Anda di halaman 1dari 17

MANAJEMEN PELAYANAN SEKTOR PUBLIK DAN PRIVAT

TUGAS BESAR 1

Nama : Saddam Hartawan Febri Putra

Nim : 43120010224

Dosen :

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MERCUBUANA

2023
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
(PENDAHULUAN)
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum. Berjalannya segala aktivitas masyarakat diatur
dalam hukum yaitu UUD 1945. Hukum Indonesia merupakan campuran dari hukum-
hukum Eropa, hukum agam, dan hukum adat. Sebagai besar sistem yang dianut baik
perdata maupun pidana , berbasis pada hukum Eropa kontinental, khusus dari Belanda
karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan
sebutan Hindia Belanda. Hukum agama karena sebagai besar masyarakat Indonesia
menganut Islam maka dominasi hkum atau syariat Islam lebih banyak terutama dibidang
perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, Indonesia juga berlaku sistem adat
yang diserap dalam perundang- undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan
dari aturan- aturan setempat.
Hukum di Indonesia salah satunya yaitu peraturan mengenai penyediaan barang
publik. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2009 menyatakan lembaga/ organisasi
penyedia pelayanan publik adalah satuan kerja penyelenggara pelayanan publik yang berada
di lingkungan institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang
dibentuk berdasarkan undang undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum
lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
Keberadaan pelayanan publik disediakan untuk kepuasan masyarakat. Selain
barang publik juga terdapat barang privat yang disediakan oleh swasta. Dalam sektor
swasta pemerintah tetap melakukan kontrol untuk menjaga kestabilan ekonomi.
Pemerintah berperan penting untuk menciptakan kestabilan ekonomi Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana Manajemen Lembaga atau Organisasi Penyedia Layanan ?
1.2.2 Apakah Perbedaan antara Sektor Publik dan Privat ?
1.2.3 Bagaimana Persoalan nilai-nilai yang tercermin dalam Pelayanan ?
1.3 Tujuan

1.3.1 Untuk mengetahui Bagaimana Manajemen Lembaga atau Organisasi Penyedia


1.3.2 Untuk mengetahui apa Perbedaan antara Sektor Publik dan Privat
1.3.3 Untuk mengetahui bagaimana Persoalan nilai-nilai yang tercermin dalam
Pelayanan

1.4 Manfaat

Manfaat dari pembuatan Karya ilmiah ini adalah, pembaca dapat mengetahui dan
memahami lebih dalam mengenai Manajemen Pelayanan Sektor Publik dan Sektor
Privat.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Lembaga / Organisasi Penyedia Pelayanan Sektor Publik dan Sektor Privat
Pelayanan publik merupakan tanggungjawab pemerintah untuk
menyediakannya, sedangkan untuk barang privat sektor swasta yang
menyediakan. Namun dalam kenyataannya terdapat beberapa barang
campuran, yaitu barang semi publik dan semi privat. Pelayanan publik
meliputi penyediaan barang publik murni, semi publik, dan semi privat. Untuk
kategori barang campuran ini, baik sektor publik maupun swasta dapat sama-
sama menyediakan. Oleh karena itu untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pelayanan publik, pemerintah daerah dapat melakukan program
kemitraan dengan sektor swasta atau bisa juga bekerjasama dengan sektor
ketiga yaitu dengan organisasi nonprofit dan LSM (Mardiasmo, 2004).
Selanjutnya Nurcholis (2005: 180) secara rinci membagi fungsi pelayanan
publik ke dalam bidang-bidang sebagai berikut:
a. Pendidikan.
b. Kesehatan.
c. Keagamaan.
d. Lingkungan: tata kota, kebersihan, sampah, penerangan.
e. Rekreasi: taman, teater, musium, turisme.
f. Sosial.
g. Perumahan.
h. Pemakaman/krematorium.
i. Registrasi penduduk: kelahiran, kematian.
j. Air minum.
k. Legalitas (hukum), seperti KTP, paspor, sertifikat, dll.
Di dalam pelaksanaannya komposisi kemitraan yang disarankan kepada
otoritas
lokal terdiri dari (Chapman dalam Sumartono, 2008) :
a. Lembaga-lembaga pemerintah
b. Otoritas lokal
c. Bisnis swasta dan organisasi-organisasi komersial
d. Kelompok-kelompok masyarakat
e. Organisasi-organisasi lingkungan
f. Kelompok-kelompok sukarela, dan Individu-individu pribadi.
Berdasarkan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2009 menyatakan lembaga/ organisasi penyedia
pelayanan publik adalah satuan kerja penyelenggara pelayanan publik yang berada di lingkungan
institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan
undang undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-
mata untuk kegiatan pelayanan publik. Penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan:
a. kepentingan umum;-
b. kepastian hukum;
c. kesamaan hak;
d. keseimbangan hak dan kewajiban;
e. keprofesionalan;
f. partisipatif;
g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
h. keterbukaan;
i. akuntabilitas;
j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
k. ketepatan waktu; dan
l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Penyelenggara pelayanan publik terdiri dari:
a. Satuan Kerja / Satuan Organisasi Kementerian
b. Departemen
c. Lembaga Pemerintah Non Departemen
d. Kesekretariatan Lembaga Tertinggi Dan Tinggi Negara, Misalnya : Sekretariat Dewan
(Setwan), Sekretariat Negara (Setneg), dan sebagainya
e. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
f. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
g. Instansi pemerintah lainnya, baik pusat maupun daerah termasuk dinas – dinas dan badan.
Guna menjamin kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik diperlukan pembina dan
penanggung jawab. Pembina sebagaimana dimaksud terdiri atas:
a. Pimpinan lembaga negara, pimpinan kementerian, pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian, pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis, dan pimpinan
lembaga lainnya;
b. Gubernur pada tingkat provinsi;
c. Bupati pada tingkat kabupaten; dan
d. Walikota pada tingkat kota.

