengekspansi-ulang bell.

Penelitian di Bamfield Marine Sciences Centre, Britis Columbia terhadap

hydromedusa Polyorchis penicillatus menunjukkan bahwa kebanyakan,

jika tidak semua, dari energi potensial tersimpan disimpan sebagai

energi regangan dalam serat-serat radial mesoglea. Dalam penelitian

tersebut, peneliti menentukan energi mekanik yang dihasilkan selama

siklus jet hydromedusa.

Predator dan Pertahanan Diri

Meskipun dengan adanya zat kimia yang tidak disukai dan

nematosist pada hydroid, namun banyak spesies yang menganggap

hydroid ini lezat sebagai mangsa. Apakah pertahanan hydroid tidak

efektif? Jawabannya tampaknya “ya” untuk tentakel penangkap-mangsa

reguler hydroid yang mengandung nematosist berukuran kecil, tetapi

“tidak” untuk tentakel khusus yang dikenal sebagai knidofora, yang

74
mengandung nematosist kuat dan berukuran besar. Beberapa penelitian

terhadap spesies di Mediterania menunjukkan bahwa jika knidofora

disentuh oleh cerata sebuah pemangsa, dalam hitunga detik ada ada

pelepasan nematosist secara masif. Ini melekat ke kulit keras dan bisa

menyebabkan kerusakan jaringan pada area tersebut.

Pemeriksaan yang dilakukan terhadap feses nudibranchia setelah

memangsa hydroid menunjukkan banyak nematosist, sehingga predator

ini jelas terpapar terhadap nematosist penyengat pada saat dia

menyerang dan memakan mangsanya. Gambar-gambar berikut

menunjukkan beberapa spesies nudibranchia yang memangsa atau

berinteraksi dengan hydroid.

Gambar 36. Aeolid dengan hydroid Corymorpha sp. Mulut predator


berada pada posisi jam 11. Titik-titik putih merupakan
telur aeolid.

75
Gambar 37. Flabellina picta memakan hydroid Tubularia dan
Eudendrium.

Hydroid memiliki mekanisme pertahanan diri terhadap predator

maupun pada kondisi lingkungan yang tidak normal atau kondusif.

Mekanisme pertahanan diri ini dimungkinkan melalui produksi metabolit

sekunder. Berbagai penelitian sebelumnya memperlihatkan Hydroid,

invertebrata laut dari filum coelenterata yang hidup menempel pada

spons, kaya akan senyawa kimia seperti: alkaloid, steroid, terpenoid,

histamine yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan.

Hydroid memiliki senyawa bioaktif yang paling menjanjikan untuk

diisolasi bagi kepentingan pengobatan penyakit manusia. Hasil isolasi

dan karakterisasi metabolit sekunder hydroid Aglaophenia cupressina

Lamouroux, menemukan salah satu senyawa bioaktif dari golongan

steroid yaitu β-sitosterol, diduga senyawa tersebut memiliki aktivitas

antimitotik.

76
BAB VIII TOKSIKOLOGI

HYDROID

Eva Johannes dan Mustika Tuwo

Spesies hydroid yang paling signifikan secara toksikologis adalah

karang api (Millepora spp.) dan Portuguese man-of-war (Physalia spp.).

Spesies hydroid yang kurang umum lainnya yang memiliki efek

kesehatan merugikan mencakup Gonionemus vertens Agassiz yang

telah dilaporkan menghasilkan gejala-gejala sistemik yang mirip dengan

sindrom Irukandji di Jepang. Sengatan dari hydroid menghasilkan

beragam gejala mulai dari sensasi ringan hingga lesi yang sangat nyeri

(spesies Physalia) dan gejala-gejala sistemik parah (Gonionemus vertes

A. Agassiz).

Gonionemus vertens A. Agassiz

Spesies hydroid yang juga dikenal sebagai ubur-ubur berstrip

orange ini, tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden toksik yang serius

baru dilaporkan di Laut Jepang, utamanya selama bulan-bulan musim

panas. Loncengnya cukup kecil (5-25 mm) dengan banyak tentakel yang

melekat ke seluruh tepi lonceng. Gejala-gejala yang ditimbulkan akibat

sengatan hydroid ini mulai dari mulagia parah, fasciculasi otot, dan

arthralgia hingga rhinitis, lakrimasi, keparauan, batuk, dyspnea, dan

77
hypertensi ringan. Gejala-gejalanya berlangsung beberapa jam hingga

beberapa hari. Gejala-gejala neuropsikiatri (malaise, depresi, halusinasi)

berkorelasi dengan keterpaparan terhadap hydroid ini, tetapi tidak ada

biomarker untuk mendokumentasikan keracunan oleh spesies

Ginionemus.

Karang Api (Millepora spp)

Toksin dari karang api mengandung faktor hemolitik,

dermonekrotik, dan faktor-faktor mematikan. Ekstrak-ekstrak dari toksin

hydroid ini dapat menstimulasi kontraksi otot, kemungkinan sebagai

akibat dari peningkatan permeabilitas Ca++ melalui saluran Ca++

dependen-voltase tipe-L. Hydroid dari genus Millepora memiliki

nematosist, seperti anggota filum Knidaria lainnya. Setelah stimulasi

kimia atau mekanis, nematosist-nematosist ini akan mengeluarkan

toksin ke dalam kulit yang bersentuhan dengan hydroid tersebut. Proses

toksik terjadi ketika polip-polip yang mengandung nematosist keluar

melalui pori-pori dalam eksoskeleton. Kontak ekstremitas yang tidak

terlindungi dengan kebanyakan hydroid akan menghasilkan utamanya

cidera mekanis disertai dengan eritema, edema, dan pruritus.

Terkadang, lesi-lesi ini berkembang menjadi ulser dengan batas-batas

nekrotik tidak beraturan. Dengan tergantung pada tingkat keparahan

envenomasi, nyeri bisa terjadi langsung bersama dengan pruritus intens

78
dan bintul urtikaria 5-30 menit setelah envenomasi diikuti dengan

eritema, edema, dan vesikulasi dalam 6 jam. Kontak singkat kulit tak

terlindungi dengan karang api bisa menghasilkan sengatan yang lebih

serius yang lazimnya melibatkan empat tahapan berikut: 1) urtikaria

akut, 2) dermatitis vesikulobulosa akut, 3) dermatitis granulomatosa

akut; dan 4) dermatitis likenoid kronis. Pruritus bisa terus terjadi selama

berlangsungnya perubahan-perubahan likenifikasi kronis 3 pekan

setelah envenomasi. Penyembuhan mungkin memerlukan hingga 4

bulan dengan menyisakan sejumlah hiperpigmentasi dan parut.

Terkadang, nekrosis kulit bisa terjadi. Gejala-gejala sistematis (nyeri

abdominal, diare, demam, menggigil, spasme otot, malaise) tidak lazim,

dan tidak ada kematian yang sudah dilaporkan akibat keracunan karang

api.

Portuguese Man-of-War (Physalia spp.)

Komponen utama toksin Physalia physalis adalah physalitoxin

yang merupakan hemolysin kuat. Beberapa penelitian in vitro

menunjukkan bahwa toksin Portuguese man-of-war mengubah

membran plasma dan menyebabkan influks kalsium pada beberapa tipe

sel termasuk sel kardiak. Influks kalsium imbas-toksin ini menyertai

pelepasan laktat dehidrogenase intraseluler pada sebuah model hewan,

yang mena menandakan hilangnya integritas membran plasma dan

79
sitolisis. Toksin Physalia mengandung sebuah neurotoksin yang

menghasilkan nyeri intens dan menyebbakan vasodilasi imbas

prostaglandin in vivo dan in vitro. Toksin ini juga melepaskan histamin

dan endonuclease non-spesifik yang memecah DNA pada kisaran pH

yang luas.

Kedua ukuran nematosist pada tentakel-tentakel Physalia rata-rata

sekitar 10 um dan 23 um diameternya, beberapa penelitian in vitro

menunjukkan bahwa nematosist yang lebih kecil mengandung bisa,

sementara protein-protein yang dipisahkan dari nematosist yang lebih

besar menggunakan sitometri alir tidak menyebabkan toksisitas.

Reseptor pemicu sensori untuk nematosist Physalia adalah aparatus

knidosil.

Envenomasi oleh P. physalis yang melibatkan total panjang 9-12

kaki (3-4 m) pada ekstremitas atas terkait dengan onset cepat koma,

henti pernapasan, hipotensi, dan bradikardia parah. Seorang wanita 67

tahun dilaporkan meninggal dunia 5 hari setelah pneumonia pernafasan

dan kegagalan pernafasan tanpa sadarkan diri lagi.

80
BAB IX

PENGGOLONGAN SENYAWA KIMIA BAHAN ALAM

Eva Johannes

Keragaman struktur yang amat tinggi ini menyebabkan kesulitan

dalam mengidentifikasi struktur-struktur kimia yang ditemukan di alam.

Untuk mengatasi hal ini, ilmuwan melakukan penggolongan terhadap

senyawa bahan alam berdasarkan jalur biosintesisnya yang terdapat di

dalam organisme tersebut. Biosintesis dapat diartikan sebagai proses

sintesis senyawa bahan alam yang berlangsung di dalam organisme

hidup. Penggolongan senyawa kimia bahan alam, umumnya senyawa

ini digolongkan berdasarkan jalur biosintesisnya, yakni (1) jalur asetat,

(2) jalur sikimat, (3) mevalonat dan metilerithrol fosfat, dan (4) kombinasi

berbagai jalur. Contoh senyawa yang diperoleh dari kombinasi berbagai

jalur adalah alkaloid yang biasanya diturunkan dari asam amino.

81
Gambar 38. Jalur asetat dalam biosintesis senyawa asam lemak dan
poliketida (Dewick, P. M., 2009).

Biosintesis kedua golongan senyawa ini dimulai dari

asetilkoenzim-A dan malonilkoenzim-A, suatu jenis koenzim yang

terdapat di dalam beragam jenis organisme. Selanjutnya, kedua substrat

ini akan mengalami serangkaian reaksi enzimatik yang pada akhirnya

menghasilkan poliketida dan asam lemak.

