Secara sederhana, sektor publik (public sector) dapat diartikan sebagai sektor pelayanan
yang menyediakan barang/jasa bagi masyarakat umum dengan sumber dana yang berasal dari
pajak dan penerimaan negara lainnya, di mana kegiatannya banyak diatur dengan ketentuan atau
peraturan.
Broadbent dan Guthrie (1992) mengidentifikasi sektor publik dari segi kegiatan (aktivitas)
dan segi kepemilikan. Dilihat dari segi kegiatan (aktivitas). Sektor publik adalah seluruh kegiatan
yang dibiayai oleh pemerintah, baik dari hasil pungutan pajak maupun penerimaan negara lain-
lain, termasuk yang bersumber dari utang. Jenis kegiatan yang dilakukan adalah penyediaan
pelayanan yang bersifat monopolistik, yang dipandang sebagai bagian dari kebutuhan
masyarakat. Dilihat dari segi kepemilikan, sektor publik adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh
umum atau masyarakat, bukan oleh pemegang saham atau sekelompok orang
Masalah kepemilikan ini menjadi permasalahan tiada akhir yang melanda dunia dan
Indonesia. Pemahaman "hitam putih" terhadap perbedaan antara sektor publik dengan sektor
privat dari segi kepemilikan menjadi kurang valid dan kurang relevan lagi akhir-akhir ini. Secara
internasional dan nasional telah terjadi gelombang "privatisasi" di lembaga dan badan usaha
milik negara (publik), yang semula dimiliki dan dikelola oleh pemerintah, sekarang berpindah
sebagian atau seluruh kepemilikannya ke sektor privat. Kondisi serupa juga terjadi di lembaga
layanan umum milik pemerintah yang awalnya dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah, kemudian
diperbolehkan melakukan pelayanan bagi masyarakat dengan mengenakan harga komersial.
Peter Drucker (1975) dalam Malan, et al. (1984) memberikan cara yang lebih mudah untuk
membedakan antara organisasi pelayanan (service institution) dengan organisasi bisnis (business
enterprise) sebagai berikut.
"The one basis difference between a service institution and a business is the way the service
institution is paid. Businesses... are paid only when they produce what the customer wants
and what he is willing to exchange his purchasing power of ... service institutions, by
contrast, are typically paid out of a budget allocation... their revenues are allocated from a
general revenue stream which is not tied to what they are doing, but obtained by tax, levy, or
tribute
["Suatu perbedaan mendasar antara organisasi pelayanan dan organisasi bisnis adalah dalam
hal memperoleh pembayaran. Organisasi bisnis… memperoleh pembayaran ketika mereka
memproduksi barang yang diinginkan konsumen dan yang bersedia ditukarkan konsumen
dengan daya belinya... Sebaliknya, organisasi pelayanan pada umumnya memperoleh dana
dari alokasi anggaran... Pendapatan mereka dialokasikan dari bagian pendapatan umum yang
tidak terikat dengan apa yang mereka kerjakan, melainkan diperoleh dari pajak, retribusi,
atau hibah."]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa definisi sektor publik masih sangat
beragam karena dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, situasi politik, dan cara pengelolaan pada
sektor publik. Sebagai contoh, di Indonesia pemahaman dan penghayatan makna dari Pasal 33
ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Cabang cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” telah berubah dari satu orde
pemerintahan ke orde pemerintahan yang lain. Hal yang menyebabkan perubahan makna dan
konsep sektor publik adalah adanya privatisasi sektor publik. Pada masa pemerintahan orde lama,
semua cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai dan dilaksanakan
oleh negara. Namun seiring dengan berkembangnya sistem ekonomi, maka pemerintah mulai
melakukan privatisasi atas sektor produksi tersebut karena alasan efisiensi dan pengumpulan
dana privat untuk pembangunan.
Berdasarkan sudut pandang ekonomi, barang publik (public goods) adalah barang dan jasa
yang diadakan oleh sektor publik (pemerintah) untuk keperluan masyarakat. Barang dan jasa ini
harus diproduksi karena secara alamiah barang atau jasa tersebut harus disediakan oleh negara
dan/atau adanya kegagalan mekanisme pasar (market failure) sehingga sektor privat tidak mau
dan tidak mampu memproduksi barang publik tersebut.
