Anda di halaman 1dari 30

STANDARISASI EKSTRAK JAHE MERAH (Zingiber

officinnalle Roscoe var. rubrum) DENGAN PELARUT AIR


PADA PENETAPAN KADAR TOTAL FENOL, KADAR
TOTAL FLAVONOID, DAN PENGUJIAN AKTIVITAS
ANTIOKSIDAN

USULAN PENELITIAN

DESY NATALIA
A161025

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA


YAYASAN HAZANAH
BANDUNG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jahe merah (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu tanaman
Indonesia yang termasuk salah satu rempah yang dimanfaatkan dalam pengolahan
pangan sampai pengobatan. Pemakaian jahe sebagai bahan tanaman obat semakin
berkembang karena banyaknya masyarakat yang lebih memilih pengobatan
menggunakan bahan tanaman obat dibandingkan dengan obat sintetis. Selain itu
juga, jahe merah mudah didapat dan diolah.
Jahe merah sudah banyak dimanfaatkan sebagai obat herbal. Namun banyak
sediaan jahe merah yang belum terstandarisasi. Sediaan obat tradisional atau
herbal dibuat dari simplisia tanaman, hewan, atau mineral yang telah dikeringkan.
Agar sediaan obat tradisional atau herbal dapat digunakan dengan aman, terjaga
keseragaman mutu, dan kadar kandungan senyawa aktifnya, maka diperlukan
standarisasi.
Simplisia sebagai bahan baku sediaan obat harus memenuhi 3 parameter
mutu umum suatu bahan yaitu identifikasi, kemurnian, dan stabilitas. Simplisia
sebagai bahan obat harus memenuhi Quality-Safety-Efficacy. Simplisia sebagai
bahan dengan kandungan kimia yang berkontribusi terhadap respon biologis harus
memiliki spesifikasi kimia, yaitu komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan
(Depkes RI, 1985).
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya
matahari langsung (Depkes RI, 1977). Standarisasi ekstrak adalah serangkaian
parameter yang dibutuhkan sehingga ekstrak yang digunakan sebagai pengobatan

Setelah membaca dan menelaah isi naskah proposal usulan penelitian tugas
akhir, kami memberikan persetujuan:

Pembimbing Utama : Dr. Diki Prayugo M.Si.,Apt / ……………................

Pembimbing Serta : Himalaya Wana Kelana, M.Pd /...……………..........


2

memenuhi persyaratan yang berlaku. Ekstrak terstandar berarti konsisten


kandungan senyawa aktif dari setiap produksinya dan dapat dipertahankan
kandungan senyawa aktif dari ekstrak tersebut.
Sebelum simplisia dibuat menjadi sediaan obat, simplisia tersebut harus
dibuat menjadi ekstrak terstandar. Pada penelitian kali ini ektrak jahe merah
dengan pelarut air dilakukan dengan penetapan kadar total fenol, kadar total
flavonoid, dan antioksidan.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi masalah pada
penelitian ini adalah :
1. Apakah konsentrasi pelarut, temperatur, dan waktu ekstraksi
berpengaruh terhadap rendemen, kadar total fenol, dan kadar total
flavonoid ?
2. Berapakah kondisi ekstrak yang optimal dari ketiga faktor tersebut
dalam memperoleh rendemen, kadar total fenol, dan kadar total
flavonoid ?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui pengaruh konsentrasi pelarut, temperatur, dan waktu
ekstraksi terhadap rendemen, kadar total fenol, dan kadar total
flavonoid.
2. Mengetahui kondisi ekstrak yang optimal dari ketiga faktor tersebut
dalam memperoleh rendemen, kadar total fenol, dan kadar total
flavonoid.

1.4 Kegunaan Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
pengetahuan mengenai ekstrak terstandar terutama pada ekstrak jahe merah
melalui penetapan kadar total fenol, kadar total flavonoid, dan antioksidan.
1.5 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Bahan Alam dan Laboratorium Tugas
Akhir (TA) Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia (STFI) yang bertempat di Jalan
Soekarno Hatta No. 354 Bandung pada bulan Februari sampai Juni 2020.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jahe Merah (Zingiber officinnalle Roscoe var. rubrum)

Gambar 2.1. Jahe Merah (Zingiber officinalle Roscoe var. rubrum)

2.1.1 Taksonomi Tanaman Jahe Merah


Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Species : Zingiber officinale Roscoe
(Fitriyah, 2012)
Pemerian jahe merah berupa irisan rimpang pipih, bagian ujung
bercabang pendek. Bentuk bulat telur terbaik. Pada setiapcabang terdapat
parut melekuk ke dalam. Warna putih kekuningan, bau khas, rasa pedas.
Dalam bentuk potongan, panjang umumnya 3-4 cm, tebal 1-6,5 mm.
Bagian luar berwarna cokelat kekuningan, beralur memanjang, kadang-
kadang terdpat serat bebat. Bekas patahan pendek dan berserat menonjol.
Pada irisan melintang terdapat terturut-turut korteks sempityang tebalnya
lebih kurang sepertiga jari-jari dan endodermis. Berkas pengangkut

4
5

tersebar berwarna kelabu. Sel kelenjar berupa titik yang lebih kecil
berwarna kekuningan (Farmakope Herbal Indonesia, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian para ahli, baik dalam negeri maupun
mancanegara, jahe memiliki efek farmakologis yang berkhasiat sebagai
obat. Dari ketiga jenis jahe yang ada, jahe merahlah yang lebih banyak
digunakan sebagai obat, karena kandungan minyak atsiri dan oleoresinnya
paling tinggi dibandingkan dengan jenis jahe yang lain sehingga lebih
ampuh menyembuhkan berbagai macam penyakit. Kandungan minyak
atsiri jahe merah berkisar antara 2,58 – 3,72 persen dari bobot kering.
Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan kandungan minyak atsiri jahe
gajah, yaitu sebesar 0,82 – 1,68 persen dari bobot kering dan kandungan
minyak atsiri jahe emprit, yaitu sebesar 1,5 – 3,3 persen dari bobot kering.
Selain itu, kandungan oleoresinnya juga lebih tinggi dibandingkan jenis
jahe lainnya, yaitu mencapai 3 persen dari bobot kering (Herlina et. all.,
2002).
2.2.2 Kandungan Jahe Merah (Zingiber officinnalle Rose Var. Rubrum)
Kandungan Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale Roscoe.)
Jahe mengandung senyawa volatile yakni terpenoid dan non volatile yang
terdiri dari gingerol, shogaol, paradol, zingerone dan senyawa turunan
mereka serta senyawa-senyawa flavonoid dan polifenol. Gingerol dan
shogaol merupakan kandungan utama senyawa flavonoid pada Jahe.
Senyawa tersebut mempunyai efek antioksidan yang dapat mencegah
adanya radikal bebas dalam tubuh (Stailova et. all, 2007).

