Anda di halaman 1dari 8

CASE BASED DISCUSSION

Yeyen Alice Maromon_2008020029

Pembimbing : Pembimbing: dr. Beta AG,Sp.F,DFM

KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Nama : Ny. MS

Usia : 25 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Kampung Solor

Agama : Islam

Pendidikan terakhir : SMA

Status Perkawinan : Menikah

Pasien perempuan berusia 25 tahun datang sendiri ke Instalasi Gawat Darurat Rumah

Sakit Prof. W.Z Johannes Kupang pada hari Selasa tanggal 12 Januari 2021 pukul 16.00

WITA meminta dilakukan visum atas kekerasan fisik yang dialaminya tanpa membawa

surat permintaan visum dari pihak kepolisian. Waktu kejadian pukul 14.45 WITA .

Kejadian bertempat di Kampung Solor Kota Kupang. Berdasarkan pengakuan pasien,

pelaku berjumlah satu orang yaitu suami pasien. Kejadian berawal ketika pasien pulang

ke rumah dari tempat kerja pukul 02.05 WITA. Pasien menawarkan makan, namun

terjadi pertengkaran. Suami pasien kemudian menarik rambut pasien dan menampar

pasien. Pasien melawan sehingga suami pasien menarik pasien kedinding dan kembali
berusaha menampar pasien. Pasien telah menikah selama 7 tahun dan mengaku telah

mengalami hal tersebut kurang lebih 30 kali. Menurut pengakuan pasien, pasien merasa

kesakitan dan ketakutan saat kejadian. Pasien merasa nyeri pada daerah kepala dan

kelopak mata, pusing dan nyeri dibagian dada. Tidak ada perdarahan. Riwayat

penurunan kesadaran tidak ada. Riwayat penyakit sebelumnya tidak ada. Riwayat

komsumsi alkohol dan penggunaan obat terlarang tidak ada. Riwayat penyakit pasien

tidak ada. Nyeri saat BAK dan BAB disangkal.

Dari hasil pemeriksaan didapatkan status vital dalam batas normal. Hasil pemeriksaan

fisik didapatkan 2 luka tertutup pada daerah kelopak mata atas sebelah kanan, 2 luka

tertutup pada area leher sebelah kanan, dan 3 luka tertutup pada dada bagian atas.

Pada kasus tidak dilakukan pemeriksaan penunjang karena tidak ada indikasi pada

pasien.

Tindakan
Pasien sebagai korban merupakan barang bukti yang dinyatakan dalam Surat

permintaan Visum (SPV) dari penyidik kepolisian. Pada kasus pasien datang tanpa

membawa SPV. Pada pasien dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan dokumentasi

luka, serta dilakukan penanganan medis sesuai keluhan dan hasil pemeriksaan yang

ditemukan pada pasien dengan sebelumnya diberikan inform consent terlebih dahulu

untuk tindakan pemeriksaan dan penanganan medis yang akan diberikan. Semua bukti

serta tindakan medis dicatat dalam Rekam Medis. Pasien juga di KIE bahwa pihak

Rumah Sakit tidak bisa membuat VER tanpa adaanya SPV dari penyidik , sehingga

pasien diarahkan melapor ke pihak kepolisian agar bisa dibuatkan SPV. Jika SPV

datang terlambat, maka VER akan dibuat berdasarkan data Rekam Medis.

Jenis Keterangan Analisa

Surat Permintaan Tidak Ada UU No 8 tahun 1981 perihal Kitab


Visum et Repertum Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP)

Informed Consent Ada Permenkes RI No 290 tahun 2008


tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran

Bukti Identitas Pasien Ada Kartu Tanda Penduduk

Problem List

 Permintaan Visum et Repertum oleh korban kasus kekerasan fisik tanpa


melampirkan Surat Permintaan Visum dari pihak kepolisian.
Aspek Medikolegal

Teori Kasus

Menurut Permenkes RI No 290 tahun 2008 Dalam kasus ini, selain dilakukan
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
BAB 2 Pasal 2 mengatakan bahwa (1) semua penanganan medis sesuai keluhan dan hasil
tindakan kedokteran yang akan dilakukan pemeriksaan yang ditemukan pada pasien,
terhadap pasien harus mendapat persetujuan, juga dilakukan dokumentasi luka, dengan
(2) persetujuan sebagaimana dimaksud pada sebelumnya diberikan inform consent
ayat (1) dapat diberikan secara tulisan terlebih dahulu sehingga membutuhkan
maupun lisan, (3) persetujuan sebagaimana persetujuan dari pasien.
dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan yang diperlukan
tentang perlunya tindakan kedokteran
dilakukan.