Dalam mekanisme pasar bebas (privat), produsen akan memproduksi barang jika konsumen
membutuhkan barang tersebut. Pertukaran barang ini menuntut adanya penggunaan sumber daya
yang efisien karena produsen mengharapkan laba. Dari segi akuntansi, produsen harus mampu
menghitung harga pokok atau harga satuan produksi (cost of goods sold atau unit cost) untuk
dapat menentukan harga jual yang memberikan keuntungan.
Terdapat dua sifat utama barang publik, yaitu nonexcludability dan nonrivalness in
consumption. Nonexcludability berarti bahwa barang tersebut dapat dinikmati oleh semua orang
tanpa mengorbankan kenikmatan orang lain. Sedangkan nonrivalness in consumption berarti
bahwa dalam menggunakan barang tersebut orang tidak perlu bersaing untuk mendapatkannya.
Dapat dinikmati oleh semua orang mengandung arti bahwa tidak ada seorang pun yang
dapat dikecualikan dari pemanfaatan barang publik. Manfaat barang publik menyebar ke seluruh
masyarakat dan tidak dapat dipilah-pilah, terlepas dari apakah individu menginginkannya atau
tidak. Sebagai contoh adalah pertahanan keamanan yang dapat dirasakan oleh semua warga
negara. Pertahanan keamanan tidak dapat dibungkus’ dan ‘dibagikan secara tersendiri kepada
masyarakat atau dijual dengan harga tertentu.
Selain itu, karena sifatnya yang tidak ada persaingan dalam konsumsi, satu orang dapat
meningkatkan kepuasannya terhadap barang publik, tanpa mengurangi kepuasan orang lain.
Dengan kata lain, biaya marginal dari setiap tambahan konsumsi adalah nol. Contoh lain dari
barang publik adalah mercusuar. Mercusuar berfungsi memberikan arah dan penerangan bagi
kapal-kapal laut. Manfaat yang diperoleh satu kapal tidak akan mengurangi manfaat bagi kapal
lainnya.
Terdapat kelompok konsumen yang mau menikmati barang publik tetapi tidak bersedia
membayar, yang disebut sebagai free rider (penumpang gratis). Brown dan Jackson (1990)
mendefinisikan istilah free rider sebagai berikut.
“Free rider is an individual who misrepresents his preferences on the expectation that he can
enjoy the benefits of a collective common property resource without paying for them.”
[“Free rider adalah seseorang yang berharap bahwa ia dapat menikmati manfaat dari barang
publik kolektif tanpa membayarnya.”]
Mereka mengetahui bahwa barang publik yang diadakan tidak mungkin hanya dapat
dinikmati oleh orang yang membayar saja. Alih-alih ikut menanggung biaya, mereka lebih
memilih menjadi “penumpang gratis” dari barang publik yang diadakan tersebut. Contohnya
adalah warga negara yang tidak mau membayar pajak padahal mereka menikmati fasilitas umum
dan sosial yang diberikan oleh negara.
Di samping free rider, dalam sektor publik sering dijumpai istilah externalities, yaitu
dampak dari kegiatan ekonomi, di mana dampak tersebut tidak direfleksikan dalam harga
barang/jasa yang diproduksi oleh kegiatan tersebut. Kegiatan ini dapat berdampak, baik yang
bersifat merugikan maupun menguntungkan pihak lain. Sebagai contoh, pembukaan kebun kopi
oleh pemerintah daerah tertentu dengan cara membuka hutan. Dampak positif dari pembukaan
perkebunan kopi adalah peningkatan pendapatan daerah dan lapangan kerja. Dampak negatifnya
adalah terjadinya tanah longsor yang merusak pemukiman dan daerah sekitarnya.
Dengan adanya free rider dan externalities pada sektor publik, serta tujuan penyediaan
barang publik yang bukan untuk mencari keuntungan, perhitungan akuntansi harga pokok atau
harga satuan barang publik akan lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan barang privat.
Faktor dominan yang harus dipertimbangkan dalam menentukan jumlah dan harga barang
pada sektor privat adalah maksimalisasi keuntungan yang ingin diperoleh. Pihak yang terlibat
dalam pengambilan keputusan ini adalah jajaran direksi dan komisaris perusahaan.
