Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

MEWUJUDKAN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA YANG BERKUALITAS


BAGI SELURUH MASYARAKAT PENCARI KEADILAN

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Peradilan Indonesia

Dosen Pengampu :

H. M. Imdadur Rohman, M.HI.

Disusun Oleh :

1. Vionita Sakinah NIM : 05010121038


2. Poetri Lailatuz Zuhroh NIM : 05010121031

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

KATA PENGANTAR..............................................................................................................1

BAB 1 : PENDAHULUAN......................................................................................................2

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................2

1.2 Rumusan Masalah................................................................................................................3

1.3 Tujuan Penelitian..................................................................................................................3

BAB II : PEMBAHASAN........................................................................................................4

A. Sistem Peradilan di Indonesia...............................................................................................4

B. Kondisi Peradilan di Indonesia…………..............................................................................7

C. Mewujudkan Sistem Peradilan yang Berkualitas................................................................11

BAB III : PENUTUP..............................................................................................................16

1.4 Kesimpulan.........................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................17

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Segala puji dan syukur kehadirat Allah Swt. Karena atas hidayah dan rahmat-Nya
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini Insya Allah dengan baik. Sholawat serta salam semoga
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,keluarganya serta para sahabat dan pengikutnya
hingga akhir zaman.
Makalah yang membahas mengenai Perwujudan Peradilan Indonesia yang Berkualitas ini
mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi mahasiswa semua,meskipun penyusunannya jauh dari kata
sempurna,akan tetapi tanpa mengurangi rasa hormat kami,karena kesempurnaan dan kebenaran
hanya dari Allah Swt,sedangkan kesalahan dan kekurangan adalah dari manusia.Kami juga
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun,baik dari dosen mata kuliah,maupun
dari mahasiswa sekalian.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surabaya, 24 Mei 2022

Penyusun

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peradilan berasal dari kata adil, artinya segala sesuatu mengenai perkara pengadilan dalam
lingkup negara Indonesia. Indonesia merupakan negara hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1
ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 disebutkan bahwa: “Negara Indonesia adalah negara hukum”
Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum, hukum ditempatkan sebagai satu-satunya aturan main dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (supremacy of law). Penegakan hukum di Indonesia tidak
terlepas dari sistem peradilan. Sistem peradilan di Indonesia adalah keseluruhan perkara
pengadilan dalam suatu negara yang satu sama lain berbeda tetapi saling berkaitan atau
berhubungan sehingga terbentuk suatu mekanisme dan dapat diterapkan secara konsisten.
Dalam sistem peradilan di indonesia. Beberapa unsur pihak yang terlibat di dalam di
antaranya penyidik sebagai pejabat polisi negara RI atau pejabat PNS tertentu yg diberikan
wewenang khusus oleh Undang Undang untuk melaksanakan penyidikan (Pasal 1 angka 1
KUHAP). Selain penyidik sebagai pihak yang yang terkait dalam sistem peradilan di Indonesia,
dalam hukum ada yang disebut penyidikan, penyelidik, penyelidikan. Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yg diatur dalam Undang Undang untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yg dgn bukti itu membuat terang tetang tindak pidana yg
terjadi dan guna menemukan tersangkanya (pasal 1 angka 2 KUHAP). Penyelidik adalah pejabat
polisi negara RI yg diberi wewenang oleh UU untuk melakukan penyelidikan (pasal 1 angka 4
KUHAP). Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untu mencari dan menemukan
suatu peristiwa yg diduga sebagai tindak pidana guna menetukan dpt atau tdknya dilakukan
penyidikan menurut cara yg diatur dlm UU ( pasal 1 angka 5 KUHAP), Selanjutnya ada penuntut
umum (jaksa), hakim, penasihat hukum, dan pencari keadilan.
Perbedaan peradilan dan pengadilan yakni peradilan adalah suatu proses yang dijalankan
di pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara.
Sedangkan pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan
berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Negara Indonesia sebagai negara hukum
mempunyai tugas menjalankan suatu sistem peradilan yang jujur (berdasarkan hati nurani dan

2
keyakinan), adil ( tanpa memihak pada kelompok atau golongan tertentu/membenarkan yg benar
menyalahkan yg salah tanpa ada intervensi dari pihak manapun) dan bersih dari korupsi(perbuatan
yg menyahgunakan kompotensi yg dimiliki), kolusi (bentuk kerjasama antara pejabat pemerintah
dengan oknum lain secara ilegal pula atau melanggar hukum untuk mendapatkan keuntungan
material), nepotisme (pemanfaatan jabatan untuk memberi pekerjaan, kesempatan, atau
penghasilan, bagi keluarga atau kerabat dekat pejabat, sehingga menutup kesempatan bagi orang
lain). Pada tulisan ini akan dipaparkan langkahl-langkah menuju proses terwujudnya sistem
peradilan yang berkualitas bagi para pencari keadilan di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sistem peradilan di Indonesia ?