Menurut Guzman dan Siemonsma (1999), minyak atsiri jahe


berbentuk cairan kental berwarna kehijauan sampai kuning dan berbau
harum khas jahe. Komponen utama minyak atsiri jahe yang menyebabkan
bau harum adalah zingiberen dan zingiberol. Kandungan minyak atsiri ini
berkisar antara 1 – 3 persen tergantung dari karakteristik jahe yang
diekstrak. Selain itu, jahe juga mengandung komponen lain dalam jumlah
kecil seperti limonen yang berfungsi menghambat jamur Candida albicans
dan sebagai obat flu; komponen 1,8-cineole yang berfungsi mengatasi
ejakulasi prematur dan perangsang aktivitas syaraf pusat; serta komponen
farnesol yang dapat merangsang regenerasi sel (Herlina et. al., 2002).

2.2 Metode Ekstraksi


Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya
matahari langsung (Depkes RI, 1977). Metode ektraksi terdiri dari maserasi,
perkolasi, infus, dekok, refluks, dan ekstraksi sinambung (Harborne, 1987).
Metode Ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pembagian metode
ekstraksi menurut Ditjen POM (2000) :
2.1.1 Cara Dingin
Metode pembuatan ekstrak yang termasuk ke dalam cara dingin di
antaranya :
A. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut
dengan perendaman dan beberapa kali pengocokan atau pengadukan
pada temperatur ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus
dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat
aktif yang akan larut, karena adanya perbedaan kosentrasi larutan zat
aktif didalam sel dan diluar sel maka larutan terpekat didesak keluar.
Proses ini berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara
larutan didalam dan diluar sel. Cairan penyari yang digunakan dapat
berupa air, etanol, metanol, etanol-air atau pelarut lainnya.
Remaserasi berarti dilakukan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat pertama, dan seterusnya. Remaserasi berarti
dilakukan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan
maserat pertama, dan seterusnya. Keuntungan cara penyarian dengan
maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan
sederhana yang mudah diusahakan.
B. Pekolasi
Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan
cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Proses
perkolasi terdiri dari tahapan pengembang bahan, tahap maserasi

4
5

antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan


ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat). Tahap
pengembangan bahan dan maserasi antara dilakukan dengan
maserasi serbuk menggunakan cairan penyari sekurang- kurangnya 3
jam, hal ini penting terutama untuk serbuk yang keras dan bahan
yang mudah mengembang.
2.2.2 Cara Panas
Metode pembuatan ekstrak yang termasuk ke dalam cara dingin di
antaranya :
A. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur tititk
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
B. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang pada
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
kontinu dan dan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya
pendingin balik.
C. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40-500°C.
D. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur
sampai titik didih air, yakni 30 menit pada suhu 90-1000°C.

2.3 Senyawa Fenol


Gambar 2.2 Struktur Dasar Asam Galat (C7H6O5) Sebagai Standar Fenol

Senyawa fenolik adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih gugus
hidroksil yang menempel pada cincin aromatik. Senyawa fenolik terbentuk dari
jalur metabolisme asam sikimat dan fenil propanoid (Proestos, Sereli, dan
Komaitis, 2006). Senyawa fenol cenderung mudah larut dalam air karena
umumnya mereka sering kali berikatan dengan gula sebagai glikosida,
danbiasanya terdpaat dalam vakuola sel. Beberapa ribu senyawa fenol alam telah
diketahui strukturnya. Flavonoid merupakan golongan terbesar, tetapi fenol
monosiklik sederhana, fenilpropanoid, dan kuinon fenolik juga terdapat dalam
jumlah besar. Beberapa golongan bahan polimer penting dalam tumbuhan seperti
lignin, melanin, dan tanin adalah senyawa poliferol. Semua senyawa fenol
aromatik, akan menunjukkan serapan kuat di daerah spektrum tampak. Selain itu,
secara khas senyawa fenolik menunjukkan pergeseran batokromik pada
spektrumnya bila ditambahkan basa (Harbone, 1987).
Asam fenolat memiliki berbagai aktivitas biologi pada manausia, seperti
meningkatkan sekresi empedu, menurunkan kadar kolesterol darah, memiliki
aktivitas antimikroba misalnya pada bakteri Staphylococcus aureus, antiulser,
antiinflamasi, antioksidan, sitotoksik, anti tumor, antispasnodik, dan antidepresan
(Silva, et al., 2009).

2.4 Senyawa Flavonoid

Gambar 2.3 Struktur Dasar Kuersetin (C15H10O7) Sebagai Standar


Flavonoid

4
5

Kata dari “flavonoid” merupakan kata yang merujuk pada senyawa bahan
alam yang mengandung dua cincin aromatik benzena yang dihubungkan oleh 3
atom karbon, atau suatu fenilbenzopiran (C6-C3-C6). Bergantung pada posisi
ikatan dari cincin aromatik benzena pada rantai penghubung tersebut, kelompok
flavonoid dibagi menjadi 3 kelas utama, flavonoid, isoflavonoid, dan
neoflavonoid. Flavonoid dapat disintesis melalui jalur fenol dengan melibatkan
calkon dan dihidrocalkon sebagai senyawa antaranya. Bahan awal yang direasikan
dengan adanya asam dapat membentuk senyawa flavonoid dengan melibatkan
calkon sebagai senyawa antara, sedangkan apabila direaksikan pada kondisi basa
akan membentuk suatu dehidrocalkon dengan adanya proses reduksi terlebih
dahulu.
Flavonoid merupakan senyawa metabolit tumbuhan yang sangat melimpah
di alam. Fungsi senyawa flavonoid sangatlah penting bagi tanaman pada
pertumbuhan dan perkembangannya. Fungsi tersebut seperti penarik perhatian
hewan pada proses penyerbukan dan penyebaran benih, stimulan fiksasi nitrogen
pada bakteri Rhizobium, peningkat pertumbuhan tabung serbuk sari, serta resorpsi
nutrisi dan mineral dari proses penuaan daun.senyawa flavonoid juga dipercaya
memiliki kemampuan untuk pertahanan tanaman dari herbivora dan penyebab
penyakit, serta senyawa ini membentuk dasar untuk melakukan interaksi alelopati
antar tanaman (Andersen dan Markham, 2006). Selain itu, senyawa flavonoid
memiliki aktivitas antioksidan yang cukup tinggi (Zuhra dkk., 2008).

