Anda di halaman 1dari 38

SGD (Small Discussion Group)

STUDI KASUS PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL PADA PASIEN COVID-19

Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Stress

Pertemuan Ke-7

Dosen Fasilitator :

Dr. Rizki Fitryasari, S.Kep.,Ns.,M.Kep

Oleh :

Kelompok 3

Nurul Imam (132024153001)


Iismayanti (132024153027)
Herminia dos S. Ximenes (132024153028)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPARWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME yang telah memberi
rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah case
study yang berjudul “Pengkajian Psikososial Studi Kasus Pasien Covid 19".
Makalah ini disusun khusus untuk memenuhi tugas Keperawatan Paliatif

Program Magister Keperawatan Semester 3. Pada kesempatan ini penulis

menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Rizki Fitryasari, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku Dosen Fasilitator dalam

Mata Kuliah Keperawatan Paliatif, Fakultas Keperawatan yang telah

memberikan bimbingan dan masukan terhadap penyelesaian makalah ini.

2. Anggota Kelompok yang telah bekerjasama dengan baik dalam

penyusunan makalah ini.

3. Semua pihak yang telah berpartisipasi dalam menyelesaikan makalah ini

yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca

dalam memahami dan mengaplikasikan dalam pelayanan keperawatan. Akan

tetapi, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.

Segala kritik, koreksi, dan saran yang bersifat membangun sangat penulis

harapkan demi perbaikan penulisan makalah ini.

Surabaya, April 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................. 3
1.3 Tujuan ...................................................................................................................... 4
1.4 Manfaat ................................................................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 5
2.1 Konsep Dasar Covid-19 ........................................................................................ 5
2.2 Pengkajian Psikososial ........................................................................................ 11
BAB 3 STUDI KASUS DAN ASUHAN KEPERAWATAN .......................... 17
BAB 4 PENUTUP................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 25
LAMPIRAN JURNAL CASE REPORT .......................................................... 28

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Coronivirus Disease 2019 (COVID-19) menjadi krisis kesehatan di

dunia dikarenakan penyebaran dan progresivitas perburukan penyakit yang

cepat, sehingga membuat angka kematian meningkat (WHO, 2020;

Kobayashi et al., 2020). Pengobatan COVID-19 yang belum ditemukan

memicu munculnya rasa takut dan panik pada masyarakat, sehingga

menghasilkan stigma negatif dari masyarakat ke individu yang terkonfirmasi

suspek atau positif berserta keluarganya dan memicu munculnya distress

psikologis (C. Wang et al., 2020; Ying et al., 2020). Beban psikologis dan

stigma sosial negatif yang muncul membutuhkan perhatian serius dan sampai

sekarang masih belum ada penanganan yang berfokus pada kesiapan

psikologis masyarakat, sehingga perlu untuk dibuatkan sebuah model

kesiapan untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada masyarakat di Cina

menunjukkan bahwa dampak psikologis akibat ketakutan dengan COVID-19

lebih membahayakan dibandingkan penyakitnya (Z. Li et al., 2020). Populasi

penduduk di Cina menunjukkan 53,8% mengalami dampak psikologis berat,

16,5% gejala depresi berat, 28,8% gejala kecemasan berat, dan 8,1% tingkat

stres berat (Qiu et al., 2020). Beban psikologis dan stigma sosial negatif yang

muncul membutuhkan perhatian serius dan sampai sekarang masih belum ada

penanganan yang berfokus pada kesiapan psikologis masyarakat.

Pandemi COVID-19 telah menjelma menjadi kasus yang membuat

resah bagi banyak orang hingga menimbulkan paranoid massal (Manderson

1
& Levine, 2020). Berdasarkan hasil diskusi pakar psikolog mengatakan

bahwa reaksi masyarakat terhadap penyebaran COVID-19 juga dapat berupa

proteksi secara berlebihan terhadap diri sendiri maupun keluarganya (Liu et

al., 2020). Lebih lanjut ditambahkan bahwa kondisi tersebut dapat

menimbulkan gejala obsesif compulsif, yaitu gangguan mental yang

menyebabkan penderita merasa harus melakukan suatu tindakan secara

berulang-ulang. Bila tidak dilakukan, individu tersebut akan terus diliputi

kecemasan atau ketakutan (Kang et al., 2020). Kecemasan dan ketakutan

yang dirasakan masyarakat juga berdampak pada tindakan menjauhi setiap

individu yang berpotensi menjadi sumber penularan, sehingga timbul

diskriminasi dan terjadilah stigma negatif pada masyarakat yang kontak erat

dengan kasus COVID-19. Penyebab stigma negatif tersebut diakibatkan

kurangnya pengetahuan dan informasi, kecemasan, mekanisme koping dan

support system yang ada pada masyarakat (Jiang et al., 2020).

Beredarnya banyak stigma negatif dan ketidakbenaran informasi

selama kenaikan infeksi COVID-19 membuat masyarakat memandang pasien

dan kasus-kasus kontak erat sebagai individu yang harus dijauhi, karena bisa

menularkan penyakit (Almuttaqi, 2020). Pengucilan dan penolakan ini sudah

dirasakan oleh banyak masyarakat dan bisa berdampak pada psikologis

mereka (Buana, 2020). Bagi penderita atau pasien terkonfirmasi, dampak

psikologisnya bisa berupa perasaan tertekan, stres, cemas saat didiagnosis

positif COVID-19 (Torales et al., 2020). Penderita bisa merasa cemas atau

khawatir secara berlebihan, ketika privasinya atau identitasnya bocor kepada

publik sehingga berdampak dikucilkan dari lingkungan sekitarnya, karena

2
mulai munculnya stigmatisasi menakutkan bagi ODP, PDP dan pasien positif

(Kemenkes RI, 2020; Rochmyaningsih, 2020).

Penanganan dan pencegahan secara dini pada psikologis penting untuk

diperhatikan dalam penanganan COVID-19 (WHO, 2020). Berdasarkan hasil

penelitian yang sudah dilakukan di beberapa negara, penanganan psikologis

yang dilakukan adalah melalui bentuk konseling baik secara langsung, secara

online atau melalui aplikasi (Jung & Jun, 2020; S. Li et al., 2020; Sun et al.,

2020; Zhou et al., 2020). Di Indonesia masih belum banyak penelitian yang

melakukan riset mengenai dampak psikologis pada COVID-19, penanganan

psikologis yang sudah diberikan adalah pendampingan pasien berupa edukasi

dan konseling selama di rumah sakit menggunakan media leaflet, vidio dan

simulasi (Kartono, 2020; Zahrotunnimah, 2020). Belum banyaknya

penanganan psikologis yang diberikan untuk mencegah krisis kesehatan

akibat dampak psikologis COVID-19 membutuhkan studi penelitian lebih

lanjut.

Berdasarkan uraian di atas, diperlukan adanya solusi dalam

memanagemen stress yang disebabkan karena ketakutan dan kecemasan

akibat COVID-19. Oleh karena itu perlu untuk mengetahui dan melakukan

Pengkajian psikososial secara mendalam terhadap pasien covid-19

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah pada makalah ini

adalah “ Bagaimana Pengkajian psikososial terhadap pasien covid-19 ?

3
1.3 Tujuan

1.2.1. Tujuan Umum

1. Memenuhi tugas Mata Kuliah Manajemen Stress.

2. Mengetahui bagaimana Pengkajian psikososial terhadap pasien

covid-19

1.2.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui Pengkajian Aspek Psikologis pada pasien Covid-19

2. Mengetahui Pengkajian Aspek Sosial pada pasien Covid-19

3. Mengetahui Pengkajian Aspek Spiritual pada pasien Covid-19

1.4 Manfaat

Dari makalah ini diharapkan bermanfaat pada:

1.2.3. Mahasiswa sebagai bahan tambahan referensi dalam kegiatan belajar

dalam peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam profesi

keperawatan dalam menangani dan merawat pasien yang mengalami

masalah psikosial.

1.2.4. Pembaca dapat menghindari dan mengatasi masalah Psikososial dengan

baik berdasarkan gejala dan faktor-faktor penyebab Stress.