2. Bagaimana kondisi peradilan di Indonesia
3. Bagaimana cara mewujudkan peradilan yang berkualitas ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Memahami sistem peradilan di Indonesia


2. Mengetahui kondisi peradilan di Indonesia
3. Mengetahui cara mewujudkan peradilan yang berkualitas

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. SISTEM PERADILAN DI INDONESIA
Negara Indonesia sebagai negara hukum mempunyai tugas menjalankan suatu sistem
peradilan yang jujur (berdasarkan hati nurani dan keyakinan), adil ( tanpa memihak pada kelompok
atau golongan tertentu/membenarkan yg benar menyalahkan yg salah tanpa ada intervensi dri
pihak manapun) dan bersih dari korupsi(perbuatan yg menyahgunakan kompotensi yg dimiliki),
kolusi (bentuk kerjasama antara pejabat pemerintah dengan oknum lain secara ilegal pula atau
melanggar hukum untuk mendapatkan keuntungan material), nepotisme (pemanfaatan jabatan
untuk memberi pekerjaan, kesempatan, atau penghasilan, bagi keluarga atau kerabat dekat pejabat,
sehingga menutup kesempatan bagi orang lain).
Adapun asas yang harus digunakan dalam sistem peradilan di negara Indonesia adalah
sebagai berikut: Asas asas dalam Praktik Peradilan Perdata. Asas-asas hukum yang sering dijumpai
adalah sebagai berikut :
 Asas “ Ius Curia Novit” yang artinya “setiap hakim dianggap tahu akan hukumnya”,
sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak suatu perkara yang diajutkan
kepadanya dengan daalil bahwa hakimnya tidak tahu hukumnya atau hukumnya belum ada.
 Asas peradilan cepat,(efisien) singkat (efektif) dan biaya ringan (tidak memberatkan) Asas
ini mulai diatur dalam ketentuan pokok kekuasaaan hakim.
 Asas “Audi Et Alterram Partem” yang artinya “mendengar kedua belah pihak yang
berpekara”. Dalam asas ini menitik beratkan pada pengertian bahwa hakim diwajibkan
untuk tidak memutus perkara sebelum mendengar kedua belah pihak terlebih dahulu.
 Asas Unus Testis Nullus Testis artinya “satu saksi bukanlah saksi”
 Asas tidak ada keharusan untuk mewakilkan kepada pengacara. Tidak mengatur secara
tegas bahwa untuk perkara di pengadilan harus diwakilkan kepada seorang pengacara.
 Asas Nemo Judex Indeneus in Propria Causa. Asas ini mengajarkan bahwa tidak seorang
pun yang dapat menjadi hakim dalam perkara sendiri. Dalam hukum acara perdata, asas ini
menekankan pada obyektifitas pada pemeriksaan perkar. Tentunya asas ini ditunjukkan
kepada hakim bahwa seorang hakim karena jabatannya harus mengundurkaan diri dari
kedudukannya dalam memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya bilamana ia

4
mempunyai kepentingan langsung terhadap tersebut atau mempunyai hubungan keluarga
yang dekat dengan salah satu pihak yang berperkara.
 Asas Lex Rae Sitae Bahwa suatu gugatan diajukan di tempat nama obyek gugatan itu
berada dan bukan di tempat tinggal penggugat.
Tujuan penyelenggaraan peradilan nasional adalah menegakkan hukum dan keadilan.
Perihal penyelenggaraan peradilan di indonesia antara lain diatur dalam Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya:
 lingkungan peradilan umum
 lingkungan peradilan agama
 lingkungan peradilan militer
 lingkungan peradilan tata usaha negara
Meskipun di Indonesia terdapat 4 (empat) lingkungan peradilan, akan tetapi Konstitusi juga
memberikan kesempatan untuk dibuatnya pengadilan khusus yang berada di bawah masing-
masing badan peradilan tersebut ada 4 (empat) lingkungan peradilan di Indonesia berdasarkan
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, antara lain:
1. Lingkungan Peradilan Umum, meliputi sengketa perdata (perjanjian jual beli, wanprestasi, dll)
dan pidana (pembunuhan, pencurian dll)
2. Lingkungan Peradilan Agama, meliputi hukum keluarga seperti perkawinan, perceraian, dan
lain-lain. Undang-Undang yang mengatur mengenai Pengadilan Agama yakni UU Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, yang bertugas dan berwenang untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkaraperkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqoh, dimana keseluruhan bidang
tersebut dilakukan berdasarkan hukum Islam.
3. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, meliputi sengketa antar warga Negara dan pejabat
tata usaha Negara. Undang-Undang yang mengatur mengenai Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) yakni UU Nomor 5 Tahun 1986 yang telah diamandemen dengan UU Nomor 9 Tahun
2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pengadilan ini berwenang menyelesaikan sengketa

