Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP KEBUTUHAN KEAMANAN DAN KESELAMATAN

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Program Profesi Ners Stase Keperawatan Dasar Profesi

Disusun Oleh :

RETNO WULANDARI

NPM. 4012230011

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKes BINA PUTERA BANJAR

TAHUN 2022/2023
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN KEAMANAN DAN
KESELAMATAN

A. Konsep Gangguan Kebutuhan Keamanan Dan Keselamatan


1. Pengertian
Kebutuhan akan keamanan dan keselamatan pada dasarnya merupakan salah
satu kebutuhan dasar manusia yang dikemukaan oleh Abraham Maslow.
Kebutuhan keselamatan dan kemanan merupakan kebutuhan dasar kedua yang
harus diupayakan setelah kebutuhan fisiologis. Kebutuhan keamanan dan
keselamatan juga harus dicapai jika seseorang ingin memenuhi kebutuhan dasar
yang lain, seperti kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, kebutuhan harga diri,
dan kebutuhan aktualisasi diri (Green, 2000). Secara umum keamanan (safety)
adalah status seseorang dalam keadaan aman, kondisi yang terlindungi secara
fisik, sosial, spiritual, finansial, politik, emosi, pekerjaan, psikologis atau berbagai
akibat dari sebuah kegagalan, kerusakan, kecelakaan, atau berbagai keadaan yang
tidak diinginkan. Kebutuhan keamanan berkaitan dengan konteks fisiologis dan
hubungan interpersonal. Keamanan fisiologis berkenaan dengan sesuatu yang
mengancam tubuh dan kehidupan seseorang. Ancaman yang datang secara
fisiologis tersebut dapat berupa hal yang nyata maupun imajinasi. Keamanan
dalam konteks hubungan interpersonal bergantung pada banyak faktor, seperti
kemampuan berkomunikasi, kemampuan mengontrol masalah, kemampuan
memahami, tingkah laku yang konsisten dari orang lain, serta kemampuan untuk
memahami orang dan lingkungan di sekitarnya.
Ketidaktahuan seseorang akan sesuatu yang ada di sekitarnya dapat
menimbulkan perasaan cemas dan tidak aman (Asmadi, 2008). Berbeda dengan
kebutuhan keamanan, kebutuhan keselamatan merupakan kebutuhan untuk
melindungi diri dari bahaya fisik. Ancaman yang muncul terhadap keselamatan
manusia dapat berupa ancaman mekanis, kimiawi, termal, dan bakteriologis.
Pasien kadang kurang menyadari adanya ancaman di rumah sakit atau di tempat-
tempat pelayanan kesehatan. Hal inilah yang membuat perawat harus
menyadari situasi yang mungkin dapat membuat pasien cedera.
Perlindungan yang diberikan bukan hanya ditujukan untuk mencegah terjadinya
kecelakaan tetapi juga memelihara kebersihan (Asmadi, 2008).
Hampir sama dengan keselamatan akan ancaman fisik, keamanan fisik
(Biologic safety) merupakan keadaan fisik yang aman terbebas dari ancaman
kecelakaan dan cedera (injury) baik secara mekanis, termis, elektris maupun
bakteriologis. Kebutuhan keamanan fisik merupakan kebutuhan untuk
melindungi diri dari bahaya yang mengancam kesehatan fisik, yang pada
pembahasan ini akan difokuskan pada providing for safetyatau memberikan
lingkungan yang aman. Sedangkan keselamatan adalah suatu keadaan seseorang
atau lebih yang terhindar dari ancaman bahaya/kecelakaan. Kecelakaan
adalah kejadian yang tidak dapat diduga dan tidak diharapkan yang dapat
menimbulkan kerugian. Karakteristik keamanan dan keselamatan :
a. Pervasiveness (insidensi) Keamanan bersifat pervasifartinya luas
mempengaruhi semua hal. Artinya klien membutuhkan keamanan pada
seluruh aktifitasnya seperti makan, bernafas, tidur, kerja, dan bermain.
b. Perception(persepsi) Persepsi seseorang tentang keamanan dan bahaya
mempengaruhi aplikasi keamanan dalam aktifitas sehari-harinya. Tindakan
penjagaan keamanan dapat efektif jika individu mengerti dan menerima
bahaya secara akurat.
c. Management(pengaturan) Ketika individu mengenali bahaya pada lingkungan
klien akan melakukan tindakan pencegahan agar bahaya tidak terjadi dan
itulah praktek keamanan. Pencegahan adalah karakteristik mayor dari
keamanan.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan keamanan dan keselamatan
a. Usia
Individu belajar untuk melindungi dirinya dari berbagai bahaya melalui
pengetahuan dan pengkajian akurat tentang lingkungan. Perawat perlu untuk
mempelajari bahaya-bahaya yang mungkin mengancam individu sesuai usia
dan tahap tumbuh kembangnya sekaligus tindakan pencegahannya.
b. Gaya Hidup
Faktor gaya hidup yang menempatkan klien dalam resiko bahaya diantaranya
lingkungan kerja yang tidak aman, tinggal didaerah dengan tingkat kejahatan
tinggi, ketidakcukupan dana untuk membeli perlengkapan keamanan, adanya
akses dengan obat- obatan atau zat aditif berbahaya.
c. Status mobilisasi
Klien dengan kerusakan mobilitas akibat paralisis, kelemahan otot, gangguan
keseimbangan/koordinasi memiliki resiko untuk terjadinya cedera.
d. Gangguan sensori persepsi
Sensori persepsi yang akurat terhadap stimulus lingkungan sangat penting
bagi keamanan seseorang. Klien dengan gangguan persepsi rasa, dengar, raba,
cium, dan lihat, memiliki resiko tinggi untuk cedera.
e. Tingkat kesadaran
Kesadaran adalah kemampuan untukmenerima stimulus lingkungan, reaksi
tubuh, dan berespon tepat melalui proses berfikir dan tindakan. Klien yang
mengalami gangguan kesadaran diantaranya klien yang kurang tidur, klien
tidak sadar atau setengah sadar, klien disorientasi, klien yang menerima obat-
obatan tertentu seperti narkotik, sedatif, dan hipnotik.
f. Status emosional
Status emosi yang ekstrim dapat mengganggu kemampuan klien menerima
bahaya lingkungan. Contohnya situasi penuh stres dapat menurunkan
konsentrasi dan menurunkan kepekaan padasimulus eksternal. Klien dengan
depresi cenderung lambat berfikir dan bereaksi terhadap stimulus lingkungan.
g. Kemampuan komunikasi
Klien dengan penurunan kemampuan untuk menerima dan mengemukakan
informasi juga beresiko untuk cedera. Klien afasia, klien dengan keterbatasan
bahasa, dan klien yang buta huruf, atau tidak bisa mengartikan simbol-simbol
tanda bahaya.
h. Pengetahuan pencegahan kecelakaan
Informasi adalah hal yang sangat penting dalam penjagaan keamanan. Klien
yang berada dalam lingkungan asing sangat membutuhkan informasi
keamanan yang khusus. Setiap individu perlu mengetahui cara-cara yang
dapat mencegah terjadinya cedera.
i. Faktor lingkungan
Lingkungan dengan perlindungan yang minimal dapat beresiko menjadi
penyebab cedera baik di rumah, tempat kerja, dan jalanan.
j. Informasi / komunikasi
Gangguan komunikasi seperti afasia atau tidak dapat membaca
dapat menimbulkan kecelakaan.
k. Penggunaan antibiotic yang tidak rasional
Antibiotic dapat menimbulkan resisten dan syok anafilaktik.
l. Keadaan imunitas
Gangguan imunitas akan mengakibatkan menurunnya daya tahan tubuh
sehingga mudah terserang penyakit.
m. Ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi sel darah putih
Sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap suatu penyakit.
n. Status nutrisi
Keadaan nutrisi yang kurang dapat menimbulkan kelemahan dan mudah
terserang penyakit, demikian sebaliknya kelebihan nutrisi berresiko terhadap
penyakit tertentu.
o. Tingkat pengetahuan
Kesadaran akan terjadinya gangguan keselamatan dan keamanan dapat
diprediksi sebelumnya.).
3. Karakteristik keamanan dan keselamatan :
a. Pervasiveness (insidensi)
Keamanan bersifat pervasif artinya luas mempengaruhi semua hal. Artinya
klien membutuhkan keamanan pada seluruh aktifitasnya seperti makan,
bernafas, tidur, kerja, dan bermain.
b. Perception (persepsi)
Persepsi seseorang tentang keamanan dan bahaya mempengaruhi aplikasi
keamanan dalam aktifitas sehari-harinya. Tindakan penjagaan keamanan dapat
efektif jika individu mengerti dan menerima bahaya secara akurat.
c. Management (pengaturan)
Ketika individu mengenali bahaya pada lingkungan klien akan melakukan
tindakan pencegahan agar bahaya tidak terjadi dan itulah praktek keamanan.
Pencegahan adalah karakteristik mayor dari keamanan.
4. Patofisiologi

