Anda di halaman 1dari 27

KEMATANGAN BERAGAMA

(GORDON ALLPORT)
Makalah Ini Disusun Sebagai Salah Satu
Mata Kuliah Teori Agama-Agama
Dosen Pengampu: Dr. Ustadi Hamsah, S. Ag., M. Ag

Disusun Oleh :
1. Ade Oftomiando (20105020008)
2. Wafiq Azizah (20105020026)
3. Nakmas Gunawan Saputro (21105020001)
4. Muhammad Nur Ma’mun (21105020002)
5. Muhammad Ijlal Sasakki Junaidi (21105020003)
6. Nanda Nely Faradis (21105020004)
7. Susanti Melinda (21105020005)
8. Yunia Nur Saidatun Ni’mah (21105020006)
9. Aisyah Nurul Aini (21105020007)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA


FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
STUDI AGAMA-AGAMA
2022/2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berbicara tentang kematangan beragama akan terkait erat dengan

kematangan usia manusia. Perkembangan seseorang keagamaan seseorang untuk

sampai pada tingkat kematangan beragama di butuhkan proses yang panjang.

Proses tersebut, boleh jadi karena melalui proses konversi agama pada diri

seseorang atau karena berbarengan dengan kematangan kepribadiannya. Sebagai

hasil dari konversi, seringkali seseorang menemukan dirinya mempunyai

pemahaman yang baik akan kemantapan keagamaannya hingga ia dewasa atau

matang beragama. Demikian halnya dengan perkembangan kepribadian

seseorang, apabila telah sampai pada suatu tingkat kedewasaan, maka akan

ditandai dengan kematangan jasmani dan rohani. Pada saat ini lah seseorang

sudah memiliki keyakinan agama yang harus di peganginya.

Kematangan beragama di wujudkan dalam bentuk keimanan, karena

hakikat beragama adalah keimanan. Iman sebagai motif dasar, di tandai adanya

sikap berpegang teguh pada nilai-nilai keagamaan dan mengakuinya

kebenarannya. Kepatuhan dalam menjalankan ajarannya, baik yang berbentuk

perintah maupun larangan nya. Fenomena tersebut berkaitan dengan kriteria

kematangan beragama. Yahya menjelaskan orang-orang yang beriman adalah

orang yang menjadikan ridho sang pencipta sebagai tujuan tertinggi dalam

kehidupan, dan mereka berusaha untuk mencapai tujuan tersebut.


1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu kematangan Beragama?

2. Siapakah Gordon Allport itu?

3. Bagaimana kriteria kematangan beragama dalam perspektif Gordon Allport?

4. Mengapa kematangan beragama termasuk kajian Psikologi?

5. Bagaimana anda menganalisis isu tersebut?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kematangan Beragama

Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya di

tunjukan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar

akan agama yang di anutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya.

Seseorang yang matang dalam beragama bukan hanya memegang teguh paham

keagamaan yang di anutnya dan di wujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan

penuh tanggung jawab, melainkan kadang-kadang juga di barengi dengan

pengetahuan keagamaan yang cukup mendalam. Jika kematangan beragama telah

ada pada diri seseorang, segala perbuatan dan tingkah laku keagamaannya

senantiasa di pertimbangkan betul-betul dan dibina atas rasa tanggung jawab,

bukan atas dasar peniruan dan sekedar ikut-ikutan saja.


Menurut Allport (1953), kematangan beragama itu aialah watak

keberagaman yang terbentuk melalui pengalaman. Pengalaman-pengalaman itu

sendiri akan membentuk respon terhadap objek-objek atau stimulus yang

diterimanya yang berupa konsep-konsep dan prinsip-prinsip pada akhirnya,

konsep dan prinsip-prinsip yang terbentuk dalam diri individu tersebut akan

menjadi bagian penting dan bersifat menetap dalam kehidupan pribadi individu

sebagai agama. Jika pada suatu saat keberagamaan individu sudah matang, maka

kematangan beragama itu lah yang akan mengarahkan individu untuk bersifat dan

bersikap terbuka pada semua fakta, nilai-nilai dan memberi arah dalam menuju

kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktek.

Allport menegaskan kematangan di artikan sebagai pertumbuhan

kepribadian dan telegensi secara bebas dan wajar, seiring dengan perkembangan

yang relevan, maka kematangan di capai seseorang melalui perkembangan hidup

yang berkumulasi dengan berbagai pengalaman. Individu dalam menjalankan fase

kehidupannya, memperoleh dan mengolah berbagai pengalaman hidupnya, baik

secara fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Akumulasi dari pengalaman hidup

tersebut kemudian terefleksikan dalam pandangan hidup, sikap, dan perilaku

sehari-hari.

Kematangan dalam beragama yaitu kemampuan seseorang untuk

memahami menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang di

anutnya dalam sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut

keyakinannya. Keyakinan tersebut di tampilkan dalam sikap dan tingkah laku

keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agama.


Kematangan beragama adalah ketika seorang mampu untuk mengenali dan

memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan

nilai-nilai agam dalam bersikap dan bertingkah laku. Selain itu kematangan

beragama adalah suatu kondisi ketika perkembangan keagamaan atau rasa

beragama seseorang berada dalam tahap tertinggi.

Dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kematangan

beragama ialah keberagaman terbuka pada memberi arahan pada kerangka hidup.

Kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati nilai-nilai luhur yang

dianutnya kemudian mengaplikasikan dalam kehidupan keseharian berdasarkan

kondisi rasa keagamaan yang di kembangkan berada dalam pertahapan. Maka

individu menganut suatu agama keyakinannya ia berusaha menjadi penganut yang

baik yang di tampilkan sikap dan tingkah laku keagamaan dalam ketaatan

terhadap prinsip dan nilai-nilai keagamaan. Baik secara teoritis maupun praktis

dengan tetap berpegang teguh kepada ajaran agama secara komprehensif dan

obyektif.

Disisi lain yang harus di perhatikan juga ialah setiap individu perlu

menjaga sikap objektif dalam menggunakan rasionya. Maksudnya setiap individu

perlu memandang permasalahan pada semua aspek. Setiap muslim di harapkan

untuk tetap menggunakan rasionya secara proposional, karena salah satu

karakteristik masyarakat muslim ialah tawazun atau prinsip keseimbangan.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah ayat 143, yang artinya: “

Dan demikian (pula) telah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) sebagai

ummatan wasahatan (umat pertengahan) sebagai umat yang adil dan pilihan”.
sehingga manusia di harapkan tidak terjebak dari sikap Ifrath (berlebih-lebihan)

atau tafrith (menyia-yiakan) saat mengefektifkan rasio berfikirnya.

2.2 Biografi Gordon Allport

Ayah pendiri psikologi kepribadian, julukan yang sering di tujukan kepada

seorang ahli psikologi kelahiran Montezuma Indiana. Ia dilahirkan pada tanggal

11 November 1897, putra termuda dari empat bersaudara dari pasangan Jhon E.

Allport dan Nellie Wise Allport. Ia digambarkan sebagai anak yang pemalu

namun juga sebagai anak yang rajin dan pekerja keras. Ayahnya Jhon E. Allport

merupakan seorang pengusaha yang pada akhirnya memilih untuk menjadi dokter.

Ibunya Nellie Wise Allport merupakan seorang ibu yang sangat taat kepada

agamanya yang kemudian siterapkan kepada rumah tangganya.

Pada tahun 1915, Allport lulus dengan peringkat kedua di kelasnya dan

mendapatkan beasiswa di Universitas Harvard. Dimana salah satu kakak laki-

lakinyanya yang bernama Floyd Henry Allport juga melakukan studi disana

dengan mengerjakan Filsafat dan Psikologi. Setelah mendapatkan sarjana filsafat

dan ekonomi di Universita Harvard pada tahunn 1919, ia melanjutkan

perjalanannya ke Istanbul Turki untuk mengajar Filsafat dan Ekonomi. Setelah

satu tahun mengajar di Turki, Allport kembali melanjutkan studinya di

Universitas Harvard dan meraih gelar Ph.D dalam psikolgi pada tahun 1922

dibawah bimbingan Hugo Munsterberg.

Dalam sebuah esai yang berjudul “Pola dan Pertumbuhann dalam

Kepribadian”, Allport menceritakan pengalamannya ketika bertemu dengan


psikiater Sigmund Freud. Pada tahun 1922 setelah ia merampungkan studinya di

Harvard, Allport pergi ke Wina Austria untuk bertemu dengan psikoanalis

terkenal yang berama Sigmund Freud. Setelah bertemu dengan Freud, ia

menceritakan sebuah kisah yang ia alami sendiri ketika perjalana menuju Wina.

Allport menceritakan bahwa ia bertemu dengan bocah laki-laki di dalam kereta

selama perjalanannya menuju Wina. Kata Allport bocah itu sangat takut kotor dan

menolak duduk di tempat seorang pria yang tampak kotor sebelumnya duduk.

Allport berteori bahwa bocah tersebut telah memperoleh perlikau dari ibunya

sehingga sangat mendominasi dalam kehidupan bocah tersebut. Kemudian Freud

mempelajari Allport sejenak kemudian ia bertanya kepada Allport, “Dan apakah

bocah sekecil itu kamu?”

Allport memandang pengalaman itu sebagai upaya Freud untuk mengubah

pengamatan sederhana ke dalam analisis memori sadar Allport tentang masa

kecilnya sendiri. Pengalaman ini nantinya akan menjadi pengingat bahwa

psikoanalisis cenderung menggali terlalu dalam. Behaviorisme , di sisi lain,

Allport percaya, tidak menggali cukup dalam. Alih-alih, Allport memilih untuk

menolak psikoanalisis dan behaviorisme dan merangkul pendekatannya yang unik

terhadap kepribadian. Pada titik ini dalam sejarah psikologi, behaviorisme telah

menjadi kekuatan dominan di Amerika Serikat dan psikoanalisis tetap

berpengaruh kuat. Pendekatan Allport terhadap psikologi manusia

menggabungkan pengaruh empiris dari behavioris dengan pengakuan bahwa

pengaruh tidak sadar juga dapat memainkan peran dalam perilaku manusia.

2.3 Kriteria-Kriteria Kematangan Beragama (Gordon Allport)


Selain memberikan pengertian kematangan beragama, Allport (1953) juga

menyertakan tentang beberapa ciri yang ada pada individu yang memiliki

kematangan beragama. Ciri-ciri tersebut ialah enam kriteria sebagai indikasi

kehidupan kematangan beragama yaitu:

1. Memiliki kemampuan untuk melakukan diferensasi dengan baik dan

konsisten

Individu mempunyai kemampuan melakukan diferensiasi yang baik,

sehingga akan bersikap dan berprilaku terhadap agama secara objektif, kritis,

reflektif, tidak dogmatis, observatif, dan tidak fanatik secara terbuka. Orang yang

matang dalam beragama akan mampu mengharmoniskan rasio dengan dogma,

mengobservasi dan mengkritik tanpa meninggalkan ketaatannya. Seseorang yang

memiliki kehidupan keagamaan yang terdifferensiasi adalah dia yang mampu

menempatkan rasio sebagai salah satu bagian dari kehidupan beragama selain dari

segi sosial, spiritual, maupun emosional. Pandangannya tentang agama menjadi

lebih kompleks dan realistis (Allport, 1953).

