PEMBIAYAAN
H U K U M L E M B A G A
PEMBIAYAAN
Dr. H. Ahmad Muliadi, S.H., M.H.
HUKUM LEMBAGA PEMBIAYAAN
Hak Cipta dilindungi. Tidak ada bagian dari cetakan ini yang boleh
diproduksi ulang, disimpan dalam suatu sistem yang dapat diambil
kembali atau diproduksi ulang atau disampaikan dalam format apa pun
atau dengan cara-cara lainnya, secara elektronik, secara mekanis, dengan
fotokopi, kecuali kopi dari halaman-halaman yang dapat diproduksi
kembali untuk digunakan oleh lembaga yang membeli, merekam atau
lainnya tanpa izin tertulis terlebih dahulu dari penerbit.
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
Cetakan 1, 2013
Kata Pengantar
K
ami mengucapkan puji syukur kepada Allah swt., dengan izin dan
karunia-Nya dapat diselesaikan tulisan tentang Hukum Lembaga
Pembiayaan.
Tulisan ini disusun berdasarkan silabus mata kuliah Lembaga
Pembiayaan yang dipercayakan kepada kami di Fakultas Hukum
Universitas Jayabaya, sekaligus sebagai realisasi sumbangan karya dari
Penulis atas langkanya buku-buku yang berkenaan dengan hal dimaksud,
dengan tujuan membantu para mahasiswa dalam memahami tentang
Hukum Lembaga Pembiayaan.
Tulisan ini banyak kekurangan dan juga belum mencapai
hasil sempurna sebagaimana layaknya karya ilmiah karena dalam
pembahasannya masih lebih bentuk bibliografi, namun sebagai seorang
yang mencintai ilmu, kami berusaha memaparkannya semampu kami
yang didukung dengan literatur yang kami miliki, apalagi dihubungkan
dengan pekerjaan kami sehari-hari dalam praktik sebagai seorang advokat
dan konsultan hukum.
Dalam kesempatan ini diucapkan terima kasih yang sebanyak-
banyaknya kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses
penyusunan hingga terselesaikannya tulisan ini, terutama kepada
istriku Hj. Guswita Dewi, S.H., M.H.; anak-anakku Irma Sari Muliadi,
Hafiz Iskandar Muliadi, dan Syifa Aulia Muliadi. Dan tak lupa juga
kepada para staf dan karyawan di Kantor Advocate & Legal Consultant
Muliadi & Partners yang telah banyak membantu baik dalam pengetikan
v
dan pengeditan tulisan ini. Dengan harapan kiranya ada masukan dan
kritikan dari para pembaca yang sifatnya membangun demi perbaikan
selanjutnya.
Tulisan ini sebenarnya telah pernah dijadikan sebagai bahan acuan
pada mata kuliah yang sama di Fakultas Hukum Universitas Jayabaya
pada semester ganjil 2000/2001, yang sampai sekarang telah beberapa
kali perbaikan dan tambahan. Kiranya tulisan yang sederhana ini ada
manfaatnya dan dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa, praktisi, dan bagi
peminat lainnya.
Kata Pengantar—v
Daftar Isi—vii
Daftar Singkatan—xiii
BAB I Pendahuluan—1
A. Latar Belakang—1
B. Pengertian Lembaga Pembiayaan—3
C. Dasar Hukum Lembaga Pembiayaan—4
D. Jenis Lembaga Pembiayaan—5
vii
3. Sales and Lease Back—37
4. Leveraged Lease—38
G. Pengawasan dan Pembinaan —39
H. Pencabutan Izin Usaha—41
Daftar Isi ix
4. Kewajiban Perusahaan Modal Ventura—146
5. Hak bagi Perusahaan Modal Ventura—147
6. Penyelesaian Sengketa—147
D. Para Pihak dalam Kegiatan Modal Ventura—148
1. Pihak Perusahaan Modal Ventura—148
2. Pihak Perusahaan Pasangan Usaha—149
3. Pihak Penyandang Dana—150
E. Mekanisme Penyertaan Modal—151
1. Lewat Penyertaan Modal (Equity Financing)—151
2. Pembiayaan Lewat Pinjaman (Loan Financing)—154
3. Pembiayaan Disertai Jasa Manajemen—155
4. Perjanjian Venture Capital—155
F. Kelebihan dan Kelemahan Modal Ventura—156
1. Keunggulan Modal Ventura—156
2. Kelemahan Modal Ventura—157
G. Pengawasan dan Pembinaan —158
H. Pencabutan Izin Usaha—160
Lampiran—177
Daftar Bacaan—187
Profil Penulis—195
xi
xii Hukum Lembaga Pembiayaan
B A B I Pendahuluan
A. LATAR BELAKANG
Sesuai dengan kaidah ekonomi, di mana ada demand dan di sisi
lain ada supply, yang menciptakan institusi tradisional di mana pihak
yang kelebihan dana akan mensuplai dana langsung kepada pihak yang
membutuhkan dana1. Dengan cara ini membawa suatu konsekuensi
terhadap pembangunan ekonomi masyarakat yang menuntut adanya
suatu kepastian hukum. Dalam masyarakat berkembang pula beberapa
bentuk perjanjian yang diakui keberadaannya dan dipraktikkan oleh
masyarakat sebagai jenis perjanjian bernama, yang diatur di luar Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya KUH Perdata Staatsblad.
1847 No. 23)2. Kondisi ini yang menjadi alasan bagi perkembangan
sektor hukum bisnis atau hukum ekonomi3 yang begitu cepat, sehingga
1 Munir Fuady, Hukum tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek—(Leasing, Factoring,
Modal Ventura, Pembiayaan Konsumen, Kartu Kredit), Citra Aditya Bakti, Bandung; Cet. Ke-1,
195, hlm. 1.
2 Hal ini bisa terjadi sebagai akibat dari asas terbuka yang dianut oleh Hukum Perjanjian
di dalam KUH Perdata Staatsblad. 1847 No. 23.
3 Adapun mengenai cirri-ciri Hukum Ekonomi, oleh Schrans disebutkan sebagai berikut:
(a) Di dalam Hukum Ekonomi batas-batas antara Hukum Publik dengan Hukum Perdata
menjadi kabur; (b) Hukum Ekonomi bersifat lebih kolektivitas daripada Hukum Dagang;
(c) Hukum Ekonomi merupakan suatu bidang yang mengubah tata hukum maupun tata
ekonomi; (d) Hukum Ekonomi mengubah nilai-nilai sosial, ekonomi, dan keadilan yang
berlaku, baik dalam masyarakat ekonomi maupun di dalam bidang hukum. Pada ciri yang
kelima kelihatan jelas bahwa Hukum Ekonomi tidak lagi merupakan bidang hukum yang
hanya mampu mengikuti perkembangan masyarakat saja (hinkt achter de feiten aan), akan
tetapi sudah merupakan suatu Hukum Pembangunan atau ontwikkekings recht, yang harus
1
membawa konsekuensi terhadap perlunya sektor hukum ditelaah ulang,
agar tetap up-to-date, seirama dengan perkembangan masa. Karena dalam
praktik sering didengar keluhan dari para pelaku usaha yang menyatakan
bahwa Era Globalisasi Ekonomi Dunia, bukan hanya dalam bentuk direct
investment maupun equity investment melainkan mengintrodusir investasi
dalam bentuk baru yaitu penyertaan modal secara informal, antara lain
dalam bentuk Franchising, Licensing, Technical Assistance, Modal Ventura
(Venture Capital) dll4.
Demikian juga halnya yang mengatur bantuan finansial lewat lembaga
pembiayaan yang dikenal sebagai cabang hukum bisnis, yang namanya
Hukum Lembaga Pembiayaan5. Sayangnya, kebutuhan pengaturan dalam
praktiknya masih terdapat kesenjangan yang semakin lama semakin besar6,
seperti juga banyak bidang hukum bisnis lainnya. Ada juga sebagian
menyebutkan bahwa lembaga pembiayaan adalah lembaga-lembaga
keuangan bukan bank7, yang tujuannya sama memulihkan perekonomian
nasional sehingga perlu diciptakan iklim usaha yang kondusif lebih
fleksibel dan moderat dari bank dengan memperhatikan prinsip-prinsip
8 Lihat Konsideran Menimbang huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
9 Ketentuan ini telah dicabut Pasal 13 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
10 Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Cet. Ke-1, 1986, hlm. 349.
11 Dalam hal ini bentuk-bentuk usaha dimaksud adalah yang sesuai dengan bentuk usaha
yang dituangkan dalam perundang-undangan Nasional, misal Perseroan Terbatas, Perseroan
Komanditer, Perseroan Firma, Koperasi, dan sebagainya; lihat lebih lanjut Poerwadarminta.
WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Cet.ke-8, 1985, hlm. 582.
12 Ibid. hlm. 136
13 Lihat Pasal 1 angka 17 UU No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Pasal 1 angka 15 UU No.33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; Pasal 1 angka 17
UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Bab 1 • Pendahuluan 3
lembaga keuangan bukan bank, untuk mengembangkan dan
memperkuat permodalan usaha mikro, kecil, dan menengah14.
14 Lihat Pasal 1 angka 11 UU No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah.
15 Lihat Pasal 1 angka 1 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; definisi
yang sama terdapat dalam Pasal 1 angka 9 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan.
16 Lihat Pasal 1 angka 4 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
17 Lihat Konsideran Mengingat Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
Bab 1 • Pendahuluan 5
4. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
Lembaga Pembiayaan Ekspor Nasional adalah lembaga keuangan
yang memberikan fasilitas kepada badan usaha termasuk perorangan
dalam rangka mendorong ekspor nasional29.
Pembiayaan Infrastruktur.
29 Lihat Pasal 1 angka 1 UU No.2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia.
30 John W. Head, Pengaturan Umum Hukum Ekonomi, Proyek ELIPS + FH UI, Jakarta, Cet.
ke-1, 1997, hlm. 13; Felix O. Soebagjo, (et al.), Rancangan Teaching Materials – Hukum Organisasi
Perusahaan, FH UI, Jakarta, 1994, hlm. 68.
31 Lihat Pasal 1 angka 5 dan Pasal 3 huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan; juga Kepmen Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna
Usaha (Leasing); pengertian yang sama terdapat pada Pasal 1 huruf c Permen Keuangan No.
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
32 Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan
dan Jaminan Perorangan, Liberty-BPHN, Yogyakarta, Cet.ke-1, 1980, hlm. 54, Subekti. R, Pokok-
Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, Cet.ke-16,1982, hlm. 55-56; Abdulkadir Muhammad
& Rilda Murniati, Segi ….. , op, cit, hlm. 34; Amin Widjaja Tunggal & Arif Djohan Tunggal,
Aspek Yuridis dalam Leasing, Rineka Cipta, Jakarta, Cet.ke-1, 1994, hlm.3; Thomas Suyatno, et
al, Kelembagaan Perbankan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Ed.ke-2, Cet.ke-1, 1993, hlm. 84;
Nur Fatah & Syafaruddin Alwi, Pembelanjaan Perusahaan, Andi Offset, Yogyakarta, Ed.ke-1,
Cet.ke-1, 1989, hlm. 143; kahi & ALI, “Apek Hukum dalam Lease Financing the Legal Aspects of
Leasing in Indonesia”, Sambutan dan Pembukaan Seminar Aspek Hukum Leasing oleh Ketua Ikahi,
Jakarta, Oktober 1986, dimuat dalam Varia Peradilan Edisi Khusus Tahun II No. 16 Januari
1987, hlm. 57.
33 Setelah menentukan bahwa dasar perjanjian leasing adalah ketentuan-ketentuan dalam
KUHPerdata, maka kita harus secara konsisten membentuk perjanjian tersebut menurut KUH
Perdata tersebut sesuai perkembangan interprestasi dan yurisprudensi Indonesia untuk
semua unsur dalam perjanjian leasing, maupun terhadap dampak-dampak di bidang hukum
seperti wanprestasi atau cedera janji. Perjanjian leasing dianggap sebagai kegiatan pembiayaan
dengan aspek-aspek hukum yang menimbulkan kewajiban-kewajiban pembayaran disertai
opsi pembelian dan sering kali disertai pemberian agunan.
34 Lihat SK Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 tgl. 27 November tentang Kegiatan
7
modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan, untuk suatu jangka
waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala disertai dengan
hak pilihan (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang
modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing
berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.
Di sisi lain bahwa perjanjian leasing disebut juga sebagai perjanjian
pengikatan hak bersyarat35 berupa “perjanjian sewa guna usaha (leasing
agreement)” adalah suatu perjanjian di mana seseorang (pemberi sewa guna
usaha/lessor) memberikan hak kepada orang lain (penerima sewa guna usaha/
lessee) untuk menguasai suatu objek pesawat udara (dengan atau tanpa opsi untuk
membeli) dengan kompensasi berupa uang sewa atau pembayaran lainnya.