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Covid-19

1. Pengertian

COVID-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Severe

Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). SARS-

CoV-2 merupakan coronavirus jenis baru yang belum pernah

diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Ada setidaknya dua jenis

coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat

menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome

(MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Tanda dan

gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan pernapasan

akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6

hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19

yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut,

gagal ginjal, dan bahkan kematian (Kemenkes, 2020).

2. Epidemiologi

COVID-19 merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

Coronavirus jenis baru. Penyakit ini diawali dengan munculnya kasus

pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Wuhan, China pada akhir

Desember 2019.Berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi, kasus

tersebut diduga berhubungan dengan Pasar Seafood di Wuhan. Pada

tanggal 7 Januari 2020, Pemerintah China kemudian mengumumkan

bahwa penyebab kasus tersebut adalah Coronavirus jenis baru yang

5
kemudian diberi nama SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory

Syndrome Coronavirus 2). Virus ini berasal dari famili yang sama dengan

virus penyebab SARS dan MERS. Meskipun berasal dari famili yang

sama, namun SARS-CoV-2 lebih menular dibandingkan dengan SARS-

CoV dan MERS-CoV. Proses penularan yang cepat membuat WHO

menetapkan COVID-19 sebagai KKMMD/PHEIC pada tanggal 30

Januari 2020 (WHO, 2020). Angka kematian kasar bervariasi tergantung

negara dan tergantung pada populasi yang terpengaruh, perkembangan

wabahnya di suatu negara, dan ketersediaan pemeriksaan laboratorium

(Kemenkes, 2020).

Thailand merupakan negara pertama di luar China yang melaporkan

adanya kasus COVID-19. Setelah Thailand, negara berikutnya yang

melaporkan kasus pertama COVID-19 adalah Jepang dan Korea Selatan

yang kemudian berkembang ke negara-negara lain. Sampai dengan

tanggal 30 Juni 2020, WHO melaporkan 10.185.374 kasus konfirmasi

dengan 503.862 kematian di seluruh dunia (CFR 4,9%). Negara yang

paling banyak melaporkan kasus konfirmasi adalah Amerika Serikat,

Brazil, Rusia, India, dan United Kingdom. Sementara, negara dengan

angka kematian paling tinggi adalah Amerika Serikat, United Kingdom,

Italia, Perancis, dan Spanyol (Kemenkes, 2020).

Indonesia melaporkan kasus pertama COVID-19 pada tanggal 2

Maret 2020 dan jumlahnya terus bertambah hingga sekarang. Sampai

dengan tanggal 30 Juni 2020 Kementerian Kesehatan melaporkan 56.385

kasus konfirmasi COVID-19 dengan 2.875 kasus meninggal (CFR 5,1%)

6
yang tersebar di 34 provinsi. Sebanyak 51,5% kasus terjadi pada laki-laki.

Kasus paling banyak terjadi pada rentang usia 45-54 tahun dan paling

sedikit terjadi pada usia 0-5 tahun. Angka kematian tertinggi ditemukan

pada pasien dengan usia 55-64 tahun (Kemenkes, 2020).

3. Etiologi

Penyebab COVID-19 adalah virus yang tergolong dalam family

coronavirus. Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif,

berkapsul dan tidak bersegmen. Terdapat 4 struktur protein utama pada

Coronavirus yaitu: protein N (nukleokapsid), glikoprotein M (membran),

glikoprotein spike S (spike), protein E (selubung). Coronavirus tergolong

ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae. COVID-19 ini dapat

menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Terdapat 4 genus yaitu

alphacoronavirus, betacoronavirus, gammacoronavirus, dan

deltacoronavirus. Sebelum adanya COVID-19, ada 6 jenis coronavirus

yang dapat menginfeksi manusia, yaitu HCoV-229E (alphacoronavirus),

HCoV-OC43 (betacoronavirus), HCoVNL63 (alphacoronavirus) HCoV-

HKU1 (betacoronavirus), SARS-CoV (betacoronavirus), dan MERS-

CoV (betacoronavirus) (Kemenkes, 2020).

Corona virus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam

genus betacoronavirus, umumnya berbentuk bundar dengan beberapa

pleomorfik, dan berdiameter 60-140 nm. Hasil analisis filogenetik

menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam subgenus yang sama dengan

coronavirus yang menyebabkan wabah SARS pada 2002-2004 silam,

yaitu Sarbecovirus. Atas dasar ini, International Committee on Taxonomy

7
of Viruses (ICTV) memberikan nama penyebab COVID- 19 sebagai

SARS-CoV-2 (Kemenkes, 2020).

Belum dipastikan berapa lama virus penyebab COVID-19 bertahan

di atas permukaan, tetapi perilaku virus ini menyerupai jenis-jenis

coronavirus lainnya. Lamanya coronavirus bertahan mungkin dipengaruhi

kondisi-kondisi yang berbeda (seperti jenis permukaan, suhu atau

kelembapan lingkungan). Penelitian (Doremalen et al, 2020)

menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat bertahan selama 72 jam pada

permukaan plastik dan stainless steel, kurang dari 4 jam pada tembaga

dan kurang dari 24 jam pada kardus. Seperti virus corona lain, SARS-

COV-2 sensitif terhadap sinar ultraviolet dan panas. Efektif dapat

dinonaktifkan dengan pelarut lemak (lipid solvents) seperti eter, etanol

75%, ethanol, disinfektan yang mengandung klorin, asam peroksiasetat,

dan khloroform (kecuali khlorheksidin) (Kemenkes, 2020).

4. Penularan

COVID-19 merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan

manusia). Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari

kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS dari unta ke manusia.

Adapun, hewan yang menjadi sumber penularan COVID-19 ini masih

belum diketahui (Kemenkes, 2020). Masa inkubasi COVID-19 rata-rata

5-6 hari, dengan range antara 1 dan 14 hari namun dapat mencapai 14

hari. Risiko penularan tertinggi diperoleh di hari- hari pertama penyakit

disebabkan oleh konsentrasi virus pada sekret yang tinggi. Orang yang

terinfeksi dapat langsung dapat menularkan sampai dengan 48 jam

8
sebelum onset gejala (presimptomatik) dan sampai dengan 14 hari setelah

onset gejala. Sebuah studi Natalia (2020), melaporkan bahwa 12,6%

menunjukkan penularan presimptomatik. Penting untuk mengetahui

periode presimptomatik karena memungkinkan virus menyebar melalui

droplet atau kontak dengan benda yang terkontaminasi. Sebagai

tambahan, bahwa terdapat kasus konfirmasi yang tidak bergejala

(asimptomatik), meskipun risiko penularan sangat rendah akan tetapi

masih ada kemungkinan kecil untuk terjadi penularan (Kemenkes, 2020).

Berdasarkan studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan

bahwa COVID-19 utamanya ditularkan dari orang yang bergejala

(simptomatik) ke orang lain yang berada jarak dekat melalui droplet.

Droplet merupakan partikel berisi air dengan diameter >5-10 μm.

Penularan droplet terjadi ketika seseorang berada pada jarak dekat (dalam

1 meter) dengan seseorang yang memiliki gejala pernapasan (misalnya,

batuk atau bersin) sehingga droplet berisiko mengenai mukosa (mulut

dan hidung) atau konjungtiva (mata). Penularan juga dapat terjadi melalui

benda dan permukaan yang terkontaminasi droplet di sekitar orang yang

terinfeksi. Oleh karena itu, penularan virus COVID-19 dapat terjadi

melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi dan kontak tidak

langsung dengan permukaan atau benda yang digunakan pada orang yang

terinfeksi (misalnya, stetoskop atau termometer) (Kemenkes, 2020).

Dalam konteks COVID-19, transmisi melalui udara dapat

dimungkinkan dalam keadaan khusus dimana prosedur atau perawatan

suportif yang menghasilkan aerosol seperti intubasi endotrakeal,

9
bronkoskopi, suction terbuka, pemberian pengobatan nebulisasi, ventilasi

manual sebelum intubasi, mengubah pasien ke posisi tengkurap, memutus

koneksi ventilator, ventilasi tekanan positif non-invasif, trakeostomi, dan

resusitasi kardiopulmoner. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut

mengenai transmisi melalui udara (Kemenkes, 2020).

