Anda di halaman 1dari 17

KARAKTERISTIK PENDIDIKAN STEM

Pengantar

STEM sudah menjadi sebuah keharusan dalam mempersiapkan anak didik menghadapi dunia
nyata yang penuh masalah agar siap dalam persaingan global. Sebab, Science, technology,
engineering, and mathematics adalah mata pelajaran yang saling berkaitan dalam kehidupan
nyata manusia. Keempat bidang itu, saling kait mengait dan tak bisa berdiri sendiri. Namun,
selama ini keempatnya dipelajari terpisah-pisah, jadi seolah-olah hanya bisa dipahami secara
teori saja. Padahal, keempat bidang studi itu wajib dikuasai oleh anak didik supaya mereka bisa
memecahkan masalah dalam dunia kerja, masyarakat, dan dalam semua aspek kehidupan. Dalam
menghadapi era persaingan global, Indonesia pun perlu menyiapkan sumberdaya manusia yang
handal dalam disiplin-disiplin STEM secara kualitas dan mencukupi secara kuantitas.

A. Pengertian Pendidikan STEM

STEM merupakan akronim dari science, technology, engineering, dan mathematics. Istilah ini
pertama kali diluncurkan oleh National Science Foundation (NSF) Amerika Serikat (AS) pada tahun
1990-an sebagai tema gerakan reformasi pendidikan untuk menumbuhkan angkatan kerja bidang-
bidang STEM, serta mengembangkan warga negara yang melek STEM (STEM literate), serta
meningkatkan daya saing global Amerika Serikat dalam inovasi iptek (Hanover Research, 2011).

Gerakan reformasi pendidikan STEM ini didorong oleh laporan dari berbagai studi yang
menunjukkan terjadinya kekurangan kandidat untuk mengisi lapangan kerja di bidang STEM,
tingkat literasi sains, serta posisi capaian siswa sekolah menengah AS dalam TIMSS dan PISA
(Roberts, 2012). Selain itu, AS juga menyadari pertumbuhan ekonominya berjalan secara datar dan
akan tersaingi oleh China dan India karena perkembangan sains, teknologi, enginering dan
matematika dari kedua negara tersebut yang lebih maju. (Friedman, 2005).

Berdasarkan survey yang dilakukan bahwa pertumbuhan lapangan pekerjaan di bidang STEM
diproyeksikan lebih tinggi dibandingkan dengan lapangan pekerjaan non-STEM. Selain itu, dari segi
penghargaan, pekerjaan di bidang STEM akan memberikan income yang juga lebih tinggi
dibandingkan dengan bidang pekerjaan non-STEM.
Gambar 1. Proyeksi pertumbuhan pekerjaan STEM dan non-STEM (kiri) serta perbandingan income dari kedua jenis bidang
tersebut (kanan)

Pendidikan STEM adalah pendekatan dalam pendidikan di mana Sains, Teknologi, Teknik,
Matematika terintegrasi dengan proses pendidikan berfokus pada pemecahan masalah dalam
kehidupan sehari-hari yang nyata serta dalam kehidupan profesional. Pendidikan STEM
menunjukkan kepada peserta didik bagaimana konsep, prinsip, teknik sains, teknologi, teknik dan
matematika (STEM) digunakan secara terintegrasi untuk mengembangkan produk, proses, dan
sistem yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Sebagai komponen dari STEM, sains adalah kajian tentang fenomena alam yang melibatkan
observasi dan pengukuran sebagai wahana untuk menjelaskan secara obyektif alam yang selalu
berubah. Terdapat beberapa domain utama dari sains pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah, yakni fisika, biologi, kimia, serta ilmu pengetahuan bumi dan antariksa (IPBA). Teknologi
merujuk pada inovasi-inovasi manusia yang digunakan untuk memodifikasi alam agar memenuhi
kebutuhan dan keinginan manusia, sehingga membuat kehidupan lebih nyaman dan lebih aman.
Teknologi menjadikan manusia dapat melakukan perjalanan secara cepat, berkomunikasi langsung
dengan orang di tempat yang berjauhan, memperoleh makanan sehat, dan alat-alat keselamatan.
Rekayasa (engineering) merupakan pengetahuan dan keterampilan untuk memperoleh dan
mengaplikasikan pengetahuan ilmiah, ekonomi, sosial, serta praktis untuk mendesain dan
mengkonstruksi mesin, peralatan, sistem, material, dan proses yang bermanfaat bagi manusia
secara ekonomis dan ramah lingkungan. Selanjutnya, matematika berkenaan dengan pola-pola dan
hubungan-hubungan, dan menyediakan bahasa untuk teknologi, sains, dan rekayasa.

B. Tujuan dan Hasil dari Pendidikan STEM

Penggunaan pendekatan STEM dalam bidang pendidikan memiliki tujuan untuk mempersiapkan
peserta didik agar dapat bersaing dan siap untuk bekerja sesuai bidang yang ditekuninya. Penelitian
yang dilakukan oleh lembaga penelitian Hannover (2011) menunjukkan bahwa tujuan utama dari
STEM Education adalah sebuah usaha untuk menunjukkan pengetahuan yang bersifat holistik antara
subjek STEM.
Dalam konteks pendidikan dasar dan menengah, pendidikan STEM bertujuan mengembangkan
peserta didik yang STEM literate (Bybee, 2013), dengan rincian sebagai berikut.
1) memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk mengidentifikasi pertanyaan dan
masalah dalam situasi kehidupannya, menjelaskan fenomena alam, mendesain, serta
menarik kesimpulan berdasar bukti mengenai isu-isu terkait STEM;
2) memahami karakteristik khusus disiplin STEM sebagai bentuk-bentuk pengetahuan,
penyelidikan, dan desain yang digagas manusia;
3) memiliki kesadaran bagaimana disiplin-disiplin STEM membentuk lingkungan material,
intelektual dan kultural,
4) memiliki keinginan untuk terlibat dalam kajian isu-isu terkait STEM (misalnya efisiensi energi,
kualitas lingkungan, keterbatasan sumberdaya alam) sebagai warga negara yang konstruktif,
peduli, serta reflektif dengan menggunakan gagasan-gagasan sains, teknologi, rekayasa, dan
matematika.

