Anda di halaman 1dari 28

PRINSIP KOMUNIKASI DALAM PERAWATAN PALIATIF

Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata


Kuliah Keperawatan Menjelang Ajal Dan Paliatif

Dosen Pengampu
Aan Somana, S.Kp.,M.Pd.,MNS

Disusun Oleh
Ina Mulyani Yanuar : 4002210028
Ike Sukmawati : 4002210029
Irawati : 4002210030

JURUSAN S-I EKSTENSI KEPERAWATAN


PRORAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA PUTERA BANJAR
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu Wata'ala atas rahmat dan karunianya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun judul dari
makalah ini adalah “Prinsip Komunikasi Perawatan Paliatif” . Makalah ini di
susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah keperawatan menjelang ajal
dan paliatif.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dosen mata kuliah dan kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam
pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak menutup
kemungkinan apabila masih terdapat kesalahan dan kekurangan. Dengan lapang
dada penulis menerima saran dan kritiknya demi untuk menambah wawasan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi rekan-
rekan semua pada umumnya.

Banjar, 20 Juni
2022
Penyusun

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

Hal
Kata Pengantar ………………………………………………………. : i
Daftar isi …………………………………………………………….. : ii
BAB I Pendahuluan ………………………………………………….. : 1
1.1. Latar Belakang ………………………………………………….. : 1
1.2. Tujuan Penelitian ………………………………………………... : 2
BAB II Tinjauan Teori ………………………………………………. : 3
BAB III Implementasi ……………………………………………….. : 13
BAB IV Pembahasan ………………………………………………… : 21
BAB V Kesimpulan ………………………………………………….. : 23
Daftar Pustaka ……………………………………………………….. : 24

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Palliative Care adalah suatu perawatan kesehatan terpadu yang
menyeluruh dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi. Tujuannya
adalah untuk mengurangi penderitaan pasien, memperpanjang umurnya,
meningkatkan kualitas hidupnya, dan juga memberikan support kepada
keluarganya. Dari definisi tersebut didapatkan bahwasannya salah satu tujuan
dasar dari palliative care adalah mengurangi penderitaan pasien yang
termasuk didalamnya adalah menghilangkan nyeri yang diderita oleh pasien
tersebut.
Seiring dengan berkembangnya bidang ilmu ini, ruang lingkup dari
palliative care yang dulunya hanya terfokus pada memberikan kenyamanan
bagi penderita, sekarang telah meluas menjadi perawatan holistik yang
mencakup aspek fisik, sosial, psikologis, dan spiritual. Perubahan perspektif
ini dikarenakan semakin hari semakin banyak pasien yang menderita penyakit
kronis sehingga tuntutan untuk suatu perkembangan adalah mutlak adanya.
Banyak pakar menilai bahwa komunikasi adalah suatu kebutuhan yang
sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat. Komunikasi
dan masyarakat adalah dua kata kembar yang tidak dapat dipisahkan satu
sama lainnya. Sebab tanpa komunikasi tidak mungkin masyarakat terbentuk,
sebaliknya tanpa masyarakat maka manusia tidak mungkin dapat
mengembangkan komunikasi. (Riswandi, 2009) Komunikasi kesehatan
menjadi semakin populer dalam upaya promosi kesehatan selama 20 tahun
terakhir. Contoh, komunikasi kesehatan memegang peranan utama dalam
pemenuhan 219 dari 300 tujuan khusus. Apabila digunakan secara tepat
komunikasi kesehatan dapat mempengaruhi sikap, persepsi, kesadaran,
pengetahuan, dan norma sosial, yang kesemuanya berperan sebagai prekursor
pada perubahan perilaku. Komunikasi kesehatan sangat efektif dalam

3
mempengaruhi perilaku karena didasarkan pada psikologi sosial, pendidikan
kesehatan, komunikasi massa, dan pemasaran untuk mengembangkan dan
menyampaikan promosi kesehatan dan pesan pencegahan. (Riswandi, 2009).
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar,
bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Indrawati,
2003 .48). Komunikasi terapeutik mengarah pada bentuk komunikasi
interpersonal. Suatu bentuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang
didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan bio-psiko-
sosial-kultural dan spiritual yang didasarkan pada pencapaian kebutuhan
dasar manusia. (Suparyanto, 2010). Komunikasi perawat dengan pasien
khususnya sangatlah penting. Perawat harus bisa menerapkan komunikasi
terapeutik. Komunikasi terapeutik diterapkan tidak hanya pada pasien sadar
saja, namun pada pasien tidak sadar juga harus diterapkan komunikasi
terapeutik tersebut. Pasien tak sadar atau yang sering disebut “ koma”
merupakan pasien yang fungsi sensorik dan motorik pasien mengalami
penurunan sehingga seringkali stimulus dari luar tidak dapat diterima klien
dan klien tidak dapat merespons kembali stimulus tersebut. Namun meskipun
pasien tersebut tak sadar, organ pendengaran pasien merupakan organ
terakhir yang mengalami penurunan penerimaan rangsangan.

1.2. Tujuan Penelitian


Tujuan dari makalah ini adalah:
a. Untuk mengetahui apa itu palliative care
b. Untuk mengetahui tentang teori komunikasi perawatan palliative care dan
aplikasinya terhadap pasien paliatif di lapangan
BAB II
TINJAUAN TEORI
PERAWATAN PALIATIF

