Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PANCASILA

“MENGAPA PANCASILA MERUPAKAN SISTEM FILSAFAT”

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah Pancasila
Dosen Pengampu: Saleh Al Hamid, SIP., MA.

Oleh Kelompok 5:

1. RAHMAN JUSUF (841421047)


2. BUNGA APRILIA (841421046)
3. ANGRAINI NANI (841421100)
4. MUTIA C. IMA (841421124)
5. NIWAYAN WIDIANI (841421129)
6. KLAUDIYA RAS HUWOLO (841421132)
7. SITI RAHMAH H. DJAFAR (841421147)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2022
KATA PENGANTAR

Puja dan Puji Syukur atas kehadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan Rahmat dan
Karunia-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “MENGAPA PANCASILA MERUPAKAN SISTEM FILSAFAT”.
Makalah ini berisikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan juga manfaat
yang nantinya diharapkan, makalah ini memberikan informasi kepada kita semua tentang
alasan-alasan Pancasila dijadikan sebagai sistem filsafat.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata “sempurna”, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu diharapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya, semoga Allah SWT. senantiasa
meridhai segala usaha kita. Aamiin

Gorontalo, 20 Mei 2022

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 2

C. Tujuan ............................................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3

A. Konsep Pancasila sebagai Sistem Filsafat ...................................................................... 3

B. Pancasila sebagai Sistem Etika ....................................................................................... 4

C. Filsafat dalam Sistem Nilai Pancasila ............................................................................. 6

D. Pemikiran Soekarno dalam Perumusan Pancasila ........................................................ 11

E. Implementasi Pancasila sebagai Dasar Negara ............................................................. 12

F. Urgensi Penguatan Etika Demokrasi ............................................................................ 14

G. Peran Negara dan Penerapan Pancasila dalam Mewujudkan Negara Kesejahteraan


(WELFARE STATE) di Indonesia ...................................................................................... 15

H. Pancasila sebagai Sumber Hukum dalam Sistem Hukum Nasional ............................. 19

BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 21

A. Kesimpulan ................................................................................................................... 21

B. Saran ............................................................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 22

ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara Hukum telah ditegaskan dalam UUD Tahun 1945
pasal 1 ayat 3, pandangan ini membawa konsekuensi bahwa totalitas dan kompleksitas
kehidupan masyarakat Indonesia harus sejalan dengan kaidah-kaidah hukum yang ada.
Pandangan ini pula memberikan arah dan tujuan bahwa hukum akan membatasi
kekuasaan Negara, agar para pemangku jabatan tidak sewenang-wenang dalam
menjalankan tugasnya sebagai abdi Negara. Begitu pula, rakyatnya tidak semena-mena
dalam menjalani aktivitas hidupnya, guna untuk menghindari intervensi antar
kepentingan. Dalam hal yang demikian itulah, konsep Negara hukum yang diterapkan
harus sejalan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai manisvestasi dan hasil kristalisasi nilai-nilai
luhur masyarakat Indonesia, menjadi penting kedudukannya dalam penerapan konsep
Negara hukum di Indonesia. Dengan demikian, Pancasila akan menjadi landasan
filosofis dalam penerapan Negara hukum di Indonesia.
Sebuah bangsa yang kuat tidak akan terlepas dari dasar dan ideologi Negara
yang kokoh dan kuat. Tanpa itu, Negara tidak akan menjadi bangsa yang kokoh dan
terombang ambing oleh kerasnya persaingan global dalam hidup berbangsa dan
bernegara. Dalam konsep ini memahami dasar Negara kita pancasila bukan hanya
dalam ucapan belaka, melainkan jauh lebih dalam harus membuat kita lebih menyadari
bahwa bangsa kita memliki jati diri bangsa yang kuat. Oleh karena itu hendaknya kita
harus menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan dan
menunjukkan akan identitas bangsa kita yang lebih maju, bermartabat, dan berbudaya
tinggi. Dasar itulah yang kemudian diharapkan dari masyarakat bangsa ini untuk
menjelaskan tentang pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara, menguraikan nilai-
nilai yang terkandung di dalamnya, dan juga memahami bahwa pancasila sebagai asas
hukum bangsa. Selanjutnya kita dituntut untuk lebih menunjukkan sikap positif kita
terhadap Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menampilkan
sikap positif terhadap Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat.
Pancasila sebagai sistem filsafat, di mana nilai-nilai pancasila yang terkandung
di dalamnya adalah hasil dari pemikiran-pemikiran para pejuang kemerdekaan bangsa

1
kita terdahulu. Dalam penerapannya Pancasila digunakan sebagai paradigma
pembangunan tata hukum nasional. Pancasila merupakan inti dari pembangun tata
hukum nasional dan kesuksesan pembangunan tata hukum sendiri juga dilihat dari
seberapa besar akan kesadaran hukum bagi masyarakat itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan Konsep Pancasila sebagai Sistem Filsafat,
2. Menjelaskan Pancasila sebagai Sistem Etika,
3. Menjelaskan Filsafat dalam Sistem Nilai Pancasila,
4. Menjelaskan Pemikiran Soekarno dalam Perumusan Pancasila,
5. Menjelaskan Implementasi Pancasila sebagai Dasar Negara,
6. Menjelaskan Urgensi Penguatan Etika Demokrasi,
7. Menjelaskan Peran Negara dan Penerapan Pancasila dalam Mewujudkan
Negara Kesejahteraan (WELFARE STATE) di Indonesia,
8. Menjelaskan Pancasila sebagai Sumber Hukum dalam Sistem Hukum Nasional.

C. Tujuan
1. Dapat Mengetahui Konsep Pancasila sebagai Sistem Filsafat,
2. Dapat Mengetahui Pancasila sebagai Sistem Etika,
3. Dapat Mengetahui Filsafat dalam Sistem Nilai Pancasila,
4. Dapat Mengetahui Pemikiran Soekarno dalam Perumusan Pancasila,
5. Dapat Mengetahui Implementasi Pancasila sebagai Dasar Negara,
6. Dapat Mengetahui Urgensi Penguatan Etika Demokrasi,
7. Dapat Mengetahui Peran Negara dan Penerapan Pancasila dalam Mewujudkan
Negara Kesejahteraan (WELFARE STATE) di Indonesia,
8. Dapat Mengetahui Pancasila sebagai Sumber Hukum dalam Sistem Hukum
Nasional.