Apa pun nama perjanjian dalam leasing, harus mencerminkan inti (het
wezen) perjanjian dengan tegas sehingga bentuk hukum peraturan mana
yang berlaku36, hak-hak dan kewajiban-kewajiban pihak-pihak jelas dan
tidak memberi kesempatan atau peluang kepada hakim yang mengadili
perselisihan tentang perjanjian itu untuk memberikan interprestasi lain
atau melaksanakan perjanjian itu lain daripada yang dimaksudkan pihak-
pihak.
Sewa Guna Usaha (Leasing): bandingkan bahwa dinyatakan bahwa leasing adalah suatu
kegiatan pembiayaan mengandung pengertian ekonomi. Perusahaan leasing dianggap sebagai
lembaga keuangan serta diperlukan sebagai lembaga keuangan di bidang fiskal. Karena
perjanjian leasing sebenarnya mencakup serangkaian perbuatan dan lembaga hukum yang
tujuan komersialnya adalah untuk membiayai pengadaan barang modal yang dipakai oleh
perusahaan (lesse); lebih lanjut lihat Mohamad Idwan Ganie, “Kontrak Khusus”, Seminar
Aspek Hukum Leasing, Jakarta, Oktober 1986,dimuat dalam Varia Peradilan Edisi Khusus Tahun
II No. 16 Januari 1987, hlm. 113.
35 Llihat Penjelasan Pasal 71 UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
36 Selama ini belum ada suatu undang-undang yang khusus mengatur leasing yang kita
pakai sebagai pedoman.
37 Munir Fuady, Hukum tentang….,op, cit, hlm. 14; Reinsma. M, “Hire Purchase: Purchase
on Installment, and Leasing in Nethderlands”, Seminar Aspek Hukum Leasing, Jakarta, Oktober
1986, dimuat dalam Varia Peradilan Edisi Khusus Tahun II No. 16 Januari 1987, hlm. 135.
38 Eddy P. Soekadi, Mekanisme Leasing, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 19.
39 Di sisi lain kelebihan leasing yaitu (a) pembiayaan secara leasing merupakan sumber
pembiayaan yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan kredit investasi dari bank,
karena sistem leasing sebagai sarana alternatif pembiayaan pengadaaan barang modal pada
umumnya menggunakan sumber dana yang berasal dari lembaga perbankan; (b) selama
kontrak leasing berlangsung barang modal yang di-lease tidak dapat dijadikan sebagai unsur
aktiva pihak lessee untuk tujuan collaretal kredit; (c) bagi perusahaan-perusahaan tertentu
kadang-kadang timbul masalah prestise antara memiliki sendiri barang modal atau lease,
dalam Marzuki Usman, “Industri …., op, cit, hlm. 130-131.
40 Contoh draf, dalam Sudargo Gautama, Contoh-Contoh Kontrak, Rekes & Surat Resmi
Sehari-Hari Jilid 6, Citra Aditya Bakti, Bandung, Bandung, Cet.ke-1, 1991, hlm. 1-31; Contoh
draf Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia – Buku Kesatu – Jilid I, Alumni,
Bandung, Cet.ke-5, 1992, hlm. 73-161.
41 Lessor dalam operational lease bermaksud untuk mendapatkan penghasilan yang
menguntungkan dari penyediaan barang serta pemberian jasa-jasa yang berkenaan dengan
pemeliharaan serta pengoperasian barang itu, sedangkan lessee dalam operational lease
bermaksud untuk memenuhi kebutuhannya akan peralatan, serta ahli atau pekerja untuk
pemeliharaan pengoperasian peralatan itu, tanpa risiko bagi lessee akan kerusakan atau
tidak bekerjanya alat yang bersangkutan, sambil mendapatkan keuntungan secara fiskal dan
keuntungan di bidang akuntansi. Lessee yang membutuhkan peralatan dihadapkan pada
pilihan.
42 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi ….., op, cit, hlm. 212.; Munir Fuady,
Hukum tentang …., op, cit, hlm. 32.
43 Lihat Pasal 8 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 1 huruf i
Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; Bank Indonesia,
“Pedoman Pelaksanaan Peraturan-Peraturan tentang Pendirian Lembaga Keuangan”,
Penataran Dosen Hukum Perdata/Dagang, dilaksanakan FH UGM, Yogyakarta, 16-28
November/30 November-12 Desember 1992, hlm. 5; dalam rangka meningkatkan peranan
dan kinerja perusahaan pembiayaan yang telah ada baik berupa kegiatan sewa guna usaha,
anjak piutang, usaha kartu kredit dan pembiayaan konsumen, Pemerintah menganggap perlu
mengambil kebijakan dengan menghentikan sementara pemberian izin usaha perusahaan
pembiayaan sejak tanggal 24 April 2002. Hal ini didasarkan pada Keputusan Menteri
Keuangan (Kepmenkeu) No.185/KNK.06/2002 tentang Penghentian Pemberian Izin Usaha
Perusahaan Pembiayaan.
44 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
45 Lihat Pasal 9 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
46 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
47 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.17
Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
62 Lihat Pasal 10 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
63 Lihat Pasal 10 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
64 Lihat Pasal 12 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
D. CIRI-CIRI LEASING
Ciri-ciri umum leasing adalah:
1. Pihak-pihak dalam leasing terdiri dari: (a) lessor67 yang harus berbentuk
perseroan atau koperasi dan telah memperoleh izin usaha dari
Menteri Keuangan68; (2) lessee; dan (3) supplier.
Penyewa Guna Usaha (Lessee) adalah perusahaan atau perorangan
yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari
Perusahaan Pembiayaan (Lessor)69.
65 Lihat Pasal 12 ayat (3) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
66 Lihat Pasal 12 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
67 Segala sesuatu yang berkenaan dengan pendirian, izin usaha, permodalan,
kepengurusan, merger, akuisisi, konsolidasi, kantor cabang, pinjaman dan penyertaan,
perkantoran, nama, laporan, pengawasan, pencabutan izin usaha dan sanksi bagi perusahaan
penerbit kartu kredit secara mutatis mutandis berlaku ketentuan Perubahan Kepmenkeu No.
448/KMK.017/2000 jo Kepmenkeu No. 172/KMK.06/2002 tgl. 23 April 2002 tentang Perubahan
Kepmenkeu No. 48/KMK.017/2000 kecuali ditentukan lain sebagai penyimpangan dalam
peraturan tersendiri; yang telah diuraikan pada pendahuluan pembahasan di Bab I tentang
Lembaga Pembiayaan. Lihat Ketentuan SE Direktur Jenderal Moneter Dalam Negeri No. SE-
4835/MD/1983 tgl. 1 September 1983 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pendirian Kantor
Cabang dan Kantor Perwakilan Perusahaan Leasing.
68 Lihat Pasal 5 SK Menkeu RI No.: Kep-649/MK/IV/5/1974 dan Pengumuman Dirjend.
Moneter No. Peng-307/DJM/III.1/7/1974; SK Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian
dan Menteri Perdagangan No.Kep-122/MK/IV/2/1974; No.32/M/SK/2/1974; No.30/Kpb/I/1974
tgl. 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing; tindak lanjutnya dikeluarkan SK Menteri
Keuangan No.Kep-649/MK/IV/5/1974 tgl. 6 Mei 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing; lihat
Pengumuman Direktur Jenderal Moneter No.: Peng-307/DJM/III.I/7/1974 tgl. 8 Juli 1974
tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Leasing; dilanjut SE Direktur Jenderal Moneter
Dalam Negeri No. SE-2815/MD/1983 tgl. 13 Agustus 1983 tentang Ketentuan Perpanjangan
Izin Usaha Perusahaan Leasing dan Perpanjangan Penggunaan Tenaga Warga Negara Asing
pada Perusahaan Leasing; artinya sehingga setiap orang/badan hukum yang menurut
ketentuan-ketentuan umum dalam hukum perdata dapat dan mampu melakukan tindakan
hukum (handelings bekwaam); bandingkan dengan Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati,
Segi …., op, cit, hlm. 203.
69 Lihat Pasal 1 huruf d Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
5. Hak milik benda yang di-lease-kan ada pada lessor76. Hal ini
menimbulkan dampak di bidang akuntansi77 dan di bidang
hukum78.
75 Inilah perbedaan pokok dengan sewa biasa. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa
masa leasing dalam suatu finansial adalah sama dengan masa kegunaan ekonomis benda
yang di-lease-kan.
76 Untuk antisipasi selanjutnya perlu diingat Pasal 1977 KUH Perdata yang mengatur
bahwa “bezit geldt als volkomen title voor roerende goederen” , lessee sebagai pemegang yang
menguasai barang, dapat dianggap sebagai pemilik yang sah oleh pihak ketiga yang tidak
mengetahui adanya hubungan leasing. Demikian juga kalau diperhatikan Pasal 3 ayat (3)
Kepmenkeu No.448/KMK.017/2000, yang menyatakan sepanjang sewa guna usaha masih
berlaku, maka hak milik atas barang modal sebagai objek transaksi sewa guna usaha masih
berada pada perusahaan pembiayaan; bandingkan dengan Munir Fuady, Hukum tentang ….,
op, cit, hlm. 43.
77 Seperti penyusutan; lihat Pasal 13 SK Menteri Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tgl. 27
November 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna usaha (Leasing).
78 Antara lain dalam hal melaksanakan perjanjian leasing apabila terjadi cedera janji atau
wanprestasi dan dalam hal kepailitan. Lebih lanjut lihat Abdulkadir Muhammad & Rilda
Murniati, Segi …., op,cit, hlm.214-224.; Azikin Kusumah Atmadja. Z, “The Legal Aspects of
Leasing in Indonesia”, Seminar Aspek Hukum Leasing, Jakarta, Oktober 1986, dimuat dalam
Varia Peradilan Edisi Khusus tahun II No. 16 Januari 1986, hlm. 92-94; Gani Djemat, “Soal-Soal
Hukum yang Dihadapi oleh Industri Leasing di Indonesia”, Seminar Aspek Hukum Leasing,
Jakarta, Oktober 1986, dimuat dalam Varia Peradilan Edisi Khusus Tahun II No.16 Januari
1987, hlm. 95-104.
79 Pengertian benda-benda yang dipergunakan untuk suatu perusahaan harus diberi
pengertian luas, yakni benda-benda yang dipergunakan untuk menjalankan perusahaan, jadi
tidak saja mesin-mesin untuk berproduksi, tetapi juga kendaraan bermotor dan komputer
misalnya. Jelasnya objek leasing dapat berupa barang bergerak maupun tidak bergerak. Lihat
lebih lanjut Ali Ridho. R, Hukum…, op, cit, hlm. 309.
80 Pasal 1 huruf (d) Keputusan Menteri Keuangan (Kepmenkeu) No.448/KMK.017/2000,
menyebutkan Penyewa Guna Usaha (Lessee) adalah perusahaan atau perorangan yang
menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari perusahaan pembiayaan (Lessor).
84 Selanjutnya, pengikatan yang dibuat oleh lessee dalam perjanjian financial leasing itu
berupa pengikatan untuk membayar imbalan jasa financial leasing secara teratur dan menurut
apa yang ditetapkan. Jaminan ada yang diberikan lessee kepada lessor dalam menepati janji-
janjinya untuk melakukan pembayaran, karena benda yang diperjanjikan berada di tangan
atau penguasaan lessee. Karena konsepsi bahwa perjanjian financial leasing itu adalah pada
intinya suatu perjanjian pembiayaan, maka dapat dimengerti bahwa lessor juga minta agunan
sebagai jaminan bagi terlaksananya kewajiban-kewajiban lessee menurut ketentuan-ketentuan
perjanjian financial leasing. Jaminan-jaminan yang biasanya diberikan adalah sama dengan
jaminan-jaminan untuk kredit perbankan, seperti gadai, hipotek, penyerahan hak milik
atas barang secara fiducial, cessie hasil asuransi dan jaminan pribadi atau jaminan perseroan;
selanjutnya lihat Kartini Mulyadi, “Perjanjian…., op, cit. hlm. 66; Munir Fuady, Hukum tentang
…, op, cit. hlm. 37.
85 Ibid, hlm. 64.
86 Ibid, hlm. 53.
87 Lihat Pasal 3 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
88 Lihat Pasal 8 dan Pasal 10 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
89 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
90 Lihat Pasal 10 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
91 Lihat Pasal 1 angka 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
92 Lihat Penjelasan Umum, Pasal 25 huruf c, Pasal 71, Pasal 81 jo Pasal 370 ayat (3) huruf
d UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
93 Lihat Penjelasan Pasal 71 UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
94 Lihat Penjelasan Pasal 131 ayat (1) UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
95 Lihat Penjelasan Pasal 79 UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; menyebutkan
”pengadilan negeri” adalah pengadilan negeri yang dipilih oleh para pihak atau pengadilan
negeri Indonesia yang memiliki kompetensi relatif dalam hal tidak adanya pilihan pengadilan
dalam perjanjian.