2.1 Pengertian

4
Perawatan paliatif adalah perawatan yang dilakukan secara aktif pada
penderita yang sedang sekarat atau dalam fase terminal akibat penyakit yang
dideritanya. Pasien sudah tidak memiliki respon terhadap terapi kuratif yang
disebabkan oleh keganasan ginekologis. Perawatan ini mencakup penderita
serta melibatkan keluarganya (Aziz, Witjaksono, & Rasjidi, 2008).
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan
kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi
penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa
sakit melalui identifikasi dini, pengkajian yang sempurna, dan
penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik, psikologis, social atau
spiritual (World Health Organization (WHO) 2016).
Perawatan paliatif merupakan perawatan yang berfokus pada pasien dan
keluarga dalam mengoptimalkan kualitas hidup dengan mengantisipasi,
mencegah, dan menghilangkan penderitaan. Perawatan paliatif mencangkup
seluruh rangkaian penyakit termasuk fisik, intelektual, emosional, sosial, dan
kebutuhan spiritual serta untuk memfasilitasi otonomi pasien, mengakses
informasi, dan pilihan (National Consensus Project for Quality Palliative Care,
2013). Pada perawatan paliatif ini, kematian tidak dianggap sebagai sesuatu
yang harus di hindari tetapi kematian merupakan suatu hal yang harus
dihadapi sebagai bagian dari siklus kehidupan normal setiap yang bernyawa
(Nurwijaya dkk, 2010).
Permasalahan yang sering muncul ataupun terjadi pada pasien dengan
perawatan paliatif meliputi masalah psikologi, masalah hubungan sosial,
konsep diri, masalah dukungan keluarga serta masalah pada aspek spiritual
(Campbell, 2013). Perawatan paliatif ini bertujuan untuk membantu pasien
yang sudah mendekati ajalnya, agar pasien aktif dan dapat bertahan hidup
selama mungkin. Perawatan paliatif ini meliputi mengurangi rasa sakit dan
gejala lainnya, membuat pasien menganggap kematian sebagai proses yang
normal, mengintegrasikan aspek-aspek spikokologis dan spritual (Hartati &
Suheimi, 2010). Selain itu perawatan paliatif juga bertujuan agar pasien
terminal tetap dalam keadaan nyaman dan dapat meninggal dunia dengan baik
dan tenang (Bertens, 2009).

5
Diagnosa ditegakkan sampai akhir hayat. Artinya tidak memperdulikan
pada stadium dini atau lanjut, masih bisa disembuhkan atau tidak, mutlak
Palliative Care harus diberikan kepada penderita itu. Palliative Care tidak
berhenti setelah penderita meninggal, tetapi masih diteruskan dengan
memberikan dukungan kepada anggota keluarga yang berduka. Palliative Care
tidak hanya sebatas aspek fisik dari penderita itu yang ditangani, tetapi juga
aspek lain seperti psikologis, sosial dan spiritual.
Titik pusat dari perawatan adalah pasien sebagai manusia seutuhnya,
bukan hanya penyakit yang dideritanya. Dan perhatian ini tidak dibatasi pada
pasien secara individu, namun diperluas sampai mencakup keluarganya.
Untuk itu metode pendekatan yang terbaik adalah melalui pendekatan
terintegrasi dengan mengikutsertakan beberapa profesi terkait. Dengan
demikian, pelayanan pada pasien diberikan secara paripurna, hingga meliputi
segi fisik, mental, social, dan spiritual. Maka timbullah pelayanan palliative
care atau perawatan paliatif yang mencakup pelayanan terintegrasi antara
dokter, perawat, terapis, petugas social-medis, psikolog, rohaniwan, relawan,
dan profesi lain yang diperlukan.
Lebih lanjut, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan lagi bahwa
pelayanan paliatif berpijak pada pola dasar berikut ini :
a. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses
yang normal.
b. Tidak mempercepat atau menunda kematian.
c. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang menganggu.
d. Menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual.
e. Berusaha agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya.
f. Berusaha membantu mengatasi suasana dukacita pada keluarga.
Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES,
2013)dan Aziz, Witjaksono, dan Rasjidi (2008) priinsip pelayanan perawatan
paliatif yaitu menghilangkan nyeri dan mencegah timbulnya gejala serta
keluhan fisik lainnya, penanggulangan nyeri, menghargai kehidupan dan
menganggap kematian sebagai proses normal , tidak bertujuan mempercepat
atau menghambat kematian, memberikan dukungan psikologis, sosial dan

6
spiritual, memberikan dukungan agar pasien dapat hidup seaktif mungkin,
memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa dukacita, serta
menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan
keluarganya.
Elemen dalam perawatan paliatif menurut National Consensus Project
dalam Campbell (2013), meliputi :
a. Populasi pasien. Dimana dalam populasi pasien ini mencangkup pasien
dengan semua usia, penyakit kronis atau penyakit yang mengancam
kehidupan.
b. Perawatan yang berfokus pada pasien dan keluarga. Dimana pasien dan
keluarga merupakan bagian dari perawatan paliatif itu sendiri.
c. Waktu perawatan paliatif. Waktu dalam pemberian perawatan paliatif
berlangsung mulai sejak terdiagnosanya penyakit dan berlanjut hingga
sembuh atau meninggal sampai periode duka cita.
d. Perawatan komprehensif. Dimana perawatan ini bersifat multidimensi
yang bertujuan untuk menanggulangi gejala penderitaan yang termasuk
dalam aspek fisik, psikologis, sosial maupun keagamaan.
e. Tim interdisiplin. Tim ini termasuk profesional dari kedokteran, perawat,
farmasi, pekerja sosial, sukarelawan, koordinator pengurusan jenazah,
pemuka agama, psikolog, asisten perawat, ahli diet, sukarelawan terlatih.
f. Perhatian terhadap berkurangnya penderitaan : Tujuan perawatan paliatif
adalah mencegah dan mengurangi gejala penderitaan yang disebabkan
oleh penyakit maupun pengobatan.
g. Kemampuan berkomunikasi : Komunikasi efektif diperlukan dalam
memberikan informasi, mendengarkan aktif, menentukan tujuan,
membantu membuat keputusan medis dan komunikasi efektif terhadap
individu yang membantu pasien dan keluarga.
h. Kemampuan merawat pasien yang meninggal dan berduka
i. Perawatan yang berkesinambungan. Dimana seluru sistem pelayanan
kesehatan yang ada dapat menjamin koordinasi, komunikasi, serta
kelanjutan perawatan paliatif untuk mencegah krisis dan rujukan yang
tidak diperukan.

