Anda di halaman 1dari 32

Tugas Makalah

Kimia Organik Bahan Alam

DIMENSI SEJARAH PERKEMBANGAN KIMIA ORGANIK

BAHAN ALAM LAUT

Disusun oleh:

KELOMPOK II

KISWAN SETIAWAN MAJID (H031191015)


SRI RESTYATI M. (H031191018)
ISMI SRI RAHAYU (H031191019)
RACHMALIA PUTRI (H031191080)
AGUNG INDRAWAN (H031191083)
NUR RAHMI (H031191088)
WANDI ASHAR (H31116015)

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………..

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………

1.2 Tujuan…….……………………………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………...

BAB III KESIMPULAN……………………………………………………………...

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………

\
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahan alam secara khusus diartikan sebagai segala material organik yang
dihasilkan oleh alam yang telah dipelajari dan dibuktikan baik secara empiris
maupun secara tradisional melalui pengalaman penggunaan turun temurun memiliki
khasiat tertentu untuk kesehatan baik dalam bentuk segar, sediaan kering, ekstrak,
maupun senyawa tunggal hasil pemurnian.
Pada era modern ini ada kecenderungan pola hidup yang mengarah pada
penggunaan bahan-bahan alami sebagai zat berkhasiat baik untuk pengobatan,
perawatan kesehatan dan kebugaran, kosmetika, makanan fungsional, maupun untuk
produk perawatan tubuh sehari-hari. Fenomena ini semakin meningkatkan pamor
bahan alam sebagai pilihan karena dinilai lebih aman atau memiliki efek negatif yang
lebih rendah. Nilai ekonomis beberapa bahan alam pun semakin meningkat yang
diikuti dengan semakin berkembangnya berbagai penelitian untuk mengembangkan
produk-produk yang berbasis pada bahan alam. Saat ini, bidang penelitian dan
industri bahan alam menjadi salah satu bidang yang prospektif dan memiliki masa
depan yang baik karena kebutuhan akan bahan ini semakin meningkat.
Untuk itu, pengenalan mengenai teknologi, metode-metode atau teknikteknik
dasar penelitian dan pemanfaatan bahan alam menjadi produk yang lebih bernilai
tinggi menjadi sangat perlu untuk mahasiswa teknologi industri pertanian. Sudah
barang tentu, pengenalan dasar-dasar bahan alam ini perlu diberikan sebagai landasan
dalam mempelajari proses lanjut dari pemanfaatan bahan alam. Pada bab ini
dijelaskan mengenai pengertian dasar bahan alam dan juga metabolit sekunder atau
fitokimia yang merupakan komponen utama dari bahan alam. Selain itu juga
dijelaskan mengenai agroindustri pengolahan bahan alam beserta contoh dan
prospeknya serta akan dibahas lebih luas mengenai kimia organik bahan alam laut
dari sisi dimensi sejarah tentang berbagai metoden atau teknik yang diaplikasikan
dalam bahan alam.
1.2 Tujuan Pembuatan Makalah
Makalah ini dibuat bertujuan untuk memberikan informasi dan pengetahuan
kepada pembaca mengenai dimensi sejarah perkembangan kimia organic bahan alam
laut
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Penenlitian Bahan Alam