Seseorang yang tidak mampu membedakan perasaan keagamaannya akan

serta merta menerima semua yang didapatkan dari agamanya tanpa pertimbangan

ilmu yang mendalam. Semua ajaran agama selalu dianggap selalu benar dan

sempurna begitu saja, tanpa ada keinginan untuk menggali informasi lain yang

dapat mengokohkan keyakinannya tentang kebenaran ajaran-ajaran agamanya.

Jika seseorang tidak menjadikan pengamatan serta refleksi objektifnya sebagai


kebiasaan yang haras selalu diutamakan, maka penerimaan terhadap agamanya

seringkali akan memunculkan fanatisme buta.

Seluruh penjelasan di atas, melahirkan kesimpulan bahwa diferensiasi

dalam keagamaan berarti sikap dan perilaku keagamaan yang observatif, kritis,

reflektif, berfikiran terbuka dan objektif dengan tetap memperhatikan bahwa

kebebasan mengkritisi ajaran agama itu dibatasi oleh aspek mana yang memang

luwes serta dapat dikolaborasi oleh manusia, dan mana aspek-aspek yang tetap

abadi dan konsisten untuk dijalankan tanpa adanya kebolehan dimodifikasi

sedemikian rupa.

2. Dorongan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang dinamis

Dalam diri individu yang berkarakter dinamis, agama telah mampu

mengontrol dan mengarahkan motif-motif dan aktivitasnya. Aktivitas keagamaan

yang dilaksanakan semuanya demi kepentingan agama itu sendiri (Subandi,

1995). Karakter dinamis ini di dalamnya meliputi motivasi intrinsik, otonorn, dan

independen dalam kehidupan beragama. Sebagaimana firman Allah SWT dalam

Q.S. Al-An'am ayat 161- 162, yang berarti : "Katakanlah: Sesungguhnya aku

telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar;

agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang

musyrik. Katakanlah : Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku

hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam".

Kesimpulannya orang yang matang keberagamaannya adalah yang

menjadikan agamanya sebagai motivasi intrinsik pada semua segi kehidupannya.


3. Konsisten dalam hal beragama mengarah pandangan hidup yang

komprehensip/Konsistensi moral

Kematangan beragama ditandai dengan konsistensi individu pada

konsekuensi moral yang dimiliki dengan ditandai oleh keselarasan antara tingkah

laku dengan nilai moral. Kepercayaan tentang agama yang intens akan mampu

mengubah atau mentransformasikan tingkah laku (Allport, 1953). Mereka yang

matang dalam beragama akan selalu menyelaraskan antara tingkah laku dengan

nilai-nilai moral keagamaan yang dianutnya. Nilai-nilai moral dalam suatu agama

itu biasanya tercantum dalam kitab suci dalam agama itu, pada Islam nilai-nilai

moral itu dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Hadist. Termaktub dalam Al-Qur'an

Surat Al-Hadiid ayat 9 : “Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat

yang terang (Al-Qur 'an) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada

cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha

Penyayang terhadapmu”.

Adanya keselarasan antara perilaku dengan nilai moral agama yang

diyakini merupakan kesimpulan dari sifat konsistensi moral yang dimiliki

seseorang yang matang keberagamaannya.

4. Kehidupan dunia harus diarahkan kepada keteraturan/Komprehensif

Keberagamaan yang komprehensif dapat diartikan sebagai keberagamaan

yang luas, universal dan toleran dalam arti mampu menerima perbedaan (Allport,

1953).
Semua manusia harus berlapang dada dengan adanya pandangan atau

pendapat yang tidak sejalan dengan faham keagamaan yang diyakini. Semua itu

memang sudah menjadi hukum ketetapan Allah selaku Sang Pencipta dan Yang

Maha Berkehendak. Ketetapan dariNya tentang hadirnya berbagai perbedaan itu

diharapkan tidak membuat individu yang matang dalam beragama itu menjadi

gelisah atau memaksa orang lain untuk menganut pandangan tertentu.

Perbedaan di antara sesama umat, dalam hal ini Islam, tidak perlu sampai

menimbulkan perpecahan. Karena itulah menjadi kewajiban umat Islam untuk

selalu berusaha memupuk persaudaraan dan menghindari hal-hal yang dapat

menyebabkan putusnya atau terganggunya jalinan persaudaraan antara mereka.

Selain persaudaraan antar sesama umat Islam, juga perlu ditumbuhkan hubungan

yang harmonis serta tidak saling merugikan dengan para pemeluk agama yang

berbeda.

Kesimpulannya keberagamaan yang matang membuat individu mampu

menerima perbedaan pendapat dengan individu yang lain, baik perbedaan agama

maupun perbedaan pendapat secara intern dengan orang yang seagama.