Pembuluh darah
kaku dan pecah

Peningkatan volume cairan dan edema

Stroke Hemoragik

.
Resiko perfusi jaringan tidak efektif

Penekanan tekanan intra kranial

Arteri vertebra
Arteri karotis interna Arteri cerebri media Nyeri akut
basiralis

Disfungsi N. II Kerusakan neuro Disfungsi N. XI


cerebrospinal N. VII
dan N. IX

Aliran darah ke Penurunan fungsi


retina menurun motoric dan
Kontrol otot muskoloskeletal
facial/oral menjadi
lemah
Kemampuan retina Kelemahan pada
untuk menangkap satu/keempat
bayangan menurun anggota gerak
Ketidakmampuan
bicara

Hambatan mobilitas
Resiko jatuh
fisik
Kerusakan articular
disatria

Gangguan
komunikasi
5. Penatalaksanaan Untuk Pemenuhan Kebutuhan Keamanan Dan
Keselamatan
a. Meningkatkan keamanan sepanjang hayat manusia
Memastikan keamanan klien pada semua usia berfokus pada: obsevasi atau
prediksi situasi yang mungkin membahayakan sehingga dapat dihindari dan
memberikan pendidikan kesehatan yang memberikan kekuatan bagi klien
untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari cedera secara mandiri.
b. Mempertahankan kondisi aman dari api dan kebakaran
Upaya pencegahan yang bisa dilakukan perawat adalah memastikan bahwa
ketiga elemen tersebut dapat dihilangkan. Jika kebakaran sudah terjadi ada dua
tujuan yang harus dicapai yaitu: melindungi klien dari cedera dan membatasi
serta memadakan api.
c. Mencegah terjadinya jatuh pada klien
1) Orientasikan klien pada saat masuk rumah sakit dan jelaskan sistem
komunikasi yang ada
2) Hati-hati saat mengkaji klien dengan keterbatasan gerak
3) Supervisi ketat pada awal klien dirawat terutama malam hari
4) Anjurkan klien menggunakan bel bila membutuhkan bantuan
5) Berikan alas kaki yang tidak licin
6) Berikan pencahayaan yang adekuat
7) Pasang pengaman tempat tidur terutama pada klien dengan penurunan
kesadaran dan gangguan mobilitas
8) Jaga lantai kamar mandi agar tidak licin
d. Melakukan tindakan pengamanan pada klien kejang
1) Pasang pengaman tempat tidur dengan dilapisi kain tebal (mencegah nyeri
saat terbentur)
2) Pasang spatel lidah untuk mencegah terhambatnya aliran udara
3) Longgarkan baju dan ikatan leher (kerah baju)
4) Kolaborasi pemberian obat antikonvulsi.
5) Berikan masker oksigen jika diperlukan.
e. Memberikan pertolongan bila terjadi keracunan
Perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan pada masyarakat bila terjadi
keracunan melalui identifikasi adanya zat-zat beracun dirumah yang
terkonsumsi, segera laporkan ke institusi kesehatan terdekat serta
menyebutkan nama dan gejala yang dialami klien, jaga klien pada posisi
tenang ke satu sisi atau dengan kepala ditempatkan diantara kedua kaki untuk
mencegah aspirasi.
f. Memberikan pertolongan bagi klien yang terkena sengatan listrik
Jika seseorang terkena macroshock (sengatan listrik yang cukup besar) jangan
sentuh klien tersebut sampai pusat listrik dimatikan dan klien aman dari arus
listrik. Macroshock sangat berbahaya karena dapat menyebabkan luka bakar,
kontraksi otot, dan henti nafas serta henti jantung. Untuk mencegah
macroshock gunakan mesin/alat listrik yang berfungsi dengan baik, pakai
sepatu dengan alas karet, berdirilah diatas lantai nonkonduktif, dan gunakan
sarung tangan non konduktif.
g. Melakukan penanganan bagi klien yang terpapar kebisingan
Kebisingan memiliki efek psikososial dan efek fisiologis. Efek psikososial
seperti rasa jengkel, tidur dan istirahat terganggu, serta gangguan konsentrasi
dan pola komunikasi. Efek fisiologis meliputi peningkatan nadi dan respirasi,
peningkatan aktifitas otot, mual, dan kehilangan pendengaran jika intensitas
suara tepat. Kebisingan dapat diminimalisir dengan memasang genting,
dinding, dan lantai yang kedap suara; memasang gorden; memasang karpet;
atau memutar background music.
h. Melakukan Heimlich maneuver pada klien yang mengalami tersedak.
i. Melakukan perlindungan terhadap radiasi
Tingkat bahaya radiasi tergantung dari: lamanya, kedekatan dengan sumber
radioaktif, dan pelindung yang digunakan selama terpapar radiasi. Upaya yang
harus dilakukan oleh perawat dalam hal ini adalah memakai baju khusus,
memakai sarung tangan, mencuci tangan sebelum dan sesudah memakai
sarung tangan, dan membuang semua benda yang terkontaminasi.
j. Melakukan pemasangan restrain pada klien
Restrain adalah alat atau tindakan pelindung untuk membatasi
gerakan/aktifitas fisik klien atau bagian tubuh klien. Restrain diklasifikasikan
menjadi fisikal(physical) dan kemikal(chemical) restrain. Fisikal restrain
adalah restrain dengan metode manual atau alat bantu mekanik, atau lat-alat
yang dipasang pada tubuh klien sehingga klien tidak dapat bergerak dengan
mudah dan terbatas gerakannya. Kemikal restrain adalah restrain dalam
bentuk zat kimia neuroleptics, anxioulytics, sedatif, dan psikotropika yang
digunakan untuk mengontrol tingkahlaku sosial yang merusak.
Restrain sebaiknya dihindari sebab berbagai komplikasi sering dikeluhkan
akibat pemasangan restrain. Komplikasi fisik diantaranya luka tekan, retensi
urin, inkontinensia, dan sulit BAB, bahkan kematian pun dilaporkan.
Komplikasi psikologisnya adalah penurunan harga diri, bingung, pelupa,
depresi, takut, dan marah. Restrain hendaknya digunakan sebagai alternatif
terakhir. Bila dilakukan maka haruslah:
1) Di bawah pengawasan dokter dengan perintah tertulis, apa penyebabnya,
dan untuk berapa lama
2) Klien setuju dengan tindakan tersebut.
6. Hal – Hal Yang Perlu Dikaji Pada Klien Yang Mengalami Gangguan
Pemenuhan Kebutuhan Keamanan Dan Keselamatan
a. Riwayat keperawatan:
1) Riwayat cedera atau jatuh
Pengkajian risiko jatuh dapat menggunakan instrumen Morse Fall Scale,
St. Thomas Risk Assessment Tool in Falling Elderly Inpatients
(STRATIFY), Resident Assessment Instrument (RAI), Fall Risk
Assessment Tools, Henrich Fall Risk Model, dan lain-lain (Aranda-
Galardo, 2013).
2) Riwayat imunisasi
3) Riwayat infeksi akut atau kronik
4) Terapi yang sedang dijalani
5) Stressor emosional: ekspresi verbal dan non verbal, gaya hidup.
6) Proses penyakit yang terlihat pada klien dan keluhan fisik.
7) Status nutrisi.
8) Pada pengkajian status nutrisi dapat pula diketahui tentang IMT pasien.
9) Tingkat kesadaran, kelemahan fisik, imobilisasi, penggunaan alat bantu.
b. Pemeriksaan fisik:
1) Infeksi lokal, terbatas pada kulit dan membrane mukosa. Tanda-tandanya
meliputi bengkak, kemerahan, nyeri, panas dan gangguan fungsi gerak.
2) Infeksi sistemik, tanda-tandanya meliputi demam, peningkatan frekuensi
nadi dan pernafasan, malaise, anoreksia, mual, muntah, sakit kepala,
pembesaran kelenjar di area infeksi.
3) Sistem Neurologis: status mental, tingkat kesadaran, fungsi sensori, sistem
reflek, sistem koordinasi, tes pendengaran, penglihatan dan pembauan,
sensivitas terhadap lingkungan
4) Sistem Cardiovaskuler dan Respirasi: toleransi terhadap aktivitas, nyeri
dada, kesulitan bernafas saat aktivitas, frekuensi nafas, tekanan darah dan
denyut nadi
5) Integritas kulit : inspeksi terhadap keutuhan kulit klien, kaji adanya luka,
scar, dan lesi, kaji tingkat perawatan diri kulit klien
6) Mobilitas: inspeksi dan palpasi terhadap otot, persendian, dan tulang klien,
kaji range of motion klien, kaji kekuatan otot klien, kaji tingkat ADLs
klien
c. Pemeriksaan penunjang:
Berupa data laboratorium yang menunjukkan adanya infeksi meliputi
peningkatan angka leukosit, penignkatan laju enap darah, dan kultur urin,
darah serta secret menunjukkan adanya mikroorganisme pathogen.