96Lihat Pasal 79 ayat (1) UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
97 Lihat Pasal 79 ayat (2) UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
105 Lihat Penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
106 Lihat Pasal 11 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
107 Lihat Pasal 17 ayat (1) huruf a angka (2) dan Pasal 18 ayat (3) huruf d UU No.8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
108 Lihat Penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf c UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
109 Lihat Pasal 4A ayat (3) huruf d UU No.42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.
110 Lihat Pasal 1A ayat (1) huruf b dan Penjelasannya UU No.42 Tahun 2009 tentang
Perubahan Ketiga atas UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
111 Lihat Pasal 9 ayat (1) huruf c UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
112 Lihat Pasal 24 ayat (4) huruf h UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
5. Penyelesaian Sengketa
F. JENIS-JENIS LEASING
Dari kegiatan yang dilakukan dalam bidang leasing, maka diperoleh
jenis-jenis leasing, terdiri dari115:
1. Financial Leasing
113 Lihat Pasal 3 ayat (3) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
114 Lihat Penjelasan Pasal 49 huruf i dan huruf h UU No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; Perma No.2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
115 Ibid, hlm. 19; Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi …, op, cit. hlm. 205;
Angky Tisnadisastra, “Bentuk dan Mekanisme Leasing di Indonesia”, Seminar Aspek Hukum
Leasing, Jakarta, Oktober 1986, dimuat dalam Varia Peradilan Edisi Khusus Tahun II No.16
Januari 1987, hlm. 105.
116 Munir Fuady, Hukum tentang …, op, cit. hlm. 20; Amin Widjaja Tunggal & Arif Djohan
Tunggal, Aspek…., op, cit. hlm.25.
117 Lihat pengumuman Direktur Jenderal Moneter Nomor Peng-307/DJM/III.1/7/1974.
118 Harap diperhatikan bahwa barang bergerak dapat dianggap menjadi barang tidak
bergerak karena tujuan pemakaiannya ataupun karena barang tersebut dlekatkan (aard en
nagelvas) pada tanah/bangunan. Misalnya: mesin-mesin di pabrik.
119 Lihat lanjut Ketentuan Pasal SK Menteri Perhubungan No.KM 82 Tahun 1988 tgl.
21 November 1988 tentang Persyaratan Pendaftaran dan Operasional Kapal Laut yang
Diperbolehkan dengan Cara Sewa Guna Usaha (Leasing); tetapi sampai sekarang hampir
tidak dilakukan leasing kapal karena ketentuan yang berlaku bahwa pemilik kapal juga
wajib mengoperasikan kapal, sehingga lessor tidak dapat mendaftarkan sebagai pemilik
kapal. Dalam leasing, lessor harus menjadi pemilik kapal tetap pengoperasiannya dilakukan
oleh lesse. Sepanjang kami ketahui baru PT PANN saja yang diberi izin khusus sebagai
pengecualian atas persyaratan bahwa pihak yang memiliki kapal harus sama dengan yang
mengoperasikan kapal itu.
120 Dalam hal ini harus diperhatikan adanya peraturan-peraturan sewa-menyewa di
Indonesia, misalnya ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963
tentang Hubungan Sewa Menyewa Perumahan; jo Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun
1981 tentang Perubahan atas PP No. 49 Tahun 1963 tentang Hubungan Sewa-Menyewa
Perumahan.
121 Bila tanah dan bangunan tersebut milik lessee maka dalam perjanjian leasing dapat
dimasukkan ketentuan-ketentuan pengamanan, misalnya bahwa: (a) lessee dilarang untuk
melekatkan (menghubungkan secara tetap) barang yang di-lease dengan tanah/bangunan/
barang-barang lain sehingga barang yang di-lease menjadi bagian tanah/bangunan/barang-
barang lain tersebut, kecuali dengan izin tertulis lessor. Dengan demikian tentunya lessor
hanya memberikan izin setelah mendapatkan kepastian bahwa hak milik atas objek leasing
tidak terancam hak agunan atau bahaya lain; (b) lessee dilarang selama jangka waktu leasing
untuk memindahtangankan atau mengagunkan tanah/bangunan tempat objek leasing berada,
tanpa terlebih dahulu mendapatkan izin tertulis lessor; (c) dalam perjanjian dibuat suatu
ketentuan bahwa lessee wajib memberitahukan pihak ketiga termasuk petugas Pengadilan
bahwa barang tersebut milik lessor.
122 Tetapi ketentuan semacam ini tidak banyak faedahnya karena perjanjian financial
leasing dibuat hanya antara lessee dan lessor saja sehingga berdasarkan Pasal 1315 jo Pasal
1318 KUH Perdata, ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut hanya mengikat lesee dan
lessor, para ahlli waris atau pihak yang memperoleh hak darinya kecuali ditegaskan secara
lain. Jadi pada umumnya tidak mengikat pihak ketiga. Hal ini biasanya dihindari dengan
memasanng tanda-tanda yang menyatakan hak milik lessor atas barang yang bersangkutan.
Bilamana misalnya karena sesuatu sebab Pengadilan menyita tanah/bangunan tempat barang
berada/melekat, maka mungkin barang tersebut ikut serta tersita, kalau tidak ada tanda-
tanda tegas bahwa barang-barang itu bukan milik lessee. Kesulitan yang lebih besar akan
dihadapi lessor bilamana barang objek leasing ditempatkan di atas tanah dan bangunan milik
orang ketiga yang bukan lessee. Pihak ketiga tidak terikat pada perjanjian financial leasing
sehingga ia boleh saja mengagunkan tanah/bangunannya, maka penting sekali mengetahui
keadaan sebenarnya sebelum perjanjian ditandatangani agar dapat dibuat klausula-klausula
pengamanan, dan/atau dimintakan pernyataan tertulis kreditur bahwa barang yang di-lease
itu tidak termasuk agunannya.
123 Biasanya jangka waktu dimulai dari saat lessee menerima barang leasing sampai jam
waktu yang disepakati para pihak. Apabila terjadi kejadian kelalaian (event of default) maka
lessor dalam hal tersebut berhak untuk seketika mengakhiri perjanjian leasing. Misalnya,
bilamana lessee lalai memenuhi kewajibannya, pailit, dicabut izin usahanya, objek leasing
musnah atau sedemikian rusaknya sehingga menurut pendapat lessor tidak mungkin lagi
diperbaiki dan lain-lain.
124 Pada umumnya dalam perjanjian leasing ditentukan bahwa lessee berkewajiban untuk
membayar imbalan jasa lease sepanjanag masa lease dan kewajiban lessee ini tidak berakhir atau
berkurang apa pun yang terjadi, misalnya musnahnya barang baik seluruh atau sebagian,
barang yang tidak dapat dipakai karena rusak atau diperbaiki. Ada kalanya lessee memberikan
uang muka atas jumlah imbalan yang harus dibayarnya.
e. Penutupan asuransi126.
Semua kerugian akibat kerusakan atau kehilangan barang harus
ditanggung lessee. Untuk lessee harus mengamankan diri dan pada
umumnya diwajibkan mengasuransikan barang pada perusahaan
asuransi yang disetujui lessor, atas ongkos dan biaya lessee sendiri
atas risiko yang disetujui lessor selama masa lease.
f. Perawatan barang.
125 Lihat Pasal 14-19 SK Menteri Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tgl. 27 November 1991
tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing); juga SK Menteri Keuangan No.Kep-650/MK/
II/05/1974 tgl. 6 Mei 1974 tentang Penegasan Ketentuan Pajak Penjualan dan Besarnya Bea
Materai terhadap Usaha Leasing.
126 Syarat-syarat asuransi ditetapkan oleh lessor dan pihak asuransi pada siapa barang
itu berada atau di tangan siapa penguasaan atas barang. Hasil asuransi yang dibayarkan bila
terjadi musibah, pertama-tama harus dipergunakan untuk memperbaiki/mempertahankan
barang. Polis asuransi aslinya dipegang lessor. Lessee wajib melaporkan dengan segera segala
kerusakan/kehilangan barang kepada lessor. Bilamana lessee lalai mengasuransikan barang
maka lessor berhak untuk mengasuransikannya dan lessee wajib mengganti semua biaya yang
telah dikeluarkan.
127 Sebaiknya antara lessor dan lessee diadakan perhitungan kembali demi penyesuaian
masing-masing kepentingan, karena sering terjadi memperoleh kekayaan secara kurang adil
(ongerechtvaardige verrijiking).
128 Bagaimana kalau supplier tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang penjual yang
baik? Biasanya kerugian yang timbul akibat cedera janji yang dilakukan supplier ditanggung
oleh lessee. Timbul pertanyaan siapakah yang harus menggugat supplier jika ia cedera janji?
Mengingat bahwa perjanjian jual beli barang dibuat antara lessor dan supplier, maka lessor
yang pertama-tama berhak menggugat supplier (biasanya dengan biaya-biaya perkara dan
pengacara ditanggung lessee). Lessee dapat ikut sebagai penggugat kedua atau lessor memberi
kuasa kepada lessee untuk mewakilinya. Selanjutnya lihat Abdulkadir Muhammad & Rilda
Murniati, Segi…., op,cit. hlm. 224.
129 Perjanjian sewa-menyewa diatur dalam Pasal 1548 s.d. Pasal 1600 KUH Perdata,
ditambah dengan peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur sewa-menyewa
tanah dan bangunan antara lain dalam UU No.1 Tahun 1964 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 55 Tahun 1981.
130 Munir Fuady, Hukum tentang …,op, cit. hlm.27.
131 Setiap subjek hukum dapat menjadi penyewa atau yang menyewakan.
132 Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.649/MK/IV/5/1974 dan Pengumuman
Direktur Jenderal Moneter No. Peng-307/DJM/III/7?1974.
133 Kita jumpai peraturan yang menyangkut kedua bentuk peranjian ini dalam
Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No.34/KP/II/80, tentang Perizinan Kegiatan
Usaha Sewa Beli (hire purchase), Jual beli dengan angsuran dan sewa (renting), tertanggal 1
Februari 1980.
134 Munir Fuady, Hukum tentang …,op,cit. hlm.31
135 Kita jumpai peraturan yang menyangkut kedua bentuk perjanjian ini dalam
Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No.34/KP/II/80 tentang Perizinan Kegiatan
Usaha Sewa Beli (hire purchase), Jual Beli dengan angsuran dan sewa (renting), tertanggal 1
Februari 1980.
2. Operating Lease
140 Merupakan salah satu jenis perjanjian bernama yang diatur dalam Buku III KUH
Perdata. Lebih lanjut Munir Fuady, Hukum tentang…,op,cit. hlm. 29.
141 Ibid, hlm. 19
4. Leveraged Lease
143 Perlu diperhatikan penentuan harga beli ini karena kemungkinan adanya untung
atau rugi bagi lesse berkenaan dengan nilai buku barang yang bersangkutan. Maka penting
bagi lessee dalam hal sale-lease-back, pemilihan saat yang paling baik untuk mendapatkan
manfaat fiskal yang paling banyak di samping memilih bentuk leasing yang tepat untuk
dapat menganggap barang yang bersangkutan sebagai aktiva sehingga dapat disusutkan
(depreciation).
144 Munir Fuady, Hukum tentang …,op,cit, hlm. 22.
150 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
151 Lihat Pasal 1 angka 6 dan Pasal 3 huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan; pengertian yang sama dituangkan dalam Pasal 1 huruf d Permen Keuangan No.
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
152 Lihat Penjelasan Pasal 6 huruf l UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU
No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
153 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 227; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 67; Handowo Dipo, Sukses....., op.cit, hlm. 28; Mariam Darus
Badrulzaman, “Sejauh mana Lembaga Pembiayaan Factoring dapat Dikembangkan di
Indonesia”, Makalah Seminar, FH USU, Medan 25 Februari 1989, hlm. 1; Zainal Asikin,
Pokok....., op.cit, hlm. 37; Pada awalnya istilah factoring sering menjadi perdebatan tentang asal
usul terjemahannya menjadi anjak piutang. Oleh karena itu kiranya adalah tugas kita semua
baik dari dunia usaha maupun dari para teoretikus dan praktisi hukum untuk memberikan isi
pada konsep lembaga anjak piutang dan mengakomodasikannya pada perangkat ketentuan
hukum yang sudah ada sejauh hal ini dapat dilakukan dan menemukan landasan hukum
yang tepat di mana akomodasi dimaksud di atas tidak dapat dilaksanakan. Menurut tafsiran
Departemen Keuangan, kata anjak piutang dipilih oleh lembaga ahli Bahasa Indonesia
tanpa mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Departemen Keuangan. Dengan demikian
43
serta pengurusan piutang154 atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan
(client) yang terbit dari suatu transaksi perdagangan dalam dan luar
negeri155 oleh client dan nasabah, dengan imbalan biaya administrasi dan
bunga yang diberikan kepada perusahaan factor156.
perkataan anjak piutang merupakan istilah baru dalam perbendaharaan bahasa Indonesia.
154 Perusahaan yang bersangkutan menjual atau menyerahkan hak atas piutangnya
kepada perusahaan anjak piutang. Kemudian perusahaan anjak piutang menyerahkan uang
kepada perusahaan tersebut sebesar persentase tertentu dari jumlah nilai piutang.