5. Manifestasi klinis

Gejala-gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul

secara bertahap. Beberapa orang yang terinfeksi tidak menunjukkan

gejala apapun dan tetap merasa sehat. Gejala COVID-19 yang paling

umum adalah demam, rasa lelah, dan batuk kering. Beberapa pasien

mungkin mengalami rasa nyeri dan sakit, hidung tersumbat, pilek, nyeri

kepala, konjungtivitis, sakit tenggorokan, diare, hilang penciuman dan

pembauan atau ruam kulit (Kemenkes, 2020).

Menurut data dari negara-negara yang terkena dampak awal

pandemi, 40% kasus akan mengalami penyakit ringan, 40% akan

mengalami penyakit sedang termasuk pneumonia, 15% kasus akan

mengalami penyakit parah, dan 5% kasus akan mengalami kondisi kritis.

Pasien dengan gejala ringan dilaporkan sembuh setelah 1 minggu. Pada

kasus berat akan mengalami Acute Respiratory Distress Syndrome

(ARDS), sepsis dan syok septik, gagal multi-organ, termasuk gagal ginjal

atau gagal jantung akut hingga berakibat kematian. Orang lanjut usia

(lansia) dan orang dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya

seperti tekanan darah tinggi, gangguan jantung dan paru, diabetes dan

kanker berisiko lebih besar mengalami keparahan (Kemenkes, 2020).

10
WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh

pasien yang terduga terinfeksi COVID-19. Metode yang dianjurkan

adalah metode deteksi molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification

Test) seperti pemeriksaan RT-PCR (Kemenkes, 2020).Diagnosis

WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh

pasien yang terduga terinfeksi COVID-19. Metode yang dianjurkan adalah

metode deteksi molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti

pemeriksaan RT-PCR (Kemenkes, 2020)

2.2 Pengkajian Psikososial

Manusia adalah makhluk biopsikososial yang unik dan menerapkan

system terbuka sertasaling berinteraksi. Manusia selaulu berusaha untuk

mempertahankan keseimbangan hidupnya.Keseimbangan yang dipertahankan

oleh setiap individu untuk dapat menyesuaikan diri denganlingkungannya,

keadaan ini disebut dengan sehat. Sedangkan seseorang dikatakan sakit

apabilagagal dalam mempertahankan keseimbangan diri dan lingkungannya.

Sebagai makhluk social,untuk mencapai kepuasana dalam kehidupan, mereka

harus membina hubungan interpersonal positif (Mirzal Tawi, 2008).

Psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik

yang bersifat psikologik maupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal

balik. masalah kejiwaan dankemasyarakatan yang mempunyai pengaruh timbal

balik, sebagai akibat terjadinya perubahansosial dan atau gejolak sosial dalam

masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan jiwa(Depkes, 2011).

Contoh masalah psikososial antara lain: psikotik gelandangan dan

11
pemasungan, penderitagangguan jiwa, masalah anak: anak jalanan dan

penganiayaan anak, masalah anak remaja:tawuran dan kenakalan,

penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, masalah seksual: penyimpangan

seksual, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual, tindak kekerasan sosial,

stress pasca trauma, pengungsi/ migrasi, masalah usia lanjut yang terisolir,

masalah kesehatan kerja:kesehatan jiwa di tempat kerja, penurunan

produktifitas dan stres di tempat kerja, dan lain-lain:HIV/AIDS (Depkes,

2011).

1. Aspek Biologis / Fisiologis

Kebutuhan fisiologis merupakan hal yang perlu atau penting untuk bertahan

hidup. Manusia memiliki beberapa kebutuhan : oksigen, cairan, nutrisi,

temperatur, eliminasi, dan seks. Klien yang sangat muda, sangat tua, sakit

dan cacat atau bahkan penurunan kesadaran tergantung pada orang lain

untuk memenuhi kebutuhan dasar fisiologis. Perawat sering mempunyai

peran dalam membantu klien memenuhi kebutuhan tersebut. Perspektif

dalam keperawatan intensif diantaranya (Perry&Potter 2015):

1) Memenuhi kebutuhan oksigen (O2). Contohnya perawat dapat

memberikan bantuan napas bila mengalami gangguan dalam bernapas

atau gagal napas, melakukan pemasangan ventilator, dan lain-lain.

2) Kebutuhan Cairan. Contohnya pada saat pengkajian keperawatan

menunjukkan temuan konsisten ketidakseimbangan cairan, tindakan

keperawatan diarahkan pada perbaikan keseimbangan kearah yang

normal dengan memberi cairan melalui infus

12
3) Nutrisi. Untuk membantu klien dalam memenuhi kebutuhan nutrisinya,

seorang perawat harus mengerti proses pencernaan dan proses metabolic

tubuh. Perawat bisa menggunakan beberapa nutrisi tambahan dan teknik

untuk memperbaiki defsit nutrisional. Contoh: pasien yang tidak sadar

atau gangguan menelan, perawat dapat memasang NGT dan memberikan

nutrisi cair melalui selang tersebut.

4) Temperatur. Terpajan panas yang berkepanjangan meningkatkan

aktivitas metabolik tubuh dan meningkatkan kebutuhan oksigen jaringan.

Pemajanan panas yang lama dan berlebihan juga mempunyai efek

fisiologis yang khusus. Dalam hal ini contoh dan tindakan perawat yang

dapat dilakukan antara lain memantau suhu tubuh klien khususnya bagian

tubuh yang berada dibawah seperti punggu yang dapat menimbulkan

dekubitus.

5) Eliminasi. Eliminasi materi sampah merupakan salah satu proses

metabolik tubuh. Produk sampah dikelurkan melalui paru-paru, kulit,

ginjal, dan pencernaan. Contoh: tugas perawat disinilebih ditekankan

dalam membantu pasien yang tidak sadar untuk mengeluarkan materi

sampah tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan berupa pemberian

huknah, baik huknah tinggi atau rendah.

6) Seksualitas. Seks dianggap oleh maslow sebagai kebutuhan dasar

fisiologis yang secara umum mengambil prioritas diatas tingkat

kebutuhan yang lebih tinggi. Seksualitas melibatkan lebih dari seks fisik.

Hal tersebut bisa melibatkan kebutuhan emosi, social, dan

spiritual.Contohnya dalam hal ini perawat dapat sebagai konselor untuk

13
pasien, namun untuk pasien yang tidak sadar cukup dengan ditemani

orang yang berharga bagi pasien

2. Aspek Psikologis

1) Rasa Aman Memenuhi kebutuhan keselamatan dan keamanan kadang

mengambil prioritas lebih dahulu diatas kebutuhan fisiologis. Contoh

dalam keperawatan intensif: seorang perawat perlu melindungi pasien

yang tidak sadar dari kemungkinan jatuh dari tempat tidurseperti

memasang siderail untuk menghindarinya.

2) Kebutuhan cinta dan rasa memiliki Manusia secara umum

membutuhkan perasaan bahwa mereka dicintai oleh teman sebaya dan

oleh masyarakat. Contohnya: memberi sentuhan baik dari perawat

maupun keluarga pasien. Sentuhan tersebut diartikan bahwa pasien

masih diperhatikan walaupun dalam keadaan sadar maupun tidak sadar.

3) Harga Diri Kebutuhan harga diri berhubungan dengan keinginan

terhadap kekuatan, pencapaian, rasa cukup, kompetensi, rasa percaya

diri, dan kemerdekaan. Jika konsep diri pasien mengalami perubahan

karena penyakit atau cedera, pemberian perawatan melibatkan

peningkatan konsep diri dan gambaran diri. Tindakan perawat spesifik

bergantung pada system dukungan. Contohnya memberi dukungan

untuk meningkatkan kualitas hidup pasien ataupun untuk meningkatkan

proses kesembuhannya.

3. Aspek Sosial

Lingkungan sosial Lingkungan sosial merupakan tempat dimana

14
setiap orang dapat berinteraksi dengan orang lain. Saling bertukar pikiran,

curahan hati maupun yang lainnya sehingga orang tersebut merasa dekat

dengan kegiatan sosialnya. Menderita sakit terutama yang bersifat akut,

seringkali membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasabn

pribadi dan sistem dukungan sosial (social support system).