B. Konsep Keperawatan Dasar Pasien dengan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan


Keamanan Dan Keselamatan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien menurut Lyer et al
(1996, dalam Setiadi, 2012). Pengkajian adalah pendekatan sistematis untuk
mengumpulkan data dan menganalisanya (Manurung, 2011). Pengkajian adalah
pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan
informasi atau data tentang pasien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali
masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan pasien, baik fisik,
mental, sosial dan lingkungan (Dermawan, 2012).
Tujuan pengkajian menurut Dermawan (2012) adalah sebagai berikut: Untuk
memperoleh informasi tentang keadaan kesehatan pasien; Untuk menentukan
masalah keperawatan dan kesehatan pasien; Untuk menilai keadaan kesehatan
pasien; Untuk membuat keputusan yang tepat dalam menentukan langkah-langkah
berikutnya.

Pengkajian Keperawatan biasanya meliputi :


a. Biodata
1) Identitas Klien
Nama, tempat tanggal lahir/umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,
pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, alamat, tanggal masuk RS, No
Medrec, Diagnosa medis.
2) Identitas Penanggung Jawab
Nama penanggung jawab, hubungan dengan klien, alamat.
b. Riwayat Kesehatan Klien
1) Keluhan Utama
Keluhan saat dikaji dengan menggunakan pendekatan PQRST.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Riwayat kesehatan klien sejak timbulnya gejala (sebelum masuk RS) dan
penanganan yang dilakukan dirumah dan di RS sampai dengan menjadi
kasus kelolaan.
3) Riwayat Penyakit Masa Lalu
Penyakit apa saja yang pernah diderita, terutama yang berhubungan
dengan penyakit sekarang.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Catat riwayat penyakit keluarga yang berkaitan dengan penyakit yang
diderita saat ini. Apakah ada predisposisi genetik terhadap penyakit yang
diderita saat ini atau perilaku yang didapat (memiliki kepribadian tipe A,
gaya hidup yang penuh stress).
c. Pemeriksaan Fisik : Data Fokus
1) Keadaan Umum
a) Tingkat Kesadaran:
 Kualitatif : Compos Mentis, apatis, Somnolent, Sopor,
Soporocomatus, Coma.
 Kuantitatif : GCS.
b) Tanda-tanda Vital
Pemeriksaan tanda vital merupakan bagian dari data dasar yang
dikumpulkan oleh perawat selama pengkajian. Perawat mengkaji
tanda vital kapan saja klien masuk ke bagian perawatan kesehatan.
Tanda vital dimasukkan ke pengkajian fisik secara menyeluruh atau
diukur satu persatu untuk mengkaji kondisi klien. Penetapan data
dasar dari tanda vital selama pemeriksaan fisik rutin merupakan
control terhadap kejadian yang akan datang. Pemeriksaan tanda vital
terdiri atas pemeriksaan nadi, pernafasan, tekanan darah dan suhu.
Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dalam menilai fisiologis
dari sistem tubuh secara keseluruhan.

 Pemeriksaan Nadi
Denyut nadi merupakan denyutan atau dorongan yang dirasakan
dari proses pemompaan jantung. Setiap kali bilik kiri jantung
menegang untuk menyemprotkan darah ke aorta yang sudah
penuh, maka dinding arteria dalam sistem peredaran darah
mengembang atau mengembung untuk mengimbnagi
bertambahnya tekanan. Mengembangnya aorta menghasilkan
gelombang di dinding aorta yang akan menimbulkan dorongan
atau denyutan.
 Pemeriksaan Tekanan Darah
Pemeriksaan tekanan darah dapat dilakukan. Beberapa langkah
yang dilakukan pada pemeriksaan tekanan darah menggunakan
sfigmomanometer air raksa. Tempat untuk mengukur tekanan
darah seseorang adalah Lengan atas atau Pergelangan kaki.
 Pemeriksaan Pernafasan
Pemeriksaan Pernafasan merupakan pemeriksaan yang dilakukan
untuk menilai proses pengambilan oksigen dan pengeluaran
karbondioksida. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai
frekwensi, irama, kedalaman, dan tipe atau pola pernafasan.
Pernapasan adalah tanda vital yang paling mudah di kaji namun
paling sering diukur secara sembarangan. Perawat tidak boleh
menaksir pernapasan. Pengukuran yang akurat memerlukan
observasi dan palpasi gerakan dinding dada.
 Pemeriksaan Suhu
Merupakan salah satu pemeriksaan yang digunakan untuk
menilai kondisi metabolisme dalam tubuh, dimana tubuh
menghasilkan panas secara kimiawi maupun metabolisme darah.
Suhu dapat menjadi salah satu tanda infeksi atau peradangan
yakni demam (di atas > 37°C). Proses pengaturan suhu terletak
pada hypotalamus dalam sistem saraf pusat. Bagian depan
hypotalamus dapat mengatur pembuangan panasdan hypotalamus
bagian belakang mengatur upaya penyimpanan panas. Tempat
untuk mengukur suhu badan seseorang adalah:
- Ketiak/ axilea, pada area ini termometer didiamkan sekitar
10 – 15 menit.
- Anus/ dubur/ rectal, pada area ini termometer didiamkan
sekitar 3 – 5 menit.
- Mulut/oral, pada area ini termometer didiamkan sekitar 2 – 3
menit
- Seseorang dikatakan bersuhu tubuh normal, jika suhu
tubuhnya berada pada 36ºC – 37,5ºC.