155 Keppres No.61 Tahun 1988 hanya sekadar memberikan definisi bahwa perusahaan
anjak piutang (factoring company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan
dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan dalam
dan luar negeri.
156 Handowo Dipo, Sukses....., op.cit, hal. 28; bandingkan Unidroit (International Intitie
for the unification of Private Law), mengartikan factoring sebagai a contract by which the factor in
to provide at least two of the service (finance, the maintenance of accounts, the collection of receivables
and protection against credit risks), and the supplier is to assign to the factor on a continuing basis, by
way of sale or security, receivables arising from the sale of goods or supply of services.
157 Menurut David Hawkins, dikembangkan para pembuat pakaian dan pembantunya
yang telah menjual dagangan (pakaian) kepada para pedagang atau pemakainya atas laba
penuh yang diterimanya sendiri, dalam buku, Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm.
72. Dengan demikian sejarah anjak piutang (factoring) di Inggris ini ditandai oleh hal-hal
sebagai berikut: (a) Anjak piutang tumbuh dan berkembang bersama dengan tumbuh dan
berkembangnya perdagangan tekstil. Dan hal ini bertahan cukup lama sebelum bisnis
anjak piutang merambah juga ke bidang-bidang lain di luar perdagangan tekstil, (b) Pihak
perusahaan anjak piutang (faktor) terdiri dari para pedagang, dalam hal ini pedagang tekstil,
bukan para bankir; Retnowulan Sutantio, “Perkembangan Anjak Piutang (Factoring) di
Indonesia”, makalah, Jakarta: ............TT, hlm. 10.
158 Peta bisnis anjak piutang di Indonesia sampai tahun 1997 cukup banyak yaitu
terbanyak nomor dua di dunia setelah Italia. Namun dalam hal omzet, masih tertinggal dari
lima negara maju lainnya. Bandingkan dengan Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm.
78-80; Mohamad Idwan Ganie, “Aspek Hukum Lembaga Factoring di Indonesia”, Seminar
ILUNI-FH, Jakarta, 18 Februari 1989, hlm. 72; Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati,
Segi....., op.cit, hlm. 239-245.
159 Lihat Pasal 8 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 1 huruf
i Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; Bank Indonesia,
“Pedoman Pelaksanaan Peraturan-Peraturan tentang Pendirian Lembaga Keuangan”,
Penataran Dosen Hukum Perdata/Dagang, dilaksanakan FH UGM, Yogyakarta, 16-28
November/30 November-12 Desember 1992, hlm. 5; Dalam rangka meningkatkan peranan
dan kinerja perusahaan pembiayaan yang telah ada baik berupa kegiatan sewa guna usaha,
anjak piutang, usaha kartu kredit dan pembiayaan konsumen, Pemerintah menganggap perlu
mengambil kebijakan dengan menghentikan sementara pemberian izin usaha perusahaan
pembiayaan sejak tanggal 24 April 2002. Hal ini didasarkan pada Keputusan Menteri
Keuangan (Kepmenkeu) No.185/KNK.06/2002 tentang Penghentian Pemberian Izin Usaha
Perusahaan Pembiayaan.
160 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
161 Lihat Pasal 9 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
162 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
163 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.17
Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
164 Lihat Pasal 13 huruf a Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
165 Lihat Pasal 13 huruf a Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
166 Lihat Pasal 7 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal
14 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
167 Lihat Pasal 13 huruf b Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
168 Lihat Pasal 7 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 7
ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
169 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
170 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
172 Lihat lebih lanjut Surat Edaran Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan No.SE-1087/
LK/1996 tgl. 26 Februari 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelaporan dan Sanksi bagi
Perusahaan Pembiayaan.
173 Lihat Pasal 1 huruf j Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
174 Lihat Pasal 1 huruf k Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
175 Lihat Pasal 1 huruf l Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
176 Lihat Pasal 1 huruf m Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan; juga SK Menteri No. Kep-1063/KMK.00/1988 tgl. 27 Oktober 1988 tentang
Pembukuan Kantor Cabang Lembaga Keuangan Bukan Bank.
177 Lihat Pasal 10 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
178 Lihat Pasal 10 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
179 Lihat Pasal 12 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
180 Lihat Pasal 12 ayat (3) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
181 Lihat Pasal 12 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
182 Lihat Pasal 4 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
183 Lihat Pasal 4 ayat (5) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
184 Lihat Pasal 8 dan Pasal 10 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
185 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
186 Lihat Pasal 22 huruf c jo Pasal 23 ayat (1) huruf a UU No.20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah.
187 Lihat Pasal 10 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
188 Lihat Pasal 1 angka 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
189 Mariam Darus Badrulzaman & Sugondo Kramadibrata, “Perjanjian Anjak Piutang
(Factoring Agreement)”, Makalah Seminar, FH USU, Medan, 23 November s.d. 3 Desember
1992), hlm. 4.
190 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 229; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 85.
191 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 230; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 86.
192 Sebagai perjanjian jual beli maka perjanjian anjak piutang tunduk pada ketentuan
dalam Buku ketiga KUH Perdata sejauh para pihak tidak mengatur sesuatu masalah yang
menyangkut hubungan hukum mereka dan sejauh menyangkut ketentuan-ketentuan pokok
yang bersifat mengikat yang terdapat dalam KUH Perdata tersebut. Dalam hubungan ini
saya ingin menunjuk pada pasal 1458 yang berbunyi “jual beli itu dianggap telah terjadi antara
kedua belah pihak seketika setelah orang-orang itu mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut
dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar” dalam
kaitannya dengan ketentuan dalam Pasal 1459 yang berbunyi “hak milik atas barang yang dijual
tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612,
613 dan 616.
193 Bandingkan dengan Pasal 1 ayat (8) Keppres No.61 Tahun 1988, yang menyebutkan
Perusahaan anjak piutang adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam
bentuk pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan-tagihan
jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.
194 Sedangkan Pasal 3 ayat (1) dari Keppres No.61 Tahun 1988 mengatakan bahwa
kegiatan anjak piutang dapat dilakukan oleh: (1) Bank, (2) Lembaga Keuangan Bukan Bank
(cat: Khusus mengenai Lembaga Keuangan Bukan Bank maka dengan berlakunya UU
No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, maka istilah Lembaga Keuangan Bukan Bank sudah
ditiadakan. Lembaga Keuangan Bukan Bank sudah dibuatkan bentuk tersendiri yaitu apakah
menjadi bank atau perusahaan sekuritas), (3) Perusahaan Pembiayaan.
195 Jelasnya terdapat dalam Bab ke-3 tentang Jenis dan Usaha Bank; Bagian kedua Usaha
Bank Umum, huruf l yang berbunyi; “melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit
dan kegiatan wali amanat.
196 Lihat Pasal 1 huruf f Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan; Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 230; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 86.
197 Dengan demikian penjual piutang (klien) disyaratkan harus merupakan perusahaan,
yang berarti usaha dagang perorangan tidak dimungkinkan untuk menjual piutangnya
dengan cara anjak piutang.
198 Pemberitahuan tersebut dapat berbunyi misalnya sebagai berikut: “Jumlah uang
yang tercantum pada faktur dan menjadi tagihan terutang berdasarkan faktur ini telah dijual
kepada/dibeli oleh PT Angin Ribut dan karenanya kami minta dan dengan ini pula kami
beri Anda wewenang untuk membayarkan seluruh jumlah tersebut di atas kepada PT Angin
Ribut tersebut”.
199 Apabila piutang dagang yang bersangkutan dialihkan oleh Klien kepada Faktor
maka dengan serta merta retention of ownership pun beralih kepada Faktor sehingga manakala
ternyata di kemudian hari si Faktor tidak bisa menagih kepada Nasabah maka tanpa
mengurangi hak-haknya yang lain terhadap Klien, Faktor dapat menarik kembali benda yang
menjadi objek dari penjualan secara kredit tadi.
200 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 231; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 87.
207 Lebih lanjut anjak piutang digolongkan ke dalam pembiayaan jangka pendek,
berkisar antara 30 sampai 100 hari. Umur tagihan yang relatif singkat ini membuat kedudukan
faktor lebih baik, karena perubahan terhadap piutang atau nasabah jatuh pailit dan lain-lain
kemungkinannya relatif kecil; bandingkan Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 95.
208 Marzuki Usman, et al., “Tentang Pembiayaan”, Makalah Seminar, Jakarta, 1987, hlm.
52.
209 Lihat biasanya pada Pasal 6 ayat (2) dari perjanjian anjak piutang ini disebutkan
pula bahwa faktor berhak atas biaya anjak piutang dengan diterimanya piutang yang
bersangkutan dan biaya anjak piutang tersebut akan dikurangi dari harga pembelian untuk
piutang tersebut. Dari ketentuan ini diketahui bahwa faktor akan mendapatkan suatu biaya
yang diperlukan dalam proses menuju penjualan piutang oleh faktor. Biaya anjak piutang ini
menjadi hak dari faktor, dan biaya anjak piutang ini diambil dari harga pembelian piutang
yang disetujui yaitu dengan cara biaya anjak piutang tersebut dikurangi dari harga pembelian
untuk piutang; bandingkan dengan Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 103.
210 Lihat Pasal 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
211 Lihat Pasal 11 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
212 Lihat 17 ayat (1) huruf a angka 2) dan Pasal 18 ayat (3) huruf d UU No.8 Tahun 2010
tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
213 Lihat Penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf c UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
5. Penyelesaian Sengketa
214 Lihat Pasal 4A ayat (3) huruf d UU No.42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah
215 Lihat Pasal 9 ayat (1) huruf c UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas
UU No.7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
216 Lihat Pasal 24 ayat (4) huruf h UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas
UU No.7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
217 Lihat Penjelasan Pasal 49 huruf i dan huruf h UU No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; Perma No.2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
218 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 236.; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 110.
219 Lihat Pasal 4 ayat (4) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
220 Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa wanprestasi dari nasabah dalam perjanjian
anjak piutang untuk membayar kepada faktor tidak dengan sendirinya menjadi tangungan
klien kecuali apabila memang dengan tegas diperjanjikan lain. Hal ini sesuai dengan asas
kebebasan berkontrak yang dianut dalam KUH Perdata kita.
221 Lihat Pasal 4 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
222 Lihat Pasal 4 ayat (3) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
223 Sebagai suatu perjanjian jual beli maka perjanjian anjak piutang tunduk pada
ketentuan-ketentuan dalam Buku Ketiga KUH Perdata sejauh para pihak tidak mengatur
sesuatu masalah yang menyangkut hubungan hukum mereka dan sejauh menyangkut
ketentuan-ketentuan pokok yang bersifat mengikat yang terdapat di dalam KUH Perdata
tersebut. Contoh draf, dalam [Sudargo Gautama, Contoh....., op.cit, hlm. 33-47]; bandingkan
dengan Mariam Darus Badrulzaman, Aneka....., op.cit, hlm. 32; Mariam Darus Badruzaman &
Sugondo Kramadibrata, “Perjanjian....., op.cit, hlm. 13.
224 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 231; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 88.
c. Perjanjian anjak piutang antara klien dengan faktor, yang berisi: (a)
definisi istilah; (b) penawaran piutang oleh klien; (c) penyerahan
dokumen; (d) penerimaan oleh faktor; (e) harga pembelian; (f)
pembayaran232 dan beban biaya; (g) pembayaran awal; (h) cadangan
kontijensi; (i) persetujuan dari nasabah; (j) risiko dan pembayaran
kembali; (k) pengembalian uang jika barang-barang ditolak atau
dikembalikan; (l) masalah pajak; (m) pembayaran oleh nasabah;
(n) bunga; (o) jaminan; (p) kerugian atas kerusakan barang233; (q)
pilihan hukum dan pengadilan; (r) keterangan mengenai nasabah;
(s) permulaan, pengakhiran, dan perubahan; (t) pelepasan hak; dan
(u) surat kuasa.
230 Kalau justru hukum Indonesia yang berlaku, maka transaksi tersebut harus disesuai-
kan dengan hukum Indonesia agar sah berlakunya. Juga sama halnya jika transaksi tersebut
terhadap transaksi anjak piutang yang domestik. Lebih lanjut lihat Munir Fuady, Hukum
tentang....., op.cit, hlm. 126.
231 Ibid, hal. 124.
232 Pembayaran atas piutang yang dibeli oleh Faktor dapat dilakukan sebelum tanggal
hari bayar (maturity dates) dari setiap masing-masing piutang, atau pada hari bayar. Perjanjian
juga biasanya menentukan bahwa apabila pembayaran dilakukan sebelum hari bayar dari
faktur yang bersangkutan, Faktor dapat memungut biaya atas pembayaran-pembayaran
tersebut terhitung sejak tanggal pembayaran dilakukan sampai hari bayar yang tercantum
pada faktur.
233 Setiap kredit yang diberikan oleh Klien kepada nasabah (misalnya untuk barang
dagangan yang cacat dan dikembalikan) akan mengurangi nilai piutang dimaksud, dan
karenanya juga mengurangi utang Faktor kepada Kliennya.
