Anda di halaman 1dari 6

BAB VII

SISTEM PENCATATAN DAN PENILAIAN HASIL INSEMINASI BUATAN

7.1. Pendahuluan
Pencatatan (recording) merupakan pekerjaan administrasi yang dilakukan
oleh tenaga teknis yang terlatih. Pencatatan dapat pula dilakukan oleh seorang
inseminator terutama untuk catatan yang menyangkut waktu berahi ternak
akseptor, lama berahi, waktu inseminasi, kode straw, dan jenis bangsa pejantan
yang digunakan serta hal-hal lain yang ditemukan dalam pelaksanaan IB, seperti
ketegangan uterus pada saat IB, posisi penempatan atau pendepossisian semen
dan keadaan alat kelamin luar serta ada tidaknya lendir berahi.
Pencatatan ini dapat pula bertujuan untuk membantu suatu BIB dalam
melakukan seleksi ternak. jantan unggul yang digunakan dalam memproduksi
semennya. Disamping itu pencatatan dibutuhkan untuk memperkirakan waktu
beranak, agar dilakukan persiapan-persiapan yang terkait dengan persiapan
pakan dan penanganan kelahiran.
Walaupun banyak manfaat yang diperoleh jika recording dilakukan secara
baik, namun dalam pelaksanaannya tidak mendapat perhatian dari tenaga teknis
dan inseminator. Hal inipun adalah salah satu faktor penyebab kurang
berkembangnya IB pada sapi potong di Indonesia Bagian Timur. Hal ini dapat
dimengerti karena sistem beternak di kawasan ini masih didominasi sistem
beternak ekstensif, sehingga penentuan terhadap pencatatan kadang tidak
berjalan normal.
Selain recording, penilaian terhadap pelaksanaan IB juga merupakan hal
yang sangat penting dilakukan untuk mengevaluasi keberhasilan IB, yang
tentunya bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
pelaksanaan IB. Penilaian terhadap bunting-tidaknya ternak betina akseptor IB
akan membantu dalam menduga fertilitas pejantan, betina akseptor, tingkat
keterampilan inseminator dan P!3ngamatan serta pelaporan berahi ternak yang
tepat oleh peternak.

71
7.2. Sistem Pencatatan
Kompetensi Akhir : Setelah mahasiswa mempelajari isi pokok bahasan ini,
mahasiswa mampu menyebutkan dan menjelaskan serta dapat melakukan
sistem pencatatan hasil IB dan juga mampu melakukan evaluasi hasil IB.
Pencatatan atau recording dalam kegiatan IB penting dilakukan karena
memiliki beberapa manfaat utama seperti : 1) menilai keterampilan kerja
inseminator terutama yang berkaitan dengan penguasaan teknik dan prosedur
IB serta keterampilan dalam menentukan secara tepat waktu IB yang optimal
dan kemampuannya dalam memotivasi peternak, 2) menilai kemampuan
peternak dalam mengamati berahi dan melaporkannya kepada inseminator pada
saat yang tepat serta kemampuannya memelihara ternak betina akseptornya,
3) menentukan sebab-sebab kegagalan IB terutama yang bersumber pada
ternak (baik jantan/semen maupun betinanya), 4) menjadi data untuk menilai
hasil kegiatan IB dan efisiensi reproduksi, 5) memperkirakan waktu kelahiran
untuk mempersiapkan hal-hal yang berhubungan dengan kelahiran, termasuk
persiapan peralatan dan tenaga penanganan kelahiran, jika terjadi kesulitan
disamping persiapan pakan dan pemasarannya, 6) memberi informasi tentang
identitas induk (betina dan jantannya) dari anak yang lahir dari hasil IB untuk
membentuk kegiatan seleksi dan culling pada ternak.
Sistem pencatatan dalam pelaksanaan IB merupakan pekerjaan
administrasi yang sangat diperlukan pada suatu pusat inseminasi buatan atau
dalam program inseminasi buatan secara nasional ataupun dalam suatu
kelompok penelitian. Tujuannya adalah untuk mengkaji hal-hal yang
berhubungan dengan pengembangan inseminasi buatan. Sistem pencatatan
dilakukan dengan mengisi kartu IB, buku induk, buku bulanan, triwulan
semesteran atau tahunan dan sebagainya. Dalam pelaksanaannya di Indonesia
sistem pencatatan belum dilakukan secara baik, dan hal inipun menjadi salah
satu faktor penyebab kemacetan pelaksanaan IB pada sapi potong di Indnesia.