7
j. Akses yang tepat. Dalam pemberian perawatan paliatif dimana timharus
bekerja pada akses yang tepat bagi seluruh cakupanusia, populasi, kategori
diagnosis, komunitas, tanpa memandang ras, etnik, jenis kelamin, serta
kemampuan instrumental pasien.
k. Hambatan pengaturan. Perawatan paliatif seharusnya mencakup pembuat
kebijakan, pelaksanaan undang-undang, dan pengaturan yang dapat
mewujudkan lingkungan klinis yang optimal.
l. Peningkatan kualitas. Dimana dalam peningkatan kualitas
membutuhkan evaluasi teratur dan sistemik dalam kebutuhan pasien.

2.2 Tujuan dan Sasaran kebijkan


a. Tujuan kebijakan Tujuan umum:
Sebagai payung hukum dan arahan bagi perawatan paliatif di Indonesia
b. Tujuan khusus:
1. Terlaksananya perawatan paliatif yang bermutu sesuai standar yang
berlaku di seluruh Indonesia
2. Tersusunnya pedoman-pedoman pelaksanaan/juklak perawatan
paliatif.
3. Tersedianya tenaga medis dan non medis yang terlatih.
4. Tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan.
c. Sasaran kebijakan pelayanan paliatif
1. Seluruh pasien (dewasa dan anak) dan anggota keluarga, lingkungan
yang memerlukan perawatan paliatif di mana pun pasien berada di
seluruh Indonesia.
2. Pelaksana perawatan paliatif : dokter, perawat, tenaga kesehatan
lainnya dan tenaga terkait lainnya.
3. Institusi-institusi terkait, misalnya:
a. Dinas kesehatan propinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota
b. Rumah Sakit pemerintah dan swasta
c. Puskesmas
d. Rumah perawatan/hospis
e. Fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta lain.

8
2.3 Lingkup Kegiatan Paliatif
a. Jenis kegiatan perawatan paliatif meliputi :
1. Penatalaksanaan nyeri
2. Penatalaksanaan keluhan fisik lain.
3. Asuhan keperawatan
4. Dukungan psikologis
5. Dukungan social
6. Dukungan kultural dan spiritual
7. Dukungan persiapan dan selama masa dukacita (bereavement).
b. Perawatan paliatif dilakukan melalui rawat inap, rawat jalan, dan
kunjungan/rawat rumah.

2.4 Aspek Medikolegal Dalam Perawatan Paliatif


a. Persetujuan tindakan medis/informed consent untuk pasien paliatif.
1) Pasien harus memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan
paliatif melalui komunikasi yang intensif dan berkesinambungan
antara tim perawatan paliatif dengan pasien dan keluarganya.
2) Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran
pada dasarnya dilakukan sebagaimana telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
3) Meskipun pada umumnya hanya tindakan kedokteran (medis) yang
membutuhkan informed consent, tetapi pada perawatan paliatif
sebaiknya setiap tindakan yang berisiko dilakukan informed consent.
4) Baik penerima informasi maupun pemberi persetujuan diutamakan
pasien sendiri apabila ia masih kompeten, dengan saksi anggota
keluarga terdekatnya. Waktu yang cukup agar diberikan kepada pasien
untuk berkomunikasi dengan keluarga terdekatnya. Dalam hal pasien
telah tidak kompeten, maka keluarga terdekatnya melakukannya atas
nama pasien.
5) Tim perawatan paliatif sebaiknya mengusahakan untuk memperoleh
pesan atau pernyataan pasien pada saat ia sedang kompeten tentang

9
apa yang harus atau boleh atau tidak boleh dilakukan terhadapnya
apabila kompetensinya kemudian menurun (advanced directive). Pesan
dapat memuat secara eksplisit tindakan apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan, atau dapat pula hanya menunjuk seseorang yang
nantinya akan mewakilinya dalam membuat keputusan pada saat ia
tidak kompeten. Pernyataan tersebut dibuat tertulis dan akan dijadikan
panduan utama bagi tim perawatan paliatif.
6) Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim perawatan
paliatif dapat melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan, dan
informasi dapat diberikan pada kesempatan pertama.
b. Resusitasi/Tidak resusitasi pada pasien paliatif
1) Keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan resusitasi dapat
dibuat oleh pasien yang kompeten atau oleh Tim Perawatan paliatif.
2) Informasi tentang hal ini sebaiknya telah diinformasikan pada saat
pasien memasuki atau memulai perawatan paliatif.
3) Pasien yang kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki
resusitasi, sepanjang informasi adekuat yang dibutuhkannya untuk
membuat keputusan telah dipahaminya. Keputusan tersebut dapat
diberikan dalam bentuk pesan (advanced directive) atau dalam
informed consent menjelang ia kehilangan kompetensinya.
4) Keluarga terdekatnya pada dasarnya tidak boleh membuat keputusan
tidak resusitasi, kecuali telah dipesankan dalam advanced directive
tertulis. Namun demikian, dalam keadaan tertentu dan atas
pertimbangan tertentu yang layak dan patut, permintaan tertulis oleh
seluruh anggota keluarga terdekat dapat dimintakan penetapan
pengadilan untuk pengesahannya.
5) Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak
melakukan resusitasi sesuai dengan pedoman klinis di bidang ini, yaitu
apabila pasien berada dalam tahap terminal dan tindakan resusitasi
diketahui tidak akan menyembuhkan atau memperbaiki kualitas
hidupnya berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut.
c. Perawatan pasien paliatif di ICU

1
1) Pada dasarnya perawatan paliatif pasien di ICU mengikuti ketentuan-
ketentuan umum yang berlaku sebagaimana diuraikan di atas.
2) Dalam menghadapi tahap terminal, Tim perawatan paliatif harus
mengikuti pedoman penentuan kematian batang otak dan penghentian
peralatan life-supporting.
d. Masalah medikolegal lainnya pada perawatan pasien paliatif
1) Tim Perawatan Paliatif bekerja berdasarkan kewenangan yang
diberikan oleh Pimpinan Rumah Sakit, termasuk pada saat melakukan
perawatan di rumah pasien.
2) Pada dasarnya tindakan yang bersifat kedokteran harus dikerjakan oleh
tenaga medis, tetapi dengan pertimbangan yang memperhatikan
keselamatan pasien tindakan-tindakan tertentu dapat didelegasikan
kepada tenaga kesehatan non medis yang terlatih. Komunikasi antara
pelaksana dengan pembuat kebijakan harus dipelihara.