2.1.1 Farmakognosi dan Farmakologi
Biota laut merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya. Berbagai
usaha telah dilakukan manusia untuk menyingkap rahasia yang terkandung dalam
biota laut dan produknya. Usaha yang tak kenal lelah mulai menunjukkan hasil
dengan ditemukannya berbagai jenis senyawa bioaktif baru (novel compounds) yang
tidak ditemukan pada biota darat.
Penemuan senyawa bahan baku obat dari bahan alam laut atau marine
natural product merupakan hal yang relative baru bila dibandingkan dengan bahan
baku obat dari daratan. Tren penemuan bahan baku obat dari baban alam laut dimulai
tahun 1960-an pada sebuah simposium yang berjudul "Drugs from the Sea". Namun
pada saat itu belum ada senyawa bioaktif dari sumber daya hayati laut yang
dipasarkan sebagai obat.
Awal mula penemuan senyawa obat dari laut adalah publikasi Bergmann &
Feeney (1951) mengenai nukleosida arabino pentosil dan ribo pentosil yang
didapatkan dari spons. Penemuan tersebut merupakan awal dari penemuan senyawa
kimia turunan ara-A sebagai antiviral dan ara-C yang berpotensi sebagai anti
leukimia. Setelah itu, terdapat pula penelitian isolasi prostaglandin dari gorgonia
Plexaura homomalla oleh Weinheimer & Spraggins (1969). Selain itu, terdapat
beberapa penelitian penemuan obat lain yang menggunakan sumber daya hayati laut
sebagai objek penelitian.
Beberapa biota laut seperti spons dan alga telah banyak diteliti, dieksplorasi
dan dikembangkan untuk digunakan sebagai sumber bahan baku obat di industri
farmasi. Eksplorasi dan penelitian biota laut untuk keperluan farmasi telah
berkembang pesat dalam kurun waktu 30-40 tahun terakhir. Hal ini diakselerasi
dengan meningkatnya kesadaran pelaku industri dan konsumen obat (farmasi) dalam
dan luar negeri untuk memprioritaskan penggunaan obat dari bahan alami yang
dikenal dengan istilah "back to nature".
Memasuki kurun 1970-1990, penelitian dan penemuan bahan baku obat
dengan obyek sumber daya hayati laut mengalami perkembangan yang lambat. Hal
tersebut disebabkan oleh biaya riset yang relatif mahal, jumlah isolat senyawa
bioaktif yang sangat terbatas, dan terbatasnya kepekaan alat untuk analisis. Namun,
dalam dua dasawarsa terakhir penemuan obat dari bahan alam kelautan menunjukkan
peningkatan. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah senyawa baru yang teridentifikasi
beserta aktivitas biologisnya. Pada tahun 2005 terdapat 812 senyawa baru yang
berhasil diidentifikasi. Sedangkan pada tahun 2012 jumlah senyawa baru yang
berhasil diidentifikasi adalah 1.241 senyawa. Jumlah tersebut lebih besar 8% dari
jumlah senyawa baru yang dilaporkan pada tahun 2011. Seisin itu, terdapat pula
beberapa obat dengan bahan aktif yang berasal dari senyawa produk alam laut yang
berhasil masuk ke pasaran pada kurun waktu 2003-2008 seperti Prialt dan Yondelis.
2.1.2 Sintesis Organik Laut
Perairan laut sebagai habitat organisme merupakan tempat yang sangat
unik/karakteristik dan juga ekstrim jika dibandingkan dengan lingkungan daratan.
Dengan adanya kondisi ekstrim yang tercipta di lingkungan laut tersebut
memungkinkan makhluk hidup yang berada di lingkungan itu mengalami proses
metabolisme yang menjadi karakteristik oleh karena adaptasi lingkungan sehingga
menghasilkan sejumlah metabolit sekunder untuk pertahanan diri. Metabolisme
sekunder ini merupakan senyawa tertentu yang hanya dimiliki oleh organisme
tertentu pula dan senyawa ini menjadi berguna jika dikelola untuk dijadikan sebagai
bahan baku untuk obat, neutraceutical, kosmetik, hingga alat kesehatan (Rijai, 2019).
 Contoh sintesis bahan organik laut, diantaranya yaitu sintesis senyawa fenolik
dan steroid yang memiliki aktivitas antioksidan pada alga cokelat (Sargassum
cristaefolium) yang diambil dari perairan pantai Sumenep Madura. Penelitian
ini dilakukan oleh (Lailiyah dkk., 2014) dalam metode sintesisnya, alga
cokelat diekstraksi dengan metode maserasi hingga diperoleh crude extract-
nya kemudian dilakukan uji kandungan senyawa fenolik dari ekstrak alga
cokelat dengan menggunakan metode Folin-Ciocalteu dan metode DPPH lalu
uji kandungan steroid dilakukan dengan skrinning fitokimia.
 Contoh sintesis bahan organik laut yaitu biosintesis dari rumput laut
(Eucheuma Cottonii) dari jurnal penelitian yang dilakukan oleh (Sari dkk.,
2016) yang mana ekstrak rumput laut ini memiliki aktivitas antimikroba dan
metabolit sekunder berupa turunan senyawa fenolik yang memiliki aktivitas
antioksidan serta memiliki potensi yang besar dalam sintesis dengan metode
biosintesis silver nano/mikro partikel berbantu gelombang ultrasonic dimana
efektivitas dari antioksidan bergantung pada ukuran nano/mikro partikel yang
dihasilkan jika semakin kecil maka akan semakin efektif kemampuan dari
antioksidannya. Hasil sintesis ini kemudian di uji aktivitas antimikroba nya
terhadap patogen Staphylococus aereus, Enterobacter aerogenes, Salmonella
typhi, dan Proteus vulgaris.
 Contoh lain sintesis bahan organik laut yaitu sintesis dari ekstrak alga laut
Caulerpa racemosa yang diambil di perairan pulau Nain. Pemanfaatan alga
laut didasarkan pada potensi alga laut di Indonesia sangat besar untuk
dikembangkan sebagai bahan baku obat. Selain itu alga mmempunyai
aktivitas antimikroba terhadap bakteri patogen seperti E.Coli, Staphylococus
aureus dan Bacillus subtilis. Penelitian ini dilakukan oleh (Singkoh, 2011)
proses sintesis dilakukan dengan cara mengekstrak alga laut Caulerpa
racemosa dengan metode maserasi hingga diperoleh ekstrak kasarnya, lalu
dikultur dalam media NA lalu dilakukan uji antibakteri pada media dengan
menambahkan bakteri yang telah dilakukan pembibitan sebelumnya, lalu
hasil penelitian uji aktivitas antibakteri pada alga laut C.racemosa bahwa alga
ini mengandung senyawa aktivitas antibakteri pada Edwardsiela tarda,
Yersinia enterocolitica dan Proteus stuartii.
Sintesis bahan organik laut dari bubur rumput laut Sargassum plagyophyllum dan
Eucheuma cottonii sebagai bahan baku krim pencerah kulit. Penelitian ini dilakukan
oleh (Dolorosa dkk., 2017) didasarkan atas komoditas rumput laut yang melimpah
serta kandungan bahan aktif alami yang berfungsi sebagai antioksidan dan inhibitor
tirosinase yang dapat menghambat proses pembentukan melanin untuk mencerahkan
kulit wajah. Dalam penelitiannya, dilakukan metode preparasi sampel dengan
rehidrasi lalu analisis fitokimia untuk mengetahui metabolit sekunder yang terdapat
pada S. plagyophyllum diantaranya yaitu mengandung senyawa bioaktif antara lain
alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, dan tannin serta pada E. cottonii memiliki
senyawa bioaktif alkaloid da terpenoid. Serta uji vitamin C sebagai antioksidan dan
vitamin E. Kandungan fitokimia dari bubur rumput laut ini mengindikasikan bahwa
S. plagyophyllum dan E. cottonii berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku
dalam pembuatan pencerah kulit.
2.1.3 Kromatografi
Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan berdasarkan perbedaan
distribusi kompenen-komponen yang terkandung dalam suatu sampel. Seluruh
bentuk kromatografi memilki fasa diam yang berupa padatan atau cairan dan fasa
gerak yang berupa cairan atau gas. Terdapat berbagai jenis-jenis kromatografi
seperti, kromatografi kertas (Paper Chromatography), kromatografi kolom (Column
Chromatography), kromatografi gas (Gas Chromatography), kromatografi cair
(Liquid Chromatography), kromatografi cair kinerja tinggi (High-Pressure Liquid
Chromatography), dan kromatografi pertukaran ion (Ion-Exchange
Chromatography).
Adapun sejarah dari penemuan jenis-jenis kromatografi tersebut yaitu:
- Pada tahun 1903, kromatografi ditemukan pertama kali oleh Mikhail Tsveet (ahli
botani Rusia-Italia) yang mencoba memisahkan pigmen-pigeman pada tanaman
(xantofil, karoten, klorofil) menggunakan kolom yang berisi CaSO4. Metode ini
pertama kali dijelaskan pada tahun 1901 dan dideskripsikan cetak pada tahun
1903.
- Pada tahun 1905, dalam kuliahnya Tsvet menjelaskan penggunaan kertas saring
untuk menemukan sifat serat tumbuhan dalam eksperimennya. Tsvet menemukan
bahwa dia dapat mengekstrak pigmen dari daun dengan pelarut polar-non polar.
- Pada tahun 1938, kromatografi lapis tipis ditemukan oleh Izmailov dan Schreiber
melalui teknik sederhana dengan menggunakan sampel dan sedikit sorben dengan
memisahkan ekstrak tanaman menggunakan aluminium oksida yang disebar pada
lapisan kaca. Sorben ditaruh pada objek glass mikroskop sebagai suatu lapisan
padatan yang berair dengan tebal sekitar 2 mm. Sampel (ekstrak tumbuh
tumbuhan) diteteskan ke lapisan, kemudian pelarut (metanol) ditambahkan tetes
demi tetes dari atas. Pada lapisan sorben diperoleh serangkaian cincin melingkar
berbentuk lapisan yang berbeda warna. Dari sini lahirlah teknik baru KLT yang
disebut drop kromatografi.
- Pada tahun 1943, Martin dan Synge menjelaskan penggunaan kertas saring
sebagai fasa diam kromatografi dalam melakukan uji asam amino. Kromatografi
ini dikenal sebagai kromatografi kertas.
- Pada tahun 1952, Martin megumumkan di kuliahnya (memenangan Nobel di
diidang kimia) bahwa kerja samanya dengan Synge serta Anthony T. James
berhasil melakukan pemisahan berbagai senyawa alami dengan kromatografi gas.
Dari tahun 1952-1960 kromatografi gas terus dikembangkan hingga menjadi
teknik analisa yang canggih.
- Pada tahun 1958, Stahl memperkenalkan Kromatografi lapis tipis. Kontribusi
besar Stahl ialah ada pada standarisasi bahan, prosedur dan tata-nama serta
deskripsi sistem pelarut selektif untuk klasifikasi senyawa. Laboratorium manual
pertamanya dipopulerkan dengan namaKLT, dan memperoleh dukungan dari
perusahaan-perusahaan komersial seperti Merck dan Desaga) untuk menawarkan
bahan baku dan peralatan untuk KLT. Teknik lempeng KLT pertama kali
dikomersilkan pada 1965.
- Pada tahun 1960-an akhir, semakin banyak penelitian yang dilakukan untuk
meningkatkan kinerja kromatografi cair agar seimbang dengan kromatografi gas.
Hasil dari usaha ini (1970) yaitu muncullah alat kromatografi cair kinerja tinggi
atau yang dikenal sebagai HPLC (High Perfomance Liquid Chromatography).