2) Data Pemeriksaan Fisik (Persistem)


a) Sistem Cardiovaskuler
 Cara inspeksi
Jantung, secara topografik jantung berada di bagian depan rongga
mediastinum. Dilakukan inspeksi pada prekordial penderita yang
berbaring terlentang atau dalam posisi sedikit dekubitus lateral
kiri karena apek kadang sulit ditemukan misalnya pada stenosis
mitral. dan pemeriksa berdiri disebelah kanan penderita. Pulsasi
ini letaknya sesuai dengan apeks jantung. Diameter pulsasi kira-
kira 2 cm, dengan punctum maksimum di tengah-tengah daerah
tersebut. Pulsasi timbul pada waktu sistolis ventrikel. Bila ictus
kordis bergeser ke kiri dan melebar, kemungkinan adanya
pembesaran ventrikel kiri.
 Cara Palpasi
o Denyut apek jantung (iktus cordis)
Dalam keadaaan normal, dengan sikap duduk, tidur terlentang
atau berdiri iktus terlihat didalam ruangan interkostal V sisi
kiri agak medial dari linea midclavicularis sinistra. Pada anak-
anak iktus tampak pada ruang interkostal IV.
o Denyutan nadi pada dada
Apabila di dada bagian atas terdapat denyutan maka harus
curiga adanya kelainan pada aorta.
Aneurisma aorta ascenden dapat menimbulkan denyutan di
ruang interkostal II kanan, sedangkan denyutan dada di daerah
ruang interkostal II kiri menunjukkan adanya dilatasi a.
pulmonalis dan aneurisma aorta descenden.
o Getaran/Trhill
Adanya getaran seringkali menunjukkan adanya kelainan
katup bawaan atau penyakit jantung congenital. Getaran yang
lemah akan lebih mudah dipalpasi apabila orang tersebut
melakukan pekerjaan fisik karena frekuensi jantung dan darah
akan mengalir lebih cepat. Dengan terabanya getaran maka
pada auskultasi nantinya akan terdengar bising jantung.
 Cara Perkusi
Kita melakukan perkusi untuk menetapkan batas-batas jantung.
Perkusi jantung mempunyai arti pada dua macam penyakit
jantung yaitu efusi pericardium dan aneurisma aorta.
o Batas kiri jantung
 Kita melakukan perkusi dari arah lateral ke medial.
 Perubahan antara bunyi sonor dari paru-paru ke redup
relatif kita tetapkan sebagai batas jantung kiri.

 Normal :
 Atas : ICS II kiri di linea parastrenalis kiri (pinggang
jantung)
 Bawah: ICS V kiri agak ke medial linea mid
klavikularis kiri (tempat iktus)
o Batas Kanan Jantung
 Perkusi juga dilakukan dari arah lateral ke medial.
 Disini agak sulit menentukan batas jantung karena
letaknya agak jauh dari dinding depan thorak
 Normal :
 Batas bawah kanan jantung adalah di sekitar ruang
intercostal III-IV kanan, di linea parasternalis kanan.
 Sedangkan batas atasnya di ruang interkostal II kanan
linea parasternalis kanan.
 Cara auskultasi
Auskultasi bunyi jantung dilakukan pada tempat-tempat sebagai
berikut :
o Dengarkan BJ I pada :
 ICS IV line sternalis kiri (BJ I Tricuspidalis)
 ICS V line midclavicula/ICS III linea sternalis kanan (BJ I
Mitral)
o Dengarkan BJ II pada :
 ICS II lines sternalis kanan (BJ II Aorta)
 ICS II linea sternalis kiri/ICS III linea sternalis kanan (BJ
II Pulmonal)
o Dengarkan BJ III (kalau ada)
 Terdengar di daerah mitral
 BJ III terdengar setelah BJ II dengan jarak cukup jauh,
tetapi tidak melebihi separo dari fase diastolik, nada
rendah
 Pada anak-anak dan dewasa muda, BJ III adalah normal
 Pada orang dewasa/tua yang disertai tanda-tanda
oedema/dipneu, BJ III merupakan tanda abnormal.
 BJ III pada decomp. disebut Gallop Rythm.
Dari jantung yang normal dapat didengar lub-dub, lub-dub, lub-
dub. Lub adalah suara penutupan katup mitral dan katup trikuspid,
yang menandai awalsistole. Dub adalah suara katup aorta dan
katup pulmonalis sebagai tanda awal diastole. Pada suara dub,
apabila pasien bernafas akan terdengar suara yang terpecah.
b) Sistem Pencernaan
 Cara inspeksi
o Pasien berbaring terlentang dengan kedua tangan di sisi tubuh.
o Inspeksi cavum oris, lidah untuk melihat ada tidaknya
kelainan.
o Letakan bantal kecil dibawah lutut dan dibelakang kepala
untuk melemaskan/relaksasi otot- otot abdomen.
o Perhatikan ada tidaknya penegangan abdomen.
o Pemeriksa berdirilah pada sisi kanan pasien dan perhatikan
kulit dan warna abdomen, bentuk perut, simetrisitas, jaringan
parut, luka, pola vena, dan striae serta bayangan vena dan
pergerakkan abnormal.
o Perhatikan posisi, bentuk, warna, dan inflamasi dari
umbilikus.
o Perhatikan pula gerakan permukaan, massa, pembesaran atau
penegangan. Bila abdomen tampak menegang, minta pasien
untuk berbalik kesamping dan inspeksi mengenai ada tidaknya
pembesaran area antara iga-iga dan panggul, tanyakan kepada
pasien apakah abdomen terasa lebih tegang dari biasanya.
o Bila terjadi penegangan abdomen, ukur lingkar abdomen
dengan memasang tali/ perban seputar abdomen melalui
umbilikus. Buatlah simpul dikedua sisi tali/ perban untuk
menandai dimana batas lingkar abdomen, lakukan monitoring,
bila terjadi peningkatan perenggangan abdomen, maka jarak