234 Selain notification factoring ada pula ketentuan non-notification factoring, dilakukan
dalam hal: (a) sengaja disembunyikan kepada nasabah (pelanggan), karena terdapat
larangan untuk mengalihkan piutang secara kontraktual; (b) notifikasi tidak praktis, karena
jumlah nasabah cukup banyak, sedangkan jumlah piutangnya kecil; dan (c) menghindari
kekurangseriusan dari pihak nasabah (pelanggan), karena menganggap bahwa dengan
adanya pengalihan piutang, pihak pengalih piutang dianggap sudah kurang bonafiditasnya.
Terhadap anjak piutang (factoring) tanpa notifikasi menurut sistem hukum dalam KUH
Perdata tidak punya kekuatan hukum sama sekali, hal ini disebabkan tidak terpenuhinya
ketentuan dalam Pasal 613 KUH Perdata. Kecuali apabila pihak debitur mengakuinya akan
menyetujuinya secara tertulis.
235 Contoh pemberitahuan tersebut ialah (lebih lanjut lihat juga Mariam Darus &
Sugondo Kramadibrata, “Perjanjian....., op.cit, hal. 24-25): jumlah uang yang tercantum
pada faktur ini telah dijual kepada atau dibeli oleh PT Angin Ribut dan karenanya kami
minta agar pihak saudara membayarkan seluruh jumlah utang tersebut di atas kepada PT
Angin Ribut. Tanda terima dari PT Angin Ribut yang dibubuhi cap perusahaan merupakan
bukti yang sah tentang telah dilunasinya faktur tersebut. Kewenangan yang diberikan ini
tidak dapat dicabut kembali tanpa persetujuan tertulis dari PT Angin Ribut. Mengenai cara-
cara pemberitahuan dalam perjanjian anjak piutang dapat dilakukan oleh salah satu pihak
yang terlibat dalam perjanjian. Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 30 Perjanjian Anjak
Piutang Niaga Factoring Corporation bahwa pemberitahuan-pemberitahuan berdasarkan
perjanjian ini dapat diberikan oleh salah satu pihak dalam perjanjian ini dengan mengirimkan
pemberitahuan tersebut dengan pos tercatat yang ongkosnya dibayar di muka ke kantor atau
alamat yang terdaftar dari pihak lainnya yang disebutkan diatas dan setiap pemberitahuan
yang dikirimkan secara demikian harus dianggap telah diberikan 3 (tiga) hari setelah tanggal
pemberitahuan tersebut dikirimkan melalui pos tersebut.
236 Dalam situasi yang terakhir, Faktor hanya dapat keluar dari risiko dan meninjau
kembali tanggung jawabnya, apabila setelah sengketanya diselesaikan, ternyata nasabah
berada dalam keadaan tidak bisa membayar. Pembatalan hanya dapat dilakukan pada faktur-
faktur yang baru akan diterbitkan dan dijual kemudian. Kewajiban Klien dalam hubungan ini
adalah untuk tidak menyembunyikan keterangan apa pun yang dapat mengakibatkan Faktor
239 Ketentuan lain menyebutkan bahwa penjual piutang tidak bertanggung jawab
tentang cukup mampunya si berutang, kecuali jika ia telah mengikatkan dirinya untuk itu
dan hanya untuk jumlah harga pembelian yang telah diterimanya untuk piutangnya (Pasal
1535 KUH Perdata). Pasal ini memberikan pengertian bahwa seorang yang menjual piutang
kepada orang lain tidak akan bertanggung jawab untuk menjamin tentang cukup mampunya
si berutang membayar utang-utangnya kepada kreditur yang baru sehubungan dengan telah
terjadinya penjualan piutang tersebut. Akan tetapi lain halnya jika penjual piutang telah
mengikatkan dirinya dalam perjanjian penjualan piutang tersebut untuk menanggung dan
bertanggung jawab terhadap kemampuan si debitur untuk membayar utangnya. Selanjutnya
ditentukan penjual piutang telah berjanji untuk menanggung terhadap cukup mampunya
si berutang, maka janji ini harus diartikan kemampuannya sekarang, dan tidak mengenai
keadaan di kemudian hari, kecuali jika dengan tegas dijanjikan sebaliknya (Pasal 1536 KUH
Perdata). Ketentuan pasal ini memberikan pengertian bahwa seorang penjual piutang jika
ia telah berjanji untuk menanggung si berutang untuk membayar utang-utangnya maka
janji itu harus diartikan untuk kemampuannya pada saat sekarang bukan kemampuannya
mengenai keadaan yang akan datang. Akan tetapi lain halnya jika ada diperjanjikan lain
yaitu diperjanjikan sebaliknya. Di sini penjual piutang terikat kepada kewajibannya untuk
menjamin terhadap cukup mampunya si berutang (debitur) untuk membayar utang-
utangnya.
240 Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 94.
c. Pihak Nasabah
1) Kewajibannya: melakukan pembayaran piutang kepada faktor
sebagai kreditur baru.
2) Haknya: menerima pemberitahuan tentang pengalihan piutang
secara tertulis.
241 Dari beberapa ketentuan yang ada dalam perjanjian anjak piutang oleh perusahaan
Niaga Factoring Corporation dapat dikatakan bahwa pihak penjual piutang (klien) yang
menanggung risiko yang mungkin timbul dalam masa perjanjian anjak piutang itu masih
berlangsung. Dalam pasal-pasal yang mengatur tentang risiko di dalam perjanjian anjak
piutang tersebut selalu saja disebutkan bahwa pihak penjual piutang (klien) akan menjamin
untuk mengganti kerugian kepada pembeli piutang (faktor) terhadap kemungkinan kerugian.
Oleh karenanya risiko dalam perjanjian ini dapat dikatakan memakai ketentuan with recourse
factoring. Di dalam KUH Perdata ada ditentukan bahwa barang siapa menjual suatu piutang
atau suatu hak-hak tak bertubuh lainnya, harus menanggung bahwa hak-hak itu benar ada
sewaktu diserahkan, biarpun penjualan dilakukan tanpa janji penanggungan (Pasal 1534
KUH Perdata). Dari ketentuan pasal ini ditentukan bahwa penjual piutang harus bertanggung
jawab terhadap kebenaran dari hak-hak yang dijual itu kepada pembeli piutang seandainya
pun penjualan itu dilakukan tanpa adanya suatu perjanjian penanggungan.
242 Semua dan setiap uang, cek, wesel, pengiriman uang atau pembayaran-pembayaran
lainnya atau bukti dokumen pembayaran dalam bentuk asli mengenai suatu piutang yang
dibeli berdasarkan perjanjian anjak piutang yang dibuat, yang diterima oleh penjual piutang
merupakan harta benda milik mutlak dari pembeli piutang dan harus segera diserahkan,
dipindahkan atau diberikan secara fisik oleh penjual piutang kepada pembeli piutang pada
saat diterima oleh penjual piutang.
248 Bandingkan Jasa Penagihan Kriminal, dalam Adrianus Meliala, Menyingkap Kejahatan
Krah Putih, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Cet.ke-2, 1995, hlm. 140.
249 Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hal. 80; Abdulkadir Muhammad & Rilda
Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 235.
250 Dapat mengadakan cash flow bagi perusahaan yang kebetulan menjual produknya
secara kredit, karena dengan menjual piutang tersebut akan memperoleh dana tunai dari
perusahaan anjak piutang (faktor) sehingga dapat dipergunakan untuk kegiatan produksi.
Zainal Asikin, Pokok....., op.cit, hlm. 44.
2. Kelemahan-kelemahan
b. Menurunkan Reputasi
Bagi negara-negara di mana institusi anjak piutang belum
memasyarakat, maka ada kesan seolah-olah klien menyerahkan
piutangnya kepada faktor dalam keadaan kesulitan dan tidak
sanggup melaksanakan sendiri penagihan piutangnya.
d. Kurang Profesional
251 Sebab alternatif untuk memperoleh keuntungan/keuangan secara tunai telah terbuka
melalui anjak piutang tanpa harus mengandalkan kredit perbankan yang cenderung lebih
birokratis dan membutuhkan jaminan.
252 Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hal. 84
258 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
259 Lihat Pasal 1 angka 8 dan Pasal 3 huruf c Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan; pengertian yang sama terdapat dalam Pasal 1 huruf h Permen Keuangan No.
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
260 Lihat Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu No.2
Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi UU.
261 Lihat Penjelasan Pasal 6 huruf l UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU
No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
262 KUH Perdata maupun Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya KUHD)
tidak ada mengatur mengenai kartu kredit, maka untuk memahami dan mengetahui apa
sebenarnya kartu kredit ini, sebagai perbandingan lihat Abdulkadir Muhammad & Rilda
Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 263, dan Munir Fuady, Hukum tentang.....,, op.cit, hlm. 215; serta
Retnowulan Sutantio, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Hukum Perbankan, Seri Varia Yustisia 1,
diterbitkan MARI, Jakarta, Cet. ke-2, 1996, hlm. 9; Biro Hukum BI, Kartu Kredit Suatu Tinjauan
75
penerbitnya dengan basis magnetis263 yang memberikan hak kepada siapa
kartu ini diisukan untuk menandatangani tanda pelunasan pembayaran
harga dari suatu jasa atau barang yang dibeli di tempat-tempat tertentu264,
yang pembayaran pelunasannya dapat dilakukan oleh pembeli secara
sekaligus atau angsuran pada jangka waktu265. Kartu Kredit dapat juga
menguangkan kepada bank atau pada cabang bank yang mengeluarkannya266.
Pengertian credit card di atas lebih menitikberatkan pada fungsi sebagai alat
pembayaran pengganti uang tunai. Dengan demikian aspek terpenting
digunakannya kartu kredit dalam fungsi tersebut yaitu telah memberikan
kredit masih belum populer. Karena, untuk transaksi kecil, orang cenderung menggunakan
uang cash, sementara untuk transaksi yang besar, pilihan jatuh pada alat bayar cek ataupun
surat-surat berharga lainnya.
272 Munir Fuady, Hukum tentang.....,, op.cit, hlm. 216.
273 Karena itu, kartu kredit seperti ini berbentuk kartu pembayaran lunas (charge card),
yang dibayar bulanan setelah ditagih, dan tanpa kewajiban membayar bunga. Jadi para
pihaknya hanya dua pihak saja, yaitu pihak pertama toko sebagai penerbit, sedangkan pihak
kedua adalah pelanggan sebagai pemegang kartu kredit.
274 Sebelumnya lebih dikenal sebagai Arab-Malaysian Bank Berhard.
275 Pertamanya kalinya kartu kredit syariah ada di dunia.
276 Yang berasal dari skim bithaman ajil, karena kurang dianggap sukses pada tahun 2001
direvisi dan diganti dengan skim bai al-inah.
277 Harian Republika, tanggal 23 April 2003, Judul berita: Biayanya Lebih Murah, Kartu
Kredit Syariah Lebih Digemari.
278 Lihat Pasal 8 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 1 huruf
i Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; Bank Indonesia,
“Pedoman Pelaksanaan Peraturan-peraturan tentang Pendirian Lembaga Keuangan”,
Penataran Dosen Hukum Perdata/Dagang, dilaksanakan FH UGM, Yogyakarta, 16-28
November/30 November-12 Desember 1992, hlm. 5; Dalam rangka meningkatkan peranan
dan kinerja perusahaan pembiayaan yang telah ada baik berupa kegiatan sewa guna usaha,
anjak piutang, usaha kartu kredit dan pembiayaan konsumen, Pemerintah menganggap perlu
mengambil kebijakan dengan menghentikan sementara pemberian izin usaha perusahaan
pembiayaan sejak tanggal 24 April 2002. Hal ini didasarkan pada Keputusan Menteri
Keuangan (Kepmenkeu) No.185/KNK.06/2002 tentang Penghentian Pemberian Izin Usaha
Perusahaan Pembiayaan.
279 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
280 Lihat Pasal 9 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
281 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
282 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.17
Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
283 Lihat Pasal 13 huruf a Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
284 Lihat Pasal 13 huruf a Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
285 Lihat Pasal 7 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal
14 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
286 Lihat Pasal 13 huruf b Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
287 Lihat Pasal 7 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 7
ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
288 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
289 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
294 Lihat Pasal 1 huruf l Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
295 Lihat Pasal 1 huruf m Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan; juga SK Menteri No. Kep-1063/KMK.00/1988 tgl. 27 Oktober 1988 tentang
Pembukuan Kantor Cabang Lembaga Keuangan Bukan Bank.
296 Lihat Pasal 10 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
297 Lihat Pasal 10 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
298 Lihat Pasal 12 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
299 Lihat Pasal 12 ayat (3) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
300 Lihat Pasal 12 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
301 Lihat Pasal 5 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
302 Lihat Pasal 5 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
303 Hal ini sangat dimungkinkan dengan adanya prinsip kehati-hatian, sehingga pihak
penjual barang atau jasa (merchant/pedagang) lebih dapat memastikan bahwa si pemegang
adalah orang yang berhak atas kartu kredit tersebut.