Penentuan jumlah dan harga barang publik memerlukan suatu proses (termasuk politik) yang
cukup panjang. Sebagai contoh, jumlah bahan bakar minyak (BBM) yang harus disediakan oleh
pemerintah dan harga jual yang berlaku bagi masyarakat harus ditetapkan antara pihak
pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang merupakan wakil partai politik yang ada
di Indonesia. Penetapan jumlah persediaan dan harga barang publik yang termuat dalam
anggaran belanja negara biasanya digunakan untuk mencapai tujuan tertentu guna meningkatkan
efisiensi alokasi sumber daya ekonomi serta keadilan dalam distribusi pendapatan pada sektor
publik.
Pada beberapa situasi, pemerintah menentukan harga barang publik di bawah harga
pokoknya. Hal ini dilakukan untuk menjaga stabilitas harga dan memberikan perlindungan bagi
konsumen. Akibatnya, pemerintah terkesan melakukan ketidakefisienan jika dilihat dari sudut
pandang ilmu ekonomi. Dalam kondisi seperti itu, akan tidak bijaksana dan tidak logis jika
auditor memberikan rekomendasi menaikkan harga jual. Dalam kondisi ini, auditor dituntut
untuk meningkatkan cakupan auditnya dari audit laporan keuangan ke audit kinerja dengan
konsentrasi pada audit efektivitas dan audit kebijakan.
Seperti diutarakan sebelumnya, belum ada definisi yang tegas mengenai sektor publik. Oleh
karena itu, komponen yang dapat dikategorikan sebagai sektor publik pun menjadi tidak jelas
atau masih mengambang. Hal ini membawa dampak yang cukup penting dari segi audit dalam
menentukan apakah instansi tersebut diaudit oleh lembaga audit pemerintah atau oleh Kantor
Akuntan Publik (KAP).
Sektor Pemerintah
GFS Manual 2001 menyatakan bahwa sektor pemerintah (general government) terdiri atas
semua unit pemerintah dan institusi nirlaba (nonprofit institutions) yang dikendalikan dan
didanai oleh pemerintah. GFS membagi sektor pemerintah menjadi tiga subsektor, yaitu
pemerintah pusat, pemerintah negara bagian/provinsi/wilayah, dan pemerintah daerah. Di
Indonesia, sektor pemerintah juga dibagi menjadi tiga subsektor, yaitu Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Perusahaan Publik
Perusahaan publik (public corporations) terdiri atas perusahaan publik keuangan. (financial
public corporations) dan perusahaan publik nonkeuangan (nonfinancial public corporations).
Perusahaan publik keuangan meliputi perusahaan publik moneter dan perusahaan publik
nonmoneter. Perusahaan publik moneter (monetary financial public corporations) mencakup
bank sentral dan perusahaan penyimpanan, selain bank sentral yang dikendalikan oleh unit
pemerintah. Bank sentral (central bank) adalah badan/otoritas pengatur mata uang yang
independen yang menerbitkan mata uang dan badan pemerintah lainnya sebagai unit
institusional yang terpisah dan melaksanakan kegiatan bank sentral. Di Indonesia, badan
yang berperan sebagai bank sentral adalah Bank Indonesia. Perusahaan penyimpanan
(depository corporations) adalah perusahaan keuangan, perusahaan kuasi, atau institusi
nirlaba yang kegiatan utamanya mencakup intermediasi keuangan dan mempunyai
kewajiban dalam bentuk simpanan (deposit) atau instrumen keuangan lainnya sebagai
pengganti deposit. Perusahaan publik nonmoneter (nonmonetary financial public
corporations) adalah seluruh perusahaan finansial yang dikendalikan oleh unit pemerintah,
kecuali bank sentral dan perusahaan penyimpanan publik lainnya.
Perbedaan yang paling mendasar antara manajemen sektor publik dan manajemen sektor
privat terletak pada tingkat kepatuhan terhadap ketentuan atau peraturan yang berlaku dan
adanya unsur politik yang mendasari pengambilan keputusan.
Ketentuan dan peraturan tersebut dapat berupa peraturan yang ditetapkan oleh lembaga
tinggi negara yang berupa undang-undang dasar, undang-undang, kebijakan pemerintah, sampai
dengan ketentuan dari para pelaksana pemerintahan mulai dari presiden, gubernur, sampai
dengan bupati beserta jajarannya.