kedua simpul makin menjauh.
o Inspeksi abdomen untuk gerakan pernapasan yang normal.
o Mintalah pasien mengangkat kepalanya dan perhatikan
adanya gerakan peristaltik atau denyutan aortik.
 Cara palpasi
o Cara palpasi abdomen
 Posisi pasien berbaring terlentang dan pemeriksa
disebelah kanannya.
 Lakukan palpasi ringan di tiap kuadran abdomen dan
hindari area yang telah diketahui sebelumnya sebagai titik
bermasalah, seperti apendisitis.
 Tempatkan tangan pemeriksa diatas abdomen secara datar,
dengan jari- jari ekstensi dan berhimpitan serta
pertahankan sejajar permukaan abdomen.
 Palpasi dimulai perlahan dan hati-hati dari superfisial
sedalam 1 cm untuk mendeteksi area nyeri, penegangan
abnormal atau adanya massa.
 Bila otot sudah lemas dapat dilakukan palpasi sedalam
2,5-7,5 cm, untuk mengetahui keadaaan organ dan
mendeteksi adanya massa yang kurang jelas teraba selama
palpasi
 Perhatikan karakteristik dari setiap massa pada lokasi yang
dalam, meliputi ukuran, lokasi, bentuk, konsistensi, nyeri,
denyutan dan gerakan
 Perhatikan wajah pasien selama palpasi untuk melihat
adanya tanda/ rasa tidak nyaman.
 Bila ditemukan rasa nyeri, uji akan adanya nyeri lepas,
tekan dalam kemudian lepas dengan cepat untuk
mendeteksi apakah nyeri timbul dengan melepaskan
tekanan.
 Minta pasien mengangkat kepala dari meja periksa untuk
melihat kontraksi otot-otot abdominal
o Cara palpasi hepar
 Posisi pasien tidur terlentang.
 Pemeriksa disamping kanan dan menghadap pasien.
 Letakkan tangan kiri pemeriksa dibawah torak/ dada
kanan posterior pasien pada iga kesebelas dan keduabelas
dan tekananlah kearah atas.
 Letakkan telapak tangan kanan di atas abdomen, jari-jari
mengarah ke kepala / superior pasien dan ekstensikan
sehingga ujung-ujung jari terletak di garis klavikular di
bawah batas bawah hati.
 Kemudian tekanlah dengan lembut ke dalam dan ke atas.
 Minta pasien menarik napas dan cobalah meraba tepi hati
saat abdomen mengempis.
o Cara palpasi kandung empedu
 Posisi pasien tidur terlentang.
 Pemeriksa disamping kanan dan menghadap pasien.
 Letakkan telapak tangan kiri pemeriksa dibawah dada
kanan posterior pasien pada iga XI dan XII dan tekananlah
kearah atas.
 Letakkan telapak tangan kanan di atas abdomen, jari-jari
mengarah ke kepala / superior pasien dan ekstensikan
sehingga ujung-ujung jari terletak di garis klavikular di
bawah batas bawah hati
 Kemudian tekan lembut ke dalam dan ke atas.
 Mintalah pasien menarik napas dan coba meraba tepi hati
saat abdomen mengempis.
 Palpasi di bawah tepi hati pada sisi lateral dari otot rektus.
 Bila diduga ada penyakit kandung empedu, minta pasien
untuk menarik napas dalam selama palpasi.
o Cara palpasi limpa
 Posisi pasien tidur terlentang
 Pemeriksa disamping kanan dan menghadap pasien
 Letakkan secara menyilang telapak tangan kiri pemeriksa
di bawah pinggang kiri pasien dan tekanlah keatas.
 Letakkan telapak tangan kanan dengan jari-jari ektensi
diatas abdomen dibawah tepi kiri kostal.
 Tekanlah ujung jari kearah limpa kemudian minta pasien
untuk menarik napas dalam.
 Palpasilah tepi limpa saat limpa bergerak ke bawah kearah
tangan pemeriksa
 Apabila dalam posisi terlentang tidak bisa diraba, maka
posisi pasien berbaring miring kekanan dengan kedua
tungkai bawah difleksikan.
 Pada keadaan tertentu diperlukan Schuffner test
o Cara palpasi aorta
 Posisi pasien tidur terlentang
 Pemeriksa disamping kanan dan menghadap pasien
 Pergunakan ibu jari dan jari telunjuk tangan kanan.
 Palpasilah dengan perlahan namun dalam ke arah
abdomen bagian atas tepat garis tengah.
 Cara auskultasi
o Pasien berbaring terlentang dengan tangan dikedua sisi.
o Letakan bantal kecil dibawah lutut dan dibelakang kepala.
o Letakkan kepala stetoskop sisi diafragma di daerah kuadran
kiri bawah. Berikan tekanan ringan, minta pasien agar tidak
berbicara. Bila mungkin diperlukan 5 menit terus menerus
untuk mendengar sebelum pemeriksaan menentukan tidak
adanya bising usus.
o Dengarkan bising usus apakah normal, hiperaktif, hipoaktif,
tidak ada bising usus dan perhatikan frekwensi/karakternya.
o Bila bising usus tidak mudah terdengar, lanjutkan
pemeriksaan dengan sistematis dan dengarkan tiap kuadran
abdomen.
o Kemudian gunakan sisi bel stetoskop, untuk mendengarkan
bunyi desiran dibagian epigastrik dan pada tiap kuadran diatas
arteri aortik, ginjal, iliaka, femoral dan aorta torakal. Pada
orang kurus mungkin dapat terlihat gerakan peristaltik usus
atau denyutan aorta.
 Cara perkusi
o Cara Perkusi Abdomen
Lakukan perkusi di empat kuadran dan perhatikan suara yang
timbul pada saat melakukannya dan bedakan batas-batas dari
organ dibawah kulit. Organ berongga seperti lambung, usus,
kandung kemih berbunyi timpani, sedangkan bunyi pekak
terdapat pada hati, limfa, pankreas, ginjal.