Sedangkan jika kita lihat tujuan dan hasil dari pendidikan STEM bagi siswa dan pendidik dapat kita
lihat pada tabel di bawah ini

Tabel. 1 tujuan dan hasil pendidikan STEM


Tujuan Pendidikan STEM Hasil Pendidikan STEM
Bagi Siswa • Literasi STEM • Belajar dan Berprestasi
• Kompetensi abad 21 • Kompetensi abad 21
• Kesiapan Tenaga Kerja STEM • Ketekunan dan kegigihan belajar dalam
• Minat dan keterlibatan meningkatkan prestasi
• Membuat koneksi • Pekerjaan yang berhubungan dengan STEM
• Meningkatkan minat STEM
• Pengembangan identitas STEM
• Kemampuan untuk membuat koneksi di
antara disiplin STEM
Bagi Pendidik • Meningkatkan konten STEM • Perubahan dalam praktik
• Meningkatkan Pedagogical • Peningkatan konten STEM dan PCK
Content Knowledge (PCK)

C. Pendidikan STEM dan keterampilan Abad 21

Abad ke-21 ditandai dengan derasnya arus globalisasi serta cepatnya perkembangan teknologi.
Berbagai sekat yang memisahkan batas-batas geografis saat ini dengan mudah dihilangkan dengan
berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Berbagai informasi dan pengetahuan baru
bukanlah hal yang sulit untuk didapatkan dan dikumpulkan pada era ini. Hal ini menyebabkan
munculnya era ekonomi baru yang berbasis pengetahuan serta teknologi dimana individu yang
memiliki kemampuan untuk mendapatkan, mengolah, dan menginterpretasikan berbagai informasi
dan pengetahuan ini akan dapat berhasil dalam menjawab berbagai tantangan di masyarakat global.
Hal ini menunjukkan bahwa konsep pembelajaran yang diperlukan harus dapat membangun
keterampilan yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk dapat berhasil di abad ke-21 ini yaitu
pembelajaran yang dapat berkontribusi pada pengembangan kemampuan kerjasama, memecahkan
masalah, kreativitas, dan inovatif yang berpotensi menopang ekonomi. Pembelajaran berbasis STEM
menjadi salah satu solusi dalam menjawab tantangan pendidikan ini.

Pendidikan STEM memberi pendidik peluang untuk menunjukkan kepada peserta didik betapa
konsep, prinsip, dan teknik dari STEM digunakan secara terintegrasi dalam pengembangan produk,
proses, dan sistem yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Oleh karena itu, definisi
pendidikan STEM diadopsi sebagai pendekatan interdisiplin pada pembelajaran (Reeve, 2013).
Dalam pembelajaran berbasis STEM peserta didik menggunakan sains, teknologi, rekayasa, dan
matematika dalam konteks nyata yang menghubungkan sekolah, dunia kerja, dan dunia global guna
mengembangkan literasi STEM yang memungkinkan peserta didik mampu bersaing dalam abad ke-
21.

Dengan begitu, kita dapat melihat pentingnya pembelajaran berbasis STEM sebagai berikut:
a) Transformasi proses pendidikan
Pendidikan STEM menghilangkan batas pemisah antara subjek sains, matematika, teknologi,
dan rekayasa serta menghubungkan antara pengetahuan yang didapatkan oleh peserta didik
dengan masalah di kehidupan nyata.
b) Peningkatan kemahiran pemahaman saintifik
Dengan mengkontektualisasikan antara berbagai pengetahuan saintifik yang dipelajari oleh
peserta didik dengan masalah di kehidupan nyata, maka pendidikan STEM dapat meningkatkan
kompetensi literasi sains.
c) Pengembangan sumber daya manusia
Kriteria sumberdaya manusia yang relevan dan dibutuhkan di abad ke-21 harus memenuhi
tuntutan keahlian yang diharapkan seperti kemampuan dalam berkolaborasi, berkomunikasi,
berpikir secara kritis, dan memiliki kemampuan dalam mengembangkan kreativitasnya. Proses
pembelajaran berbasis STEM melatihkan berbagai kemampuan tersebut.
d) Tantangan teknologi
Kemampuan dalam rekayasa merupakan kunci dari lahirnya sebuah teknologi. Dalam
pendidikan STEM, peserta didik ditantang untuk mengaplikasikan pengetahuan mereka melalui
proses desain rekayasa untuk menciptakan solusi teknologi dari sebuah permasalahan.
e) Kunci dalam kemajuan dan inovasi
Pendidikan STEM melalui berbagai proses pembelajaran yang dilalui oleh peserta didik turut
mengembangkan kemampuan problem solving atau kemampuan dalam memecahkan
permasalahan. Berbekal kemampuan ini akan muncul berbagai inovasi dalam pengembangan
teknologi.
f) Penting untuk kesejahteraan
Berbagai inovasi dalam teknologi diciptakan untuk mempermudah kita dalam menjalani
kehidupan dan pada akhirnya mendorong peningkatan kesejahteraan

(Stohlmann, Moore & Roehrig, 2012) mengidentifikasi 4 faktor yang perlu dipertimbangkan bagi
pendidik sehingga pembelajaran STEM dapat berlangsung dengan sukses. Keempat faktor tersebut
dapat dilihat pada gambar di bawah.
Support
Teaching