2.5 Sumber Daya Manusia


a. Pelaksana perawatan paliatif adalah tenaga kesehatan, pekerja sosial,
rohaniawan, keluarga, relawan.
b. Kriteria pelaksana perawatan paliatif adalah telah mengikuti
pendidikan/pelatihan perawatan paliatif dan telah mendapat sertifikat.
c. Pelatihan
1) Modul pelatihan : Penyusunan modul pelatihan dilakukan dengan
kerjasama antara para pakar perawatan paliatif dengan Departemen
Kesehatan (Badan Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia dan Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik). Modul-
modul tersebut terdiri dari modul untuk dokter, modul untuk perawat,
modul untuk tenaga kesehatan lainnya, modul untuk tenaga non medis.
2) Pelatih : Pakar perawatan paliatif dari RS Pendidikan dan Fakultas
Kedokteran.
3) Sertifikasi : dari Departemen Kesehatan dan Pusat Pelatihan dan
Pendidikan Badan PPSDM. Pada tahap pertama dilakukan sertifikasi
pemutihan untuk pelaksana perawatan paliatif di 5 (lima) propinsi

1
yaitu : Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar. Pada tahap
selanjutnya sertifikasi diberikan setelah mengikuti pelatihan.
d. Pendidikan
Pendidikan formal spesialis paliatif (ilmu kedokteran paliatif, ilmu
keperawatan paliatif).

2.6 Tempat dan Organisasi Perawatan Paliatif


a. Tempat untuk melakukan perawatan paliatif adalah:
1) Rumah sakit : Untuk pasien yang harus mendapatkan perawatan yang
memerlukan pengawasan ketat, tindakan khusus atau peralatan khusus.
2) Puskesmas : Untuk pasien yang memerlukan pelayanan rawat jalan.
3) Rumah singgah/panti (hospis) : Untuk pasien yang tidak memerlukan
pengawasan ketat, tindakan khusus atau peralatan khusus, tetapi belum
dapat dirawat di rumah karena masih memerlukan pengawasan tenaga
kesehatan.
4) Rumah pasien : Untuk pasien yang tidak memerlukan pengawasan
ketat, tindakan khusus atau peralatan khusus atau ketrampilan
perawatan yang tidak mungkin dilakukan oleh keluarga.
b. Organisasi perawatan paliatif, menurut tempat pelayanan/sarana
kesehatannya adalah :
1) Kelompok Perawatan Paliatif dibentuk di tingkat puskesmas.
2) Unit Perawatan Paliatif dibentuk di rumah sakit kelas D, kelas C dan
kelas B non pendidikan.
3) Instalasi Perawatan Paliatif dibentuk di Rumah sakit kelas B
Pendidikan dan kelas A.
4) Tata kerja organisasi perawatan paliatif bersifat koordinatif dan
melibatkan semua unsur terkait.

2.7 Pengembangan dan peningkatan mutu perawatan paliatif


Untuk pengembangan dan peningkatan mutu perawatan paliatif
diperlukan:
a. Pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan kesehatan dan non kesehatan.

1
b. Pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan/Continuing Professional
Development untuk perawatan paliatif (SDM) untuk jumlah, jenis dan
kualitas pelayanan.
c. Menjalankan program keselamatan pasien/ patient safety.

2.8 Definisi Komunikasi


Definisi Komunikasi Istilah ‘ komunikasi’ (communication) berasal dari
Bahasa Latin ‘ communicatus’ yang artinya berbagi atau menjadi milik
bersama. Dengan demikian komunikasi menunjuk pada suatu upaya yang
bertujuan berbagi untuk mencapai kebersamaan. Secara harfiah, komunikasi
berasal dari Bahasa Latin: “ Communis” yang berarti keadaan yang biasa,
membagi. Dengan kata lain, komunikasi adalah suatu proses di dalam upaya
membangun saling pengertian. Jadi kominukasi dapat diartikan suatu proses
pertukaran informasi di antara individu melalui sistem lambang-lambang,
tanda-tanda atau tingkah laku. (Riswandi, 2009).
Proses komunikasi merupakan aktivitas yang mendasar bagi manusia
sebagai makhluk sosial. Setiap proses komunikasi diawali dengan adanya
stimulus yang masuk pada diri individu yang ditangkap melalui panca indera.
Stimulus diolah di otak dengan pengetahuan, pengalaman, selera, dan iman
yang dimiliki individu. (Wiryanto, 2004) Sosiologi menjelaskan komunikasi
sebagai sebuah proses memaknai yang dilakukan oleh seseorang terhadap
informasi, sikap, dan perilaku orang lain yang berbentuk pengetahuan,
pembicaraan, gerak-gerik, atau sikap, perilaku dan perasaan-perasaan,
sehingga seseorang membuat reaksi-reaksi terhadap informasi, sikap dan
perilaku tersebut berdasarkan pada pengalaman yang pernah dialami.
(Mungin, 2008).
Komunikasi merupakan suatu proses karena melalui komunikasi seseorang
menyampaikan dan mendapatkan respon. Komunikasi dalam hal ini
mempunyai dua tujuan, yaitu : mempengaruhi orang lain dan untuk
mendapatkan informasi. Akan tetapi, komunikasi dapat digambarkan sebagai
komunikasi yang memiliki kegunaan atau berguna (berbagi informasi,
pemikiran, perasaan) dan komunikasi yang tidak memiliki kegunaan atau tidak

1
berguna (menghambat/ blok penyampaian informasi atau perasaan).
Keterampilan berkomunikasi merupakan keterampilan yang dimiliki oleh
seseorang untuk membangun suatu hubungan, baik itu hubungan yang
kompleks maupun hubungan yang sederhana melalui sapaan atau hanya
sekedar senyuman. Pesan verbal dan non verbal yang dimiliki oleh seseorang
menggambarkan secara utuh dirinya, perasaannya dan apa yang ia sukai dan
tidak sukai. Melalui komunikasi seorang individu dapat bertahan hidup,
membangun hubungan dan merasakan kebahagiaan. (Pendi, 2009).

