Anda di halaman 1dari 2

Bencana telah dijadikan sebagai ladang korupsi.

Para pelaku tidak hanya berani menyelewengkan dana dan


proyek bantuan, tetapi juga tega memeras korban bencana. Sepertinya sudah tidak ada lagi tempat ”tabu”
bagi para pelaku korupsi untuk melancarkan aksinya. Setelah kegiatan terkait ”ketuhanan”, seperti
pengadaan Al Quran dan penyelenggaraan ibadah haji, kini bantuan ”kemanusiaan” untuk korban bencana
pun jadi sasaran korupsi. Dari tiga bencana terakhir yang melanda Indonesia, semua diwarnai kasus korupsi.
Dalam gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat, anggota DPRD dan pegawai Kementerian Agama (Kemenag)
Lombok Barat masing-masing ditangkap kejaksaan dan kepolisian di Mataram.

Anggota DPRD diduga memeras kepala dinas pendidikan dan kontraktor terkait proyek rehabilitasi gedung
sekolah yang terdampak gempa, sedangkan pegawai Kemenag memotong dana pembangunan masjid
pascagempa. Dalam gempa-tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, giliran Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang menangkap pengusaha dan pejabat di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat (PUPR). Mereka terlibat suap, salah satunya proyek pembangunan sistem penyediaan air minum
untuk korban gempa-tsunami.

Kasus paling akhir berkaitan dengan tsunami Selat Sunda. Polisi menetapkan beberapa pegawai Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Drajat Prawiranegara, Serang, sebagai tersangka. Mereka melakukan pungutan liar
dalam proses pengurusan jenazah korban tsunami.

Tiga titik rawan

Potensi korupsi tidak hanya pada saat fase bencana terjadi, tetapi juga sebelum dan sesudahnya. Jadi, paling
tidak ada tiga titik rawan yang harus diwaspadai.

Pertama, fase prabencana. Pada fase ini, sasaran korupsi adalah proyek pengadaan atau pelatihan terkait
dengan mitigasi bencana. Korupsi pembangunan shelter tsunami di Labuan, Pandeglang, Banten, bisa
dijadikan contoh. Dibangun dengan biaya hingga Rp 18 miliar dari dana APBN dengan tujuan meminimalkan
korban, tetapi tak bisa digunakan ketika tsunami benar-benar menerjang daerah Labuan.

Kedua, fase saat bencana tengah terjadi atau fase tanggap darurat. Fase ini yang paling rawan karena proyek
atau kegiatan dilakukan di tengah kesibukan membantu korban bencana. Pengadaan-pengadaan harus
dilakukan secara cepat dan masif. Pola-pola korupsi seperti penggelembungan (mark-up) harga dan
manipulasi penerima bantuan mudah untuk dilakukan.

Ketiga, pascabencana atau fase rehabilitasi. Pada fase ini pun potensi korupsi sangat besar sebab melibatkan
uang yang begitu banyak, terutama untuk kegiatan rehabilitasi atau pembangunan hunian tetap dan hunian
sementara. Selain suap seperti dalam kasus yang melibatkan pejabat di Kementerian PUPR, modus korupsi
lainnya adalah mark up, pembangunan fiktif, atau pengurangan spesifikasi.

Minimnya pengawasan merupakan penyebab utama yang membuat bantuan terkait bencana begitu rentan
diselewengkan. Semua lebih memilih berkonsentrasi mencari dan menyelamatkan korban, serta
mengumpulkan dan mendistribusikan bantuan.Apalagi banyak yang meyakini bahwa tidak akan ada orang
yang tega dan berani mencari keuntungan dari bencana. Kondisi tersebut ditambah informasi mengenai
bantuan bencana yang cenderung tertutup.
Selain pengawasan, faktor lain adalah keleluasaan bagi pemerintah melakukan penunjukan langsung dalam
pengadaan bantuan, khususnya pada fase tanggap darurat. Mekanisme ini bisa dengan cepat merespons
kebutuhan korban jika dibandingkan proses tender, tetapi sangat rawan penyelewengan. Tanpa ada
pengawasan, kolusi dalam penentuan pemenang, mark up harga, ataupun manipulasi distribusi bantuan
sangat mungkin terjadi, sangat jelas, korupsi memperburuk dampak bencana dan memperberat derita para
korban. Praktik tercela itu menjadi biang keladi atas kegagalan upaya meminimalkan kerusakan dan jumlah
korban. Termasuk menghambat proses rehabilitas pascabencana, terutama dalam pembangunan hunian
dan fasilitas umum. Salah satu upaya untuk memerangi korupsi bencana adalah memberikan sanksi berat
kepada para pelaku. Terlepas dari usulan penerapan hukuman mati seperti yang tengah dipertimbangkan
pimpinan KPK, hukuman berat bisa menjadi salah satu cara agar muncul efek jera. Hukuman penjara
maksimal hingga pemiskinan akan membuat siapa pun berpikir ulang untuk menyalahgunakan bantuan
bencana. Undang-Undang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi sudah membuka ruang itu.

Selain sanksi, meningkatkan pengawasan dan tata kelola dana bencana juga jadi kebutuhan penting. Jangan
karena dalih bencana, semua pengadaan dan kegiatan dibuat serba tertutup. Pemerintah bisa belajar dari
lembaga atau kelompok masyarakat yang secara swadaya mengumpulkan dan menyalurkan bantuan setiap
kali terjadi bencana. Secara rutin dan terbuka mereka mengumumkan donasi dan penggunaannya.

Tanda bahaya

Terlepas dari berbagai dampak buruk, korupsi bencana juga bisa menjadi tanda bahaya. Ini juga
menunjukkan bahwa korupsi mulai tidak terkendali dan menyebar ke banyak sektor. Apabila tidak diperangi
secara serius, bukan tidak mungkin kondisinya makin parah. Merujuk Syed Hussain Alatas (1981), korupsi
bisa masuk stadium tiga atau stadium gawat darurat. Ia menyebar secara luas, berlangsung sistematis, dan
saling menghancurkan. Bencana korupsi akan menimbulkan bencana besar yang jauh lebih besar. Pelayanan
publik terganggu, biaya politik makin mahal, kemiskinan, hingga rusaknya lingkungan hidup. Bahkan sudah
banyak contoh negara yang gagal karena tidak bisa mengontrol korupsi. Komitmen kuat dari pemimpin
negara dan keterlibatan semua pihak dalam perang melawan korupsi jadi kunci penting untuk mencegah
bencana korupsi. Di Indonesia sudah memiliki modal seperti KPK yang terus membongkar berbagai kasus
korupsi politik dan strategi nasional pencegahan korupsi (Stranas PK), yang bisa menjadi panduan sekaligus
sinergi semua kelompok untuk mencegah dan melawan korupsi.

Anda mungkin juga menyukai