5
antar warga Negara dan Pejabat Tata Usaha Negara. Objek yang disengketakan dalam Peradilan
Tata Usaha Negara yaitu keputusan tata usaha Negara yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha
Negara. Dan dalam Peradilan Tata Usaha Negara ini terdapat 2 (dua) macam upaya hukum4, antara
lain yakni Upaya Administrasi, yang terdiri dari banding administrasi dan keberatan, serta
Gugatan.
4. Lingkungan Peradilan Militer, hanya meliputi kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh
militer. Undang-Undang yang mengatur mengenai Pengadilan Militer yakni UU Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer. Pengadilan ini berwenang mengadili kejahatan atau pelanggaran
yang dilakukan oleh militer.
Adapun terhadap Pengadilan Khusus di Indonesia, telah terdapat 6 (enam) Pengadilan Khusus
yang masing-masing memiliki kewenangannya sendiri sebagaimana dijelaskan berikut dibawah
ini, antara lain :
 Pengadilan Niaga, dibentuk dan didirikan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 97
Tahun 1999. Kewenangan Pengadilan Niaga antara lain adalah untuk mengadili perkara
Kepailitan, Hak atas Kekayaan Intelektual, serta sengketa perniagaan lainnya yang
ditentukan oleh Undang-Undang.
 Pengadilan HAM, dibentuk dan didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000. Kewenang Pengadilan HAM adalah untuk mengadili pelanggaran HAM berat,
sebagaimana yang pernah terjadi atas kasus pelanggaran hak asasi berat di Timor-Timur
dan Tanjung Priok pada Tahun 1984. Pelanggaran hak asasi tersebut tengah mengeluarkan
Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 atas pembentukan Pengadilan Hak Asasi
Manusia Ad Hoc di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang saat ini diubah melalui
Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2001.
 Pengadilan Anak, dibentuk dan didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997, yangmana merupakan implementasi dari Konvensi Hak Anak yang telah
diratifikasi, bahwa setiap anak berhak atas perlindungan, baik terhadap eksploitasi,
perlakuan kejam dan perlakuan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana. Dan
Yurisdiksi Peradilan Anak dalam hal perkara pidana adalah mereka yang telah berusia 8
tetapi belum mencapai 18 Tahun.
 Pengadilan Pajak, dibentuk dan didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002, dan memiliki yurisdiksi menyelesaikan sengketa di bidang pajak. Sengketa pajak

6
sendiri merupakan sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau
penanggung pajak dan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan, termasuk didalamnya gugatan atas pelaksanaan
penagihan berdasarkan Undang-Undang penagihan pajak dengan surat paksa.
 Pengadilan Perikanan, dibentuk dan didirikan berdasarkan Undang-Undang 31 Tahun
2004. Peradilan ini berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di
bidang perikanan, dan berada di lingkungan Peradilan Umum dan memiliki daerah hukum
sesuai dengan daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.
 Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, dibentuk dan didirikan berdasarkan amanat
Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Pengadilan ini memiliki yurisdiksi untuk menangani perkara korupsi dan
berkedudukan di jakarta.
Selain itu dalam sistem peadilan ada dua tingkatan peradilan berdsarkan cara pengambilan
keputusan yaitu judex facti dan judex juris Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi judex facti
ayng berwewenang memeriksa fakta hukum dan dan bukti perkara. Mahkamah Agung adalah
judex juris, hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara, dan tidak memeriksa fakta dari
perkaranya.
B. KONDISI PERADILAN DI INDONESIA
Hukum merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa untuk mencapai citacita
masyarakat yang adil dan makmur. Muladi menyebutkan bahwa sejak Indonesia merdeka, tema
negara hukum paling banyak mendapat sorotan. Sebagian dikarenakan kelemahan yang nyata pada
lembaga-lembaga hukum itu sendiri. Institusi-institusi hukum tidak berjalan sebagaimana
mestinya yaitu menurut taraf keinginan, harapan, dan tuntutan rakyat dari hampir semua tingkatan
masyarakat.1 Donald Black menyebut hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is
governmental social control) sehingga sistem hukum adalah sistem kontrol sosial yang di
dalamnya diatur tentang struktur, lembaga, dan proses kontrol sosial tersebut. Friedman juga
menyebutkan bahwa yang terpenting adalah fungsi dari hukum itu sendiri yaitu sebagai kontrol

