PENDIDIKAN DI INDONESIA
Disusun Oleh:
Lutfi Arif Hilmi
Saiful Imam
Munawaroh
Wahyu Ramdani
Yusril Sidik
Dede Puad Hilmi
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Isu-Isu
Mutakhir Multikulturalisme Pendidikan di Indonesia” tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
terstruktur pada mata kuliah Multikulturalisme. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Wiwin Siti Aminah Rohmawati,
S.Ag., M.Ag dosen mata kuliah Multikulturalisme yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
A. Jenis Masalah
Pendidikan adalah sarana atau jembatan untuk manusia agar dapat
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang didapat.
Sebagaimana yang kita ketahui, tertuang di dalam UUD 1945 pasal 31 Ayat 1
yang menyebutkan bahwa: “setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan”. Jadi, sudah jelas bahwa pendidikan itu merupakan hak setiap
individu untuk mendapatkannya. Dengan adanya pendidikan diharapkan dapat
melahirkan generasi penerus bangsa dengan pribadi yang cerdas dan berkualitas
yang artinya generasi yang mampu memanfaatkan kemajuan yang ada dengan
sebaik mungkin. Dan juga tercipta generasi yang memiliki sifat nasionalisme yang
tinggi. Tanpa adanya pendidikan, tidak akan ada yang namanya kemajuan. Maka
dari itu, pendidikan sangat penting dan wajib diberikan kepada setiap warga
negara sejak dini. Pendidikan juga merupakan suatu hal penting bagi sebuah
negara agar dapat berkembang pesat. Negara-negara yang maju biasanya negara
yang memprioritaskan pendidikan bagi warga negaranya. Dengan harapan dengan
adanya pendidikan, maka kesejahteraan warga negaranya akan terjamin. Tetapi,
pendidikan juga tidak akan berbuah kemajuan apabila sistem dari pendidikan
tersebut tidak tepat. Sama halnya seperti di Indonesia.
Kualitas dari pendidikan di Indonesia pada akhir-akhir ini sangat
memprihatinkan. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa masalah dalam sistem
pendidikan Indonesia yang mengakibatkan rendahnya kualitas pendidikan di
Indonesia. Seperti contohnya, kelemahan dalam sektor manajemen pendidikan,
terjadi kesenjangan sarana dan prasarana pendidikan di daerah kota dan desa,
dukungan dari pemerintah yang masih lemah, adanya pola pikir kuno dalam
masyarakat, rendahnya kualitas sumber daya pengajar, dan lemahnya standar
evaluasi pembelajaran. Beberapa hal di atas yang menjadi faktor kualitas
pendidikan di Indonesia rendah. Selain dari beberapa hal di atas, ada juga
terjadinya problem dalam pembelajaran. Hal itu pun salah satu sebab menurunnya
kualitas pendidikan di Indonesia.
Menurut Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, dalam
pasal 1 dijelaskan bahwa pendidikan adalah sebuah usaha sadar untuk
mewujudkan suasana belajar agar peserta didik dapat mengembangkan potensi
yang dimilikinya secara aktif melalui proses pembelajaran. Melalui pendidikan,
diharapkan peserta didik dapat memiliki kepribadian yang cerdas, berakhlak
mulia, dan juga memiliki keterampilan untuk dirinya sendiri ataupun untuk
lingkungan masyarakat sekitarnya.
1
B. Sebab dan Akibat Masalah Pendidikan di Indonesia
1. Efisiensi Pengajaran
Efisiensi yaitu bagaimana agar menghasilkan efektivitas dari suatu tujuan
dengan proses yang lebih mudah. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih
baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa
melupakan proses yang baik pula. Hal itu jugalah yang kurang jika di lihat
dari pendidikan yang ada di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan
prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di di Indonesia adalah mahalnya biaya
pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar
dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan
di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya
manusia Indonesia yang lebih baik. Jika berbicara tentang biaya pendidikan,
tidak hanya berbicara tentang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga
pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara
tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya
transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pendidikan yang
kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan
pembebasan biaya pengajaran, namun peserta didik tidak hanya itu saja,
kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain
sebagainya yang dapat kita lihat hal itu diwajibkan oleh pendidik yang
bersangkutan. Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia,
masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dapat dilihat bahwa pendidikan
tatap muka di Indonesia relatif lebih lama jika dibandingkan negara lain.
Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang
jadwal pengajarannya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai
pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika di amati lagi,
peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan
banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga
pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas
juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga,
karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk
melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang. Mutu pengajar disebabkan
oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja,
pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun ia
mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-
tersebut benar-benar terjadi jika melihat kondisi pendidikan di lapangan yang
2
sebenarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan
pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik
peserta didik. Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem
pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi
yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga
kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti
cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu
yang juga menambah biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika
terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kurang efektif lalu
langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif. Konsep
efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara
optimal dengan hanya masukan yang relatif tetap, atau jika masukan yang
sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal.
3
siswa dalam belajar. Berkenaan dengan peranan seorang Guru, maka
keprofesionalan seorang guru sangatlah penting untuk memenuhi tuntutan
masyarakat. Namun demikian, membahas masalah profesionalnya seorang
guru tidak dapat lepas dari persyaratan atau kualifikasi yang harus dipenuhi.
Dalam hal ini berkaitan dengan kualitas intelektual dan mentalnya untuk
menjalankan fungsinya sebagai seorang pendidik dan pembimbing. Memaknai
“profesionalisme” seorang pendidik lebih kepada aspek seorang pendidik,
dimana seorang pendidik yang tidak profesional tak lebih hanya sebagai
seorang “pekerja” yang hanya memberikan kewajibannya saja untuk mengajar
dan menuntut haknya yaitu “uang” semata, tanpa memikirkan aspek
psikologis para murid dan tanggung jawabnya sebagai pendidik. Sekarang ini
jarang sekali kita temui seorang pendidik yang benar-benar berdedikasi secara
luhur dan berdasarkan panggilan hati nuraninya sebagai seorang “Guru”.
Faktor lain yang menjadi masalah dalam perkembangan Pendidikan
adalah kesejahteraan guru. Hal ini sangat berimplikasi terhadap rendahnya
kinerja seorang Guru. Dalam menyikapi masalah ini, banyak pro dan kontra
terhadap masalah “kesejahteraan” yang selama ini telah menjadi
permasalahan dan belum diketahui ujung pangkalnya. Sebagian orang
beranggapan bahwa sangat kurangnya kompensasi dari pemerintah terhadap
kinerja guru mengakibatkan kurang profesionalnya para guru di negara kita
selama ini. Akan tetapi, ada juga yang beranggapan bahwa “kesejahteraan” itu
tidak dapat sepenuhnya menjamin keprofesionalan seorang Guru dalam
bekerja. Kesejahteraan itu muncul apabila seorang Guru dapat bekerja secara
profesional dan bersungguh-sungguh menjalankan tugasnya dengan penuh
keikhlasan dan dedikasi yang tinggi terhadap pekerjaan. Seandainya
“kesejahteraan” yang diberikan terlebih dahulu kepada yang lebih layak
menerimanya adalah para pendidik yang berada dipedalaman-pedalaman yang
sudah tentu dedikasinya terhadap pendidikan sangat baik. Sebagai contoh
seorang “Butet” yang pendidikan terakhirnya S2, dengan penuh dedikasi
mengabdikan dirinya pada pendidikan anak-anak disuku Anak Dalam,
dipedalaman Jambi dan sekarang dia berada dipedalam Papua. Kita patut
mencontoh terhadap perjuangannya untuk ikut mencerdaskan kehidupan
bangsa, tanpa memikirkan kesejahteraan dan kenikmatan dunia semata. Orang
semacam ini yang seharusnya mendapatkan “kesejahteraan” yang selama ini
dielu-elukan oleh para pendidik di negara kita, dan seharusnya kita malu.