2.2 Perbedaan antara Manajemen Sektor Publik dan Privat


Perbedaan Manajemen Publik dan Privat/Bisnis menurut Steward & Ranson :
2.3.1 Manajemen sektor Publik
 Manajemen Strategis
Berkenaan dengan pertimbangan penyediaan barang karena pasar gagal menyediakan,
bukan sekedar pertimbangan kompetitif atau laba perusahaan. Tetapi karena didasarkan
pada pelayanan kepada masyarakat.
 Pemasaran dan pelanggan barang publik tidak bersifat konsumtif tetapi merupakan
upaya pemenuhan kebutuhan hidup dasar (basic needs).
 Proses anggaran bersifat politis. Anggaran diputuskan melalui mekanisme politik yang
melibatkan banyak lembaga negara dan diatur berdasarkan hukum dan peraturan yang
berlaku.
 Terdapat tuntutan, tekanan dan protes dari masyarakat. Hal ini dapat terjadi apabila
proses pelayanan publik yang dilaksanakan tidak dapat memenuhi ekspektasi masyarakat
atau program tidak berjalan dengan baik sesuai perencanaan.
 Tuntutan dan kritik bagian dari mekanisme demokrasi (politik) yang diperlukan dalam
pengambilan keputusan. Pada sektor publik, semua suara berhak untuk didengar dan
menjadi kewajiban organisasi publik untuk merespon.
 Proses politik merupakan karakteristik yang melekat pada manajemen publik. Perdebatan
publik dan proses tawar menawar politik antar lembaga publik maupun masyarakat untuk
menemukan suatu kebijakan / program dipandang sebagai “ongkos demokrasi”.
 Akuntabilitas Publik. Sektor publik berkewajiban akuntabel dan memberikan
pertanggungjawaban kepada rakyat/pejabat politik/ wakil rakyat (akuntabilitas politik).

2.3.2 Manajemen sektor Privat/Bisnis


Pertama, sektor swasta lebih mendasarkan pada pilihan individu (individual choice)
dalam pasar. Organisasi di sektor swasta dituntut untuk dapat memenuhi selera dan pilihan
individual untuk memenuhi keputusan tiap-tiap individu pelanggan. Keadaan seperti itu berbeda
dengan yang terjadi pada sektor publik. Sektor publik tidak mendasarkan pada pilihan individual
dalam pasar akan tetapi pilihan kolektif dalam pemerintahan. Organisasi sektor publik
mendasarkan pada tuntutan masyarakat yang sifatnya kolektif (massa). Untuk memenuhi
tuntutan individual tentu berbeda dengan pemenuhan tuntutan kolektif. Oleh karena itu,
manajemen pelayanan yang digunakan tentunya juga berbeda.

Kedua, karakteristik sektor swasta adalah dipengaruhi hukum permintaan dan penawaran
(supply and demand). Permintaan dan penawaran tersebut akan berdampak pada harga suatu
produk barang atau jasa. Artinya pelayan di sector swasta sangat bergantung dengan opini pasar
dan mekanisme pasar, tidak layaknya pelayanan public yang tidak bisa sepenuhnya dikendalikan
oleh pasar.