2.5 Metode Folin-Ciocalteu


Kandungan fenolik total dalam suatu sampel dapat diukur secara kolorimetri
dengan metode Folin-Cioacalteu dan dinyatakan dengan massa ekivalen asam
galat (Jasson, 2005). Pereaksi Folin-Ciocalteu merupakan suatu larutan kompleks
yang terbentuk dari asam fosfomolibdat dan asam heteropoli fosfotungstat.
Pereaksi ini terbuat dari air, natrium tungstat, natrium molibdat, asam fosfat, asam
klorida, litium, sulfat, dan bromin (Nurhayati, Siadi, dan Herjono, 2012).
Prinsip dasar untuk metode ini adalah oksidasi gugus fenolik-hidroksil.
Pereaksi Folin-Ciocalteu mengoksidasi fenolat serta mereduksi asam heteropoli
menjadi suatu kompleks molybdeum-tungsten (Mo-W). Selama reaksi
berlangsung, gugus fenolik-hidroksil akan bereaksi dengan pereaksi Folin-
Ciocalteu membentuk kompleks fosfotungstat-fosfomolibdat berwarna biru
(Jasson, 2005). Warna biru yang dihasilkan dari reaksi ini akan semakin pekat
setara dengan konsentrasi senyawa fenolik yang terdapat pada larutan uji dan
memiliki serapan kuat pada panjang gelombang 760 nm (Blainski et al., 2013).
Metode folin-Ciocalteu merupakan metode yang sederhana, sensitif dan
teliti. Metode ini terjadi dalam suasana basa sehingga dalam penentuan kadar
fenolik dengan pereaksi Folin-Ciocalteu digunakan natrium karbonat yang
bertujuan untuk membentuk suasana basa (Prior, Wu, dan Schaich, 2005).

2.6 Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa oemberi elsktron (donor elektron) atau
reduktan. Senyawa ini mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi,
dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Akibatnya kerusakan sel akan
dihambat oleh adanya antioksidan. Antioksidan memiliki peranan yang cukup
penting bagi kesehatan khususnya dalam mempertahankan tubuh dari kerusakan
sel akibat adanya radikal bebas. Berdarkan sumbernya, terdapat antioksidan yang
disebabkan oleh senyawa oksigen reaktif. Antioksidan alami umumnya memiliki
gugus fenolik dalam struktur molekulnya (Sunarni, 2006).
Antioksidan sangat beragam jenisnya. Secara umum antioksidan dapat
digolongkan dengan dua cara, yaitu :
2.6.1 Berdasarkan fungsi
A. Antioksidan primer, yaitu antioksidan yang berperan dalam
menghentikan reaksi rantai radikal bebas dengan berfungsi sebagai
pendohor atom H atau elektron pada radikal bebas dan berdampak
pada pembentukan produk yang lebih stabil. Antioksidan primer
(AH) dapat memutuskan tahap inisiasi dengan cara bereaksi
dengan sebuah radikal bebas atau menghambat reaksi propagasi
dengan cara bereaksi dengan radikal peroksil atau alkoksida
Contohnya tokoferol, flavonoid, dan asam askorbat (Halim, 2011).
B. Antioksidan sekunder, yaitu antioksidan yang kerjanya
menghambat kerja peroksidan dengan mekanisme reaksi berupa

4
5

penyerapan sinar UV, deaktivasi ion logam (dengan pembentukan


senyawa kompleks) (Pokorny et al., 2001).
C. Antioksidan tersier, yaitu antioksidan yang berfungsi memperbaiki
kerusakan sel dan jaringan yang disebabkan oleh radikal bebas.
Contohnya enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida reduktase
yang berperan dalam perbaikan biomolekul yang disebabkan oleh
radikal bebas (Pribadi, 2009).
2.6.2 Berdasarkan sumbernya
A. Antioksidan alami, yaitu antioksidan yang diperoleh dari bahan
alam, merupakan senyawa metabolit sekunder tumbuhan seperti
senyawa golongan alkaloid, fenolik, flavonoid. Golongan
flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon,
flavonol, isoflavon, kateksin, flavonol dan kalkon. Aktivitas
antoksidan alami bergantung pada struktur kimia senyawa
penyusunnya dan kemampuan senyawa tersebut untuk menangkap
radikal kemudian menstabilkannya selama reaksi berlangsung
(Pokorny et al., 2001).
Antioksidan alami lebih banyak diminati sebagai antioksidan
tambahan bagi tubuh dibandingkan antioksidan sintetik karena
antioksidan sintetik dapat meningkatkan terjadinya efek
karsinogenesis (Umemura, Kodama, Hioki, Inoue, Nomura, dan
Kurokawa, 2001).
B. Antioksidan sintetik, yaitu antioksidan alami yang telah diproduksi
secara sintetis untuk tujuan komersial. Antioksidan sintetik yang
paling sering digunakan adalah Propil Galat (PG), Butil Hidroksi
Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT) dan Tert-butil
hidrokuinon (Bendra, 2012). Penggunaan antioksidan sintetik bagi
kesehatan manusia tidak disarankan lagi karena dapat memberikan
efek samping yang berbahaya yaitu karsinogenesis. Sebagai contoh
BHA yang merupakan inhibitor lipid peroksidasi yang poten, tetapi
ketika dikonsumsi berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
kanker, karena terjadi kerusakan oksidatif pada DNA sehingga
memicu terjadinya mutasi (Amarowicz, Naczk, dan Fereiodon,
2000).

2.7 Metode DPPH


Metode DPPH merupakan metode analisis kapasitas antioksidan yang
sederhana menggunakan senyawa pendeteksi yaitu DPPH (1,1-diphenyl-2-
pikrilhydrazil). Senyawa DPPH adalah senyawa radikal bebas stabil yang dapat
bereaksi dengan atom hidrogen yang berasal dari suatu senyawa antioksidan
membentuk DPPH tereduksi (Kubo, Masuoka, Xiao, dan Haraguchi, 2002).
Kestabilan radikal DPPH disebabkan oleh adanya delokalisasi pasangan
elektron secara menyeluruh (Sulistiyowati, Cahyono, dan Swastawati, 2013).
Radikal DPPH memberikan serapan kuat pada panjang gelombang 517 nm
dengan warna violet gelap. DPPH dapat memberikan serapan karena memiliki
gugus kromofor dan auksokrom pada struktur kimianya dan dengan adanya
delokalisasi elektron pada DPPH akan memberikan warna violet (Dehpour,
Ebrahimzadeh, dan Nabavi, 2009).
Penangkapan radikal bebas oleh senyawa antioksidan menyebabkan
elektron pada radikal DPPH menjadi berpasangan sehingga terjadi penghilangan
warna yang sebanding dengan jumlah elektron yang diambil. Adanya senyawa
antioksidan menyebabkan perubahan warna larutan DPPH dari warna ungu gelap
menjadi warna kuning (Dehpour et al., 2009).
Makin kuat senyawa antioksidan untuk menangkal radikal DPPH, makin
pudar warna yang teramati (Kuncahyo dan Sunardi, 2007).
Parameter untuk menunjukkan aktivitas antioksidan suatu senyawa adalah
harga efficient concentration (EC50) atau harga Inhibition Concentration (IC50),
yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat menyebabkan 50% DPPH
kehilangan karakter radikal atau konsentrasi suatu zat antioksidan yang
memberikan % penghambatan 50% (Molyneux, 2004). Makin kecil harga IC50
menunjukkan makin besarnya kemampuan antioksidan suatu senyawa yang
digunakan (Kristina, Ariviani, dan Khasanah, 2012).
Tabel 2.1 Tingkat kekuatana antioksidan dengan metode DPPH
(Blois cit., Fidrianny, Darmawati, Sukrasno, 2014).