82
Gambar 39. Jalur sikimat dalam biosintesis senyawa terpenoid dan
steroid (Dewick, P. M., 2009).

Dimulai dari D-erithrosa-4P yang secara singkat menghasilkan

empat prekursor utama, asam sikimat, asam protokatekuat, asam galat,

dan asam kuinat, yang melalui serangkaian reaksi enzimatik akan

diperoleh asam amino aromatik, fenil propanoid, dan flavonoid.

83
Gambar 40. Jalur sikimat dalam biosintesis senyawa terpenoid dan
steroid (Dewick, P. M., 2009).

Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa kontribusi kimia bahan

alam bagi kehidupan manusia amatlah besar. Bidang ini terbukti

memberikan kontribusi yang nyata terutama dalam membantu

menyelamatkan jutaan nyawa dari berbagai penyakit dan infeksi. Tentu

saja, bidang ini tidaklah dapat berdiri sendiri, ia membutuhkan kontribusi

terpadu dari berbagai bidang ilmu, hingga pada akhirnya akan

menghasilkan senyawa yang benar-benar dirasakan manfaatnya. Pada

artikel-artikel selanjutnya, penulis akan menunjukkan bagaimana bidang

lain terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dalam

84
perkembangan ilmu kimia bahan alam, juga akan dipaparkan

bagaimana keragaman struktur senyawa bahan alam akan

mempengaruhi aktivitas biologisnya.

85
BAB X

SENYAWA KIMIA HYDROID

Eva Johannes

Tridentatol A

Tridentatol A diisolasi dari hydroid T. marginata senyawa ini

penting dalam melindungi hydroid dari paparan UV yang mematikan.

Struktur molekul tridentatol A menunjukkan memiliki aktivitas

antioksidan. tridentatol A memiliki proteksi yang lebih baik terhadap

pembentukan lipid hidroperoksidasi terkonjugasi dalam LDL.

Tiga senyawa golongan dithiocarbamate baru dari hydroid laut

Tridentata marginata telah diisolasi. Kelas produk alam ini dinamakan

tridentatols. T. marginata menghasilkan tridentatol sebagai metabolit

sekunder yang memproteksi hydorid dari predator dan juga

melindunginya dari radiasi UV. Akan tetapi, disamping dua aktivitas

ekologi yang penting ini, juga mempunyai sifat kimia lain yang

menguntungkan hydroid. adanya gugus hydroxyl phenolic pada struktur

tridentatols menunjukkan bahwa masing-masing tridentatols dapat

melepaskan atom hydrogen untuk mengikat radikal bebas dengan baik.

Mekanisme yang digunakan tridentatol untuk memunculkan efek

aktioksidannya tidak diteliti, tapi kemungkin mirip dengan zat-zat fenolik

lanilla yang berfungsi sebagai antioksidan. Secara spesifik, gugus

86
hidroksil fenolik dari antioksidan fenol bisa memberikan atom hidrogen

untuk menghilangkan radikal bebas. Demikian juga, bisa disimpulkan

bahwa gugus fenolik tunggal dari tridentatol A dapat memberikan

sebuah atom hidrogen untuk menangkap radikal bebas dalam

menghambat oksidasi LDL. Efek antioksidan dari tridentatol A mirip

dengan efek zat fenolik . Sebagai contoh, obat-obat fenolik seperti

asetaminofen dan 5-aminosalisilat, yang masing-masing mengandung

satu gugus hidroksil fenolik sebagaimana tridentatol A, akan

menghilangkan radikal-radikal peroksil yang diperoleh dari AAPH dan

menghambat peroksidasi lipid membran yang dipengaruhi oleh zat besi /

askorbat. Dapat disimpulkan bahwa, tridentatol A merupakan sebuah

antoksidan kuat terhadap lipid peroksidasi dari LDL dan secara

significan lebih potensial dibanding vitamin E. Diperlukan penelitian-

penelitian tambahan untuk menelusuri potensi tridentatol A dan

tridentatol lain sebagai reagen terbaru untuk penelitian biokimia dasar.

Gambar 41. Struktur molekul Tridentatol A-C (Tahar, 2017)

87
Histamin

Histamin adalah respon kekebalan tubuh yang dilepaskan selama

reaksi alergi. Histamin dihasilkan oleh sel-sel yang dikenal sebagai sel

mast, suatu molekul protein dengan rumus kimia C5H9N3. Ketika kita

bersentuhan dengan alergen, seperti serbuk sari atau bulu binatang,

histamin dilepaskan oleh tubuh ke lokasi kontak. Tujuan dari respon ini

adalah untuk membantu tubuh mengatasi iritasi yang disebabkan oleh

alergen. Anehnya, histamin dilepaskan sebenarnya menyebabkan gejala

alergi. Selain itu, dalam kasus-kasus alergi parah, pelepasan histamin

dapat mematikan.

Histamin bertindak sebagai pembawa pesan, ke lokasi iritasi

untuk mengaktifkan respon tertentu di daerah tersebut. Secara kimiawi,

histamin bekerja dalam tubuh dengan cara mengikat reseptor khusus

pada molekul protein di berbagai bagian tubuh. Ketika terikat pada

reseptor, efek tertentu diproduksi, seperti peradangan atau peningkatan

produksi lendir. Reaksi alergi yang dialami seseorang tergantung pada

jumlah histamin dilepaskan. Ini bervariasi dari individu ke individu.

Histamin adalah turunan β-imidazoliletilamin yang pada dasarnya

terdapat di dalam seluruh jaringan mamalia. Kerja fisiologis utama

histamine berpusat pada system kardiovaskular, otot polos nonvascular,

kelenjar eksokrin, dan medula adrenal. Dalam pengetahuan umum ,

histamine berperan penting sebagai komponen “pembawa kimia” pada

88
berbagai jalur yang terlibat dalam organism multiseluler, yang

memungkinkan berkomunikasi secara efektif dan efisien. Keterbatasan

histanin dalam mediasi reaksi alergi dan hipersensitivitas serta regulasi

sekresi asam lambung memicu pengembangan golongan obat penting

yang berguna dalam pengobatan gejala-gejala yang disebabkan oleh

gangguan alergi dan hipersektretori lambung. (Wilson & Gisvold)

Produk histamin pada keadaan normal terdapat secara alami dan

berasal dari pertukaran zat histidin melalui proses dekarboksilasi secara

enzimatis.Asam amino histidin akan masuk ke dalam tubuh dari

makanan yang kaya akan protein dan telah dikonsumsi tubuh. Pada

berbagai jaringan tubuh, terutama pada usus halus, histidin akan diubah

menjadi histamin. Histamin juga bekerja sebagai

neurotransmitter.Histamin memegang peran utama pada sistem

peradangan atau inflamasi.

Hampir semua organ dan jaringan memiliki histamin dalam

keadaan terikat dan inaktif, terutama dalam sel-sel tertentu. Contoh sel

yang menimbun histamin adalah sel mast yang berbentuk menyerupai

bola-bola kecil berisi gelembung yang penuh dengan histamin dan zat

perantara lainnya. Sel mast ini banyak ditemukan pada bagian tubuh

yang terpapar dengan lingkungan luar, seperti kulit, lapisan mukosa

mata, hidung, saluran pernapasan, usus, dan juga terdapat dalam

leukosit basofil darah.

89
Gambar 41. Struktur molekul Histamine (Usman, 2006)

Histamin adalah suatu alkaloid yang disimpan didalam sel mast,

dan menimbulkan berbagai proses faalan dan patologik. Pelepasan

histamin terjadi akibat reaksi antigen-antibodi atau kontak antara lain

dengan obat, makanan, kimia, dan venom. Histamin ini kemudian akan

bereaksi dengan reseptornya yaitu H1 dan H2 yang tersebar di berbagai

jaringan tubuh. Perangsangan reseptor H1 menyebabkan kontraksi otot

polos, peningkatan permeabilitas kapiler dan reaksi mukus.

Perangsangan reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi asam

lambung.

Alkaloid.

Alkaloid adalah salah satu golongan senyawa bahan alam yang

memiliki keragaman struktur dalam jumlah yang banyak. Alkaloid yang

ditemukan di alam mempunyai aktivitas fisiologi tertentu, ada yang

sangat beracun tetapi adapula yang sangat berguna dalam pengobatan,

pengendalian hama dan sebagainya.

90
Manusia telah menggunakan alkaloid dalam pengobatan,

minuman teh, dan racun. Obat yang pertamakali diolah secara kimia

dari bahan alam adalah opium, diambil dari getah tumbuhan Papaver

somniverum, sebagai bahan obat yang berkhasiat analgetik dan

narkotika.

Gambar 42. Struktur Molekul Morfin (Usman, 2006)

Alkaloid adalah senyawa organik yang mengandung sedikitnya

satu unsur nitrogen, banyak ditemukan pada tumbuhan,

mikroorganisme, dan hewan dalam jumlah sedikit. Karena memiliki

unsur nitrogen sehingga kelompok senyawa ini besifat basa dan

umumnya berasa pahit. Berdasarkan sifat itulah kelompok senyawa ini

diberi naman alkaloid berarti yang berasal dari kata alkalis . Kedudukan

unsur nitrogen berpengaruh pada tingkat kebasaannya.,yang umumnya

dinyatakan sebagai senyawa basa mengandung satu atau lebih nitrogen

sebagai cincin heterosiklik. Sehubungan dengan sifat kebasaannya

mengakibatkan alkaloid dapat dengan mudah bereaksi dengan asam

91
dan membentuk garam. Karenanya alkaloid alam banyak ditemukan

sebagai garam dari berbagai asam organik.