Unsur politik yang mendasari kebijakan manajemen pada sektor publik tidak terlepas dari
interaksi antara manajemen yang diwakili oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dengan
legislatif yang merupakan wakil rakyat dan kekuatan politik yang ada di suatu negara. Dengan
demikian, pendekatan fungsi manajemen sektor publik agak berbeda dengan pendekatan fungsi
manajemen sektor privat yang biasanya dihasilkan dari interaksi antara manajemen (direksi) dan
pemilik perusahaan yang diwakili oleh komisaris. Dasar keputusan manajemen sektor privat
lebih banyak didasarkan pada rasional ekonomi atau tingkat keuntungan yang ingin dicapai.
Kondisi ini menunjukkan bahwa audit kepatuhan (compliance audit) merupakan suatu
keharusan, baik pada audit laporan keuangan maupun audit kinerja. Dengan adanya interaksi
politik pada kegiatan sektor publik, maka dalam audit kinerja sektor publik, unsur kebijakan juga
harus dievaluasi, di samping kehematan (ekonomi) dan efisiensi.
Rowan Jones dan Maurice Pendlebury (2000) menjelaskan proses manajemen sektor publik
ke dalam suatu siklus berkelanjutan, seperti ditunjukkan pada Figur 1.2. Dari Figur 1.2 tersebut
terlihat bahwa proses manajemen sektor publik diawali dengan kegiatan perencanaan.
Perencanaan adalah proses awal dari kegiatan proses manajemen sektor publik. Perencanaan
dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu perencanaan tujuan dasar organisasi (perencanaan
strategis) dan perencanaan operasional. Perencanaan strategis adalah bentuk perencanaan
jangka panjang atau jangka menengah yang dilakukan untuk menentukan tujuan dan sasaran
strategis organisasi. Perencanaan operasional adalah penjabaran dari perencanaan strategis
dalam jangka pendek yang umumnya memuat target dan kegiatan yang akan dilaksanakan
selama satu tahun.
Sementara itu, pelaporan, analisis, dan umpan balik merupakan tahap yang cukup penting
dalam manajemen sektor publik. Pada tahap ini, kinerja organisasi akan dilaporkan dan dianalisis.
Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui tingkat pencapaian kinerja dan penyebab tercapai atau
tidaknya target yang telah ditetapkan. Hasil analisis ini akan digunakan sebagai umpan balik
untuk memperbaiki perencanaan strategis, perencanaan operasional, penganggaran, serta
pengendalian dan pengukuran kinerja organisasi.
Perencanaan Strategis
Untuk mewujudkan perencanaan yang baik, pemerintah telah menetapkan UU No. 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). SPPN merupakan tata cara
perencanaan pembangunan jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang terintegrasi
yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. SPPN menuntun pemerintah dalam
menyusun rencana dan kebijakan penganggaran yang berkesinambungan. Secara umum, sistem
perencanaan dan penganggaran pemerintah Indonesia dapat dilihat pada Figur 1.3.
Perencanaan strategis pada organisasi publik, khususnya pemerintah, melewati proses yang
panjang dan melibatkan banyak pihak. Sebagai contoh, dalam menyusun Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) pemerintah mengadakan musyawarah perencanaan
pembangunan (musrenbang) yang diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara negara dengan
mengikutsertakan masyarakat. Begitu pula dengan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN)”, yang berpedoman pada RPJPN dan melalui musrenbang.
Perencanaan Operasional
Penganggaran
Ekspresi finansial dari kegiatan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah selama satu tahun
diwujudkan dalam anggaran (APBN dan APBD). Untuk memperoleh
Gambaran tentang penganggaran pemerintah, berikut ini akan diuraikan secara singkat
proses penganggaran pada pemerintah pusat. Proses penyusunan anggaran pemerintah pusat
dimulai pada tingkat Kementerian dengan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga (RKA-KL). Dengan berpedoman pada Renja-KL, masing-masing kementerian/
lembaga menyusun RKA-KL yang berisi program dan kegiatan Kementerian/ Lembaga, beserta
anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya. RKA-KL kemudian disampaikan kepada
DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN. Selanjutnya, hasil
pembahasan RKA-KL disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang APBN. Proses perencanaan dan pengganggaran di
sektor publik, khususnya pemerintah, dilakukan dengan pendekatan top-down dan bottom-up.