4
5

Kelebihan dari metode DPPH adalah metode ini merupakan metode yang
mudah, cepat, dan sensitif untuk pengujian aktivitas antioksidan senyawa tertentu
atau ekstrak tanaman (Koleva et al., 2002).

2.8 Spektrofotometri UV-Vis


Spektrofotometri visibel merupakan salah satu teknik analisis fisika- kimia
yang mengamati tentang atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik pada
panjang gelombang 380-780 nm (Mulja dan Suharman, 1995). Sedangkan sinar
ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Serapan maksimum suatu senyawa kimia dipengaruhi oleh adanya kromofor
dan gugus auksokrom. Interaksi antara senyawa yang memiliki gugus kromofor
dengan radiasi elektromagnetik pada daerah UV dan visibel akan menghasilkan
transisi elektromagnetik dan spektra serapan elektromagnetik. Tiga hal yang
mungkin terjadi ketika terjadi interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik
adalah hamburan, absorpsi dan emisi (Mulja dan Suharman, 1995).
Kromofor merupakan semua gugus atau gugusan atom berupa ikatan
rangkap konjugasi (seperti benzena) yang mengabsorpsi radiasi UV-Vis,
sedangkan auksokrom merupakan suatu gugus fungsional yang memiliki elektron
bebas seperti –OH, -NH2 dan OCH3 yang memberikan transisi n-α* (Mulja dan
Suharman, 1995).
Absorpsi cahaya UV-visibel mengakibatkan terjadinya transisi elektronik,
yaitu promosi-promosi dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital
keadaan tereksitasi yang berenergi lebih tinggi (Fessenden dan Fessenden, 1995).
Spektrofotometer UV-Vis menjadi alat yang sering digunakan dalam analisis
karena alat ini sederhana, prosesnya cepat serta sensitif (Mulja dan Suharman,
1995).
BAB III
TATA KERJA

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah refluks,
spektrofotometri UV-Vis, blender (Maksindo), timbangan analitik (Ohaus),
kulkas (Polytron), tanur (Brastead Thermolyne), oven pengerin listrik
(Argowindo) dan alat gelas kimia lainnya.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jahe merah,
akuades, etanol 96%, kloroform (Fulltime), pereaksi skrining fitokimia,
toluen (Fulltime), metanol, CH3COONa (Merk), asam galat (Sigma-
Aldrich), Na2CO3 (Merck), asam askorbat (Sigma-Aldrich), metanol pro
analisis (Fulltime), pereaksi Folin-Ciocalteu (Merck), DPPH (Sigma-
Aldrich), kuersetin (Sigma-Aldrich), dan AlCl3 (Merck).

3.2 Metode Penelitian


Metode penelitian meliputi proses pengumpulan bahan, ekstraksi simplisia,
pengeringan ekstrak, ekstraksi secara refluks, penetapan kadar total flavonoid,
penetapan kadar total fenol, dan pengujian aktivitas antioksidan
3.2.1 Pengumpulan Jahe Merah
Jahe merah didapat dari daerah Bojong Gede, Bogor yang
merupakan daerah pusat penghasil jahe merah.
3.2.2 Pengeringan Simplisia
Jahe merah yang telah dicuci, ditiriskan, kemudian diiris, kemudian
dioven pada suhu 40°C. Simplisia yang sudah kering diblender hingga
menjadi serbuk simplisia.
3.2.3 Skrining Fitokimia
Dilakukan skrining fitokimia yaitu alkaloid, flavonoid, tanin, fenolat,
triterpenoid, steroid, kuinon, saponin, monoterpen, dan seskuiterpen.
Adapun langkah kerjanya sebagai berikut:

4
5

A. Alkaloid
Sejumlah simplisia jahe merah dalam mortir, dibasahkan dengan
amonia sebanyak 1 ml, kemudian ditambahkan kloroform dan
digerus kuat. Cairan kloroform disaring, filtrat ditempatkan dalam
tabung reaksi dan ditambahkan HCl 2 N, campuran dikocok, lalu
dibiarkan hingga terjadi pemisahan. Dalam tabung reaksi terpisah :
Filtrat 1 : sebanyak 1 tetes larutan pereaksi dragendrof diteteskan ke
dalam filtrat, adanya alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya
endapan atau kekeruhan berwarna hingga coklat.
Filtrat 2 : sebanyak 1 tetes larutan peraksi mayer diteteskan ke dalam
filtrat, adanya alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya endapan
atau kekeruhan berwarna putih.
Filtrat 3 : sebagai blanko atau kontrol negatif (DepKes RI, 1995).
B. Flavonoid
Sejumlah simplisia jahe merah masing-masing digerus dalam mortir
dengan sedikit air, kemudian dipindahkan kedalam tabung reaksi,
ditambahkan sedikit serbuk Mg dan 5 tetes HCl 2 N, seluruh
campuran dipanaskan selama 5-10 menit. Filtrat disaring panas-
panas, kemudian dibiarkan dingin. Filtrat ditambahkan amil alkohol
lalu dikocok kuat-kuat. Reaksi positif dengan terbentuknya warna
merah pada lapisan amil alkohol (DepKes RI, 1995).
C. Tanin
Simplisia jahe merah 1 gram ditimbang, ditambahkan 100 ml air
panas, didihkan selama 5 menit kemudian disaring. Filtrat sebanyak
5 ml dimasukan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan gelatin maka
akan timbul endapan putih yang menunjukkan adanya tanin (DepKes
RI, 1995).
D. Fenolat
Simplisia jahe merah 1 gram ditimbang, ditambahkan 100 ml air
panas, dididihkan selama 5 menit kemudian disaring. Pereaksi FeCl 3
ditambahkan, maka akan timbul warna hijau biru kehitaman
menunjukkan adanya fenol (DepKes RI, 1995).
E. Triterpenoid dan Steroid
Serbuk simplisia jahe merah digerus dengan eter, kemudian fase eter
diuapkan dalam cawan penguap hingga kering, pada residu ditetesi
pereaksi liberman-burchard. Terbentuknya warna ungu menunjukan
kandungan triterpenoid sedangkan bila terbentuk warna hijau biru
menunjukkan adanya senyawa steroid (DepKes RI, 1995).
F. Kuinon
Serbuk simplisia jahe merah masing-masing ditambahkan dengan
air, dididihkan selama 5 menit, kemudian disaring dengan kapas.
Filtrat ditambahkan larutan KOH. Terjadi warna merah
menunjukkan adanya senyawa kuinon (DepKes RI, 1995).
G. Saponin
Serbuk simplisia jahe merah masing-masing ditambahkan dengan
air, dididihkan selama 5 menit, kemudian dikocok. Terbentuknya
busa yang konsisten selama 5-10 menit ± 1 cm, berarti menunjukkan
bahwa bahan uji mengandung saponin (DepKes RI, 1995).
3.3.3 Susut Pengeringan
Susut pengeringan bertujuan untuk memberikan batasan maksimal
tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan, kecuali
dinyatakan lain, suhu penetapan adalah 105˚C. Zat ditimbang 1 gram sampai
2 gram dalam botol timbangan dangkal bertutup yang sebelumnya telah
dipanaskan pada suhu penetapan selama 30 menit dan telah ditara. Diratakan
bahan dalam botol timbang dengan menggoyangkan botol hingga
merupakan lapisan setebal ± 5 mm sampai 10mm, dimasukkan ke dalam
ruang pengering, buka tutupnya, dikeringkan pada suhu penetapan hingga
bobot tetap (DepKes RI, 2000).
3.3.4 Karakterisasi Simplisia
Karakterisasi dilakukan terhadap simplisia jahe merah dengan
pengerjaan sesuai yang tertera pada Materia Medika Indonesia. Adapun
tahapannya sebagai berikut :