Gambar 43. Alkaloid (Usman, 2006)

Alkaloid murni berbentuk padatan atau berupa Kristal tidak

berwarna. Beberapa diantaranya berupa cairan seperti nikotin dan

koniin, juga ada yang berbentuk amorf. Alkaloid memegang peranan

penting dalam bidang kesehatan dan biologi, sebagai contoh morfin

adalah jenis alkaloid yang dipasarkan secara komersil sejak tahun

1826.Alkaloid yang telah diisolasi dari bahan alam distandarkan menjadi

obat adalah aspirin dan kafein. Beberapa jenis alkaloid mempunyai

aktivitas sebagai antibakteri, antijamur, dan antikanker. Senyawa

alkaloid juga telah digunakan sebagai obat penyakit radang dan

sembelit .. Senyawa alkaloid juga telah diidentifikasi dari beberapa jenis

bunga karang sebagai senyawa atioksidan dari spons Callyspongia sp ,

dan turunan alkaloid kuinin yang memiliki sifat antimalaria.

Garam alkaloid dan alkaloid bebas biasanya berupa senyawa

padat dan berbentuk kristal tidak berwarna (berberina dan serpentina

berwarna kuning). Ada juga alkaloid yang berbentuk cair, seperti konina,

92
nikotina, dan higrina. Sebagian besar alkaloid mempunyai rasa yang

pahit. Alkaloid juga mempunyai sifat farmakologi. Sebagai contoh,

morfina sebagai pereda rasa sakit, reserfina sebagai obat penenang,

atrofina berfungsi sebagai antispamodia, kokain sebagai anestetik lokal,

dan strisina sebagai stimulan syaraf.

Senyawa alkaloid yang diisolasi dari Aglaophenia cupressina

Lamoureoux, adalah suatu senyawa yang diduga senyawa baru, dan

untuk sementara diberi nama Aglao E. Unhas. Berbentuk kristal putih,

titik leleh 55˚C-56˚C, yang memiliki 15 atom karbon dan 39 atom

hydrogen, satu gugus NH dalam cincin heterosiklik, senyawa tersebut

memiliki sifat toksisitas cukup tinggi(LC50)=133 µg/ml dan bersifat

antimikroba.

Gambar 44. Aglao E. Unhas (Johannes, 2008)

Terpenoid

Terpenoid adalah salah satu senyawa organik bahan alam yang

tersebar secara luas dalam tubuh mahluk hidup. Banyak diantaranya

telah diisolasi dan diketahui mempunyai manfaat fisiologi maupun

manfaat farmakologis misalnya minyak atsiri dapat berfungsi sebagai

93
antiseptik dan penenang. Azulen sebagai pencegah peradangan, Ύ-

lakton tak jenuh sebagai antitumor, geraniol sebagai hormon serangga.

Kebanyakan terpenoid mempunyaistruktur siklik dan mempunyai satu

gugus fungsi atau lebih. Terpenoid umumnya larut dalam lemak

dan terdapat dalam sitoplasma sel. Senyawa terpenoid terdiri atas

beberapa kelompok. Senyawa terpenoid ini adalah salah satu

senyawa kimia bahan alam yang banyak digunakan sebagai

obat.Sudah banyak peran terpenoid dari tumbuh-tumbuhanyang

diketahui seperti menghambat pertumbuhan tumbuhan pesaingnya

dan sebagai insektisida terhadap hewan tinggi.Untuk mengetahui

lebih jelas tentang senyawa terpenoid maka dibahas tentang

tinjauan umum terpenoid, klasifikasi dan fungsi terpenoid,

biosintesa terpenoid, identifikasi terpenoid, isolasi terpenoid

Terpenoid adalah senyawa yang hanya mengandung karbon

dan hidrogen, atau karbon, hidrogen dan oksigen yang bersifat

aromatis, sebagian terpenoid mengandung atom karbon yang

jumlahnya merupakan kelipatan lima.Penyelidikan kimia selanjutnya

menunjukan pula bahwa sebagian terpenoid mempunyai kerangka

karbon yang di bangun oleh dua atom atau lebih unit C5 yang disebut

isopren, unit unit isopren biasanya saling berkaitan dengan teratur,

dimana “kepala” dari unit satu berkaitan dengan “ekor” unit yang lain,

kepala adalah merupakan ujung terdekat kecabang metil dan ekor

94
merupakan ujung yang lain seperti yang ditunjukan pada gambar

berikut :

Kepala CH3 ekor

CH2 = C –CH = CH2

Fraksi yang paling mudah menguap biasanya dari golongan

terpenoid, yang mengandung 10 atom karbon. Fraksi yang mempunyai

titik didih lebih tinggi biasanya terpenoid yang mengandung 15 atom

karbon. Walaupun senyawa terpen ada dalam jumlah yang sangat besar

dan kerangkan molekulnya sangat beragam, namun senyawa ini dapat

dikenali dengan mudah melalui keteraturan monomernya yang terbentuk

dari isopren.

Susunan kepala-ke-ekor ini disebut kaidah isopren. Kaidah ini

merupakan ciri khas dari sebagian terpenoid sehingga dapat

dijadikan dasar penetapan terpenoid, sehingga dapat digunakan

sebagai dasar penetapan struktur terpenoid (Achmad, 1986, hal.4).

Terpenoid umumnya larut dalam lemakdan terdapat dalam

sitoplasma sel tumbuhan. Kebanyakan terpenoid alam mempunyai

struktur siklik dan mempunyai satu gugus pungsi atau lebih

(Harborne, 1987, hal. 124). Salah satu senyawaterpenoid adalah

taksodon dan vernomenin yang merupakan jenis terpenoid yang

95
mempunyai efek fisiologis terhadap manusia yaitu dapat menahan

pembelahan sel sehingga dapat menghalangi pertumbuhan tumor.

Hasil penelitian kimia menunjukkan bahwa sebagian besar

perpenoid mempunyai kerangka karbon yang dibangun oleh dua atau

lebih unit isopren. Unit C5 ini dinamakan isoprene karena kerangka

karbonnya sama seperti senyawa isopren.

Beberapa senyawa terpenoid berhasil diidentifikasi dari berbagai

jenis bunga karang diantaranya kelompok senyawa sesterpen, suatu

senyawa yang mempunyai atom C25, dibentuk dengan cara adisi kepala

ke ekor secara berurutan dari lima unit satuan isopren. Contoh senyawa

terpenoid yang berhasil diidentifikasi adalah saponin dan golongan

triterpenoid yang dikenal sebagai lupeol.

Senyawa terpenoid banyak yang berfungsi sebagai fungisida,

racun terhadap serangga, ada juga senyawa diterpenoid yang

berkerja sebagai obat anti tumor karena efek sitotoksiknya dan ada

yang mempunyai aktifitas antivirus (Robinson, 1995,

hal.153).4.TriterterpenoidTriterpenoid adalah senyawa yang kerangka

karbonnya berasal darienam satuan isopren dan secara

biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik yang disebut

skualen. Triterpenoid berupa senyawa tak berwarna, bernetuk kristal,

biasanya bertitik leleh tinggi (harborne, 1987, hal.147). Senyawa

triterpenoid dapat dikelompokan menjadi triterpenoid trisiklik, tetrasiklik

96
dan pentasiklik. Triterpenoid tetrasiklik menarik perhatian karena

berkaitan dengan biosintesa steroid, contohnya adalah lanosterol.

Triterpenoid pentasiklikmerupakan triterpenoid yang paling penting

dan tersebar luas, contohnya α-amirin dan β-amirin (gambar 5)

senyawa triterpenoid umumnya ditemukan pada tumbuhan berbiji

dan hewan (Robinson, 1995, hal. 153)

Steroid

Terdiri dari beberapa kelompok senyawa yang dikelompokkan atas

efek fisiologisnya. Steroid merupakan senyawa organik bahan alam

yang tergolong sebagai metabolit sekunder. Senyawa ini banyak

ditemukan pada jaringan tubuh manusia, hewan maupun tumbuhan.

Berdasarkan jenis dan organism yang menghasilkannya, maka steroid

dapat dikelompokkan sebagai zoosterol yaitu steroid yang berasal dari

manusia dan hewan, fitosterol berasal dari tumbuhan, mikosterol berasal

dari jamur dan marinsterol berasal dari organisme laut. Biosintesis

steroid merupakan kelanjutan dari triterpen setelah mengalami

penyusunan ulang membentuk kerangka siklopentana perhidrofenantren

sebagai kerangka dasar dan merupakan cirri khas dari kelompok

senyawa sterol. Jalur biogenetik pembentukan kelompok senyawa

steroid dikenal sebagai jalur asam mevalonat (Usman, 2012).

97
Senyawa-senyawa turunan steroid memiliki peran yang sangat

penting dalam kelangsungan hidup organism. Berbagai jenis hormon,

asam empedu dan senyawa anabolik adalah turunan steroid (Usman,

2012). Menurut Linder (2006), kolesterol adalah senyawa golongan

steroid dan hanya terdapat dalam lemak hewan, mempunyai peranan

penting sebagai penyusun plasma sel, lipoprotein plasma dan

merupakan precursor pembentukan asam empedu, hormone hormon

dan vitamin D.

Keragaman struktur molekul steroid dihasilkan melalui

transformasi struktur dan gugus fungsi steroid. Dalam hal ini melibatkan

berbagai reaksi kimia organik antara lain oksidasi, eliminasi, adisi,

kondensasi, penataan ulang.

Pembahasan tentang sterol hydroid sangat erat kaitannya dengan

biota lain seperti jamur, ganggang dan plankton. Hydroid sebagai hewan

penyaring, tidak hanya mengkonsumsi produk metabolik buangan dari

organisme laut lainnya tetapi juga mengkonsumsi langsung berbagai

organisme renik seperti ganggang merah (rhodophyceace), jamur dan

plankton. Telah diketahui ganggang menjadi sumber utama dari banyak

jenis sterol laut. Sebagian besar rhodophyceace mengandung kolesterol

sebagai konstituen utama dan beberapa jenis mengandung desmosterol

dalam jumlah besar bahkan merupakan sterol utama.