Pendekatan top-down digunakan dalam hal penentuan kebijakan, sedangkan pendekatan bottom-
up dilakukan dalam penentuan kegiatan dan angka anggaran. Perencanaan dan penganggaran
pemerintah sangat rumit karena melibatkan banyak pihak dan sangat terkait dengan kebijakan
serta pertimbangan politik.
Pada tahap pengukuran, dilakukan pembandingan antara hasil yang direncanakan dan hasil
yang sebenarnya (actual). Hal ini diperlukan untuk memastikan tercapainya pengeluaran yang
tidak melebihi anggaran dan kegiatan yang direncanakan telah mencapai sasaran.
Sebagai bagian dari sistem akuntabilitas kinerja, setiap instansi pemerintah harus
melaksanakan pengukuran kinerja. Salah satu panduan pengukuran kinerja instansi pemerintah
adalah Keputusan Kepala LAN No. 239/IX/6/8/2003 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Menurut ketentuan ini, pengukuran kinerja meliputi
tahapan penetapan kinerja, pengumpulan data kinerja, dan cara pengukuran kinerja. Pengukuran
kinerja dilakukan dengan menggunakan indikator kinerja yang terdiri atas indikator input, output,
outcome, benefit, dan impact. Pengumpulan data kinerja untuk indikator input, output, dan
outcome dilakukan setiap tahun untuk mengukur kehematan, efisiensi, efektivitas, dan mutu
pencapaian sasaran. Sementara itu, pengumpulan data kinerja untuk indikator benefit dan impact
dapat dilakukan pada akhir periode selesainya suatu program atau dalam rangka mengukur
pencapaian tujuan instansi pemerintah. Pengukuran kinerja dilakukan atas kinerja kegiatan dan
pencapaian sasaran. Pengukuran kinerja kegiatan dilakukan berdasarkan target dari masing
masing indikator kegiatan, dengan menggunakan formulir Pengukuran Kinerja Kegiatan (PKK).
Sementara itu, pengukuran pencapaian sasaran dilakukan berdasarkan target dari masing-masing
indikator sasaran, dengan menggunakan formulir Pengukuran Pencapaian Sasaran (PPS). Contoh
formulir PKK dan PPS dapat dilihat pada Tabel 1.2 dan Tabel 1.3.
Instansi
Kegiatan Persentase
Pencapaian
Rencana Rencana
Tingkat Tingkat
Indikator Capaian Capaian
Program
Uraian kerja Satuan (Target) Realisasi (Target) Keterangan
1 2 3 4 5 6 7 8
Tabel 1.3 Pengukuran Pencapaian Sasaran Tahun…
Instansi
Persentase
Rencana Pencapaian
Tingkat Rencana
Indikator Capaian Tingkat
Sasaran
Sasaran (Target) Realisasi capaian Keterangan
1 2 3 4 5 6
Sumber : Keputusan Kepala LAN No. 239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan
Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, hlm. 20, 23.
Pelaporan
Pelaporan merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan akuntabilitas organisasi publik.
Akuntabilitas pemerintah di bidang keuangan diwujudkan melalui laporan keuangan pemerintah
yang terdiri atas Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas
Laporan Keuangan. Sebelum disampaikan kepada legislatif, laporan keuangan tersebut diperiksa
oleh BPK.
Untuk mewujudkan akuntabilitas keuangan dan kinerja yang terintegrasi, pemerintah telah
menetapkan PP No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.
Dikeluarkannya PP No. 8 Tahun 2006 juga menunjukkan bahwa sistem akuntabilitas kinerja
instansi pemerintah saat ini telah terintegrasi dengan sistem perencanaan strategis, sistem
penganggaran, dan sistem akuntansi pemerintahan.
Secara umum kinerja di sektor publik lebih sulit untuk dikuantifikasi dibandingkan dengan
sektor privat karena sebagian besar hasil kinerja bersifat kualitatif. Contohnya adalah
peningkatan keamanan, perbaikan mutu kesehatan, atau peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kesulitan dalam menguantifikasi kinerja merupakan salah satu alasan sulitnya melakukan
pengukuran kinerja di sektor publik.