Klien yang dirawat merasa terisolasi dalam ruangan yang asing

baginya dan merasa tidak aman. Kebiasaan hidup seharihari juga berubah,

antara lain tidak dapat menghadiri acara resmi, mengikuti kegiatan

keagamaan atau tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau teman dekat

yang biasa memberikan dukungan setiap saat diinginkan. Terpisahnya klien

dari ikatan spiritual berisiko terjadinya perubahan fungsi sosialnya.

Contoh aspek social disini perawat bisa memberikan keluarga

berkunjung atau melihat pasien tersebut untuk dapat saling berinteraksi

bahkan memberikan support. Dengan demikian maka pasien akan merasa

dekat dengan lingkungan seperti orang tua, teman dekat, dan kerabat pasien

4. Aspek Spritual

Keyakinan Agama & supranatural. Kebutuhan untuk

mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban

agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf (pengampunan),

mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya pada Tuhan. Kebutuhan

spiritual juga dapat memenuhi kebutuhan untuk mencarai anti dan tujuan

hidup, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, rasa keterikatan dan

kebutuhan untuk memberikan dan mendapatkan maaf.

15
Masalah yang sering terjadi pada pemenuhan kebutuhan spiritual adalah

distress spiritual, yang merupakan suatu keadaan ketika individu atau

kelompok mengalami atau resiko mengalami gangguan dalam kepercayaan

atau system nilai yang memberikannya kekuatan, harapan, dan arti

kehidupan, yang ditandai dengan pasien meminta pertolongan spiritual,

mengungkapkan adanya keraguan dalam system kepercayaan, adanya

keraguan yang berlebihan dalam mengartikan hidup, mengungkapkan

perhatian yang lebih pada kematian dan sesudah hidup.

Adanya keputusan, menolak kegiatan ritual, dan terdapat tanda – tanda

seperti menangis, menarik diri, cemas, dan marah, kemudian ditunjang

dengan tanda fisik seperti nafsu makan terganggu, kesulitan tidur. Dan

tekanan darah meningkat. Contoh melakukan asuhan keperawatan untuk

memenuhi kebutuhan rohani atau memfasilitasi kebutuhannya untuk

melakukan persembahyangan/ memandu dan atau berdoa bersama pasien

bila memungkinkan untuknya

16
BAB 3
STUDI KASUS DAN ASUHAN KEPERAWATAN
MASALAH PSIKOSOSIAL
Deskripsi kasus

Seorang laki-laki berusia 48 tahun sudah menikah dengan pendidikan menengah.

Awalnya klien dirawat dengan covid 19 selama 12 hari setelah dinyatakan

sembuh. Setelah keluar Rumah Sakit klien baru tahu kalau ibunya telah meninggal

dengan diagnosis Covid 19 yang membuat klien terkejut dan mengatakan sangat

bersalah karena tidak mampu memberikan yang terbaik di hari-hari terakhir

ibunya dan tidak ikut berpartisipasi dalam upacara pemakaman. Anggota keluarga

sudah menghibut tetapi kien hanya menangis sepanjang hari, tidur dan nafsu

makan serta perawatan diri normal pada periode ini. Setelah 2 minggu klien

mengalami perubahan pola tidur dari normal menjai 1,5 sd 2 jam perhari tetapi

klien tetap aktif sepanjang hari. Klien banyak bicara tentang ibunya, berwibawa

depan keluarga dan harus mengikuti semua instruksinya. Klien terlibat terus

menerus dalam tugas rumah tangga meskipun istrinya sudah mengerjakan.

Suasana hati klien mudah tersinggung, marah dan mencoba keluar rumah

meskipun dikunci, jika dihentikan klien menjadi agresif secara verbal sehingga

klien dibawa ke psikiatri. Riwayat ayah klien menderita penyakit mental yaitu

bipolar tanpa penanagan tetapi klien tidak ada riwayat penyakit jiwa. TD 110/70

mmhg, Nadi 81 x/m, pernapasan 14 x/m. Indeks massa tubuh 23,9. Pemeriksaan

status mental (MSE) klien nampak berwibawa terhadap pewawancara, kontak

mata ke mata ada tetapi tidak dipertahankan dan hubungan tidak dapat di bangun.

Jika bicara kecepatan nada, volume meningkat. Perhatian dan konsentrasi klien

terangsang tapi tidak bertahan dan penilaiannya terganggu. Klien mendapatkan

17
therapi 15 mg olanzapine dan 1 mg clonazepam selama 1 minggu. klien

menunjukkan respon klinis setelah 2 minggu perawatan, tidur meningkat 6 - 7 jam

perhari, ada pengurangan iritabilitas, kemarahan dan peningkatan bicara tetapi

peningkatan aktifitas psikomotor tetap.

1. INFORMASI UMUM
a. Inisial klien : Tn. X
b. Usia : 48 tahun
c. Jenis kelamin : laki-laki
d. Pendidikan : SMA
e. Status perkawinan : menikah
f. Tanggal masuk : Tidak terkaji
g. Tanggal pengkajian : Tidak terkaji
h. Ruang rawat : Tidak terkaji
i. Nomor rekam medik : Tidak Terkaji
2. PENAMPILAN UMUM DAN PERILAKU MOTOR
a. Pengkajian Fisik
1) Berat badan : Tidak terkaji
2) Tinggi badan : Tidak Terkaji
3) BMI : 23,9
4) Tanda-tanda vital : TD 110/70 mm Hg, RR 14/menit, N
81/menit,
5) Riwayat pengobatan fisik : Tidak terkaji
6) Riwayat Penyakit : Tidak ada riwayat penyakit kesehatan jiwa
dan klien dirawat dengan Covid 19
7) Kebiasaan yang Berhubungan dengan Status Kesehatan: Klien tidak
mengkonsumsi Alkohol/Obat-obatan dan tidak merokok
8) Istirahat dan Tidur: Ada perubahan pola dan jam tidur klien (klien hanya
tidur 1,5 sd 2 jam perhari)
9) Nutrisi: Klien tidak mengalami masalah nutrisi
10) Eleminasi: Klien tidak mengalami masalah eliminasi

18
11) Orientasi: Tidak ada gangguan orientasi
12) Tingkat Aktivitas: Klien sangat aktif sepanjang hari
b. Tingkat Ansietas
Klien gelisah, sulit tidur dan sulit mempertahankan konsentrasi
3. KELUARGA
a. Genogram: Tidak tergambar
Ayah klien ada riwayat masalah gangguan jiwa dengan Bipolar
b. Masalah Keluarga dan Krisis: Ibu klien meninggal saat klien dalam
perawatan medis dengan diagnose Covid 19 dan klien tahu peristiwa itu
setelah klien keluar dari rumah sakit sehingga klien tidak menerima dan
merasa bersalah
c. Interaksi dalam Keluarga: Klien dominan mengambil alih anggota
keluarga dalam aktifitas
4. RIWAYAT SOSIAL
a. Pola sosial
1) Teman/orang terdekat; Istri
2) Peran serta dalam kelompok; dominan mengambil tugas
3) Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain; Klien agresif secara
verbal sehingga sulit untuk bersosialisasi
b. Obat-obatan yang dikonsumsi
Klien mendapatkan pengobatan dengan dosis harian seperti olanzapine 15
mg dan 1 mg clonazepam selama 1 minggu.
5. STATUS SOSIAL BUDAYA
a. Pekerjaan: Tidak terkaji
b. Hubungan Sosial: Tidak terkaji
c. Sosio-budaya: Tidak terkaji
d. Gaya Hidup: Tidak terkaji
6. STATUS MENTAL DAN EMOSI
a. Penampilan
1) Tidak ada cacat fisik
2) Ada kontak mata yang dilakukan tetapi tidak dipertahankan dan
hubungan tidak dapat dibangun