Komponen
Pendidikan
STEM

Material
Efficacy

Gambar 2. Komponen yang mendukung pembelajaran STEM

Aspek support atau dukungan berkaitan dengan berbagai kegiatan yang dapat mendukung pendidik
dalam menerapkan pembelajaran STEM seperti keikutsertaan dalam pelatihan yang relevan,
kolaborasi dengan sekolah atau institusi lain seperti universitas atau industri, serta adanya
kesempatan untuk berkolaborasi denga guru-guru lain dalam sekolah yang sama. Aspek teaching
atau pembelajaran menitikberatkan pada persiapan pembelajaran dan implementasi pembelajaran
di kelas. Aspek efficacy terkait dengan kepercayaan diri pendidik dalam mengimplementasikan
pembelajaran STEM yang dapat dipengaruhi oleh tingkat penguasaan materi pembelajaran serta
pedagogik, serta komitmennya dalam melaksanakan pembelajaran. Aspek materials terkait dengan
kesiapan sarana dan prasarana penunjang pembelajaran.

D. Karakteristik Pendidikan STEM Mengaitkan Proses Sains dan Desain Proses Engineering

Dua aspek utama dalam pembelajaran STEM adalah proses sains dan desain proses enjiniring yang
keduanya sangat berkaitan untuk mendukung pembelajaran. Proses sains merupakan proses
berjenjang yang terdiri dari 5 tahapan utama, yaitu:
1. Mengemukakan pertanyaan atau melakukan pengamatan.
2. Menyusun hioptesis
3. Menyusun perkiraan jawaban
4. Melakukan tes/ eksperimen
5. Menemukan dan mengemukakan kesimpulan.
Sementara desain proses enjiniring merupakan suatu tahapan siklus yang secara umum dimulai
dari pemetaan masalah dilanjutkan dengan merancang solusi untuk pemecahan masalah tersebut,
selanjutnya untuk membuktikan bahwa pemecahan masalah itu mungkin dilakukan, dalam desain
proses enjiniring dilakukan juga pemodelan untuk menjawab permasalahan yang muncul.
Pemodelan ini kemudian dicobakan dan hasilnya akan di evaluasi apakah model solusi pemecahan
masalah sudah efektif untuk memecahkan masalah atau belum, bila dirasa kurang efektif maka
dilakukan perbaikan desain model pemecahan masalah tersebut. Model yang dikenalkan dalam
desain proses enjiniring dapat berbentuk produk, proses, dan sistem.

Keterkaitan antara sains proses dan desain proses enjiniring dalam pembelajaran STEM dapat lebih
mudah difahami dengan penggambaran pada gambar 3 berikut. Pada bagian pertama di sebelah kiri
gambar, aktivitas dominan adalah proses sains dengan pendekatan observasi, inkuiri dan percobaan
yang didasarkan pada fenomena dan permasalahan di dunia nyata. Hasil pengamatan tersebut dapat
dikaitkan dengan desain proses enjiniring di sebelah kanan gambar dengan melalui proses analisis
terlebih dahulu, pada proses ini tahap pertama dari engineering berupa pemetaan masalah,
dilakukan dengan proses sains yang dapat memberikan gambaran komperhensif tentang masalah
tersebut. Analisa dari hasil pengamatan masalah akan berusaha dipecahkan dengan menggunakan
teori serta pemodelan yang muncul dari aktivitas pencarian solusi, berfikir kritis dan creative
thinking yang secara dominan dilakukan dengan desain proses engineering (National Academy of
Sciences, 2011).

Pada tahap selanjutnya, sains proses dan desain enjiniring proses secara bersama dibutuhkan untuk
melakukan analisis apakah teori serta model yang diajukan bisa memecahkan masalah dengan cara
mengumpulkan, menguji dan menganalisis solusi pemecahan masalah untuk kemudian di evaluasi
dan disempurnakan. Dalam ketiga bagian dalam gambar, analisis adalah bagian kunci untuk
menghubungkan antara sains proses dan desain proses enjiniring, saintist dan enjiner akan bekerja
sama untuk melakukan pemecahan masalah terbaik dengan segala sumber daya yang dimiliki. Dalam
upaya pemecahan masalah ini, kedua bagian dalam gambar melakukan Analisa masalah dan data
yang lebih mudah digambarkan melalui pemodelan termasuk menggunakan sektsa, diagram,
hubungan matematik, simulasi dan model purwarupa untuk memastikan bahwa solusi benar bisa
memecahkan masalah yang dihadapi, penggunaan pemodelan-pemodelan ini membutuhkan
kemampuan matematika yang mumpuni juga. Tiga kemampuan saintist dan enjineer inilah yang
berusaha dikenalkan kepada siswa melalui pembelajaran STEM. Pembelajaran sains berbasis STEM
terinkoporasi adalah pembelajaran materi pokok sains yang di dalamnya terintegrasi perancangan
desain, system dan penggunaan teknologi untuk pemecahan masalah nyata. Dengan demikian
diharapkan pembelajaran berbasis pendidikan STEM berkontribusi pada peningkatan daya saing
Indonesia. Penjelasan lebih lengkap mengenai hubungan dan practices antara proses sains dan
desain proses enjiniring pada kegiatan pembelajaran dibahas pada sub Tiga Dimensi STEM.

