Anda di halaman 1dari 3

MENGENANG HUSEIN

Cerpen Dwi Puspita

Kematian merupakan rahasia Illahi. Banyak orang akan bersedih jika melihat orang yang
disayanginya meninggalkan dunia untuk selamanya. Walaupun setiap makhluk pasti akan
mengalami kematian sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

HUSEIN merupakan salah satu teman terbaikku selama belajar di biru benhur. Biru benhur
merupakan seragam kebanggaan di Madrasah Aliyah Negeri ternama di Kota Kediri. Aku pernah
menutut ilmu disana selama tiga tahun. Di madrasah tersebut awal aku mengenal Husein, teman
yang meninggal karena kecelakaan. Aku dan Husein merupakan teman sekelas pada kelas XI.
Awalnya kita canggung satu sama lain, karena waktu kelas X kita sama sekali gak pernah saling
mengenal. Namun, karena sering satu kelompok sama Husein dan sering sama-sama terlambat
akhirnya kita jadi akrab.

Husein merupakan siswa yang tergolong santai, gak pernah berambisi dalam hal apapun. Dia
senang sekali olahraga, pada jam kosong dia selalu menghabiskan waktunya dengan bermain
voli, badminton, futsal, basket, dan kegiatan lainnya. Aku sering dipaksa dia untuk berolahraga,
karena dia tau kalau aku termasuk orang yang malas jika disuruh gerak.

“Pus, ayo voli! Munpung jam kosong, jarang-jarang kayak gini.” Seru Husein kepadaku, sambil
mendekap bola voli yang berwarna belang di bawah ketiak kanannya.

“Gak mau aku, gak bisa. Ngajak yang lain saja.” Jawabku sambil mencoret-coret kertas yang
sudah gak terpakai lagi dengan polpen yang berisi tinta hitam.

Momen yang paling dikenang jika membicarakan Husein yaitu pada acara dies natalis
madrasahku. Adanya acara ini membuat para siswa untuk berangkat lebih pagi untuk
mempersiapkan kemeriahan malam puncaknya, termasuk teman-teman sekelasku. Dan aku
masuk ke dalam tim yang mempersiapkan stand bazar. Dalam mempersiapkan acara tersebut,
para siswa sangan berantusias termasuk aku sampai tidak mempedulikan apakah teman satu
kelasnya sudah lengkap apa belum. Ada sebagian anak yang latihan nari dan nyanyi. Ada juga
yang sibuk menggambar kaligrafi dan mengerjakan mading. Dan sebagian yang lain
mempersiapkan untuk stand bazar.
Pagi itu, pada pukul 8.45, aku ingat sekali karena mataku baru saja menatam jam berwarna biru-
putih tepat di antara foto bapak presiden dan wakilnya. Julia yang merupakan pacar dari Husein
merasa gelisah sekali.

“Pus, kamu liat Husein gak?” sambil berjalan mendekati aku dengan mata yang sembap.

“Gak tuh, bukannya Husein hari ini ada tanding ya?” jawabku dengan duduk santai sambil
makan kripik sukun.

“Aduh, kemana sih anak? Dari tadi aku telpon gak diangkat. Tadi dia rencananya mau jemput
aku tapi hampir 1 jam dia gak datang ke rumah.” Ucap Julia sambil mondar-mandir di depanku
dengan wajah yang sangat gelisah.

Belum selesai percakapanku sama Julia, Bu Heni yang merupakan wali kelasku kelas XI
sekaligus guru Biologi, datang ke kelas dengan keadaan yang nangis teresak-esak untuk
memberitahukan bahwa Husein kecelakaan dan nyawanya gak bisa tertolong. Aku dan teman-
teman yang lain langsung nangis histeris, apalagi Julia teman spesialnya Husein. Setelah
mendengar kabar tersebut, kami langsung takziyah ke rumahnya Husein, dan segala aktivitas
untuk menyambut malam puncak dies natalis madrasah kami hentikan.

Kecelakaan yang dialami Husein memang sudah ditakdirkan, dimana Husein yang mengendarai
motor dengan kecepatan tinggi karena ingin segera menjemput teman spesialnya tapi malah
menabrak bus sehingga membawa kabar duka bagi semua orang yang mengenalnya. Kejadian
tersebut membuat kepala, kaki, dan tangannya terputus. Setelah jenazah Husein dimakamkan,
kami satu kelas merenung karena teman yang sudah kita anggap sebagai keluarga itu
memejamkan matanya untuk selamanya.

“Husein cepat sekali ya perginya. Padahal masih banyak agenda yang belum sempat kita lakukan
sama Husein.” Ucap Dani selaku ketua kelas sambil memutar-mutarkan bolpen miliknya.

“Orang baik akan meninggal lebih dahulu teman-temman.” Sahut Diah yang merupakan siswa
paling agamis di kelasku sambil tangan kanannya mengapit tasbih eletriknya yang sudah sedikit
berkarat.
“Kalian saja sedih, apalagi aku yang selalu hampir tiap hari bersama Husein.” Sahut Julia sambil
mengusap air matanya yang dari berangkat sekolah selalu menetes, dengan kain berwarna biru
gelap dengan garis merah dipinggirnya.

“Sudah-sudah, jangan sedih terus teman. Ayo, kita bakar jagung saja. Di lapangan belakang
mumpung banyak jagung yang sudah menunjukkan dirinya.” Sahut Fendi sambil senyum dengan
pisau ditangan kanannya.

“Ayo, ayo kita rampas semua jagungnya.” Sahut Tahir sambil tertawa keras.

Namun, bercandaannya Fendi dan Tahir tidak bisa mencairkan suasana teman-temannya Husein
yang lagi berduka, termasuk aku. Sebelum Husein meninggal dia pernah berpesan kepadaku.

“Pus, kalau kamu mau sukses jangan tinggalkan perintah Allah termasuk salat. Jangan sering
mengeluh, dunia hanyalah sementara. Kalau gak bisa mencapai A ya sudah capailah B, kalau gak
bisa, capailah dibawahnya. Jangan terlalu dipaksa.” Ucap Husein sambil mngocok kartu
ditangannya.

“Kata-katamu lo, sok bijak sekali.” Jawabku sambil melihat Husein membagikan kartu poker ke
teman-teman yang ikut main tersebut.

Tidak disangka bahwa kata-kata itu terakhir dia ucapkan kepadaku, dua hari sebelum dia
meninggal. Dan percakapan itu juga merupakan percakapannya terakhir denganku. Sehari
sebelum dia meninggal, aku memang tidak bertemu dia, karena aku sibuk jadi panitia dies natalis
di madrasahku. Husein, kamu teman terbaikku. Kamu selalu mengingatkan aku tentang kebaikan
walaupun dirimu sendiri terkadang masih menyeleweng. Walaupun sampai nanti, aku gak bakal
ketemu jasadmu, tapi kata-kata bijakmu selalu kuingat. Tidak cuma aku saja yang masih
mengenangmu, teman-teman sekelasmu yang lain kalau kumpul juga masih suka mengenang
kebaikanmu. Semoga kamu tenang disana, insya Allah kita berteman sampai di surga nanti.

Anda mungkin juga menyukai