1
BAB III
IMPLEMENTASI KOMUNIKASI
DALAM PERAWATAN PALIATIF

3.1. Komunikasi Pada Pasien dengan Penyakit Koronis


Penyakit kronik adalah suatu penyakit yang perjalanan penyakit
berlangsung lama sampai bertahun-tahun, bertambah berat, menetap dan
sering kambuh. (Purwaningsih dan Karbina, 2009).
Ketidakmampuan/ketidakberdayaan merupakan persepsi individu bahwa
segala tindakannya tidak akan mendapatkan hasil atau suatu keadaan dimana
individu kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatAn yang
baru dirasakan. (Purwaningsih dan Karbina, 2009).
Berdasarkan pengertian diatas kelompok menyimpulkan bahwa penyakit
kronik yang dialami oleh seorang pasien dengan jangka waktu yang lama
dapat menyebabkan seorang klien mengalami ketidakmampuan contohnya
saja kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru
dirasakan. Contoh: penyakit diabetes militus, penyakit cord pulmonal deases,
penyakit arthritis.
Tiap fase yang di alami oleh psien kritis mempunyai karakteristik yang
berbeda. Sehingga perawat juga memberikan respon yang berbeda pul. Dalam
berkomonikasi perwat juga harus memperhatikan pasien tersebut berada di
fase mana, sehingga mudah bagi perawat dalam menyesuaikan fase
kehilangan yang di alami pasien.
a. Fase Denial
Reaksi pertama individu ketika mengalami kehilangan adalah syok.
Tidak percaya atau menolak kenyataan bahwa kehlangn itu terjadi dengan
mengatakan “ Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi “ . Bagi
individu atau keluarga yang mengalami penyakit kronis, akan terus
menerus mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada fase
pengikraran adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan,

1
detak jantung cepat, menangis, gelisah dan tidak tau harus berbuat apa.
Reaksi tersebut di atas cepat berakhir dlam waktu beberapa menit sampai
beberapa tahun.
Teknik komunikasi yang di gunakan:
1) Memberikan kesempatan untuk menggunakan koping yang kontruktif
dalam menghadapi kehilangan dan kematian
2) Selalu berada di dekat klien
3) Pertahankan kontak mata
b. Fase anger (marah)
Fase ini di mulai dari timbulnya kesadaran akan kenyataan yang
terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat
yang sering di proyeksikan kepada orang yang ada di sekitarnya, orang
– orang tertentu atau di tunjukkan pada dirinya sendiri. Tidak jarang dia
menunjukkan prilaku agresif, bicara kasar, menolak pengobatan, dan
menuduh perawat ataupun dokter tidak becus. Respon fisik yang sering
terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat, gelisah, susah
tidur, tangan menggepai.
Teknik komunikasi yang di gunakan adalah:
Memberikan kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan
perasaannya, hearing Hearing dan hearing dan menggunakan teknik
respek.
c. Fase bargening (tawar menawar)
Apabila individu sudah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara
intensif, maka ia akan maju pada fase tawar menawar dengan memohon
kemurahan tuhan. Respon ini sering di nyataka dengan kata kata “ kalau
saja kejadian ini bisa di tunda, maka saya akan selalu berdoa “ . apabila
proses berduka ini di alami keluarga, maka pernyataan seperti ini sering di
jumpai “ kalau saja yang sakit bukan anak saya.
Teknik komunikasi yang di gunakan adalah:
Memberi kesempatan kepada pasien untuk menawar dan menanyakan
kepada pasien apa yang di ingnkan.

1
d. Fase depression
Individu fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri,
tidak mau berbicara, kadang kadang bersikap sebagai pasien yang sangat
baik dan menurut atau dengan ungkapAn yang menyatakan keputus asaan,
perasaan tidak berharga. Gejala fisik yang sering di perlihatkan adalah
menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libugo menurun.
Teknik komunikasi yang di gunakan adalah:
Jangan mencoba menenangkan klien dan biarkan klien dan keluarga
mengekspresikan kesedihannya.
e. Fase acceptance (penerimaan)
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Fase
menerima ini biasanya di nyatakan dengan kata kata ini “ apa yang dapat
saya lakukan agar saya cepat sembuh?” Apabila individu dapat memulai
fase fase tersebut dan masuk pada fase damai atau penerimaan, maka dia
akan dapat mengakhiri proses berduka dan mengatasi perasaan
kehilnagannya secara tuntas. Tapi apabila individu tetep berada pada salah
satu fase dan tidak sampai pada fase penerimaan. Jika mengalami
kehilangan lagi sulit baginya masuk pada fase penerimaan.
Teknik komunikasi yang di gunakan perawat adalah:
Meluangkan waktu untuk klien dan sediakan waktu untuk
mendiskusikan perasaan keluarga terhadap kematian pasien.

