Anda di halaman 1dari 7

Pada 1961, setelah puluhan tahun melakukan negosiasi, presiden Republic Insomnia (RI), the

Union of the Starving Republic (USR), the Republic of Responsible Citizen (RRC), dan
Disintegrated Kingdom (DK) sepakat untuk menandatangani perjanjian internasional yang
melarang pengembangan sistem misil anti balistik yang dikenal dengan Peace through Mutually
Assured Destruction Treaty (MAD Treaty).

Pasal III dari MAD Treaty menyatakan bahwa: Setiap negara tidak akan mengembangkan sistem
Misil Anti Balistik untuk kepentingan pertahanan nasionalnya termasuk tidak akan menyediakan
fasilitas/tempat untuk pengembangan tersebut baik di pusat maupun di semua daerah dalam
wilayahnya.

Ketika proses penandatanganan perjanjian tersebut, keempat presiden menekankan bahwa objek
dan tujuan dari MAD Treaty tersebut adalah untuk memprakarsai proses pengendalian senjata
antara negara-negara guna menjamin keamanan dan stabilitas internasional. Pada saat itu, hanya
keempat kekuatan militer negara-negara tersebut yang memiliki kemampuan untuk
memproduksi misil balistik termasuk sistemkomponen- komponennya. MAD Treaty berlaku
tanpa ada batas waktu (unlimited duration) dan tidak memiliki aturan tentang pengunduran diri
para pihak. Berdasarkan aturan dalam MAD Treaty, perjanjian ini berlaku 30 hari setelah
instrumen ratifikasi keempat didepositkan. Dalam hal ini, MAD Treaty berlaku setelah 20
September 1963.

Pada November 1998, Mr. Bison sebagai ketua Partai Deep Sleep di RI terpilih sebagai presiden
baru dan mulai memerintah pada tanggal 1 Januari 1999. Semenjak masih melakukan kampanye,
Mr. Bison berkali-kali mengkritisi MAD Treaty dan menyatakan bahwa perjanjian tersebut
sudah terlalu lama dan tidak lagi akurat untuk menjaga stabilitas keamanan internasional dan
keamanan nasional RI. Sebagai dampak dari kemajuan teknologi, banyak negara, khususnya
yang dipimpin oleh para diktator, sudah berlomba-lomba membuat misil balistik dengan
jangkauan yang jauh sehingga memungkinkan untuk sewaktu-waktu menyerang RI. Akibatnya,
setelah Mr. Bison dilantik menjadi presiden, RI segera mengembangkan dan memproduksi
sistem misil anti balistik dengan tujuan untuk melindungi rakyat RI dari serangan misil balistik
negara lain.

Sekalipun ada protes keras dari USR, RI tetap mulai mengembangkan sistem misil anti balistik
yang komprehensif. Tes senjata yang pertama dilakukan pada Januari 2001 setelah tiga tahun
melakukan riset intensif. USR terus-menerus melakukan protes terhadap RI selama periode
tersebut. Pada 1 Januari 2002 Mr. Bison akhirnya mengumumkan bahwa negaranya telah resmi
mengoperasikan sistem misil anti balistik dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap
rakyatnya.

Presiden USR segera merespons pengumuman tersebut dengan menyatakan bahwa tindakan RI
merupakan pelanggaran berat terhadap Pasal III MAD Treaty. Dia segera menghubungi dua
negara pihak lain, yakni RRC dan DK, agar dapat segera mengambil langkah yang perlu
berdasarkan hukum internasional. RRC dan DK menyampaikan keprihatinannya atas tindakan RI
tersebut, namun mereka memilih untuk tidak melakukan tindakan lebih jauh kepada RI
mengingat mereka memiliki kerja sama perdagangan yang sangat menguntungkan dengan RI.

Kecewa dengan keputusan dua negara pihak lain, USR akhirnya mengumumkan bahwa tindakan
pengembangan sistem misil anti balistik RI tidak sah secara hukum dan telah melanggar MAD
Treaty. Presiden USR selanjutnya mengumumkan Pengakhiran pemberlakuan MAD Treaty dan
Pengakhiran itu berlaku segera. Presiden USR menginformasikan hal tersebut secara langsung ke
negara pihak lain di hari yang sama dengan menggunakan saluran diplomatik. RRC dan DK
merespons sikap Presiden USR dengan menyatakan bahwa putusan ini tidak mewakili mereka.