4
5

A. Penetapan Kadar Air


Penetapan kadar air adalah suatu pengukuran kandungan air yang
berada di dalam bahan (simplisia). Prinsip penetapan kadar air
dilakukan dengan cara yang tepat diantaranya ada cara titrasi,
destilasi, atau gravimetri. Tujuan dari penetapan kadar air, yaitu
memberikan batas minimal atau rentang besarnya kandungan air di
dalam bahan (DepKes RI, 2000). Penentuan kadar air dilakukan
dengan cara destilasi, yaitu dengan dimasukan 5 gram serbuk
simplisia, lalu ditambahkan 200 ml toluen jenuh air ke dalam labu
yang telah berisi sampel uji, kemudian dididihkan. Penyulingan pada
awal dilakukan dengan kecepatan kurang dari 2 tetes perdetik,
kemudian dinaikan 4 tetes perdetik. Penyulingan dihentikan setelah
seluruh air tersuling, maka dilakukan penyulingan kembali selama 5
menit. Pada tabung penerima setelah memisah air dan toluen, maka
dilakukan perhitungan kadar air dengan cara menghitung volume air
terhadap bobot kering simplisia (DepKes RI, 1979).
B. Penetapan Kadar Abu Total
Penetapan kadar abu merupakan metode pengukuran terhadap bahan
yang dipanaskan pada suhu tertentu dimana senyawa organik dan
turunannya terdestruksi dan menguap sehingga yang tertinggal hanya
unsur mineral dan anorganik dengan tujuan untuk memberikan
gambaran mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses
awal sampai terbentuknya ekstrak (DepKes RI, 2000). Simplisa
sebanyak 2 gram ditimbang, kemudian digerus dimasukan ke dalam
cawan krus. Arang dipijarkan hingga habis, didinginkan dan
ditimbang. Jika arangnya tidak dapat menghilang, maka abu
dipanaskan dalam larutan air panas, kemudian disaring
menggunakan kertas saring bebas abu. Kertas saring dan sisa abu
dipijarkan dalam krus yang sama. Filtrat dimasukan ke dalam krus,
diuapkan dan dipijarkan hingga bobot tetap. Kadar abu dihitung
terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (DepKes RI, 1979).
C. Penetapan Kadar Sari Larut Air
Penetapan kadar sari larut air bertujuan untuk mengetahui kadar sari
dari bahan yang terlarut di dalam pelarut air. Serbuk simplisia
ditimbang sebanyak 5 gram, kemudian dimaserasi selama 24 jam
dengan 100 ml air-kloroform, didalam labu tersumbat sambil berkali-
kali dikocok selama 6 jam pertamadan dibiarkan selama 18 jam.
Filtrat disaring, kemudian diambil yang telah ditara, dipanaskan pada
suhu 105˚C hingga bobot tetap. Kadar dihitung dalam persen sari
yang larut dalam air terhadap bahan yang telah dikeringkan (DepKes
RI, 1979).
D. Penetapan Kadar Sari Larut Etanol
Penetapan kadar sari larut etanol bertujuan untuk mengetahui kadar
sari dari bahan yang terlarut di dalam pelarut etanol. Serbuk
simplisia ditimbang sebanyak 5 gram, kemudian dimaserasi selama
24 jam dengan 100 ml etanol 95%, di dalam labu tersumbat sambil
berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan dibiarkan selama 18
jam. Filtrat disaring, kemudian diambil 20 ml. Filtrat diuapkan
hingga kering dalam cawan dangkal yang telah ditara, dipanaskan
pada suhu 105˚C hingga bobot tetap. Kadar dihitung dalam persen
sari yang larut dalam etanol terhadap bahan yang telah dikeringkan
(DepKes RI, 1979).