304 Sebenarnya pengertian tentang surat berharga yang diberikan masyarakat tidak
sama dengan yang dimaksudkan oleh pembuat undang-undang dalam KUHD. Surat-surat
itu berupa wesel, cek, bilyet giro, saham, oblogasi, kartu kredit, karcis kereta api, voucher
untuk menginap di hotel, dan sebagainya; surat dianggap sebagai surat yang berharga,
karena surat itu mempunyai nilai uang atau dapat ditukar dengan sejumlah uang, yang
diterbitkan untuk pemenuhan suatu prestasi, jelasnya surat berharga adalah surat yang
oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi,
yang berupa pembayaran sejumlah uang. Tetapi pembayaran itu tidak dilakukan dengan
menggunakan mata uang, melainkan dengan menggunakan alat bayar lain, berupa surat
yang di dalamnya mengandung suatu perintah kepada pihak ketiga, atau pernyataan
sanggup, untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang surat tersebut. Lebih lanjut
lihat Soetan Batoeh Boerhanudin, Surat-Surat Berharga dan Artinya Menurut Hukum, Angkasa,
Bandung, 1980, hal. 11.
305 Ciri-ciri utama surat berharga adalah (1) sebagai alat pembayaran (alat tukar
pengganti uang); (2) sebagai alat untuk memindahkan hak tagih (dapat diperjualbelikan
dengan mudah atau sederhana); (3) sebagai surat bukti hak tagih (surat legitimasi); (4) mudah
diperjualbelikan; dan (5) sebagai surat bukti tuntutan utang.
f. Tanggal jatuh tempo (due date), adalah batas akhir bagi pemegang
kartu kredit untuk melakukan pembayaran tagihan baik minimum,
sebagian, maupun seluruh tagihan baru.
306 Bank Negara Indonesia, Ketentuan Umum bagi Pemegang Kartu Kredit, BNI, Jakarta,
2002, hlm. 18.
307 Ibid, hlm. 19.
308 Lihat Pasal 8 dan Pasal 10 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
309 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
310 Lihat Pasal 10 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
311 Lihat Pasal 1 angka 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
2) Hak Penerbit
Hak penerbit adalah: (1) tidak memperpanjang keanggotaan
pemegang kartu kredit dengan atau tanpa alasan; (2) meminta
pembayaran dari pengguna atau pemegang kartu atas
pengeluaran pemegang kartu kredit akibat transaksi-transaksi
yang dibuatnya dan atas bunga yang timbul serta pembayaran
312 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 269.
1792 KUH Perdata yang menentukan bahwa: “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan
dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain yang menerimanya untuk
atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.”
317 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 270-271
6. Penyelesaian Sengketa
324 Lihat Pasal 4A ayat (3) huruf d UU No.42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.
325 Lihat Pasal 24 ayat (4) huruf h UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
326 Lihat Penjelasan Pasal 49 huruf i dan huruf h UU No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; Perma No.2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
327 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 271; bandingkan
dengan Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 223.
a. Kartu Kredit (Dalam Arti Sempit), yaitu jenis kartu yang dapat
digunakan sebagai alat pembayaran transaksi jual beli di mana
pelunasan atau pembayarannya kembali dapat dilakukan dengan
sekaligus atau dengan cara mencicil sejumlah minimum tertentu.
3. Berdasarkan Afiliasinya
a. Co-Branding Card, yaitu kartu kredit yang dikeluarkan atas kerja sama
antara institusi pengelola kartu kredit dengan satu atau beberapa
bank. Contohnya Visa, Master Card.
328 Lihat lebih lanjut Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata menyatakan bahwa “setiap perjanjian
yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”. bandingkan
dengan uraian dari Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 276; dan
Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 226.
329 Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya mendasarkan pemikirannya pada
ajaran hukum alam yang menyatakan bahwa: “Dorongan psikologis yang utama dari manusia
sebagai mahkluk ekonomi adalah dorongan untuk memenuhi kepentingan dirinya.”
330 Oleh karena itu Adam Smith berkesinambungan bahwa program yang terbaik adalah
memberikan proses ekonomi berjalan tanpa campur tangan pihak lain atau pemerintah; lebih
lanjut dalam Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, Cet.
ke-1, 1993, hlm. 17.
331 Hal yang sama menjadi dasar pemikiran Jeremy Bentham yang dikenal dengan
utilitarianism, yang menyatakan bahwa dalam kegiatan usaha yang dijalankan tidak ada
campur tangan pemerintah. Teori ini dapat dikecualikan dalam hal tertentu. Sedangkan
teori ekonomi “laissez faire” atau ekonomi liberal atau “non-interbensionisme” dianggap
menghidupkan pemikiran liberal individualistis. Keduanya percaya bahwa individualisme
sebagai nilai dan mekanisme sosial serta kebebasan berkontrak dianggap sebagai suatu
prinsip yang umum.
332 Oleh karena itu perjanjian-perjanjian kredit bank di Indonesia dibuat dalam bentuk
perjanjian baku atau dibuat dengan klausula-klausula baku, maka perlu kiranya dibahas
masalah-masalah hukum yang ada di sekitar atau yang timbul karena perjanjian baku pada
umumnya, yang dengan sendirinya juga dihadapi oleh perjanjian kredit bank yang merupakan
perjanjian baku itu. Masalah-masalah yang dihadapi dalam penggunaan perjanjian baku
itu adalah terutama mengenai keabsahan dari perjanjian baku itu dan kedua, sehubungan
dengan pembuatan klausula-klausula atau ketentuan-ketentuan yang secara tidak wajar
dapat memberatkan bagi pihak lainnya; lihat lebih lanjut Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam
Teori dan Praktek – (Buku Kedua), Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet.ke-1, 1994, hal. 52.
333 Doktrin “unconscionability” berarti memberikan wewenang kepada seorang hakim
untuk mengesampingkan sebagian bahkan seluruh perjanjian demi menghindari hal-hal
yang dirasakan sebagai hal yang bertentangan dengan hati nurani. Dengan berlakunya asas
“unconscionability” tersebut, menurut Corley dan Sjedd, suatu perjanjian baku tetap saja bukan
tidak absah (“not illegal”) tetapi perlu diteliti sehubungan dengan keadilan dari perjanjian itu.
Namun sekalipun keabsahan berlakunya memang tidak perlu dipersoalkan, tetapi masih perlu
dipersoalkan apakah perjanjian itu tidak bersifat sangat berat sebelah dan tidak mengandung
klausula yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya, sehingga perjanjian
itu merupakan perjanjian yang menindas dan tidak adil. Sangat “berat sebelah” adalah bahwa
perjanjian itu hanya atau terutama mencantumkan hak-hak salah satu pihak saja (yaitu pihak
yang mempersiapkan perjanjian baku tersebut) tanpa mencantumkan apa yang menjadi
kewajiban-kewajiban pihak lainnya, sedangkan apa yang menjadi hak-hak pihak lainnya itu
tidak disebutkan. Tidak jarang dijumpai perjanjian (baku) yang demikian ini; Lebih lanjut lihat
Husni Syawali, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 39.
334 Retnowulan Sutantio, Kapita....., op.cit, hlm. 80-82.
335 Ibid, hlm. 82-83.
336 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka....., op.cit, hlm. 33.
337 Munir Fuady, Hukum tentang.....,, op.cit, hlm. 229-239.
338 Karakter pemohon kartu kredit dinilai dengan menggunakan informasi yang
diperoleh dari: a) Referensi kredit atau bank yang menunjukkan hubungan sebelumnya
antara pemohon kartu kredit dengan bank ataupun penerbit lain. Untuk memperoleh dari
pemohon, referensi dimintakan langsung kepada bank atau penerbit yang bersangkutan
secara langsung. b) Rekening koran untuk tiga bulan terakhir yang menunjukkan bagaimana
pemohon kartu kredit menggunakan uang yang dimilikinya. c) Pegawai perusahaan yang
menunjukkan kedudukan pemohon kartu kredit dalam perusahaan, menilai pegawai
tersebut. d) Kejujuran pemohon kartu kredit dalam mengisi formulir aplikasi, yaitu dengan
membandingkan sesuai atau tidaknya seluruh informasi dalam formulir aplikasi dengan
dokumen-dokumen lain yang dilampirkan dan informasi yang diperoleh dari sumber lain
seperti referensi kredit dari penerbit atau bank lain. Lihat lebih lanjut uraian Mariam Darus
Badrulzaman, Beberapa Masalah Hukum dalam Perjanjian Kredit Bank dengan Jaminan Hypotheek
serta Hambatan-Hambatannya dalam Praktek di Medan, Alumni, Bandung, Cet. ke-4, 1989, hlm.
17.
339 Capacity, ditunjukkan dari faktor pendapatan adalah faktor yang terpenting dalam
memberikan persetujuan suatu permohonan. Seperti telah penulis terangkan di atas bahwa
salah satu sumber penerimaan penerbit adalah “discount” atau pemotongan harga yang
dibebankan kepada penjual untuk setiap tagihan. Dengan semakin besarnya penggunaan
kartu kredit, maka akan semakin besar pula penerimaan penerbit atau bank. Selanjutnya
diasumsikan bahwa setiap pemegang kartu kredit akan menggunakan kartu kredit sebesar
persentase tertentu dari pendapatan per bulan. Berdasarkan asumsi tersebut, dengan semakin
besar pendapatan, maka semakin besar pula penggunaan kartu kredit. Untuk memperkirakan
apakah pendapatan yang diperoleh pemegang kartu kredit akan dapat dipertahankan atau
ditingkatkan di waktu yang akan datang, maka dilakukan penilaian terhadap lamanya
bekerja, posisi dalam pekerjaan, jenis pekerjaan serta bidang usaha. Tingkat pendapatan
yang diperoleh pemohon kartu kredit digunakan untuk mengukur dan memperkirakan
pendapatan yang akan diperoleh pemohon kartu kredit di waktu yang akan datang. Untuk
membuktikan kebenaran informasi mengenai pendapatan yang diberikan dalam formulir
aplikasi dibutuhkan dokumen yang berasal dari salah satu sumber berikut ini, yaitu:
perusahaan tempat pemohon kartu kredit bekerja, pengacara, akuntan publik dan notaris.
Pendapatan minimum yang ditentukan adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh
pemohon kartu kredit. Tujuan ditentukannya pendapatan minimum yang harus dipenuhi
ini adalah: a) untuk mengurangi risiko bank atau penerbit. Dengan dipenuhinya syarat
pendapatan minimum oleh pemohon kartu kredit, maka diharapkan pemegang kartu kredit
mampu melunasi tagihan-tagihan yang timbul karena penggunaan kartu kredit; b) agar
volume penggunaan kartu kredit mencapai tingkat yang menguntungkan bagi panerbit atau
bank.
340 Collateral. Pihak bank dalam hal ini dapat meminta jaminan kepada pemohon kartu
kredit yang berupa deposito berjangka atau rekening koran yang diblokir. Permintaan
jaminan ini dilakukan jika pihak bank menganggap bahwa pemohon kartu kredit mempunyai
kekurangan dalam faktor kredit lainnya, terutama karakter. Sehingga risiko kredit yang
ditangguhkan oleh penerbit dapat dikurangi. Baik dalam bentuk deposito berjangka
maupun dalam bentuk rekening yang dilbokir, maka jaminan yang diberikan oleh pemohon
kartu kredit harus pada Bank Central Asia, alasannya adalah sebagai berikut: untuk tidak
melibatkan pihak ketiga dan merupakan sumber dana.
341 Capital. Pemilikan aset yang dipertimbangkan dalam menilai pemohon kartu kredit
adalah pemilikan rumah. Meskipun demikian pemilikan rumah bukanlah syarat yang harus
dipenuhi atau syarat mutlak.
342 Condition. Untuk “personal account”, meskipun penanggung jawab penggunaan kartu
kredit adalah pemegang kartu kredit yang bersangkutan secara pribadi, kelangsungan hdiup
dan masa depan perusahaan tetap dipertimbangkan, karena perusahaan adalah sumber
pendapatan bagi pemegang kartu kredit. Oleh karena itu keadaan perekonomian secara
umum dan bidang usaha yang berhubungan langsung dengan pemohon kartu kredit akan
mempengaruhi penilaian terhadap permohonan kartu kredit. Menurut Crosse dan Hampel
terdapat perbedaan pendekatan antara pengambilan keputusan untuk menginvestasikan dana
pada surat-surat berharga (“Securities”) dengan pengambilan keputusan untuk pemberian
kredit. Penilaian untuk investasi pada surat-surat berharga pada umumnya dilakukan
dengan menggunakan pengukuran yang objektif seperti tingkat bunga relatif, kualitas kredit,
dan pemasaran. Sedangkan pemberian kredit sering kali dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
lebih subjektif seperti penilaian karakter peminjam dan hubungan peminjam dengan bank
sebelumnya. Demikian pula dengan pemberian hak penggunaan kartu kredit yang dilakukan
oleh bank BNI dalam memutuskan disetujui atau ditolaknya permohonan kartu kredit,
penilaian karakter peminjam lebih diutamakan dibandingkan dengan penilaian terhadap
kemampuan. Persyaratan pendapatan minimum yang telah ditentukan adalah syarat mutlak
yang harus dipenuhi oleh pemohon kartu kredit.
343 Diatur dalam Pasal 1754 s/d Pasal 1773 KUHPerdata.
344 Selanjutnya ditentukan pula, bahwa apabila yang dipinjamkan tersebut berupa
sejumlah uang, maka para pihak diperkenankan untuk pengembalian pokok dan bunga.
Lebih lanjut lihat ketentuan Pasal 1675 KUH Perdata. Berbicara masalah bunga dalam
kartu kredit kelihatannya dalam praktik bahwa suku bunga kartu kredit masih sulit turun
mengikuti kecenderungan penurunan suku bunga, karena bank sebagai pengelola kartu
kredit masih memperhitungkan potensi tunggakan atau kredit macet. Potensi tunggakan
kartu kredit diperhitungkan karena kartu kredit tidak memiliki jaminan seperti kredit pada
umumnya, yang membuat potensi risikonya lebih tinggi, sehingga suku bunga yang tinggi
dianggap masih mencakup menanggung risiko tersebut. Selanjutnya lihat Harian Koran
Tempo, tanggal 18 Juni 2003, Judul berita: Bunga Kartu Kredit Masih Sulit Turun. Ditambahkan
bahwa segmen pasar juga menjadi pengaruh bagi bank penerbit untuk menentukan besaran
bunga yang diberikan. Pada priode Juni 2003 beberapa bank menawarkan bunga kartu kredit
yang bervariasi, misalnya Bank Bukopin sebesar 1,5%; BNI sebesar 2,25%; Citibank sebesar
3,25%; BII sebesar 2,9%; lebih lanjut lihat Harian Bisnis Indonesia, tanggal 18 Juni 2003, Judul
berita: Bank Sulit Turunkan Bunga Kartu Kredit.
345 Perjanjian pinjam-meminam adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang–barang yang belakangan
ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam keadaan yang sama pula.
346 Persetujan yang bersifat riil, yaitu suatu perjanjian baru dianggap lahir pada saat
barang diserahkan, sebelum barang diserahkan hanya ada suatu perjanjian pendahuluan
(Voorvereenkomst).
347 Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya
untuk membayar harga yang dijanjikan. Yang diperjanjikan oleh pihak yang satu dalam hal ini
adalah (penjual) menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atau barang yang ditawarkan,
sedangkan yang dijanjikan oleh pihak lain membayar harga yang telah disetujuinya.
348 Dengan penandatanganan ini berarti pemegang kartu memberikan persetujuan
kepada merchant untuk menagih issuer atau acquirer agar melunasi transaksi jual beli tersebut.
Selanjutnya issuer atau acquirer akan meminta pemegang kartu untuk membayar transaksi
jual beli yang telah dilakukannya itu.
349 Harian Media Indonesia, 22 Oktober 2001; Judul berita Layanan Asuransi untuk Kartu
Kredit.
350 Dengan adanya perlindungan pembelian konsumen, maka nasabah pemegang
kartu kredit dapat menikmati perlindungan atas risiko kehilangan atau kerusakan yang
tidak disengaja dari barang yang dibeli dengan menggunakan kartu kredit sebagai alat
pembayarannya. Tentunya penggantian atas barang tersebut apabila barang itu hilang atau
rusak. Tetapi untuk mendapatkan penggantian, harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh penerbit kartu kredit. Syarat-syarat itu antara lain, terjadi dalam jangka waktu
tertentu setelah tanggal pembelian, atau besarnya penggantian tergantung pada ketentuan
yang berlaku.
351 Mengenai asuransi perjalanan, maka pemilik kartu kredit bisa mendapatkannya,
khususnya bila melakukan perjalanan dengan pesawat terbang. Tentu saja, asuransi itu bisa
diterima bila pembayaran tiket pesawat terbangnya menggunakan kartu kredit. Dengan
adanya asuransi ini, maka perjalanan akan semakin nyaman dan aman karena pemegang kartu
kredit mendapat perlindungan asuransi perjalanan. Pertanggungan asuransi perjalanan yang
ditawarkan pun bervariasi. Biasanya variasi yang ditawarkan terkait langsung dengan jenis
kartu yang dimiliki. Untuk kartu perak atau classic, biasanya menawarkan pertanggungan
risiko yang mengakibatkan meninggal dunia atau cacat. Sedangkan bagi pemegang kartu
emas, selain pertanggungan yang sama dengan kartu perak, biasanya penerbit kartu kredit
juga memberikan jaminan atas ketidaknyamanan perjalanan akibat kehilangan bagasi, hingga
keterlambatan pesawat. Bahkan pemegang kartu platinum bisa mendapatkan jaminan apabila
bagasi mereka mengalami keterlambatan.
352 Asuransi perlindungan tagihan kartu kredit akan membayar sebagian atau seluruh
jumlah saldo tagihan kartu kredit bila pemegang kartu kredit mengalami cacat sementara. Jika
pemegang kartu kredit meninggal dunia atau cacat permanen, maka seluruh saldo tagihan
akan dibayarkan selama masih dalam jumlah sesuai ketentuan. Untuk asuransi perlindungan
tagihan kartu kredit dibebani premi yang besarnya tergantung pada besarnya saldo tagihan
kartu kredit. Besarnya premi ini adalah 0,36% dari saldo terakhir.
353 Retnowulan Sutantio, Kapita....., op.cit, hlm. 76; bandingkan dengan Siahaan. NHT,
Money Laundering – Pencucian Uang & Kejahatan Perbankan, Sinar Harapan, Jakarta, Cet.ke-1,
2002, hlm. 191.
354 Munir Fuady, Pembiayaan....., op.cit, hlm. 239.
355 yaitu suatu kejahatan yang dilaksanakan oleh orang-orang intelektual (orang-orang
berdasi).
356 Munir Fuady, Pembiayaan....., op.cit, hlm. 245.
2. Pada kartu kredit tercantum foto dan tanda tangan pemegang kartu
yang akan menambah rasa aman dan percaya diri pada saat digunakan
untuk segala keperluan. Sehingga pada saat terjadi transaksi
penjualan, dengan adanya foto tersebut memperkecil kemungkinan
penggunaan kartu kredit oleh orang lain yang menggunakannya.
357 Tool kit itu berisi program software yang user friendly yang didesain membantu aparat
hukum dalam menangkap data rekening yang mencurigakan ketika ada transaksi. Isinya
berupa detail sistem kartu pembayaran, fitur keamanan kartu, tren palsu beserta bariasi,
operasi penipuan bank, support teknis, dan operasional bank; lebih lanjut lihat pada Harian
Bisnis Indonesia, tanggal 4 Oktober 2003, judul berita Master Card Atasi Penipuan Kartu
Kredit.
358 Penyebaran ini dilakukan oleh Master Card International terhadap 300 Law
Enforcement Smart Tool Kit kepada para pelaksana hukum di Asia Pasifik sebagai langkah
mengatasi penipuan kartu kredit. Hal ini disampaikan oleh Vice President and Regional Head,
Security & Risk Management Master Card International Asia Pacific (Esmond Chang), dalam
Harian Bisnis Indonesia, tanggal 4 Oktober 2003, judul berita Master Card Atasi Penipuan Kartu
Kredit.
364 Lihat Penjelasan Umum UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
365 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
366 Lihat Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu No.2
Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi UU; Pasal 39 huruf d UU No.21 Tahun 2011
367 Lihat Pasal 1 angka 7 dan Pasal 3 huruf d Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan; pengertian yang sama dituangkan dalam Pasal 1 huruf g Permen Keuangan No.
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
368 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 246; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 203.
369 Ada yang mengatakan pembiayaan konsumen ini tidak lain dari sejenis kredit
konsumsi (consumer credit) artinya kredit yang diberikan kepada konsumen-konsumen guna
pembelian barang-barang konsumsi dan jasa-jasa seperti yang dibedakan dari pinjaman-
pinjaman yang digunakan untuk tujuan-tujuan produktif atau dagang. Kredit yang demikian
itu dapat mengandung risiko yang lebih besar daripada kredit dagang biasa, maka dari itu
biasanya kredit itu diberikan dengan tingkat bunga yang lebih tinggi. Dari definisi-definisi
tersebut dapat ditarik kesimpuan bahwa sebenarnya antara kredit konsumsi dengan
pembiayaan konsumen sama saja. Hanya pihak pemberi kreditnya yang berbeda, di mana
pembiayaan konsumen dilakukan oleh perusahaan pembiayaan, sementara kredit konsumsi
diberikan oleh bank; bandingkan dengan Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 205
370 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka....., op.cit, hlm. 33, yang menyebutkan perjanjian
pembiayaan konsumen adalah perjanjian penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian
barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran. Di samping perjanjian penyediaan
dana secara angsuran dikenal pula perjanjian sewa beli.
109
pembelian barang atau jasa yang akan langsung dikonsumsi oleh
konsumen, serta pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala
oleh konsumen371.
Pembiayaan konsumen tergolong ke dalam sale credit, karena
konsumen tidak menerima cash, tetapi hanya menerima barang yang
dibeli dengan kredit tersebut untuk tujuan konsumtif. Sistem pembiayaan
konsumen memungkinkan perusahaan pembiayaan memberikan bantuan
dana untuk pembelian barang-barang produk dari perusahaan dalam
kelompoknya, yang disebut captive finance company.
371 Bandingkan dengan Pasal 1 angka (6) Keppres No.61 Tahun 1988 tentang Lembaga
Pembiayaan, yang menyebutkan pembiayaan konsumen adalah pembiayaan pengadaan
barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala.
372 Ibid, hlm. 249; Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 206.
373 Lihat Pasal 8 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 1 huruf
i Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; Bank Indonesia,
“Pedoman Pelaksanaan Peraturan-Peraturan tentang Pendirian Lembaga Keuangan”,
Penataran Dosen Hukum Perdata/Dagang, dilaksanakan FH UGM, Yogyakarta, 16-28
November/30 November-12 Desember 1992, hlm. 5; Dalam rangka meningkatkan peranan
dan kinerja perusahaan pembiayaan yang telah ada baik berupa kegiatan sewa guna usaha,
anjak piutang, usaha kartu kredit dan pembiayaan konsumen, Pemerintah menganggap perlu
mengambil kebijakan dengan menghentikan sementara pemberian izin usaha perusahaan
pembiayaan sejak tanggal 24 April 2002. Hal ini didasarkan pada Keputusan Menteri
Keuangan (Kepmenkeu) No.185/KNK.06/2002 tentang Penghentian Pemberian IZin USaha
Perusahaan Pembiayaan.
374 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
375 Lihat Pasal 9 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
376 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
377 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.17
Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
378 Lihat Pasal 13 huruf a Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
379 Lihat Pasal 13 huruf a Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
380 Lihat Pasal 7 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal
14 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
381 Lihat Pasal 13 huruf b Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
382 Lihat Pasal 7 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 7
ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
383 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
384 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
386 Lihat lebih lanjut Surat Edaran Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan No.SE-
1087/LK/1996 tgl. 26 Februari 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelaporan dan Sanksi bagi
Perusahaan Pembiayaan.
387 Lihat Pasal 1 huruf j Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
388 Lihat Pasal 1 huruf k Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahan
Pembiayaan
389 Lihat Pasal 1 huruf l Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahan
Pembiayaan
390 Lihat Pasal 1 huruf m Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahan
Pembiayaan.; juga SK MEnteri No. Kep-1063/KMK.00/1988 tgl. 27 Oktober 1988 tentang
Pembukuan Kantor Cabang Lembaga Keuangan Bukan Bank
391 Lihat Pasal 10 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
392 Lihat Pasal 10 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
393 Lihat Pasal 12 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
394 Lihat Pasal 12 ayat (3) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
395 Lihat Pasal 12 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
396 Lihat Pasal 8 dan Pasal 10 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
397 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
398 Lihat Pasal 6 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
399 Lihat Pasal 6 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
400 Lihat Pasal 1 angka 20 UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
401 Lihat Pasal 43 ayat (2) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
402 Lihat Pasal 43 ayat (3) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
403 Lihat Pasal 43 ayat (4) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
404 Lihat Pasal 54 ayat (3) huruf a UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
405 Lihat Pasal 54 ayat (4) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
406 Lihat Pasal 54 ayat (5) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
407 Lihat Penjelasan Pasal 118 ayat (1) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman; hal yang sama disebutkan dalam Penjelasan Pasal 91 ayat (1) UU
No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
408 Lihat Pasal 121 ayat (3) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
409 Lihat Penjelasan Pasal 121 ayat (3) huruf a UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman; juga lihat Pasal 94 ayat (2) huruf a UU No.20 Tahun 2011 tentang
Rumah Susun.
410 Lihat Pasal 127 ayat (1) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
411 Lihat Pasal 127 ayat (2) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
412 Lihat Penjelasan Pasal 121 ayat (3) huruf b UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman; yang berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU No.21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan termasuk sebagai lembaga jasa keuangan lainnya; PP No.5 Tahun 2005
tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan
(Persero) di Bidang Pembiayaan Sekunder Perumahan; Perpres No.1 Tahun 2008 tentang
Perubahan atas Perpres No.19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan.