RI selanjutnya menyatakan bahwa tindakan USR ini merupakan pernyataan yang irasional
mengingat MAD Treaty sudah tidak lagi menjadi instrumen hukum yang mengikat karena:

MAD Treaty batal (void) karena presiden USR meratifikasi MAD Treaty tanpa persetujuan
parlemen, seperti yang disyaratkan dalam undang-undangnya,

MAD Treaty sudah dihentikan bertahun-tahun lalu karena keadaan yang melatarbelakangi
pembentukan MAD Treaty tersebut sudah berubah secara radikal,

MAD Treaty adalah perjanjian yang dapat dilakukan penolakan secara unilateral pada saat kapan
pun dan RI telah menggunakan haknya tersebut pada akhir Januari 2002.

Sebagai informasi RI, USR, RRC dan DK adalah negara anggota dari Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Keempat negara tersebut juga merupakan negara pihak VCLT 1969. Berdasarkan Pasal
115 Konstitusi USR, setiap perjanjian internasional harus melalui persetujuan parlemen. Namun
dalam praktiknya, presiden USR meratifikasi banyak perjanjian internasional tentang
pengendalian senjata tanpa melalui persetujuan parlemen.

Catatan: entry into force VCLT 1969 pada 27 January 1980.

Instruksi

Berdasarkan kasus di atas, jawablah pertanyaan di bawah ini:

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pengakhiran perjanjian internasional (termination of


treaty) dan dalam situasi-situasi seperti apa Pengakhiran perjanjian internasional dapat
dilakukan berdasarkan VCLT 1969!
2. Apakah tuntutan RI berkenaan dengan pengakhiran MAD Treaty telah sesuai dengan
VCLT 1969? Jelaskan berdasarkan setiap tuntutan-tuntutan di bawah ini:
3. MAD Treaty batal (void) karena presiden USR meratifikasi MAD Treaty tanpa
persetujuan parlemen, seperti yang disyaratkan dalam undang-undangnya
4. MAD Treaty sudah dihentikan bertahun-tahun lalu karena keadaan yang
melatarbelakangi pembentukan MAD Treaty tersebut sudah berubah secara radikal.
5. Apakah tuntutan USR berkenaan dengan Pengakhiran MAD Treaty dengan alasan RI
telah melanggar MAD Treaty karena mengembangkan sistem misil anti balistik
dibenarkan berdasarkan VCLT 1969?
Jawaban

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pengakhiran perjanjian internasional


(termination of treaty) dan dalam situasi-situasi seperti apa Pengakhiran perjanjian
internasional dapat dilakukan berdasarkan VCLT 1969!

Jadi berdasarkan Pasal 62 ayat (1) menentukan keadaan yang pasti dengan apa yang
dimaksud dengan perubahan yang mendasar yang dapat dipakai untuk mengakui atau
menarik diri dari perjanjian:

1. perubahan itu perubahan yang mendasar yang telah terjadi pada waktu
perjanjian dibuat;

2. perubahan itu harus merupakan perubahan yang mendasar;

3. tidak diketahui oleh pihak-pihak pada waktu membuat perjanjian;

4. keadaan itu harus berlangsung sebagai suatu dasar dari kehendak para pihak
untuk terikat pada perjanjian;

5. dampak dari perubahan tersebut sama sekali tidak mengubah kewajiban-


kewajiban yang belum dilaksanakan sesuai dengan perjanjian tersebut.

2. Apakah tuntutan RI berkenaan dengan pengakhiran MAD Treaty telah sesuai


dengan VCLT 1969? Jelaskan berdasarkan setiap tuntutan-tuntutan di bawah ini:
A. MAD Treaty batal (void) karena presiden USR meratifikasi MAD Treaty tanpa
persetujuan parlemen, seperti yang disyaratkan dalam undang-undangnya
B. MAD Treaty sudah dihentikan bertahun-tahun lalu karena keadaan yang
melatarbelakangi pembentukan MAD Treaty tersebut sudah berubah secara
radikal.

Menurut saya tuntutan RI berkenaan dengan pengakhiran MAD Treaty telah sesuai
dengan VCLT 1969 jika ditinjau berdasarkan kesepakatan bersama antara para pihak
melanjutkannya dengan prosedur internal yaitu, ratifikasi dalam arti nasional (pengesahan) atas
perjanjian internasional tersebut. Menurut ketentuan Pasal 27 Konvensi Wina, “pihak-pihak
perjanjian tidak boleh mengemukakan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya sebagai alasan
untuk membenarkan tindakan suatu negara tidak melaksanakan perjanjian internasional.
Ketentuan ini tidak merugikan Pasal 46.