5. Berusaha mencari nilai-nilai dalam ajaran agama/Integral

Keberagamaan yang matang akan mampu mengintegrasikan atau

menyatukan agama dengan segenap aspek lain dalam kehidupan, termasuk ilmu

pengetahuan di dalamnya (Subandi, 1995). Asmuni (1996) mengemukakan bahwa

tidak sedikit ayat Al-Qur'an dan hadits yang menganjurkan manusia

mengembangkan ilmu pengetahuan serta mengaplikasikan Islam dalam semua


segi kehidupan. Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 208 dikatakan-Nya, "Hai orang-

orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaqfah atau

menyeluruh dan janganlah kamu ikut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya

syaitan itu musuh yang nyata bagi kamu "

6. Semangat pencarian dan pengabdian kepada Tuhan/Heuristik

Ciri heuristik dari kematangan beragama berarti individu akan menyadari

keterbatasannya dalam beragama, serta selalu berusaha untuk meningkatkan

pemahaman dan penghayatannya dalam beragama (Subandi, 1995). Orang yang

matang dalam keberagamaannya, akan selalu sadar dengan keterbatasan dirinya

terhadap penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupannya, sehingga ia secara

aktif akan selalu progresif meningkatkan penghayatan dan pengamalannya di

dalam beragama. Sebagaimana Allah SWT katakan dalam Q.S. An-Nahl ayat 97 :

"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan

dalam keadaan beriman, maka sesungguhya akan Kami berikan kepadanya

kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada

mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan".

Kesimpulan dari uraian mengenai ciri-ciri orang yang memiliki

kematangan beragama ialah orang-orang yang dalam setiap sisi kehidupannya

memiliki kemampuan melakukan differensiasi, berkarakter dinamis, memiliki

konsistensi moral, komprehensif, integral serta heuristik dalam memandang dan

menghadapi suatu permasalahan dalam kehidupannya.

2.4 Mengapa kematangan beragama termasuk kajian Psikologi?


Keyakinan agama termasuk kedalam sesuatu yan penting, karena

berhubungan dengan singkatnya hal-hal yang esensial. Beberapa psikiater juga

mengakui keadaan tersebut, dimana pada saat menemukan keadaan agama pada

pasien, ia tidak pernah melarangnya. Psikoterapi tidak bersikeras bahwa relevansi

sentral harus bersifat religius. Meskipun demikian, peluang tersebut harus

diterima dan dihormati. Seorang psikiater Inggris, Dr. Suttie dengan tepat

mengamati bahwa sains modern menunjukkan "kelepasan dari kasih sayang" dan

dengan demikian berdiri sebagai antitesis terhadap agama yang mencari hal lain di

atas segalanya untuk membenarkan dan membangun hubungan kasih sayang.

Mungkin desakan asli agama tentang hal ini sebagian bertanggung jawab atas

“kasih sayang” yang diturunkan psikologi. Ilmu pengetahuan, yang menolak

pendekatan agama dalam perawatan jiwa, menarik perhatiannya. tampak lebih

realistis untuk berpusat pada kondisi pikiran yang reaktif kebencian, agresi,

paksaan seks; bahkan jika ini adalah kondisi patologis yang hanya menyebabkan

kurangnya cinta.

Beberapa komentator akhirnya berpendapat bahwa agama adalah obat

indoktrinasi yang lambat, menyediakan penutup mata bagi sebagian orang. Dalam

pandangan mereka, tidak banyak membantu masalah sesungguhnya yang dihadapi

oleh seseorang. Dan mereka juga menambahkan bahwa kecuali orang tersebut

berhadapan langsung dengan unsur-unsur pesimistis yang mendasar dalam

kehidupan mereka, tidak mungkin dengan menarik masalah hanya dengan

psikoterapi dan agama. Kadang-kadang terdengar bahwa pikiran yang didominasi

dengan suatu beban akan menghasilkan ketidaknyamanan mental. Sebagai bukti,


mereka menunjuk pada sejumlah besar orang yang menderita penyakit; khususnya

pasien skizofrenia dan depresi, dari delusi teropatik.

Kesimpulan tentang hubungan imam dan psikiater ini, menurut prosedur,

tampak teratur: imam berurusan dengan keyakinan dasar, nilai-nilai, dan gerakan

yang berorientasi pada kehidupan. Sampai mereka menjadi lebih mampu, mereka

memiliki peran yang tidak dapat dibatalkan untuk dimainkan dalam menjaga dan

meningkatkan kesehatan mental. Tapi teknik psikoterapi secara medis tidak

diragukan lagi, imam harus mundur sampai dia diarahkan, atau dengan kata lain,

terspesialisasi. Perlakuan terhadap jiwa tidak dapat sepenuhnya dibatasi pada

jabatan. Perkembangan ilmu psikologi bagaimanapun tidak berarti bahwa imam

bebas dari tanggung jawab. Sebaliknya, itu berarti bahwa dia sekarang dapat

memegang pelayanan pendeta untuk pertama kalinya dengan beberapa tingkat

keyakinan, karena ketika dihadapkan dengan tugas yang lebih besar yang melebihi

keterampilan dan pelatihannya, dia tidak dapat menyelesaikannya sendirian,

sehingga dia dapat bersekutu dengan ilmu psikologi dan berbagi dengan

praktisinya solusi untuk masalah yang membutuhkan perhatian tambahan. Selain

itu, dia mungkin menjadi akrab dengan banyak praktik psikologis dan akan datang

sehingga dia dapat memperkuat keterampilannya sendiri. Lebih dari seribu imam

baru-baru ini menerima pelatihan klinis di pusat-pusat rumah sakit, lembaga-

lembaga swasta di mana mereka telah diambil untuk keuntungan mereka sendiri.