o Cara Perkusi Batas Hati


 Posisi pasien tidur terlentang dan pemeriksa berdirilah
disisi kanan pasien.
 Lakukan perkusi pada garis midklavikular kanan setinggi
umbilikus, geser perlahan keatas, sampai terjadi
perubahan suara dari timpani menjadi pekak, tandai batas
bawah hati tersebut.
 Ukur jarak antara subcostae kanan kebatas bawah hati.
 Batas hati bagian bawah berada ditepi batas bawah tulang
iga kanan.
 Batas hati bagian atas terletak antara celah tulang iga ke5
sampai kecelah tulang iga ke7
 Jarak batas atas dengan bawah hati berkisar 6 – 12 cm dan
pergerakan bagian bawah hati pada waktu bernapas yaitu
berkisar 2 – 3 cm.
o Cara perkusi lambung
 Posisi pasien tidur terlentang.
 Pemeriksa disamping kanan dan menghadap pasien.
 Lakukan perkusi pada tulang iga bagian bawah anterior
dan bagian epigastrium kiri.
 Gelembung udara lambung bila di perkusi akan berbunyi
timpani
c) Sistem Pernafasan
 Cara inspeksi
o Pemeriksaan dada dimulai dari thorax posterior, klien pada
posisi duduk.
o Dada diobservasi dengan membandingkan satu sisi dengan
yang lainnya.
o Inspeksi thorax poterior terhadap warna kulit dan kondisinya,
lesi, massa, gangguan tulang belakang seperti : kyphosis,
scoliosis dan lordosis, jumlah irama, kedalaman pernafasan,
dan kesimetrisan pergerakan dada.
o Observasi type pernafasan, seperti : pernafasan hidung atau
pernafasan diafragma, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
o Saat mengobservasi respirasi, catat durasi dari fase inspirasi
(I) dan fase ekspirasi (E). ratio pada fase ini normalnya 1 : 2.
Fase ekspirasi yang memanjang menunjukkan adanya
obstruksi pada jalan nafas dan sering ditemukan pada klien
Chronic Airflow Limitation (CAL)/COPD.
o Kaji konfigurasi dada dan bandingkan diameter
anteroposterior (AP) dengan diameter lateral/tranversal (T).
ratio ini normalnya berkisar 1:2 sampai 5:7, tergantung dari
cairan tubuh klien.
o Kelainan pada bentuk dada :
 Barrel Chest, Timbul akibat terjadinya overinflation paru.
Terjadi peningkatan diameter AP : T (1:1), sering terjadi
pada klien emfisema.
 Funnel Chest (Pectus Excavatum), Timbul jika terjadi
depresi dari bagian bawah dari sternum. Hal ini akan
menekan jantung dan pembuluh darah besar, yang
mengakibatkan murmur. Kondisi ini dapat timbul pada
ricketsia, marfan’s syndrome atau akibat kecelakaan kerja.
 Pigeon Chest (Pectus Carinatum), Timbul sebagai akibat
dari ketidaktepatan sternum, dimana terjadi peningkatan
diameter AP. Timbul pada klien dengan kyphoscoliosis
berat.
 Kyphoscoliosis, Terlihat dengan adanya elevasi scapula.
Deformitas ini akan mengganggu pergerakan paru-paru,
dapat timbul pada klien dengan osteoporosis dan kelainan
muskuloskeletal lain yang mempengaruhi thorax.
 Kiposis ,meningkatnya kelengkungan normal kolumna
vertebrae torakalis menyebabkan klien tampak bongkok.
 Skoliosis : melengkungnya vertebrae torakalis ke lateral,
disertai rotasi vertebral.
o Observasi kesimetrisan pergerakan dada. Gangguan
pergerakan atau tidak adekuatnya ekspansi dada
mengindikasikan penyakit pada paru atau pleura.
o Observasi retraksi abnormal ruang interkostal selama
inspirasi, yang dapat mengindikasikan obstruksi jalan nafas.
 Cara palpasi
o Dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada dan
mengobservasi abnormalitas, mengidentifikasi keadaan kulit
dan mengetahui vocal premitus (vibrasi).
o Palpasi thoraks untuk mengetahui abnormalitas yang terkaji
saat inspeksi seperti : massa, lesi, bengkak.
o Kaji juga kelembutan kulit, terutama jika klien mengeluh
nyeri.
o Vocal premitus : getaran dinding dada yang dihasilkan ketika
berbicara.
 Cara auskultasi
o Merupakan pengkajian yang sangat bermakna, mencakup
mendengarkan suara nafas normal, suara tambahan
(abnormal), dan suara.
o Suara nafas normal dihasilkan dari getaran udara ketika
melalui jalan nafas dari laring ke alveoli, dengan sifat bersih.
o Suara nafas normal :
 Bronchial : Normal terdengar di atas trachea atau daerah
suprasternal notch. Fase ekspirasinya lebih panjang
daripada inspirasi, dan tidak ada henti diantara kedua fase
tersebut.
 Vesikular : terdengar lembut, halus, seperti angin sepoi-
sepoi. Inspirasi lebih panjang dari ekspirasi, ekspirasi
terdengar seperti tiupan.
 Bronchovesikular : merupakan gabungan dari suara nafas
bronchial dan vesikular. Suaranya terdengar nyaring dan
dengan intensitas yang sedang. Inspirasi sama panjang
dengan ekspirasi. Suara ini terdengar di daerah thoraks
dimana bronchi tertutup oleh dinding dada.
 Cara Perkusi
o Perawat melakukan perkusi untuk mengkaji resonansi
pulmoner, organ yang ada disekitarnya dan
pengembangan (ekskursi) diafragma.
o Jenis suara perkusi :
Suara perkusi normal resonan (sonor) : dihasilkan untuk
mengetahui batas antara bagian jantung dan paru.
d) Sistem Muskuloskeletal
 Cara inspeksi
o Pada saat inspeksi tulang belakang, buka baju pasien untuk
menampakkan seluruh tubuh.
o Inspeksi ukuran otot, bandingkan satu sisi dengan sisi yang
lain dan amati adanya atrofi atau hipertrofi. Kelurusan tulang
belakang, diperiksa dengan pasien berdiri tegak dan
membungkuk ke depan.
o Jika didapatkan adanya perbedaan antara kedua sisi, ukur
keduanya dengan menggunakan meteran.
o Amati adanya otot dan tendo untuk mengetahui kemungkinan
kontraktur yang ditunjukkan oleh malposisi suatu bagian
tubuh.
o Amati kenormalan susunan tulang dan adanya deformitas.
o Skoliosis ditandai dengan kulvatura lateral abnormal tulang
belakang, bahu yang tidak sama tinggi, garis pinggang yang
tidak simetris, dan skapula yang menonjol, akan lebih jelas
dengan uji membungkuk ke depan.
o Amati keadaan tulang untuk mengetahui adanya
pembengkakan Persendian.
o Inspeksi persendian untuk mengetahui adanya kelainan
persendian.
o Inspeksi pergerakkan persendian.