Gambar 3. Tiga Bagian Ranah Sains dan Enjiniring (National Academy of Sciences, 2011)
E. Kontinum Pola Integrasi dalam Pendidikan STEM

Karakteristik utama dalam intergasi pendekatan STEM dalam Kurikulum 2013 adalah keterpaduaan/
integerasi sains, teknologi, enjiniring dan matematika dalam memecahkan masalah di kehidupan
nyata. Pada pelaksanaannya di pembelajaran ataupun industry, terdapat beragam cara dalam
praktik integrasi disiplin-disiplin ilmu STEM tersebut. Cara, pola dan derajat keterpaduan antara tiap
disiplin ilmu dikategorikan ke dalam beberapa pola tertentu yang ditentukan oleh banyak faktor
(Roberts, 2012 dalam Firman, 2016). Dalam perkembangannya, ada tiga pola pendekatan
pembelajaran STEM yang umum dikenal oleh komunitas Pendidikan. Pembeda utama dari ketiga
pola pendekatan ini adalah pada ketersinambungan dan derajat penggunaan konten STEM, tiga pola
ini dikenal dengan pola Silo, terinkoporasi (Embedded) dan terintegerasi (integrated) (Robert dan
Cantu, 2012).

1. Pola Pendekatan Silo


Pola pendekatan Silo adalah pola pendekatan paling terpisah dari pembelajaran STEM. Guru secara
jelas memberikan instruksi dan materi secara terpisah pada setiap mata pelajaran STEM. Keterkaitan
antar mata pelajaran pda pendekatan ini umumnya disampaikan secara tersurat melalui
pembicaraan guru di depan kelas (Dugger, 2010). Diantara pendekatan STEM lainnya, pola
pendekatan Silo merupakan pembelajaran yang lebih menekankan pada penjelasan guru
dibandingkan dengan kegiatan siswa atau secara umum dikenal sebagai model pengajaran ceramah
konvensional (Morrison, 2006). Sekali pun terdapat kegiatan praktik atau pembuatan karya, karya
tersebut dipelajari hanya dalam satu perspektif mata pelajaran. Pola pendekatan Silo dianggap
sebagai pola pendekatan yang kurang sesuai dalam pembelajaran STEM karena pelaksanaan
pembelajaran dengan Silo membuat siswa masil memiliki segregasi antar mata pelajaran dan tidak
bias melihatnya sebagai kesatuan utuh untuk memecahkan masalah di dunia nyata (Breiner,
Harkness, Johnson & Koehler, 2012). Contoh dari pola pendekatan Silo adalah pembelajaran IPA
Terpadu yang umum diajarkan pada jenjang sekolah menengah. Sekalipun telah mengusung
keterpaduan antar mata pelajaran ilmu sains, pendekatan tiap keilmuan masih dilakukan secara
terpisah dan minim menggunakan proses enjiniring dalam prosesnya.

S T

E M
Gambar 4. Proses pola pendekatan Silo

2. Pola Pendekatan Embedded/Tertanam


Metode pola pendekatan tertanam umumnya dikenal luas sebagai pendekatan yang memberikan
penekanan pada pengetahuan yang didapatkan melalui kajian permasalahan di dunia nyata dan
Teknik pemecahan masalah dalam konteks social, budaya dan fungsional (Chen, 2001). Pelaksanaan
pola terinkoporasi adalah pendekatan yang cukup sesuai dengan kebutuhan STEM karena
membutuhkan kecakapan multidisipliner dari materi dan konten yang siswa dapatkan dari berbagai
mata pelajaran atau pengalaman sebelumnya.

Dalam pendekatan tertanam, terdapat satu materi yang lebih diutamakan dibandingkan yang
lainnya sehingga integritas dari subjek yang diutamakan tetap terjaga. Walau pun penekanan
keutamaan ini memiliki kemiripan dengan pendekatan silo, terdapat perbedaan yang mendasar
bahwa pola pendekatan tertanam meningkatkan pembelajaran dengan menunjukan hubungan yang
jelas antara materi yang diutamakan dan materi pendampingnya. Hubungan ini disampaikan secara
kontekstual dalam penjelasan bahwa materi-materi pendamping adalah penguat konsep pada
materi utama, namun bidang materi-materi pendamping tersebut tidak dimasukkan ke dalam
evaluasi penilaian.

Salah satu kelemahan dalam pendekatan materi tertanam yaitu masih dapat terjadinya segregasi
materi dalam pembelajaran. Jika siswa tidak mampu mencari keterkaitan dan hubungan antara
materi utama dan materi pendamping, maka dikhawatirkan siswa hanya akan mendapatkan materi
secara terpotong-potong dan hanya belajar sebagian dari pembelajaran yang harusnya menyeluruh.
Selain itu, pendekatan ini penting menekankan bahwa materi pendamping harus telah terlebih
dahulu dikuasai oleh siswa sebagai materi prasyarat agar siswa mampu lebih memahami konten
materi utama dengan baik tanpa harus mengalami kebingungan karena tidak fahamnya siswa pada
konten materi pendamping.

S
T E M

Gambar 5. Pola Pendekatan Tertanam

3. Pola Pendekatan Terintegerasi


Pola ketiga dan pola yang paling ideal adalah pola pendekatan terintegrasi, pada pola ini tidak ada
batas antara tiap mata pelajaran sehingga semua bagian dari S, T, E, M diajarkan sebagai satu subjek
utuh. Pendekatan ini mungkin dilakukan hanya dengan kurikulum yang sesuai dan mampu
meningkatkan ketertarikan siswa pada bidang STEM. Pada pola pendekatan ini umumnya
menggunakan satu diantara dua model integrasi konsep antara interdisiplin atau multidisiplin dan
menggabungkan materi dari berbagai tingkatan kelas menjadi satu kesatuan subjek yang memiliki
semua aspek STEM dan memiliki konten yang bisa memacu siswa untuk memiliki kemampuan
berfikir kritis, keterampilan pemecahan masalah dan pengetahuan untuk mencapai sebuah
kesimpulan.