Kerja kelompok psikiater adalah konsep yang menyebar dengan cepat. Seperti

dalam banyak grup, satu anggota harus Itu harus lebih tunduk dan patuh.

Tampaknya imam dan seminari yang ada harus memainkan peran sebagai
pelamar, perencana, adaptor sampai tim tersebut terbentuk dengan kuat. Dalam

mendukung imam, kami mencatat kecenderungan kuat untuk memasukkan

psikologi dalam program pendidikan mereka. Tampaknya psikiater belum merasa

perlu memasukkan filsafat dan teologi dalam persiapan praktis mereka.

2.5 Bagaimana Anda menganalisis isu tersebut?

Kematangan beragama konsekuensi dari kematangan psikis atau

kepribadian. Dari kematangan keagamaan dan psikis menggambarkan

kematangan intelektual.

Agama berasal dari kata "A" artinya "tidak" dan "GAM" "kacau". Secara

harfiah diartikan Agama dapat dijadikan paradigma yang mengorganisir keadaan

agar tidak terjadi kerusakan atau dampak negatif.

Jika merujuk pada pemahaman pluralisme mengatakan semua agama itu

benar dan kebenaran dalam agama itu relatif. Maka secara sosial teori ini baik

untuk menjaga hubungan ukhuwah dalam berbangsa. ini karena tidak ada yang

sifatnya deskriminasi keagamaan.

Di dalam bukunya, Gordon Allport memberikan jawaban atas isu-isu

keagamaan yang dimana Agama seseorang adalah proposisi berani yang

mengikatnya pada ciptaan dan Sang Pencipta. Dan agama, dengan menemukan

secara tepat hubungan superior yang dimilikinya, membentuk kepribadiannya

sendiri.

Sehingga dalam konsep kematangan beragama terlihat dari kemampuan

seseorang untuk memahami, menghayati, serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur


agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama

karena menurut keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik, karena itu ia

berusaha menjadi penganut yang baik. Keyakinan itu ditampilkan dalam sikap

dantingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap

agamanya.Secara normal memang seorang yang sudah mencapai tingkat

kedewasaan akan memiliki pola kematangan rohani seperti kematangan

berfikir,kematangan kepribadian maupun kematangan emosi.Inilah kecerdasan

beragama yang dimaksud.

Ketentraman hidup dalam keberagaman, jadi perioritas semua kalangan,

sebut saja individu yang menginginkan kedamaian untuk beribadah pada Tuhan.

Semakin akur humanismenya atau hubungan horizontal tersebut maka ritual-ritual

vertikal setiap agama terlaksana dengan aman dan tenang.

Sementara kematangan psikis terdiri dari unsur kebiasaan dalam pola

hidup individual dan kemasyarakatan. Perilaku yang baik dicerminkan oleh

akhlak keseharian dan pandangan orang lain. Adab interaksi ini dinilai oleh

khalayak baik dan buruknya ditandai dengan suka, nyaman dan tidaknya mereka

terhadap orang bersangkutan.

Kecerdasan beragama dan psikis terbangun dari proses belajar manusia itu

sendiri. Sangat nihil sekali, jika beragama tanpa mengetahui ilmunya.

Kematangan beragama dapat di artikan juga sebagai sentimen

keberagamaan yang mendalam yang terbentuk melalui pengalaman. Sentimen

keberagamaan adalah sebuah sistem yang sudah ada dalam diri seseorang lalu
terorganisasi di sekitar objek nilai tertentu. seseorang yang matang beragama

mempunyai pemahaman yang tinggi terhadap agama yang dianutnya, terus

mencoba untuk memperbaiki pemahamannya, mencoba berperilaku sesuai dengan

ajaran agama yang dianut agar sesuai dengan nilai-nilai moral yang ada dalam

ajaran agamanya.

Keberagamaan yang matang membuat seseorang mampu menerima

perbedaan, baik perbedaan agama, ras, suku maupun pendapat. Seseorang yang

matang keberagamaannya yaitu yang menjadikan agamanya sebagai motivasi dan

jalan pada semua aspek kehidupannya.

Menurut Gordon Allport, sebagaimana ditulis oleh Duane Schultz

(Schultz, 1991), ada tujuh kriteria kematangan kepribadian. Pertama, perluasan

eksistensi diri. Ketika orang menjadi matang, dia akan mengembangkan

perhatian-perhatian di luar diri yaitu dengan berpartisipasi dan beraktivitas keluar.

Allport menyebutkan bahwa semakin seseorang terlibat sepenuhnya dengan

berbagai aktivitas, orang, atau ide, maka dia juga akan semakin sehat secara

psikologis.

Kedua, hubungan diri yang hangat dengan orang lain. Orang sehat

psikologis mampu memperlihatkan cinta terhadap orang lain, seperti orang tua,

anak-anak, istri/suami, dan teman-temannya. Hubungan kecintaan ini adalah

perasaan perluasan diri yang berkembang baik.

Ketiga, keamanan emosional. Pribadi yang sehat mampu mengontrol

emosi-emosi sehingga tidak mengganggu aktivitas-aktivitas antar pribadi. Selain


itu juga mampu menerima semua orang, baik menerima kelemahan dan

kekurangannya.

Keempat, persepsi realistis. Orang yang sehat ini mampu memandang

sesuatu secara objektif.

Kelima, keterampilan dan tugas. Allport menekankan pentingnya

pekerjaan dan perlunya menenggelamkan diri sendiri di dalamnya.

Keenam, Pemahaman diri. Kemampuan untuk memahami diri sendiri (self

Objectification) ini menjadi penting dan dilakukan tanpa pernah berhenti.