1
Sunarmi (2004) “Membangun Sistem Peradilan di Indonesia”,
https://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/1576/perdata-sunarmi3.pdf?sequence=1&isAllowed=y,
h. 3

7
sosial (ibarat polisi), penyelesaian sengketa (dispute settlement), skema distribusi barang dan jasa
(good distributing scheme), dan pemeliharaan sosial (Social maintenance).
Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, kinerja hukum dan penegak hukum masih
dianggap kurang memenuhi harapan dan perasaan keadilan masyarakat. Lembaga peradilan yang
seharusnya menjadi benteng terakhir (last forttress) untuk mendapatkan keadilan sering tidak
mampu memberikan keadilan yang didambakan. Akibatnya, rasa hormat dan kepercayaan
terhadap lembaga ini nyaris tidak ada lagi sehingga semaksimal mungkin orang tidak menyerahkan
persoalan hukum ke pengadilan. Sebagai negara yang termasuk ke dalam kelompok negara-negara
berkembang, kondisi penegakan hukum di Indonesia belum dapat disejajarkan dengan
negaranegara maju. Dalam kaitan dengan keadaan hukum di negara-negara berkembang patut
disimak buku “The challenge of the Worlf Poverty” yang diterbitkan pada tahun 1970 oleh Gunnar
Myrdal yang merupakan hasil penelitiannya terhadap negaranegara di Asia Selatan. Bab ke tujuh
dari buku tersebut berjudul The ‘Soft State’ menyebutkan “Semua negara berkembang sekalipun
dengan kadar yang berlainan, adalah ‘negara-negara yang lembek’. Istilah ini dimaksudkan untuk
mencakup semua bentuk ketidak disiplinan sosial yang manifestasinya adalah : cacad-cacad dalam
perundang-undangan dan terutama dalam hal menjalankan dan menegakan hukum, suatu ketidak
patuhan yang menyebar dengan luasnya di kalangan pegawai negeri pada semua tingkatan
terhadap peraturan yang ditujukan kepada mereka, dan sering mereka ini bertabrakan dengan
orang-orang atau kelompok-kelompok yang berkuasa, yang justru harus mereka atur...... “
Kondisi yang dihadapi Indonesia dalam bidang hukum secara garis besar dapat
dikemukakan bahwa hambatan utama yang dihadapi adalah pembuatan hukum dan penegakan
hukumnya. Dalam hal penegakan hukum ini tentu tidak terlepas dari sistem peradilannya dan
sorotan utama terhadap kinerja Peradilan dapat dirinci sebagai berikut 2 :
 Hukum hanya dapat dinikmati oleh golongan yang mampu
 Mencari keadilan adalah upaya yang mahal
 Aparat penegak hukum (dalam hal ini pejabat peradilan tidak senantiasa bersih)
 Kualitas profesi di bidang hukum yang kurang memadai
 Ada beberapa putusan hakim yang tidak selalu konsisten.

2
R.E. Barimbing, Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, (Penerbit Pusat
Kajian Reformasi :Jakarta, 2001) h. 2

8
Buku Reformasi Hukum di Indonesia, menyimpulkan hasil penelitian tentang penegakan hukum
di Indonesia menyatakan antara lain :
 Kurangnya rasa hormat masyarakat pada hukum
 Tidak adanya konsistensi penerapan peraturan oleh aparat pengadilan
 Management pengadilan sangat tidak efektif (maksudnya : mekanisme pengawasan)
 Peranan yang dominan dari eksekutif membawa pengaruh yang tidak sehat terhadap
pengadilan (Peradilan yang tidak independent, karena dualisme kekuasaan kehakiman)
 Penegakan hukum yang berbau praktek korupsi , dan keberpihakan yang menguntungkan
pemerintah.
Bagir Manan menyebutkan bahawa keadaan hukum (the existing legal system ) Indonesia dewasa
ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
1) Dilihat dari substansi hukum asas dan kaidah hingga saat ini terdapat berbagai sistem
hukum yang berlaku sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem hukum barat, dan
sistem hukum nasional. Tiga sistem yang pertama merupakan akibat politik hukum masa
penjajahan. Secara negatif, politik hukum tersebut dimaksudkan untuk membiarakan
rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum tradisional dan sangat dibatasai untuk
memasuki sistem hukum yang diperlukan bagi suatu pergaulan yang modern
2) Ditinjau dari segi bentuk sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada bentuk-
bentuk hukum tertulis, Para pelaksana dan penegak hukum senantiasa mengarahakan
pikiran hukum pada peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau
hukum islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum ditentukan harus
diperiksa dan diputus menurut kedua hukum tersebut.3 Penggunaan Yruisprudensi dalam
mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum
tertulis yang menjadi tumpuan utama.
3) Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa Pemerintah
Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam
kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung kekosongan-
kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum maupun perkembangan
masyarakat