Gambar 6. Pola pendekatan terintegrasi

Dalam model multidisiplin, siswa diarahkan untuk mampu mencari hubungan antara mata
pelajaran yang berbeda yang juga diajarkan dalam waktu yang berbeda. Model ini membutuhkan
kolaborasi yang baik antar guru mata pelajaran untuk menjaminkan bahwa siswa memahami adanya
keterkaitan antar konsep dari materi yang diajarkan (Wang et al., 2011). Sementara itu, model
interdisiplin memulai pendekatan pembelajaran melalui masalah pada dunia nyata (real life
problem). Model ini menekankan pada keterkaitan-kulikular konten dengan kemampuan berfikir
kritis dan pemecahan masalah siswa yang didasarkan pada pengetahuan yang telah dimiliki. Dapat
disimpulkan bahwa, multidisiplin mengarahkan siswa untuk menghubungkan konsep dari beberapa
mata pelajaran, sementara interdisiplin lebih memfokuskan pada perhatian siswa untuk
memecahkan masalah menggunakan berbagai konten dan kemampuan yang telah siswa miliki dari
berbagai mata pelajaran yang pernah mereka tahu (Wang et al., 2011). Secara teori, pola
pendekatan integrase dengan model interdisiplin adalah pendekatan yang paling sulit dilakukan
namun paling sesuai untuk pembelajaran STEM.

Implementasi ketiga pola pendekatan tersebut nyatanya memiliki tantangan masing-masing. Dalam
konteks Pendidikan dasar hingga menengah di Indonesia dan mayoritas negara lainnya, hanya mata
pelajaran sains dan matematika yang menjadi bagian dari pembelajaran kurikulum konvensional,
sementara mata pelajaran/ pengetahuan teknologi dan enjiniring hanya menjadi bagian dalam
kurikulum sekolah kejuruan (vocational school) dan menjadi komponen minor dalam pembelajaran
di sekolah umum. Maka dari itu, Pendidikan STEM yang dapat dikembangkan di Indonesia dan
negara lainnya lebih terpumpu pada sains dan matematika dengan pola pendekatan terinkoporasi.
Pola pengintegrasian yang lebih mendalam dengan menggabungkan materi S, T, E, M dalam satu
mata pelajaran lintas disiplin memerlukan restrukturisasi kurikulum secara menyeluruh, sehingga
relative sulit untuk dilaksanakan dalam konteks kurikulum konvensional Indonesia. Pola pendekatan
STEM yang paling mungkin dilakukan tanpa merestrukturisasi kurikulum secara massif adalah
dengan pola terinkorporasi terutama dengan mengenalkan prinsip dan konsep enjiniring, teknologi
dan matematika sebagai materi pendamping dengan sains sebagai materi utama.

Pola pendekatan ideal berupa integrase penuh, secara teori relative lebih mudah dilakukan pada
jenjang sekolah dasar karena siswa masih diajar oleh seorang guru kelas yang menguasai semua
mata pelajaran. Sementara pola terinkoporasi akan lebih efektif untuk dikembangkan di sekolah
menengah dengan catatan bahwa kegiatan yang dilakukan melibatkan akitivitas pemecahan
masalah otentik dalam konteks sosial, kultural dan fungsional (Roberts, 2012 dalam Firman, 2016).
Contoh dari beberapa pola terinkoporasi dengan sains sebagai materi utama diberikan dalam modul-
modul unit pembelajaran pada sesi berikutnya.

F. 3 Dimensi dalam Framework K-12

Dalam upaya reformasi pendidikan sains di AS, disusunlah sebuah standar pembelajaran sains yang
dikenal dengan nama Next Generation Science Standard (NGSS). NGSS dikembangkan untuk
meningkatkan keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran STEM. terdapat 3 dimensi yang
menjadi kerangka NGSS.

1. Scientific and Engineering Design Practices


Scientific Practices menggambarkan tingkah laku ilmuwan ketika mereka melakukan investigasi dan
membuat model serta teori tentang alam. Sedangkan, engineering practices merupakan kunci bagi
enjiner untuk membuat model dan sistem.

Terdapat delapan scientific and engineering design practices yang sangat penting untuk dipelajari
oleh siswa seperti yang terlihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 2. Scientific and Engineering Design Practices


Practices Sains Enjiniiring
1. Membuat pertanyaan Siswa di semua level harus dapat siswa harus bertanya untuk
(sains) dan menemukan mengemukakan pertanyaan tentang menjelaskan masalah yang harus
masalah (enjiniiring teks yang siswa baca, fitur fenomena diselesaikan dan memperoleh ide
yang siswa amati, dan kesimpulan atau solusi dari suatu masalah
yang mereka dapat lewat investigasi.
2. Mengembangkan dan Model digunakan untuk mewakili Model dapat digunakan untuk:
menggunakan model. sistem (atau bagian sistem) yang menganalisa sistem untuk melihat
sedang dipelajari, untuk membantu apa atau dalam kondisi apa
Contoh dari model yaitu pengembangan pertanyaan dan kecacatan mungkin terjadi, serta
berupa diagram, replika penjelasan, memperoleh data yang dapat menguji solusi yang mungkin
fisik, representasi dapat digunakan untuk membuat dalam menyelesaikan masalah.
matematis, analogi dan prediksi, dan mengkomunikasikan ide Model juga dapat digunakan untuk
simulasi komputer ke siswa lainnya menghaluskan desain dan sebagai
prototype untuk menguji performa
desain
3. Merencanakan dan Siswa diberi kesempatan untuk Perencanaan dan investigasi
melakukan investigasi membuat perencaan, menginvestigasi dilakukan untuk mendapatkan data
variabel dan melakukan investigasi penting untuk menentukan kriteria
atau parameter dan menguji
desain.
4. Analisis dan Data yang dikumpulkan harus Membuat keputusan berdasarkan
Interpretasi data dipresentasikan dalam bentuk yang bukti tentang sebuah desain yang
dapat mengungkapkan pola dan akan bekerja; menganalisis desain
hubungan, juga menyediakan hasil dengan membuat model atau
yang dapat dikomunikasikan ke orang purwarupa dan mengumpulkan
lain data bagaimana desain ini bekerja,
termasuk dalam kondisi ekstrim

5. Menggunakan pola Menggunakan matematika untuk Enjiner membuat analisis desain


berpikir matematis dan menunjukkan variable-variabel fisis berbasis matematika untuk
komputasi dan hubungannya serta membuat menghitung apakah desain yang
prediksi kuantitatif. Aplikasi lainnya dibuat sesuai dengna yang
dari matematika untuk sains dan diharapkan dan apakah desain
enjiniiring yaitu logika, geomteri, dan tersebut dapat dilaksanakan sesuai
level paling tinggi yaitu kalkulus. dengan anggaran.

