Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada kehidupan sekarang ini tidak sulit lagi untuk meneliti suatu fosil yang
terawetkan dengan ukuran yang makro ataupun mikro. Dengan berkembangnya
zaman dan ilmu pengetahuan, manusia dengan mudah meneliti makhluk hidup
yang telah terfosilkan dengan umur ribuan sampai ratusan juta tahun yang
lalu. Adapun ilmu yang mempelajari fosil adalah paleontologi. Berbeda dengan
mempelajari hewan atau tumbuhan yang hidup di jaman sekarang, paleontologi
menggunakan fosil atau jejak organisme yang terawetkan di dalam lapisan
kerak bumi, yang mengalami proses-proses alami sebagai sumber utama
penelitian. Paleontologi memiliki percabangan ilmu yang dinamakan dengan
mikropaleontologi. Berbeda dari paleontologi, mikropaleontologi adalah ilmu
yang mempelajari fosil dengan ukuran mikro. Ukuran yang hanya dapat diamati
menggunakan alat bantu mikroskop, sebab ukuran fosil itu sendiri tidak lebih
dari empat milimeter. Adapun contoh dari makhluk hidup mikro yaitu
foraminifera yang merupakan hewan laut dengan jenis benthos dan planktonik.
Foraminifera merupakan makhluk hidup bersel tunggal yang memiliki
kamar lebih dari satu dengan masing-masing pembatas. Bentuk keseluruhan
dari foraminifera berbeda-beda, sesuai dengan tipe test. Pada foraminifera ini
juga memiliki hiasan yang menjadi ciri khas dari masing-masing spesies dengan
bentuk yang berbeda-beda. Perbedaan yang kentara antara foraminifera benthos
dan planktonik dapat diketahui melalui cara hidupnya, apabila benthos, maka
hidupnya menambat di dasar laut dan memiliki tubuh yang cenderung lebih
memipih, bedanya dengan yang planktonik hidupnya mengambang di air dan
cenderung memiliki bentuk tubuh yang membulat.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pelaksanaan praktikum ini adalah:
1. Mengetahui ciri-ciri dari genus yang ada pada foraminifera
2. Mendeskripsikan suatu genus yang ada pada foraminifera
3. Mengetahui kegunaan fosil foraminifera
1.3 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan pada pelaksanaan praktikum ini adalah:
1.Modul
2.Alat tulis
4.LKS
5.Maket fosil Hastigerina, Orbulina, Catapsydrax, dan Pulleniatina

Laporan Praktikum Mikropaleontologi Foraminifera Planktonik 1


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Foraminifera merupakan salah satu organisme yang bersimbiosis dan
memiliki asosiasi yang erat dengan terumbu karang. Foraminifera dipilih
sebagai salah satu indikator lingkungan karena foraminifera memerlukan
kesamaan kualitas air dengan berbagai biota pembentuk terumbu karang, dan
siklus hidupnya yang cukup singkat sehingga dapat menggambarkan suatu
perubahan lingkungan yang terjadi dalam waktu cepat. Selain itu foraminifera
juga merupakan organisme yang berukuran relatif sangat kecil, hanya beberapa
jenis yang berukuran lebih besar (>1 mm), jumlahnya berlimpah dan juga
mudah dikoleksi. Hal penting lainnya adalah pengambilan sampel foraminifera
berpengaruh sangat kecil terhadap ekosistem terumbu karang sehingga aman
untuk kelestarian terumbu karang tersebut. Oleh karena itu, foraminifera
sangat meyakinkan dalam penggunaannya untuk menilai kondisi dari suatu
lingkungan perairan terutama laut dangkal dan juga laut dalam (Natsir, 2010).
Hewan atau tumbuhan yang dikira sudah punah tetapi ternyata masih ada
bisa disebut fosil hidup dan ilmu yang mempelajari fosil merupakan ilmu
paleontologi. Fosil masih merupakan alat terbaik dalam mempelajari, mengkaji,
dan menguji teori evolusi. Paleontologi adalah cabang dari ilmu geologi yang
mempelajari fosil. Seluk-beluk fosil dipelajari oleh seorang paleontologist. Fosil
sendiri meruoakan suatu jejak kehidupan dari masa lalu. Banyak yang mengira
kalau ditemukannya fosil dinosaurus itu berupa tulang yang utuh, namun
sebenarnya yang sering ditemukan itu hanyalah bagian dari tulang, atau
tulang-tulang yang berserakan. Mikropaleontologi merupakan cabang dari ilmu
paleontologi yang mempelajari sisa-sisa organisme yang telah terawetkan di
alam berupa fosil yang berukuran mikro, sehingga biasa disebut mikrofosil.
Pengetahuan yang akan dibahas mengenai mikrofosil yaitu berupa klasifikasi,
morfologi, ekologi, dan juga kepentingannya terhadap stratigrafi (Noor, 2012).
Dalam mempelajari sifat-sifat dan struktur dari mikrofosil, maka akan
dilakukan dan diamati dibawah mikroskop cahaya atau elektron. Umumnya
fosil mikro berukuran tidak lebih dari lima millimeter. Namun, ada yang
berukuran sampai 19 milimeter seperti genus fusulina yang memiliki cangkang-
cangkang sama seperti halnya dengan yang dimiliki organisme, embrio, bentuk
dari fosil-fosil makro serta bagian-bagian tubuh dari fosil makro (Daniel, 2017).
Batuan sedimen karbonat adalah batuan sedimen yang memiliki
kandungan mineral karbonat lebih dari 50%. Mineral karbonat tersebut dapat
terbentuk dari proses biokimia sebagai hasil dari aktivitas makhluk hidup.
Material karbonat tersebut dapat berupa karbonat klastik yang tersemenkan

