0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
21 tayangan2 halaman
Ringkasan dokumen:
1. Dokumen berisi jawaban untuk UTS mata kuliah Hukum Pidana Internasional oleh Youlanda Chintya Claudia Putri (NIM 11010114120112)
2. Jawaban mencakup pertanyaan mengenai berakhirnya perjanjian internasional Indonesia dengan Timor Leste dan Australia akibat kemerdekaan Timor Leste
3. Jawaban juga membahas tentang pengesahan perjanjian internasional di Indonesia dan kewajiban untuk tunduk pada Konvensi
Ringkasan dokumen:
1. Dokumen berisi jawaban untuk UTS mata kuliah Hukum Pidana Internasional oleh Youlanda Chintya Claudia Putri (NIM 11010114120112)
2. Jawaban mencakup pertanyaan mengenai berakhirnya perjanjian internasional Indonesia dengan Timor Leste dan Australia akibat kemerdekaan Timor Leste
3. Jawaban juga membahas tentang pengesahan perjanjian internasional di Indonesia dan kewajiban untuk tunduk pada Konvensi
Ringkasan dokumen:
1. Dokumen berisi jawaban untuk UTS mata kuliah Hukum Pidana Internasional oleh Youlanda Chintya Claudia Putri (NIM 11010114120112)
2. Jawaban mencakup pertanyaan mengenai berakhirnya perjanjian internasional Indonesia dengan Timor Leste dan Australia akibat kemerdekaan Timor Leste
3. Jawaban juga membahas tentang pengesahan perjanjian internasional di Indonesia dan kewajiban untuk tunduk pada Konvensi
NIM : 11010114120112 KELAS : A (Hukum Pidana Internasional)
LEMBAR JAWAB UTS:
1. a). Ya, dibenarkan karena Menurut hukum internasional, munculnya Timor-Leste
sebagai negara baru ini akan membawa banyak konsekuensi internasional, bahwa setiap kebijakan internasional yang telah dibuat oleh Indonesia yang berkaitan dengan Timor Timur termasuk perjanjian-perjanjian internasional harus ditinjau kembali atau menjadi tidak berlaku menurut hukum internasional. Konsekuensi selanjutnya adalah wilayah di sebelah selatan Timor Leste yang jadi objek Perjanjian Zona Kerjasama di Celah Timor bukan lagi merupakan teritori negara Indonesia, melainkan teritori Timor Leste, hal tersebut terkait dengan asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt. bahwa Perjanjian Celah Timor antara Indonesia dan Australia ini kemudian tidak lagi efektif berlaku karena sejalan dengan klausula hukum, bahwa suatu perjanjian dapat dikatakan berakhir karena terjadi perubahan keadaan yang fundamental di wilayah Indonesia. Pengakhiran perjanjian ini tidak secara eksplisit menjelaskan dasar pengakhirannya dan hanya menyebutkan bahwa berpisahnya Timor Timur dari Indonesia mengakibatkan perjanjian ini berakhir. Berdasarkan Konvensi Wina 1969 maupun Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, maka pengakhiran ini adalah dasar kesepakatan kedua belah pihak. Perjanjian Celah Timor antara Indonesia dan Australia, sebagai konsekuensi atas kemerdekaan Timor Timur, maka wilayah landas kontinen yang berada di sebelah selatan Timor Timur yang merupakan obyek dari Perjanjian Celah Timor tidak lagi berada di bawah kedaulatan Indonesia, tetapi berada di bawah kedaulatan Timor Leste. b). Dapat, karena Pengaturan Asas Rebus Sic Stantibusterkait dengan Perjanjian Celah Timor antara Indonesia dan Australia diatur dalam Pasal 62 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa perjanjian international dapat berakhir apabila terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian atau karena terjadi perubahan fundamental. c). Karena pada prinsipnya menjadi hal lumrah jika suatu hukum nasional berbeda dengan hukum internasional namun bagaimana aturan subtantif yang diatur dalam hukum nasional yang harusnya menjadi bagian dari aturan atau tunduk dalam praktek atau terhadap hukum internasional, didasarkan pada ketentuan dalam pasal 18 huruf h menyatakan bahwa indonesia dapat mengakhiri perjanjian internasional jika terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional yang dalam penjelasannya sendiri tidak memberikan batasan secara tegas karena ketentuan seperti demikian dapat digunakan sebagai celah untuk dapat mengkhiri perjanjian internasional dengan tidak bertanggung jawab oleh pihak tertentu, pada prinsipnya ketentuan mengenai berakhirnya suatu perjanjian internasional tunduk pada ketentuan yang diatur dalam perjanjian internasional atau disebut dengan asas Pacta sunt servanda dan juga disertai itikad baik good faith untuk melaksanakannya dan jika kemudian tidak diatur maka mengikuti ketentuan dalam Konvensi Wina 1969. Namun pada prinsipnya setiap negara dapat mengakhiri tentunya suatu perjanjian internasional dengan alasan tentunya kepentingan nasiona namun tidak secara otomatis, terdapat pertimbangan seperti alasan kepentingan nasional tersebut haruslah alasan yang objektif dan bukan subjektif. 2. Dapat, jika suatu perjanjian internasional ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal ASEAN tetapi mengikat negara anggotanya, maka Sekretaris Jenderal ASEAN harus memperoleh full power dari negara anggotanya (Damos Dumoli, 2010: hlm.57) Adapun praktik pemberian full power kepada organ asing tidak lazim dalam hukum perjanjian internasional (Damos Dumoli, 2010: hlm.57). Sedangkan jika dikaitkan dengan Prinsip Kedaulatan dan Yurisdiksi Negara, maka berdasarkan prinsip ini suatu negara tidak mungkin dapat meratifikasi perbuatan hukum subyek hukum internasional lain (Damos Dumoli, 2010: hlm.57). 3. a). Menurut saya kategori pada Pasal 10 UUD 1945 diatur dengan Keputusan Presiden, tetapi beberapa aturan yang telah diratifikasi Indonesia masih belum konsisten dan belum tertata dengan baik sesuai dengan keinginan undang-undang yang berlaku, walaupun Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui cara dengan bentuk tersebut. Apabila diratifikasi dalam bentuk undang-undang akan menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian internasional yang dilakukan dengan undang-undang sama dan setara kekuatan mengikatnya, tetapi dengan jenis dan hierarki peraturan perundanganundangan, maka dapat mengaburkan atau ketidakjelasan status dan kedudukan perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia. Satu-satunya ketentuan hukum yang menegaskan keharusan menempatkan perjanjian internasional yang sudah diratifikasi/aksesi oleh Pemerintah Indonesia dalam bentuk Undang-undang adalah dalam Pasal 9 (2) UU No. 24 Tahun 2000 yang mengatakan bahwa “Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden. b). Tidak, jika produk hukum yang digunakan berbeda kekuatan mengikatnya tetap terikat sesuaimketentuan Pasal 3 Konvensi Wina Tahun 1969, tetapi keterikatan Indonesia adalah melalui mekanisme hukum kebiasaan internasional seperti dinyatakan oleh mahkamah internasional tahun 2002 dengan demikian tidak ada alasan untuk tidak tunduk kepada Konvensi Wina Tahun 1969,karena secara normatif mengikat Indonesia.