3.2. Komunikasi pada pasien yang tidak sadar


Komunikasi dengan pasien tidak sadar merupakan suatu komunikasi
dengan menggunakan teknik komunikasi khusus/teurapetik dikarenakan
fungsi sensorik dan motorik pasien mengalami penurunan sehingga seringkali
stimulus dari luar tidak dapat diterima klien dan klien tidak dapat merespons
kembali stimulus tersebut.
Pasien yang tidak sadar atau yang sering kita sebut dengan koma, dengan
gangguan kesadaran merupakan suatu proses kerusakan fungsi otak yang
berat dan dapat membahayakan kehidupan. Pada proses ini susunan saraf
pusat terganggu fungsi utamanya mempertahankan kesadaran. Gangguan

1
kesadaran ini dapat disebabkan oleh beragam penyebab, yaitu baik primer
intrakranial ataupun ekstrakranial, yang mengakibatkan kerusakan struktural
atau metabolik di tingkat korteks serebri, batang otak keduanya.
Ada karakteristik komunikasi yang berbeda pada klien tidak sadar ini, kita
tidak menemukan feed back (umpan balik), salah satu elemen komunikasi. Ini
dikarenakan klien tidak dapat merespon kembali apa yang telah kita
komunikasikan sebab pasien sendiri tidak sadar. Nyatanya dilapangan atau di
banyak rumah sakit pasien yang tidak sadar ini atau pasien koma di ruangan-
ruangan tertentu seperti Intensif Care Unit (ICU), Intensif Cardio Care Unit
(ICCU) dan lain sebagainya, sering mengabaikan komunikasi terapeutik
dengan pasien ketika mau melakukan sesuatu tindakan atau bahkan suatu
intervensi.
Hal ini yang menjadi banyak perdebatan sebagaian kalangan ada yang
berpendapat dia adalah pasien tidak sadar mengapa kita harus berbicara,
sedangkan sebagian lagi berpendapat walau dia tidak sadar dia juga masih
memiliki rasa atau masih mengatahui apa yang kita perbuat, maka kita harus
berkomunikasi walau sebagian orang beranggapan janggal. Maka dari itu kita
sebagai perawat diajarkan komunikasi terapeutik untuk menghargai perasaan
pasien serta berperilaku baik terhadap pasien sekalipun dia berada dalam
keadaan yang tidak sadar atau sedang koma
a. Fungsi Komunikasi Dengan Pasien Tidak Sadar
Menurut Pastakyu (2010), Komunikasi dengan klien dalam proses
keperawatan memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1) Mengendalikan Perilaku
Pada klien yang tidak sadar, karakteristik pasien ini adalah tidak
memiliki respon dan klien tidak ada prilaku, jadi komunikasi dengan
pasien ini tidak berfungsi sebagai pengendali prilaku. Secara tepatnya
pasien hanya memiliki satu prilaku yaitu pasien hanya berbaring,
imobilitas dan tidak melakukan suatu gerakan yang berarti. Walaupun
dengan berbaring ini pasien tetap memiliki prilaku negatif yaitu tidak
bisa mandiri.

1
2) Perkembangan Motivasi
Pasien tidak sadar terganggu pada fungsi utama mempertahankan
kesadaran, tetapi klien masih dapat merasakan rangsangan pada
pendengarannya. Perawat dapat menggunakan kesempatan ini untuk
berkomunikasi yang berfungsi untuk pengembangan motivasi pada
klien. Motivasi adalah pendorong pada setiap klien, kekuatan dari diri
klien untuk menjadi lebih maju dari keadaan yang sedang ia alami.
Fungsi ini akan terlihat pada akhir, karena kemajuan pasien tidak lepas
dari motivasi kita sebagai perawat, perawat yang selalu ada di
dekatnya selama 24 jam. Mengkomunikasikan motivasi tidak lain
halnya dengan pasien yang sadar, karena klien masih dapat mendengar
apa yang dikatakan oleh perawat.
3) Pengungkapan Emosional
Pada pasien tidak sadar, pengungkapan emosional klien tidak ada,
sebaliknya perawat dapat melakukannya terhadap klien. Perawat dapat
berinteraksi dengan klien. Perawat dapat mengungkapan kegembiraan,
kepuasan terhadap peningkatan yang terjadi dan semua hal positif yang
dapat perawat katakan pada klien. Pada setiap fase kita dituntut untuk
tidak bersikap negatif terhadap klien, karena itu akan berpengaruh
secara tidak langsung/langsung terhadap klien. Sebaliknya perawat
tidak akan mendapatkan pengungkapan positif maupun negatif dari
klien. Perawat juga tidak boleh mengungkapkan kekecewaan atau
kesan negatif terhadap klien. Pasien ini berkarakteristik tidak sadar,
perawat tidak dapat menyimpulkan situasi yang sedang terjadi, apa
yang dirasakan pada klien pada saat itu. Kita dapat menyimpulkan apa
yang dirasakan klien terhadap apa yang selama ini kita komunikasikan
pada klien bila klien telah sadar kembali dan mengingat memori
tentang apa yang telah kita lakukan terhadapnya.
4) Informasi
Fungsi ini sangat lekat dengan asuhan keperawatan pada proses
keperawatan yang akan kita lakukan. Setiap prosedur tindakan
keperawatan harus dikomunikasikan untuk menginformasikan pada

1
klien karena itu merupakan hak klien. Klien memiliki hak penuh untuk
menerima dan menolak terhadap tindakan yang akan kita berikan. Pada
pasien tidak sadar ini, kita dapat meminta persetujuan terhadap
keluarga, dan selanjutnya pada klien sendiri. Pasien berhak mengetahui
apa saja yang akan perawat lakukan pada klien. Perawat dapat
memberitahu maksud tujuan dari tindakan tersebut, dan apa yang akan
terjadi jika kita tidak melakukan tindakan tersebut kepadanya.
Hampir dari semua interaksi komunikasi dalam proses keperawatan
menjalankan satu atau lebih dari ke empat fungsi di atas. Dengan kata
lain, tujuan perawat berkomunikasi dengan klien yaitu untuk
menjalankan fungsi tersebut. Dengan pasien tidak sadar sekalipun,
komunikasi penting adanya. Walau, fungsi yang dijalankan hanya
salah satu dari fungsi di atas. Untuk dipertegas, walau seorang pasien
tidak sadar sekali pun, ia merupakan seorang pasien yang memiliki
hak-hak sebagai pasien yang harus tetap kita penuhi.
Perawat itu adalah manusia pilihan Tuhan, yang telah terpilih untuk
membantu sesama, memiliki rasa bahwa kita sesama saudara yang
harus saling membantu. Perawat akan membantu siapapun walaupun ia
seorang yang tidak sadar sekalipun. Dengan tetap memperhatikan hak-
haknya sebagai klien.
Komunikasi yang dilakukan perawat bertujuan untuk membentuk
hubungan saling percaya, empati, perhatian, autonomi dan mutualitas.
Pada komunikasi dengan pasien tidak sadar kita tetap melakukan
komunikasi untuk meningkatkan dimensi ini sebagai hubungan
membantu dalam komunikasi terapeutik.
b. Cara Berkomunikasi Dengan Pasien Tak Sadar
Menurut Pastakyu (2010), Cara berkomunikasi dengan klien dalam
proses keperawatan adalah berkomunikasi terapeutik. Pada klien tidak
sadar perawat juga menggunakan komunikasi terapeutik. Komunikasi
terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan
dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan klien. Dalam
berkomunikasi kita dapat menggunakan teknik-teknik terapeutik,