Kepribadian yang sehat mampu mencapai suatu tingkat pemahaman diri Yang

lebih tinggi dari pada yang tidak sehat.

Ketujuh, filsafat hidup yang mempersatukan. Orang yang sehat akan selalu

melihat ke depan, Didorong oleh tujuan dan rencana jangka panjang. Ini akan

memberikan kontinuitas bagi kepribadian mereka (Schultz, 1991). Disebutkan

juga bahwa ketika seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam Kehidupannya,

pastilah ada latar nelakang yang mendasari segala Sesuatu yang dikerjakannya

yang memberi arti dan tujuan. Termasuknya hal yang melatarbelakangi adalah

aspek agama (Suryabrata, 2016).

Dari uraian tersebut, peneliti memberikan beberapa indikator dari

Kematangan kepribadian yaitu kepedulian terhadap orang lain, merima suatu

perbedaan sebagai sesuatu yang pasti ada, mengetahui Kelebihan dan kekurangan

diri, memiliki persepsi yang realistis terhadap Keadaan, menilai diri secara

objektif, dapat menyesuaikan diri dengan baik, dapat mempertahankan dengan


baik, menerima pendapat orang Lain dengan terbuka, mamiliki target masa depan,

melakukan ikhtiar atau usaha untuk mencapai target, bekerjasama menyelesaikan

pekerjaan, menyelesaikan pekerjaan dengan optimal, cinta pada pekerjaan, dan

memiliki semangat hidup yang tinggi.

Di dalam kehidupan alam semesta ini, kita tidak luput dengan yang naman

ya agama. Karena agama sebagai landasan atau kaidah kita dalam berhubungan ke

pada Sang Pencipta maupun kepada sesama makhluk ciptaan Nya. Namun didala

m beragama tersebut kita perlu memiliki sifat “Kematangan Beragama”. Sebelum

kita bicara lebih jauh lagi, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaks

ud dengan “Kematangan Beragama”. Kematangan beragama dapat diartikan sebag

ai sentiment beragamaan yang mendalam yang terbentuk melalui pengalaman. Se

ntimen keberagamaan tersebut merupakan system kesediaan yang ada dalam diri s

etiap individu yang terarah dan terorganisir di sekitar objek tertentu. Orang yang

matang beragama memiliki pemahaman yang tinggi terhadap agama yang dianutn

ya atau diyakininya, mencoba untuk terus memperbaharui pemahaman agamanya,

bersedia mencocokkan prilaku dan kebiasaan dengan yang diajarkan oleh agaman

ya, dan selalu berupaya agar prilakunya sesuai dengan nilai nilai ataupun norma n

orma yang di ajarkan oleh agamanya.

Adapun ciri orang yang matang beragama ialah mampu menyadari dan me

njabarkan ajaran agama yang diyakininya, mereka mampu menjelaskan ajaran aga

manya, baik yang masuk akal atau tidak. Dalam setiap agama, termasuk agama ya

ng diyakininya, ada bagian yang rasional dan ada bagian dogmatis dalam agama.
Maka dari itu, orang yang matang dalam beragama harus mampu menjabarkannya

dan juga harus berupaya mengharmoniskan hal yang rasio dan dogma.

Ciri yang kedua ialah berupaya komperehensif. Mereka menyadari univers

alitas agama. Di satu sisi, mereka meyakini agama yang di peluknya adalah agama

yang benar, atau mungkin paling benar. Namun disisi lain mereka juga menyadari

adanya kebenaran dalam agama yang tidak dipeluknya dan adanya kebenaran dala

m kelompok lain yang sama pada ajaran yang sama dengan mereka. Oleh karena i

tu, mereka mengembangkan toleransi dalam beragama. Orang yang matang berag

ama menyadari peluk agama lain boleh saja meyakini dengan sepenuh hati dengan

agamanya dan ajaran agamanyalah yang paling benar.

Ciri ketiga ialah dinamis dalam beragama. Orang yang matang beragama b

anyak merenungkan dirinya agar terus melakukan evaluasi agar bisa menjadi lebih

baik lagi kedepannya. Perenungan ini dimaksud untuk menilai apakah dirinya tela

h menjalanka ajaran agama secara lebih baik dari waktu ke waktu atau belum. Per

enungan diri ini sangat berguna untuk mengukur sejauh mana pencapaian dirinya

dalam beragama.

Ciri keempat ialah konsistensi moral. Orang yang matang beragama berup

aya agar prilaku sosialnya didasari oleh prinsip prinsip ajaran agamanya.

Ciri kelima adalah mengaitkan agama dengan bidang lain kehidupan. Oran

g yang matang beragama menyadari bahwa agama mengatur segala sisi kehidupan

nya. Agama mengatur kehidupannya terkait ekonomi, seni, budaya, politik, teknol
ogi dan sebagainya. Beragama secara matang berarti mengupayakan agar seluruh

aspek kehidupannya terintegrasi dalam agama.

Ciri keenam ialah selalu mengembangkan pemahaman dan penghayatan ag

ama. Orang yang matang beragama menyadari keterbatasan dirinya dalam beraga

ma, terutama ilmu agama. Maka dari itu, mereka terus menerus meningkatkan pe

mahaman dan penghayatan agamanya.