4
3. Pemerataan Pendidikan
Hal ini berkaitan dengan sistem pendidikan yang mana seharusnya
menyiapkan peluang besar bagi seluruh masyarakat agar dapat mengakses
pendidikan, agar mampu menjadi tempat bagi keberlanjutan peningkatan
SDM di Indonesia. Menurut Wayan (1992) pemerataan pendidikan yang
berkaitan dengan mutu proses dan hasil pendidikan belumlah merata di
Indonesia. Masih banyak terdapat gap yang cukup besar pada
penyelenggaraan pembelajaran pendidikan baik di kota maupun di desa, lebih
khusus lagi bila dibandingkan daerah Jawa dan daerah Timur Indonesia.
Apabila diamati lebih saksama dalam kurun waktu 10 tahun terakhir masih
dirasa belum berhasil pendidikan secara keseluruhan untuk meningkatkan
kualitas hasil belajar sebagaimana pendapat Idris yang mana banyak peserta
didik mempunyai kemampuan sedang/kurang dalam hasil belajar. Urgensi
pemerataan pendidikan menjadi isu yang menarik, karena apabila anakanak
yang seharusnya mengenyam pendidikan di tingkat sekolah dasar, maka siswa
tersebut mempunyai kemampuan berupa membaca, menulis dan berhitung.
Dengan demikian ia mampu mengikuti dan tidak akan tertinggal dengan
perkembangan zaman, mereka menjadi mandiri dan tidak menjadi
penghambat pembangunan Indonesia. Pada tingkat pendidikan dasar,
kebijakan yang berkaitan dengan tersedianya akses pendidikan yang
mempertimbangkan aspek kuantitatif, sebab seluruh masyarakat perlu
diberikan materi pemahaman yang seimbang. Jika dilihat dengan saksama
untuk jenjang pendidikan menengah sampai dengan jenjang pendidikan tinggi,
kebijakan pemerintah berkaitan dengan pembangunan kualitatif dan relevansi,
yang berhubungan dengan minat dan bakat siswa, dimana kebutuhan lapangan
kerja dan untuk pengembangan kebudayaan, dan teknologi terbaru. Namun,
dalam perkembangan yang terjadi pada dewasa ini terjadi ketidakseimbangan
antara jumlah lembaga pendidikan dengan peserta didiknya, antara sekolah
umum dan sekolah kejuruan pada masing masing tingkat satuan pendidikan,
padahal sekolah kejuruan seharusnya lebih banyak daripada sekolah umum
karena pembangunan membutuhkan kader-kader yang cerdas dan terampil,
hal ini dapat ditangani melalui pendidikan kejuruan, dan ketidakseimbangan
juga terlihat pada adanya perbandingan jumlah yang mencolok antara SD,
SMP dan SMA. Lembaga SD jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah
lembaga SMP dan SMA. Di sisi lain adanya upaya untuk pemerataan
pendidikan melalui pendidikan luar kelas berkembang cukup pesat, dalam hal
ini ada dua faktor yang menjadi pemicu hal tersebut. Pertama, perkembangan
5
IPTEK yang memberikan alternatif bagi masyarakat dan kedua konsep
pendidikan sepanjang hayat yang tidak membatasi usia dari peserta didik dan
tidak terbatas pada dinding ruangan kelas yang mana hal ini dapat memberi
akses yang luas bagi masyarakat dalam menikmati kesempatan belajar.
6
D. Penutup
7
DAFTAR PUSTAKA
.
Harahap, Yahya. 1997. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa. Jakarta. Sinar Grafika.
Surantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinarta. 2002. Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek. Bandung. Mandar Maju.
Winardi. 1994. Manajemen Konflik. Bandung. Mandar Maju