2
BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Pancasila sebagai Sistem Filsafat


Pancasila merupakan dasar pandangan hidup rakyat Indonesia yang di
dalamnya memuat lima dasar yang isinya merupakan jati diri bangsa Indonesia. Sila-
sila dalam Pancasila menggambarkan tentang pedoman hidup berbangsa dan bernegara
bagi manusia Indonesia seluruhnya dan seutuhnya. Masuknya Pancasila sebagai suatu
ideologi dan falsafah bangsa Indonesia tak lepas pula dari peran Bung Karno. Menurut
Sutrisno (2006), “Pancasila adalah suatu philosofiche groundslag atau Weltanschauung
yang diusulkan Bung Karno di depan sidang BPUPKI 1 Juni 1945 sebagai dasar negara
Indonesia yang kemudian merdeka.” Suatu masyarakat atau bangsa menjadikan filsafat
sebagai suatu pandangan hidup, yaitu merupakan asas dan pedoman yang melandasi
semua aspek hidup dan kehidupan bangsa tersebut, tanpa terkecuali aspek pendidikan. 1
Filsafat yang dikembangkan harus berdasarkan filsafat yang dianut oleh suatu
bangsa, sedangkan pendidikan merupakan suatu cara atau mekanisme dalam
menanamkan dan mewariskan nilai-nilai filsafat tersebut. Pendidikan sebagai suatu
lembaga yang berfungsi menanamkan dan mewariskan sistem norma tingkah laku
perbuatan yang didasarkan kepada dasar-dasar filsafat yang dijunjung oleh lembaga
pendidikan dan pendidik dalam suatu masyarakat. Untuk menjamin supaya pendidikan
dan prosesnya efektif, maka dibutuhkan landasan-landasan filosofis dan landasan
ilmiah sebagai asas normatif dan pedoman pelaksanaan pembinaan (Noor: 1988).
Sebagai sebuah falsafah dan sebuah ideologi bagi bangsa Indonesia, Pancasila
adalah dasar dari pelaksanaan segala aspek kehidupan bagi bangsa Indonesia. Salah
satunya adalah dalam bidang pendidikan. Dalam UU No.12 Tahun 2012 Pasal 1 tentang
Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dari Undang-undang di atas dapat
dimaknai bahwa pendidikan di Indonesia adalah sebuah proses pembelajaran yang

1Semadi, Y. P. (2019). FILSAFAT PANCASILA DALAM PENDIDIKAN DI INDONESIA MENUJU BANGSA


BERKARAKTER. Jurnal Filsafat Indonesia, 2(2), Hal. 82.

3
berupaya untuk tujuan pengembangan potensi diri dan karakter bagi peserta didik. Di
sini sila-sila Pancasila mencerminkan bagaimana seharusnya pendidikan harus dihayati
dan diamalkan menurut sila-sila dalam Pancasila.
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati,
jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen,
watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan
berwatak”. Menurut Musfiroh (2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap
(attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).
Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan
memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau
tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya
dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan
kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Pancasila sebagai sistem filsafat bisa dilihat dari pendekatan ontologis,
epistemologis, maupun aksiologis. Diktat “Filsafat Pancasila” (Danumihardja, 2011)
menyebutkan secara ontologis berdasarkan pada pemikiran tentang negara, bangsa,
masyarakat, dan manusia. Secara epistemologis berdasarkan sebagai suatu pengetahuan
intern struktur logis dan konsisten implementasinya. Secara aksiologis bedasarkan pada
yang terkandung di dalamnya, hierarki dan struktur nilai, di dalamnya konsep etika
yang terkandung. Dasar ontologis Pancasila sebagai sistem filsafat bisa
diinterpretasikan bahwa adanya negara perlu dukungan warga negara. Kualitas negara
sangat bergantung pada kualitas warga negara. Kualitas warga negara sangat erat
berkaitan dengan pendidikan. Hubungan ini juga menjadi timbal-balik karena landasan
pendidikan haruslah mengacu pada landasan negara. Esensi landasan negara harus
benar-benar memperkuat landasan pendidikan untuk mencapai tujuan bersama adanya
keserasian hubungan antara negara dengan warga negara. 2

B. Pancasila sebagai Sistem Etika


Pancasila telah menjadi kesepakatan nasional bangsa Indonesia sebagai dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia, meskipun dalam upaya implementasinya
mengalami berbagai hambatan. Gerakan reformasi yang digulirkan sejak tumbangnya

2Semadi, Y. P. (2019). FILSAFAT PANCASILA DALAM PENDIDIKAN DI INDONESIA MENUJU BANGSA


BERKARAKTER. Jurnal Filsafat Indonesia, 2(2), Hal. 83.

4
kekuasaan pemerintahan presiden Soeharto, pada hakikatnya merupakan tuntutan untuk
melaksanakan demokratisasi di segala bidang, menegakkan hukum dan keadilan,
menegakkan hak asasi manusia (HAM), memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN), melaksanakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah, serta menata kembali peran dan kedudukan TNI dan POLRI.
Dalam perkembangannya, gerakan reformasi yang sebenarnya memang amat
diperlukan, namun sebagian masyarakat seperti lepas kendali dan tergelincir ke dalam
perilaku yang anarkis, timbul berbagai konflik sosial yang tidak kunjung teratasi, dan
bahkan di berbagai daerah timbul gerakan yang mengancam persatuan dan kesatuan
bangsa serta keutuhan NKRI. 3
Bangsa Indonesia sedang dilanda krisis multidimensional di segenap aspek
kehidupan masyarakat dan bangsa, bahkan menurut beberapa pakar dan pemuka
masyarakat, yang sangat serius ialah krisis moral, masyarakat dan bangsa sedang
mengalami demoralisasi.
Hal ini sebenarnya dapat dihindari apabila setiap anggota masyarakat, utamanya
para penyelenggara negara dan para elit politik, dalam melaksanakan gerakan reformasi
secara konsekuen, mewujudkan Masa Depan Indonesia yang dicita-citakan, senantiasa
berdasarkan pada kesadaran dan komitmen yang kuat terhadap Pembukaan UUD 1945,
yang di dalamnya mengandung nilai-nilai Pancasila yang harus dijadikan pedoman.
Etika merupakan cabang falsafah dan sekaligus merupakan cabang dari ilmu
kemanusiaan (humaniora). Etika sebagai cabang falsafah membahas sistem dan
pemikiran mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika sebagai cabang ilmu
membahas bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu.
Etika sosial meliputi cabang etika yang lebih khusus seperti etika keluarga, etika
profesi, etika bisnis, etika lingkungan, etika pendidikan, etika kedokteran, etika
jurnalistik, etika seksual dan etika politik. Pancasila merupakan nilai dasar yang
menjadi pedoman hidup bagi bangsa Indonesia.
Nilai-nilai dasar itu kemudian melahirkan empat kaidah penuntun hukum yang
harus di jadikan pedoman dalam pembangunan hukum. Hukum Indonesia harus
bertujuan dan menjamin integrasi bangsa, baik secara teritorial maupun ideologis.
Pancasila sebagai hukum dasar, harusnya mampu menjadi acuan bagi aturan-aturan
hukum lainnya.