72
7.3. Penilaian Hasil Inseminasi Buatan
Tolok ukur keberhasilan IB dapat ditentukan berdasarkan beberapa
ukuran seperti :
7.3.1. Non Return Rate (NRR), yaitu jumlah ternak betina yang tidak kembali
memperlihatkan tanda-tanda berahi sesudah diinseminasi. Ternak betina yang
tidak kembali memperlihatkan berahi setelah di-IB mengisyaratkan bahwa ternak
tersebut telah bunting. Meskipun demikian parameter ini kadang memberikan
kenyataan yang sebaliknya setelah ternak tersebut di PKB. Hal ini mungkin
terjadi karena kurangnya peternak mengamati ternak atau ekspresi berahi yang
diperlihatkan ternak tersebut tidak terlalu jelas sehingga sulit diamati peternak
ataupun terjadi kematian embrio dini.
7.3.2. Service per Conception (S/C), yaitu jumlah insemiansi per kebuntingan,
yang dimaksudkan dengan inseminasi dalam hal ini adalah IB yang
menghasilkan suatu kebuntingan pada ternak. Sekalipun didalam satu periode
berahi seekor ternak ekseptor diinsemiasi lebih dari satu straw. Artinya yang
dimaksudkan dengan banyaknya pelayanan (service) adalah sama dengan
banyaknya periode berahi untuk terjadi suatu kebuntingan pada seekor ternak
betina.
Jadi S/C tidak sama dengan jumlah straw/dosis semen yang dinseminasi
pada satu periode berahi. Untuk itu boleh terjadi bahwa dalam satu periode
estrus jumlah straw yang digunakan bisa lebih dari satu straw. Apabila
kebuntingan langsung terjadi pada periode berahi tersebut maka S/C pada
ternak tersebut adalah satu. Akan tetapi jika seekor ternak betina akseptor
diinseminasi pada periode berahi pertama dan 21 hari kemudian masih
memperlihatkan berahi dan diinseminasi lagi. Selanjutnya setelah di-PKB
ternyata ternak tersebut bunting maka S/C untuk ternak tersebut adalah dua,
sekalipun straw yang digunakan untuk dua kali inseminasi tersebut rata-rata
satu atau dua straw yang digunakan untuk dua kali inseminasi tersebut rata-rata
satu atau dua straw per periode berahi.
Idealnya S/C untuk kegiatan IB adalah 1.0, artinya inseminasi dilakukan
satu kali atau satu periode berahi, akan tetapi dalam pelaksanaannya sulit

73
tercapai. SIC yang optimum adalah 1.6, dengan kisaran antara 1.4-1.8.
Sementara di Indonesia rata-rata 2.0 dengan kisaran antara 1.8-3.0. Hal ini
berarti bahwa untuk menghasilkan suatu kebuntingan pada ternak betina
akseptor di Indonesia diperlukan 2 siklus berahi atau 3 periode berahi, yang
berarti dibutuhkan waktu sekitar 42 hari (2x21 hari), untuk ternak yang bersiklus
berahi 21 hari.
7.3.3. Conception Rate (CR), yakni jumlah ternak betina yang bunting pada
inseminasi pertama dibagi jumlah ternak betina yang diinseminasi kali 100%.
Parameter ini sering diperoleh setelah pemeriksaan kebuntingan terhadap
ternak-ternak tersebut 2 bulan sesudah inseminasi.
Nilai CR hasil inseminasi sapi potong di Indonesia masih berkisar
dibawah 50%.. Hal ini disebabkan banyaknya faktor-faktor yang merupakan
hambatan-hambatan dalam pengembangan inseminasi buatan di Indonesia.
7.3.4. Calving Rate (angka kelahiran), jumlah anak yang lahir dan hidup sehat
dari jumlah ternak betina yang bunting di kali 100%. Secara normal angka ini
rata-rata berkisar 80% pada ternak sapi. Meskipun angka kelahiran juga
merupakan salah satu tolok ukur penentuan keberhasilan IB, namun dalam
pelaksanaannya dianggap terlalu lama sehingga kadang mempersulit dugaan
penyebab tidak produksinya seekor ternak akseptor.
Disamping beberapa parameter penentu keberhasilan IB, dibeberapa
Negara maju sering menilai persentase jumlah betina yang berahi dan
dikawinkan dalam waktu 21 hari (1 siklus berahi) per jumlah ternak betina dalam
kelompoknya harus mencapai 90%.

74
7.4. Ringkasan
Pencatatan (recording) merupakan pekerjaan administrasi yang dilakukan
oleh tenaga teknis yang terlatih. Pencatatan dapat pula dilakukan oleh seorang
inseminator terutama untuk catatan yang menyangkut waktu berahi ternak
akseptor, lama berahi, waktu inseminasi, kode straw, dan jenis bangsa pejantan
yang digunakan.
Selain recording, penilaian terhadap pelaksanaan IB juga merupakan hal
yang sangat penting dilakukan untuk mengevaluasi keberhasilan IB, yang
tentunya bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
pelaksanaan IB. Penilaian terhadap bunting-tidaknya ternak betina akseptor IB
akan membantu dalam menduga fertilitas pejantan, betina akseptor, tingkat
keterampilan inseminator dan Pengamatan serta pelaporan berahi ternak yang
tepat oleh peternak.
Tolok ukur keberhasilan IB dapat ditentukan berdasarkan beberapa
ukuran seperti : non return rate (NRR), service per conception (S/C), conception
rate (CR), dan calving rate (angka kelahiran), jumlah anak yang lahir dan hidup
sehat clari jumlah ternak betina yang bunting di kali 100%.

75
7.4. Evaluasi
1. Apakah manfaat recording dalam kegiatan inseminasi buatan pada ternak?
2. Apakah kerugiannya jika recording tidak dilakukan secara baik?
3. Apakah manfaat penilaian hasH inseminasi buatan?
4. Sebutkan tolok ukur yang sering digunakan untuk mengukur keberhasilan
IB?
5.Tolok ukur apakah yang paling efektif untuk menentukan hasil IB dalam
waktu yang tidak terlampau lama?

7.5. Daftar Pustaka

Hafez, E.S.E., 2000. Reproduction in Farm Animals. Ed. E.S.E. Hafez. Ed.7th.
Lea & Febinger.

Toelihere, M.R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa, Bandung.

76

Anda mungkin juga menyukai