Ketiga, manajemen di sektor swasta bersifat tertutup terhadap akses publik, sedangkan
sektor publik bersifat terbuka untuk masyarakat terutama yang terkait dengan manajemen. di
sektor swasta informasi yang disampaikan kepada publik relatif terbatas. Informasi yang
disampaikan terbatas pada laporan keuangan, sedangkan anggaran dan rencana strategis
perusahaan merupakan bagian dari rahasia perusahaan sehingga tidak disampaikan ke publik.

Keempat, sektor swasta berorientasi pada keadilan pasar (equity of market). Keadilan
pasar berarti adanya kesempatan yang sama untuk masuk pasar. Sektor swasta berkepentingan
untuk menghilangkan hambatan dalam memasuki pasar (barrier to entry). Keadilan pasar akan
terjadi apabila terdapat kompetisi yang adil dalam pasar sempurna, yaitu dengan tidak adanya
monopoli atau monopsoni. Sementara itu, orientasi sektor publik adalah menciptakan keadilan
kebutuhan (equity of need).
Kelima, tujuan manajemen pelayanan sektor swasta adalah untuk mencari kepuasan
pelanggan (selera pasar), sedangkan sektor publik bertujuan untuk menciptakan keadilan dan
kesejahteraan sosial. Sektor publik dihadapkan pada permasalahan keadilan distribusi
kesejahteraan sosial, sedangkan sektor swasta tidak dibebani tanggung jawab untuk malakukan
keadilan distributif seperti itu.

Keenam, organisasi sektor swasta memiliki konsepsi bahwa pelanggan adalah raja.
Pelanggan merupakan penguasa tertinggi. Sementara itu, dalam organisasi sektor publik
kekuasaan tertinggi adalah masyarakat. Dalam hal tertentu masyarakat merupakan pelanggan,
akan tetapi dalam keadaan tertentu juga masyarakat bukan menjadi pelanggan. Sebagai contoh,
masyarakat yang membeli jasa listrik dari PT PLN adalah pelanggan PT PLN, sedangkan yang
tidak berlangganan listrik bukanlah pelanggan PT PLN. Akan tetapi, pemerintah tidak bisa hanya
memperhatikan masyarakat yang sudah berlangganan listrik saja, karena pada dasarnya setiap
masyarakat berhak memperolah fasilitas listrik. Berdasarkan hal ini, maka manajemen pelayanan
yang diterapkan di sektor publik dan sektor swasta tentu akan berbeda.

Ketujuh, persaingan dalam sektor swasta merupakan instrumen pasar, sedangkan dalam
sektor publik yang merupakan instrumen pemerintahan adalah tindakan kolektif. Keadaan inilah
yang menyebabkan sektor publik tidak bisa menjadi murni pasar, akan tetapi bersifat setengah
pasar (quasi competition). Organisasi sektor publik tidak bisa sepenuhnya mengikuti mekanisme
pasar bebas. Tindakan kolektif dari masyarakat bisa membatasi tindakan pemerintah. Dalam
sistem pemerintahan, sangat sulit bagi pemerintah untuk memenuhi keinginan dan kepuasan tiap-
tiap orang dan yang mungkin dilakukan adalah pemenuhan keinginan kolektif.
Contoh dari pelayanan privat diantaranya adalah asuransi, layanan perbankan, dan layanan
kesehatan di rumah sakit swasta. Asuransi merupakan salah satu jenis pelayanan yang diberikan
oleh pihak swasta kepada para pelanggannya yang membayar premi asuransi, sehingga ketika
terjadi klaim oleh pemegang premi, maka pihak asuransi wajib mengeluarkan biaya klaim. Disini
terlihat bahwa lembaga asuransi bertanggung jawab kepada stakeholder yang merupakan
pemegang premi asuransi, dan lembaga tersebut berorientasi kepada keuntungan perusahaan dan
stakeholder.

2.3 Persoalan nilai-nilai moral yang tercermin dalam Pelayanan


Negara dalam upaya mencapai tujuannya, pastilah memerlukan perangkat negara yang
disebut dengan pemerintah dan pemerintahannya. Dalam hal ini pemerintah pada hakekatnya
adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi
melayani masyarakat serta menciptakan kondisi agar setiap anggota masyarakat
mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya (Rasyid, 1998:139). Atas dasar inilah etika
diperlukan dalam administrasi publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk
tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik, dan
sekaligus digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi dalam
menjalankan kebijakan politik dapat dikatakan baik atau buruk.