3 Amri, S. R. (2018). PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA. JURNAL VOICE OF MIDWIFERY, 8(1), Hal 761.

5
Pancasila memegang peranan dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik
di negara ini. Di setiap saat dan dimana saja kita berada kita diwajibkan untuk
menerapkan perilaku etika, seperti tercantum pada sila kedua Pancasila, yaitu
“Kemanusian yang adil dan beradab” yang mana tidak dapat dipungkiri bahwa
kehadiran pancasila dalam membangun etika bangsa ini sungguh sangat diperlukan.

C. Filsafat dalam Sistem Nilai Pancasila


Sistem merupakan suatu bagian-bagian yang saling berkaitan satu sama lain,
saling bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang dimilikinya. Atau dapat
dipahami sebagai bagian yang utuh. Pada dasarnya suatu sistem filsafat mengajarkan
tentang falsafah hidup, etika (tata nilai), hakikat realitas, dan teori terjadinya
pengetahuan yang dimiliki oleh manusia serta logikanya. Filsafat dalam sistem
pancasila merupakan suatu konsep yang berhubungan dengan dasar negara yang terdiri
dari lima sila sebagai unsur yang memiliki fungsi pada bagiannya masing-masing.4
Hakikat tujuannya adalah sama, yaitu untuk menertibkan kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia. Sedangkan sebagai sistem filsafat atau dasar negara,
pancasila merupakan suatu sumber dari segala hukum yang berlaku di negara
Indonesia. Pancasila dapat dimaknai sebagai pandangan atau tujuan hidup bangsa
Indonesia yang pada dasarnya untuk mempersatukan bangsa Indonesia, serta memberi
petunjuk di dalam menggapai kesejahteraan, dan kebahagiaan lahir batin pada
masyarakat yang beraneka ragam sifatnya. Filsafat Pancasila merupakan sistem filsafat
yang menjadikan pancasila sebagai objek dasarnya, yaitu objek pancasila yang benar
dan sah sesuai dengan yang tercantum di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 alinea yang ke-4.
Pancasila pada dasarnya merupakan suatu sistem filsafat yang saling berkaitan
antara satu sila dengan yang lain, lebih tepatnya suatu kesatuan organik yang tidak
dapat dipisahkan. Keterkaitan antara sila satu dengan sila yang lain dalam Pancasila
saling mengkualifikasikan satu sama lain. Untuk itu, pancasila pada dasarnya
merupakan suatu sistem, yang memiliki korelasi pada bagian-bagiannya, dan memiliki
hubungan yang erat sehingga mampu membentuk sebuah struktur yang menyeluruh.
Dasar pemikiran yang terkandung dalam pancasila erat kaitannya dengan sistem

4 Windari, S. & Aziz, M. I. (2021). Filsafat Dalam Sistem Nilai Pancasila. AKSIOLOGI : JURNAL PENDIDIKAN DAN
ILMU SOSIAL, 2(1), Hal 11.

6
ideologi bernegara, yang tidak dapat dilepaskan dari pemikiran tentang hubungan
manusia dengan Tuhan-Nya, dirinya, sesama manusianya, dan masyarakat bangsa dan
negara (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air 1973: 9).
Kenyataan yang terdapat dalam pancasila, dapat dipahami sebagai kenyataan
obyektif, yaitu suatu realitas yang ada pada Pancasila yang terbebas dari pengetahuan
manusia atau yang lain. Sehingga sebagai suatu sistem filsafat, pancasila memiliki ciri
khas yang tidak sama dengan sistem-sistem filsafat yang lain. Contohnya yaitu:
komunisme, liberalisme, materialisme, dan aliran filsafat yang lainnya. Keterkaitan sila
satu dengan yang lainnya di dalam pancasila pada hakikatnya tidaklah menjadi satu
kesatuan yang bersifat formal dan logis. Melainkan terdiri dari satu kesatuan dasar dari
epistemologis, ontologis dan aksiologis yang bersumber dari sila yang ada di dalam
pancasila.
a. Dasar Ontologis
Aristoteles menjelaskan bahwa Ontologi merupakan suatu ilmu yang
mencari kebenaran dari esensi sesuatu atau tentang keberadaan, adanya sifat
eksistensi (keberadaan) dapat dipahami sebagai metafisika. (Safitri 2021: 7).
Beberapa persoalan terkait dengan ontologis antara lain sebagai berikut:
Pertama, Apa asas dari sesuatu itu? Kedua, Apa kenyataan yang terlihat ini
berarti sebuah realitas sebagai bentuknya, yaitu benda? Ketiga, Adakah suatu
hal tersembunyi di balik realitas itu, sebagaimana yang terlihat pada makhluk
hidup?. Ontologi merupakan salah satu bidang yang menyelidiki makna yang
terdapat pada manusia eksistensi, kosmologi, dan metafisika. Pada dasarnya,
secara ontologis, pencarian terhadap pancasila sebagai suatu sistem filsafat
memiliki tujuan untuk mengenal esensi dasar dari sila-sila yang terdapat di
dalamnya. Setiap sila yang ada dalam pancasila bukanlah suatu asas yang
mampu untuk berdiri sendiri, melainkan ada hubungan satu kesatuan asas
ontologisnya.
Dasar Ontologis pancasila pada dasarnya merupakan manusia yang
mempunyai dasar yang absolut. Subyek penyokong dari pokok pancasila
berasal dari manusia, hal itu bisa dilihat dari pernyataan berikut: “Bahwa yang
berke-Tuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab,
berpersatuan, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah permusyawaratan/