- Pada tahun 1979, HPLC diperkenalkan di Indonesia melalui ”Seminar tentang alat
High Performance Liquid Chromatography (HPLC)” oleh Lembaga Kimia
Nasional Bandung.
Salah satu aplikasi dari penggunaan kromatografi pada biota laut ialah
“Penentuan Senyawa Bioaktif Ekstrak Daging Siput Bakau (Terebralia sulcata)
dengan Kromatografi Lapis Tipis” Penelitian ini dilakukan oleh Sumarto dkk pada
tahun 2011 dengan sampel yang berasal dari Tembilahan Kabupaten Indaragiri Riau.
Siput bakau merupakan salah satu komodti perikanan yang pemanfaatannya masih
kurang dilakukan. Siput bakau adalah hewan yang mempunyai cangkang berbentuk
terompet dengan struktur keras. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui
golongan seneyawa aktif pada ekstrak siput bakau dengan metode maserasi
menggunakan pelarut n-heksan dan metanol. Ekstrak yang diperoleh kemudian
dianalisa dengan KLT dengan menotolkan sampel ke plat KLT. Pada pengujian KLT,
fase diam berupa silika gel dan fase gerak berupa cairan yang akan bergerak dari
bawah ke atas.
2.1.4 Spektrofotometri
Absorbansi cahaya oleh bahan pertama kali dieksplorasi oleh ahli Matematika
Jerman Johann Heinrich Lambert (1728-1777) yang menemukan bahwa untuk radiasi
monokromatik (dalam radiasi praktek pita sempit) jumlah cahaya yang diserap
adalah berbanding lurus dengan panjang jalur cahaya itu melalui material dan tidak
tergantung dari intensitas cahaya. Astronom Jerman Wilhelm Beer (1797-1850)
memperluas pekerjaan ini dan menemukan bahwa, untuk larutan encer, ada
hubungan linier antara konsentrasi analit dan absorbansi.
Digunakan analisis fluoresensi untuk mendeteksi kina dalam darah dan
jaringan lain. Pengenalan spektrofotometer komersial UV pertama, oleh Arnold O.
Beckman (1900-2004), Namun, kelompok-kelompok seperti yang dipimpin oleh
Bernand B. Brodie (1907-1989) melanjutkan untuk menggunakan instrumen untuk
mengembangkan kuantitatif. Brodie mendirikan beberapa aturan dasar untuk sukses
meansurement obat dan racun lainnya dalam spesimen biologi, banyak yang masih
berlaku hari ini.
Di pertengahan abad ke-19, kimiawan Jerman Robert Wilhelm Bunsen (1811-
1899) fisikawan Jerman Gustav Robert Kirchhoff (1824- 1887) bekerjasama
mengembangkan spektrometer menemukan 2 unsur baru: rubidium dan cesium.
Absorbansi cahaya oleh bahan pertama kali dieksplorasi oleh ahli Matematika
Jerman Johann Heinrich Lambert (1728-1777) yang menemukan bahwa untuk radiasi
monokromatik (dalam radiasi praktek pita sempit) jumlah cahaya yang diserap
adalah berbanding lurus dengan panjang jalur cahaya itu melalui material dan tidak
tergantung dari intensitas cahaya. Astronom Jerman Wilhelm Beer (1797-1850)
memperluas pekerjaan ini dan menemukan bahwa, untuk larutan encer, ada
hubungan linier antara konsentrasi analit dan absorbansi.
Ahli kimia klinis Henry Bence Jones (1813-1873) menggunakan spektroskopi
emisi untuk mendeteksi lithium dalam urin dan pada jaringan lain termasuk lensa
dihapus dari mata pasien katarak dan bekerja dengan Agustus Dupre (1835-1907),
digunakan analisis fluoresensi untuk mendeteksi kina dalam darah dan jaringan lain.
Pengenalan spektrofotometer komersial UV pertama, oleh Arnold O. Beckman
(1900-2004), Namun, kelompok-kelompok seperti yang dipimpin oleh Bernand B.
Brodie (1907-1989) melanjutkan untuk menggunakan instrumen untuk
mengembangkan kuantitatif. Brodie mendirikan beberapa aturan dasar untuk sukses
meansurement obat dan racun lainnya dalam spesimen biologi, banyak yang masih
berlaku hari ini.
Seperti dengan pengembangan spektrofotometer UV praktis, kepentingan
militer, Kali ini dalam obat antimaterials, juga mendorong kemajuan di
spektrophotofluorimetry. Brodie dan Sidney Udenfriend (1918-2001) menggunakan
fluorimeter Coleman sederhana filter untuk mengukur quinacrine dalam plasma,
tetapi jelas bahwa jika panjang gelombang eksitasi dapat bervariasi banyak molekul
lebih dapat dianalisis menggunakan teknik ini. Robert L. Bowman (1916-1995)
mengembangkan spectrophotofluorimeter monokromator pertama ganda, yang
dengan kolaborasi dari Perusahaan Instrumen Amerika, dipamerkan pada Konferensi
1956 Tickets Pittburgh sebagai AMINO-Bowman SPF.
Di pertengahan abad ke-19, kimiawan Jerman Robert Wilhelm Bunsen (1811-
1899) fisikawan Jerman Gustav Robert Kirchhoff (1824- 1887) bekerjasama
mengembangkan spektrometer menemukan 2 unsur baru: rubidium dan cesium.
Yang digunakan banyak kimiawan untuk menemukan unsur baru. Kemudian alat ini
digunakan banyak kimiawan untuk menemukan unsur baru semacam galium, indium
dan unsur-unsur tanah jarang. Spektroskopi telah memainkan peran penting dalam
penemuan gas-gas mulia. Spektrofotometer terdiri atas sumber sinar, prisma, sel
sampel, detektor pencatat. Fungsi prisma adalah untuk memisahkan sinar
polikromatis di sumber cahaya menjadi sinar kromatis. Penggunaan spektroskopi
sebagai sarana penentuan struktur senyawa memiliki sejarah yang panjang. Reaksi
nyala yang populer berdasarkan prinsip yang sama dengan spektroskopi.
2.1.4 Biokimia, Enzimologi dan Biologi Molekuler
Awal mula adanya penelitian biokimia yaitu pada abad ke-17, dimana Robert
Hooke melakukan observasi terhadap sel-sel menggunakan mikroskop sehingga
tingkat pemahaman atas struktur kompleks pada makhluk hidup dapat meningkat.
Kemudian pada abad ke-18, seorang ahli kimia dari swedia, Karl Wilhelm Scheele
melakukan sebuah penelitian mengenai susunan jaringan tumbuhan dan hewan,
selain itu ia juga mengisolasi asam oksalat, asam laktat, asam sitrat, beberapa ester
dan kasein dari bahan alam. Selanjutnya pada tahun 1828 Friedrich Wohler
menunjukkan bahwa terdapat senyawa urea dalam urin, dibuat dalam laboratorium
dengan cara memanaskan alkali sianat dan garam ammonium, dimana Friedrcih
mengharapkan garam ammonium sianat sebagai hasil penelitiannya, namun ia
memperoleh urea sebagai hasil penelitiannya.
Istilah biokimia sendiri dikemukakan oleh Karl Neuberg yang merupakan
seorang ahli kimia dari Jerman tahun 1903 dan biokimia memperoleh bentuk yang
nyata sebagai suatu bidang studi. Penemuan dua bersaudara Eduard dan Hans
Buchner menyatakan bahwa ekstrak dari sel ragi yang telah mati tetap dapat
menyebabkan terjadinya proses peragian atau fermentasi gula menjadi alkohol.
Penemuan ini sebagai pembuka analisis reaksi biokimia dan proses biokimia dengan
alat laboratorium (in vitro) dan dalam makhluk hidup (in vivo). Perkembangan
biokimia juga tidak bisa terlepas dari pekembangan bidang pegetahuan yang lain
seperti halnya genetika, dimana Gregor Mendel pada pertengahan abad ke-19
menemukan gagasan mengenai gen yang diketahui berada di dalam kromosom, gen
sendiri merupakan unit pembawa sifat-sifat yang diturunkan oleh individu.
Biokimia terus berkembang pesat hingga saat ini, penelitian yang dilakukan
juga sudah tersebar di berbagai bidang. Di Indonesia sendiri yang merupakan negara
maritim juga memanfaatkan ilmu biokimia untuk melakukan penelitian yang
berhubungan dengan bahan alam yang berasal dari laut. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Wahyuni, dkk., (2014), mengenai karakterisasi sifat biokimia isolat
bakteri kitinolitik asal tambak udang, dimana identifikasi bakteri berdasarkan sifat
biokimia ini sangat penting untuk dikembangkan sebagai enzim termostabil yang
nantinya akan diaplikasikan di bidang pangan, industry, serta pertanian. Biokimia
memiliki hubungan dengan ilmu lainnya seperti genetika, mikrobiologi, biologi sel,
fisiologi, dan masih banyak lagi. Hal inilah yang menyebabkan biokimia berkembang
sangat pesat sehingga adanya banyak penelitian yang dilakukan oleh ilmuan-ilmuan
baik di masa lalu hingga sekarang.
Enzimologi merupakan ilmu yang mempelajari mengenai enzim, dimana
awalnya enzim dikenal sebagai protein oleh Sumner pada tahun 1926 yang telah
berhasil mengisolasi urease dari tumbuhan kara pedang. Urease sendiri merupakan
enzim yang dapat menguraikan urea menjadi CO2 dan NH3. Beberapa tahun
kemudian peneliti Northrop dan Kunits melakukan penelitian mengenai isolasi
prpsin, tripsin, dan kinotripsin. Semakin banyak penelitian mengenai enzim yang
dapat diisolasi sehingga dapat dibuktikan bahwa enzim tersebut adalah protein.
Namun dari hasil penelitian para ahli biokimia, banyak enzim yang memiliki gugus
bukan protein, sehingga masuk kedalam golongan protein majemuk. Menurut Kuhne
(1878), enzim berasal dari kata in + zyme yang berarti sesuatu di dalam ragi.
Berdasarkan penelitian maka dapat disimpulkan bahwa enzim adalah suatu protein
yang berupa molekul-molekul besar.
Biologi molekuler pertama kali dikemukakan oleh William Astbury pda tahun
1945, dimana biologi molekuler adalah ilmu yang mempelajari fungsi dan organisasi
jasad hidup (organisme) yang ditinjau dari struktur dan regulasi molekular unsur atau
komponen penyusunnya. Pada tahun 1632-1723, seorang ilmuan bernama Antoni
Van Leeuwenhoek membuat mikroskop yang dapat menunjukkan adanya partikel-
partikel kecil yang tidak dapat dilihat dengan mata biasa, sehingga menyebut sel
sebagai suatu satuan kehidupan. Antoni juga merupakan orang yang pertama kali
melihat sel tunggal seperti bakteri, protozoa, yeast, algae, kecuali virus dan
mengamati darah, cairan mani, feses, dan email gigi.
Kemudian perkembangan biologi molekuler berlanjut pada tahun 1635-1703
oleh Robert Hooke yang melihat rongga kosong pada sayatan jaringan gabus
tumbuhan yang kemudian dinamakan cellula yang memiliki arti rongga/ ruangan
yang kemudian menjadi asal kata sel. Pada tahun 1833 Robertt Brown mengamati
nukeus pada jaringan epidermis tanaman anggek, tetapi tidak mengetahui fungsinya,
Mathhias Jacob Schleiden (1838) mengamati bahwa semua tanaman terdiri dari sel,
dan Theodor Schwann (1839) mengamati bahwa hewan juga terdiri dari sel. Biologi
molekuler berkembang sangat pesat, dimana Teknik biologi molekuler juga ikut
perkembang seperti DNA sekuensing, PCR, Isolasi DNA & RNA, Elektroforesisi,
dan Elisa. Semua Teknik biologi molekuler ini menghasilkan penemuan obat,
tanaman trangenik, vaksin, dan dapat mendeteksi penyakit.
2.2 Perkembangan Instrumen untuk Bahan Alam
2.2.1 X-Ray dan IR
1) Sejarah Infrared