Pengukuran kinerja berfungsi untuk menilai sukses atau tidaknya suatu organisasi, program,
atau kegiatan. Pengukuran kinerja diperlukan untuk menilai tingkat besarnya terjadi
penyimpangan antara kinerja aktual dan kinerja yang diharapkan. Dengan mengetahui
penyimpangan tersebut, dapat dilakukan upaya perbaikan dan peningkatan kinerja.
Alasan yang mendasari pentingnya pengukuran kinerja sektor publik terkait dengan
tanggung jawabnya dalam memenuhi akuntabilitas dan harapan masyarakat. Organisasi sektor
publik bertanggung jawab atas penggunaan dana dan sumber daya dalam hal kesesuaiannya
dengan prosedur, efisiensi, dan ketercapaian tujuan. Pengukuran kinerja pada sektor publik
memiliki beberapa tujuan sebagai berikut.
Pengukuran kinerja pada sektor publik lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan
pengukuran kinerja pada sektor privat. Meskipun demikian, bukan berarti pengukuran kinerja
tidak dapat dilakukan selama kita cukup cermat memerhatikan permasalahan yang ada.
Permasalahan tersebut dijelaskan sebagai berikut.
Sebagaimana digambarkan oleh Jones dan Pendlebury bahwa proses manajemen merupakan
suatu siklus berkelanjutan, maka terlihat adanya keterkaitan erat antara pengukuran kinerja dan
sistem penganggaran.
Hubungan antara konsep pengukuran kinerja dengan sistem anggaran. Pertama, dalam
sistem anggaran tradisional, kinerja diukur berdasarkan kepatuhan dan pengurusan sumber daya
(stewardship). Pengelolaan anggaran difokuskan pada kepatuhan terhadap standar dan peraturan
tentang alokasi input. Dengan demikian, anggaran tradisional menekankan pada aspek ekonomi.
Kedua, dalam sistem anggaran yang berfokus pada output, pengelolaan anggaran didasarkan
pada barang/jasa yang dihasilkan dan menekankan pada aspek efisiensi, yaitu hubungan antara
input dan output. Ketiga, dalam sistem anggaran yang berfokus pada outcome, pengelolaan
anggaran didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai. Dengan kata lain, penganggaran ditekankan
pada aspek efektivitas, yaitu outcome dan impact bagi masyarakat yang diharapkan. Anggaran
yang berfokus pada output dan outcome dikenal sebagai anggaran berbasis kinerja.
1. Input (masukan) adalah sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan dalam
rangka menghasilkan output, seperti sumber daya manusia (SDM), dana, material, waktu,
teknologi, dan sebagainya.
2. Process (proses) adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengolah input menjadi output.
3. Output (keluaran) adalah barang atau jasa yang dihasilkan secara langsung dari pelaksanaan
kegiatan berdasarkan input yang digunakan.
4. Outcome (hasil) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya output atau efek
langsung dari output pada jangka menengah.
Contoh penerapan indikator kinerja pada organisasi sektor publik dapat dilihat pada Tabel 1.4.
Pada prinsipnya konsep input, proses, output, dan outcome berkaitan erat dengan aspek
kinerja yang terdiri atas economy, efficiency, dan effectiveness (yang dikenal dengan konsep 3E).
Economy berkaitan dengan pengadaan input, efficiency berkaitan dengan proses input menjadi
output, sedangkan effectiveness berkaitan dengan manfaat serta dampak output dan outcome.
1) Economy (Spending Less)
Economy (ekonomi atau kehematan) merupakan aspek kinerja yang berkaitan dengan
input, yang umumnya mengacu pada kegiatan pengadaan sumber daya.. Ekonomi berkaitan
erat dengan penyediaan sumber daya dalam jumlah dan mutu yang tepat, pada waktu yang
tepat, dengan biaya serendah mungkin
Konsep ekonomi bersifat relatif karena harga pasar dari input dapat dipengaruhi oleh
faktor lokasi, jumlah, dan waktu. Sebagai contoh, harga komputer atau barang elektronik
sering kali berubah karena pengaruh perubahan kurs mata uang asing dan kemajuan
teknologi. Selain itu, harga suatu jenis barang juga sering kali bergantung pada jumlah
barang yang dibeli. Pembelian dalam jumlah kecil biasanya lebih mahal daripada pembelian
dalam jumlah besar.