19
3) Perawatan diri tidak ada masalah
b. Tingkah Laku: Klien dominan mengambil alih tugas dalam keluarga
meskipun sudah dikerjakan oleh istrinya, klien mudah marah, mudah
tersinggung dan klien suka memberikan ide-ide besar.
c. Pola komunikasi: Klien dominan dalam komunikasi, respon verbal meningkat
dan aktif dalam komunikasi
d. Mood dan Afek: Klien Sedih, mudah marah dan mudah tersinggung
e. Pada pemeriksaan status mental (MSE): klien agak tidak terawat, berwibawa
sama pewawancara, ada kontak mata-ke-mata (ETEC) tetapi tidak bisa
dipertahankan dan hubungan tidak dapat dibangun. Perhatian dan konsentrasinya
terangsang tetapi tidak berkelanjutan.
7. KULTURAL DAN SPIRITUAL (Tidak Terkaji)
a. Agama yang dianut
1) Bagaimana kebutuhan klien terhadap spiritual dan pelaksanaannya?
2) Apakah klien mengalami gangguan dalam menjalankan kegiatan
spiritualnya setelah mengalami kekerasan atau penganiayaan?
3) Adakah pengaruh spiritual terhadap koping individu
b. Budaya yang diikuti
Apakah ada budaya klien yang mempengaruhi terjadinya masalah
c. Tingkat perkembangan saat ini

20
ANALISA DATA

DATA ETIOLOGI Masalah


DS. Kematian keluarga Berduka
- Klien sedih atau orang terdekat
- Klien merasa bersalah
- Klien tidak menerima kehilangan
- Klien merasa tidak berguna
DO.
- Klien Nampak menangis terus
- Pola tidur klien berubah dari
normal ke 1,5 – 2 jam perhari
- Klien Nampak tidak bisa
konsentrasi
- Klien Nampak marah dan mudah
tersinggung
- Komunikasi verbal meningkat
- Klien nampak gelisah

21
NDx Diagnosis Tujuan Intervensi
1. Berduka berhubungan dengan kematian keluarga Berduka teratasi dengan kriteria: Dukungan Proses berduka dengan tindakan:
atau orang yang berarti yang ditandai - Identifikasi proses berduka yang dialami
Tingkat berduka membaik:
dengan:(PPNI, SDKI 2018a) - Identifikasi sifat keterikatan pada orang yang
a. Verbalisasi menerima kehilangan
DS: meninggal
meningkat
- Keluarga mengatakan klien sedih - Tunjukkan sikap empati dan menerima
b. Verbalisasi harapan meningkat
- Klien merasa bersalah - Motivasi agar mau mengungkapkan perasaaan
c. Verbalisasi perasaan berguna
- Klien tidak menerima kehilangan kehilangn
meningkat
- Klien merasa tidak berguna - Motivasi menguatkan dukungan keluarga atau
d. Verbalisasi perasaan sedih menurun
DO: org terdekat
e. Verbalisasi perasaan bersalah atau
- Klien nampak menagis - Fasilitasi melakukan kebiasaan sesuai budaya,
menyalahkan orang lain menurun
- Pola tidur klien berubah dari normal menjadi agama atau norma social
f. Marah menurun
1,5 atau 2 jam perhari - Jelaskan kepada pasien dan kelurga bahwa
g. Pola tidur membaik
- Klien nampak tidak bisa konsentrasi sikap mengingkari, marah, tawar menawar,
h. Konsentrasi membaik
- Klien mudah marah dan mudah tersinggung depresi dan marah adalah hal yang wajar dlm
Status koping membaik:
- Komunikasi verbal klien meningkat menghadapi kehilangan
a. Perilaku koping adaptif meningkat
- Anjurkan mengidentifikasi ketakutan terbesar
b. Perilaku asertif meningkat
pada kehilangan
c. Orientasi realitas meningkat
- Ajarkan melewati proses berduka secara
d. Perilaku permusuhan menurun bertahap
(PPNI, SLKI 2018c) Dukungan emosional dengan tindakan:
- Identifikasi fungsi marah, frustasi dan amuk
bagi pasien

22
- Identifikasi hal yang telah memicu emosi
- Lakukan sentuhan untuk memberikan
dukungan
- Kurangi tuntutan berfikir saat sakit atau Lelah
- Ajarkan penggunaan mekanisme pertahanan
yang tepat
- Rujuk untuk konseling jika perlu
Dukungan perasaan bersalah
- Identifikasi adanya keyakinan tidak rasional
- Fasilitasi mengidentifikasi dampak situasi pada
hubungan keluarga
- Fasilitasi dukungan spiritual
- Ajarkan menggunakan teknik menghentikan
fikiran dan subsitusi pikiran dengan relaksasi
otot
- Ajarkan mengidentifikasi pilihan untuk
mencegah, mengganti, menebus kesalahan dan
penyelesaian (PPNI, SIKI 2018b)

23
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa terdapat

berbagai faktor yang dapat memicu seseorang mengalami masalah psikososial

yang berasal dari faktor internal dan juga eksternal seperti yang sudah

diuraikan sebelumnya. Faktor-faktor tersebut juga memiliki dampak yang

cenderung negatif bagi individu yang mengalami masalah psikososial, mulai

dari perubahan yang terjadi pada fisiologi, psikologi, spiritual serta perilaku

seseorang. Namun, terdapat juga kiat-kiat untuk dapat mengatasi masalah

psikososial tersebut yang dikenal sebagai Manajemen Stress. Pemberian

perawatan melibatkan pengakajian masalah psikososial yang mendalam agar

tindakan perawat spesifik bergantung pada system dukungan untuk

meningkatkan kualitas hidup pasien ataupun untuk meningkatkan proses

kesembuhannya.

4.1 Saran

Sebaiknya untuk kita mengetahui apa saja yang dapat menghindari

dan juga mengatasi masalah psikososial terutama pada pasien Covid-19 kita

mulai dari hal-hal kecil yang tentunya bersifat positif bagi diri kita dan

pemberian perawatan melibatkan peningkatan konsep diri dan gambaran diri

yang lebih tenang, bahagia dan juga berkualitas bagi setiap individu dan

disarankan untuk melakukan penerapan adaptasi kebiasaan baru melalui

program dukungan kesehatan jiwa psikososial pada pasien COVID-19.

24
DAFTAR PUSTAKA

Almuttaqi, A. I. (2020). Kekacauan Respons terhadap COVID-19 di Indonesia.


Thc Insigjts, 1(13), 1–7.
Buana, D. R. (2020). Analisis Perilaku Masyarakat Indonesia dalam Menghadapi
Pandemi Virus Corona (Covid-19) dan Kiat Menjaga Kesejahteraan Jiwa.
SALAM: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I, 7(3).
https://doi.org/10.15408/sjsbs.v7i3.15082
Jiang, R., Hospital, B. D., Liu, Z., Liu, Z., Han, B., Jiang, R., Huang, Y., Wen, J.,
Zhang, T., Wang, Y., & Chen, H. (2020). The Lancet Mental health status of
doctors and nurses during COVID-19 epidemic in China Title page Mental
health status of doctors and nurses during COVID-19 epidemic in China. The
Lancet.
Jung, S. J., & Jun, J. Y. (2020). Mental Health and Psychological Intervention
Amid COVID-19 Outbreak: Perspectives from South Korea. Yonsei Medical
Journal, 61(4), 271. https://doi.org/10.3349/ymj.2020.61.4.271
Kang, L., Ma, S., Chen, M., Yang, J., Wang, Y., Li, R., Yao, L., Bai, H., Cai, Z.,
Xiang, B., Hu, S., Zhang, K., & Wang, G. (2020). Impact on mental health
and perceptions of psychological care among medical and nursing sta ff in
Wuhan during the 2019 novel coronavirus disease outbreak : A cross-
sectional study. Brain , Behavior , and Immunity, March, 1–7.
https://doi.org/10.1016/j.bbi.2020.03.028
Kartono, D. T. (2020). Pentingnya Solidaritas untuk Mendukung Social
Distancing. Www.Inews.Id.
Kemenkes RI. (2020). Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus
Disease (COVID-19). GERMAS.
Kobayashi, T., Jung, S., Linton, N. M., Kinoshita, R., Hayashi, K., Miyama, T.,
Anzai, A., Yang, Y., Yuan, B., Akhmetzhanov, A. R., Suzuki, A., &
Nishiura, H. (2020). Communicating the Risk of Death from Novel
Coronavirus Disease (COVID-19). Journal of Clinical Medicine, 9(2), 580.
https://doi.org/10.3390/jcm9020580
Li, S., Wang, Y., Xue, J., Zhao, N., & Zhu, T. (2020). The impact of covid-19
epidemic declaration on psychological consequences: A study on active
weibo users. International Journal of Environmental Research and Public
Health, 17(6). https://doi.org/10.3390/ijerph17062032
Li, Z., Ge, J., Yang, M., Feng, J., Qiao, M., Jiang, R., Bi, J., Zhan, G., Xu, X.,
Wang, L., Zhou, Q., Zhou, C., Pan, Y., Liu, S., Zhang, H., Yang, J., Zhu, B.,
Hu, Y., Hashimoto, K., … Yang, C. (2020). Vicarious traumatization in the
general public, members, and non-members of medical teams aiding in

25
COVID-19 control. Brain, Behavior, and Immunity, March, 0–1.
https://doi.org/10.1016/j.bbi.2020.03.007
Liu, C., Yang, Y., Zhang, X. M., Xu, X., Dou, Q.-L., & Zhang, W.-W. (2020).
The prevalence and influencing factors for anxiety in medical workers
fighting COVID-19 in China: A cross-sectional survey. MedRxiv,
2020.03.05.20032003. https://doi.org/10.1101/2020.03.05.20032003
Manderson, L., & Levine, S. (2020). COVID-19, Risk, Fear, and Fall-out.
Medical Anthropology, 00(00), 1–4.
https://doi.org/10.1080/01459740.2020.1746301
PPNI. (2018a). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia; Definisi dan Indikator
Diagnostik.
PPNI. (2018b). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia; Definisi dan Tindakan
Keperawatan.
PPNI. (2018c). Standar Luaran Keperawatan Indonesia; Definisi Kriteria Hasil
Keperawatan.
Qiu, J., Shen, B., Zhao, M., Wang, Z., Xie, B., & Xu, Y. (2020). A nationwide
survey of psychological distress among Chinese people in the COVID-19
epidemic: Implications and policy recommendations. General Psychiatry,
33(2), 19–21. https://doi.org/10.1136/gpsych-2020-100213
Rochmyaningsih, D. (2020). Indonesia finally reports two coronavirus cases.
Scientists worry it has many more. Science.
https://doi.org/10.1126/science.abb5653
Sun, L., Sun, Z., Wu, L., Zhu, Z., Zhang, F., Shang, Z., Jia, Y., Gu, J., Zhou, Y.,
Wang, Y., Liu, N., & Liu, W. (2020). Prevalence and Risk Factors of Acute
Posttraumatic Stress Symptoms during the COVID-19 Outbreak in Wuhan,
China. MedRxiv. https://doi.org/10.1101/2020.03.06.20032425
Torales, J., O’Higgins, M., Castaldelli-Maia, J. M., & Ventriglio, A. (2020). The
outbreak of COVID-19 coronavirus and its impact on global mental health.
The International Journal of Social Psychiatry, 20764020915212.
https://doi.org/10.1177/0020764020915212
Wang, C., Pan, R., Wan, X., Tan, Y., Xu, L., Ho, C. S., & Ho, R. C. (2020).
Immediate psychological responses and associated factors during the initial
stage of the 2019 coronavirus disease (COVID-19) epidemic among the
general population in China. International Journal of Environmental
Research and Public Health, 17(5). https://doi.org/10.3390/ijerph17051729
WHO. (2020). Events as they happen. Rolling updates on coronavirus disease
(COVID-19). Who.
Ying, Y., Kong, F., Zhu, B., Ji, Y., Lou, Z., & Ruan, L. (2020). Mental health
status among family members of health care workers in Ningbo, China
during the Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) outbreak: a Cross-

26
sectional Study. MedRxiv, 2020.03.13.20033290.
https://doi.org/10.1101/2020.03.13.20033290
Zahrotunnimah, Z. (2020). Langkah Taktis Pemerintah Daerah Dalam Pencegahan
Penyebaran Virus Corona Covid-19 di Indonesia. SALAM: Jurnal Sosial Dan
Budaya Syar-I, 7(3). https://doi.org/10.15408/sjsbs.v7i3.15103
Zhou, X., Snoswell, C. L., Harding, L. E., Bambling, M., Edirippulige, S., Bai, X.,
& Smith, A. C. (2020). The Role of Telehealth in Reducing the Mental
Health Burden from COVID-19. Telemedicine and E-Health.
https://doi.org/10.1089/tmj.2020.0068

27
LAMPIRAN JURNAL CASE REPORT
Open access

To cite: Mahapatra A, Sharma P. Case series associated with COVID-19 pandemic in causing psychiatric
morbidity. General Psychiatry 2021;34:e100343. doi:10.1136/ gpsych-2020-100343

Received 17 July 2020


Revised 15 October 2020
Accepted 29 November 2020

© Author(s) (or their employer(s)) 2021. Re- use permitted under CC BY- NC. No commercial re- use. See
rights and permissions. Published by BMJ.
1
Deaprtment of Psychiatry, Dr Ram Manohar Lohia Hospital and Post Graduate Institute of Medical
Education and Research, New Delhi, India
2
Department of Clinical Psychology, Dr Ram Manohar
Lohia Hospital and Post
Graduate Institute of Medical
Education and Research, New Delhi, India

Correspondence to Dr Prerna Sharma; prernasharma02@ gmail.com


Case report
Case series associated with COVID-19 pandemic in causing psychiatric morbidity
Ananya Mahapatra,1 Prerna Sharma 2

28

Mahapatra A, Sharma P. General Psychiatry 2021;34:e100343. doi:10.1136/gpsych-2020-100343


ABSTRACT COVID-19, or the psychosocial crisis related
The COVID-19 has emerged as a public health to it, and (2) those with existing mental
emergency across the globe. Countries all over health conditions who may experience an
the world have been forced to enforce
nationwide lockdowns to curb the transmission of
exacerbation due to the psychological stress
this illness, affecting millions of people. The related to COVID-19.2 Conversely,
disorder and the lockdowns enforced have individuals with a mental disorder are also
resulted in a complex set of psychosocial purported to be at increased risk for COVID-
stressors in the lives of people, affecting their 19 infection.3
resilience and causing psychological stress and
mental health issues. In this case series, we aim In this case series, we highlight some
to highlight the role of such psychosocial psychosocial stressors generated in the
stressors in causing mental health problems, context of the health and socioeconomic
especially in a vulnerable individual. The first crisis faced by low-income to middle-
case reports the onset of first- episode mania in
a healthy individual with a family history of
income countries such as India during this
mental illness, after the sudden demise of the pandemic and their role in causing mental
patient’s mother due to COVID-19. The second health disorders. The cases were selected
case highlights the onset of psychosis in an from a psychiatry outpatient department
adolescent girl following academic stress due to (OPD) of a tertiary hospital in northern
the inability to carry on her education through
India.
online classes. The third case demonstrates the
exacerbation of dissociative episodes in a child
following the financial crisis in the family during
the lockdown period. In low- income to middle- CASE 1
income countries such as India, there is a The patient is a 48- year-old married man,
complex interplay of the psychosocial stressors with secondary level education, of middle
due to the COVID-19 pandemic with pre- existing socioeconomic status, with well-adjusted
issues such as poverty, socioeconomic disparity
and inequity of resources leading to a ‘double hit’ premorbid functioning. The patient was
for people from disadvantaged sections of the diagnosed with COVID-19 for which he was
society and individuals with pre- existing mental required hospitalisation for the initial part of
illness or vulnerability for mental illness. his illness and was managed conservatively
and improved after 12 days of admission and
eventually recovered. His mother, in her 60s,
INTRODUCTION was also diagnosed with COVID-19, and
The COVID-19 pandemic has swept across during the hospitalisation, her physical
continents, compelling nations to respond with condition deteriorated rapidly, requiring
total lockdown of public places and mechanical ventilation. While the patient
institutions to reduce the rate of disease was hospitalised, his mother passed away
transmission. Strict social distancing, travel due to the illness, and her last rites were
restrictions, temporary conducted by his other family members. The
unemployment, home-schooling patient came to know of his mother’s demise
children, working from home and sudden only after his discharge and was shocked on
financial crisis are some of the psychosocial hearing the news. He expressed guilt for not
challenges that have led to the increased stress being able to give his mother company in the
levels and the emergence of anxiety, last few days of her life and not participating
depressive symptoms, insomnia, denial, anger in her funeral rites. His family members
and fear globally.1 The COVID-19 pandemic tried to console him, but he was not
is said to pose a risk for mental health crisis in reassured. He would remain tearful
two specific vulnerable sections of the society: throughout the day and preferred to stay
(1) those who might experience the new-onset isolated. His sleep, appetite and self- care
mental disorder as a consequence of being were normal during this period. After 2
29
diagnosed with weeks, patient’s sleep gradually

chiatry

reduced to 1.5–2 hours/day. Despite not sleeping, the patient would appear active
throughout the day. He also became more talkative and would constantly talk about his
mother. He would also appear authoritative to his family members and order them to
follow his instructions. He would be constantly engaged in household chores, even when
they had already been done by his wife. His predominant mood was irritable, and he

30
would have anger outbursts. He would try to go out of the house despite the lockdown,
saying that he was going to the Prime Minister’s office to instruct him on how to control
the pandemic. If family members stopped him, he would try to run out of the house and
become verbally aggressive. Because of unmanageability, he was brought by his family
to the outpatient services of our psychiatry department. History revealed that the patient’s
father suffered from mental illness suggestive of bipolar disorder, which was never
treated, and he had expired at the age of 64 years. However, the patient had not suffered
from any mental illness in the past. General physical examination and systemic
examination revealed no abnormality. His blood pressure (BP) was 110/70 mm Hg, pulse
rate (PR) was 81/min, respiratory rate (RR) was 14/min and body mass index (BMI) was
23.9. On mental status examination (MSE), he was mildly unkempt, authoritative towards
the interviewer, eye- to- eye contact (ETEC) was made but not sustained and rapport
could not be established. His speech was spontaneous with increased rate, tone and
volume. His affect was irritable, and he reported ideas of grandiosity. His attention and
concentration were aroused but ill-sustained, and his judgement was impaired. Based on
his history and MSE findings, a diagnosis of first-episode mania was entertained as per
ICD-10 (International Classification of Disorders). Young Mania Rating Scale (YMRS)
was applied, which yielded a score of 27. The patient was started on a daily dose of 15
mg olanzapine and 1 mg clonazepam optimised over 1 week. He showed clinical
response over the next 2 weeks on the above-mentioned medications. His sleep increased
to 6–7 hours/day; there was a reduction in irritability, anger outburst and increased
talkativeness, but the ideas of grandiosity and increased psychomotor activity persisted.
The YMRS score was reduced to 16 after 2 weeks of pharmacological management.

CASE 2
The patient is a 14-year - old girl, a student of class 9, belonging to a Hindu nuclear
family of low socioeconomic status. She had an easy temperament, no medical
comorbidity and no history or family history of mental illness. The patient was studying
in a private school, and she was considered as a meritorious student by her teachers and
family members and participated in extracurricular activities. Since March 2020, with the
imposition of nationwide lockdown, her school has been closed, and all academic
activities were conducted through online learning. Although the patient’s father
possessed a smartphone with an internet connection, she did not have access to a
computer or laptop. The patient was required to attend online classes regularly as
organised by her school authorities. She also received online assignments through email,
which had to be completed and mailed back within the stipulated period. The patient
would try to attend the online classes on her father’s phone, but she was unable to
complete her assignments. Both her parents were not educated beyond middle school and
could not assist her in her academics. The patient would remain constantly preoccupied
with her inability to follow the curriculum. She would express apprehensions regarding
her schoolwork. She would frequently report to her family members that she would lag
behind her other peers and would not be able to clear her exams. She started reporting
intermittent anxiety symptoms, crying spells and sleep disturbance for the next 2.5
months. Then, 10 days prior to the assessment, the patient’s mother noticed that she
would not sleep at night and appear fearful. She would not interact with family members
and have unprovoked anger outbursts. Occasionally, she was seen muttering to herself.
Her appetite and self- care also deteriorated significantly following which she was
brought to the OPD. General physical examination revealed mild pallor. Her BP was
90/70 mm Hg, PR was 98/min, RR was 16/min and BMI was 18.4. Blood investigations
revealed no abnormality. On MSE, she was unkempt, appearing fearful and muttering to
31
self intermittently. ETEC was not made or sustained and psychomotor activity was
increased. Her attituded towards the interview was guarded. Her affect was irritable and
speech was irrelevant with increased rate, tone and volume, and she was not cooperative
for further interviews and would become verbally aggressive. Based on the history and
clinical evaluation, a diagnosis of acute transient psychotic disorder was made as per
ICD-10, and the patient was started on a daily dose of risperidone 2 mg and lorazepam 1
mg over which her family members reported mild improvement in fearfulness, muttering
to self and anger outburst over next 1 week. There was also improvement in her sleep and
self- care.

CASE 3
The patient is a 9- year- old girl, dropped out of school, belonging to lower
socioeconomic status, with no significant medical or psychiatric history in the family,
was brought to OPD during the lockdown. The child’s functioning before the illness was
adequate with good academic performance. The family members gave a history of
sudden onset spells of unresponsiveness that were usually preceded by a stressful event
and were often associated with concomitant symptoms of headache, light- headedness
and palpitations. These spells had been occurring intermittently over the last year, during
which period, her family had sought consultation from a neurologist. She was diagnosed
with psychogenic non- epileptic seizures; her EEG revealed no abnormality, and she was
not on any pharmacological treatment.
During the lockdown, the garment factory in which her father worked was shut down,
because of which he lost his job. This led to a financial crisis in the family as her father
was the chief earning member, and they faced difficulties in paying their rent and meeting
the expenditure for daily essentials. The patient was exposed to discussions among
parents over money matters. She would be constantly preoccupied with the financial

issues of the family. She became anxious and upset when she came to know that her
mother was contemplating working as a domestic help to meet the financial needs of the
family. She would repeatedly ask her family members to allow her to share the workload
at home. Even though she was a student of primary school, she tried to tutor students
younger to her in her neighbourhood, as an attempt to earn money for the family. She
would remain anxious most of the time and have a sudden outburst of crying. This would
often be followed by an unresponsive spell. Previously, these episodes would occur one
to two times in a month, whereas now they started to occur three to four times/day. The
family members initially sought help from a local faith healer, but after perceiving no
improvement, she was brought to the psychiatry OPD. Her general and systemic physical
examination did not reveal any abnormality. Her BP was 100/60 mm Hg, PR was 88/min,
RR was 16/min and BMI was 17.9. Blood investigations revealed no abnormality. On
MSE, she was well kempt, ETEC was made but not sustained and rapport could be
established with great difficulty. Her affect was constricted. She reported preoccupations
with the financial problems of the family and ideas of guilt about not being able to
contribute to the family. Based on the history and clinical assessment, a diagnosis of
conversion disorder with seizures was made as per ICD-10. A differential diagnosis of
syndromal depressive or anxiety disorder in addition to her pre-existing conversion symp
toms was also entertained; however, on evaluation, she did not fulfil the criteria for a
separate comorbid diagnosis. The patient was referred to a clinical psychologist for
psychotherapeutic intervention. Psychosocial stressors were explored in detail. On
Children’s Apperception Test, the major themes obtained were of uncertainty, loss of
32
finances and lack of food, failure and poor problem solving ability. The intervention
focused on teaching emotional self- regulation skills and breathing exercises for
relaxation. The child was asked to keep a record of the frequency of episodes and skill
practice. After the initial three sessions, the next sessions were conducted telephonically
to enable the family to save travel fare. By the fifth week of treatment, the patient’s
episodes of headache and unresponsive spells had reduced to one to two times per week.

DISCUSSION
From being a global public health emergency, the COVID-19 pandemic has evolved into
a socioeconomic and humanitarian crises across the globe. The fear and General
Psychiatry
anxiety surrounding COVID-19 and the nationwide lockdowns have both led to a
psychosocial crisis in the lives of people, leading to increased psychological morbidity.4
The effect of these psychosocial issues is more pronounced in at-risk and vulnerable
populations such as those already suffering from mental illness, children and
adolescents.5 The first case highlighted the role of bereavement and the sudden and
unexpected loss of a family member as a precipitating factor for a manic episode in a
person with no history of mental illness. The patient’s father however suffered from
bipolar disorder, which possibly conferred a genetic vulnerability in the patient. The
inability to give company to his mother in her last moments was a significant source of
stress for this patient. The interaction of pre- existing vulnerability and environmental
stress in the form of his mother’s death played a significant role in the onset of mental
illness in this patient. The COVID-19 pandemic has also disrupted the usual experiences
of grief due to the measures of isolation and quarantine.6 The absence of participation in
ritual, such as funeral, has been shown to cause disenfranchised grief and lacking social
or cultural recognition impairs support resources that assist the grieving process.7 This is
expected to lead to complicated bereavement process and prolonged grief leading to
short-term and long- term mental health conse- quences, as is evident in this case.
The socioeconomic disparities in low- income to middle- income countries such as
India lead to more severe psychosocial adversities for the marginalised and disadvantaged
sections of society, such as industrial workers, daily wage and migrant labourers.8 In both
the second and third cases, the mental health issues emerged and exacerbated due to the
financial crisis and lack of access to digital resources in the family. In the second case,
lack of access to a computer led to academic stress and anxiety that paved the way for
more severe symptoms of psychosis. In the third case, a sudden financial crisis in the
family due to parent’s unemployment in lockdown led to an exacerbation of dissociative
episodes in the patient. Children and adolescents form a vulnerable group for mental
health issues. While the second case manifested a typical picture of adolescent-onset
psychosis, the third case being of classical paediatric age group, manifested as
conversion disorder. Stressors, such as home confinement, lack of social contact with
peers and teachers and family financial losses during lockdowns, can potentially trigger
adverse mental consequences in children.9 Closure of schools and sudden shift in the
mode of education to online classes has also become a major source of academic stress,
which can lead to depression, anxiety, sleep problems as well as suicidal tendencies.10
Although a case series cannot definitely establish a causal relationship between the
psychological stressor and onset/exacerbation of mental illness, these cases highlight the
need for increased focus on psychosocial issues of different strata of the society and
policy implementation by government agencies and other stakeholders to handle the
psychosocial crisis ignited by this global General Psychiatry
pandemic. This also reiterates the need for addressing the structural barriers to
33

Mahapatra A, Sharma P. General Psychiatry 2021;34:e100343. doi:10.1136/gpsych-2020-100343


accessibility of mental health treatments. Scaling up of infrastructure to deliver
telepsychiatry services, especially in low- income to middle- income settings, can ensure
continuity of care in unprecedented scenarios such as the current lockdowns.11 Also,
many psychological interventions can be as effectively delivered through digital media as
face- to- face psychotherapy sessions.12 Lastly, the psychological needs of the frontline
health workers also need to be addressed.13 This would go a long way in ensuring early
assessment and intervention and mitigating the adverse psychological consequences of
these stressors and prevent short- term and long- term mental health morbidity in the
general population.
Correction notice This article has been corrected since it first published. The provenance and peer review
statement has been included.
Contributors Cases were jointly assessed by AM and PS. Therapeutic management was done by PS. AM wrote
the initial manuscript with further editing and proofreading of the draft by PS.
Funding The authors have not declared a specific grant for this research from any funding agency in the public,
commercial or not- for-profit sectors.
Competing interests None declared.
Patient consent for publication Parental/guardian consent obtained.
Provenance and peer review Not commissioned; externally peer reviewed.
Open access This is an open access article distributed in accordance with the Creative Commons Attribution
Non Commercial (CC BY- NC 4.0) license, which permits others to distribute, remix, adapt, build upon this work
non-commercially , and license their derivative works on different terms, provided the original work is properly
cited, appropriate credit is given, any changes made indicated, and the use is non- commercial. See:
http://creativecommons . org/licenses / by-nc / 4.0 /.

ORCID iD
Prerna Sharma http://orcid . org/0000 - 0002-9025 - 5431
REFERENCES
1 Torales J, O'Higgins M, Castaldelli- Maia JM, et al. The outbreak of COVID-19 coronavirus and its impact on global
mental health. Int J Soc Psychiatry 2020;66:317–20.
2 Inchausti F, MacBeth A, Hasson- Ohayon I, et al. Psychological
Intervention and COVID-19: What We Know So Far and What We Can Do [published online ahead of print, 2020
May 27]. J Contemp Psychother 2020:1–8.
3 Wang Q, Xu R, Volkow ND. Increased risk of COVID ‐19 infection and mortality in people with mental disorders:
analysis from electronic health records in the United States. World Psychiatry 2020;20.
4 Li S, Zhang Y. Mental healthcare for psychiatric inpatients during the COVID-19 epidemic. Gen Psychiatr
2020;33:e100216.
5 Dubey S, Biswas P, Ghosh R, et al. Psychosocial impact of COVID-19 [published online ahead of print, 2020 May
27]. Diabetes Metab Syndr 2020;14:779–88.
6 Wallace CL, Wladkowski SP, Gibson A, et al. Grief during the COVID-19 pandemic: considerations for palliative
care providers. J Pain Symptom Manage 2020;60:e70–6.
7 Zhai Y, Du X. Loss and grief amidst COVID-19: a path to adaptation and resilience. Brain Behav Immun
2020;87:80–1.
8 Golechha M. COVID-19, India, lockdown and psychosocial challenges: What next? [published online ahead of print,
2020 Jun 13]. Int J Soc Psychiatry 2020:20764020935922.
9 Wang G, Zhang Y, Zhao J, et al. Mitigate the effects of home confinement on children during the COVID-19
outbreak. Lancet 2020;395:945–7.
10 Fegert JM, Vitiello B, Plener PL, et al. Challenges and burden of the coronavirus 2019 (COVID-19) pandemic for
child and adolescent mental health: a narrative review to highlight clinical and research needs in the acute phase
and the long return to normality. Child Adolesc Psychiatry Ment Health 2020;14:20.
11 Kannarkat JT, Smith NN, McLeod- Bryant SA. Mobilization of
Telepsychiatry in Response to COVID-19- Moving Toward 21st Century Access to Care. Adm Policy Ment Health
2020;47:489–91.
12 Irvine A, Drew P, Bower P, et al. Are there interactional differences between telephone and face- to- face
psychological therapy? A systematic review of comparative studies. J Affect Disord 2020;265:120–31.
13 Cheng W, Zhang F, Liu Z, et al. A psychological health support scheme for medical teams in COVID-19 outbreak
and its effectiveness. Gen Psychiatr 2020;33:e100288.

34
Dr. Ananya Mahapatra completed her medical graduation (M.B.B.S)
from Sikkim Manipal Institute of Medical Sciences, India in 2011. She
completed her post- graduation (M.D Psychiatry) from All India
Institute of Medical Sciences, New Delhi, India in 2014. She has been
employed as Faculty, Psychiatry in Dr. Ram Manohar Lohia Hospital,
New Delhi since 2018. She currently holds the position of assistant
professor (Psychiatry) in the Centre of Excellence in Mental Health,
Dr, Ram Manohar Lohia Hospital, New Delhi. She is a life member of
Indian Psychiatry Society (IPS), Indian Association of Social
Psychiatry (IASP) and Indian Association of Child and Adolescent
Mental Health (IACAM). She is also a recipient of Samuel Gershon
Young Investigator Award by the International Society of Bipolar Disorder (ISBD) and
Michael Hong Travel
Award by Asian Society of Child and Adolescent Psychiatry and Allied
Professions (ASCAPAP) for her research activities. Her main
research interests include social psychiatry, child and adolescent
psychiatry, and severe mental illness.

35

Anda mungkin juga menyukai