Sedangkan etika dalam konteks birokrasi menurut Dwiyanto (2002:188), mengatakan


bahwa: “Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam
menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat”. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan
publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus diarahkan pada
pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas.

Etika, termasuk etika birokrasi mempunyai dua fungsi, yaitu: pertama, sebagai pedoman,
acuan, refrensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela.
Kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian mengenai sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi
publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji.

Leys berpendapat bahwa: “Seseorang administrator dianggap etis apabila ia menguji dan
mempertanyakan standar-standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan, dan tidak
mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah ada”.
Selanjutnya, Anderson menambahkan suatu poin baru bahwa: “standar-standar yang digunakan
sebagai dasar keputusan tersebut sedapat mungkin merefleksikan nilai-nilai dasar dari
masyarakat yang dilayani”. Berikutnya, Golembiewski mengingatkan dan menambah elemen
baru yakni: “standar etika tersebut mungkin berubah dari waktu-kewaktu dan karena itu
administrator harus mampu memahami perkembangan standar-standar perilaku tersebut dan
bertindak sesuai dengan standar tersebut” (Keban, 1994:51).
Persoalan nilai-nilai moral yang muncul dalam pelayanan publik yakni:

Mal-administrasi

Praktek mal-administrasi acapkali timbul karena bertemunya faktor “niat atau kemauan dan
kesempatan”, apabila ada niat kesempatan tidak ada mal-administrasi tidak akan terjadi, begitu
sebaliknya kesempatan ada namun tidak ada niat maka tindakan mal-administrasi tidak terjadi.

Ada dua faktor sebagai sumber penyebab timbulnya mal-administrasi yaitu: pertama, faktor
internal yakni faktor pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, misalnya niat,
kemauan, dan dorongan yang tumbuh dalam pribadi orang; kedua, faktor eksternal yaitu faktor
yang berada diluar diri pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, misalnya
lemahnya peraturan, lemahnya pengawasan, dan lingkungan kerja yang memungkinkan
kesempatan untuk melakukan tindakan mal-administrasi.

Menurut Widodo (2001:259), mal-administrasi merupakan suatu praktek yang menyimpang dari
etika administrasi yang menjauhkannya dari pencapaian tujuan administrasi. Sedangkan Nigro
dan Nigro dalam (Widodo, 2001:259-262), mengemukakan terdapat delapan bentuk mal-praktek
(mal-administrasi) yaitu :

1. Ketidak-jujuran (dishonesty), yaitu suatu tindakan administrasi yang tidak jujur.


Misalnya; mengambil uang dan barang publik untuk kepentingan sendiri, menerima uang
suap dari langganan (client), menarik pungutan liar, dan sebagainya. Dikatakan ketidak-
jujuran karena tindakan ini berbahaya dan menimbulkan ketidak-percayaan (dis-trust),
dan merugikan kepentingan organisasi atau masyarakat.
2. Perilaku yang buruk (unethical behaviour), pegawai (administrator publik) mungkin saja
melakukan tindakan dalam batas-batas yang diperkenankan hukum, tetapi tindakan
tersebut dapat digolongkan sebagai tidak etis, sehingga secara hukum tidak dapat
dituntut. Misalnya, kecendrungan pegawai untuk memenangkan perusahaan koleganya
dalam tender proyek; seorang pembesar minta kepada kepala personalia supaya familinya
diluluskan dalam seleksi pegawai. Tindakan ini jelas tidak etis karena mengabaikan
objektivitas penilaian.
3. Mengabaikan hukum (disregard of the law), pegawai (administrator publik) dapat
mengabaikan hukum atau membuat tafsiran hukum yang menguntungkan
kepentingannya. Misalnya pegawai menggunakan mobil dinas untuk keluarga, padahal ia
tahu fasilitas kantor yang secara hukum hanya diperuntukkan bagi pegawai dan hanya
untuk kepentingan dinas.
4. Favoritisme dalam menafsirkan hukum. Pejabat atau pegawai di suatu instansi tetap
mengikuti hukum yang berlaku, tetapi hukum tersebut ditafsirkan untuk menguntungkan
kepentingan tertentu. Misalnya “gubernur” sebagai pembina politik di wilayahnya harus
bersikap netral, namun dalam pemilu sebagai kader partai A merasa terpanggil
memenangkan partai tersebut.
5. Perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai. Pegawai diperlakukan secara tidak adil.
Misalnya bos menghambat pegawai yang berprestasi karena merasa disaingi.
6. Inefisiensi bruto (gross inefficiency). Betapapun bagus maksudnya, jika suatu instansi
tidak mampu melakukan tugas secara memadai, para administrator disitu dinilai gagal,
misalnya pemborosan dana secara berlebihan.
7. Menutup-nutupi kesalahan. Pimpinan atau pegawai menutupi kesalahannya sendiri atau
bawahannya, atau menolak diperiksa atau dikontrol oleh legislatif, atau melarang pers
meliput kesalahan instansinya.
8. Gagal menunjukkan inisiatif. Sebagian pegawai gagal membuat keputusan yang positif
atau menggunakan diskresi (keleluasaan/kelonggaran) yang diberikan hukum kepadanya.