98
Gambar 45. Kolesterol (Berg, et al, 2012)

β sitosterol

β sitosterol merupakan turunan dari steroid memiliki kerangka

dasar berupa cincin siklopentana pehidrofenanten, berfungsi untuk

menghambat absorbsi kolesterol dari usus, meningkatkan ekskresi

garam-garam empedu atau menghindarkan esterifikasi kolesterol dalam

mukosa intestinal.

Senyawa steroid hasil isolasi dari hydroid A. cupressina

Lamoureoux adalah β-sitosterol berbentuk Kristal putih (bening), titik

leleh 138˚C-139˚C (Johannes, 2008). β-sitosterol memiliki struktur kimia

yang hampir sama dengan kolesterol, termasuk zat hipokolesterolemik

yang dapat menghambat absorpsi kolesterol oleh darah. Kolesterol yang

tidak terabsorpsi oleh darah tersebut kemudian akan terekskresikan

keluar tubuh, dan menyebabkan menurunnya kadar kolesterol dalam

darah.

99
Gambar 46. β-sitosterol (Usman, 2006)

β sitosterol digunakan sebagai senyawa antioksidan dengan cara

menstimulisasi enzim antioksidan dengan mengaktifkan jalur estrogen

reseptor P13 kinase. Antidiabetes β sitosterol mengurangi kadar

glukosa, nitrit oksida (NO) dan HbA 1c pada tikus yang diinduksi

streptozocin yang menyebabkan naiknya hormon insulin. β sitosterol

dan stigmasterol menunjukkan tidak adanya aktivitas hipoglisemia pada

aloxan tikus.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian β sitosterol berperan aktif

dalam pengobatan kanker prostat. Hasil penelitian Bhaskar et al (2010)

β sitosterol terbukti menjadi kemopreventif bagi penderita kanker usus

besar dan kanker payudara,karena dapat menghambat proliverasi sel

kanker melalui penurunan ekspresi ) β catenin dengan mengaktifkan

sinyal fas.

100
Asam Karboksilat

Asam karboksilat adalah senyawa organik yang identik dengan

gugus karboksil. Gugus karboksil adalah gugus gabungan dari gugus

karbonil dan hidroksil. Gugus ini terdiri dari dua atom okseigen, 1 atom

karbon, dan 1 atom hidrogen, -COOH. Gugus karboksil ini terikat pada

suatu gugus alkil (alkana yang kehilangan satu atom H).

Asam karboksilat mengandung gugus karbonil dan gugus

hidroksil. Walaupun gugus karboksilat merupakan gabungan gugus

karbonil dan gugus hidroksil, tetapi sifat-sifat gugus tersebut tidak

muncul dalam asam karboksilat karena menjadi satu kesatuan dengan

ciri tersendiri. Ester adalah turunan dari asam karboksilat dengan

mengganti gugus hidroksil oleh gugus alkoksi dari alkohol.

Asam karboksilat termasuk kedalam kelompok senyawa polar dan

ia membentuk ikatan hidrogen antar molekulnya. Jika asam ini

dilarutkan dalam air akan menghasilkan asam lemah yang sebagian

terionisasi menjadi ion H+ dan RCOO–.

Asam karboksilat memiliki gugus fungsional karboksil (–COOH)

dengan rumus umum :

101
Struktur Asam Karboksilat

Seperti apakah struktur dari asam karboksilat ini? Rumus dari

asam ini ada dua R-COOH dan Ar-COOH. R merupakan gugus alkil dan

Ar merupakan gugu Aril. Gugus alkil adalah senyawa alkana yang

kehilangan satu atom hidrogen sedangkan gugus aril adalah senyawa

benzena yang ada pada suatu molekul.

Gambar 47. Contoh Senyawa Karboksilat (Usman, 2006)

Ciri khas yang dimiliki oleh asam karboksilat adalah adanya gugus

karboksil (-COOH) yang merupakan gabungan dari gugus karbonil (-CO-

) dan gugus hidroksil (-OH), disingkat menjadi karboksil.

Asam Palmitat atau asam heksadekanoat

Asam karboksilat dari hasil isolasi hydroid A. cupressina

Lamoureoux adalah asam heksadekanoat berbentuk kristal putih

kekuningan, dengan titik leleh 43˚C-44˚C yang memiliki 16 karbon dan

32 atom hidrogen, memiliki sifat toksisitas sangat tinggi (LC50)= 29,54

µg/ml dan bersifat antibakteri.

102
Gambar 48. Asam Heksadekanoat (Johannes, 2008)

Asam palmitat atau asam heksadekanoat salah satu asam lemak

dengan rumus kimia CH3(CH2)14COOH tidak larut dalam air.

merupakan produk awal dalam proses biosintesis asam lemak. Dari

asam palmitat, pemanjangan atau penggandaan ikatan berlangsung

lebih anjut. Dalam industri, asam palmitat banyak dimanfaatkan dalam

bidang kosmetika dan pewarnaan. Dari segi gizi, asam palmitat

merupakan sumber kalori penting namun memiliki anti oksidasi yang

rendah. Asam palmitat secara alami diproduksi oleh berbagai tanaman

dan organisme, biasanya pada tingkat rendah. Ditemukan dalam

mentega, keju, susu dan daging juga serta cocoa butter, minyak kedelai

dan minyak bunga matahari. Asam palmitat digunakan untuk

menghasilkan sabun, kosmetik, dan agen rilis. Aplikasi ini

memanfaatkan natrium palmitat, yang umumnya diperoleh dengan

saponifikasi .Asam palmitat dan garam natrium digunakan secara luas

dalam bahan makanan. Sodium palmitat sebagai aditif alami dalam

103
produksi garam.. Hidrogenasi hasil asam palmitat setil alkohol, yang

digunakan untuk memproduksi deterjen dan kosmetik. obat antipsikotik

juga digunakan dalam pengobatan skizofrenia.

104
BAB XI BIOAKTIVITAS

SENYAWA

Eva Johannes dan Mustika Tuwo

Senyawa bioaktif adalah senyawa kimia bahan alam yang

mempunyai aktivitas biologi yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai

keperluan. Senyawa ini terdapat secara luas di alam dan tidak terbatas,

hingga saat ini penelusuran dan pencaharian masih terus dilakukan.

Banyak senyawa bioaktif berhasil diisolasi dari hewan maupun

tumbuhan, berguna sebagai insektisida, peptisida, antifungi, antibakteri,

dan antikanker.Bahkan beberapa diantaranya telah dijadikan molekul

rujukan “lead compound” dalam industri pada dunia pertanian dan obat-

obatan. Pemisahan komponen kimia dalam ekstrak organisme dapat

dilakukan dengan beberapa metode.

Ekstraksi Simplisia

Ekstraksi adalah mengeluarkan metabolit pertama dan kedua dari

sel jaringan organisme dengan menggunakan pelarut. Selama ekstraksi,

pelarut berdifusi ke dalam sel jaringan simplisia dan melarutkan

senyawaan dengan polaritas yang sama. Produk yang diperoleh dari

ekstraksi berupa campuran metabolit dalam keadaan cair atau setengah

padat atau dalam bentuk bubuk kering.

105
1. Syarat Ekstraksi meliputi maserasi, infus, perkolasi, pencernaan,

rebusan, soxhletasi, ekstraksi berfermentasi, ekstraksi arus

terbalik, ekstraksi gelombang mikro, ekstraksi sonikasi. Saat ini

telah dikembangkan sejumlah teknik ekstraksi yang sifatnya

khusus untuk menarik senyawa tertentu saja dari sel jaringan

simplisia. Untuk memperoleh ekstrak yang maksimal, aspek

kualitas dan kuantitas perlu diindahkan dalam penanganannya,

yaitu: (1) aspek kualitas; aspek ini meliputi bagian jaringan

simplisia yang digunakan sebagai bahan awal, pelarut yang

digunakan untuk ekstraksi, kadar air, luas permukaan simplisia,

dan prosedur ekstraksi. (2) aspek kuantitas; aspek ini mencakup

jenis ekstraksi, waktu ekstraksi, suhu, sifat pelarut, p pelarut,

konsentrasi pelarut, rasio pelarut terhadap sampel, dan polaritas

pelarut.

2. Pemilihan Pelarut Keberhasilan mendapatkan senyawa bioaktif

dari simplisia sebagian besar ditentukan oleh jenis pelarut yang

digunakan dalam proses ekstraksi. adalah toksisitas rendah,

kemudahan penguapan pada suhu rendah, efek pengawetan, dan

kemampuan pelarut untuk memisahkan metabolit. Faktor yang

mempengaruhi pemilihan pelarut adalah jumlah senyawa kimia

yang akan diekstraksi, laju ekstraksi, keragaman senyawa yang

akan diekstraksi, kemudahan penanganan ekstrak, toksisitas

106
pelarut dalam proses bioassay, potensi bahaya kesehatan dari

ekstrak.

Pelarut-pelarut yang umum digunakan dalam prosedur ekstraksi

adalah:

a. Air Air digunakan untuk mengekstrak simplisia dengan aktivitas

antimikroba. namun, ekstrak simplisia dari pelarut organik

memberikan aktivitas antimikroba lebih konsisten dibandingkan

dengan ekstrak air.

b. Aseton Aseton melarutkan banyak komponen hidrofilik dan lipofilik.

Aseton dapat bercampur dengan air, dan memiliki toksisitas rendah

terhadap bioassay. Aseton umum digunakan untuk studi antimikroba

dimana keberadaan senyawa fenolik diperlukan. Senyawaan fenolik,

tannin dan saponin yang menunjukkan bioaktif antimikroba banyak

diperoleh dari ekstrak yang diekstrak dari pelarut aseton.

c. Etanol. Etanol (umum lebih mengenalnya dengan nama alkohol) lebih

banyak melarutkan polifenol (fenolat) dibandingkan dengan pelarut

air. Ini berarti etanol lebih efisien menjebol dinding sel yang bersifat

tankutub dan menyebabkan polifenol keluar dari sel. Kuantitas

senyawa flavonoid lebih banyak diperoleh bila diekstraksi dengan

pelarut etanol 70% dibandingkan pelarut etanol murni. al ini

disebabkan penambahan air 30% menyebabkan polaritas etanol

meningkat, dan menyebabkan etanol lebih mudah menembus


107
membran sel untuk mengekstrak bahan intraseluler. Metanol lebih

polar dari etanol. amun, metanol memiliki sifat sitotoksik sehingga

tidak cocok dipakai untuk ekstraksi jenis metabolit tertentu karena

dapat menyebabkan hasil yang salah.

d. Kloroform Senyawaan tannin dan terpenoid banyak diperoleh dari

ekstrak yang diekstraksi dengan pelarut kloroform, baik secara

tunggal maupun secara berurutan dengan pelarut heksana, kloroform

dan methanol. Senyawaan tannin dan terpenoid terkonsentrasi pada

fraksi kloroform. e. Eter Eter umumnya digunakan secara selektif

untuk ekstraksi kumarin dan asam lemak.

e. Diklorometana Ekstrantan ini digunakan untuk ekstraksi selektif

terpenoid. Metoda Ekstraksi

Beberapa metoda ekstraksi simplisia yang umum digunakan

dalam bahan alam untuk memperoleh zat yang diinginkan diuraikan

sebagai berikut :

a. Omogenisasi simplisia omogenisasi simplisia dalam pelarut

merupakan metoda ekstraksi yang umum digunakan. Simplisia, baik

kering maupun basah, digiling dalam blender untuk memperoleh

ukuran yang lebih kecil. Simplisia yang telah halus tersebut

ditempatkan dalam suatu wadah, kemudian tuangkan pelarut ke

dalam wadah dimaksud, dan biarkan selama 24 jam, lalu campuran

disaring. Filtrat yang diperoleh dikeringkan dengan pengawa putar.


108
Residu yang diperoleh disimpan dalam botol untuk perlakuan

selanjutnya.

b. Ekstraksi berseri Metoda ini melibatkan penggunaan pelarut berturut-

turut dengan polaritas yang semakin meningkat dalam ekstraksi.

Mula-mula menggunakan pelarut tanpa kutub, lalu pelarut semikutub,

dan terakhir dengan pelarut kutub untuk mengambil senyawa dalam

simplisia. Metoda ini juga digunakan untuk mengambil metabolit

dalam simplisia berdasarkan meningkatnya konstanta dielektrika

pelarut.

c. Konstanta dielektrika diukur pada 25 C

d. Soxhletasi digunakan untuk mengambil senyawa tertentu saja yang

kelarutannya terbatas dalam suatu pelarut tanpa melarutkan senyawa

yang tidak diinginkan dari dalam simplisia. Jika senyawa yang

diinginkan memiliki kelarutan yang tinggi dalam pelarut, filtrasi

sederhana dapat digunakan untuk memisahkan senyawa yang

diinginkan tersebut dari zat yang tidak larut. Keuntungan dari metoda

ini adalah pelarut yang digunakan didaur ulang dalam sistem tanpa

penambahan kuantitasnya. Metoda ini tidak dapat digunakan untuk

senyawa tidak tahan panas karena dapat menyebabkan degradasi.

e. Maserasi, metoda ini dilakukan dengan menempatkan bubuk atau

pulp simplisia dalam suatu wadah, lalu pelarut ditambahkan ke dalam

wadah tersebut. Campuran diaduk-aduk hingga waktu tertentu.

109
Metode ini paling cocok digunakan dalam kasus senyawa tidak tahan

panas.

f. Rebusan, metode ini digunakan untuk ekstraksi metabolit yang tahan

panas. Metoda ini dilakukan dengan cara merebus simplisia dalam air

selama 15 menit, lalu didinginkan, dan disaring. Filtrat yang diperoleh

selanjutnya ditangani dengan pemisahan berdasarkan polaritas

pelarut.

g. Infus, metoda ini merupakan modifikasi metoda maserasi dimana

waktu yang digunakan untuk kontak antara simplisia dengan pelarut

air lebih pendek dan pelarutnya boleh air panas atau air dingin.

Perkolasi Metoda ini membutukan wadah yang bahagian samping

bawahnya ada keran buka tutup (wadah ini disebut perkulator).

Simplisia dibungkus dengan kertas saring, dan ikat longgar

bungkusan tersebut. Sisakan benang untuk menggantung bungkusan

nantinya. Bungkusan simplisia dibasahi dengan pelarut secukupnya,

dan ditempatkan dalam wadah perkulator. Usahakan ujung benang

yang bebas berada di luar perkulator melalui tutupnya. Biarkan

simplisia yang telah dibasahi pelarut selama 4 jam. Setelah waktu

tercapai, bungkusan simplisia digantung dalam wadah perkulator

dengan cara menarik ujung benang yang bebas ke atas. Pelarut

dituang hingga beberapa sentimeter di atas permukaan bungkusan,

lalu tutup dan biarkan selama 24 jam. Setelah batas waktu tercapai,

110
filtrat dikeluarkan dari perkulator dengan perlahan-lahan melalui

keran buka tutup hingga tersisa sepertiga volume sebelumnya.

Pelarut ditambahkan lagi ke dalam perkulator hingga beberapa

sentimeter di atas permukaan bungkusan simplisia, dan biarkan

selama 24 jam. Perlakuan seperti ini diulangi hingga tiga kali. Filtrat

yang diperoleh dari setiap kali perkulasi digabung, dan dievaporasi

dengan pengawa putar.

h. Sonikasi, metoda ini menggunakan perangkat ultrasonik dengan

frekuensi mulai dari 20 kz sampai 2000 kz. Pada frekuensi tersebut,

kemampuan menembus dinding sel oleh pelarut meningkat dan

menghasilkan lubang sehingga isi sel keluar. Metoda ini dilaporkan

memberikan efek merusak dari energi ultrasound (lebih dari 20 kz)

pada konstituen aktif simplisia melalui pembentukan radikal bebas

yang mengakibatkan perubahan dalam molekul.

Pemisahan Senyawa secara Kromatografi

Kromatografi merupakan pemisahan suatu senyawa yang

didasarkan atas perbedaan laju perpindahan dari komponen-komponen

dalam campuran.Pemisahan dengan metode kromatografi dilakukan

dengan cara memanfaatkan sifat-sifat fisik dari sampel, seperti

kelarutan, adsorbsi, keatsirian dan kepolaran.Kelarutan merupakan

kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan.Adsorpsi

111
penjerapan adalah kecenderungan molekul untuk melekat pada

permukaan serbuk halus (Sabino De Gisia, 2016).Berdasarkan jenis

fasa diam dan fasa gerak yang dipartisi, kromatografi dapat digolongkan

menjadi beberapa golongan.

Tabel 1. Penggolongan kromatografi berdasarkan fasa diam dan fasa

gerak.

Fasa diam Fasa gerak Sistem

kromatografi

Padat Cair Cair – adsorpsi

Padat Gas Gas – adsorpsi

Cair Cair Cair – partisi

Cair Gas Gas – partisi

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi Lapis Tipis adalah metode pemisahan fisikokimia.

yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkanpada

penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang

cocok.Campuranyang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa

bercak atau pita. Setelahpelat atau lapisan diletakan di dalam bejana

tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak),

pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan).

Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna Harus ditampakkan

112
Kromatogarafi Lapis Tipis merupakan cara analisis cepat yang

memerlukan bahan yang sedikit.

Kromatografi Lapis Tipis digunakan untuk memisahkan senyawa-

senyawa yang sifatnya hidrofob seperti lipida-lipida dan hidrokarbon.

Sebagai fase Diam digunakan senyawa yang tak bereaksi seperti silica

gel atau alumina.Silica gel biasa diberi pengikat yang dimaksudkan

untuk memberikan kekuatan pada lapisan dan menambah adesi pada

gelas penyokong. Pengikat yang biasa digunakan adalah kalsium sulfat

(Gareth J.Owensa., 2016). Metode sederhana dalam KLT adalah

dengan menggunakan nilai Retardation

factor (Rf) yang didefinisikan dengan persamaan :


�𝑎�𝑎���𝑎�������
� �ℎ� ��ℎ �����𝑎��𝑎
𝑅�=
�𝑎�𝑎���𝑎��� � ���𝑎��
𝑎����ℎ �
� �� �� 𝑎𝑎���������

Tetapi pada gugus-gugus yang besar dari senyawa-senyawa yang

susunannya mirip, seringkali harga Rf berdekatan satu sama lainnya.

Kromatografi Cair Vakum (KCV) Teknik KCV dilakukan dengan suatu

sistem yang bekerja pada kondisi vakum secara terus-menerus

sehingga diperoleh kerapatan kemasan yang maksimum atau

menggunakan tekanan rendah untuk meningkatkan laju alir fasa gerak.

Urutan eluen yang digunakan dalam kromatografi cair diawali dari eluen

yang mempunyai tingkat kepolaran rendah kemudian kepolarannya

ditingkatkan secara perlahan-lahan.Urutan eluen yang digunakan dalam

113
kromatografi diawali dari eluen yang mempunyai tingkat kepolaran

rendah kemudian kepolarannya ditingkatkan secara perlahan-lahan

Kromatogafi Kolom (KK)

Pada prinsipnya Kromatografi Kolom(KK) digunakan untuk

pemisahan campuran beberapa senyawa yang diperoleh dari isolasi

organisme. Dengan menggunakan fase padat dan fasa cair maka fraksi-

fraksi senyawa akan menghasilkan kemurnian yang cukup tinggi. Teknik

KK, pada dasarnya sama dengan KCV, yaitu merupakan kromatografi

cair-adsorpsi, hanya saja KK dilakukan pada sistem yang bekerja pada

kondisi normal tanpa vakum. Waktu yang dibutuhkan dalam

pelaksanaannya lebih lama, namun diharapkan akan mendapat hasil

dengan pemisahan yang lebih baik dan lebih murni.