Selanjutnya, akhir – akhir ini menunjukkan berbagai kasus kematangan be

ragma dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Hal ini tampak dari adanya da

n berkembangnya pandangan masyarakat yang sempit. Mereka memahami agama

secara parsial, bahkan dikarenakan sering memandang agama sebagai ‘kelompok

agama’ maka mereka sangat mudah untuk membenci dan bertindak tidak adil terh

adap orang – orang yang berbeda ‘kelompok agama’ sekalipun agama formalnya s

ama. Mereka yang tidak memiliki kematangan beragama sangat mudah di provoka

si untuk membenci orang – orang yang berasal dari kelompok agama lain. Hal ini

menunjukkan pemahaman agama mereka tidak komperehensif.

Selain itu, kita juga sering menemukan fenomena ketidakmampuan mema

hami agamanya secara utuh. Mereka yang memiliki kebencian terhadap kelompok

lain melakukan berbagai macam tindak agresivitas dan kekerasan baik secara indi

vidu maupun kelompok dengan mengatasnamakan agama.

Lalu munculah pertanyaan, Bagaimanakah meningkatkan kematangan bera

gama ? Diketahui untuk peningkatan kematangan beragama berkaitan dengan bert

ambahnya usia dan pengalaman hidup. Namun, bukan hanya sekedar bertambahny
a usia dan pengalaman hidup saja, melainkan juga harus ada usaha untuk melakuk

an peningkatan pemahaman dan penghayatan agama dan juga membuka diri terha

dap peningkatan pengetahuan dan penghayatan keagamaan. Jika individu tersebut

menutup diri dan tidak ada usaha serta berfikiran sempit, sekalipun bertambahnya

usia, maka akan terjadi pemahaman agama yang statis dan bahkan terjadi kemund

uran atau setback.

Kemudian cara untuk meningkatkan kematangan beragama berikutnya ada

lah berteman dengan orang shaleh, teman yang shaleh adalah orang yang memiliki

semangat yang sama dalam meningkatkan kematangan beragama, yang meluruska

n kita apabila kita menyimpang, dan membantu menyemangati kita apabila kita ke

ndor dalam meningkatkan kematangan beragama.

Selain daripada itu adapula caa untuk meningkatkan kematangan beragam

a, yaitu melakukan perenungan secara intensif. Perenungan secara intensif dilakuk

an dengan cara sejenak meninggalkan aktivitas rutin dan berkumpul dengan orang

banyak, Rasulullah SAW dulu juga melakukan perenungan, yaitu berkhalwat di g

oa Tsur, Raja Sulaiman dari Kesultanan Turki Utsmani juga berkhalwat untuk mer

enungkan problematika social di istana dan rakyatnya. Cara ini memungkinkan se

seorang mengambil jarak dengan problem masyarakat sehingga dapat memahami

masalah secara lebih komperehensif.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kematangan beragama ialah keberagamaan terbuka yang memberi arahan

pada kerangka hidup. Kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati nilai-

nilai luhur yang dianutnya kemudian mengaplikasikan dalam kehidupan

keseharian berdasarkan kondisi rasa keagamaan yang di kembangkan berada

dalam pertahapan. Maka individu menganut suatu agama keyakinannya ia

berusaha menjadi penganut yang baik yang di tampilkan sikap dan tingkah laku

keagamaan dalam ketaatan terhadap prinsip dan nilai-nilai keagamaan. Baik

secara teroritis maupun praktis dengan tetap berpegang teguh kepada ajaran

agama secara komprehensif dan obyektif.

Seorang tokoh Gordon Wilard Allport lahir pada tanggak 11 November 1897

di Montezuma, Indiana. Allport ialah anak ke 4 dantermuda dari pasangan Jhon E.

Allport dan Nelie Wise Allport, Jhon E Allport adalah seorang pembisnis dan

menjadi dokter ketika kelahiran Allport. Pada usianya yang menginjak 6 Tahun

Allport telah berpindah tempat tinggal sebanyak tiga kali sebelum akhirnya

menetap di Cleveland, Dhio. Sejak Muda Allport sudah tertarik pada pertanyaan

filsafah dan religius. Dalam buku autobiografinya, Allport(1967) menulis bahwa

masa awal kehidupan di tandai dengan kesalehan protestan yang jelas.

Kematangan beragama konsekuensi dari kematangan psikis atau kepribadian.

Dari kematangan keagamaan dan psikis menggambarkan kematangan intelektual.

Di dalam bukunya, Gordon Allport memberikan jawaban atas isu-isu keagamaan

yang dimana Agama seseorang adalah proposisi berani yang mengikatnya pada

ciptaan dan Sang Pencipta. Dan agama, dengan menemukan secara tepat

hubungan superior yang dimilikinya, membentuk kepribadiannya sendiri.


sehingga dalam konsep kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang

untuk memahami, menghayati, serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama

yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena

menurut keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik, karena itu ia berusaha

menjadi penganut yang baik. Keyakinan itu ditampilkan dalam sikap dan tingkah

laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.Secara normal

memang seorang yang sudah mencapai tingkat kedewasaan akan memiliki pola

kematangan rohani seperti kematangan berfikir,kematangan kepribadian maupun

kematangan emosi. Inilah kecerdasan beragama yang dimaksud.

Beberapa ciri yang ada pada individu yang memiliki kematangan beragama

dalam perspektif Gordon Allport. Pertama, Memiliki kemampuan untuk

melakukan diferensasi dengan baik dan konsisten. Individu mempunyai

kemampuan melakukan diferensiasi yang baik, sehingga akan bersikap dan

berprilaku terhadap agama secara objektif, kritis, reflektif, tidak dogmatis,

observatif, dan tidak fanatik secara terbuka. Kedua, Dorongan untuk mendekatkan

diri kepada Tuhan yang dinamis. Dalam diri individu yang berkarakter dinamis,

agama telah mampu mengontrol dan mengarahkan motif-motif dan aktivitasnya.