Laporan Praktikum Mikropaleontologi Foraminifera Planktonik 2


ataupun karbonat kristalin hasil dari proses presipitasi. Keduanya sangat
berkaitan dengan peran organisme sebagai pembentuk komposisi utama batuan
karbonat itu sendiri. Peran krusial dari organisme terhadap pembentukan
batuan karbonat tersebut dapat diamati dari analisis mikropaleontologi pada
batuan karbonat. Organisme yang mempengaruhi pembentukan batuan
karbonat akan terlihat kehadirannya sebagai fosil yang mencerminkan kaitan
erat proses keterbentukan batuan sedimen karbonat dari proses biokimia Salah
satu jenis fosil yang umum ditemui pada sayatan tipis batuan sedimen karbonat
adalah foraminifera. Foraminifera adalah organisme bersel satu yang dalam pola
hidupnya mampu membangun cangkang yang bersifat gampingan dengan
arsitektur cangkang yang unik dan rumit. Foraminifera bentonik besar
merupakan jenis foraminifera yang memiliki ukuran 600 mikron yang kurang
dari 20 cm, diameter cangkang 5–20 mm, hidup bersama alga dan diatom,
memiliki struktur dalam yang kompleks dan membutuhkan preparasi khusus
untuk mengidentifikasinya, biasanya hidupnya merayap (Pringgoprawiro, 2000).
Filum Protista merupakan filum yang menunjukkan bahwa foraminifera
merupakan organisme uniseluler. Dalam menentukan lingkungan pengendapan
terumbu, foraminifera memiliki peran penting dalam mengidentifikasinya,
khususnya foraminifera bentonik besar. Hal ini dikarenakan kehadiran
foraminifera sebagai biota penciri lingkungan pengendapan sangat dipengaruhi
faktor paleoekologi. Peran foraminifera bentonik besar yang ini dipengaruhi oleh
kecenderungannya untuk berevolusi sangat cepat, berlimpah, persebarannya
yang luas, dan beberapa jenis diantaranya mengalami kepunahan yang cepat
pula. Pada lingkungan pengendapan terumbu, kehadiran cangkang foraminifera
dalam suatu komposisi dari batuan karbonat mencapai 15%, dengan perannya
membentuk material karbonat dapat dibandingkan dengan alga (Hallock, 2003).
Fosil dari foraminifera memiliki banyak fungsi, diantaranya yaitu dapat
digunakan sebagai fosil indeks atau fosil penunjuk umur suatu batuan yang
terkandung. Fosil ini juga dapat digunakan untuk menentukan lingkungan
pengendapan, juga dapat digunakan untuk sebagai petunjuk lingkungan
sedimentasi dan juga sebagai penunjuk iklim. Dalam menentukan lingkungan
pengendapan terumbu, foraminifera memiliki peran yang sangat penting dalam
mengidentifikasinya, khususnya pada fosil foraminifera bentonik besar. Hal ini
dikarenakan kehadiran dari foraminifera sebagai biota merupakan penciri
lingkungan pengendapan yang sangat dipengaruhi faktor paleoekologi. Peran
foraminifera bentonik besar yang sangat sigifikan ini dipengaruhi oleh
kecenderungannya untuk berevolusi sangat cepat, berlimpah, persebarannya
yang luas beberapa jenis diantaranya mengalami kepunahan ( Endarto, 2005).