7
5
perwakilan, serta yang berkeadilan sosial ialah manusia. Dengan demikian,
dapat dipahami dari segi kefilsafatan Negara, faktor pendukungnya berasal dari
rakyat, dan unsur rakyat sendiri pada dasarnya adalah manusia. Sehingga, tepat
sekali jika dalam filsafat Pancasila, hakikat dasar ontopologis dari sila-sila yang
ada di dalamnya adalah manusia.
Kedudukan manusia sebagai penyokong dari ide pokok sila-sila yang
ada secara ontologis mempunyai suatu hal yang absolut, antara lain tersusun
dari kodrat, jiwa dan raga, jasmani dan rohani. Sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial, dan kedudukan kodrat manusia sebagai individu yang berdiri
sendiri dan sebagai makhluk dari Tuhan Yang Maha Esa, pada dasarnya
merupakan sifat kodrat dari manusia. Oleh sebab itu, sebagai makhluk sosial
dan makhluk Tuhan, maka secara hierarkis sila pertama yang ada pada pancasila
berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi dasar dan menjiwai keempat
sila-sila lainnya (Notonagoro 1974: 30).
b. Dasar Epistemologis
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menganalisis pokok,
susunan, term, tata cara, dan otoritas suatu ilmu pengetahuan. Epistemologi
mempelajari asal mula pengetahuan, metode dan ketentuan terjadinya
pengetahuan, batas dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi adalah ilmu
tentang teori terjadinya ilmu atau dipahami sebagai science of science. Menurut
Titus (1984: 20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi,
yaitu: a) tentang sumber pengetahuan dari manusia; b) tentang teori kebenaran
pengetahuan manusia; c) tentang watak pengetahuan manusia.
Dasar epistemologis pancasila sebagai sistem filsafat, hakikatnya juga
merupakan suatu sistem pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari pancasila
merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang
realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan negara terkait dengan
makna hidup, serta dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang
terjadi dalam hidup dan kehidupan. Pancasila dalam pengertian yang demikian
ini telah menjadikannya sebagai suatu sistem cita-cita atau keyakinan-
keyakinan yang telah menyangkut praksis, karena dijadikan landasan bagi cara

5 Windari, S. & Aziz, M. I. (2021). Filsafat Dalam Sistem Nilai Pancasila. AKSIOLOGI : JURNAL PENDIDIKAN DAN
ILMU SOSIAL, 2(1), Hal 12.

8
hidup manusia atau kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat. Hal ini berarti filsafat telah menjelma menjadi sebuah ideologi.
Sebagai suatu ideologi, maka pancasila memiliki 3 unsur pokok agar dapat
menarik loyalitas dari para pendukungnya yaitu (Wibisono Siswomihardjo
1998: 9): a) Logos, yaitu rasionalitas atau penalarannya; b) Pathos, yaitu
penghayatannya; c) Ethos, yaitu kesusilaannya sebagai suatu sistem filsafat atau
ideologi maka pancasila harus memiliki unsur rasional terutama dalam
kedudukannya sebagai suatu sistem pengetahuan.
c. Dasar Aksiologis
Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang
filsafat nilai dari Pancasila. Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani yaitu
“axios” yang artinya “nilai, manfaat”, dan “logos” yang memiliki arti “pikiran,
ilmu atau teori”. Jadi Aksiologi merupakan teori nilai, yaitu sesuatu yang
diinginkan, disenangi atau yang baik. Bagian yang diselidiki adalah hakikat
nilai, kriteria nilai, dan kedudukan dari metafisika suatu nilai. Nilai (value
dalam bahasa Inggris) berasal dari kata Latin “valere” yang memiliki arti “kuat,
baik, berharga”. Dalam kajian filsafat merujuk pada sesuatu yang sifatnya
abstrak yang dapat diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan”
(goodness). Nilai merupakan sesuatu yang berguna, nilai juga mengandung
harapan akan sesuatu yang diinginkan, nilai adalah suatu kemampuan yang
dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia (dictionary of
sosiology a related science), nilai itu merupakan suatu sifat yang mengarah pada
kualitas yang melekat pada suatu objek. 6
Dalam filsafat Pancasila, disebutkan mengenai tiga kelas nilai, yaitu:
Pertama, nilai dasar. Nilai dasar merupakan basis yang kita peroleh sebagai
bukti yang bersifat absolut, sebagai satu hal yang benar atau tidak perlu
dipersoalkan lagi. Nilai-nilai dasar dari Pancasila yaitu nilai ketuhanan, nilai
kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Kedua, nilai
instrumental. Nilai instrumental merupakan suatu nilai yang bercorak norma
sosial dan norma hukum yang kemudian terkristalisasi dalam kaidah dan
prosedur lembaga negara. Ketiga nilai praktis. Nilai praktis merupakan nilai

6 Windari, S. & Aziz, M. I. (2021). Filsafat Dalam Sistem Nilai Pancasila. AKSIOLOGI : JURNAL PENDIDIKAN DAN
ILMU SOSIAL, 2(1), Hal 13.

9
yang dilaksanakan dalam realitas. Nilai ini merupakan batu ujian dalam realitas
kehidupan, apakah nilai dasar dan nilai instrumental sungguh-sungguh hidup
dalam masyarakat atau tidak (Safitri 2021: 14).
Nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila, mengandung nilai moral yang
nilai tersebut mendasari nilai instrumental, kemudian mendasari semua kegiatan
kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam pandangan aksiologis,
bangsa Indonesia disebut sebagai pendukung dari berjalannya nilai-nilai
Pancasila (subscriber of value Pancasila), yakni suatu bangsa yang
berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan dan berkeadilan
sosial secara menyeluruh. Konsesi terhadap nilai-nilai Pancasila perlahan akan
terlihat dari perilaku serta cerminan bangsa Indonesia, jadi pada realitasnya
terlihat ciri khas dari sifat bangsa Indonesia yang memegang teguh nilai-nilai
dalam Pancasila.
Pancasila sebagai sistem filsafat berisi sila-sila yang saling berkaitan,
serta mempunyai satu kesatuan hakikat aksiologinya. Untuk itu nilai-nilai yang
termaksud di dalam pancasila pada dasarnya juga bagian dari satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Pada dasarnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai
seperti apa saja yang ada, serta bagaimana keterkaitan nilai tersebut dengan
manusia, hal tersebut yang masih menjadi sebuah problem yang sedang
dipecahkan.
Nilai-nilai di dalam pancasila salah satunya adalah nilai kerohanian.
Nilai ini mempercayai bahwa nilai material dan vital sebagai satu kesatuan yang
tak bisa dipisahkan. Dengan demikian nilai-nilai pancasila merepresentasikan
bahwa nilai tersebut memuat nilai-nilai lain secara sempurna dan koheren.
Seperti nilai material, keindahan (estetis), kebenaran, vital, kebaikan, moral,
kesucian, secara keseluruhan bersifat sistematik hierarkis. Jadi sila pertama
dipandang sebagai dasarnya, sampai dengan sila kelima sebagai tujuannya.
(Darmodiharjo 1996: 20).