Secara singkat sejarah infrared dapat dijabarkan sebagai berikut

 1737: Émilie du Châtelet meramalkan apa yang sekarang dikenal sebagai


radiasi inframerah dalam Disertasi sur la nature et la propagation du feu.
 1830: Leopoldo Nobili membuat detektor IR termopil pertama.
 1840: John Herschel menghasilkan gambar termal pertama, yang disebut
termogram.
 1860: Gustav Kirchhoff merumuskan teorema blackbody
 1873: Willoughby Smith menemukan fotokonduktivitas selenium.
 1878: Samuel Pierpont Langley menciptakan bolometer pertama, sebuah alat
yang mampu mengukur fluktuasi suhu kecil, dan dengan menggunakan
kekuatan inframerah jauh.
 1879: Hukum Stefan – Boltzmann dirumuskan secara empiris bahwa
kekuatan yang dipancarkan oleh benda hitam sebanding dengan T4.
 1880-an dan 1890-an: Lord Rayleigh dan Wilhelm Wien memecahkan bagian
dari persamaan blackbody, tetapi kedua solusi menyimpang di bagian
spektrum elektromagnetik. Masalah ini disebut “bencana ultraviolet dan
bencana inframerah”.
 1892: Willem Henri Julius menerbitkan spektrum inframerah 20 senyawa
organik yang diukur dengan bolometer dalam satuan perpindahan sudut.
 1901: Max Planck menerbitkan persamaan dan teorema blackbody. Dia
memecahkan masalah dengan menghitung transisi energi yang diijinkan.
 1905: Albert Einstein mengembangkan teori efek fotolistrik.
 1905–1908: William Coblentz menerbitkan spektrum inframerah dalam
satuan panjang gelombang (mikrometer) untuk beberapa senyawa kimia
dalam Investigasi Infra-Red Spectra.
 1917: Theodore Case mengembangkan detektor sulfida thallous; Ilmuwan
Inggris membangun perangkat pencarian dan lintasan (IRST) infra merah
pertama yang mampu mendeteksi pesawat pada jarak 1,6 km.
 1935: Garam timbal – panduan awal rudal dalam Perang Dunia II.
 1938: Yeou Ta meramalkan bahwa efek piroelektrik dapat digunakan untuk
mendeteksi radiasi inframerah.
 1945: Sistem senjata inframerah “Vampir” Zielgerät 1229 diperkenalkan
sebagai perangkat inframerah portabel pertama untuk aplikasi militer.
 1952: H. Welker menumbuhkan kristal InSb sintetis.
 1950-an dan 1960-an: Nomenklatur dan unit radiometrik yang didefinisikan
oleh Fred Nicodemenus, G. J. Zissis dan R. Clark; Robert Clark Jones
mendefinisikan D *.
 1958: W. D. Lawson (Pendirian Royal Radar di Malvern) menemukan sifat
deteksi IR Mercury cadmium telluride (HgCdTe).
 1958: Rudal Falcon dan Sidewinder dikembangkan menggunakan teknologi
inframerah.
 1960-an: Paul Kruse dan rekan-rekannya di Honeywell Research Center
mendemonstrasikan penggunaan HgCdTe sebagai senyawa efektif untuk
deteksi inframerah.
 1962: J. Cooper menunjukkan deteksi piroelektrik.
 1964: W. G. Evans menemukan termoreseptor inframerah dalam kumbang
pirofil.
 1965: Buku pegangan IR Pertama; pencitra komersial pertama (Barnes,
Agema (sekarang bagian dari FLIR Systems Inc.)); Teks tengara Richard
Hudson; F4 TRAM FLIR oleh Hughes; fenomenologi yang dipelopori oleh
Fred Simmons dan A. T. Stair; Laboratorium penglihatan malam Angkatan
Darat AS dibentuk (sekarang Direktorat Penglihatan Malam dan Sensor
Elektronik (NVESD)), dan Rachets mengembangkan pemodelan
pendeteksian, pengenalan, dan identifikasi di sana.
 1970: Willard Boyle dan George E. Smith mengusulkan CCD di Bell Labs
untuk telepon gambar.
 1973: Program modul umum dimulai oleh NVESD. [69]
 1978: Astronomi pencitraan inframerah sudah cukup umur, observatorium
direncanakan, IRTF di Mauna Kea dibuka; 32 × 32 dan 64 × 64 array
diproduksi menggunakan InSb, HgCdTe dan bahan lainnya.
 2013: Pada tanggal 14 Februari, para peneliti mengembangkan implan saraf
yang memberi tikus kemampuan untuk merasakan cahaya inframerah, yang
untuk pertama kalinya memberi makhluk hidup kemampuan baru, alih-alih
sekadar mengganti atau menambah kemampuan yang ada.
2) X-RAY
Seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman, William Conrad Rontgen pada
tahun 1895 berhasil menemukan sinar-x atau sinar rontgen. Penemuan sinar-x ini
diilhami oleh percobaan-percobaan sebelumnya yang dilakukan oleh J.J.Thompson
dan Heinrich Hertz. Percobaan Thompson mengenai tabung katoda dan percobaan
Hertz mengenai fotolistrik. Saat itu, Rontgen sedang melakukan percobaan dengan
"sinar katoda". Sinar katoda terdiri atas arus elektron. Arus diproduksi dengan
menggunakan tegangan tinggi antara elektroda yang ditempatkan pada masing-
masing ujung tabung gelas yang udaranya hampir dikosongkan seluruhnya. Pada
peristiwa ini, Rontgen sudah sepenuhnya menutup seluruh tabung sinar katoda
dengan kertas hitam tebal, sehingga walaupun sinar listrik dinyalakan, tidak ada
cahaya yang bisa terlihat dari tabung. Akan tetapi, pada saat Rontgen menyalakan
arus listrik di dalam tabung sinar cathode, Rontgen terperanjat melihat bahwa cahaya
mulai memijar pada layar yang terletak dekat bangku seperti distimulir oleh sinar
lampu. Kemudian ia memadamkan tabung dan layar (yang terbungkus oleh barium
platino cyanide) dan cahaya berhenti memijar. Karena tabung sinar katoda
sepenuhnya tertutup, Rontgen segera sadar bahwa suatu bentuk radiasi yang tak
kelihatan seharusnya datang dari tabung ketika cahaya listrik dinyalakan. Karena ini
merupakan hal yang misterius, Rontgen menyebut radiasi yang tampak itu sebagai
"sinar-x". Adapun lambang "X" merupakan lambang matematik biasa untuk
menyatakan sesuatu yang tidak diketahui. Sinar-X adalah pancaran gelombang
elektromagnetik (EM) yang sejenis dengan gelombang listrik, radio, inframerah
panas, cahaya, sinar gamma, sinar kosmik dan sinar ultraviolet, tetapi dengan
panjang gelombang yang sangat pendek.
3) Penemuan X-RD (X-Ray Diffractions)
Di akhir tahun 1895, Roentgen (Wilhelm Conrad Roentgen, Jerman,1845-
1923), seorang profesor fisika dan rektor Universitas Wuerzburg di Jerman dengan
sungguh-sungguh melakukan penelitian tabung sinar katoda. Ia membungkus tabung
dengan suatu kertas hitam agar tidak terjadi kebocoran fotoluminesensi dari dalam
tabung ke luar. Lalu ia membuat ruang penelitian menjadi gelap. Pada saat
membangkitkan sinar katoda, ia mengamati sesuatu yang di luar dugaan. Pelat
fotoluminesensi yang ada di atas meja mulai berpendar di dalam kegelapan.
Walaupun dijauhkan dari tabung, pelat tersebut tetap berpendar. Dijauhkan sampai
lebih 1 m dari tabung, pelat masih tetap berpendar. Roentgen berpikir pasti ada jenis
radiasi baru yang belum diketahui terjadi di dalam tabung sinar katoda dan membuat
pelat fotoluminesensi berpendar.
Radiasi ini disebut sinar-X yang maksudnya adalah radiasi yang belum
diketahui. Ia menerima Hadiah Nobel Fisika tahun 1914 untuk penemuan difraksi
sinar-X pada kristal. Penemuan ini ketika ia membahas permasalahan yang terkait
dengan perjalanan gelombang cahaya melalui periodik, susunan kristalin partikel. Ide
kemudian datang bahwa sinar elektromagnetik yang jauh lebih pendek dari sinar-X
seharusnya akan menyebabkan semacam fenomena difraksi atau interferensi dan
bahwa kristal akan memberikan semacam media. Meski Sommerfeld, W. Wien
keberatan terhadap ide Friedrich, asisten Sommerfeld dan Knipping bereksperimen
dan setelah beberapa kegagalan, akhirnya berhasil membuktikan itu benar. Pada 1946
ia ke Gettingen menjabat Direktur Institut Max Planck dan Titular Profesor di
Universitas.
Pada 1951 menjadi Direktur Institut Fritz Haber untuk Kimia Fisika di
Berlin-Dahlem bidang Optik sinar-X bekerja sama dengan Borrmann. Tahun 1958 ia
pensiun dan pada ulang tahun ke-80 di Berlin-Dahlem dia masih aktif bekerja. Awal