 Cara palpasi
o Palpasi pada saat otot istirahat dan pada saat otot bergerak
secara aktif dan pasif untuk mengetahui adanya kelemahan
(flasiditas), kontraksi tiba-tiba secara involunter (spastisitas)
o Uji kekuatan otot dengan cara menyuruh klien menarik atau
mendorong tangan pemeriksa, bandingkan kekuatan otot
ekstremitas kanan dengan ekstremitas kiri.
o Palpasi untuk mengetahui adanya edema atau nyeri tekan.
o Palpasi sendi sementara sendi digerakkan secara pasif akan
memberikan informasi mengenai integritas sendi. Normalnya,
sendi bergerak secara halus. Suara gemletuk dapat
menunjukkan adanya ligament yang tergelincir di antara
tonjolan tulang. Permukaan yang kurang rata, seprti pada
keadaan arthritis, mengakibatkan adanya krepitus karena
permukaan yang tidak rata tersebut yang saling bergeseran
satu sama lain.
o Periksa adanya benjolan, rheumatoid arthritis, gout, dan
osteoarthritis menimbulkan benjolan yang khas. Benjolan
dibawah kulit pada rheumatoid arthritis lunak dan terdapat di
dalam dan sepanjang tendon yang memberikan fungsi ekstensi
pada sendi biasanya, keterlibatan sendi mempunya pola yang
simetris. Benjolan pada GOUT keras dan terletak dalam dan
tepat disebelah kapsul sendi itu sendiri.
o Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan skala
Lovett’s (memiliki nilai 0 – 5)
 0 = Tidak ada kontraksi sama sekali.
 1 = Gerakan kontraksi.
 2 = Kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalua
melawantahanan atau gravitasi.
 3 = Cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.
 4 = Cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.
 5 = Kekuatan kontraksi yang penuh.
 Cara perkusi
o Refleks patela, Tendon patella (ditengah-tengah patella dan
tuberositas tibiae) dipukul dengan refleks hammer. Respon
berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari
lutut.
o Refleks biceps, lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut
90º, supinasi dan lengan bawah ditopang pada alas tertentu
(meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan pada tendon m.
biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks
hammer. Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit
meningkat bila terjadi fleksi sebagian dan gerakan pronasi.
Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan fleksi
pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
o Refleks triceps, lengan ditopang dan difleksikan pada sudut
90º, tendon triceps diketok dengan refleks hammer (tendon
triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas olekranon). Respon
yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat
bila ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut
menyebar keatas sampai otot-otot bahu atau mungkin ada
klonus yang sementara.
o Refleks achilles, posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk
memudahkan pemeriksaan refleks ini kaki yang diperiksa bisa
diletakkan/disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral.
o Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon
normal berupa gerakan plantar fleksi kaki.
o Refleks abdominal, dilakukan dengan menggores abdomen
diatas dan dibawah umbilikus. Kalau digores seperti itu,
umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah yang
digores.
o Refleks Babinski, merupakan refleks yang paling penting . Ia
hanya dijumpai pada penyakit traktus kortikospinal. Untuk
melakukan test ini, goreslah kuat-kuat bagian lateral telapak
kaki dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian melintasi
bagian jantung kaki. Respon Babinski timbul jika ibu jari kaki
melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar. Respon
yang normal adalah fleksi plantar semua jari kaki.
e) Sistem Endokrin
 Cara inspeksi
o (warna kulit) : Hiperpigmentasi ditemukan pada klien addison
desease atau cushing syndrom. Hipopigmentasi terlihat pada
klien diabetes mellitus, hipertiroidisme, hipotiroidisme.
o Wajah : Variasi, bentuk dan struktur muka mungkin dapat
diindikasikan dengan penyakit akromegali mata.
o Kuku dan rambut : Peningkatan pigmentasi pada kuku
diperlihatkan oleh klien dengan penyakit addison desease,
kering, tebal dan rapuh terdapat pada penyakit hipotiroidisme,
rambut lembut hipertyroidisme. Hirsutisme terdapat pada
penyakit cushing syndrom.
o Inspeksi ukuran dan proporsional struktur tubuh klien : Orang
jangkung, yang disebabkan karena insufisiensi growth
hormon. Tulang yang sangat besar, bisa merupakan indikasi
akromegali.
o Tanda trousseaus dan tanda chvoteks : Peningkatan kadar
kalsium tangan dan jari-jari klien kontraksi (spasme karpal).
 Cara palpasi
o Kulit kasar, kering ditemukan pada klien dengan
hipotiroidisme. Dimana kelembutan dan bilasan kulit bisa
menjadi tanda pada klien dengan hipertiroidisme. Lesi pada
ekstremitas bawah mengindikasikan DM.
o Palpasi kelenjar tiroid (tempatkan kedua tangan anda pada sisi
lain pada trachea dibawah kartilago thyroid. Minta klien untuk
miringkan kepala ke kanan Minta klien untuk menelan.
Setelah klien menelan. pindahkan pada sebelah kiri. selama
palpasi pada dada kiri bawah) : Tidak membesar pada klien
dengan penyakit graves atau goiter.
 Cara auskultasi
Auskultasi pada daerah leher diata tiroid dapat mengidentifikasi
bunyi “bruit“. Bunyi yg dihasilkan oleh karena turbulensi pada
pembuluh darah tiroidea. Normalnya tidak ada bunyi.
f) Sistem Integumen
 Cara inspeksi
o Kaji integritas kulit warna flushing, cyanosis, jaundice,
pigmentasi yang tidak teratur
o Kaji membrane mukosa, turgor, dan keadaan umum, kulit
o Kaji bentuk, integritas, warna kuku.
o Kaji adanya luka, bekas operasi/skar, drain, dekubitus.
 Cara palpasi
o Adanya nyeri, edema, dan penurunan suhu.
o Tekstur kulit.
o Turgor kulit, normal < 3 detik
o Area edema dipalpasi untuk menentukan konsistensi,
temperatur, bentuk, mobilisasi.
o Palpasi Capillary refill time : warna kembali normal setelah 3-
5 detik.
g) Sistem Neurologi
 Cara inspeksi
o Kaji LOC (level of consiousness) atau tingkat kesadaran :
dengan melakukan pertanyaan tentang kesadaran pasien
terhadap waktu, tempat dan orang.
o Kaji status mental.
o Kaji adanya kejang atau tremor.
 Cara palpasi
o Kaji tingkat kenyamanan, adanya nyeri dan termasuk lokasi,
durasi, tipe dan pengobatannya.
o Kaji fungsi sensoris dan tentukan apakah normal atau
mengalami gangguan. Kaji adanya hilang rasa, rasa
terbakar/panas dan baal.
o Kaji fungsi motorik seperti : genggaman tangan, kekuatan
otot, pergerakan dan postur.
 Cara perkusi
o Refleks patela, diketuk pada regio patela (ditengah tengah
patela).
o Refleks achilles, dipukul dengan refleks hammer, respon
normal berupa gerakan plantar fleksi kaki.
h) Sistem Reproduksi
 Cara inspeksi
o Keadaan umum, pemeriksaan khusus obstetri, pemeriksaan
dalam, dan pemeriksaan tambahan.
o Inspeksi tentang status gizi : anemia, ikterus.
o Kaji pola pernapasan (sianosis, dispnea).
o Apakah terdapat edema, bagaimana bentuk dan tinggi badan,
apakah ada perubahan pigmentasi, kloasma gravidarum, striae
alba, striae lividae, striae nigra, hiperpigmentasi, dan areola
mamma.
 Cara palpasi
o palpasi menurut Leopold I-IV
o Serviks, yaitu untuk mengetahui pelunakan serviks dan
pembukaan serviks.
o Ketuban, yaitu untuk mengetahui apakah sudah pecah atau
belum dan apakah ada ketegangan ketuban.
o Bagian terendah janin, yaitu untuk mengetahui bagian apakah
yang terendah dari janin, penurunan bagian terendah, apakah
ada kedudukan rangkap, apakah ada penghalang di bagian
bawah yang dapat mengganggu jalannya persalinan.
o Perabaan forniks, yaitu untuk mengetahui apakah ada bantalan
forniks dan apakah bagian janin masih dapat didorong ke atas.
 Cara auskultasi
Auskultasi untuk mengetahui bising usus, gerak janin dalam
rahim, denyut jantung janin, aliran tali pusat, aorta abdominalis,
dan perdarahan retroplasenter.
i) Sistem Perkemihan
 Cara inspeksi
o Kaji kebiasaan pola BAK, output/jumlah urine 24 jam, warna,
kekeruhan dan ada/tidaknya sedimen.
o Kaji keluhan gangguan frekuensi BAK, adanya dysuria dan
hematuria, serta riwayat infeksi saluran kemih.
o Inspeksi penggunaan condom catheter, folleys catheter,
silikon kateter atau urostomy atau supra pubik kateter.
o Kaji kembali riwayat pengobatan dan pengkajian diagnostik
yang terkait dengan sistem perkemihan.
 Cara palpasi
o Palpasi adanya distesi bladder (kandung kemih)
o Untuk melakukan palpasi Ginjal Kanan: Posisi di sebelah
kanan pasien. Tangan kiri diletakkan di belakang penderita,
paralel pada costa ke-12, ujung cari menyentuh sudut
costovertebral (angkat untuk mendorong ginjal ke depan).
Tangan kanan diletakkan dengan lembut pada kuadran kanan
atas di lateral otot rectus, minta pasien menarik nafas dalam,
pada puncak inspirasi tekan tangan kanan dalam-dalam di
bawah arcus aorta untuk menangkap ginjal di antar kedua
tangan (tentukan ukuran, nyeri tekan ga). Pasien diminta
membuang nafas dan berhenti napas, lepaskan tangan kanan,
dan rasakan bagaimana ginjal kembali waktu ekspirasi.
o Dilanjutkan dengan palpasi Ginjal Kiri : Pindah di sebelah kiri
penderita, Tangan kanan untuk menyangga dan mengangkat
dari belakan. Tangan kiri diletakkan dengan lembut pada
kuadran kiri atas di lateral otot rectus, minta pasien menarik
nafas dalam, pada puncak inspirasi tekan tangan kiri dalam-
dalam di bawah arcus aorta untuk menangkap ginjal di antar
kedua tangan (normalnya jarang teraba).
 Cara perkusi
Untuk pemeriksaan ketok ginjal prosedur tambahannya dengan
mempersilahkan penderita untuk duduk menghadap ke salah satu
sisi, dan pemeriksa berdiri di belakang penderita. Satu tangan
diletakkan pada sudut kostovertebra kanan setinggi vertebra
torakalis 12 dan lumbal 1 dan memukul dengan sisi ulnar dengan
kepalan tangan (ginjal kanan). Satu tangan diletakkan pada sudut
kostovertebra kanan setinggi vertebra torakalis 12 dan lumbal 1
dan memukul dengan sisi ulnar dengan kepalan tangan (ginjal
kiri). Penderita diminta untuk memberiksan respons terhadap
pemeriksaan bila ada rasa sakit.
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Radiologi
2) CT Scan
3) Biopsi
4) Laboratorium
e. Analisa Data