10
D. Pemikiran Soekarno dalam Perumusan Pancasila
7
Dalam proses perumusan Pancasila dilakukan melalui beberapa tahapan
persidangan, banyak tokoh yang dimasukkan di dalamnya seperti Muh. Yamin,
Soepomo, dan Soekarno. Namun dari ketiga tokoh tersebut, hanya pemikiran Soekarno
yang mendapat apresiasi dari peserta secara aklamasi dan pancasila yang dianggap
sebagai keunggulan pemikiran Soekarno menjadi sesuatu yang berbeda dalam tatanan
dan terminologi. Padahal sebelum Soekarno berpidato pada tanggal 1 Juni 1945, Muh.
Yamin dan Soepomo sebelumnya pernah berpidato dan memiliki kemiripan satu sama
lain. Penelitian ini menggunakan jenis fenomenologi kualitatif dengan studi pustaka,
dengan menganalisis secara detail pada beberapa literatur yang relevan. Dengan
menggunakan teori dekonstruksi milik Jacques Derrida dengan konsep trace,
difference, recontruction, dan iterability. Sedangkan sumber data diambil dari sumber
data primer dan sekunder. Adapun teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Rumusan Pancasila Soekarno terdiri
dari lima prinsip sebagai berikut;
1) Pemikiran nasionalisme, Soekarno bermaksud untuk membangkitkan jiwa
nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia agar dapat berdiri tegak.
2) Pemikiran internasionalisme, Soekarno bermaksud mengaitkan erat antara
pemikiran internasionalisme dengan nasionalisme.
3) Pemikiran demokrasi, dengan demikian Soekarno yakin bahwa alasan mutlak
untuk memperkuat negara Indonesia adalah pemikiran konsultatif dan
representatif. Jadi dengan musyawarah kita bisa memperbaiki semuanya,
termasuk keselamatan beragama.
4) Pemikiran kesejahteraan, dengan demikian Soekarno bermaksud untuk
mengentaskan kemiskinan dari Indonesia, dengan mensinergikan demokrasi
negara Indonesia dapat membawa rakyat untuk hidup sejahtera.
5) Pemikiran ketuhanan, Soekarno bermaksud agar ketuhanan bukan berarti
memiliki Tuhan. Namun setiap masyarakat Indonesia bisa beribadah kepada
tuhannya dan bebas memeluk agama sesuai dengan keyakinan agamanya.

7Burlian, P. (2020). PEMIKIRAN SOEKARNO DALAM PERUMUSAN PANCASILA. Jurnal UM Palembang, 5(2), Hal
143.

11
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemikiran Soekarno berakar dari
rasa nasionalisme yang ingin agar bangsa Indonesia hidup berdampingan dalam
damai dan sejahtera, serta mengintegrasikan semua unsur. Pemikiran Soekarno
dalam perumusan Pancasila berdasarkan teori dekontruksi maka dapat disimpulkan
bahwa Pancasila bukanlah sekerdar preferensi Soekarno semata, namun terdapat
sumbangan pemikiran tokoh lainnya yakni Soepomo dan Yamin. Hal ini dilihat dari
adanya kesamaan dalam pidato tiga tokoh tersebut. serta rentang waktu pidato
Soekarno paling akhir menunjukkan bahwa pidato Soekarno merupakan cakupan
atau pelengkap dari pidato sebelumnya. Pemikiran soekarno tentang asas
Ketuhanan yang terletak diakhir bukan berarti Soekarno mengabaikan dimensi
keimanannya namun melihat kondisi bangsa Indonesia pasca merdeka dari jajahan
Jepang kembali mendapat ancaman jajahan dari bangsa Belanda maka Soekarno
berupaya membangun semangat bangsa Indonesia dengan meletakkan asas
nasionalisme pada urutan pertama, prinsip Ketuhanan diletakkan pada urutan
terakhir justru sebagai pengunci dan penguat asas-asas sebelumnya untuk
dijalankan berdasarkan Ketuhanan. 8

E. Implementasi Pancasila sebagai Dasar Negara


9
Pancasila mempunyai arti lima dasar atau 5 asas yaitu nama dari dasar negara
kita, negara republik indonesia. Istilah pancasila ini, sudah dikenal sejak zaman
majapahit pada abad XIV yang terdapat dalam buku “Nagara Kertagama” karangan
Mpu Tantular, dalam buku sutasoma tersebut, selain mempunyai arti “berbatu sendi
yang lima” (dari bahasa sansekerta) pancasila juga mempunyai arti “pelaksanaan
kesusilaan yang lima”, diantaranya, yaitu sebagai berikut:
1. Tidak boleh melakukan kekerasan
2. Tidak boleh mencuri
3. Tidak boleh berjiwa dengki
4. Tidak boleh berbohong,
5. Tidak boleh mabuk mabukan dan meminum minuman keras / obat obatan
terlarang.

8 Burlian, P. (2020). PEMIKIRAN SOEKARNO DALAM PERUMUSAN PANCASILA. Jurnal UM Palembang, 5(2), Hal
166.
9 Handayani, P. A. & Dewi, D. A. (2021). IMPLEMENTASI PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA. Jurnal

Kewarganegaraan, 5(1), Hal 7

12
10
Pancasila adalah dasar falsafah negara Indonesia, sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa Pancasila merupakan dasar falsafah dan ideologi negara yang
diharapkan menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia sebagai pemersatu, lambang
persatuan dan kesatuan serta sebagai pertahanan bangsa dan negara. Pancasila sebagai
pandangan hidup Pancasila dianggap memiliki nilai-nilai kehidupan paling baik.
Pancasila dijadikan dasar dan motivasi dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semua sila dari Pancasila tidak dapat
dilaksanakan secara terpisah-pisah karena Pancasila merupakan satu kesatuan yang
utuh dan saling berkaitan.
Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai ini mengandung pengakuan atas keberadaan
Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya. Manusia Indonesia beriman yaitu
meyakini adanya Tuhan yang diwujudkan dalam ketaatan kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Ketaatan iman terlihat dari menjalankan segala perintah dan menjauhi segala
larangan Tuhan. Kemanusiaan yang adil dan beradab Nilai ini mengandung rumusan
sifat keseluruhan budi manusia Indonesia yaitu mengakui kedudukan manusia sederajat
dan sama. Serta mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara yang
dijamin oleh negara.
Persatuan Indonesia. Nilai ini adalah perwujudan paham kebangsaan Indonesia
yang mengatasi paham perseorangan, golongan, suku bangsa. Serta mendahulukan
persatuan dan kesatuan bangsa sehingga tidak terpecah belah oleh sebab apa pun.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Nilai ini adalah sendi utama demokrasi di Indonesia berdasar atas asas
musyawarah dan asas kekeluargaan.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Nilai ini adalah salah satu tujuan
negara yaitu mewujudkan tata masyarakat Indonesia yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila.
Sebagai warga negara indonesia yang baik, hendaknya kita sebagai warga
negara indonesia, mempelajarai dan memahami kembali implementasi bahwa pancasila
sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan merupakan dasar negara
bagi kita semua.