kariernya ia sangat gembira oleh teori relativitas Eintein dan antara 1907-1911 ia
menerbitkan 8 makalah tentang penerapan teori ini. Pada 1911 ia menerbitkan buku
tentang teori terbatas dan 1921 pada teori umum, kedua buku menjadi beberapa edisi
Max Theodor Felix von Laue yang lahir 9 Oktober 1879 di Pfaffendorf, dekat
Koblenz adalah fisikawan Kekaisaran Jerman yang pertama kali mendapatkan
difraksi sinar X dari sebuah kristal pada 1912. Atas prestasi ini, ia dianugerahi
Hadiah Nobel dalam Fisika 1914. Ia adalah putra Julius von Laue, seorang pejabat di
pemerintahan militer Jerman, yang dibesarkan keturunan bangsawan tahun 1913 dan
sering dikirim ke berbagai kota, sehingga von Laue menghabiskan masa mudanya di
Brandenburg, Altona, Posen, Berlin dan Strassburg. Di sekolah Protestan di
Strassburg ia di bawah pengaruh Profesor Goering yang memperkenalkannya pada
lmu eksakta. Pada tahun 1898 ia meninggalkan sekolah dan selama satu tahun
melakukan dinas militer.
2.2.2 HPLC
Menurut (Ardianingsih, 2009) kromatografi adalah teknik pemisahan
campuran yang didasarkan atas perbedaan kecepatan perambatan komponen-
komponen dalam suatu medium tertentu. Adapun istilah kromatografi ini, berasal
dari kata “Chroma” yang berarti “warna” dan “Graphein” yang artinya
“menuliskan”. Walaupun di masa sekarang, kromatografi telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat, sehingga untuk pemisahan dan penentuan warna
sudah sedikit dilakukan dengan kromatografi modern, akan tetapi istilah
kromatografi tetap digunakan meskipun istilah itu tidak lagi relevan untuk dipakai
dalam menggambarkan seluruh teknik pemisahan yang dilakukan secara modern dan
berkembang (Susanti dan Dachriyanus, 2014). Dalam prinsip pemisahan
kromatografi yaitu didasarkan atas perbedaan distribusi/ migrasi komponen-
komponen dalam fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase)
berdasarkan sifat fisik komponen yang akan dipisahkan (Ardianingsih, 2009).
Menurut (Susanti dan Dachriyanus, 2014) adapaun fase gerak (mobile phase) dapat
berupa gas atau zat cair dan fase diam (stationary phase) dapat berupa zat cair atau
zat padat.
Dalam sejarah penemuannya, kromatografi cair pertama kali diperkenalkan
oleh Tswett pada tahun 1903 yang saat itu menggunakan kolom kapur untuk
memisahkan pigmen dari daun hijau. Pita-pita warna inilah yang dihasilkan dari
absorben pada saat proses pemisahan yang menjadi inspirasi pemberian istilah untuk
kromatografi dari bahasa Jerman. Selanjutnya kromatografi mulai dikembangkan,
oleh Wilstater dan Stoll yang mencoba mengulangi kerja Tswett akan tetapi berujung
kegagalan. Tiga puluh tahun kemudian barulah Kohn dkk sukses mengulangi kerja
Tswett dengan memisahkan lutein dan xanthine dari ekstrak tanaman, dengan
kesuksesan ini membuat validasi kromatografi mengalami kemajuan. Pada tahun
1941, Martin dan Synge memperkenalkan kromatografi cair-cair dan kemudian
secara umum mengatur perkembangan kromatografi gas dan kromatografi kertas.
Pada tahun 1952, Martin dan James berhasil mempublikasikan karya pertama mereka
tentang kromatografi gas, inilah menjadi awal mula era penting perkembangan
kromatografi hingga akhir tahun 1960. Selama tahun 60-an dan 70-an disinilah dasar
teori kolom kromatografi diletakkan yang menjadi penuntun perkembangan
kromatografi cair. Di awal penggunaannya, kromatografi cair dilakukan dalam kolom
kaca bergaris tengah besar dan memerlukan waktu analisis yang panjang serta proses
kerja yang menjemukan. Kemudian para ilmuwan mencoba meningkatkan efisiensi
kolom dengan mengurangi ukuran partikel fasa diam. Sehingga di akhir tahun 1960-
an berhasil dihasilkan teknologi kemasan dengan partikel berdiameter 3-10 μm yang
kemudian Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (HPLC) dapat berkembang melalui
usaha tersebut (Susanti dan Dachriyanus, 2014). Menurut (Murningsih dan Chairul,
2000) sejarah perkembangan kromatografi dapat diringkas; kromatografi ini pertama
kalinya dikembangkan oleh Tswett's (1903-1906) pada pemisahan warna pigmen dari
daun, berikutnya kromatografi kertas (paper chromatography) dikembangkan oleh
Consden (1944), kromatografi cair-cair (drop counter current chromatography)
dikembangkan oleh Craig (1944), kromatografi penukaran ion (ion-exchange) oleh
Mayer (1947), elektroforesis oleh Haugard and Kroner (1948), kromatografi lapisan
tipis oleh Ismalov (1940), kromatografi gel oleh Barrer (1945) dan kromatogafi gas
oleh Claesson (1946).
Menurut (Ardianingsih, 2009) HPLC (High Performance Liquid
Chromatography) merupakan salah satu teknik kromatografi zat cair yang disertai
dengan tekanan tinggi untuk mengirim fase gerak ke dalam kolom. Dengan
pemberian tekanan tinggi maka akan menigkatkan laju dan efisiensi pemisahan
dengan besar. Menurut (Rosydiati dan Saleh, 2019) yang menyebabkan HPLC
menjadi suatu metode dengan sistem pemisahan yang cepat dan efisien, disebabkan
karena selain merupakan pengembangan dari kromatografi cair kolom klasik, juga
karena dilengkapi dengan detektor yang lebih sensitif dan peka serta ditambah
dengan kemajuan teknologi pompa bertekanan tinggi. Dalam penggunaannya HPLC
digunakan untuk analisis senyawa kuantitatif seperti dalam isolasi dan analisis bahan
alam. Keunggulan analisis menggunakan HPLC diantaranya waktu analisis relatif
singkat, volume sampel yang digunakan sedikit, dapat menganalisis senyawa organik
dan anorganik, serta kolom yang dapat digunakan kembali.
Contoh penggunaan HPLC untuk analisis bahan alam laut dapat dilihat dalam
jurnal penelitian (Sumilat, 2017) Aktivitas Spons Laut Lamellodysidea herbaceae
dari Perairan Malalayang, Manado. Dalam penelitian ini, digunakan spons yang
merupakan salah satu komponen biota penyusun terumbu karang yang mempuyai
potensi bioaktif dengan kandungan metabolit sekundernya. Berbagai macam senyawa
telah berhasil diisolasi dari biota ini diantaranya yaitu alkaloid, terpenoid, acetogenin,
senyawa nitrogen, halide siklik, peptide siklik, dan lain-lain. Metabolit sekunder dari
L.herbacea adalah kemampuan spons dalam menghambat pertumbuhan kanker.
Dalam metodenya, dilakukan tahap sampling, preparasi sampel, proses ekstraksi
hingga diperoleh crude extract-nya lalu dimurnikan dengan HPLC hingga didapatkan
senyawa murninya lalu dengan NMR untuk mendapatkan metabolit sekunder berupa
senyawa baru dari alam, lalu dilakukan uji sitotoksik terhadap sel kanker.
2.2.3 Elektroforesis
Elektroforesis adalah suatu metode pemisahan dengan memanfaatkan medan
listrik yang dihasilkan dari elektroda-elektroda untuk memisahkan senyawa-senyawa
yang bermuatan kation atau anion. Dalam proses elektroforesis dibutuhkan media
pemisah berupa fase diam seperti sel Agarosa yang tercampur dengan larutan buffer
untuk menjaga keasaman sampel selama proses pemisahan berlangsung. Hasil dari
elektroforesis ini berupa rekam jejak pita-pita pemisahan senyawa, yang mana
pemisahannya berdasarkan atas kecepatan gerak molekul yang bergantung pada rasio
muatan terhadap massanya, serta bergantung pula pada bentuk molekul (Harahap,
2018).
Menurut (Pratiwi, 2001) sejarah perkembangan metode elektroforesis sejalan
dengan perkembangan bidang biologi molekuler, karena metode elektroforesis
ditemukan dan dipakai pertama kali untuk menganalisa di bidang kimia-biologi
seperti untuk taksonomi, sistematik dan genetic untuk hewan dan tumbuhan. Pada
akhir abad ke-19 setelah penelitian tentang efek dari listrik terhadap partikel/molekul