Aktivitas keagamaan yang dilaksanakan semuanya demi kepentingan agama itu

sendiri (Subandi, 1995). Ketiga, Konsisten dalam hal beragama mengarah

pandangan hidup yang komprehensip/Konsistensi moral. Kematangan beragama

ditandai dengan konsistensi individu pada konsekuensi moral yang dimiliki

dengan ditandai oleh keselarasan antara tingkah laku dengan nilai moral. Mereka

yang matang dalam beragama akan selalu menyelaraskan antara tingkah laku
dengan nilai-nilai moral keagamaan yang dianutnya. Keempat, Kehidupan dunia

harus diarahkan kepada keteraturan/Komprehensif. Keberagamaan yang

komprehensif dapat diartikan sebagai keberagamaan yang luas, universal dan

toleran dalam arti mampu menerima perbedaan (Allport, 1953). Kelima, Berusaha

mencari nilai-nilai dalam ajaran agama/Integral. Keberagamaan yang matang akan

mampu mengintegrasikan atau menyatukan agama dengan segenap aspek lain

dalam kehidupan, termasuk ilmu pengetahuan di dalamnya (Subandi, 1995).

Keenam, Semangat pencarian dan pengabdian kepada Tuhan/Heuristik. Ciri

heuristik dari kematangan beragama berarti individu akan menyadari

keterbatasannya dalam beragama, serta selalu berusaha untuk meningkatkan

pemahaman dan penghayatannya dalam beragama (Subandi, 1995).

Diketahui untuk peningkatan kematangan beragama berkaitan dengan

bertambahnya usia dan pengalaman hidup. Namun, bukan hanya sekedar

bertambahnya usia dan pengalaman hidup saja, melainkan juga harus ada usaha

untuk melakukan peningkatan pemahaman dan penghayatan agama dan juga

membuka diri terhadap peningkatan pengetahuan dan penghayatan keagamaan.

Jika individu tersebut menutup diri dan tidak ada usaha serta berfikiran sempit,

sekalipun bertambahnya usia, maka akan terjadi pemahaman agama yang statis

dan bahkan terjadi kemunduran atau setback.

Kemudian cara untuk meningkatkan kematangan beragama berikutnya

adalah berteman dengan orang shaleh, teman yang shaleh adalah orang yang

memiliki semangat yang sama dalam meningkatkan kematangan beragama, yang


meluruskan kita apabila kita menyimpang, dan membantu menyemangati kita

apabila kita kendor dalam meningkatkan kematangan beragama.

Selain daripada itu adapula cara untuk meningkatkan kematangan beragama,

yaitu melakukan perenungan secara intensif. Perenungan secara intensif dilakukan

dengan cara sejenak meninggalkan aktivitas rutin dan berkumpul dengan orang

banyak, Rasulullah SAW dulu juga melakukan perenungan, yaitu berkhalwat di

goa Tsur, Raja Sulaiman dari Kesultanan Turki Utsmani juga berkhalwat untuk

merenungkan problematika social di istana dan rakyatnya. Cara ini

memungkinkan seseorang mengambil jarak dengan problem masyarakat sehingga

dapat memahami masalah secara lebih komperehensif.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan Kematangan beragama dapat diartikan

sebagai sentiment beragamaan yang mendalam yang terbentuk melalui

pengalaman. Sentimen keberagamaan tersebut merupakan system kesediaan yang

ada dalam diri setiap individu yang terarah dan terorganisir di sekitar objek

tertentu. Orang yang matang beragama memiliki pemahaman yang tinggi terhadap

agama yang dianutnya atau diyakininya, mencoba untuk terus memperbaharui

pemahaman agamanya, bersedia mencocokkan prilaku dan kebiasaan dengan yang

diajarkan oleh agamanya, dan selalu berupaya agar prilakunya sesuai dengan nilai

nilai ataupun norma norma yang di ajarkan oleh agamanya.


DAFTAR PUSTAKA

Zulkarnain, Z., & Damara, F. (2019). Kematangan Beragama dalam Perspektif

Psikologi Tasawuf. Mawa'izh: Jurnal Dakwah dan Pengembangan Sosial

Kemanusiaan, 10(2), 305-325.

Indirawati, E. (2006). Hubungan antara kematangan beragama dengan

kecenderungan strategi coping. Jurnal Psikologi, 3(2), 69-92.

Aldina, Fauzi (2016). Resume Teori Kepribadian Allport.

Kendra Cherry. Gordon Allport: Ayah Pendiri Psikologi Kepribadian. Retrieved

from id.reoveme.com: https://id.reoveme.com/gordon-allport-ayah-pendiri-

psikologi-kepribadian/

Kepribadian menurut Allport. Retrieved from ocw.upj.ac.id:

http://www.ocw.upj.ac.id/files/Slide-PSI-207-Pertemuan-XI-Gordon-Alport.pdf

Kematangan Beragama. Retrieved from academia.edu:

https://www.academia.edu/34867229/Kematangan_Beragama?sm=b

Indirawati, E. Religious Maturity and Optimism In The Work. Retrieved from

http://eprints.walisongo.ac.id:

http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/3960/3/094411030_bab2.pdf

Allport, Gordon. Din Psikolojisi. Diterjemahkan Abdulhalim Durma

Anda mungkin juga menyukai