10Handayani, P. A. & Dewi, D. A. (2021). IMPLEMENTASI PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA. Jurnal
Kewarganegaraan, 5(1), Hal 11.

13
F. Urgensi Penguatan Etika Demokrasi
11
Demokrasi Indonesia pasca reformasi masih banyak oknum masyarakat yang
kerap membawa nama kedaulatan rakyat dan hak asasi manusia dalam mewujudkan
suatu tujuan dan kepentingan tertentu. Hal tersebut beresiko besar yang mengakibatkan
rentan munculnya anarkisme demokrasi yang bersifat instan. Praktik kebebasan rakyat
dalam demokrasi adalah hal utama namun apabila tidak dilandasi etika yang jelas maka
konflik horizontal maupun vertikal akan rentan terjadi. Dibutuhkan upaya penguatan
literasi etika demokrasi diperlukan refleksi pemahaman terhadap esensi pancasila
sebagai sistem etika politik demokrasi. Sehingga dibutuhkan literasi pembelajaran
melalui kolaborasi empat kajian dalam Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan
tinggi. Pertama, perlunya literasi demokrasi terhadap integrasi nasional dalam bentuk
tingkah laku (integratif) demokrasi. Kedua, perlunya literasi demokrasi terhadap
wawasan konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, perlunya
literasi demokrasi terhadap harmoni kewajiban dan hak warga negara. Keempat,
perlunya literasi demokrasi terhadap praktik demokrasi yang bersumber dari Pancasila
dan berlandaskan UUD NRI 1945.
12
Demokrasi tidak membatasi peran masyarakat, namun hukumlah yang
membatasi peran masyarakat dalam sistem demokrasi. Maka dibutuhkan upaya
penguatan literasi etika demokrasi diperlukan refleksi pemahaman terhadap esensi
pancasila sebagai sistem etika politik demokrasi. Sehingga dibutuhkan empat
kolaborasi kajian dalam Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi. Pertama,
perlunya literasi demokrasi terhadap integrasi nasional dalam bentuk tingkah laku
(Integratif) demokrasi. Kedua, Perlunya literasi demokrasi terhadap wawasan konstitusi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, perlunya literasi demokrasi
terhadap harmoni kewajiban dan hak warga negara. Keempat, perlunya literasi
demokrasi terhadap praktik demokrasi yang bersumber dari Pancasila dan berlandaskan
UUD NRI 1945.

11 Sugara, H. & Mutmainnah, F. (2020). URGENSI PENGUATAN ETIKA DEMOKRASI DALAM MEMBANGUN
GENERASI ANTI ANARKISME. Seminar Nasional Kahuripan, Hal 62.
12 Sugara, H. & Mutmainnah, F. (2020). URGENSI PENGUATAN ETIKA DEMOKRASI DALAM MEMBANGUN

GENERASI ANTI ANARKISME. Seminar Nasional Kahuripan, Hal 67.

14
G. Peran Negara dan Penerapan Pancasila dalam Mewujudkan Negara
Kesejahteraan (WELFARE STATE) di Indonesia
1) Welfare State13
Di Indonesia Sebagai negara hukum, Indonesia mempunyai sumber
hukum yang menjadi dasar untuk menyelenggarakan kegiatan bernegara.
Dalam Pasal 1 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 disebutkan bahwa yang
menjadi sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang
tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan serta dengan Mewujudkan Suatu Keadilan Sosial
bagi Seluruh Rakyat Indonesia dan batang tubuh UUD 1945. Nilai-nilai
Pancasila tersebut dijabarkan dengan lebih mendetail di dalam pasal-pasal UUD
1945.
Definisi kesejahteraan menurut kamus besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai aman sentosa dan makmur, dan terlepas dari segala macam gangguan,
dengan kata lain dapat diartikan sebagai keadaan yang aman, makmur dalam
arti dapat terpenuhi hak-hak atas pemenuhan kebutuhannya dan hak untuk bebas
dari gangguan, baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Secara umum,
perlindungan terhadap hak-hak warga negara tersebut telah diatur dalam Bab
XXIII UUD 1945, sementara pengaturan mengenai kesejahteraan lebih
khususnya telah diatur dalam Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial UUD 1945 yang telah diamandemen. Dalam Pasal 33 ayat
(1) disebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan, selanjutnya dalam ayat (4) disebutkan bahwa
perekonomian nasional diselenggaraan berdasarkan atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional.

13Gunawan, B. (2019). PERAN NEGARA DAN PENERAPAN PANCASILA DALAM MEWUJUDKAN NEGARA
KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE) DI INDONESIA. Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan, 4 (2), Hal 119.

15
Berdasarkan rumusan Pancasila dan ketentuan UUD 1945 tersebut,
diketahui bahwa Indonesia dalam upaya mewujudkan welfare state tidaklah
menganut paham komunisme yang memberikan kekuasaan penuh kepada
negara untuk membuat kebijakan apapun, termasuk dalam rangka
menyejahterakan rakyatnya dalam bidang ekonomi maupun sosial maupun
liberalisme yang memisahkan antara urusan kegiatan negara dan pasar, namun
berdasarkan kekeluargaan dan memerhatikan keseimbangan antara hak individu
dan keadilan sosial.
2) Peran Negara Dan Penerapan Pancasila Dalam Mewujudkan Welfare State Di
Indonesia14
Negara harus menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam merumuskan
peraturan dan kebijakan dalam menyelenggarakan negara kesejahteraan karena
Pancasila merupakan sumber hukum dan ideologi bangsa yang telah disepakati
oleh para founding fathers. Salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yaitu
dengan melibatkan peran dari seluruh elemen masyarakat dalam kegiatan-
kegiatan pemerintahan dengan mewirausahakan pemerintahan (reinventing
government), dengan kata lain memangkas birokrasi, sebab yang selalu menjadi
isu menarik pada saat ini adalah dimana istilah “Birokrasi” memiliki stigma
buruk di mata masyarakat serta sering kali dikaitkan dengan inefisiensi,
inefektivitas maupun keburukan pemerintahan dalam pelayanan publik.
Prinsip-prinsip Reinventing Government dapat digunakan untuk
mengatasi masalah yang menjadi kelemahan-kelemahan Republik Indonesia
dalam mewujudkan terciptanya good governance. Adapun alasan mengapa
prinsip-prinsip reinventing government digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1) Kunci dari prinsip-prinsip yang terdapat dalam teori ini adalah
memaksimalkan peranan negara sebagai pengarah dan pengawas, serta
mengurangi peran sebagai produsen barang dan jasa;