Dari sudut pandang audit kinerja, konsep ekonomi merupakan konsep yang paling
sederhana dibandingkan dengan konsep efisiensi dan efektivitas. Dalam hal ini, konsep
ekonomi semata-mata dilihat dari pengeluaran uang yang dilakukan, dengan memerhatikan
prosedur pelaksanaan dan pertanggungjawaban pengeluaran tersebut.
Pada sektor pemerintahan, tanggung jawab atas aspek ekonomi sering kali dipandang
sejajar dengan pertanggungjawaban anggaran secara tradisional yang semata-mata
berorientasikan pada input. Penganggaran secara tradisional merupakan pengalokasian
sumber dana dengan cara membuat perincian menurut input atau objek pengeluaran.
Analisis atas aspek ekonomi umumnya dihubungkan dengan penilaian atas penggunaan dana
ditinjau dari kesesuaiannya terhadap ketentuan yang telah ditetapkan.
Secara sederhana, efficiency (efisiensi) merupakan perbandingan antara output dan input.
Suatu organisasi dapat dikatakan efisien apabila organisasi tersebut: (1) menghasilkan output
yang lebih besar dengan menggunakan input tertentu; (2) menghasilkan output tetap untuk
input yang lebih rendah dari yang seharusnya; (3) menghasilkan produksi yang lebih besar
dari penggunaan sumber dayanya; dan (4) mencapai hasil dengan biaya serendah mungkin.
Terdapat tiga variabel untuk menilai efisiensi suatu pekerjaan, yaitu input, output, dan
standar efisiensi. Dengan demikian, seorang auditor yang akan menilai efisiensi harus dapat
menentukan ukuran input, output, dan standar hasil kerja suatu kegiatan.
Pengukuran input cenderung dapat dilakukan dengan mudah apabila berbagai input
yang ada (seperti tenaga, waktu, dan material) dapat diukur dalam nilai uang. Sementara itu,
pengukuran output umumnya lebih sulit dari pengukuran input, terutama jika output yang
dihasilkan bukan berupa barang. Pengukuran efisiensi yang hanya membandingkan antara
output dan input belum menunjukkan efisiensi yang sesungguhnya. Untuk dapat mengukur
efisiensi yang sebenarnya, kita harus membandingkan kembali hasil perbandingan output
dan input tersebut dengan standar efisiensi. Jika standar hasil ini tidak ada, kita tidak akan
dapat menentukan efisiensi manajemen secara tepat. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa
standar efisiensi.
a. Standar teknik (engineered standards). Standar ini dikembangkan oleh para insinyur
dengan teknik pengukuran yang cukup eksak dengan tingkat ketelitian yang tinggi dan
telah terbukti baik diterima umum. Oleh karena itu, standar ini menjadi dasar yang
dipercaya untuk mengukur dan menilai tingkat efisiensi.
b. Standar historis (historical standards). Tingkat efisiensi yang dicapai di masa lalu
dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai tingkat efisiensi saat ini. Pencapaian
tingkat efisiensi di masa lalu tersebut merupakan historical standards. Sebagai contoh,
rasio produktivitas yang dicapai di masa lalu dapat digunakan sebagai dasar untuk
menilai tingkat produktivitas saat ini.
c. Perbandingan dengan organisasi lain (benchmark). Hal ini berarti melakukan
perbandingan dengan standar pencapaian pada organisasi lain yang bergerak di bidang
yang sama dan dapat dipertimbangkan sebagai pelopor atau pemimpin di bidang
tersebut. Benchmark (tolok ukur) juga dapat dilakukan dengan membandingkan dengan
industri yang diterima umum.
d. Pemanfaatan utilitas. Efisiensi karyawan, peralatan fasilitas, dan lainnya ditunjukkan
sebagai persentase antara kapasitas yang tersedia dibandingkan dengan penggunaan
kapasitas sesungguhnya (aktual).