No Data Etiologi Masalah

Pembuluh darah kaku/pecah Nyeri Akut


1 DS : -
DO :
Stroke hemoragik
1. Tampak meringis
2. Bersikap protektif (mis. waspada, posisi
menghindari nyeri) peningkatan volume cairan
3. Gelisah
4. Frekuensi nadi meningkat
5. Sulit tidur penekanan tekanan intra kranial

nyeri akut
DS : pembuluh darah kaku/pecah Hambatan mobilitas fisik
2
Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas
DO : stroke hemoragik
1. Kekuatan otot menurun
2. Rentang gerak (ROM) menurun Peningkatan volume cairan

Resiko perfusi jaringan tidak efektif

Penekanan tenakan intracranial

Arteri cerebri media


Disfungsi N. XI

Penurunan fungsi motoric dan


muskuloskeletal

Kelemahan pada satu/keempat anggota


gerak

Hambatan mobilitas fisik


DS : - pembuluh darah kaku/pecah Resiko jatuh
3
DO :
1. Usia >65 tahun (pada dewasa) atau <2 tahun stroke hemoragik
(pada anak).
2. Riwayat jatuh.
Peningkatan volume cairan
3. Penggunaan alat bantu berjalan.
4. Penurunan tingkat kesadaran.
5. Perubahan fungsi kognitif. Resiko perfusi jaringan tidak efektif
6. Lingkungan tidak aman (mis. licin, gelap,
lingkungan asing).
7. Kondisi pasca operasi. Penekanan tenakan intracranial
8. Hipotensi ortostatik.
9. Kekuatan otot menurun. Arteri karotis interna
10. Neuropati.
11. Efek agen farmakologis (mis. sedasi,
alkohol, anastesi umum). Disfungsi N. II
Aliran darah ke retina menurun

Kemampuan retina untuk menangkap


bayangan menurun

Resiko jatuh
DS : - pembuluh darah kaku/pecah Gangguan komunikasi
4
DO :
1. Tidak mampu berbicara atau mendengar stroke hemoragik
2. Menunjukan respon tidak sesuai
Peningkatan volume cairan

Resiko perfusi jaringan tidak efektif

Penekanan tenakan intracranial

Arteri vertebra basiralis

Kerusakan cerebrospinal N. VII dan N.


IX

Control otot facial/oral menjadi lemah


Ketidakmampuan bicara

Kerusakan articular disatria

Gangguan komunikasi verbal

f. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan penekanan tekanan intra kranial
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan Kelemahan pada satu/keempat anggota gerak
3) Risiko jatuh berhubungan dengan disfungsi N. II
4) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan Kerusakan articular disatria

g. Intervensi Keperawatan

No DP Tujuan Intervensi
.
1. Nyeri akut Tujuan : Manajemen Nyeri
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Tindakan
penekanan tekanan selama 3x24 jam tingkat nyeri menurun Observasi
intra kranial 1. lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
Kritreria Hasil : intensitas nyeri
- Keluhan nyeri menurun 2. Identifikasi skala nyeri
- Meringis menurun 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
- Sikap protektif menurun 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan
- Gelisah menurun memperingan nyeri
- Kesulitan tidur menurun 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang
- Frekuensi nadi membaik nyeri
- Pola nafas membaik 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
- Tekanan darah membaik 7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi
musik, biofeedback, terapi pijat, aroma terapi, teknik
imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi
bermain)
2. Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri
(mis. Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
Jelaskan strategi meredakan nyeri
2.
Anjurkan memonitor nyri secara mandiri
3.
Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
4.
Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
5.
rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
2. Hambatan mobilitas Tujuan : Tujuan : Dukungan Ambulasi
fisik berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Tindakan
dengan Kelemahan selama 3x24 jam mobilitas fifik Observasi
pada satu/keempat meningkat 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
anggota gerak 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
Kriteria Hasil : 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
- Pergerakan ekstremitas meningkat sebelum memulai ambulasi
- Kekuatan otot meningkat 4. Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
- Rentang gerak meningkat Terapeutik
1. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu (mis.
tongkat, kruk)
2. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika perlu
3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
2. Anjurkan melakukan ambulasi dini
3. Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan
(mis. berjalan dari tempat tidur ke kursi roda,
berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi, berjalan
sesuai toleransi)
3. Risiko jatuh Tujuan : Edukasi Pencegahan Jatuh
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Tindakan
disfungsi N. II selama 3 x 24 jam tingkat jatuh Observasi
menurun 1. Identifikasi gangguan kognitif dan fisik yang
memungkinkan jatuh
Kriteria Hasil : 2. Periksa kesiapan, kemampuan menerima informasi
- Jatuh dari tempat tidur menurun dan persepsi terhadap resiko jatuh
- Jatuh saat berdiri menurun Terapeutik
- Jatuh saat duduk menurun 1. Siapkan materi, media tentang factor-faktor
- Jatuh saat berjalan menurun penyebab, cara identifikasi an pencegahan risiko
- Jatuh saat dipindahkan menurun jatuh dirumah sakit mauoun dirumah
- Jatuh saat dikamar mandi menurun 2. Jadwalkan waktu yang tepat untuk membersikan
- Jatuh saat membungkung menurun Pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan dengan
pasien dan keluarga
3. Berikan kesempatan untuk bertanya
Edukasi
1. Ajarkan mengidentifikasi perilaku dan factor yang
berkontribusi terhadap resiko jatuh dan cara
mengurangi semua factor resiko
2. Ajarkan mengidentifikasi tingkat kelemahan, cara
berjalan dan keseimbangan
3. Anjurkan meminta bantuuan saat ingiin menggapai
sesuatu yang sulit
4. Jelaskan pentingnya alat bantu jalan untuk mencegah
jatuh seperti tongkat ataupun kruk
5. Jelaskan pentingnya handrall pada tangga, kamar
mandi dan area jalan dirumah
6. Anjurkan menghindariobjek yang membuat anak-
anak dapat memanjat
4. Gangguan Tujuan : Promosi Komunikasi : Devisit Bicara
komunikasi verbal Setelah dilakukan tindakan keperawatan Tindakan
berhubungan dengan selama 3 x 24 jam komunikasi verbal Observasi
Kerusakan articular meningkat 1. Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
disatria 2. Anjurkan melakukan ambulasi dini
Kriteria Hasil : 3. Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan
- Kemampuan biacar meningkat (mis. berjalan dari tempat tidur ke kursi roda,
- kontak mata meningkat berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi, berjalan
- afasia menurun sesuai toleransi)
- pelo menurun Terapeutik
- gagap menurun 1. Gunakan metode Komunikasi alternative (mis:
menulis, berkedip, papan Komunikasi dengan
gambar dan huruf, isyarat tangan, dan computer)
2. Sesuaikan gaya Komunikasi dengan kebutuhan (mis:
berdiri di depan pasien, dengarkan dengan seksama,
tunjukkan satu gagasan atau pemikiran sekaligus,
bicaralah dengan perlahan sambil menghindari
teriakan, gunakan Komunikasi tertulis, atau meminta
bantuan keluarga untuk memahami ucapan pasien.
3. Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bantuan
4. Ulangi apa yang disampaikan pasien
5. Berikan dukungan psikologis
6. Gunakan juru bicara, jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan berbicara perlahan
2. Ajarkan pasien dan keluarga proses kognitif,
anatomis dan fisiologis yang berhubungan dengan
kemampuan berbicara
Kolaborasi
1. Rujuk ke ahli patologi bicara atau terapis
DAFTAR PUSTAKA

Berman, A., Snyder. S. & Fradsen, G. 92016). Kozier & Erb’s Fumdamentals of
Nursing (10th ed). USA: Pearson Education

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2014). NANDA international Nursing


Diagnoses: Definitions & classification, 2015-2017. Oxford : Wiley Blackwell.

Lewis, SL., Dirksen, SR., Heitkemper, MM, and Bucher, L.(2014).Medical surgical
Nursing. Mosby: ELSIVER

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai