Anda di halaman 1dari 5

2/16/2021 Pengantar Inti Kerja Kemanusiaan - Bacaan

Memahami Bencana di Indonesia


Mendengar kata bencana, asosiasi pikiran kebanyakan orang adalah pada tsunami, gempa bumi, banjir, dsb. Memang
tidak salah memahami bencana sedemikian, karena hal-hal itu adalah bencana yang sering terjadi di negeri kita. Itu
adalah bencana yang segera dapat dikenali, beritanya cepat tersebar karena kejadiannya yang dramatis. Biasanya terjadi
secara tidak terduga, dalam waktu yang sebagai bencana alam. Suatu bencana karena ulah alam. Hal mana sering
dibedakan dari bencana karena ulah manusia, seperti konflik, peperangan dan masalah-masalah yang diselesaikan
dengan jalan kekerasan. Di samping itu, bencana dapat terjadi karena kegagalan teknologi buatan manusia, seperti
bencana bocornya pusat reaktor nuklir Chernobyl beberapa tahun lalu, yang dampaknya menyengsarakan banyak orang
dari sejak kanak-kanak karena radiasi yang mengakibatkan cacat. Itulah yang sering disebut sebagai bencana karena
ulah manusia. Di tanah air, masih segar dalam ingatan kita bencana lumpur Lapindo yang menenggelamkan sejumlah
kecamatan di Sidoardjo, menyengsarakan ratusan ribu penduduk dan mengacaukan kehidupan ekonomi, baik karena
PHK, biaya angkutan orang dan barang yang menjadi lebih mahal, dsb. Pada pertengahan tahun 2009 terjadi kecelakaan
tambang batu bara di Sawahlunto, dengan terjadinya ledakan gas metana (CH4) dengan sejumlah korban jiwa.
Namun, ada pula bencana yang penyebabnya adalah karena ulah manusia dan alam sekaligus. Tepatnya, ulah manusia
yang berakibat pada terjadinya ketidaksemimbangan alam yang menyebabkan timbulnya bencana. Contoh yang paling
sederhana adalah banjir. Karena penggundulan hutan atau tata kelola lingkungan yang buruk, mengakibatkan banjir pada
waktu musim hujan. Ulah manusia yang kurang bijaksana mengelola alam, menjadi pangkal bencana alam. Contoh lain
adalah pemanasan global yang sekarang sudah semakin dirasakan ancaman dan dampaknya, sebabnya adalah
penggunaan teknologi yang merusak keseimbangan alam.
Pemerintah Republik Indonesia melalui UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana memberi batasan
tentang bencana sebagai berikut: “Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis.” Lebih lanjut, batasan tentang bencana itu dirinci dalam tiga kategori dengan batasan-
batasannya sebagai berikut:

1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh
alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
2. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang
antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.

Bencana lain yang tidak kalah pentingnya adalah hal-hal yang sering tidak kelihatan sebagai bencana, tetapi sebenarnya
merupakan bencana kemanusiaan yang tragis. Misalnya, kematian bayi dan anak yang cukup besar di suatu negara atau
malah dunia. Di Indonesia, setiap 2 menit, satu anak balita meninggal dunia, 50% nya disebabkan karena kekurangan gizi
atau penyakit-penyakit yang terkait dengan daya tahan tubuh yang rendah karena kekurangan gizi. Kalau setiap 2 menit
terjadi 1 anak balita meninggal dunia, maka setiap jam terdapat 30 kematian balita, yang artinya setiap hari terjadi 720
kematian balita. Angka itu sama kurang lebih sama dengan 3.5 kali bom Bali pertama, yang korbannya kurang lebih
200an orang meninggal dunia. Atau kurang lebih 5 kali korban jatuhnya pesawat Adam Air beberapa tahun yang lalu,
yang korbannya adalah sekitar 150an orang. Akan tetapi kematian balita sebanyan 720 orang per hari, tidak pernah
menjadi kehebohan media, seperti bom Bali atau kecelakaan pesawat. Inilah yang disebut sebagai silent disaster,
bencana yang senyap yang tidak dianggap sebagai bencana. Dilhat dari besarnya korban bencana lain adalah
kecelakaan lalu lintas. Data statistik tahun 2008 dari Kementerian Perhubungan melaporkan bahwa kecelakaan lalu lintas
pada tahun sebelumnya mencapai 56.600 kejadian dengan melibatkan lebih dari 130.000 kendaraan dan mengakibatkan
korban tewas mencapai 19.216 jiwa, dan korban luka-luka lebih dari 75.000 jiwa. Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah
korban telah melebihi jumlah korban tewas akibat Tsunami Aceh-Nias tahun 2004.
Fenomena kematian balita itu adalah dampak dari masalah yang lebih besar, yaitu kemiskinan. Kemiskinan, karena akibat
dan resiko yang ditimbulkannya pada dasarnya adalah suatu bencana yang senyap. Menjadi bencana yang senyap,
karena tidak terjadi secara mendadak dalam waktu sekejap, walau bencana alam yang mendadak dan terjadi sekejap
dapat menimbulkan kemiskinan juga. Demikian pula ancaman bahaya dan resikonya tidak dramatis dan menciptakan
suatu situasi emosional. Namun, dapat menjadi emosional, sewaktu ada anak-anak keluarga miskin yang meninggal
karena keluarganya hanya mampu menyajikan tiwul. Situasi emosional ini kemudian dapat dibuat gaduh oleh politisi untuk
berbagai kepentingan, termasuk beberapa waktu yang lalu oleh para tokoh agama.
Jadi elemen-elemen bencana yang pada umumnya dipahami oleh masyarakat adalah suatu kejadian yang pada
umumnya terjadi sekonyong-konyong, tidak terduga yang membawa akibat penderitaan serta kerugian yang sangat besar,
kadang dengan korban jiwa yang tak terhitung banyaknya. Akibat dan dampak tersebut dapat bersifat jangka pendek
maupun jangka panjang. Kejadian tersebut mengubah kenormalan kehidupan sehari hari. Pemahaman bencana
sedemikian itu dapat digambarkan sebagai berikut:

https://www.kelase.com/kelas/12931/bacaan/22583/50076 1/5
2/16/2021 Pengantar Inti Kerja Kemanusiaan - Bacaan

Lingkaran berwarna hijau menggambarkan kenormalan suatu kondisi kehidupan. Terdapat bahaya dan ancaman, tetapi
bahaya dan ancaman itu tidak cukup besar untuk mengguncang kenormalan kehidupan suatu masyarakat. Maka walau
ada kejadian-kejadian yang dapat menimbulkan bencana, tetapi tidak menjadi bencana. Berbeda dengan keadaan yang
satunya. Bahaya dan ancaman mengubah kenormalan kondisi kehidupan suatu masyarakat. Pada saat itulah masyarakat
mengalami bencana.
Dalam pemahaman itu, suatu kejadian akan menjadi bencana pada waktu skalanya lebih besar dari kemampuan
masyarakat untuk menghadapinya. Dalam kondisi ketidakmampuan yang lebih besar, maka kejadian yang lebih kecilpun
dapat menjadi bencana bagi suatu masyarakat. Jadi suatu bencana sebenarnya tergantung pada kerentanan maupun
kemampuan suatu masyarakat yang mengalami suatu kejadian tertentu. Kejadian yang sama dapat menjadi bencana bagi
suatu kelompok masyarakat atau bukan merupakan bencana bagi masyarakat lainnya. Pada waktu gempa Tasikmalaya
terjadi pada tanggal 2 September 2010, dalam waktu beberapa hari, sejumlah rumah yang rusak segera berdiri kembali,
karena para pemiliknya adalah karyawan dari suatu perusahaan yang peduli terhadap kejadian bencana tersebut. Bagi
sebagian besar orang lain, gempa bumi itu membawa derita dan kehilangan jangka panjang, yang mungkin tidak dapat
dipulihkan lagi. Bagi mereka yang mempunyai sistem dukungan, seperti perusahaan yang peduli bencana, kejadian itu
tidak menjadi bencana, dalam pengertian segara dapat pulih dari akibat kejadian yang bagi orang lain menimbulkan
penderitaan dan kehilangan berkepanjangan.
Dengan demikian, bencana dapat dikatakan sebagai ancaman bahaya karena suatu kejadian yang jauh lebih besar dari
kemampuan orang untuk menanggungnya. Atau pada waktu kerentanan suatu kelompok masyarakat itu tinggi, maka
masyarakat itu rawan bencana. Perlu diingat di sini, ancaman bahaya atau akibat dari suatu kejadian itu, tidak selalu
kejadian alam. Kebijakan pemerintah, misalnya dalam menaikkan harga BBM, bagi sebagaian masyarakat tertentu
menjadi suatu bencana yang terjadi sekonyong-konyong, bagi sebagian lain menjadi bencana secara pelan-pelan, karena
daya beli yang secara pelan-pelan menurun, oleh pendapatan yang tidak meningkat sementara harga kebutuhan pokok
secara pasti terus merayap naik. Bagi sebagian orang lagi, kenaikan harga BBM itu tidak merupakan bencana sama
sekali.
Pemahaman sedemikian dapat digambarkan sebagai berikut:

https://www.kelase.com/kelas/12931/bacaan/22583/50076 2/5
2/16/2021 Pengantar Inti Kerja Kemanusiaan - Bacaan

Pada waktu ada bahaya atau ancaman yang jauh lebih besar dari kemampuan masyarakat menghadapinya, baik karena
kemampuan mengatasinya (coping capacity) kecil atau kerentanannya tinggi, maka masyarakat itu berada dalam situasi
bencana. Sebaliknya bila kemampuan mengatasi bahaya dan ancaman lebih besar dari bahaya dan ancaman tersebut,
atau kerentanannya rendah, maka masyarakat tersebut tidak dalam kondisi bencana.
Akan tetapi pemahaman bencana sedemikian itu belum lengkap. Pemahaman bencana sedemikian itu pada dasarnya
adalah rumusan tentang bencana setelah kejadian bencana terjadi. Padahal, banyak bencana yang dapat diperkirakan
terjadinya. Selanjutnya, karena dapat diperkirakan terjadinya, maka dapat dihindari, dicegah atau diperkecil akibat
ancamannya, sehingga kalau bencana itu terjadi, akibat dan resikonya tidak sebesar kalau tidak dicegah. Contoh yang
nyata untuk hal terseebut adalah bencana banjir. Pada umumnya, hampir semua banjir dapat diperkirakan terjadinya, baik
sejak kemungkinan hujan sudah diramalkan oleh lembaga yang bertugas untuk itu, seperti Badan Meteorologi dan
Geofisika, atau pada waktu ketinggian air pada titik-titik tertentu dari suatu sungai telah mencapai ketinggian tertentu.
Bencana banjir menjadi kejadian yang mengejutkan, seakan-akan sekonyong-konyong terjadinya, karena mungkin tidak
adanya peringatan dini, atau peringatan dini dianggap tidak valid, atau ketidaktahuan melihat kaitan sebab akibat dari
pengelolaan lingkungan.
Melihat bencana dari sisi itu, pemahaman bencana dapat menjadi lebih luas, yaitu sebagai pengelolaan ancaman bahaya
dan resiko yang tidak dilakukan sebagaimana harusnya. Kegagalan mengelola bahaya dan ancaman itulah penyebab
utama bencana. Dalam hal ini, pengelola bahaya dan ancaman tersebut dapat pada tingkat kelompok masyarakat, atau
tingkat pemerintahan desa, hingga pemerintah pusat, tergantung skala dan sifat bahaya atau ancamannya.
Pemahaman Bencana Menurut Cara Pandang (World-View)
Pemahaman tentang bencana yang terakhir di atas sebenarnya merupakan respresentasi cara pandang (world view)
“Barat” dalam pengertian luas. Cara pandang itu mewakili faham materialisme, yant intinya segala sesuatu yang ada
adalah yang material, what matter is the matter, yang hakiki adalah yang material. Di luar yang material, yang dapat
diverifikasi secara fisik, dan tunduk pada hukum sebab akibat fisika pada dasarnya tidak ada. Segala sesuatu diatur oleh
hukum fisik dan hukum alam. Dengan demikian, segala sesuatu dapat diperhitungkan. Termasuk bencana. Karenanya
bencana dapat dicegah, dikurangi akibat dan dampak yang ditimbulkannya, kalau kita tahu apa sebabnya. Kalaupun saat
ini belum tahu, karena segala sesuatu hanya bersifat materi saja dan diatur oleh hukum-hukum fisik, maka sebab segala
sesuatu dapat dicari dengan pendekatan-pendekatan ilmiah. Dengan demikian, bencana itu adalah fungsi sebab akibat.
Demikian pula, untuk setiap bencana ada pihak yang bertanggung jawab, karena lalai atau tidak melakukan
kewajibannya.
Bencana banjir misalnya, bisa saja yang bertanggung jawab adalah perusahaan logging, yang menebang pohon-pohon di
hutan secara tidak bertanggung jawab. Tetapi, bisa saja yang bertanggung jawab adalah pemerintah yang tidak
melakukan pengawasan terhadap kegiatan logging di suatu kawasan tertentu. Atau pemerintah yang memberikan ijin
usaha logging secara tidak terencana, tanpa kebijakan penghijauan kembali yang memulihkan keseimbangan lingkungan.
Bila semua hal di atas, misalnya kebijakan penghijauan sudah baik, ijin diberikan secara terencana dan terukur,
pengawasan dilakukan dengan ketat, dan usaha logging dilakukan secara bertanggung jawab, akan tetapi curah hujan
lebih besar dari yang diperkirakan, pemerintah masih dapat dianggap bertanggung jawab, karena tidak memberikan
peringatan dini misalnya, atau mempersiapkan route menghindari banjir dan menyediakan tempat pengungsian, berikut
cadangan kebutuhan pokok dalam masa darurat.
Intinya, bencana itu ditimbukan oleh hukum sebab akibat, karena dapat dihindari atau diperkecil ancaman bahayanya dan
bila terjadi ada pihak yang bertanggung jawab.
Berbeda dari pandangan itu adalah cara pandang (world view) “Timur” yang bersifat spiritualistik. Cara pandang ini pada
dasarnya menafsirkan bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini adalah karena sebab-sebab di luar kemampuan
manusia, atau yang disebut sebagai “campur tangan” kekuatan-kekuatan spiritual “dari atas.” Kejadian-kejadian dalam

https://www.kelase.com/kelas/12931/bacaan/22583/50076 3/5
2/16/2021 Pengantar Inti Kerja Kemanusiaan - Bacaan
hidup, termasuk bencana, bukan semata-mata fungsi hukum sebab akibat. Karenanya adalah istilah “musibah” untuk
bencana. Musaibah itu terjadi oleh sebab di luar kemampuan manusia dan oleh sebab-sebab yang tidak sepenuhnya
dapat dijelaskan secara hukum alam.
Bencana yang terjadi dicari sebab-sebab “atas-alamiahnya” (supernatural), jauh di luar penjelasan hukum sebab akibat.
Gempa di Yogyakarta dan Gunung Merapa meletus pada tahun 2006 ditasfirkan maknsanya dengan kepercayaan mistis
Jawa. Sehingga Mbah Marijan, berani bertahan di daerah bahaya Merapi sampai bahkan “membangkang” perintah untuk
turun gunung. Secara perhitungan fisika, adalah sangat berbahaya untuk bertahan di desanya, tetapi perhitungan spiritual
Mbah Marijan membuatnya memutuskan untuk tetap menunggui Gunung Merapi.
Pemahaman tentang bencana yang sedemikian, tidak memberi ruang pada aspek pencegahan atau pengurangan resiko
bencana. Konsepnya, bencana itu datangnya “dari atas,” karenanya tidak dapat ditolak, tidak dapat dilawan, tinggal
dihadapi dengan tawakal. Kalaupun ada upaya pencegahan, maka bentuknya adalah dengan melalukan ritual-ritual
tertentu, misalnya dengan upacara ruwatan, atau melaksanakan doa-doa dan membuat korban-korban tertentu di tempat-
tempat tertentu. Termasuk, untuk menghindari kecelakaan lalu lintas, maka di tempat-tempat tertentu di jalan diberi
sesajen atau alat transportasi disembayangi denganc ara-cara tertentu; bukan dengan perawatan mesin secara teratur,
mengendarai dengan hati-hati dan mematuhi tanda-tanda lalulintas.
Dengan pemahaman itu, maka untuk kejadian bencana, maka tidak ada pihak yang bertanggung jawab. Pada waktu
banjir besar 5 tahunan terjadi di Jakarta yang mengakibatkan bencana yang sangat merugikan berbagai pihak,
sekelompok LSM merencanakan class action terhadap pemerintah DKI yang dianggap lalai dalam pencegahan banjir.
Tetapi, jawaban pemerintah pada waktu itu adalah, “banjir kan musibah.” Artinya, karena banjir itu musibah, maka tidak
pada tempatnya pemerintah daerah bertanggung jawab. Penyebab banjir adalah “dari atas,” maka yang bertanggung
jawab ya “yang di atas sana.” Sama seperti pengendara sepeda motor, yang sering menyerobot lampu merah di
perempatan jalan, baik pada waktu lampu sudah merah dan terus nyelonong dengan kecepatan tinggi , atau lampu belum
hijau sudah menyerobot jalan. Bila karena hal-hal itu terjadi kecelakaan, komentar orang adalah, “memang sedang apes,
bukan hari baiknya,” karena, “biasanya nyerobot begitu ya tidak apa-apa kok.”
Dengan demikian, aspek kehati-hatian, pencegahan, pengurangan resiko menjadi hal yang kurang masuk akal. Tidak
heran kalau gorong-gorong dan drainase di sepanjang jalan tidak berfungsi, dianggap bukan masalah yang serius.
Kompleks perumahan mewah tetapi sistem saluran pembuangan airnya mampet, tidak dianggap sebagai hal yang luar
biasa. Kalau kemudian terjadi banjir, ya diterima sebagai nasib yang sedang apes, dengan komentar fatalistik, “memang
di sini daerah banjir,” dan hidup berjalan normal, tidak ada yang dituntut untuk bertanggung jawab. Pemikiran jangka
panjang untuk mencegah banjir pun dianggap hal yang tidak penting, dipandang sebagai pemborosan sumber daya dan
bukan investasi untuk mencegah atau memperkecil kerugian karena bencana.

Memahami Bencana dari Efeknya


Bencana adalah suatu kejadian yang secara serius dan parah mengacaukan rutinitas dan kenormalan hidup sehari-hari
karena efek guncangan-guncangan yang diakibatkannya. Kekacauan dapat terjadi pada berbagai tingkat, karena efek
guncangan bencana itu mempengaruhi berbagai tingkat kehidupan.
Walau dapat cukup parah, tetapi guncangan pada tingkat fisik adalah yang paling ringan. Guncangan fisik dapat berupa
luka-luka secara fisik, kehilangan harta benda atau hal-hal yang seperti itu. Guncangan ini akan lebih mudah pulih bila
ada sistem dukungan pemulihan fisik yang baik, seperti perawatan kesehatan yang memadai, atau asuransi bencana
yang segera dapat menggantikan kehilangan material yang terjadi.
Namun, guncangan dapat lebih dalam dari itu. Guncangan yang lebih dalam dapat terjadi di ranah psikhis dan emosi.
Secara umum orang mengatakannya sebagai trauma karena bencana. Tanda-tandanya adalah rasa ketakutan yang tidak
beralasan. Misalnya, beberapa waktu setelah tsunami terjadi di Aceh, ada orang-orang yang menjadi takut dengan hujan
lebat atau aliran air yang deras. Pengalaman penulis di Kamboja, yang baru saja mengakhiri konflik bersenjata selama
belasan tahun, sejumlah orang dapat tiba-tiba menunjukkan reaksi yang tidak wajar pada waktu melihat kecelakaan
berdarah. Anak-anak pada umumnya yang paling parah mengalami guncangan pada tingkat ini. Hal itu semakin disadari,
sehingga dalam tanggap darurat yang dilakukan dalam satu dasa warsa terakhir ini, selalua ada program bermain untuk
anak-anak. Bantuan darurat tidak saja berbentuk penyediaan sembako, pakaian dan kebutuhan sehari-hari, tetapi alat-
alat permain untuk anak dan ruang-ruang untuk anak bermain secara terarah, yang dipandu oleh fasilitator yang terlatih.
Memulihkan rutinitas kegiatan anak juga merupakan upaya pemulihan yang penting. Itu sebabnya, beberapa lembaga
bantuan bencana, segera memulai sekolah darurat, seperti sekolah tenda, misalnya. Tujuan utama sekolah sedemikian
adalah untuk anak-anak dapat melakukan kegiatan rutinnya semasa sebelum terjadi bencana.
Guncangan yang lebih dalam adalah di ranah nilai, spiritualitas dan cara pandang. Pada umumnya, bencana karena ulah
manusia, seperti kekerasan bersenjata, konflik dan peperangan yang menimbulkan guncangan sedemikian. Guncangan
itu dapat disebabkan oleh kekejaman di luar peri kemanusiaan yagn dialami korban, tindak ketidak-adilan yang jauh di
luar kemampuan nalar untuk memahaminya, dsb. Peperangan berkepanjangan dapat mengguncang sendi-sendi
kehidupan yang paling dalam. Pengalaman seorang rekan yang bekerja di Angola setelah perang saudara bertahun-
tahun, guncangan yang paling dalam bagi kebanyak masyarakat adalah bukan karena kehilangan harta benda bahkan
sanak saudara yang menjadi korban perang, melainkan karena semasa peperangan itu, mereka tidak dapat menguburkan
sanak saudara yang memninggal dengan upacara sebagaimana yang biasanya dilakukan dalam kondisi normal.
Melakukan ritual keagamaan setempat bagi korban korban peperangan yang kemudian dilakukan oleh suatu badan
bantuan darurat, dapat mengobati guncangan nilai dan spiritual yang terjadi.

https://www.kelase.com/kelas/12931/bacaan/22583/50076 4/5
2/16/2021 Pengantar Inti Kerja Kemanusiaan - Bacaan
Guncangan pada landasan hidup yang paling fondamental, seperti kepercayaan dan cara pandang (worldview) tentang
totalitas realitas kehidupan dapat terjadi pada situasi bencana yang sangat dramatis, berakibat kerusakan dan kerugian
yang sangat besar, termasuk korban jiwa, dan berkepanjangan. Tsunami di Aceh, perang saudara berkepanjangan di
Kamboja, menimbulkan guncangan yang paling fondamental. Yang dimaksud dengan guncangan fondamental adalah
guncangan pada world view masyarakat. Hal itu dapat dilihat dari perubahan-perubahan yang terjadi pasca bencana,
seperti menjadi lebih terbuka, dsb. Pengalaman penulis di Kamboja dari 1992 – 1997, menyaksikan keterbukaan
masyarakat terhadap berbagai faham dan isme yang baru selain komunisme, termasuk berkembangnya kekristenan.
Pada tahun 1992, diketahui hanya terdapat 23 gereja rumah (house church), tetapi pada tahun 1997, terdapat lebih dari
300 jemaat besar dan kecil yang berbakti di gedung-gedung ibadah bukan rumah. Pada saat yang sama berbagai bidah
dan sekte juga berkembang cukup pesat. Keterbukaan ini sebabnya adalah penderitaan yang berkepanjangan sehingga
orang mempertanyakan fondasi-fondasi falsafah kehidupan mereka, baik secara sadar atau tidak dan mencari sesuatu
yang baru yang dapat memberi rasa aman, terjamin dan alasan keberadaan (reason d’tere).
Berbagai guncangan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Berbagai guncangan yang berbeda-beda itu embutuhkan respon pelayanan yang berbeda pula. Guncangan di ranah
psikis, tidak juga diberikan bantuan darurat sembako, pakaian dan pengobatan, walau pelayanan itu bermanfaat juga dan
perlu. Bagi mereka, dibutuhkan pelayanan trauma konseling dan kegiatan pemulihan seperti bermain terstruktur bagi
anak-anak, untuk memulihkan mereka dari guncangan psikis yang terjadi. Sebaliknya, bencana yang sudah rutin, seperti
banjir di tempat-tempat tertentu di Jakarta, tidak lagi membutuhkan pelayanan trauma konseling misalnya bagi para
korban banjir tersebut. Dengan perkataan lain, pelayanan tanggap bencana tidak sesederhana seperti kelihatannya yaitu
mengalirkan bahan makan, pakaian, membangun tenda darurat, dsb., walaupun hal-hal tersebut sangat diperlukan,
khususnya di tahap awal setelah suatu bencana terjadi. Para pelayan tanggap bencana harus dilengkapi dengan
pemahaman dan ketrampilan untuk dapat mendeteksi lapisan-lapisan guncangan yang terjadi pada para korban dan
merespon sesuai dengan kebutuhannya. Dalam hal kemampuan dan ketrampilan merespon terhadap suatu situasi kurang
dikuasai oleh pelayan tanggap bencana, sangat dianjurkan untuk merujuk kepada orang dan lembaga yang mempunyai
keahlian dalam hal tersebut.

https://www.kelase.com/kelas/12931/bacaan/22583/50076 5/5

Anda mungkin juga menyukai