Anda di halaman 1dari 3

Kasus Teluk Buyat

Too little and too late: itulah ungkapan yang tepat untuk
melukiskan langkah pemerintah dalam tragedi Buyat. Perhatian pemerintah baru
tumbuh justru setelah sejumlah warga dan biota di kawasan teluk itu telanjur
menjadi korban dari wabah penyakit. Padahal, jauh-jauh hari sebelum kasus ini
meledak, potensi dan bahaya pencemaran ekologi di wilayah itu sebenarnya
telah diekspos dan disuarakan oleh sejumlah LSM.
          Kegigihan warga dan korban Teluk Buyat dalam mengejar keadilan telah
mengungkap penyakit kronis penegakan hukum di sektor lingkungan. Ia, lebih
jauh, lalu memaksa kita merasakan adanya semacam situasi darurat, yakni
minimnya perhatian dan usaha dari pengelola kekuasaan negara dalam
melindungi hak-hak warga atas lingkungan hidupnya. Situasi darurat itu jadi
demikian terasa, bila diingat, sebelum tragedi Buyat sebenarnya kasus-kasus
pencemaran dan perusakan ekologi serupa sudah berkali-kali terjadi. Proses self
destruction terhadap bumi dan bangsa ini tak boleh terus dibiarkan.
          Pemerintah, sebagai pengelola langsung kekuasaan negara, berkewajiban
menjaga dan melindungi lingkungan hidup bagi warga negaranya. Dalam
urusan itu, sudah waktunya pemerintah mengupayakan kebijakan-kebijakan
yang tidak cuma memberi peluang bagi kalangan korporasi, tapi juga
mendorong mereka untuk memenuhi kewajiban sosial mereka terhadap
masyarakat dan lingkungan di mana mereka beroperasi.

          Pelajaran penting dari tragedi teluk Buyat adalah betapa mendesaknya
perlindungan hak-hak asasi manusia jadi bagian dari sikap kebijakan
pemerintah terhadap korporasi-korporasi yang beroperasi di Indonesia.

Pemerintah harus bertanggung jawab


Kembali ke kasus Buyat: siapakah yang lalu harus bertanggung jawab dalam
tragedi ini? Saya kira, pertanggungjawaban dapat dilihat dalam dua tingkat.
Sebuah penelitian yang independen dan sungguh-sungguh sangat diperlukan
untuk memeriksa duduk perkara dari pencemaran ekologi yang mengakibatkan
wabah penyakit ini. Perusahaan yang dituduh harus membuka dirinya pada
upaya penelitian ini untuk menentukan tingkat pertanggungjawaban yang bisa
dimintakan kepada mereka. Pada tingkat pertanggungjawaban ini, korban bisa
secara langsung menggugat perusahaan. Namun, dari perspektif hak-hak asasi
manusia, sebenarnya pemerintahlah yang memiliki beban pertanggungjawaban
paling tinggi.

Kenapa? Jawabannya: karena berdasarkan hukum internasional hak-hak asasi


manusia, negara adalah pihak yang berkewajiban dan bertanggung jawab
terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia dari setiap warganya. Kendati
benar bahwa tragedi Buyat telah memberi kita perspektif mengenai “non-state
actors” sebagai pelaku pelanggaran hak-hak asasi manusia, namun sebetulnya
ultimate responsibility dalam kasus ini tetap berada di tangan negara. Alasannya
jelas: karena tidak ada korporasi mana pun bisa beroperasi di suatu negeri tanpa
mendapat izin dari pemerintah. Sekali izin dikeluarkan, maka adalah imperatif
bagi setiap pemerintah untuk memastikan bahwa korporasi dijalankan dengan
kesesuaian dan kepatuhan terhadap standar-standar hak-hak asasi manusia
internasional, termasuk ke dalamnya hak terhadap lingkungan yang sehat.

Kita ingin mendengar dari pemerintah, apa sebabnya tragedi ini bisa terjadi?
Apakah pemerintah telah secara konsisten dan reguler melakukan kontrol
terhadap praktik-praktik korporasi yang operasinya bisa berisiko pencemaran
ekologi? Apakah pemerintah telah mengambil seluruh tindakan yang diperlukan
untuk memastikan bahwa setiap korporasi memiliki langkah-langkah
pencegahan kerusakan lingkungan dalam operasinya? Tanggung jawab
pemerintah yang pertama adalah melakukan sebuah penelitian yang jujur dan
terbuka untuk memastikan bahwa kesalahan dapat dikenali dan diperbaiki.

Yang sangat penting juga: apakah pemerintah telah memiliki kebijakan terhadap
para korban tragedi Buyat yang hak-haknya telah dilanggar? Sungguh tidak
pantas bila pemerintah mengecil-ngecilkan kasus ini di saat para korban harus
menghadapi kenyataan bahwa hidupnya terpaksa berubah dan tak bisa sama lagi
seperti sebelumnya akibat tragedi pencemaran ekologi ini. Tanggung jawab
kedua pemerintah adalah memastikan bahwa setiap keluhan korban didengar
dan menjadi salah satu dasar bagi penyusunan kebijakan untuk menyantuni
mereka.
          Harus diingat bahwa tindakan pelanggaran hak-hak asasi manusia
dilakukan dalam dua bentuk: act of commission dan act of omission. Apabila
dapat dibuktikan bahwa sikap lalai pemerintah memiliki kontribusi pada
terjadinya tragedi Buyat, maka pemerintah secara kategoris dapat dituduh telah
melakukan pelanggaran. Maka warga dan korban Teluk Buyat juga sebenarnya
bisa menggugat pemerintah.
          Akhirnya, banyak pertanyaan-pertanyaan lain bisa diajukan untuk
menuntut pertanggungjawaban. Namun, tidak kurang pentingnya untuk pada
saat bersamaan juga mempertanyakan kepada pemerintah apa kebijakan mereka
untuk mencegah hal yang sama berulang di masa datang?

          Dari tragedi Buyat kita sebenarnya bisa belajar: bila pemerintah tidak
memiliki strategi kebijakan untuk mendorong setiap korporasi memenuhi
standar hak-hak asasi manusia internasional, maka kasus-kasus pencemaran
ekologi lainnya sedang menunggu giliran meledak. Dari tragedi Buyat ini, kita
harus merenungkan dan meninjau kembali, sikap dan tindakan kita terhadap
kebijakan yang pernah diambil.

Ø Kesimpulan : Tragedi teluk Buyat adalah betapa mendesaknya perlindungan hak-


hak asasi manusia jadi bagian dari sikap kebijakan pemerintah terhadap
korporasi-korporasi yang beroperasi di Indonesia. 

Anda mungkin juga menyukai