14Gunawan, B. (2019). PERAN NEGARA DAN PENERAPAN PANCASILA DALAM MEWUJUDKAN NEGARA
KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE) DI INDONESIA. Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan, 4 (2), Hal 120.

16
2) Metode reinventing government dapat digunakan secara universal
dalam tiap-tiap negara karena kompatibel dengan berbagai ideologi dan
model negara, serta telah berhasil berdasarkan pengalaman sejarah;
3) Prinsip-prinsip reinventing government menawarkan berbagai alternatif
pilihan penyampaian jasa beserta cetak biru yang jelas untuk
pelaksanaannya;
Prinsip dan metode reinventing government dapat digunakan secara universal
dalam tiap-tiap negara karena kompatibel dengan berbagai ideologi dan model negara,
serta telah berhasil berdasarkan pengalaman sejarah, tidak terbatas hanya di negara
Amerika Serikat, namun juga negara-negara sosialis Eropa Timur dan Uni Soviet pun
berhasil meningkatkan kualitas pelayanan publik mereka dengan menerapkan prinsip-
prinsip reinventing government. 10 prinsip pembaharuan birokrasi untuk gambaran
baru di pemerintahan masa depan, yaitu:
1) Pemerintahan Katalis: pemerintahan yang fokus pada pemberian pengarahan
kepada sektor-sektor lainnya, bukan berfokus kepada produksi pelayanan
publik;
2) Pemerintahan Milik Masyarakat Pemerintahan yang memberdayakan kepada
masyarakat daripada melayani. Bertujuan untuk menjadikan masyarakat dapat
menolong diri sendiri;
3) Pemerintahan Yang Kompetitif Pemerintahan yang menggalang semangat
kompetisi dalam pemberian pelayanan publik;
4) Pemerintahan Yang Digerakkan Oleh Misi Pemerintahan yang mengubah
organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan
oleh misi;
5) Pemerintahan Yang Berorientasi Hasil Pemerintahan yang membiayai hasil,
yaitu semakin baik kinerja wirausaha, maka semakin banyak dana yang akan
dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan unit kerja
tersebut;
6) Pemerintahan Berorientasi Pelanggan Pemerintah menyadari bahwa
pelanggannya terdiri dari DPRD, masyarakat dan swasta sehingga ia
menciptakan sistem pertanggungjawaban ganda;
7) Pemerintahan Wirausaha Pemerintah mampu memberikan pendapatan bagi
pemerintahannya dari hasil penyediaan pelayanan publik, dan tidak sekedar
membelanjakan;
17
8) Pemerintahan Antisipatif Pemerintah yang berupaya mencegah terjadinya
masalah, bukan hanya mengatasi dan menangani masalah;
9) Pemerintahan Desentralisasi Yaitu dari pemerintahan yang hierarki menuju
pemerintahan partisipatif yang melibatkan masyarakat; dan
10) Pemerintahan Berorientasi Pasar Pemerintah mengadakan perubahan dengan
mekanisme pasar, dan bukan dengan mekanisme administratif. Dalam
mekanisme pasar, pemerintah tidak memerintahkan dan mengawasi, tetapi
mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar orang tidak melakukan
kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat.

Dalam penerapan prinsip-prinsip tersebut, negara Indonesia dapat


menerapkannya dengan menyesuaikan terhadap nilai-nilai Pancasila. Osborne dan
Gaebler melakukan analisis pemetaan tugas dan fungsi pokok dengan
mengelompokkan bidang-bidang yang paling cocok dijalankan oleh masing-masing
unsur, sebagai berikut:
1) Sektor pemerintah/publik cenderung paling baik pada bidang: a. Manajemen
kebijakan; b. Regulasi atau peraturan perundang-undangan; c. Pencegahan
diskriminasi; d. Pencegahan ekspoitasi; e. Pembangunan integrasi sosial
2) Sektor swasta cenderung kompeten dalam bidang: a. Tugas ekonomi; b.
Produksi dan investasi; c. Pendatangan keuntungan;
3) Sektor masyarakat memiliki kecocokan yang lebih baik dari pemerintah atau
swasta dalam bidang: a. Tugas sosial; b. Tugas yang membutuhkan tenaga
sukarela; c. Penanaman nilai-nilai moral, di Indonesia khususnya nilai-nilai
yang terkandung dalam sila-sila Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh Osborne tersebut, Pemerintah


dimungkinkan untuk memfokuskan kegiatannya pada kegiatan penegakan keadilan
termasuk pembuatan peraturan dan kebijakan serta membangun integrasi sosial, dan
menyerahkan pelaksanaan jasa yang berhubungan dengan ekonomi dan laba kepada
swasta, namun tetap diawasi dengan peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh
pemerintah itu sendiri agar tidak merugikan pihak manapun. Selain itu, pemerintah juga
dapat melibatkan masyarakat dan komunitas-komunitas untuk tugas-tugas yang
sifatnya volunteer atau tugas yang bersifat sosial dalam penanaman nilai-nilai Pancasila
serta prinsip Bhineka Tunggal Ika untuk merekatkan persatuan bangsa. Dengan
18
demikian pemerintah dapat menjadi pimpinan yang sekaligus menggerakan masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang berkeadilan sosial dan berasaskan
kekeluargaan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. 15