3
Bagir Manan, Dasar-dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional, Makalah, (Jakarta :1993) h 2.

9
4) Keadaan hukum kita dewasa ini menunjukkan pula banyak aturan kebijakan (beleidsregel).
Peraturan-peraturan kebijakan ini tidak saja berasal dari administrasi negara, bahkan pula
dari badan justisial. Peraturan kebijakan merupakan instrumen yang selalu melekat pada
administrasi negara. Yang menjadi masalah, adakalanya peraturan kebijakan tersebut
kurang memperhatikan tatanan hukum yang berlaku. Berbagai aturan kebijakan
menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku karena terlalu menekankan
aspek “doelmatigheid” dari pada “rechtsmatigheid”. Hal-hal semacam ini sepintas lalu
dapat dipandang sebagai “terobosan” tas ketentuan-ketentiuan hukum yang dipandang
tidak memadai lagi. Namun demikian dapat menimbulkan kerancuan dan ketidak pastian
hukum
5) Keadaan lain dari hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris. Hukum
khususnya peraturan perundang-undangan sering dipandang sebagai urusan departemen
bersangkutan. Peraturan perundang-undangan pemerintah daerah adalah semata-mata
urusan Departemen Dalam Negeri. Peraturan perundang-undangan industri adalah semata-
mata urusan Departemen Perindustrian dan Perdagangan
6) Tidak pula jarang dijumpai inkonsistensi dalam penggunaan asas-asas hukum atau
landasan teoretik yang dipergunakan.
7) Keadaan hukum kita – khususnya peraturan perundang-undangan yang dibuat dalam kurun
waktu dua puluh lima tahun terakhir – sangat mudah tertelan masa, mudah aus (out of date)
Secara obyektif hal ini terjadi karena perubahan masyarakat di bidang politik, ekonomi,
sosial dan budaya berjalan begitu cepat, sehingga hukum mudah seka;i tertinggal di
belakang. Secara subyektif, berbagai peraturan perundang-undangan dibuat untuk
mengatasi keadaan seketika sehingga kurang memperhatikan wawasan ke depan.
Kekurangan ini sebenranya dapat dibatasi apabila para penegak hukum berperan aktif
mengisi berbagai kekososngan atau memberikan pemahaman baru suatu kaidah.
Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum lebih suka memilih sebagai
“aplikator” daripada sebagai “dinamisator” peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka untuk mengatasi krisis yang meliputi berbagai bidang kehidupan tersebut
maka pembenahan yang harus dilkukan pertama sekali adalah Sumber Daya Manusia. Sunaryati
Hartono menyatakan bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia yang berkaitan langsung
dengan krisis hukum disebabkan oleh karena aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dan