Laporan Praktikum Mikropaleontologi Foraminifera Planktonik 3


3.2 Pembahasan
Dari praktikum yang telah dilaksanakan kemarin, praktikan melakukan
pendeskripsian berbagai macam spesies dari lima genus foraminifera, yaitu
Orbulina, Hastigerina, Catapsydrax dan yang terakhir Pulleniatina.
Pendeskripsian dilakukan dengan menganalisis maket fosil yang telah dibuat
sebelumnya. Pada pertemuan kali ini, dari keempat genus lebih banyak
memperlihatkan bentuk-bentuk yang globular dan juga biumbilcate. Praktikan
juga mempelajari bahwa cangkang atau dinding dari foraminifera memiliki
kandungan yang berbeda-beda pula, namun kebanyakan tersusun dari
kandungan gamping hyaline CaCo3 (kalsit atau aragonit) tergantung dari spesies
masing-masing genus. Kandungan lainnya juga berupa pasir-pasir halus, bahan
organik, dan partikel lainnya yang akan merekat oleh semen. Selain kandungan
dari suatu foraminifera, juga dipelajari jenis-jenis aperture dan juga jenis-jenis
suture. Foraminifera memiliki beberapa jenis aperture yang dibedakan dari
letaknya. Ada aperture yang terletak pada daerah umbilicus yang merupakan
Primary Aperture Interiomarginal Umbilical, lalu ada yang terletak pada daerah
umbilicus, tetapi melebar hingga ke bagian peri-peri atau hiasan berjenis
Primary Aperture Interiomarginal Umbilical Extra Umbilical, setelah itu ada jenis
aperture secondary yang aperture-nya memiliki lubang lain yang lebih kecil, dan
terakhir ada accessory aperture yang letaknya pada struktur accessory. Selain
jenis aperture, ada pula jenis-jenis dari suture yang dibedakan menjadi bentuk
tertekan, lurus, dan juga suture yang memiliki hiasan. Dari analisis maket yang
telah praktikan buat, didapatkan bentuk suture dari genus yang dideskripsi
memiliki bentuk tertekan yang dapat dibedakan lagi dari tertekan kuat dan
lemah. Apabila bentuk dari suatu suture tertekan lemah, bentuk dari test lebih
memperlihatkan bentuk yang bulat hampir sempurna, berbeda dengan tertekan
kuat yang akan membentuk suatu test lebih memipih mirip seperti cangkang.
Dari masing-masing genus yang dipelajari, genus dari foraminifera tersebut
memiliki ciri khas yang berbeda-beda dari segi bentuk test, susunan dan jumlah
kamar, letak aperture, jenis suture, hiasan, serta komposisi dinding suatu test.
Dari hasil pendeskripsian, foraminifera genus Hastigerina aequilateralis
memiliki susunan kamar yang planispiral involute yaitu susunan kamar
melingkar namun kamar terakhir tidak sampai menutupi kamar utama, namun
berada di atasnya. Aperture-nya equatorial yaitu terdapat lubang utama berada
di area samping test serta memiliki bentuk test subglobular dan bentuk
kamarnya globular. Jenis suture tertekan kuat dan memiliki susunan kamar
planispiral dengan jumlah kamar bagian ventral dan bagian dorsal-nya sama,
lalu memiliki hiasan pada permukaan test pustulose dan aperture-nya lip atau