H. Pancasila sebagai Sumber Hukum dalam Sistem Hukum Nasional


16
Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum dalam tatanan hukum
nasional masih belum dapat diterapkan secara praksis. Pengaruh reformasi ternyata
membuat status Pancasila dalam tatanan hukum mengalami ketergerusan. Hal ini
dipengaruhi oleh tiga persoalan yaitu: pertama, adanya sikap resistensi terhadap Orba
yang telah menjadikan Pancasila sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dan
melindungi pemerintahan otoriter. Kedua, menguatnya pluralisme hukum yaitu
menerapkan beragam sistem hukum yang mengakibatkan keberadaan Pancasila
menjadi semakin termarjinalkan. Ketiga, Pancasila hanya sebagai simbolis dalam
hukum sehingga menimbulkan disharmonisasi antara peraturan perundang-undangan
seperti adanya UU dan Perda yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila.
Maka dari itu, untuk dapat menerapkan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum
dalam sistem hukum nasional diupayakan dua cara yaitu: Pertama, menjadikan
Pancasila sebagai suatu aliran hukum agar tidak ada lagi pluralisme hukum yang
terbukti saling kontradiksi satu sama lain. Terutama pula agar dalam berhukum, negara
Indonesia memiliki suatu sistem hukum yang utuh dan imparsial yang sesuai dengan
karakter dan kebutuhan perkembangan masyarakat Indonesia. Kedua, mendudukan
Pancasila sebagai puncak dalam hierarki peraturan perundangan-undangan agar
Pancasila memiliki daya mengikat terhadap segala peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, Pancasila tidak lagi sekadar normatif-semantik sebagai sumber
segala sumber hukum tetapi benar-benar dapat diterapkan dalam sistem hukum
nasional.
17
Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum sudah mendapatkan
legitimasi secara yuridis melalui TAP MPR Nomor XX/MPRS/1966 tentang
Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata

15 Gunawan, B. (2019). PERAN NEGARA DAN PENERAPAN PANCASILA DALAM MEWUJUDKAN NEGARA
KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE) DI INDONESIA. Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan, 4 (2), Hal 121-124.
16 Bo’a, F. Y. (2018). Pancasila sebagai Sumber Hukum dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal Konstitusi, 15(1),

Hal 47.
17 Bo’a, F. Y. (2018). Pancasila sebagai Sumber Hukum dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal Konstitusi, 15(1),

Hal 27.

19
Urutan Peraturan Perundang Republik Indonesia. Setelah reformasi, keberadaan
Pancasila tersebut kembali dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Peraturan Perundang-Undangan. Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum
memberi makna bahwa sistem hukum nasional wajib berlandaskan Pancasila. Akan
tetapi, keberadaan Pancasila tersebut semakin tergerus dalam sistem hukum nasional.
Hal demikian dilatar belakangi oleh tiga alasan yaitu: Pertama, adanya sikap resistensi
terhadap Orde Baru yang memanfaatkan Pancasila demi kelanggengan kekuasaan yang
bersifat otoriter. Kedua, menguatnya pluralisme hukum yang mengakibatkan terjadinya
kontradiksi-kontradiksi atau disharmonisasi hukum. Ketiga, status Pancasila tersebut
hanya dijadikan simbol dalam hukum. Untuk itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk
menerapkan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum dalam sistem hukum
nasional yaitu: Pertama, menjadikan Pancasila sebagai suatu aliran hukum agar tidak
terjadi lagi disharmonisasi hukum akibat diterapkannya pluralisme hukum. Kedua,
mendudukkan Pancasila sebagai puncak peraturan Perundang-Undangan agar
Pancasila memiliki daya mengikat terhadap segala jenis peraturan Perundang-
Undangan sehingga tidak melanggar asas lex superiori derogat legi inferiori.

20
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Pancasila sebagai sistem filsafat sudah dikenal sejak para pendiri negara
membicarakan masalah dasar filosofis negara (Philosofische Grondslag) dan
pandangan hidup bangsa (Weltanschauung). Meskipun kedua istilah tersebut
mengandung muatan filsofis, tetapi Pancasila sebagai sistem filsafat yang mengandung
pengertian lebih akademis memerlukan perenungan lebih mendalam.
Pentingnya Pancasila sebagai sistem filsafat ialah agar dapat diberikan
pertanggung-jawaban rasional dan mendasar mengenai sila-sila dalam Pancasila
sebagai prinsip-prinsip politik; agar dapat dijabarkan lebih lanjut sehingga menjadi
operasional dalam penyelenggaraan negara; agar dapat membuka dialog dengan
berbagai perspektif baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; dan agar dapat
menjadi kerangka evaluasi terhadap segala kegiatan yang bersangkut paut dengan
kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami tentang
“Mengapa Pancasila Merupakan Sistem Filsafat”. Makalah ini masih jauh dari kata
“Sempurna” dan mengharapkan pembaca sekalian untuk memberikan kritik dan saran.

21
DAFTAR PUSTAKA

Junaedi. (2018). PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT DALAM


PENERAPAN KONSEP NEGARA HUKUM INDONESIA. Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(12), 97-108.

Semadi, Y. P. (2019). FILSAFAT PANCASILA DALAM PENDIDIKAN DI


INDONESIA MENUJU BANGSA BERKARAKTER. Jurnal Filsafat
Indonesia, 2(2), 82-89.

Amri, S. R. (2018). PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA. JURNAL VOICE


OF MIDWIFERY, 8(1), 760 – 768.

Windari, S. & Aziz, M. I. (2021). Filsafat Dalam Sistem Nilai Pancasila.


AKSIOLOGI : JURNAL PENDIDIKAN DAN ILMU SOSIAL, 2(1), 9-15.

Ramdhani, S. W. (Analisis Linguistik Pancasila Berdasarkan Epistemologi,


Ontologi, dan Aksiologi). Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra Indonesia, 2(2),
1-78.

Burlian, P. (2020). PEMIKIRAN SOEKARNO DALAM PERUMUSAN


PANCASILA. Jurnal UM Palembang, 5(2), 143-169.

Handayani, P. A. & Dewi, D. A. (2021). IMPLEMENTASI PANCASILA


SEBAGAI DASAR NEGARA. Jurnal Kewarganegaraan, 5(1), 6-12.

Sugara, H. & Mutmainnah, F. (2020). URGENSI PENGUATAN ETIKA


DEMOKRASI DALAM MEMBANGUN GENERASI ANTI ANARKISME.
Seminar Nasional Kahuripan, 62-67.

22
Bo’a, F. Y. (2018). Pancasila sebagai Sumber Hukum dalam Sistem Hukum
Nasional. Jurnal Konstitusi, 15(1), 27-49.

Gunawan, B. (2019). PERAN NEGARA DAN PENERAPAN PANCASILA


DALAM MEWUJUDKAN NEGARA KESEJAHTERAAN (WELFARE
STATE) DI INDONESIA. Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan, 4 (2),
115-127.

23

Anda mungkin juga menyukai