bermuatan listrik, maka metode elektroforesis (transport/perpindahan melalui
partikel-partikel listrik) oleh para peneliti genetik Hunter and Moller di tahun 1957
melakukan penelitian sifat-sifat enzim sebagai katalisator untuk melihat pengaruh
kimia dan perkembangannya secara elektroforesis.
Contoh penggunaan metode elektroforesis untuk bahan alam laut yaitu dapat
dilihat dalam jurnal penelitian yang dilakukan oleh (Annisaqois dkk., 2018) Jurnal
Analisis Molekuler DNA Alga Merah (Rhodophyta) Kappaphycus sp. Dalam
penelitiannya, dilakukan analisis DNA taksonomi pada alga merah untuk
menentukan keberhasilan ekstraksi DNA rupul laut Kappaphycus sp. untuk
identifikasi spesies Kappaphycus sp. yang mana dalam salah satu metodenya
menggunakan metode elektroforesis untuk proses pemisahan dengan tegangan listrik
(Annisaqois dkk., 2018). Alga merah termasuk penghasil senyawa bioaktif yang dpat
dikelola secara farmakologis. Alga merah mempunyai kemampuan memproduksi
metabolit sekunder sebagai senyawa bioaktif karena kondisi lingkungan ekstrim yang
ditempatinya. Kandungan senyawa metabolit sekunder dalam alga merah meliputi
alkaloid, saponin, triterpenoid, tannin, dan flavonoid yang mana dapat dikelola
menjadi anti-bakteri, anti-kanker, anti-tumor dan lain-lain (Singkoh dkk., 2019).
Selain itu dalam bidang biokimia, metode elektroforesis juga seringkali
digunakan, seperti dalam jurnal penelitian (Atma dan Ramdhani, 2017) tentang
Identifikasi Gelatin dari Tulang Ikan Patin Hasil Ekstraksi Menggunakan Kulit
Nanas dengan Elektroforesis Vertikal. Dalam penelitian ini, gelatin yang merupakan
protein di ambil sampelnya di perairan hangat, setalah itu dilakukan ekstraksi
dengan menggunakan metode elektroforesis vertical atau metode sodium dodecyl
sulfate polyacrylamide (SDS-PAGE) metode analisis protein dengan prinsip
didasarkan atas laju migrasi dengan bantuan arus listrik. Prinsipnya adalah protein
lebih kecil akan melewati gel berpori lebih cepat. Protein akan teridentifikasi
keberadaannya dengan bantuan protein penanda (marker) yang telah diketahui berat
molekulnya (Atma dan Ramdhani, 2017).
2.2.4 Mass Spectroscopy
Mass Spectrometry (MS) atau spektrometri massa adalah suatu metode
analisa untuk menentukan massa molekul suatu senyawa atau atom dengan
mengubahnya menjadi mutan ion. Spektrometri massa juga cukup sering digunakan
untuk menentukan struktur suatu molekul. Spektrometri massa memungkinkan untuk
mempelajari dinamika reaksi dari ion kimia, serta menyediakan data dari sifat fisik
seperti energi ionisasi, energi penggunaan, entalpi reaksi, afinitas proton dan ion, dan
untuk memverifikasi perhitungan orbital molekul berdasarkan prediksi teoretik. Oleh
karenanya, spektrometri massa dapat dikatakan sebgai teknik yang paling serbaguna
dan komperhensif dalam berbagai bidang seperti kimia, biokimia, kimia medisinal,
fisika, farmasi, dan lain-lain. Salah satu contohnya yaitu spektrometer massa
digunakan untuk mengukur molekul massa polipeptida atau untuk menentukan
tambahan fitur struktural termasuk urutan asam amino atau tempat perlekatan dan
jenis modifikasi pascatranslasi. Rincian fitur struktural dari peptida asam amino
dapat disimpulkan dari analisis massa pada fragmen yang dihasilkan.
Spektroskopi massa adalah teknik analisis dengan prinsip dasar untuk
membuat molekul netral menjadi bermuatan agar bisa dideteksi. Tujuan utama dari
spektroskopi massa adalah untuk mengetahui bobot molekul. Informasi yang
diperoleh dari spektrum MS adalah bobot ion, yaitu massa molekul isolat plus atau
berkurangnya sumber ion.
Pada tahun 1886, Eugen Goldstein meneliti cahaya dari gas pada tekanan
rendah ketika dialirkan arus listrik dari anoda ke katoda. Radius ini berbeda dari arah
muatan negatif dari katoda (yang bergerak dari katoda ke anoda), sehingga Goldstein
menyatakannya beban positif dari anoda atau “canal rays”. Selanjutnya Wilhelm
Wina menemukan bahwa medan listrik dan medan magnet yang kuat dapat
membelokkan canal rays. Oleh karena itu, pada tahun 1899, instrumen magnetik
madan dan medan listrik paralel dapat memisahkan cahaya positif sesuai dengan
beban bawah (q/m). Wina mencatat bahwa rasio muatan per massa bergantung pada
sifat gas dalam tabung tidak bermuatan tersebut, keberhasilan pemisahan ditunjukkan
pada spektroskopi massa atau spektroskopi massa.
Aplikasi pertama spektrometri massa adalah untuk menganalisis asam amino
dan peptida dalam laporan tahun 1958. Teknologi spektrometri massa modern
dikembangkan oleh Arthur Jeffrey Dempster dan F. Waston 1918 dan 1919. Aston
berkontribusi pada bagian paling penting bagi ilmu atom dengan penemuan
spektrometri massa. Alat ini dapat memutus isotopi dengan mengukur perbedaan
waktu dalam massa. Dengan Spektograf Mass, Aston telah berhasil mengenali
banyak isotop yaitu 212 isotop. Pengakuan ini mendorongnya untuk merencanakan
aturan-aturan bilangan murni yang terkenal, yaitu: "Menentukan massa isotop
oksigen, semua isotop lainnya memiliki massa hampir semua bilangan murni".
Aturan itu penting untuk pengembangan teknologi energi atom. Untuk
pencapaiannya dalam studi isotop unsur non-radioaktif menggunakan spektograf
massa, Aston dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Kimia pada 1922.
Aplikasi penggunaan Mass Spectrometry pada biota laut yaitu “Analisis LC-
MS/MS (Liquid Crhomatogaph Mass Spectrometry) dan Metabolit Sekunder serta
Potensi Antibakteri Ekstrak n-Heksana Spons Callyspongia aerizusa yang diambil
pada kondisi tutupan Terumbu Karang yang berbeda di Perairan Teluk Staring” oleh
Mangurana dkk pada tahun 2019. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui
perbedaan kandungan bioaktif pada terumbu karang dengan kondisi yang berbeda.
Pemeriksaan metabolit sekunder menggunakan metode KLT dan pengujian
perbedaan kandungan senyawa dalam terumbu karang menggunakan LC-MS/MS
dengan hasil yang diperoleh yaitu kandungan metabolit sekunder pada C. aerizusa
pada kedua statsiun sama yaitu aktif terhadap alkalois, steroid, flavanoid, terpenoid,
dan saponin.
2.2.5 Spektroskopi NMR (Nuclear Magnetic Resonance)
Spektroskopi NMR (Nuclear Magnetic Resonance) adalah suatu metode
analisa yang digunakan untuk menentukan jumlah suatu atom karbon dalam molekul
organik hasil isolasi, sintesis ataupun transfortasi. Jenis spektroskopi ini
memanfaatkan sifat magnetik dari inti atom. Keuntungan utama dari NMR adalah
membantu dalam menghitung banyaknya karbon yang terkandung dalam suatu
molekul organik yang belum diketahui struktur dan sifatnya, dan juga dengan NMR
dapat diketahui lingkungan kimia dari karbon dengan memnatu nilai pergeseran
kimianya.
Alat yang digunakan untuk analisa atom karbon dalam molekul organik ialah
spektrometer NMR (Nuclear Magnetic Resonance). Prinsip alat ini yaitu berdasarkan
resonansi antara momen magnet inti atom dengan gelombang radio yang digunakan
padanya. Salah satu teknik NMR yaitu teknik NMR pulsa yang prinsipnya
didasarkan pada perubahan medan osilasi frekuensi radio secara pulsa.
Adapun sejarah dari penemuan Resonansi Magnetik Inti (RMI/NMR) yaitu
pada tahun 1945, dua kelompok ahli fisika mengamatisinyal NMR ini pertama kali.
Kelompok pertama mengobservasi di Universitas Stanford yaitu Bloch, Packard dan
Hansen yang mendeteksi proton pada air. Kelompok kedua yaitu Torrey, Purcell dan
Pound di Universitas Harvard yang mengobservasi sinyal proton pada lilin parafin.
Mereka melihat bahwa inti magnetikatom, seperti H dan P dapat menyerap energi RF
bia diletakkan pada medan magnetik dari sebuah kekuatan khusus untuk identitas
inti. Ketika penyerapan berlangsung, inti digambarkan berada dalam keadaan
resonansi.
Pada tahun 1952, Bloch dan Purcell menerima penghargaan nobel di bidang
fisika atas penemuannya. Sejak saat itu, teknik NMR berkembang sangat cepat. Pada
tahun 1953, spektrometer NMR proton diproduksi pertama kali dengan spektrometer
proton continuous wave yang merupakan bagian penting dalam penelitian dan
laboratorium. Kemudian perkembangan baru NMR terjadi lagi dalam rentang 20
tahun terakhir, yaitu munculnya spektroskopi resolusi tinggi untuk bahan yang solid,
seperti NMR 2D dan NMR 3D.
Aplikasi dari spektroskopi NMR pada bahan alam benua maritim yaitu
“Isolasi, Identifikasi dan Uji Bioaktivitas Metabolit Sekunder Ekstrak n-Heksana
Spons Petrosia alfiani dari Kepulauan Barrang Lompo” yang dilakukan oleh Aqa’id
dkk pada tahun 2017. Spons Petrosia alfiani adalah jenis spesies baru yang ditemkan
di kawasan perairan Sulawesi Selatan. Petrosia genus lain telah dilaporkan bahwa
mengandung asam kortikatat yang berfungsi sebagai anti jamur dan alkaloid serta
anti bakteri. Tujuan dari penelitian ini yaitu meneliti lebih lanjut mengenai
kandungan metabolit sekunder yang baru yang terdapat pada Petrosia alfiani. Sampel
diekstrak, kemudian diisolasi dengan KKG dan kemudian dimurnikan dengan cara
rekristalisasi. Isolat murni yang diperoleh diuji dengan 13C NMR.
2.2.6 Kultur Jaringan
Menurut Anitasari, dkk., (2018) kultur jaringan hewan sudah ada sebelum
berkembangnya kultur jaringan tumbuhan, dimana Scheilden dan Schwan melakukan
penelitian totipotensi sel, yaitu penelitian tentang kemampuan sel secara keseluruhan.
Teori Totipotensi sel mengatakan sel yang merupakan unit dari structural dan
fungsional organisme dapat berkembang secara otonom, sehingga prinsip teori ini sel
dapat bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Dasar teori Totipotensi Sel oleh
Scheilden dan Schwan merupakan spekulasi Gottlieb Haberlandt pada awal abad ke-
20.
Gottlieb Haberlandt mengemukakan dasar teorinya dalam pidatonya di
German Academy of Scienst pada tahun 1902 menganai eksperimen kultur jaringan
tunggal miliknya. Gottlieb Haberlandt menyatakan bahwa jaringan tanaman dapat
diisolasi, dikultur, dan berkembang menjadi tanaman normal dengan cara
memanipulasi kondisi lingkungan dan nutrisi tanaman tersebut. Pada tahun 1878,
Voching menguji coba teori milik Gottlieb Haberlandt pada induksi kalus yang dapat
bergenerasi pada bagian atas membentuk tunas dan bagian bawah membentuk akar
(bipolar) (Anitasari, dkk., 2018).
Pada tahun 1934, seorang peneliti bernama White berhasil menggunakan
sampel ujung akar tomat yang memiliki sifat sel meristematik. Kemudian pada tahun
1939, peneliti Gautheret, Nobecourt, dan White berhasil menumbuhkan kalus
tembakau dan wortel secara in vitro. Setelah perang dunia II, perkembangan teknik
kultur jaringan berjalan dengan sangat cepat, sehingga banyak penelitian yang
dihasilkan melalui teknik kultur jaringan tanaman yang sangat membantu dunia
pertanian, kehutanan, bahkan horikultura (Anitasari, dkk., 2018).
Salah satu contoh kemajuan kultur jaringan yaitu pada tahun 1960, Morel
menemukan teknik kultur in vitro tanaman anggrek Cymbidium, kemudian pada
tahun 1962, Murashige dan Skoog menemukan formulasi media kultur dimana
konsentrasi garam mineral yang tinggi merupakan media kultur yang sesuai. Teknik
kultur jaringan berkembang sangat pesat hingga sekarang, seperti pada tahun 1974
adanya penelitian mengenai biotransformasi pada kultur jaringan tanaman, dan masih
banyak lagi penelitian lain yang dilakukan (Anitasari, dkk., 2018).
Teknik kultur jaringan tanaman tidak hanya digunakan untuk tumbuhan yang
berada di darat, tetapi juga dapat digunakan pada tumbuhan yang hidup dan
berkembang di laut atau perairan, contohnya adalah rumput laut. Dimana menurut
Daud, dkk., (2013) budidaya rumput laut memiliki potensi yang lebih besar untuk
dikembangkan, dimana pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia sudah
dimulai sejak tahun 1980-an. Awal mula adanya budidaya rumput laut yaitu karena
kondisi masyarakat yang hidup di daerah pesisir, sehingga mereka bisa
memanfaatkan sumberdaya alam yang mudah untuk dikembangkan dan juga dapat
menjadi pendapatan mereka, serta melestarikan lingkungan prairan pantai. Selain
memiliki nilai ekonomis yang tinggi, rumput laut yang dikembangkan di Indonesia
digunakan sebagai makanan dan secara tradisional digunakan sebagai obat-obatan
oleh masyarakat pesisir (Firdaus, 2019).
2.2.7 Bioteknologi
Pada tahun 1917, bioteknologi pertama kali ditemukan oleh seorang insinyur
Hingaria bernama Karl Ereky ketika ia mendiskripsikan produksi babi dalam skala
besar dengan menggunakanbit gula sebagai sumber pakannya. Bioteknologi sendiri
berasal dari kata bios yang berarti hidup, teuchos yang berarti alat, dan logos yang
berarti ilmu, sehingga bioteknolgi adalah cabang ilmu ang mempelajari pemanfaatan
makhluk hidup maupun produk dari makhluk hidup dalam proses menghasilkan
produk yang dapat meningkatkan kesejahteraan manusia.
Beberapa pengertian bioteknologi lainnya, Primrose (1987) mengartikan
sebagai suatu penerapan prinsip-prinsip biologi, kimia, dan rekayasa dalam mengolah
suatu bahan dengan memanfaatkan organisme hidup dan komponen-komponennya
untuk menghasilkan barang dan jasa. OTA-US (1982) mengartikan bioteknologi
sebagai suatu Teknik pendayagunaan organisme hidup untuk membuat dan
memodifikasi suatu produk dan meningkatkan atau memperbaiki sifat makhluk
hidup.
Perkembangan bioteknologi sangat dipengeruhi oleh perkembangan ilmu-
ilmu dasar seperti perkembangan mikrobiologi, genetika, dan biokimia. Dimana
mikrobiologi memiliki peranan yang sangat penting karena studi awal mengenai
manipulasi genetic dilakukan terhadap mikroorganisme. Bioteknologi sendiri sudah
dikenal melalui metode fermentasi dimana produk yang dihasilkan masih sederhana
dengan memanfaatkan mikroorganisme. Ada pula beberapa periode berkembangnya
bioteknologi, yaitu:
1. Zaman pra Pasteur (sebelum 1865), perbaikan teknink fermentasi oleh
mikroorganisme misalnya minuman beralkohol.
2. Zaman Pasteur (1865-1940), pengembangan industry fermentasi pembuatan
etanol, butanol, dan asam organic (asam sitrat dan asam asetat), serta
pengolahan limbah secara aerob.
3. Zaman Antibiotika (1940-1960), pembuatan penisilin yang mulai digunakan
pada saat pendaratan tantara amerika di Normandy selama PD II, vaksin virus
(anti NCD, dan anti polio), teknologi kultur sel hewan, teknologi fermentasi
media cair, dan transformasi steroid.
4. Zaman Pasca Antibiotika (1960-1975), asam-asam amino seperti asam
glutaman dan lisin, eluidasi struktur DNA, protein sel tunggal, enzim untuk
deterjen, protein sel tunggal, biogas, dan teknologi rekombinan DNA.
5. Era Bioteknologi Modern (1975-sekarang), rekayasa genetika, zat antibody
monoclonal, hormon insulin, dan hormon pertumbuhan ikan tuna, dan masih
banyak lagi.
Bioteknologi modern lahir pada tahun 70-an diawali dengan inovasi ilmuan
dari AS dengan mengembangkan teknologi DNA rekombinan, dimana penelitian ini
melahirkan perusahaan bioteknologi pertama di dunia, yaitu Genentech di AS yang
berhasil memproduksi protein hormon insulin rekombunan yang dibutuhkan oleh
penderita diabetes, yang diinsersikan ke dalam sel bakteri E.coli.
BAB III
KESIMPULAN EKSEKUTIF