Kromatografi Flash

Kromatografi Flash merupakan kromatografi yang teratur dengan

tekanan rendah (pada umumnya < 20 p.s.i.) digunakan sebagai

kekuatan bagi elusi bahan pelarut melalui suatu ruangan atau kolom

yang lebih cepat. Ini menghasilkan kualitas yang sedang, tetapi

pemisahan berlangsung cepat (10-15 menit).Pemisahan ini tidak sesuai

untuk pemisahan suatu campuran yang terdiri dari macam-macam zat,

tetapi sangat baik untuk memisahkan sedikit reaktan dari komponen

utama dalam sintesa organik.Tergantung dari ukuran kolom, berapa

114
gram sample dapat dilapisi dalam satu waktu (Siun Chee Tan and Beow

Chin Yiap. 2009.). Keistimewaan dari kolom-kolomnya adalah

panjangnya 30 sampai 45 cm, perubahan persediaan dari 250 ml ke

3000 ml dan untuk unit-unit dengan telanan yang lebih besar disediakan

martel epoksi untuk keselamatan.Pembungkus kolom biasanya

digunakan silica gel.Komponen-komponen ini biasanya dijaga oleh

pengapit atau disekrup bersama-sama.Setidak-tidaknya, pemisahan ini

harus dilakukan dibelakang pelindung keselamatan. Gelas atau kaca

frits tidak digunakan pada alas kolom karena terlalu banyak volume

yang macet di bawahnya. Serat kaca danpasir tidak digunakan sebagai

pengganti.

1. Analisis Kemurnian

Analisis kemurnian senyawa hasil isolasidilakukan dengan

kromatografi lapis tipis (KLT) danuji titik lebur. KLT dilakukan dengan

mengelusi larutan sampel yang ditotolkan pada lempeng silica gel 60

F254 dengan fase gerak berupa eluen etil asetat-heksan (4 : 6). Bercak

yang ada diamati dengan sinar tampak, UV254 dan UV366.Kemurnian

senyawa ditetapkan secara semi kuantitatif dengan densitometer pada

maks =347 nm (Irena Kralj Cigić and Helena Prosen. 2009 ).Senyawa

hasil analisis dikatakan murni apabila memberikan peak tunggal pada

KLT dengan berbagai Fase gerak (Suzan Mahmoud Soliman.2012 ).

Sedangkan titik lebur merupakan ciri penting senyawa organik

115
padat.Titik lebur memiliki arti penting dalam identifikasi dan pengukuran

kemurnian.Penggunaan untuk identifikasi didasarkan pada fakta bahwa

semua senyawa murni mempunyai titik lebur yang tajam, atau

mempunyai titik temperatur yang sangat kecil ketika berubah sempurna

dari padat ke cair. Selain itu, penggunaan titik lebur untuk identifikasi

juga didasarkan pada fakta bahwa senyawa yang tidak murni

menunjukkan 2 fenomena, pertama yaitu suhu lebur yang lebih rendah,

dan kedua memiliki jarak lebur yang lebih lebar. Alat yang digunakan

untuk menguji titik lebur suatu senyawa adalah termopan.Untuk

identifikasi kualitatif, titik lebur merupakan tetapan fisika yang penting

terutama untuk suatu senyawa hasil sintesis, isolasi, maupun kristalisasi

(Pehlic Ehkrem. 2011).

Rentang titik lebur suatu senyawa merupakan petunjuk kemurnian

dari suatu senyawa. Sebaliknya jika rentangan lebih besar dari harga

tersebut, dapat dikatakan bahwa senyawa tersebut kurang murni dan

dapat dilakukan tahap-tahap pemurnian lebih lanjut, misal

rekristalisasi.Titik lebur suatu kristal padat adalah suhu ketika padatan

mulai berubah menjadi cairan pada tekanan udara 1 atm. Jika suhu

dinaikkan, molekul senyawa akan menyerap energi. Makin tinggi suhu

makin banyak energi yang diserap maka akan menaikkan gerakan

vibrasi dan rotasi molekul. Jika suhu terus dinaikkan mengakibatkan

rusaknya molekul dan berubah dari padatan menjadi cairan.Pada

116
keadaan cairan molekul masih terikat satu dengan yang lainnya tetapi

sudah tidak teratur lagi (Pehlic Ehkrem. 2011 ).

2. Identifikasi Senyawa dan Penentuan Struktur

Suatu senyawa bahan alam hasil isolasi akan diidentifikasi

berdasarkan sifat fisika, sifat kimia dan identifikasi dengan spektroskopi.

Isolasi menggunakan metode standar tidak semua senyawa akan

terekstrak secara utuh, seperti yang terdapat dalam organisme

tersebut.Hal ini antara lain disebabkan karena struktur molekul dari

senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh organisme mempunyai variasi

yang sangat luas. Kenyataan ini dapat pula digunakan untuk mendalami

pengetahuan mengenai reaksi-reaksi organik (Cameron R. Pye, et

al.2017). Identifikasi senyawa metabolit sekunder dan elusidasi struktur

senyawa merupakan pekerjaan yang sangat menetukan dalam proses

mengenal, mengetahui, dan pada akhirnya menetapkan rumus molekul

yang sebenar nya dari senyawa tersebut.

3. Identifikasi secara Spektroskopi

Spektroskopi adalah ilmu yang mempelajari tentang cara

menganalisis spektrum suatu senyawa dan interaksi antara radiasi

elektromagnetik. Teknik spektroskopi adalah berdasarkan absorpsi dari

suatu senyawa organik dapat digunakan untuk menentukan struktur dari

senyawa organik tersebut (Asep Bayu, et al. 2019). Metode

117
spektroskopi yang dipakai pada penelitian ini yaitu, spektroskopi

inframerah (IM), danspektroskopi ultraungu-tampak (UV-VIS).

a. Spektoskopi Inframerah (IR)

Pada spektroskopi inframerah (IR), senyawa organik akan

menyerap berbagai frekuensi radiasi elektromagnetik inframerah.

Molekul-molekul senyawa akan menyerap sebagian atau seluruh

radiasinya. Penyerapan ini berhubungan dengan adanya

sejumlah vibrasi yang terkuantisasi dari atom atom yang berikatan

secara kovalen pada molekul-molekul itu.Penyerapan ini juga

berhubungan dengan adanya perubahan momen dipol dari ikatan

kovalen pada waktu terjadinya vibrasi (John Coates. 2013 ).

Penggunaan spektrum inframerah dalam menentukan struktur

senyawa organik berada antara 650-4000 cm-1. Daerah di bawah

frekuensi 650 cm -1 dinamakan daerah infra merah jauh dan

daerah di atas frekuensi 4000 cm -1 dinamakan infra merah dekat.

Daerah antara 1400-4000 cm -1 merupakan daerah khusus yang

berguna untuk identifikasi gugus fungsional. Daerah ini

menunjukkan absorpsi yang disebabkan oleh vibrasi uluran.

Daerah antara 1400-700 cm -1 (daerah sidik jari) seringkali sangat

rumit karena menunjukkan absorpsi yang disebabkan oleh vibrasi

uluran dan tekukan ( Coates. 2013).Karakteristik frekuensi uluran.

118
b. Spektroskopi Ultraungu-tampak (UV-VIS)

Dalam spektoskopi UV-VIS penyerapan sinar tampak dan

ultraviolet oleh suatu molekul akan menghasilkan transisi diantara

tingkat energi elektronik molekul tersebut. Transisi tersebut pada

umumnya antara orbital ikatan, orbital non-ikatan atau orbital anti-

ikatan. Panjang gelaombang serapan yang muncul merupakan

ukuran perbedaan tingkat-tingkat energi dari orbital suatu molekul

(Rutuja S Shah, et al. 2015). Metode spektroskopi ini berguna

untuk mengetahui jenis senyawa. Selain itu, kedudukan gugus

fungsi hidroksil pada inti senyawa dapat ditentukan dengan cara

menambahkan pereaksi geser ke dalam larutan cuplikan dan

mengamati pergeseran puncak yang terjadi Dengan menggunakan

data yang diperoleh dari analisis berdasarkan spektrofotometer

ultraviolet-visible ini kita dapat mengetahui absorptivitas molar

senyawa yang diperoleh. Absorptivitas molar senyawa dihitung

dengan menggunakan persamaan Lambert-Beer.

c. Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti (NMR)

Merupakan salah satu metode spektroskopi yang sangat

bermanfaat dalam penentuan struktur. Metode ini didasarkan pada

momen magnet dari inti atom. Inti tertentu menunjukkan perilaku

seolah-olah mereka berputar (spin). Bila inti dengan spin

diletakkan diantara kutub-kutub magnet yang sangat kuat, inti

119
akan mensejajarkan medan magnetiknya searah (paralel) atau

berlawanan (antiparalel) medan magnetik. Inti yang paling penting

untuk penentuan struktur senyawa organik yaitu 1H dan

13C.meskipun 12C dan 16O terdapat dalam kebanyakan senyawa

organik, unsur-unsur tersebut tidak memiliki spin dan tidak

memberikan spektrum NMR ( Fabian M Dayrit and Angel C de

Dios. 2017).

d. Spektroskopi 1H NMR

Spektroskopi proton memberikan informasi struktural mengenai

atomatom hidrogen dalam molekul organik. Spektra 1H NMR

dapat membedakan jenis proton dan mengungkapkan berapa

banyak jenis proton yang ada dalam suatu molekul. Beberapa hal

yang perlu diperhatikan dalam mengintepretasikanspektra 1H

NMR adalah luas puncak (peak area) yang dinyatakan dengan

integrasi yang menunjukkan jumlah inti 1H pada puncak tersebut,

pemecahan puncak (spliting) yang menerangkan lingkungan dari

sebuah proton dengan proton tetangganya, serta geseran kimia

(chemical shift) yang menunjukkanjenis proton tersebut. Spektrum

1H biasanya diperoleh dengan cara sampel senyawa yang akan

dianalisis dilarutkan dalam pelarut inert yang tidak memiliki 1H.