Upaya untuk mencegah atau mengatasi tindakan mal-administrasi pada tubuh birokrasi
publik harus berupaya untuk tidak mempertemukan antara niat dan kesempatan tadi. Maka
skala prioritas untuk mencegah dan mengatasinya adalah dengan cara: pertama, perlu kontrol
internal; kedua, menjunjung tinggi dan menegakkan etika birokrasi pada jajaran birokrasi publik;
ketiga, kontrol eksternal dalam wujud adanya pengawasan baik pengawasan politik, fungsional
maupun pengawasan masyarakat.

Dalam etika pelayanan publik ada seperangkat nilai yang dapat digunakan sebagai acuan,
referensi, dan penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya,
yakni:
1. Efisiensi.

Nilai efisiensi artinya tidak boros. Sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi publik dikatakan baik
jika mereka efisien (tidak boros). Menurut Darwin (1999) mereka akan menggunakan dana
publik (public resources) secara hati-hati agar memberikan manfaat/hasil yang sebesar-besarnya
bagi publik. Efisiensi dapat dicapai manakala setiap anggota organisasi dapat memberikan
kontribusi kepada organisasi. Karena itu, perlu ditegakkan sebuah prinsip “janganlah bertanya
apa yang saudara dapatkan dari organisasi, tapi bertanyalah apa yang dapat saudara berikan
kepada organisasi”.

2. Impersonal

Nilai impersonal maksudnya adalah dalam melaksanakan hubungan antara bagian satu dengan
bagian yang lain, atau kerjasama antara orang yang satu dengan lainnya dalam kerjasama
kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal. Maksudnya hubungan impersonal
perlu ditegakkan untuk menghindari unsur perasaan daripada unsur rasio dalam menjalankan
tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi. Siapa yang salah
harus diberi tindakan, dan yang berprestasi selayaknya mendapat penghargaan.

3. Merytal system

Nilai ini berkaitan dengan rekrutmen atau promosi pegawai, hendaknya menggunakan “merytal
system, artinya dalam penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak didasarkan atas
kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), kemampuan
(capable), dan pengalaman (experience), sehingga dengan sistem ini akan menjadikan yang
bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, dan bukan
“spoil system”.

4. Responsible
Nilai ini berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya. Menurut Friedrich dalam Darwin (1988), responsibilitas merupakan konsep
berkenaan dengan standar profesional dan kompetensi teknis yang dimiliki administrator
(birokrasi publik) dalam menjalankan tugasnya. Untuk bisa menilai perilaku, sikap, dan sepak
terjang administrator harus memiliki standar penilaian sendiri yang bersifat administratif atau
teknis, dan bukan politis. Disamping itu, pertanggungjawaban administratif menuntut
administrator harus bertindak berdasarkan moral. Dalam hal ini birokrasi publik perlu bersikap
adil, tidak membedakan client, peka terhadap ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat, atau
memegang teguh kode etik sebagai pelayan publik. Sehingga dengan demikian diharapkan
birokrasi yang responsible akan mampu memberikan layanan publik yang baik dan profesional.