10
bermasyarakat, terutama bidang hukum sangat diabaikan, selain itu karena kejujuran dalam kata
dan perilaku semakin ditinggalkan, baik dalam kehidupan masyarakat dan bernegara, maupun
dalam kehidupan pribadi. Ini tercermin dari perkembangan bangsa Indonesia yang dalam tahun
terakhir menjadi sampai kabur, berbunga-bunga karena banyak menggunakan eufemisme, karena
cara berfikir bangsa Indonesia semakin menjadi formalistis, birokratis dan munafik, legalistis, hal
mana mendukung sikap hipokritis pula, dan kurang memperhatikan arti intrinsik dan yang
sebenarnya dari suatu kata atau pengertian, karena elite baru dan orang kaya baru masyarakat
Indonesia semakin menjadi feodal dan mengadopsi cara-cara kehidupan orang-orang Belanda
yang dimasa kolonial hidup di Indonesia. 4
C. MEWUJUDKAN SISTEM PERADILAN YANG BERKUALITAS
Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat
memprihatinkan, di samping itu anehnya masyarakatpun tidak pernah jera untuk terus melanggar
hukum, sehingga masyarakat sudah sangat terlatih bagaimana mengatasinya jika terjadi
pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya, apakah itu bentuk pelanggaran lalu-lintas,
atau melakukan delik-delik umum, atau melakukan tindak pidana korupsi, tidak menjadi masalah.
Sebagian besar masyarakat kita telah terlatih benar bagaimana mempengaruhi proses hukum yang
berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukumannya. Kenyataan ini merupakan salah satu
indikator buruknya law enforcement di negeri ini.
Pelaksanaan hukum di dalam masyarakat selain tergantung pada kesadaran hukum
masyarakat juga sangat banyak ditentukan oleh aparat penegak hukum, oleh karena sering terjadi
beberapa peraturan hukum tidak dapat terlaksana dengan baik oleh karena ada beberapa oknum
penegak hukum yang tidak melaksanakan suatu ketentuan hukum sebagai mana mestinya. Hal
tersebut disebabkan pelaksanaan oleh penegak hukum itu sendiri yang tidak sesuai dan merupakan
contoh buruk dan dapat menurunkan citra .Selain itu teladan baik dan integritas dan moralitas
aparat penegak hukum mutlak harus baik, karena mereka sangat rentan dan terbuka peluang bagi
praktik suap dan penyelahgunaan wewenang. Uang dapat mempengaruhi proses penyidikan,
proses penuntutan dan putusan yang dijatuhkan.

Penciptaan berbagai peraturan tidak saja membawa perbaikan tetapi justru timbul kondisi
“hiperregulated” tersebut membuat masyarakat lebih apatis. Sementara itu institusi dan aparatur

4
Sunarmi (2004) “Membangun Sistem..” h.8

11
hukum hanya mengedepankan formal justice semata tanpa memperdulikan substansial justice
sehingga segala sesuatu dilihat dari dua hal yang jukstaposisional saja yaitu benar salah, hitam
putih, menang kalah, halal haram dan sebagainya. Sementara itu arus reformasi yang tidak
terkendali (kebablasan) telah menciptakan masyarakat yang berperilaku/berbudaya membabi buta
(blind society). Kondisi keterpurukan ke tiga komponen sistem hukum tersebut telah menjadikan
hukum tidak berfungsi sama sekali dan apa yang disebut sistem hukum nasional Indonesia menjadi
sulit diterima. Secara lengkap Achmad Ali menyebutkan : Semakin rendahnya tingkat kepercayaan
warga masyarakat terhadap hukum dan penegakan hukum, disebabkan warga secara kasat mata
menyaksikan dan mengetahui sendiri betapa “sandiwara hukum” dan lebih khusus lagi “sandiwara
peradilan” masih terus berlangsung. Kita masih tetap pantas untuk mengalunkan syair lagu “aku
masih tetap seperti yang dulu”. Sosok-sosok penegak hukum yang kini masih bergentayangan
masihlah sosok-sosok lama dengan paradigma lama, tetapi dengan “kemasan baru”. Konkretnya
“sosok-sosok sapu kotor” di lingkungan penegakan hukum masih eksis dan semakin hari semakin
memperkokoh posisinya. Serentetan kasus-kasus hukum dan peradilan yang muncul di media
massa. Seperti berita kasus suap menyuap kelas kakap masih berlangsung ditubuh Mahkamah
Agung , berita perintah penundaan penuntutan tiga konglomerat dan lain-lain sebagai akibat tidak
profesionalnya aparat penegak hukum teramat mengecewakan rakyat banyak. Kesemuanya makin
menurunkan citra penegakan hukum. 5

Peradilan merupakan suatu macam penegakan hukum, karena aktivitasnya tidak terlepas
dari hukum yang telah dibuat dan disediakan oleh badan pembuat hukum itu. Terdapat perbedaan
antara peradilan dan pengadilan. Peradilan menunjuk kepada proses mengadili, sedangkan
pengadilan merupakan salah satu lembaga dalam proses tersebut. Lembaga-lembaga lain yang
terlibat dalam proses mengadili adalah kepolisian, kejaksaan dan advokat. Hasil akhir dari proses
peradilan tersebut berupa putusan pengadilan. Bagi ilmu hukum, bagian penting dalam proses
mengadili terjadi saat hakim memeriksa dan mengadili suatu perkara. Pada dasarnya yang
dilakukan oleh hakim adalah memeriksa kenyataan yang terjadi, serta menghukuminya dengan
peraturan yang berlaku. Pada waktu itu diputuskan tentang bagaimana atau apa hukum yang
berlaku untuk satu kasus. Pada waktu itulah penegakan hukum mencapai puncaknya. Hans Kelsen