6. Membangun Siswa diminta untuk membangun Menetapkan batasan dan kriteria


eksplanasi (sains) dan penjelasannya, juga mengaplikasikan untuk kualitas solusi yang
mendesain solusi penjelasan materi yang telah dipelajari
diinginkan, mengembangkan
(enjiniiring) rencana desain, membuat dan
menguji purwarupa.
7. Terlibat dalam Pemikiran dan argument berbasis Pemikiran dan argument
argumen berdasarkan bukti merupakan hal yang penting dibutuhkan untuk mengidentifikasi
bukti dalam mengidentifikasi penjelasan solusi paling baik.
yang paling baik untuk suatu
fenomena alam.

8.Mendapatkan, Ilmuwan dan enjiner menggunakan banyak sumber untuk mendapatkan


mengevaluasi dan informasi yang digunakan untuk mengevaluasi kepantasan dan validitas
mengkomunikasikan klaim, metoda dan desain. Mengkomunikasikan informasi, bukti, dan ide
informasi dapat dilakukan dengan berbagai cara: tabel, diagram, grafik, model, display
interaktif, rumus baik itu secara lisan, tulisan dan diskusi.
Sains tidak akan maju jika ilmuwan tidak dapat mengkomunikasikan hasilnya
secara jelas dan persuasive. Begitu pula enjiner tidak dapat membuat
teknologi baru jika kelebihan dari desain nya tidak dapat dikomunikasikan
secara jelas.

2. Crosscutting concept
Secara singkat, suatu konsep disebut crosscutting concept jika konsep tersebut dapat
mengkomunikasikan cara berpikir saintifik suatu mata pelajaran, dan konsep tersebut berlaku untuk
banyak mata pelajaran Sains dan enjiniiring. Suatu konsep disebut bukan crosscutting concept jika
konsep tersebut tidak dapat megkomunikasikan cara berpikir saintifik atau hanya berlaku untuk satu
atau dua mata pelajaran (Snider, C, “What Do I Do with Crosscutting Concepts?”).
Sebagai contoh yaitu crosscutting concept energy:

“Hukum yang sama tentang konservasi energy digunakan oleh enjiner untuk mendesain mobil
yang lebih efisien, seorang nutrisionis menghitug makanan yang ideal untuk pasien, dan oleh
ekologis untuk menginvestigasi bagaiman energy bergerak di suatu ekosistem. “

Crosscutting concept energy mempunyai potensi yang besar untuk membantu siswa memahami
bagaimana saintis dan enjiner berpikir, dan bagaimana mata pelajaran biologi, fisika, kimia,
enjiniiring memiliki hal yang mirip dalam konsep juga cara berpikir.

Tabel 3. Crosscutting Concepts


No Crosscutting concepts Deskripsi
1 Pola Memperhatikan pola, merupakan langkah pertama untuk
mengorganisasi fenomena dan bertanya saintifik tentang mengapa
dan bagaimana pola terjadi. Tipe-tipe pola terdiri dari klasifikasi,
persamaan atau perbedaan, distribusi, hubungan diantara
variable, perubahan dan kecepatan perubahan. Beberapa alat
yang dapat digunakan untuk mencari pola yaitu, grafik, bagan atau
skema, peta dan data statistik.

2 Sebab dan Akibat: Kegiatan utama dalam IPA adalah menyelidiki dan menjelaskan
Mekanisme dan hubungan sebab akibat dan mekanisme mediasinya. Mekanisme
Eksplanasi tersebut dapat diuji melalui konteks yang diberikan dan digunakan
untuk memprediksi serta menjelaskan kejadian-kejadian dalam
konteks yang baru.
3 Skala, Proporsi dan Skala, proporsi, dan kuantitas berhubungan dengan ukuran dan
Kuantitas relasi matematis. Berhubungan dengan konsep ini, siswa penting
untuk memahami perbedaan mengukur dan mengenali bagaimana
perubahan skala, proporsi dan kuantitas mempengaruhi fungsi dan
struktur suatu sistem.
4 Sistem dan Model Model akan sangat berguna dalam memprediksi tingkah laku
Sistem sistem atau dalam mengdiagnosa masalah, kegagalan, terlepas
dari tipe sistem apa yang sedang diuji. Sebuah model sistem yang
digunakan untuk mengembangkan penjelasan saintifik atau desain
enjiniiring tidak hanya harus dapat menentukan bagian atau
subsistem, tetapi juga interaksi diantara satu bagian dengan
bagian lainnya.
5 Energi dan Materi: Dengan mengkaji jejak aliran energy dan usaha di dalam, di luar
Aliran, Siklus, dan dan di antara sistem mampu membantu seseorang untuk
Konservasi memahami kemungkinan dan keterbatasan suatu sistem.
6 Struktur dan Fungsi Sifat dan funsgi suatu benda ditentukan oleh bagaimana cara
benda tersebut dibentuk.
7 Stabilitas dan Stabilitas dan variabel yang mengatur kecepatan perubahan
Perubahan merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan maupun
untuk dipahami, baik itu untuk sistem buatan atau sistem alami.

3. Disciplinary Core Ideas


Dimensi ketiga STEM yaitu disciplinary core ideas (DCI), dimensi ketiga ini sudah lebih dikenal oleh
guru dibanding dengan dua dimensi STEM lainnya. DCI merupakan kumpulan ide utama dari mata
pelajaran physical, life, Earth and space Science. Dua domain lainnya yang termasuk dalam dimensi
ini adalah engineering, technologydan applied Science.

Tabel 3. Contoh Discplinary Core Ideas dan komponennya


Subject Core and Component Idea

Physical Science Energi (Core idea)


• Definisi energy
• Konservasi dan transfer energy
• Hubungan antara energy dengan gaya
• Energy dalam proses kimia dan kehidupan sehari-hari

Life Sciences Ekosistem: Interaksi, energy, dan dinamika (core idea)


• Hubungan interdependen dalam ekosistem
• Siklus materi dan transfer energi dalam ekosistem.
• Dinamika ekosistem
• Interaksi sosial dan tingkah laku grup

Earth and Space Science Bumi dan Aktivitas Manusia


• Sumber Daya Alam
• Bencana alam
• Dampak manusia terhadap bumi
• Perubahan iklim global
Engineering Desain enjiniiring
• Menjelaskan dan membatasi masalah enjiniiring
• Mengembangkan solusi
• Mengoptimalkan solusi desain

G. Engineering Design Process (EDP)

Pada pembelajaran berbasis STEM, salah satu karakteristik yang harus terlihat dalam proses
pembelajaran adalah proses desain rekayasa atau Engineering Design Process (EDP). Proses ini
melatihkan kemampuan peserta didik dalam memecahkan suatu permasalahan (problem solving)
dalam konteks dunia nyata (real world).

Gambar 7. Proses Desain Rekayasa (EDP)

Terdapat beberapa model yang dapat digunakan sebagai EDP, salah satunya adalah yang dapat
dilihat pada gambar 7, namun secara umum EDP memiliki langkah-langkah sebagai berikut:

1) Identifikasi Masalah
Pada tahap ini peserta didik dalam kelompoknya mengidentifikasi dan menganalisa
permasalahan atau tantangan yang diberikan. Peserta didik juga diharapkan dapat
mengidentifikasi constraint atau batasan dan kriteria dari solusi yang dipersyaratkan oleh
permasalahan atau tantangan yang diberikan tersebut sebagai contoh alat dan bahan
tersedia, biaya yang boleh dikeluarkan, dan berbagai kriteria yang dibutuhkan.

2) Bertukar pikiran (brainstorm)


Tahap selanjutnya adalah peserta didik saling bertukar pikiran tentang berbagai solusi yang
memungkinkan untuk menjawab permasalahan. Peserta didik dapat melakukan penelitian
melalui bermacam-macam sumber informasi yang mereka anggap relevan untuk membantu
mereka dalam menyusun berbagai ide solusi. Dari berbagai solusi yang dimungkinkan
tersebut, peserta didik dalam kelompoknya menentukan satu solusi terbaik yang akan
ditawarkan.

3) Merancang
Dengan ditentukannya satu solusi terbaik, maka tahapan selanjutnya adalah memodelkan
solusi tersebut dalam sebuah rancangan atau sketsa gambaran konkrit dari solusi yang
ditawarkan. Dalam rancangan tersebut, peserta didik harus mampu menjelaskan bagian-
bagian dari rancangannya, fungsi yang terkait dari bagian-bagian tersebut, material yang
digunakan, serta bagaimana rancangan solusi mereka akan mampu menjawab
permasalahan.

4) Membangun (build/construct)
Selanjutnya, dengan menggunakan material yang ditentukan, dalam kelompoknya peserta
didik menyusun produk persis sesuai dengan hasil rancangan/sketsa yang mereka susun.

5) Ujicoba
Pada tahap ujicoba ini peserta didik akan mengetahui apakah solusi yang mereka rancang
dapat menjawab permasalahan atau tantangan yang diberikan di awal.

6) Revisi
Jika solusi yang dikembangkan belum berhasil menjawab permasalahan, maka dalam
kelompoknya peserta didik mengidentifikasi dan menganalisa penyebab dari adanya
kegagalan tersebut dan menentukan perbaikan yang harus dilakukan pada solusi awal.

7) Berbagi solusi/Komunikasi
Pada akhirnya masing-masing kelompok akan mengkomunikasikan berbagai pengalaman
mereka dalam menjawab permasalahan atau tantangan baik dalam bentuk presentasi
maupun laporan.

H. Model Pembelajaran dengan Pendekatan STEM

Menurut George Lucas Educational Foundation (2005) Project based learning (PjBL) adalah
pendekatan pembelajaran yang dinamis di mana siswa secara aktif mengeksplorasi masalah di dunia
nyata, memberikan tantangan, dan memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam. Saat ini
penelitian dalam Project based learning (PjBL) menunjukan bahwa projek dapat meningkatkan minat
siswa dalam science, technology, engineering, and math (STEM) karena dengan STEM melibatkan
siswa dalam pemecahan masalah secara otentik, kerjasama antar siswa, serta membangun
kemampuan untuk menciptakan solusi nyata (Fortus, Krajcikb, Dershimerb, Marx, & Mamlok-
Naamand, 2005).

Model Project Based Learning (PjBL) merupakan model yang disarankan dalam implementasi
Kurikulum 2013, sedangkan STEM merupakan sebuah strategi pembelajaran. Karakteristik dari STEM
yaitu menekankan pada proses mendesain, enjiniring atau merekayasa. Menurut (Capraro, et al,
2013) Design process adalah pendekatan sistematis dalam mengembangkan solusi dari masalah
dengan well define outcome, yaitu menentukan solusi/proses terbaik dari ide-ide yang muncul.

Berikut ini adalah proses pembelajaran berbasis proyek yang disusun dari berbagai program STEM
berbasis proyek yang dievaluasi dan terbukti menjadi program pendidikan STEM yang efektif.
(Laboy-Rush, 2010)

Tahap 1. Reflection
Tujuan dari tahap pertama untuk membawa siswa ke dalam konteks masalah dan memberikan
inspirasi kepada siswa agar dapat segera mulai menyelidiki/investigasi (Fortus, Krajcikb, Dershimerb,
Marx, & Mamlok-Naamand, 2005). Fase ini juga dimaksudkan untuk menghubungkan apa yang
diketahui dan apa yang perlu dipelajari (Diaz & King, 2007).

Tahap 2. Research
Tahap kedua adalah bentuk penelitian siswa. Guru memberikan pembelajaran sains, memilih
bacaan, atau metode lain untuk mengumpulkan sumber informasi yang relevan (Fortus, Krajcikb,
Dershimerb, Marx, & Mamlok-Naamand, 2005). Proses belajar lebih banyak terjadi selama tahap ini,
kemajuan belajar siswa mengkonkritkan pemahaman abstrak dari masalah (Diaz & King, 2007).
Selama fase research, guru lebih sering membimbing diskusi untuk menentukan apakah siswa telah
mengembangkan pemahaman konseptual dan relevan berdasarkan proyek (Satchwell & Loepp,
2002).

Tahap 3. Discovery
Tahap penemuan umumnya melibatkan proses menjembatani research dan informasi yang diketahui
dalam penyusunan proyek. Ketika siswa mulai belajar mandiri dan menentukan apa yang masih
belum diketahui (Satchwell & Loepp, 2002). Beberapa model dari STEM PjBL membagi siswa menjadi
kelompok kecil untuk menyajikan solusi yang mungkin untuk masalah, berkolaborasi, dan
membangun kerjasama antar teman dalam kelompok (Fortus, Krajcikb, Dershimerb, Marx, &
Mamlok-Naamand, 2005). Model lainnya menggunakan langkah ini dalam mengembangkan
kemampuan siswa dalam membangun habit of mind dari proses merancang untuk mendesain (Diaz
& King, 2007).

Tahap 4. Application
Pada tahap aplikasi tujuannya untuk menguji produk/solusi dalam memecahkan masalah. Dalam
beberapa kasus, siswa menguji produk yang dibuat dari ketentuan yang ditetapkan sebelumnya,
hasil yang diperoleh digunakan untuk memperbaiki langkah sebelumnya (Diaz & King, 2007). Di
model lain, pada tahapan ini siswa belajar konteks yang lebih luas di luar STEM atau
menghubungkan antara disiplin bidang STEM (Satchwell & Loepp, 2002).
Tahap 5. Communication
Tahap akhir dalam setiap proyek dalam membuat produk/solusi dengan mengkomunikasikan antar
teman maupun lingkup kelas. Presentasi merupakan langkah penting dalam proses pembelajaran
untuk mengembangkan keterampilan komunikasi dan kolaborasi maupun kemampuan untuk
menerima dan menerapkan umpan balik yang konstruktif (Diaz & King, 2007). Seringkali penilaian
dilakukan berdasarkan penyelesaian langkah akhir dari fase ini (Satchwell & Loepp, 2002).

Referensi
Dugger, W. (2010). Evolution of STEM in the U.S. 6th Biennial International Conference on
Technology Education Research. [Avaliable online: http://citeseerx.ist.psu.edu]
Morrison, J. (2006). STEM education monograph series: Attributes of STEM education. Teaching
Institute for Essential Science. Baltimore, MD.
Breiner, J., Harkness, S., Johnson, C., & Koehler, C. (2012). What is STEM? A discussion about
conceptions of STEM in education and partnerships. School Science and Mathematics, 112(1),
p. 3-11.
Chen, M. (2001). A potential limitation of embedded-teaching for formal learning. In J. Moore & K.
Stenning (Eds.), Proceedings of the Twenty-Third Annual Conference of the Cognitive Science
Society (pp. 194-199). Edinburgh, Scotland: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Wang, H., Moore, T., Roehrig, G., & Park, M. (2011). STEM integration: Teacher perceptions and
practice. Journal of Pre-College Engineering Education Research, 1(2), 1-13.
Roberts, A. (2012). A justification for STEM education. Technology and Engineering Teacher, 74(8), 1-
5.
Harry Firman. (2016). Pendidikan STEM sebagai Kerangka Inovasi Pembelajaran Kimia untuk
Meningkatkan Daya Saing Bangsa dalam Era Masyarakat Ekonomi Asean. Prosiding Seminar
Nasional Kimia dan Pembelajarannya, ISBN : 978-602-0951-12-6.
Hanover Research (2011). K-12 STEM education overview.
Roberts, A. & Cantu, D. (2012). Applying STEM instructional strategies to design and technology
curriculum. Technology Education in the 21st Century, (73), 111-118.
National Academy of Sciences (2011). A Framework for K-12 Science Education: Practices,
Crosscutting Concepts, and Core Ideas. The National Academic Press: Washington DC.
Bybee, R. W., & Landes, N. M. (1988) What research says about new science curriculums (BSCS)
Science and Children, 25, 35-39.
Johnson, D. W., Johnson, R. T., & Smith, K. (1991). Active learning: Cooperation in the college
classroom. Edina, MN: Interaction Book.
Karplus, R., & Their, H. D. (1967). A new look at elementary school science. Chicago, IL: Rand
McNally.
Resnick, L. B. (1999). Making America smarter. Education Week Century Series. 18 (40), 38-40.
Retrieved from http://www.edweek.org/ew/vol-18/40resnick.h18

Anda mungkin juga menyukai