5. Accountable

Nilai accountable menurut Harty (1977) merupakan suatu istilah yang diterapkan untuk
mengukur apakah dana publik telah digunakan secara tepat dan tidak digunakan secara ilegal.
Sedangkan Herman Finner (1941) dalam Muhadjir (1993) nilai accountable merupakan konsep
yang berkenaan dengan standar eksternal yang menentukan kebenaran suatu tindakan oleh
birokrasi publik. Karenanya akuntabilitas ini disebut tanggungjawab yang bersifat objektif, sebab
birokrasi dikatakan accountable bilamana mereka dinilai objektif oleh orang (masyarakat atau
melalui wakilnya) dapat mempertanggungjawaban segala macam perbuatan, sikap, dan sepak
terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal. Sehingga
birokrasi publik dapat dikatakan akuntabel manakala mereka mewujudkan apa yang menjadi
harapan publik (pelayanan publik yang profesional dan dapat memberikan kepuasan publik).

6. Responsiveness

Nilai ini berkaitan dengan daya tanggap dari birokrasi publik dalam menanggapi apa yang
menjadi keluhan, masalah, dan aspirasi masyarakat. Mereka cepat memahami apa yang menjadi
tuntutan publik, dan berusaha untuk memenuhinya. Mereka tidak suka menunda-nunda waktu,
memperpanjang jalur pelayanan, atau mengutamakan prosedur tetapi mengabaikan substansi.
Dengan demikian birokrasi publik dapat dikatakan baik apabila mereka dinilai memiliki
responsif (daya tanggap) yang tinggi terhadap tuntutan, masalah, keluhan serta aspirasi
masyarakat.

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Pelayanan publik merupakan tanggungjawab pemerintah untuk
menyediakannya,sedangkan untuk barang privat sektor swasta yang
menyediakan. Penyelenggara pelayanan publik terdiri dari Satuan Kerja / Satuan
Organisasi Kementerian; Departemen; Lembaga Pemerintah Non Departemen;
Kesekretariatan Lembaga Tertinggi Dan Tinggi Negara, Misalnya : Sekretariat Dewan
(Setwan), Sekretariat Negara (Setneg), dan sebagainya; Badan Usaha Milik Negara
(BUMN); Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); Instansi pemerintah lainnya, baik pusat
maupun daerah termasuk dinas – dinas dan badan.
Pelayanan yang disediakan pemerintah dimaksud adalah pelayanan yang
diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat yang terkait dengan upaya melindungi dan
memenuhi kebutuhan hidup atas produk-produk tertentu. Pelayanan dapat diberikan
terhadap bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, pariwisata. Pelayanan sektor bisnis dan
publik tentu memiliki perbedaan. Perbedaan yang mencolok terkait dengan tujuan sektor
masing- masing. Sektor publik berorientasi terhadap kepuasan masyarakat, sedangkan
sektor bisnis berorientasi terhadap kepuasan pelanggan.
Dalam menjalankan kedua sektor harus memiliki etika. Etika birokrasi harus
menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan
organisasinya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar
mengutamakan kepentingan masyarakat luas.
2. Saran
1. Pelayanan publik yang disediakan oleh sektor pemerintah kurang merata terhadap
masyarakat.
2. Sistem pelayanan publik harus diperbaiki untuk mencapai kepuasan masyarakat.
3. Sektor swasta harus terus dikontrol dengan baik demi kesejahteraan bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Fatmawati. Kemitraan Dalam Pelayanan Publik; Sebuah Penjelajahan Teoritik. Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik; Universitas Muhammadiyah Makassar.Vol 101,hal
95.
Republik Indonesia. 2009. Undang-undang No. 25 Tahun 2009 tentangPelayanan Publik.
Lembaran Negara RI Tahun 2009, No. 1. Sekretariat Negara. Jakarta.
Hermanto, Nailuredha. 2013. Makalah Perbedaan Pelayanan Publik dana Pelayanan
Privat. Diakses melalui
http://www.academia.edu/6205072/Makalah_Perbedaan_Pelayanan_Publik_dan_Pelayana
n_Privat pada 23 Februari 2018
Mustopadidjaja AR. 2008. Gran Strategi Reformasi Birokasi: Kebijakan, Kinerja, dan
Langkah Ke Depan. Jakarta..
Slamet Luwihono. 2008. Pelayanan Publik: Pengertian, Jenis, Prinsip dan Asas.
Salatiga.
Wahyudi Kumorotomo. 2006. Pelayanan yang Akuntabel dan Bebas dari KKN. Jakarta :
Gadjah Mada University Press.
http://www.jejakakuntansi.net/2017/09/pengertian-dan-perbedaan-sektor-privat.html
https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/mewujudkan-birokrasi-yang-
mengedepankan-etika-pelayanan-publik/

Anda mungkin juga menyukai