5
Sunarmi (2004) “Membangun Sistem..” h. 10

12
menyebutkan bahwa proses penegakan hukum yang dijalankan oleh hakim demikian disebut
sebagai Konkretisierung.
Keadilan merupakan salah satu tujuan dari setiap sistem hukum bahkan merupakan tujuan
yang terpenting.6 Keadilan bagi seorang hakim merupakan dasar dalam menetapkan putusan.
Sebagaimana Pendapat Bismar Siregar yaitu agar mata, hati dan telinga hakim terbuka terhadap
berbagai tuntutan yang berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian dalam melaksanakan
kewajibannya ia tidak hanya berdasarkan hukum tetapi berdasarkan keadilan. Hanya hakim
berkualitas dan berintegritaslah yang dapat memutus perkara yang mencerminkan rasa keadilan
masyarakat, yakni sesuai dengan hukum. Telah banyak tulisan dan pandangan yang mengelaborasi
kriteria-kriteria hakim yang baik. Beberapa kriteria tersebut misalnya memiliki kemampuan
hukum (legal skill) dan pengalaman yang memadai, memiliki integritas, moral dan karakter yang
baik, memiliki nalar yang baik, memiliki visi yang luas, memiliki kemampuan berbicara dan
menulis, mampu menegakkan negara hukum dan bertindak independen dan imparsial, memiliki
kemampuan administratif dan efisien.
Hakim yang baik diperoleh dari sistem yang baik. Sebagaimana pendapat Odette
Buitendam mantan Menteri Kehakiman Belanda bahwa good judge are not born but made. Hakim
baik hanya dapat lahir dari suatu sistem yang baik yaitu melalui suatu sistem rekrutmen, seleksi
dan pelatihan yang baik. Terkait perlunya sistem yang baik dalam rangka menghasilkan hakim
yang baik, Brian Tracy mengatakan everything happens of a reason, and for every effect there is
a specific cause yaitu segala sesuatu terjadi karena ada sebabnya dan setiap tindakan pasti akan
menimbulkan akibat. Dalam pengembangan organisasi yaitu Mahkamah Agung, hukum sebab
akibat dapat dimaknai bahwa maju dan mundurnya suatu organisasi memiliki hubungan garis lurus
dengan aturan tertentu yang secara sadar diciptakan untuk itu. Oleh karena itu, kesuksesan
organisasi merupakan akibat langsung atau tidak langsung dari sebabsebab atau tindakan tertentu
yang direkayasa secara sadar dan terencana.7 Akan tetapi bagaimanapun baiknya suatu sistem, tapi
apabila individuindividu yang ada di dalamnya tidak dijiwai nilai kejujuran, niscaya sistem itu bisa
disalahgunakan. Sebagaimana Richard Meredith Jacson menyebutkan tiga prasarat utama bagi
suatu (sistem) pengadilan yang baik ”…they have a known procedure, their behavior is fairly

6
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Liberty : Yogyakarta, 1996) h. 15
7
H. Abdul Kadir Mappong dalam Bagir Manan, Memulihkan Peradilan Yang Berwibawa Dan Dihormati (IKAHI :
Jakarta, 2008) h. 1

13
predictable and they are eminently respectable”. Adapun beberapa cara agar terwujud hakim karir
yang berkualitas dan berintegritas yaitu :
1) Sistem Rekrutmen dan Seleksi Hakim Karir
Dalam konteks lembaga pengadilan sebagai suatu organisasi maka maju tidaknya sebuah
organisasi sangat dipengaruhi oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada dalam
organisasi tersebut yaitu hakim. Sumber Daya Hakim yang baik dapat diperoleh salah
satunya adalah melalui suatu sistem rekrutmen /seleksi hakim. Sumber Daya Hakim yang
baik juga merupakan faktor internal yang dapat mempengaruhi kebebasan atau
kemandirian kekuasaan kehakiman.
2) Pendidikan dan Pelatihan Hakim yang Berkesinambungan
Kemampuan mengambil suatu putusan yang dimiliki seorang hakim sebagaimana
pendapat Josef Esser diperoleh selama pendidikan dan karir yang dijalaninya. Kematangan
pengetahuan dan pengalaman dari hakim sangat penting dalam mengambil suatu putusan.
Pendidikan sebagai suatu unsur dalam proses sosialisasi seorang hakim akan menentukan
kerangka berpikirnya dalam mengambil putusan. Konsep-konsep tentang hakim, tentang
asas-asas dalam hukum, tentang metode pengambilan putusan dan sebagainya merupakan
kekayaan yang tersimpan di dalam diri
3) Peningkatan kesejahteraan hakim
Financial security (jaminan pendapatan) bagi para hakim merupakan salah satu unsur yang
mendapat perhatian luas pada hampir seluruh sistem hukum negara-negara di dunia.
Sebagai contoh di Amerika terdapat dalam The Constitution Act, 167 Section 110
mengamanatkan penyesuaian pendapatan bagi para hakim untuk menunjang peningkatan
kinerja dan kemandirian hakim. Dengan kata lain bahwa kesejahteraan merupakan salah
satu faktor internal yang dapat mempengaruhi prinsip peradilan yaitu kemandirian
(independensi) kekuasaan kehakiman. 8
Sacipto Rahardjo menyebutkan, sesungguhnya lembaga peradilan adalah tempat
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum agar tidak berkembang menjadi konflik
yang membahayakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, fungsi itu hanya akan
efektif apabila pengadilan memiliki 4 (empat) prasyarat yaitu Pertama, kepercayaan