Dapat juga dikatakan bahwa pengertian efektivitas mengacu pada hubungan antara
output dengan tujuan yang ditetapkan. Suatu organisasi, program, atau kegiatan dikatakan
efektif apabila output yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang ditetapkan.
Dalam sektor publik, konsep 3E (economy, efficiency, effectiveness) perlu diperluas dengan
‘E’ yang keempat, yaitu equity (keadilan). Keadilan berarti bahwa semua masyarakat
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pelayanan, tanpa diskriminasi atau hak
istimewa bagi kelompok tertentu. Prinsip keadilan berkaitan dengan kesetaraan (equality), yaitu
prinsip di mana pemerintah menerapkan pemerataan pelayanan kepada seluruh masyarakat,
dengan mengutamakan pelayanan bagi masyarakat yang lebih membutuhkan. Jika pemerintah
hanya berfokus pada ‘3E’ tanpa menyertakan equity dan equality, ada kemungkinan akan
mengabaikan tanggung jawab sosial.
Pada kenyataannya, efficiency dan equity sering kali tidak dapat seiring sejalan. Sulit untuk
memperoleh keduanya sekaligus, melainkan salah satunya harus dikorbankan (trade-off).
Setidaknya ada dua masalah yang ditimbulkan dari trade off tersebut. Pertama, untuk
menurunkan ketidakadilan, seberapa besar efisiensi yang harus dikorbankan? Contohnya,
penggunaan tenaga kerja yang kurang terampil untuk mengatasi masalah pengangguran, di lain
pihak proses produksi menjadi tidak efisien. Kedua, ada ketidaksepakatan mengenai nilai relatif
yang harus diberikan atas penurunan ketidakadilan dibandingkan dengan penurunan. Efisiensi.
Sebagian orang menyatakan bahwa ketidakadilan adalah masalah utama dalam masyarakat
sehingga harus diupayakan untuk meminimalisasi ketidakadilan tersebut, tanpa harus
mengorbankan prinsip efisiensi.
Ada pula pendapat lain yang menyatakan bahwa efisiensi adalah masalah utama. Mereka
berpendapat bahwa meskipun berupaya untuk membantu masyarakat miskin dalam jangka
panjang, namun cara terbaik yang dapat dilakukan adalah meningkatkan efisiensi agar jumlah
dan mutu barang publik yang dihasilkan makin meningkat.
Pembahasan mengenai sektor publik di Indonesia tidak terlepas dari konteks keuangan
negara. Pendefinisian keuangan negara sendiri telah mengalami perjalanan yang cukup panjang,
hingga akhirnya dikodifikasikan dalam Pasal 1 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara. Undang-undang ini mendefinisikan keuangan negara sebagai semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun barang,
yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Cakupan keuangan negara menurut UU No. 17 Tahun 2003 meliputi:
1. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan hak
melakukan pinjaman;
2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan
membayar tagihan pihak ketiga;
3. Penerimaan negara;
4. Pengeluaran negara;
5. Penerimaan daerah;
6. Pengeluaran daerah;
7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang,
surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraa tugas
pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan
pemerintah.
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa sektor publik dan keuangan negara bagaikan
dua sisi mata uang. Sektor publik menggunakan keuangan negara sebagai sumber daya,
sedangkan keuangan negara dikelola oleh sektor publik.
Dalam pembahasan buku ini, pengertian sektor publik dibatasi pada sektor publik yang
terkait dengan keuangan negara, yaitu sektor publik yang memperoleh dana dari pemerintah
dan/atau menjalankan kegiatan yang diamanatkan oleh pemerintah. Sebagai contoh, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang memperoleh pendanaan atau melakukan kegiatan yang
diamanatkan oleh pemerintah, termasuk dalam lingkup sektor publik dalam buku ini. Sebaliknya,
LSM yang tidak mendapatkan dana dari pemerintah atau tidak menjalankan kegiatan yang
dimandatkan oleh pemerintah tidak termasuk dalam lingkup sektor publik pada pembahasan
buku ini.
Bab II Audit Pada Sektor Publik
Kepatuhan terhadap peraturan Tidak terlalu dominan dalam Merupakan faktor dominan
perundang-undangan audit. karena kegiatan di sektor
publik sangat dipengaruhi oleh
peraturan perundang-
undangan.