Sebagai contoh CCl4 atau pelarut dengan hidrogen yang

digantikan oleh deuterium, seperti CDCl3 (deuterikloroform) dan

120
CD3COCD3 (heksadeuterioaseton). Pergeseran kimia untuk

beberapa jenis inti 1H

e. Spektroskopi 13C NMR

Spektroskopi 13C NMR memberi informasi tentang kerangka

karbon.Isotop karbon biasa, yaitu karbon-12, tidak memiliki spin

inti, tidak seperti karbon-13. Spektrum karbon-13 berbeda dari

spektrum 1H. Pergeseran kimia karbon-13 terjadi pada kisaran

yang lebih lebar dibandingkan kisaran pergeseran kimia inti 1H.

Keduanya diukur terhadap senyawa standar yang sama yaitu

TMS, yang semua karbon metilnya ekuivalen dan memberikan

sinyal yang tajam. Pergeseran kimia untuk 13C dinyatakan dalam

satuan δ, tetapi lazim sekitar 0-220 ppm dibaah medan TMS

(kisaran untuk 1H dari 0-15 ppm). Kisaran pergeseran kimia yang

lebar ini cenderung menyederhanakan spektrum 13C relatif

terhadap spektrum 1H (( Fabian M Dayrit and Angel C de Dios.

2017 ). Berikut merupakan daerah pergeseran spektrum 13C NMR

f. HSQC

Merupakan salah satu jenis NMR dua dimensi. Teknik HSQC pada

dasarnya sama dengan teknik HMBC yaitu memberikan informasi

tentang korelasi antara proton dengan karbon dalam satu ikatan

(Simon Glanzera, el al. 2016). Data hasil HSQC adalah hubungan

CH dua dimensi yang ditunjukkan sebagai sinyal silang dalam

121
diagram δC vs δH. Pergeseran dari hubungan karbon-proton

berguna dalam elusidasi struktur karena memberikan jawaban inti

1H mana yang terikat pada inti 13C

g. HMBC (Heteronuclear Multiple Bond Correlation)

HMBC merupakan salah satu jenis NMR dua dimensi yang dapat

digunakan untuk mengetahui hubungan antara proton dengan

karbon yang berjarak 2 sampai 3 ikatan sehingga dapat diketahui

atom karbon tetangga

122
DAFTAR PUSTAKA

A. A. Kd.Harmita,. 2011.Kimia Medisinal.EGC. Jakarta.

Achmad, S. A., 2004. Empat Puluh Tahun dalam Kimia Organik


Bahan Alam Tumbuh-Tumbuhan Tropika Indonesia. Rekoleksi
dari Prospek. Bull. of the Indonesia Soc. in Nat. Prod. Chem., 4(2);
52-54.

Agung Endro nugroho. 2012. Farmakologi. Pustaka pelajar. Jakarta.

Allen , G.R. and R. Steene 1996. Indo Pasific Coral Reef (field
Guide).pp 49-53.

Allman, G. J. 1883. Report on the Hydroida dredged by H.M.S.


Challenger during the years 1873–76. Part I. Plumularidae. Report
on the Scientific Results of the Voyage of H.M.S. Challenger.
Zoology, 7(20), 1–20.

Anda SS, Khanuja SPS, Longo G, Rakesh DD, 2008 Trieste, Kaufman
PB, Cseke LJ, Warber S, Duje JA, Brielman L, 1999 atural
Products From Plants. CRC Press, Boca Raton. Lapornik B,
Prosek M, Wondra, AG, 2005 J. Food Eng., 71:214. KIMIA

Asep Bayu , Dani Nandiyanto, Rosi Oktiani, Risti Ragadhita. 2019. How
to Read and Interpret FTIR Spectroscope of Organic Material .
Indonesian journal of Science & teknology 4(1) 97-98.

Bambang.2010. Menguak Potensi Kimia Bahan Alam dari Laut.


Copyright Antara.

Bautisse Postaire, Hélène Magalon, Chloé A.-F. Bourmaud, Nicole


Gravier-Bonnet, Henrich J. Bruggemann. 2015. Phylogenetic
relationships within Aglaopheniidae (Cnidaria, Hydrozoa) reveal
unexpected generic diversity. Zoologica Scripta, Wiley, 2015, 45
(1), pp.103-114. <10.1111/zsc.12135>. <hal-01253738>

Berg, et al, 2012, Biochemistry 7th Edition, New York, W. H. Freeman.

123
Bouillon, J., Gravili, C., Pag_es, F., Gili, J.-M. & Boero, F. 2006. An
Introduction to Hydrozoa. In: P. Grandcolas, J.-M. Betsch, P.
Bouchet & C. Erard (Eds) M_emoires du Mus_eum national
d’Histoire naturelle (pp. 1–591), Vol. 194. Paris: M_emoires du
Mus_eum d’Histoire Naturelle

Calder, D. R. 1997. Shallow-water hydroids of bermuda: superfamily


Plumularioidea. Life Sciences Contributions Royal Ontario
Museum, 161, 1–85

Cameron R. Pye, Matthew J. Bertin, R. Scott Lokey, William H. Gerwick,


Roger G. Liningtond. 2017. Retrospective analysis of natural
products provides insights for future discovery trends. Proc
Natl Acad Sci U S Av.114(22) PMC5465889

Castro, P. And M.E. huber, 1992. Marine Biology. Mosly-year Book Inc.
Pp 150-153.

Das K, Tiwari RKS, Shrivastava DK, 2010 J. Med. Plants Res., 4: 104..

Dewick, P. M. 2009. Medicinal Natural Products a Biosynthetic


Approach. Third Edition. John Wiley & Sons. London

Di Camillo, C. G., Bavestrello, G., Valisano, L. & Puce, S. 2008. Spatial


and temporal distribution in a tropical hydroid assemblage.
Journal of the Marine Biological Association of the United
Kingdom, 88, 1589.

Donald G. Barceoux, MD., 2008. Medical Toxicology of Natural


Substance. John Wiley % Sons., Inc.

Eberhard Breitmaier: 2002. Alkaloide. Betäubungsmittel,


Halluzinogene und andere Wirkstoffe, Leitstrukturen aus der
Natur. B.G. Teubner Verlag, ISBN 3-519-13542-6

Erhardt, H. And H. Moosleitien, 1995. Meerwasen Atlas. Mergus. Pp.


137-184.

Fabian M Dayrit and Angel C de Dios. 2017. 1H and 13C NMR for the
Profiling of Natural Product Extracts: Theory and
Applications.
https://www.researchgate.net/publication/321640434_1H_and_13

124
C_NMR_for_the_Profiling_of_Natural_Product_Extracts_Theory_a
nd_Applications

Fessenden Ralph J and Joan S. Fessenden, 1997. Fundamental of


Organic Chemistry. University of Montana.

Friese, U. E. (1973) Marine Invertebrates. T.F.H. Publications, Inc. Ltd.:


USA

Fusetani, Kem W, 2009 Marine Toxins as Research Tools, in Marine


Molecular Biotechnology (Muller WEG, Ed.), Spinger-Verlag,
Berlin. Kinghorn AD, 2001 J. Pharm. Pharmacol., 53:135.

Gareth J.Owensa,Rajendra K.Singhbc, Farzad Foroutana ,Mustafa ,


Cheol-Min Hanbc, Chinmaya Mahapatra, Hae-WonKim, Jonathan
C.Knowle. 2016. Sol–gel based materials for biomedical
applications. J. Elsevier vol. 77.p 1-79.

Geoffrey A.Cordell and Taylor Choi, 2004. Alkaloid and Their


Biosynthesis. Photochemistry and Pharmacognosy. Encyclopedia
of Live support System (EOLSS). University of Illinois at Chicago,
Chicago, USA.

Gery Schmitz, .2009. Farmakologi dan Toksikologi. Edisi 3. EGC.


Jakarta.

Gravier-Bonnet, N. & Bourmaud, C. A. F. 2006a. Hydroids (Cnidaria,


Hydrozoa) of coral reefs: preliminary results on community
structure, species distribution and reproductive biology in Juan de
Nova Island (Southwest Indian Ocean). Western Indian Ocean
Journal of Marine Science, 5, 123–132.

Gravier-Bonnet, N. & Bourmaud, C. A. F. 2006b. Hydroids (Cnidaria,


Hydrozoa) of coral reefs: preliminary results on community
structure, species distribution and reproductive biology in the Ile
Glorieuses (Southwest Indian Ocean) (pp. 188–196). Presented at
the Proceedings of 10th International Coral Reef Symposium,
Okinawa: Western Indian Ocean Marine Science Association.

Gravier-Bonnet, N. & Bourmaud, C. A. F. 2012. Hydroids (Cnidaria,


Hydrozoa) of Baa Atoll (Indian Ocean, Maldives Archipelago).
Atoll Research Bulletin, 590, 85–123.

125
Harjo, B., Wibowo, C., & Ng, K. M. 2004. Development of Natural
Product Manufacturing Processes Phytochemicals. Chemical
Engineering Research and Design, 82 (A8) : 1010–1028.

Harris, C.A., 1996. Sessile Animals of the Sea Shore. Chapmann and
Hall, London. P. 87

Hand & Hendrickson, 1950, Life cycle & reproduction, Biol Bull 99: 74.
Humprey A.J. and O. Hagan D., 2001. Tropane Alkaloid Biosynthesis
A Century Old Problem Unresolved. Natural Prod.Rep. 18, 494-
502.

Irena Kralj Cigić and Helena Prosen. 2009. An Overview of


Conventional and Emerging Analytical Methods for the
Determination of Mycotoxins. Int J Mol Sci v.10(1)
PMC2662450.

J.Bouillon, C. Gravili, F. Pages, Josep-Maria Gili & F. Boer. 2006. An


Introduction to Hydrozoa. Publications Scientlfiques du Museum,
Paris.

Janet L. Stringer. 2008. Konsep Dasar Farmakologi.EGC. Jakarta.

Joana, R., 2003. Antikanker Swinholidea A dari spons Theonella


Swinhoei. Jurnal bahan Alam, Vol. 2 No 4, 122.

John Coates. 2013. Interpretation of Infrared Spectra, A Practical


Approach. Encyclopedia of Analytical Chemistry R.A. Meyers
(Ed.) Copyright John Wiley & Sons Ltd.