8
Indriati Amarini, Cahyono “Mewujudkan Hakim Karir Yang Berkualitas dan Berintegritas” (UM Purwokerto Press :
2017) http://digital.library.ump.ac.id/912/ h. 160

14
(masyarakat) bahwa di tempat itu mereka akan memperoleh keadilan seperti mereka
kehendaki, Kedua kepercayaan (masyarakat) bahwa pengadilan merupakan lembaga yang
mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup dan nilai-nilai utama
lainnya dan Ketiga Bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia. Bahwa
pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benar-benar memperoleh perlindungan
hukum.
Hukum harus dapat dikembalikan pada akar moralitasnya, akar kulturalnya dan
akar relijiusnya, sebab hanya dengan cara itu, masyarakat akan merasakan hukum itu cocok
dengan nilai-nilai intrinsik yang mereka anut. Sepanjang aturan hukum tidak sesuai dengan
nilai-nilai intrinsik warga masyarakat, maka ketaatan hukum yang muncul hanyalah
sekedar ketaatan yang bersifat compliance (taat hanya karena takut sanksi), dan bukan
ketaatan yang bersifat internalization (taat karena benar-benar menganggap aturan hukum
itu cocok dengan intrinsik yang dianutnya.

15
BAB III

PENUTUP

1.4 Kesimpulan

1. Hukum merupakan peraturan didalam negara yang bersifat mengikat dan memaksa setiap
warga Negara untuk menaatinya. Jadi, sistem hukum adalah keseluruhan aturan tentang
apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh manusia
yang mengikat dan terpadu dari satuan kegiatan satu sama lain untuk mencapai tujuan.
2. Kondisi sistem peradilan yang terjadi saat ini di Indonesia sangat jauh dari nilainilai
keadilan yang diharapkan. Kondisi sistem peradilan yang buruk disebabkan oleh
kelemahan dalam struktur, substansi dan kultur. Munculnya kritik-kritik terhadap sistem
peradilan di Indonesia tidak lain karena sistem peradilan yang ada belum memberikan
pengayoman kepada masyarakat melalui keputusan yang adil dan berwibawa.
3. Sistem peradilan yang diharapkan yang akan berlaku di masa datang adalah suatu sistem
yang mampu menempatkan hukum kembali ke akar moralitasnya, akar religiusnya dan
akar kulturalnya. Sebab hanya dengan cara itu masyarakat merasakan bahwa hukum itu
sesuai dengan nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan yang hidup di
tengah-tengah masyarakat.

16
DAFTAR PUSTAKA

Sunarmi (2004) “Membangun Sistem Peradilan di Indonesia”,


https://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/1576/perdatasunarmi3.pdf?sequence=1
&isAllowed=y

R.E. Barimbing, Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum,
(Penerbit Pusat Kajian Reformasi :Jakarta, 2001)

Bagir Manan, Dasar-dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional, Makalah,


(Jakarta :1993

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Liberty : Yogyakarta, 1996)

H. Abdul Kadir Mappong dalam Bagir Manan, Memulihkan Peradilan Yang Berwibawa Dan
Dihormati (IKAHI : Jakarta, 2008)

Indriati Amarini, Cahyono “Mewujudkan Hakim Karir Yang Berkualitas dan Berintegritas” (UM
Purwokerto Press : 2017) http://digital.library.ump.ac.id/912/

17

Anda mungkin juga menyukai