Kesimpulan eksekutif pada makalah ini adalah biota laut merupakan


kekayaan alam yang tak ternilai harganya. Berbagai usaha telah dilakukan manusia
untuk menyingkap rahasia yang terkandung dalam biota laut dan produknya. Usaha
yang tak kenal lelah mulai menunjukkan hasil dengan ditemukannya berbagai jenis
senyawa bioaktif baru (novel compounds) yang tidak ditemukan pada biota darat.
Kemudian perkembangan kimia organik bahan alam laut ini disusun berdasarkan
pendekatan sejarahnya, baik dari segil perkembangan penenlitian seperti isolasi dan
sintesis bahan alam, kromatografi dan sebagainya dan adapun ditinjau berdasarkan
perkembangan teknik atau instrumen yang digunakan dalam bahan alam seperti X-
ray, HPLC sampai bioteknologi.
DAFTAR PUSTAKA

Anitasari, S. D., Sari, D. N. R., Astraini, I. A., dan Defiani, M. A., 2018, Dasar
Teknik Kultur Jaringan Tanaman, Deepublish, Yogyakarta.

Annisaqois, M., Gerung, G.S., Wullur, S., Sumilat, D.A., Wagey, B.T., dan Mandagi,
S.V., 2018, Analisis Molekuler DNA Alga Merah (Rhodophyta)
Kappaphycus sp., Jurnal Pesisir dan Laut Tropis, 1(1): 107-112.

Aqa’id, M. S., Usman, H. dan Nasir, H., Isolasi, Identifikasi dan Uji Bioaktivitas
Metabolit Sekunder Ekstrak n-Heksana Spons Petrosia alfiani dari
Kepulauan Barrang Lompo, Jurnal Ilmiah Kimia Organik, 3(1): 1-7.

Ardianingsih, R., 2009, Penggunaan High Performance Liquid Chromatography


(HPLC) dalam Proses Analisa Deteksi Ion, Artikel LAPAN, 10(4): 101-104.

Atma, Y., dan Ramdhani, H., 2017, Identifikasi Gelatin dari Tulang Ikan Patin Hasil
Ekstraksi Menggunakan Kulit Nanas dengan Elektroforesis Vertikal, Jurnal
UMJ, 1(2): 1-7.

Basir, D. dan Eliza, 2000, Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti Karbon (13C-NMR)
dari Etil, Asam dan (2-Metoksi-4-formil) Fenil P-Metoksisinamat, Jurnal
Penelitian Sains, 1(6): 1-7.

Dachriyanus, 2004, Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi.,


Lembaga Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (LPTIK)
Universitas Andalas, Padang.

Dali, S., Natsir, H., Usman, H., dan Ahmad, A., 2011, Bioaktivitas Antibakteri Fraksi
Protein Alga Merah Gelidium Amansii dari Perairan Cikoang Kabupaten
Takalar Sulawesi Selatan, Majalah Farmasi dan Farmakologi, 15(1): 47-52.

Dass, C., 2007, Fundamentals of Contemporary Mass Spectrometry, John Wiley and
Sons Inc, Canada.

Daud, R., Suryati, E., dan Mulianingrum, S. R. H., 2013, Pengaruh Bobot Awal
Rumput Laut (Gracilaria sp.) Hasil Kultur Jaringan Terhadap Pertumbuhan
di Tambak, Prosding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur, 711-714.

Dolorosa, M.T., Nurjanah, Purwaningsih, S., Anwar, E., dan Hidayat, T., 2017,
Kandungan Senyawa Bioaktif Bubur Rumput Laut Sargassum
plagyophyllum dan Eucheuma cottonii sebagai Bahan Baku Krim Pencerah
Kulit, JPHPI, 20(3): 633-644.

Domon, B. dan Aebersold, R., 2006, Mass Spectrometry and Protein Analysis,
Science, 312(5771): 212-217.
Firdaus, M., 2019, Pigmen Rumput Laut dan Manfaat Kesehatannya, UB Press,
Malang.

Gross, J. H., 2004, Textbook Mass Spectrometry, Springer, Heidelberg.

Harahap, M.R., 2018, Elektroforesis: Analisis Elektronika terhadap Biokimia


Genetika, Jurnal Ilmiah Pendidikan Teknik Elektro, 2(1): 21-26.

Hanum, G. R., 2018, Biokimia Dasar Edisi Revisi, UMSIDA PRESS, Sidoarjo, Jawa
Timur.

Harahap, F., 2012, Fisiologi Tumbuhan: Suatu Pengantar, UNIMED PRESS, Medan.

Handoko, E., Soegijono, B. dan Tama, F.R., 2001., Tehnik Difraksi Sinar-X Dalam
Analisis Struktur Kristal., Universitas Negeri Jakarta, Jakarta.

Jamaluddin., 2010., X-RD (X-Ray Diffractions)., Universitas Haluoleo, Kendari.

Jenie, U. A. dkk., 2014, Teknik Modern Spektroskopi NMR: Teori dan Aplikasi
dalam Elusidasi Struktur Molekul Organik, LIPI Press, Jakarta.

Khusuma, A., 2019, “Biologi Molekuler”, diakses pada 17 September 2021, pukul
14.35 WITA. (https://www.slideshare.net/khusumaari/3-biologi-molekuler-
rpl).

Lailiyah, A., Adi, T.K., Hakim, A., dan Yusnawan, E., 2014, Kapasitas Antioksidan
dan Kandungan Total Senyawa Fenolik Ekstrak Kasar Alga Cokelat
Sargassum cristaefolium dari Pantai Sumenep Madura, Jurnal Alchemy,
3(1): 18-30.

Mangurana, W. O. I., Yusnaini dan Sahidin, 2019, Analisis LC-MS/MS (Liquid


Crhomatogaph Mass Spectrometry) dan Metabolit Sekunder serta Potensi
Antibakteri Ekstrak n-Heksana Spons Callyspongia aerizusa yang diambil
pada kondisi tutupan Terumbu Karang yang berbeda di Perairan Teluk
Staring, Jurnal Biologi Tropis,19(2): 131-141.

Murningsih, T., dan Chairul, 2000, Mengenal HPLC: Peranannya dalam Analisa
Proeses Isolasi Bahan Kimia Alam, Jurnal Biologi, 5(2): 261-271.

Nugroho, E. D., dan Rahayu, D. A., 2018, Pengantar Bioteknologi (Teori dan
Aplikasi), Deepublish, Yogyakarta.

Nasution, Y. A., 2009, Penetapan Kadar Zat Aktif Parasetamol dalam Obat Sediaan
Oral dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), USU
Repository.

Pratiwi, R., 2001, Mengenal Metode Elektroforesis, Jurnal Oseana, 26(1): 25-31.
Putra, E.D., 2004, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi, USU Repository.

Rasyid, A., 2008, Biota Laut sebagai Sumber Obat-Obatan, Oseana, 33(1): 11-18.

Rijai, L., 2019, Review Beberapa Bioaktivitas dan Senyawa Kimia Organisme Laut
untuk Kefarmasian, Jurnal Sains dan Kesehatan, 2(1): 70-82.

Rizalina, H., Cahyono, E., Mursiti, S., Nurcahyo, B., dan Supartono, 2018, Optimasi
Penentuan Kadar Metanol dalam Darah Menggunakan Gas
Chromatography, Indonesian Journal of Chemical Science, 7(3): 254-261.

Rosydiati, dan Saleh, E.K., 2019, Karakterisasi Puncak Kromatogram dalam High
Performance Liquid Chromatography (HPLC) terhadap Perbedaan Fase
Gerak, Laju Alir, dan Penambahan Asam dalam Analisis Indole Acetic Acid
(IAA), Jurnal KANDAGA, 1(2): 65-73.

Sari, D.K., Lestari, R.S.D., dan Rahmat, A., 2016, Biosintesis Nano/Mikro Partikel
Perak dari Rumput Laut (Eucheuma Cottonii) Berbantu Gelombang
Ultrasonic, Makalah disajikan dalam lokakarya Seminar Nasional Sains dan
Teknologi, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta, 8
November.

Singkoh, M.F.O., 2011, Aktivitas Antibakteri Ekstrak Alga Laut Caulerpa racemosa
dari Perairan Pulai Nain, Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis, 7(3): 123-
127.

Singkoh, M.F.O., Mantiri, D.M.H. Lumenta, C., dan Manoppo, H., 2019,
sIdentifikasi Senyawa Bioaktif Alga Merah Halymenia durvillei, Jurnal
Bios Logos, 9(1): 21-27.

Suarsa, W.I., 2015, Spektroskopi, Universitas Udayana, Bali.

Suhartati, T., 2017, Dasar-Dasar Spektrofotometri Uv-Vis dan Spektrofotometri


untuk Penentuan Struktur Senyawa Organik, Aura, Bandar lampung.

Sumarto, dkk., 2011, Penentuan Senyawa Bioaktif Ekstrak Daging Siput Bakau
(Terebralia sulcata) dengan Kromatografi Lapis Tipis, Berkala Perikanan
Terubuk, 39(2): 85-96.

Sumilat, D.A., 2017, Aktivitas Spons Laut Lamellodysidea herbacea dari Perairan
Malalayang, Manado, Jurnal LPPM Bidang Sains dan Teknologi, 4(1): 1-7.

Susanti, M., dan Dachriyanus, 2014, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi, Penerbit
Andalas University Press: Padang.

Susilawati, 2015, Pengaruh Radiasi Neutron Terhadap Waktu Relaksasi Spin-Kisi


(T1) Pada Polimer Polivinil Klorida (PVC) dengan Spektroskopi NMR
Pulsa, Jurnal Pendidikan Fisika dan Teknologi, 1(1): 67-76.
Wibowo, J.T., 2014, Perkembangan Penemuan Bahan Baku Obat dari Sumber Daya
Hayati Laut, Oseana, 39(3): 41-49.

Wulandari, L., 2011, Kromatografi Lapis Tipis, PT. Taman Kampus Presindo,
Jamber.

Wahyuni, S., Kirami, M. W., dan Khaeruni, A., Karakterisasi Sifat Biokimia Isolat
Bakteri Kitinolitik Asal Tambak Udang, Jurnal Ilmiah: Biologi Eksperimen
dan Keanekaragaman Hayati, 2(2): 49-54.

Anda mungkin juga menyukai