Johnson, Karen E. Alexander Niels Lindquist and George Loo, 1999.


Potential Antioxidant Activity of Dithiocarbamate related
Compound from a Marine Hydroid (http://grande.
Nal.usda.gov/ibids/index,php? Mode 2=detail & origin=ibids
reference& therow=397262- , diakses pada tgl. 5 Februari 2008).

Johannes E., 2008. Isolasi, Karakterisasi da Uji Bioaktivitas


Metabolit Sekunder dari Hydroid Aglaophenia cupressina
Lamoureoux Sebagai Bahan Dasar Antimikroba. Thesis.
Program PascaSarjana Universitas Hasanuddin. Makassar.

126
Joel G.Hardman,dkk. 2012. Dasar Farmakologi Terapi.EGC. Jakarta.
University Press.Jojakarta.

Jürgen Müller. 1998. Die Konstitutionserforschung der Alkaloide:


Die Pyridin - Piperidin- Gruppe. Deutscher Verlag , ISBN 3-
7692-0899-4.

Kass-Simon & Scappaticci, 2002, Life Cycle and Reproduction, Can J


Zool 80: 1772.
Kozloff, E. N. 1990. Invertebrates. Sounder College Publishing. United
States. 866 hal.
Krause, J. & Tobin, G. 2013. Chapter 1 : Discovery, Development, and
Regulation of Natural Products. Dalam buku Using Old Solutions
to New Problems – Natural Drug Discovery in the 21st
Century. InTech Open.

Lamer J, 1971 Intermediary metabolism and its regulation, Prentice-all,


Michigan: 308 hlm.

Lazo-Wasem, E, 2009, Monoplacophora. Yale Peabody Museum of


Natural History
(https://collections.peabody.yale.edu/search/Record/YPM-IZ-
021295), accessed September 2019.

Lecl‟ere, L., Schuchert, P. & Manuel, M. 2007. Phylogeny of the


Plumularioidea (Hydrozoa, Leptothecata): evolution of colonial
organisation and life cycle. Zoologica Scripta, 36, 371–394.

Lecl‟ere, L., Schuchert, P., Cruaud, C., Couloux, A. & Manuel, M. 2009.
Molecular phylogenetics of Thecata (Hydrozoa, Cnidaria)reveals
long-term maintenance of life history traits despite high frequency
of recent character changes. Systematic Biology, 58, 509–526.

Mellisa, K., K. E., Johnson, A. N. Lindquist and G. Loo, 1999. Activity


Antioksidan Potential of Hydroid. Department of Nutrition and
Foodservice System. School of Human Enviromental Science
University of North Carolina at Chapel Hill. Biochemical
Pharmacology. Vol 58. 1313-1319.
Millard N. A. H. 1975. Monograph on the hydroida of Southern Africa.
Trustees of the South African museum. Annals of the South
African Museum, 68, 1–513.

127
Mills, 1981, Life cycle & reproduction, The Wasmann J Biol 39: 6.

Moh. Anief.2009. Prinsip Umum Dan Dasar Farmakologi. Gadjah


Madah.

Moura, C. J., Cunha, M. R., Porteiro, F. M. & Rogers, A. D. 2012. A


molecular phylogenetic appraisal of the systematics of the
Aglaopheniidae (Cnidaria: Hydrozoa, Leptothecata) from the
north-east Atlantic and west Mediterranean. Zoological Journal
of the Linnean Society, 164, 717–727.

Moh. Anief. 2009. Prinsip Umum Dan Dasar Farmakologi. Gadjah


Madah

Mycek, M. J., 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar, Cet. 1. Widya


Media, Jakarta.

Nugroho, A. E. 2012. Farmakologi. Pustaka pelajar. Jakarta.

Nutting, C. C. 1900. American Hydroids. Part I. The Plumulariidae.


Special Bulletin of the U.S. National Museum, 4, 1–285

Paradise, M. A. Grassi, G. Conti, F. Passareli and M. G. Curci Abu Erra,


2006. Fire Coral Persistant Cutaneous Reaction (online),
(http://jr.science.wep. Muhio,edu/filedcourse, diakses 7 Maret
2007).

Pehlic Ehkrem. 2011. Qualitative methods of identification of


acetylsalicylic acid by differential scanning calorimetry and
melting point method. J. HealthMed, Volume 5. Number 6.
1782-1788.

Puiu, T. 2019, Scientists Find New Species of Wood - Munching,


Phallic-Shaped Clams.
(https://www.zmescience.com/science/wood-boring-clams-
shipworm-0423/) accessed September 2019.

Radiopoetro, 1977, Zoologi. Erlangga: Jakarta

Roosen-Runge, 1962, Life Cycle and Reproduction, Pac Sci 16: 15.

128
Rutuja S Shah, Rutuja R Shah, Rajashri B Pawar, Pranit P Gayakar.
2015. Uv-Visible Spectroscopy- A Review. International Journal
Of Institutional Pharmacy And Life Sciences 5(5)

Sabino De Gisia, Giusy Lofranoab, Mariangela Grassib, Michele


Notarnicolaa. 2016. Characteristics and adsorption capacities
of low-cost sorbents for wastewater treatment: A review. J.
Elsevier. Vol 9. P. 10-40.

Sarker SD, Latif Z, Gray AI, 2006, Natural Product Isolation, 2 nd ed.
umana Press, ew Jersey.

Schuchert, P. 2003. Hydroids (Cnidaria, Hydrozoa) of the Danish


expedition to the Kei Islands. Steenstrupia, 27, 137–256.

Simon Glanzera, Olaf Kunertb, Klaus Zanggera. 2016. Determination


of unresolved heteronuclear scalar coupling constants by
J(up)-HSQMBC. Journal of Magnetic Resonance Volume 268,
Pages 88-94. Elsevier.

Siswadono dan Soekarjo B., 2000. Kimia Medisinal. Erlangga


University Press, Surabaya.

Siun Chee Tan and Beow Chin Yiap. 2009. DNA, RNA, and Protein
Extraction: The Past and The Present. J Biomed Biotechnol v.
2009. PMC2789530.

Staf pengajar Depertemen Farmakologi fakultas kedokteran Universitas


Sriwijaya.2009. Kumpulan Kuliah Farmakologi. EGC. Jakarta.
Strickland,1971, Life Cycle and Reproduction, Pac Sci 25: 88.

Suzan Mahmoud Soliman.2012. Validated Densitometric TLC-Method


for the Simultaneous Analysis of (R)- and (S)-Citalopram and
its Related Substances Using Macrocyclic Antibiotic as a
Chiral Selector: Application to the Determination of
Enantiomeric Purity of Escitalopram. Int J Biomed Sci. V. 8(1):
40–50. PMC3614854.

T. Carefoot. 2010. Learn About Hydroid. Bamfield Marine Sciences


center. Vancouver.

129
Tahar, M, 2017, Isolasi, Identifikasi, Karakterisasi dan Uji
Bioaktivitas Hydroid Aglaophenia cuppressina Lamoureoux
pada Fraksi Diklorometan sebagai Antibakteri, Skripsi
Universitas Hasanuddin.

Tjay TH, Rahardja K. 2007. Obat-obat penting: khasiat, penggunaan


dan efek-efek sampingnya. Jakarta : Gramedia.

Thurmond RL. 2010. Histamine in Inflammation. Texas : Springer.


Rujukan Bhakuni DS, Rawat DS, 2005 Bioactive Marine atural
Products. Springer-Anamaya Publisher, ew Delhi. Caporale L,
1995 Proc. atl. Acad. Sci. USA, 92:75.

Torrey, 1907, Life Cycle and Reproduction, U Calif Publ Zool 3:


253. Photograph courtesy Kevin Lee, Fullerton, California

Usman H., 2012. Dasar –Dasar Kimia Organik Bahan Alam. Penerbit
Dua satu Press.

Vandervlugt, S. 1998, Morphology of a Typical Cephalopod in


Paleontology of Cephalopods
(https://hoopermuseum.carleton.ca/cephalopoda/morpho3.htm),
accessed September 2019.

Vaughan, B.E. 2001, Gladys Archerd Shell Collection. Washington


State University Tri-Cities Natural History Museum
(http://shells.tricity.wsu.edu/ArcherdShellCollection/ShellCollection.
html) accessed September 2019.

Vaughan, B.E. 2008, Gladys Archerd Shell Collection. Washington


State University Tri-Cities Natural History Museum
(http://shells.tricity.wsu.edu/ArcherdShellCollection/ShellCollection.
html) accessed September 2019.

Veron, J.E.N, 1986, Corals of Australia and The Indo-Pacific. Angus


and Robertson Publishers: Australia

Vervoort, W. 1967. Report on a collection of hydroida from the caribbean


region, including an annotated checklist of caribbean hydroids.
Zoologische Verhandelingen, 92, 1–122.

Watson. 2002. Analyzing the past to prepare for the future: Writing a
Literature Review. MIS Quarterly. (26: 2)

130
Waltraud Stammel, Helmut Thomas 2007: Endogene Alkaloide in
Säugetieren. Ein Beitrag zur Pharmakologie von
körpereigenen Neurotoxinen. In: Naturwissenschaftliche
Rundschau. 60(3), S. 117–124 , ISSN 0028-1050.

Wilson & Gisvold. 2012. Kimia Medisinal Organok dan Kimia Farnasi.
EGC.Jakarta.

WoRMS. 2018. World Register of Marine Species. Word Register of


Marine Species Klasifikasi Hydroid Aglaophenia Cuppressina.
http://www.marinespecies com. Di akses tanggal 9 Oktober 2018,
pukul 07:00 wita.

Zanolari B, Guilet D, Marston A, Queiroz EF, Paulo MQ, ostettmann K,


2003 J. at. Prod., 66:497.

Zhu Y Z, Tan B K, Bay B, Liu C, (Eds.) 2007, Natural Products:


Essential Resources for uman Survival. World Scientific
Publising, Singapore.

131

Anda mungkin juga menyukai