Ketentuan dalam Pasal 27 ini semakin menegaskan bahwa negara pihak yang telah
menyatakan diri untuk terikat dengan cara ratifikasi harus menghormati dan melaksanakan isi
dari perjanjian tersebut. Negara tunduk terhadap kesepakatan dalam perjanjian tersebut dengan
memperhatikan asas-asas perjanjian internasional yang ada. Salah satu asas yang secara tegas
ada dalam Pasal 27 adalah asas rebus sic stantibus. Membahas lebih lanjut terkait pembatalan
suatu perjanjian internasional yang telah mendapatkan persetujuan melalui ratifikasi berikut ini
akan dikaji dalam sebuah contoh kasus di Indonesia. Beberapa LSM di Indonesia mengajukan
gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008
tentang Pengesahan Piagam ASEAN.

Mereka menganggap dua pasal pada ASEAN Charter, yakni Pasal 1 ayat 5 dan Pasal 2
ayat 2 butir n dianggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat 1, Pasal 27 ayat 2, Pasal 33 ayat 1,
Pasal 33 ayat 2 dan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. 1 Undang-Undang Nomor 38
Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN ini diajukan pembatalannya atau judicial
review karena menurut beberapa LSM, dapat mengakibatkan terjadinya perdagangan bebas yang
bersumber pada satu kewenangan dari pejabat-pejabat ASEAN dan mengabaikan persaingan
industri kecil yang kelak akan tertindas. Terkait hal di atas, dapat dilihat adanya benturan antara
perjanjian internasional dengan hukum nasionalnya.

Mahkamah Konstitusi pun akhirnya mengeluarkan Putusan MK No. 33/PUU/IX/2011


atas Pengujian UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN yakni menolak
gugatan dari beberapa LSM tersebut. Harjono, Hakim Mahkamah Konstitusi yang membacakan
pertimbangan putusan menyatakan bahwa meski Indonesia telah mengikatkan diri dalam
perjanjian internasional. Namun sebagai negara berdaulat Indonesia tetap mempunyai hak
mandiri untuk memutus keterikatan perjanjian itu jika dirasa merugikan atau tidak memberi
manfaat.

3. Apakah tuntutan USR berkenaan dengan Pengakhiran MAD Treaty berkenaan


dengan Pengakhiran MAD Treaty dengan alasan RI telah melanggar MAD Treaty

1
Lihat ringkasan permohonan perkara, registrasi nomor: 33/PUU-IX/2011 tentang Pemberlakuan
Sistem AFTA.
karena mengembangkan sistem misil anti balistik dibenarkan berdasarkan VCLT
1969?

Menurut saya salam beberapa kasus yang sudah dipaparkan dalam contoh kasus diatas,
keabsahan suatu perjanjian justru dipertanyakan seperti tuntutan USR berkenaan dengan
Pengakhiran MAD Treaty berkenaan dengan Pengakhiran MAD Treaty dengan alasan RI telah
melanggar MAD Treaty karena mengembangkan sistem misil anti balistik bisa kita lihat dalam
Section 2. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969 mengatur tentang ketidakabsahan
perjanjian internasional (invalidity of treaties) yang menentukan adanya sejumlah alasan untuk
menyatakan Suatu perjanjian internasional tidak sah yaitu alasan berdasarkan hukum dan
perundang-undangan, Kesalahan (error) atas fakta atau situasinya, Kecurangan (fraud) dari
negara mitra berundingnya, Korupsi dari wakil suatu negara, Paksaan yang dilakukan oleh wakil
dari suatu negara, Ancaman atau Penggunaan Kekerasan oleh Suatu Negara, dan Perjanjian
Internasional yang bertentangan dengan Jus Cogens.2

Salah satu isu menarik juga berkaitan dengan keberlakuan perjanjian internasional,
khususnya apakah suatu perjanjian internasional dapat ditunda keberlakuannya atau tidak. Hal ini
dibahas dalam materi suspension of treaties yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai
Penundaan atas pelaksanaan suatu perjanjian internasional3 atau dalam frasa lain dimaknai
sebagai Pengangguhan bekerjanya Perjanjian Internasional.4

DAFTAR PUSTAKA

Mauna, Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era

Dinamika Global, Edisi ke-2,Cetakan ke-4, PT. Alumni, Bandung, 2011, h.149- 162.

Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar

Maju, Bandung, 2005, h.393-487.

Roisah, Kholis, Hukum Perjanjian Internasional: Teori dan Praktik, Setara Press,

Malang, 2015, h.92-100.

2
Parthiana, I Wayan, (Bag: 2), Op.Cit, h. 430-455
3
ibid, 393
4
Suryokusumo, Sumaryo, Op. Cit, h.124.
Shaw, Malcolm N, International Law, Fifth Edition, Cambridge University Press,

Cambridge, 2003, p. 845-858

Anda mungkin juga menyukai