3.4 Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan menggunakan metode refluks. Sampel uji berupa
simlisia jahe merah. Simplisia kering diekstraksi menggunakan pelarut air
masing-masing pada waktu 30, 60, 90, dan 120 menit pada suhu 50°C, 60°C,
70°C, dan 80°C. Ekstrak cair yang didapat diuapkan menggunakan waterbath,
sehingga didapatkan ekstrak kental jahe merah. Ekstrak kental jahe merah
dikeringkan menggunakan oven pada suhu 40°C, kemudian dihitung persen
rendemen dengan rumus :

Rendemen ekstrak = x 100%

4
5

3.5 Penetapan Kadar Total Fenol


3.5.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Menggunakan Standar Asam Galat
Sebanyak 25 mg asam galat ditimbang dan dilarutkan dalam 25 mL
metanol sebagai larutan standar asam galat, kemudian dibuat variasi
sebagai larutan standar asam galat 50, 60, 70, 80, 90, 100, dan 110 bpj.
Sampel ditambahan 5 mL pereaksi Folin-Ciocalteu 10%, 4 mL Na2CO3 1
M, larutan diinkubasi selama 2 jam (Pourmorad, et al., 2006). Pengukuran
absorbansi dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis yang telah
termodifikasi pada panjang gelombang 739 nm, pengujian dilakukan secara
triplo. Kurva kalibrasi dibuat, sehingga diperoleh persamaan regresi linier.
3.5.2 Penetapan Kadar Fenol Total
Ekstrak kering dilarutkan dalam metanol. Sebanyak 0,5 mL larutan
sampel diambil dan ditambahkan 5 mL pereaksi Folin-Ciocalteu 10%, 4
mL Na2CO3 1 M, larutan diinkubasi selama 2 jam (Pourmorad, et al.,
2006). ). Pengukuran absorbansi dengan menggunakan spektrofotometri
UV-Vis yang telah termodifikasi pada panjang gelombang 739 nm,
pengujian dilakukan secara triplo. Penetapan kadar total fenol dihitung
menggunakan regresi linier dari kurva kalibrasi asam galat.

3.6 Penetapan Kadar Total Flavonoid


3.6.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Menggunakan Standar Kuersetin
Sebanyak 5 mg kuersetin ditimbang dan dilarutkan dalam 25 mL
metanol sebagai larutan standar kuersetin, kemudian dibuat variasi sebagai
larutan standar akuersetin 50, 60, 70, 80, 90, 100, dan 110 bpj. Sampel
ditambahan 1,5 mL metanol, 0,1 mL AlCl3 10%, 0,1 mL CH3COONa 1 M,
dan 2,8 mL akuades (Chang, et al., 2002). Pengukuran absorbansi dengan
menggunakan spektrofotometri UV-Vis yang telah termodifikasi pada
panjang gelombang 439 nm, pengujian dilakukan secara triplo. Kurva
kalibrasi dibuat, sehingga diperoleh persamaan regresi linier.
3.6.2 Penetapan Kadar Flavonoid Total
Ekstrak kering dilarutkan dalam metanol. Sebanyak 0,5 mL larutan
sampel diambil dan ditambahan 1,5 mL metanol, 1 mL AlCl3 10%, 0,1 mL
CH3COONa 1 M, dan 2,8 mL akuades (Chang, et al., 2002). Pengukuran
absorbansi dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis yang telah
termodifikasi pada panjang gelombang 439 nm, pengujian dilakukan secara
triplo. Penetapan kadar total flavonoid dihitung menggunakan regresi linier
dari kurva kalibrasi kuersetin.

3.7 Pengujian Aktivitas Antioksidan


3.7.1 Pembuatan Larutan DPPH
Larutan DPPH dibuat dengan konsentrasi 50 bpj, dengan menimbang
sebanyak 5 mg DPPH dan dilarutkan dengan metanol hingga 100 mL.
3.7.2 Pengujian Larutan Pembanding Dengan Standar Asam Askorbat
Asam askorbat ditimbang sebanyak 1 mg dan dilarutkan dalam 100
mL metanol sebagai larutan pebanding asam askorbat 10 bpj, kemudian
larutan diinkubasi selama 30 menit. Pengukuran absorbansi dengan
menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 515 nm,
pengujian dilakukan secara triplo (Blois, 1958).
3.7.3 Penetapan Aktivitas Antioksidan
Pembuatan larutan uji dibuat dengan cara menimbang ekstrak dan
dilarutkan dalam metanol. Larutan sampel diambil sebanyak 1 mL dan
ditambahkan 1 mL DPPH, kemudian larutan diinkubasi selama 30 menit.
Pengukuran absorbansi dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis
pada panjang gelombang 515 nm, pengujian dilakukan secara triplo (Blois,
1958).
3.7.4 Penentuan IC50 Terhadap DPPH
Absorbansi sampel uji yang diperoleh digunakan untuk menghitung
persentasi peredaman DPPH dan membuat kurva kalibrasi dengan persentasi
peredaman DPPH menggunakan linieritas. IC50 dihitung dengan cara
memasukkan nilai 50 kedalam persamaan linier sebagai y, kemudian
dihitung nilai x, hasil yang diperoleh mnerupakan konsentrasi IC 50 (Kristina,
2018).

4
5

Nilai serapan larutan DPPH terhadap sampel tersebut dinyatakan


dengan persen inhibisi (% inhibisi) dengan persamaan sebagai berikut :

% Inhibisi = x 100%
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Determinasi Tanaman


4.2 Pengumpulan Dan Pengolahan Tanaman
Rimpang jahe merah yang telah diperoleh, kemudian dilakukan sortasi
basah untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari
bahan simplisia rimpang jahe merah, kemudian dilakukan pencucian dengan
menggunakan air mengalir. Proses tersebut bertujuan untuk menghilangkan tanah
dan kotoran lain yang melekat pada rimpang jahe merah, sehingga diperoleh
bahan simplisia bebas dari kotoran yang mungkin terbawa pada saat proses
pemanenan ataupun pengangkutan, selanjutnya tahap perajangan untuk
mempermudah proses pengeringan, penyimpanan ataupun penggilingan. Rimpang
jahe merah yang telah dirajang kemudian dikeringkan menggunakan oven pada
suhu 50oC selama dua hari. Pengeringan bertujuan untuk mendapatkan simplisia
yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama.
Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah
penurunan mutu atau perusakan simplisia, lalu dilakukan sortasi kering untuk
memisahkan benda-benda asing atau pengotor yang masih ada dan tertinggal pada
simplisia (Prasetyo, 2013).

4.3 Karakterisasi Simplisia


Karakterisasi simplisia ataupun ekstrak dilakukan untuk mendapatkan
simplisia dan ekstrak yang aman, memiliki mutu yang baik dan terstandar
(Suharti, 2017). Karakterisasi simplisia yang dilakukan meliputi penetapan kadar
abu total, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar air dan susut
pengeringan.
Penetapan kadar abu total bertujuan untuk memberikan gambaran
kandungan mineral baik senyawa organik maupun anorganik yang terkandung
dalam simplisia (Depkes RI, 2000). Pada penetapan kadar abu total, abu dapat
berasal dari bagian jaringan tanaman sendiri atau dari pengotor lain seperti pasir

4
5

atau tanah. Menurut persyaratan kadar abu total pada simplisia rimpang jahe
merah yaitu tidak lebih dari 5%.
Penetapan kadar sari larut air dan larut etanol bertujuan untuk memberikan
gambaran awal jumlah senyawa yang dapat tersari dengan pelarut air dan etanol
dari suatu simplisia.
Penetapan kadar air bertujuan untuk memberikan batasan maksimal
kandungan air didalam simplisia, karena jumlah air yang tinggi dapat menjadi
media tumbuhnya bakteri dan jamur yang dapat merusak senyawa yang
terkandung di dalam simplisia (Depkes RI, 2000).
Penetapan susut pengeringan dilakukan bertujuan untuk memberikan
batasan (rentang) maksimal mengenai besarnya senyawa yang hilang pada saat
proses pengeringan pada suhu 105oC (Depkes RI, 2000). Kandungan yang hilang
antara lain air, minyak atsiri dan senyawa-senyawa kandungan lain yang mudah
menguap.