1
walaupun pada pasien tidak sadar ini kita tidak menggunakan keseluruhan
teknik. Teknik terapeutik, perawat tetap dapat terapkan. Adapun teknik
yang dapat terapkan, meliputi:
1) Menjelaskan
Dalam berkomunikasi perawat dapat menjelaskan apa yang akan
perawat lakukan terhadap klien. Penjelasan itu dapat berupa intervensi
yang akan dilakukan kepada klien. Dengan menjelaskan pesan secara
spesifik, kemungkinan untuk dipahami menjadi lebih besar oleh klien.
2) Memfokuskan
Memfokuskan berarti memusatkan informasi pada elemen atau
konsep kunci dari pesan yang dikirimkan. Perawat memfokuskan
informasi yang akan diberikan pada klien untuk menghilangkan
ketidakjelasan dalam komunikasi.
3) Memberikan Informasi
Fungsi berkomunikasi dengan klien salah satunya adalah
memberikan informasi. Dalam interaksi berkomunikasi dengan klien,
perawat dapat memberi informasi kepada klien. Informasi itu dapat
berupa intervensi yang akan dilakukan maupun kemajuan dari status
kesehatannya, karena dengan keterbukaan yang dilakukan oleh
perawat dapat menumbuhkan kepercayaan klien dan pendorongnya
untuk menjadi lebih baik.
4) Mempertahankan ketenangan
Mempertahankan ketengan pada pasien tidak sadar, perawat dapat
menujukkan dengan kesabaran dalam merawat klien. Ketenagan yang
perawat berikan dapat membantu atau mendorong klien menjadi lebih
baik. Ketenagan perawat dapat ditunjukan kepada klien yang tidak
sadar dengan komunikasi non verbal. Komunikasi non verbal dapat
berupa sentuhan yang hangat. Sentuhan adalah transmisi pesan tanpa
kata-kata, merupakan salah satu cara yang terkuat bagi seseorang
untuk mengirimkan pasan kepada orang lain. Sentuhan adalah bagian
yang penting dari hubungan antara perawat dan klien.

1
Pada dasarnya komunikasi yang akan dilakukan pada pasien tidak
sadar adalah komunikasi satu arah. Komunikasi yang hanya dilakukan
oleh salah seorang sebagai pengirim dan diterima oleh penerima
dengan adanya saluran untuk komunikasi serta tanpa feed back pada
penerima yang dikarenakan karakteristik dari penerima sendiri, yaitu
pada point ini pasien tidak sadar. Untuk komunikasi yang efektif
dengan kasus seperti ini, keefektifan komunikasi lebih diutamakan
kepada perawat sendiri, karena perawat lah yang melakukan
komunikasi satu arah tersebut.
c. Prinsip-Prinsip Berkomunikasi Dengan Pasien Yang Tidak Sadar
Menurut Pastakyu (2010), Pada saat berkomunikasi dengan klien yang
tidak sadar, hal-hal berikut perlu diperhatikan, yaitu:
1) Berhati-hati melakukan pembicaraan verbal di dekat klien, karena ada
keyakinan bahwa organ pendengaran merupakan organ terkhir yang
mengalami penurunan penerimaan, rangsangan pada klien yang tidak
sadar. Klien yang tidak sadar seringkali dapat mendengar suara dari
lingkungan walaupun klien tidak mampu meresponnya sama sekali.
2) Ambil asumsi bahwa klien dapat mendengar pembicaraan perawat.
Usahakan mengucapkan kata dan menggunakan nada normal dan
memperhatikan materi ucapan yang perawat sampaikan dekat klien.
3) Ucapkan kata-kata sebelum menyentuh klien.
Sentuhan diyakini dapat menjadi salah satu bentuk komunikasi yang
sangat efektif pada klien dengan penurunan kesadaran.
4) Upayakan mempertahankan lingkungan setenang mungkin untuk
membantu klien fokus terhadap komunikasi yang perawat lakukan.