Menurut Permenkes RI No 290 tahun 2008 Pada kasus didapati pasien kompeten, yakni
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran pasien dewasa ≥18 tahun dan sudah menikah,
BAB 3 Pasal 13 (1) dikatakan persetujuan pasien dalam keadaan sadar, dan mampu
diberikan oleh pasien yang kompeten atau berkomunikasi dengan baik, tidak mengalami
keluarga terdekat dimana pada ayat (2) retardasi mental ataupun penyakit mental dan
penilaian terhadap kompetensi pasien dalam keadaan bebas untuk memberikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat persetujuan.
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
sebelum tindakan kedokteran dilakukan.
Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa
menurut peraturan perundang-undangan atau
telah/pernah menikah, tidak terganggu
kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi
secara wajar, tidak mengalami kemunduran
perkembangan (retardasi) mental, dan tidak
mengalami penyakit mental, sehingga
mampu membuat keputusan secara bebas.
Dewasa menurut aturan perundang-undangan
adalah usia 18 tahun (sesuai dengan Undang-
Undang No. 35 tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 15 Pada kasus pasien diberikan penanganan
tentang Penanganan Kekerasan dikatakan medis terhadap keluhan dan hasil
bahwa (1) Setiap orang yang mendengar, pemeriksaan yang dilakukan dan
melihat, atau mengetahui terjadinya mengarahkan pasien melapor ke pihak
kekerasan dalam rumah tangga wajib kepolisian untuk mendapatkan SPV.
melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas
kemampuannya untuk mencegah
berlangsungnya tindak pidana, (2)
memberikan perlindungan kepada korban,
(3) memberikan pertolongan darurat, dan (4)
membantu proses pengajuan permohonan
penetapan perlindungan.

Berdasarkan Permenkes RI Nomor 269 tahun Pada kasus pasien korban kekerasan fisik
2008 BAB V Pasal 13 tentang Rekam Medis
datang meminta dilakukan VER tanpa
menyatakan bahwa Pemanfaatan rekam
membawa SPV. Semua bukti serta tindakan
medis dapat dipakai sebagai (a) pemeliharaan
kesehatan dan pengobatan pasien, (b) alat medis yang dilakukan dicatat dalam Rekam
bukti dalam proses penegakan hukum,
Medis. Apabila suatu ketika kasus ini
disiplin kedokteran dan kedokteran gigi dan
diajukan sebagai kasus hukum maka rekam
penegakkan etika kedokteran dan etika
kedokteran gigi, (c) keperluan pendidikan medis tersebut dapat dijadikan sebagai alat
bukti dalam proses penegakan hukum dan
dan penelitian, (d) dasar pembayar biaya
pelayanan kesehatan, dan (e) data statistik jika SPV datang terlambat, maka VER dapat
Kesehatan.
dibuat berdasarkan data Rekam Medis.

Pembuatan VeR dapat melalui 2 mekanisme, Pada kasus ini tidak dapat dibuat Visum et
yaitu mekanisme permintaan pemeriksaan
Repertum dikarenakan tidak ada surat
dari aparat penegak hukum dan mekanisme
permintaan pemeriksaan dari penyidik atau
permintaan pembukaan rahasia medis dari
aparat penegak hukum atas hasil pemeriksaan pihak kepolisian.
yang telah dilakukan sebelumnya. Pasal 133
KUHAP mengatur bahwa untuk kepentingan
peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan, ataupun mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, penyidik berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman (dokter spesialis
forensik dan medikolegal) atau dokter
dan/atau ahli lainnya.
Prosedur Pelayanan KtPA
1. Korban dengan diantar atau tidak diantar polisi datang ke RS mendaftar ke
bagian registrasi, kemudian di IGD dilakukan triage untuk menilai kondisi
korban apakah dalam keadaan non kritis, semi kritis atau kritis.
2. Korban dalam keadaan non kritis, akan dirujuk ke Pusat Pelayanan Terpadu
(PPT) untuk mendapatkan layanan pemeriksaan fisik, konseling psikologis &
hukum, dan penunjang tambahan, medikolegal (VeR) dan pendampingan. Untuk
mendapatkan VeR, korban perlu membawa surat permintaan VeR dari Polisi.
3. Apabila RS tidak memiliki layanan konseling psikologis/hukum/shelter, dapat
dirujuk ke Polisi, LSM, Rumah Aman/Shelter, Pusat Pelayanan Terpadu
Perempuan dan Anak (P2TP2A)/P2TPA/PK2PA atau dikembalikan ke keluarga
bila tidak membahayakan.
4. Pada RS yang tidak memiliki PKT/PPT, setelah masalah medisnya tertangani
dapat dirujuk ke RS dengan PKT/PPT untuk mendapat pelayanan lain yang
dibutuhkan korban
5. Korban yang dalam keadaan semi kritis akan ditangani di IRD sesuai dengan
prosedur yang berlaku. Apabila
6. diperlukan, dapat dikonsultasikan/dirujuk ke spesialis terkait atau unit lain
seperti kamar operasi/ICU/HCU
7. Korban dalam keadaan kritis akan mendapatkan pelayanan seperti pada korban
semi kritis. Pemeriksaan medikolegal dilakukan bersamaan
8. dengan penanganan medis.
9. Apabila korban dari ICU/HCU kemudian meninggal, lapor ke polisi maka akan
dilakukan otopsi untuk mendapat Visum et Repertum (VeR) berdasarkan surat
permintaan Visum et Repertum dari Polisi
Apabila tenaga kesehatan di poliklinik RS menemukan pasien yang diduga korban
kekerasan maka dinilai terlebih dahulu keadaan umumnya kemudian dikonsulkan ke
PPT/PKT

Anda mungkin juga menyukai