4.4 Ekstraksi Dengan Metode Refluks

4.5 Karakterisasi Ekstrak

4.6 Skrining Fitokimia


Skrining fitokimia ini bertujuan untuk mengetahui kandungan metabolit
sekunder yang terdapat pada rimpang jahe merah. Pengujian dilakukan pada
simplisia dan ekstrak. Skrining fitokimia ini untuk memastikan bahwa proses
ektraksi serta pemekatan ekstrak tidak merusak kandungan senyawa yang terdapat
dalam simplisia, proses ini pun dapat digunakan sebagai uji pendahuluan untuk
senyawa-senyawa yang kemungkinan memiliki aktivitas, seperti antioksidan
(Agustina, 2017).

4.7 Hasil Penetapan Kadar Total Flavonoid


Pada penetapan kadar total flavonoid dilakukan dengan menggunakan
standar kuersetin karena merupakan flavonoid golongan flavonol yang
mempunyai gugus keton pada C-4 dan memiliki gugus hidroksil pada atom C-3
atau C-5 yang bertetangga dari flavon dan flavonol. Penambahan pereaksi AlCl 3
10% yang dapat membentuk kompleks antara AlCl3 dengan gugus keto pada C4
sehingga membentuk senyawa kompleks yang stabil berwarna kuning.
Penambahan natrium asetat 1M untuk mempertahankan panjang gelombang pada
daerah visible (Chang et al., 2002). Perlakuan inkubasi selama 30 menit yang
dilakukan sebelum pengukuran dimaksudkan agar reaksi berjalan dengan
sempurna sehingga memberikan intensitas warna yang maksimal.

Gambar 4…. Kurva Standar Kuersetin

Penentuan kadar total flavonoid dengan menggunakan metode Chang pada


tahun 2002. Hasil pengukuran diperoleh panjang gelombang maksimum yaitu 430
nm. Dari kurva standar diperoleh persamaan regresi linear yaitu y = 0.0079x -
0,2145 dengan nilai R2= 0.9899.

4.8 Hasil Penetapan Kadar Total Fenol


Hasil dari penetapan kadar total fenol pada ekstrak air rimpang jahe merah
dengan menggunakan reagen Follin-Ciocalteu digunakan untuk menentukan
kandungan total fenol dalam tanaman karena senyawa fenol dapat bereaksi
dengan reagen Follin-Ciocalteu membentuk larutan yang dapat diukur
absorbansinya. Laruatan standar yang digunakan adalah asam galat merupakan
turunan asam hidroksibenzoat yang tergolong asam fenolik sederhana (Khumaira
Sari. 2017). Asam galat direaksikan dengan reagen Follin-Ciocalteu
menghasilkan warna kuning yang menandakan bahwa mengandung fenol,
kemudian ditambahkan natrium karbonat bertujuan untuk memberikan suasana
basa dan mempercepat reaksi antara senyawa fenol dan Follin-Ciocalteu,

4
5

kemudian terbentuk senyawa kompleks berwarna biru yang dihasilkan dari


reduksi kompleks fosfotungstatfosfomolibdat yang terdapat dalam pereaksi
Follin-Ciocalteu dan dapat dideteksi oleh spektrofotometer UV-Vis (Marshelina,
2018).

Gambar 4….Kurva Standar Asam Galat

Panjang gelombang maksimum yang diperoleh yaitu 739 nm, selanjutnya


dilakukan pengukuran standar asam galat dari beberapa konsentrasi, hasil
pengukuran absorbansi larutan asam galat dibuat kurva standar dan diperoleh
regresi linear yaitu y = 0,0068x + 0,0899 dan R2= 0.9907, kemudian dilakukan
pengukuran absorbansi larutan sampel.

4.9 Penetapan Aktivitas Antioksidan


Uji aktivitas antioksidan dilakukan secara kuantitatif dengan
menggunakan metode DPPH yang dinyatakan dalam nilai IC 50 (Inhibition
Concentration). DPPH digunakan sebagai radikal bebas yang akan bereaksi
dengan senyawa antioksidan yang terkandung dalam sampel ekstrak. Prinsip
pengukuran aktivitas antioksidan secara kuantitatif menggunakan metode DPPH
ini adalah perubahan intensitas warna ungu DPPH yang sebanding dengan
konsentrasi larutan DPPH tersebut. Radikal bebas DPPH yang memiliki elektron
tidak berpasangan akan memberikan warna ungu. Warna akan berubah menjadi
kuning saat elektronnya berpasangan. Perubahan warna tersebut mempengaruhi
nilai absorbansi DPPH, semakin tinggi konsentrasi sampel yang digunakan maka
semakin rendah nilai absorbansi dari larutan DPPH. Perubahan warna ini terjadi
karena adanya senyawa yang memberikan atom hidrogen kepada radikal DPPH
sehingga tereduksi menjadi bentuk yang lebih stabil yaitu DPPH-H (2,2-diphenyl-
1-picrylhydrazin) (Kristina, 2018).
Kontrol positif yang digunakan yaitu asam askorbat, karena asam askorbat
dapat larut dalam pelarut polar dan senyawa yang terdapat pada asam askorbat ini
mempunyai kemampuan meredam atau menangkal radikal bebas sangat baik dan
banyak digunakan oleh para peneliti sebagai kontrol positif pada senyawa-
senyawa yang lain khususnya pada uji aktivitas antioksidan, tujuan penggunaan
kontrol positif asam askorbat untuk memastikan metode yang digunakan dapat
mengukur kemampuan asam askorbat dalam meredam radikal bebas. Sehingga
metode ini dapat digunakan untuk pengujian aktivitas antioksidan pada ekstrak air
rimpang jahe merah. Besarnya aktivitas antioksidan ditandai dengan nilai IC50,
yaitu konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk menghambat 50% radikal
bebas DPPH. Nilai IC50 masing-masing ekstrak dibandingkan dengan IC50 asam
askorbat sebagai standar.
Semakin kecil nilai IC50 pada sampel, berarti memiliki aktivitas
antioksidan yang semakin tinggi. Klasifikasi menurut Blois menyatakan bahwa
nilai IC50 yang kurang dari 50 µg/mL memiliki aktivitas antioksidan yang sangat
kuat, 50-100 µg/mL aktivitas antioksidan kuat, 101-150 µg/mL aktivitas
antioksidan sedang, lebih dari 150 µg/mL aktivitas antioksidan lemah.