Laporan Praktikum Mikropaleontologi Foraminifera Planktonik 4


rim. Lalu, komposisi pada test yaitu gamping hyalin yang dindingnya terdiri dari
zat-zat gampingan bertekstur transparan dan permukaan test yang berpori.
Maket kedua yaitu foraminifera genus Pulleniatina spertabilis memiliki
susunan kamar yang berbeda antara kenampakan ventral dan dorsal-nya, maka
dikategorikan susunan kamarnya berjenis trochospiral, dengan jumlah kamar
ventral sebanyak lima kamar dan juga pada dorsal berjumlah dua belas kamar.
Bentuk keseluruhan test berjenis subglobular dan bentuk dari kamar
menunjukkan bentuk globular. Komposisi dari dinding spesies ini adalah
gamping hyaline. Adapun bentuk suture tertekan lemah pada ventral maupun
dorsal-nya. Memiliki aperture jenis extra umbilical karena aperture terletak pada
daerah test hingga ke hiasannya. Hiasan pada spesies ini terlihat pada
permukaan test-nya berbentuk smooth karena halus tanpa adanya lubang.
Setelah itu, ada foraminifera dengan genus Orbulina suturalis memiliki
susunan kamar yang berjenis planispiral karena pada sisi ventral maupun
dorsal-nya terlihat kenampakan kamar yang sama dilihat dari sisi mana pun.
Bentuk dari test berupa globular, lalu terlihat bentuk kamarnya pun juga
globular. Dengan kandungan test gamping hyaline. Memiliki aperture berjenis
small opening aperture karena terlihat kamar utama yang terselimuti oleh kamar
terakhir. Bentuk suture-nya tertekan lemah pada ventral maupun dorsal-nya.
Setelah itu, terdapat hiasan pada permukaan test yang berbentuk punctate.
Terakhir, genus yang praktikan deskripsikan yaitu genus Catapsydrax
howeii yang memiliki kamar ventral berjumlah tiga dan jumlah dorsal lima
kamar. Dengan begitu, dapat dikatakan susunan kamar pada spesies ini
berjenis trochospiral. Bentuk keseluruhan test berjenis globular, dan juga
bentuk kamar berjenis globular. Suture dari spesies ini berjenis tertekan lemah
pada ventral maupun dorsal. Dengan komposisi pada dinding test yaitu gamping
hyaline. Aperture-nya berjenis P.A.I Umbilical dan Infralaminar Accessory
Aperture. Hiasan pada permukaan test berupa reticulate, aperture berjenis bulla.
Dengan mendeskripsikan keempat genus planktonik ini, maka praktikan dapat
mengetahui apa-apa saja kegunaan dan manfaat dari fosil foraminifera
planktonik ini yang akan sangat berguna bagi ilmu geologi apa lagi dalam
menganalisis kisaran umur suatu organisme dari suatu batuan yang
terkandung, karena jika dilihat dari kandungan fosil yang ada, umur batuan
akan dapat terungkap. Tidak hanya itu, kegunaan lainnya yaitu juga dapat
mengetahui suatu hubungan dari stratigrafi dari dua daerah yang berbeda, dan
juga sebagai penentu batas-batas muka air laut transgresi atau regresi, dilihat
dari penciri fosil yang ada dan terkandung, terakhir juga sebagai biostratigrafi.

Laporan Praktikum Mikropaleontologi Foraminifera Planktonik 5


BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari praktikum ini adalah:
1. Penciri dari masing-masing spesies yang ada pada genus foraminifera
planktonik biasanya dilihat dari keberadaan aperture suture, jenis hiasan
yang ada pada test, juga dapat dilihat dari susunan kamar.
2. Mendeskripsikan suatu spesies dari foraminifera dilihat dari susunan
kamar, bentuk test, bentuk kamar, bentuk suture, jenis aperture, dan
juga hiasan yang ada pada test, aperture, suture, umbilicus, dan peri-peri.
3. Kegunaan utama dari fosil foraminifera adalah penentu umur batuan
atau menjadi fosil indeks yang digunakan sebagai penunjuk umur,
membantu dalam pembelajaran lingkungan pengendapan, perkorelasi
stratigrafi dari suatu daerah dengan daerah lain, dan juga digunakan
untuk penyusunan satuan biostratigrafi.
4.2 Saran
Diharapkan agar praktikum selanjutnya, praktikan mampu memahami dan
mengingat penciri dari masing-masing genus foraminifora planktonik agar dalam
pendeskripsian berjalan dengan mudah.

Laporan Praktikum Mikropaleontologi Foraminifera Planktonik 6


DAFTAR PUSTAKA

Daniel. A.O.T.2017. “Sistem Pakar Penentuan Jenis Planktonik Foraminifera


Berbasis Web Dengan Metode Forward Chaining”. Jurnal Ilmiah Teknologi
Informasi Terapan. Vol.4 (1).
Endarto, Danang. 2005. Pengantar Geologi Dasar. Surakarta: UPT Penerbitan
dan Pencetakan UNS.
Hallock, P., Lidz, B.H., Burkhhard, E.M.C., Donnelly, K.B. 2003. Foraminifera as
Bioindicators in Coral Reef Assessment and Monitoring: The FoRAM Index
Environmental Monitoring and Assessment. 81:221-238.
Natsir, S.M. 2010. “Foraminifera Bentik sebagai Indikator Kondisi Lingkungan
Terumbu Karang Perairan Pulau Katok Besar dan Pulau Nirwana,
Kepulauan Seribu”. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia.
36(2):181-192.
Noor, D. 2012. Pengantar Geologi. Bogor: Pakuan University Press.
Pringgoprawiro, H. and Kapid, R., 2000. Foraminifera: pengenalan mikrofosil dan
aplikasi biostratigrafi. ITB. Bandung. 183hlm.

Laporan Praktikum Mikropaleontologi Foraminifera Planktonik 7

Anda mungkin juga menyukai