2
BAB IV
PEMBAHASAN

Perawatan paliatif pada dasarnya belum memenuhi kebutuhan pasien dan


keluarga secara holistic secara khusus aspek spiritual/agama. Tiga artikel
memaparkan bagaimana implementasi perawatan paliatif di Indonesia dari sudut
pandang pasien dan pemberi layanan. Diperoleh hasil bahwa pasien merasa
kurang mendapat perhatian dari pemberi layanan perawatan paliatif sehingga
kebutuhan-kebutuhan pasien paliatif belum dapat terpenuhi (Effendy et al., 2014).
Kebutuhan utama yang belum terpenuhi yaitu dukungan psikologis dan informasi
yang lengkap terkait kondisi kesehatan pasien paliatif yang sudah menjelang ajal
(Nova, 2018). Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan
terkait perawatan paliatif (Nova, 2018) dan tidak terdapat standar panduan
pelayanan paliatif (Arisanti et al., 2019).
Komunikasi sangat penting dan memainkan peran utama dalam memenuhi
kebutuhan biopsikososial dan spiritual pasien dan keluarganya. Komunikasi
perawat dan pasien memiliki tiga fungsi penting yaitu terciptanya proses
hubungan interpersonal yang efektif, pertukaran informasi, dan memfasilitasi
pengambilan keputusan yang tepat. Komunikasi ini merupakan faktor yang
menentukan kualitas pelayanan dan hasil akhir kesehatan pasien (Hasan &
Rashid, 2016; Khoshnazar et al., 2016; Prip et al., 2019).
Komunikasi yang efektif dianggap sebagai kunci untuk pelayanan kanker yang
baik. Pertukaran informasi, pemikiran dan perasaan antara perawatpasien harus
dipahami dan sesuai dengan kebutuhan pasien. Pemberian informasi yang tidak
sesuai dengan kebutuhan pasien dianggap sebagai komunikasi yang buruk.
Komunikasi yang buruk berdampak negatif terhadap status kesehatan pasien(Prip
et al., 2019; Weert et al., 2013).
Meskipun bukti menunjukkan komunikasi adalah faktor utama dalam
pelayanan pasien kronis seperti kanker, komunikasi diakui sebagai hal menantang
dan kompleks. Kekompleksitas itu meliputi aspek perawatan kanker yang diliputi
ketidakpastian dan ketidakberdayaan; kebutuhan informasi penderita kanker

2
berubah seiring perjalanan penyakitnya; perawatan tidak hanya terpusat pada
penderita tetapi juga keluarga terdekatnya (Chan et al., 2018; Khoshnazar et al.,
2016). Data tentang komunikasi perawat dan pasien penyakit kronis masih sangat
kurang dan masih didominasi komunikasi dokter dan pasien. Oleh karena itu,
kami melaporkan temuan dari studi fenomenologi yang dilakukan di unit onkologi
rumah sakit tentang perspektif perawat, pasien dan keluarga tentang hambatan dan
strategi komunikasi dalam perawatan kronis.
Manajemen berkomunikasi adalah semua hal yang dilakukan oleh perawat,
pasien dan keluarga untuk memudahkan berkomunikasi satu sama laing supaya
interaksi dan pertukaran informasi berjalan efektif. Tema ini terdiri dari
mempersiapkan diri, validasi pengetahuan pasien dan struktur penyampaian
informasi. Pemberian informasi ke pasien perawat perlu mempersiapkan diri
sebelumnya baik secara mental maupun pengetahuan. Sebelum memberikan
tindakan ataupun memberikan informasi yang sensitif sebaiknya perawat
mengecek pemahaman pasien dan memberikan kesempatan bertanya sehingga
tidak terjadi kesalahpahaman informasi.
Penyampaian informasi pada pasien/keluarga sebaiknya terlebih dahulu diawali
dengan mengecek pemahaman pasien terhadap kondisi dan penyakitnya. Hal ini
penting untuk mendapatkan persepsi pasien tentang harapan dan pengetahuan
terkait penyakitnya. Persepsi pasien bervariasi mulai dengan kemoterapi itu
mengerikan, dekat dengan kematian, ingin sembuh, tidak mau dioperasi, tidak
ingin minum obat sampai sudah berpasrah. Validasi persepsi dimaksudkan untuk
menemukan kekeliruan pemahaman dan informasi pasien mengenai penyakitnya.
Kesalahpaham mengenai penyakit dan pengobatan perlu dikoreksi perawat supaya
pasien memiliki pemahaman yang tepat(Abbaszadeh et al., 2014; Bumb et al.,
2017; Warnock, 2014).

2
BAB V
KESIMPULAN

Komunikasi terapeutik merupakan pondasi untuk mempromosikan kualitas


perawatan kanker. Hambatan berkomunikasi seperti bersikap mengabaikan,
tingkat pendidikan dan kondisi psikologis pasien kanker perlu dimanaje dengan
baik dengan mengimplementasikan tindakan seperti berikut yaitu mempersiapkan
diri, mevalidasi pemahaman pasien, dan penyampaian informasi secara
terstruktur.
Hubungan perawat – klien yang terapeutik adalah pengalaman belajar bersama
dan pengalaman perbaikan emosi klien. Dalam hal ini perawat memakai dirinya
secara terapeutik dengan menggunakan berbagai teknik komunikasi agar perilaku
klien berubah kea rah yang positif secara optimal. Agar perawat dapat berperan
efektif dan terapeutik, ia harus menganalisa dirinya dari kesadaran diri, klarifikasi
nilai, perasaan dan mampu menjadi model yang bertanggungjawab. Seluruh
perilaku dan pesan yang disampaikan perawat (verbal atau non verbal ) hendaknya
bertujuan terapeutik untuk klien.
Analisa hubungan intim yang terapeutik perlu dilakukan untuk evaluasi
perkembangan hubungan dan menentukan teknik dan keterampilan yang tepat
dalam setiap tahap untuk mengatasi masalah klien dengan prinsip di sini dan saat
ini (here and now). Rasa aman merupakan hal utama yang harus diberikan pada
anak agar anak bebas mengemukakan perasaannya tanpa kritik dan hukuman.

2
DAFTAR PUSTAKA

1. Menkes RI.(2007). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


: 812/Menkes/Sk/Vii/2007 Tentang Kebijakan Perawatan Paliatif Menteri
Kesehatan Republik Indonesia.http://spiritia.or.id/Dok/skmenkes812707.pdf.
Diakses tanggal 18 juni 2022.
2. Fact Sheets by Cancer [Internet]. [cited 2017 May 23]. Available from:
http://globocan.iarc.fr/Pages/fact_sheets_cancer.aspx
3. Aselmahuka. Perawatan Paliatif [Internet]. 2008 [cited 2016 Jan 1]. Available
from: http://rumahkanker.com/paliatif/perawatanpaliatif/24perawatan-paliatif-
apa-sih. Diakses tanggal 18 juni 2022.

Anda mungkin juga menyukai