4
5

DAFTAR PUSTAKA

Amarowicz, R., Naczk, M., and Fereiodon. 2000. Antioxidants Activity of Crude
Tannins of Canola and Repessed Hulls. JAOCS. 77; 957-961.
Andersen, M., Markham, K.R. 2006. “Flavonoids”. New York : Taylor & Francis
Group.
Bendra, A. 2012. “Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Premna Oblongata
Miq. Dengan Metode DPPH dan Identifikasi Golongan Senyawa Kimia dari
Fraksi Teraktif.” Skripsi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Depok : Universitas Indonesia.
Blainski, A., Cristiny, G., dan de Mello J. 2013. Application and Analysis of the
Folin Ciocalteu Method for the Determination of The Total Phenolic
Content from Limonium Brasiliense L.” J. Mdpi Molecules. 18 (6855).
Blois, M. S. 1990. Antioxidant Determinations by The Used of A Stable
Free Radical. Nature. 181; 1199-1200.
Chang, C., Yang, M., Wen, H., Chern, J. 2002. Estimation of Total Flavonoid
Content in Propolis by Two Complementary Coloimetric Methods. J. of
Food and Drug Anlaysis. 10(3); 178-182.
Departemen Kesehatan RI. 1977. “Materia Medika”. Jilid I. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. 1985. Farmakope Indonesia. Edisi I. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. Jakarta : Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Hal 10-
11.
Dehpour, A.A., Ebrahimzadeh, M.A., and Nabavi, S.F. 2009. Antioxidant Activity
of Methanol Extract of Ferula Assafoetida and its Essential Oil
Composition. Grasas Aceites, 60 (4); 405-412.
Fessenden, R.J., and Fessenden, J.S. 1995. “Kimia Organik.” Jilid I,
diterjemahkan oleh Pudjaatmaka, A.H., edisi ketiga. Jakarta : Penerbit
Erlangga. pp. 436- 444.
Gandjar, I.G., dan Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar. pp. 9-18; 31-33; 221-263.
Gembong, T. 1991. Taksonomi Tumbuhan Spermatophita. Yogyakarta : UGM
Press.
Halim, F. 2011. “Peran Senyawa Antioksidan dalam Permen Cokelat terhadap
Pengaturan Tekanan Darah Manusia.” Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian. Surabaya : Universitas Katolik Widya Mandala.
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Moder Menganalisis
Tumbuhan. Bandung : ITB. Hal. 47-75.
Herlina, R., dkk. 2002. Khasiat dan Manfaat Jahe Merah. Jakarta : Si Rimpang
Ajaib. Media Pustaka.
Jasson, N. 2005. “The Determination of Total Phenolic Compounds in Green
Tea.” http://folinciocalteu/method/colorimetric, diakses pada 24 Januari
2014.
Kristina, I. 2018. “Aktivitas Antioksidan Ekstrak Campuran Rimpang Temu
Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb) dan Temu Putih (Curcuma zeboaroa
Rosc) Berdasarkan Perbedaan Suhu Pengeringan Simplisia dan Lama
Waktu Perebusan”. Skripsi. Bandung : Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia.
Hal. 25-26.
Kubo, I., Masuoka, N., Xiao, P., and Haraguchi, H. 2002. Antioxidant Capacity
of Dodecyl Gallate. SNT. 1-9.
Molyneux, P. 2004. The Use of The Stable Free Radical Diphenylpicrylhydrazyl
(DPPH) for Estimating Antioxidant Activity. Songklanakarin, J.Sci.
Technol. 26 (2); 211-219.
Mulja, M., dan Suharman. 1995. Analisis Instrumental. Surabaya : Airlangga
Unversity Press. pp. 7; 26-32.
Nurhayati, S. K., dan Herjono. 2012. “Pengaruh Konsentrasi Natrium Benzoat dan
Lama Penyimpanan pada Kadar Fenolat Total Pasta Tomat.” Indo. J.Chem.
Sci. 1 (2); 158-163.
Pokorny, J., Yanishlieva, N., dan Gordon, M. 2001. Antioxidant in Food;
Practical Applications, Wood Publishing Limited. Cambrodge, England. pp.
1-123.

4
5

Pourmorad, S. J., Hosseinimehr., and Shababimajd, N. 2006. Antioxidant Activity,


Phenol and Flavonoid Contents of Some Selected Iranian Medical Plants.
Afr. J. Biotechol 5(11): 1142-1145.
Pribadi, I. 2009. “Uji Aktivitas Penangkap Radikal Buah Psidium guajava L.,
dengan Metode DPPH serta Penetapan Kadar Fenolik dan Flavonoid
Totalnya.” https://etd.eprints.ums.ac.id/58931/1/K100050061.pdf, diakses
pada 20 Desember 2013.
Prior, R. L., Wu, X, and Schaich, K. 2005. Standarized Methods for
Determination of Antioxidants Capacity and Phenolics in Foods and
Dietary Supplements. J. Agric. Food Chem 55; 2698A-J.
Proestos, C., Sereli, D., dan Komaitis, M.. 2006. Determination of Phenolic
Compounds in Aromatic Plants by RP-HPLC and GC-MS. J. Food Sci 95;
44-52.
Stailova, I., Krastanov, A., and Stoyanova, A. 2007. “Antioxidant Activity of
Ginger Extract (Zingiber officinale).” Food Chemistry 102 : 764.
Sulistiyowati, C. B., dan Swastawati, F. 2013. “Penentuan Total Senyawa Fenolat
dan Aktivitas Antioksidan pada Asap Cair Ampas Tebu dan Kulit Tebu
(Sacharum officinarum) serta Identifikasi Komponen penyusunnya”. Chem,
Info 1 (1); 362-369.
Sunarni, T. 2005. “Aktivitas Antioksidan Penangkap Radikal Bebas Beberapa
kecambah Dari Biji Tanaman Familia Papilionaceae”. Jurnal Farmasi
Indonesia 2(2); 53-61.
Umemura, T., et all. 2001. Butylhydroxytoluene (BHT) Increases Susceptibility of
Transgenic ras H2 Mice to Lung Carcinogenesis. J. Cancer Res Clin Oncol
127 (10); 583-590.
Zuhra, dkk. 2008. “Aktivitas Antioksidan Senyawa Flavonoid Dari Daun Katuk
(Sauropus androgonus (L) Merr.)”. Jurnal Biologi Sumatera Vol. 3. No. 1.

Anda mungkin juga menyukai