413 Lihat Pasal 128 ayat (1) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
414 Lihat Pasal 128 ayat (2) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman; juga lihat Pasal 94 ayat (2) huruf a UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah
Susun.
415 Lihat Pasal 128 ayat (3) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
416 Lihat Pasal 128 ayat (4) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
417 Lihat Penjelasan Pasal 121 ayat (3) huruf b UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman.
418 Lihat Pasal 122 ayat (1) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman
419 Lihat Pasal 122 ayat (2) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman
420 Lihat Pasal 123 ayat (2) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman
421 Lihat Pasal 123 ayat (3) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman
422 Lihat Pasal 22 huruf b jo. Pasal 23 ayat (1) huruf a UU No.20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah
423 Lihat Pasal 10 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan
424 Lihat Pasal 1 angka 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan
425 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 255.; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 207
426 Yang tentunya didahului dengan ketentuan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
427 Pinjam pakai habis adalah perjanjian, dengan mana Pemberi Pinjaman menyerahkan
sejumlah barang pakai habis kepada Peminjam dengan syarat bahwa Peminjam akan
mengembalikan barang tersebut kepada Pemberi Pinjaman dalam jumlah dan keadaan yang
sama.
428 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Pembiayaan
Konsumen tergolong perjanjian khusus yang objeknya adalah barang pakai habis yang diatur
dalam Pasal 1754 s.d. 1773 KUH Perdata. Dengan demikian, ketentuan pasal-pasal tersebut
berlaku terhadap dan sejauh relevan dengan perjanjian pembiayaan konsumen, kecuali
apabila dalam perjanjian diatur secara khusus menyimpang; Abdulkadir Muhammad & Rilda
Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 258.
429 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 247; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 208.
430 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 247.
431 Ibid, hlm. 248.
432 Ibid, hlm. 249.
433 Ibid, hlm. 254
434 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti,
Bandung, Cetke-1, 2003, hlm. 247.
435 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 253.
c. Jaminan-jaminan
Jaminan440 berupa kepercayaan terhadap konsumen untuk dapat
membayar angsurannya. Barang yang dibiayai oleh perusahaan
pembiayaan konsumen merupakan jaminan pokok secara fiducia,
sedangkan dokumen kepemilikan barang dikuasai oleh perusahaan
pembiayaan konsumen (fiduciary transfer of ownership) sampai
angsuran terakhir dilunasi. Di samping kedua jaminan yang
disebutkan itu, pengakuan utang (promissory notes) merupakan
jaminan tambahan.
438 Pembeli wajib membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat yang ditetapkan
menurut perjanjian.
439 Perjanjian jual beli ini merupakan perjanjian accessoir dari Perjanjian Pembiayaan
Konsumen sebagai perjanjian pokok. Perjanjian jual beli ini digolongkan ke dalam perjanjian
jual beli yang diatur dalam Pasal 1457 s.d. 1518 KUH perdata tetapi pelaksanaan pembayaran
digantungkan pada syarat yang disepakati dalam perjanjian pokok, yaitu perjanjian
pembiayaan konsumen; Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 258.
440 Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 211; juga Permen Keuangan No.130/
PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang
Melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan
Fidusia.
441 Lihat Pasal 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
442 Lihat Pasal 11 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
443 Lihat 17 ayat (1) huruf a angka (2) dan Pasal 18 ayat (3) huruf d UU No.8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
444 Lihat Penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf c UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
6. Penyelesaian Sengketa
445 Lihat Pasal 4A ayat (3) huruf d UU No.42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.
446 Lihat Pasal 9 ayat (1) huruf c UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
447 Lihat Pasal 24 ayat (4) huruf h UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
448 Lihat Penjelasan Pasal 49 huruf i dan huruf h UU No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; Perma No.2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
449 Lihat lebih lanjut SK Menteri Keuangan No.Kep-1382/MK/6/11/1975 tgl. 20 November
1975 tentang Rahasia Lembaga Keuangan Non Bank.
450 Lihat Pasal 11 jo Pasal 1 angka 10 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan; juga Kep. Bersama Men. Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia No.607/
KMK.017/1995 dan No.28/9/KEP/GBI tentang Pelaksanaan Pengawasan Perusahaan
Pembiayaan oleh Bank Indonesia; Permen Keuangan No.74/PMK.021/2006 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank; Kep.Dirjend LK No.Kep-
2833/LK/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah pada
Lembaga Keuangan Non Bank.
451 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
452 Lihat Pasal 6 huruf c UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
453 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
454 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
455 Lihat Pasal 1 angka 3 dan Pasal 2 huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan; juga Kepmen Keuangan No.143/KMK.06/2004 tentang Pemberian Izin Usaha
Modal Ventura Kepada PT Ventura Giant Asia (NPWP: 02.238.381.4-042.000).
456 Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf k UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Ketiga atas UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
457 Terjemahan dari terminologi bahasa Inggris, namun sudah meluas dipakai dalam tata
pergaulan hukum dan bisnis di Indonesia; lebih lanjut lihat dalam Abdulkadir Muhammad
& Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 181; Munir Fuady, Pembiayaan....., op.cit, hlm. 4; Munir
Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 133; Handowo Dipo, Sukses....., op.cit, hlm. 11; Sri Redjeki
Hartono, Kapita....., op.cit, hlm. 107.
458 Risiko yang relatif tinggi ini akan dikompensasikan dengan memungkinkan return
131
suatu perusahaan459 dengan risiko investasi (risk capital)460 tetapi mempunyai
potensi berkembang yang tinggi dan menyimpan keuntungan461 yang lebih
besar dari investasi dalam bentuk lain462.
Dari definisi di atas terlihat karakteristik modal ventura, antara lain:
(1) pemberian bantuan finansial tidak hanya menginvestasikan modal,
tetapi terlibat dalam manajemen perusahaan yang dibantunya463; (2)
investasi464 yang dilakukannya tidak bersifat permanen, tetapi bersifat
sementara465; (3) bermotif murni bisnis, yakni untuk mendapatkan
keuntungan yang relatif tinggi466, walaupun dengan risiko yang relatif
yang tinggi pula, yang biasanya didapatkan melalui capital gains yang bersifat medium term,
dalam Chris Bovaird, Venture Capital Finance, Great Britain, England, 1991, hlm. 3.
459 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 181; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 135.
460 Jack P. Friedman, Dictionary of Business Terms, Barron’s Educational Series Inc, New
York USA, 1987, hlm. 613.
461 Mengharapkan keuntungan dari investasinya tersebut, dalam Handowo Dipo,
Sukses....., op.cit, hal. 10.
462 Lihat Pasal 1 ayat (11) Keppres No.61 Tahun 1988, menyebutkan sebagai usaha
pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima
bantuan pembiayaan (investee company) untuk jangka waktu tertentu.
463 Ciri khas terletak pula pada gabungan antara jasa pembiayaan serta jasa
pengembangan usaha secara profesional dan canggih, dalam Mohamad Idwan Ganie, “Aspek
Hukum Venture Capital”, Seminar Cipta Bisnis Indonesia, Jakarta, 22 September 1988, hlm. 3.
464 Investasi tersebut bukan bersifat pembiayaan dalam bentuk pinjaman, tetapi
dalam bentuk partisipasi equity, atau setidak-tidaknya loan yang dapat dialihkan ke equity
(convertible). Karena itu return yang diharapkan oleh perusahaan modal ventura bukanlah
bunga atas modal yang ditanam, melainkan dividen dan capital gain. Karena itu, return-nya
bersifat slow yielding dan tidak teratur.
465 Venture capital yang ditanamkan oleh PVC akan ditarik segera pada saat Perusahaan
yang dibantu berjalan lancar dengan sasaran memperoleh apresiasi nilai modal yang ditanam
(capital gain) setinggi mungkin, dalam Bahauddin Darus, “Venture Capital Bentuk Pembiayaan
untuk Industri dan Komesialisasi Hasil Penelitian”, Seminar Cipta Bisnis Indonesia, Jakarta,
22 September 1988, hlm. 1-2.
466 Karena mengharapkan keuntungan yang relatif tinggi, maka rata-rata return yang
diharapkan jauh melebihi bunga kredit bank. Di USA misalnya, rata-rata perusahaan
pemodal ventura mempunyai return antara 20% sampai 30%. Sehingga di Indonesia, mestinya
diharapkan antara 30% sampai 40%. Di Inggris, return rata-rata juga sekitar 30%. Ciri khas
venture capital tampaknya terletak pada jenis usaha nasabahnya yang merupakan proyek-
proyek dengan risiko yang tinggi (high risk investment), akan tetapi bila berhasil mempunyai
potensi tingkat pertumbuhan yang tinggi pula (high growth rate). Dengan kata lain, venture
capital merupakan modal yang tersedia bagi perorangan atau perusahaan yang memiliki
gagasan yang dapat dikomersialkan, dengan perkiraan tingkat perkembangan yang cukup
tinggi. Oleh karena tingkat risiko dari bisnis yang dibiayai tinggi, maka pembiayaan venture
capital dilakukan secara aktif, dalam dari PVC akan turut terlibat dalam unsur-unsur kunci
480 Lihat Pasal 7 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 7
ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
481 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
482 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
483 Lihat Pasal 7 huruf b UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun
1992 tentang Perbankan.
486 Lihat Pasal 1 huruf j Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
487 Lihat Pasal 1 huruf k Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
488 Lihat Pasal 1 huruf l Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
489 Lihat Pasal 1 huruf m Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan; juga SK Menteri No. Kep-1063/KMK.00/1988 tgl. 27 Oktober 1988 tentang
Pembukuan Kantor Cabang Lembaga Keuangan Bukan Bank.
490 Lihat Pasal 10 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
491 Lihat Pasal 10 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
492 Lihat Pasal 12 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
493 Lihat Pasal 12 ayat (3) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
494 Lihat Pasal 12 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
495 Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf k UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Ketiga atas UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
496 Lihat Pasal 4 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; juga Kepmen
Keuangan No.143/KMK.06/2004 tentang Pemberian Izin Usaha Modal Ventura kepada PT
Ventura Giant Asia (NPWP: 02.238.381.4-042.000).
497 Lihat Pasal 4 huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
498 Lihat Pasal 4 huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
499 Lihat Pasal 4 huruf c Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
500 Lihat Pasal 8 dan Pasal 10 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
501 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
502 Lihat Pasal 10 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
503 Lihat Pasal 1 angka 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
504 Lihat Penjelasan Umum UU No.9 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No.9 Tahun
2006 tentang Sistem Resi Gudang.
505 Lihat Pasal 96 ayat (3) UU No.13 Tahun 2010 tentang Holtikultura.
506 Lihat Pasal 96 ayat (5) UU No.13 Tahun 2010 tentang Holtikultura.
507 Lihat Pasal 97 ayat (2) UU No.13 Tahun 2010 tentang Holtikultura.
508 Lihat Pasal 112 huruf c UU No.13 Tahun 2010 tentang Holtikultura.
509 Lihat Pasal 22 huruf b UU No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah; Permen Koperasi dan UKM No.:30/Per/M.KUKM/VIII/2007 tentang Petunjuk
Teknis Perkuatan Permodalan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, dan Lembaga
Keuangannya dengan Penyediaan Modal Awal dan Padanan Melalui Lembaga Modal
Ventura.
510 Lihat Lampiran UU No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional 2005-2025.
511 Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf k UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Ketiga atas UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
512 Lihat Pasal 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
513 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 184; Bahauddin Darus,
“Modal Venture di Indonesia, Penyelenggaraan dan Permasalahan”, Majalah Usahawan No.10
Thn. XX, Jakarta, Oktober 1991, hlm. 16.
514 Lihat Pasal 1 PP No.62 Tahun 1992 tentang Sektor-Sektor Usaha Perusahaan Pasangan
Usaha dari Perusahaan Modal Ventura dalam Pelaksanaan UU No.7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan UU No.7 Tahun 1991; misalya dalam
UU No.2 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010, disebutkan Pendapatan
program modal ventura adalah sebesar Rp3.437.496.000,00; sedangkan dalam UU No.26
Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No.41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009, disebutkan Pendapatan program modal ventura
RP5.131.437.000,00.
6. Penyelesaian Sengketa
521 Lihat Pasal 4A ayat (3) huruf d UU No.42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.
522 Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf k UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Ketiga atas UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
523 Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf n UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Ketiga atas UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
524 Lihat Pasal 24 ayat (4) huruf h UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
525 Lihat Penjelasan Pasal 49 huruf i dan huruf h UU No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; Perma No.2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
526 Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 178; Ali Ridho. R, Hukum....., op.cit, hlm.
328; Stanislaus Atalim, “PT Bahana (Persero) Pengelola Modal Ventura dalam Rangka Cita-
Cita Pasal 33 UUD 1945”, Majalah Era Hukum FH Untar, No.3/ Th.1/, Jakarta, Januari 1995,
hlm. 89.
527 Di Indonesia bentuk Commanditaire Vennootschap (CV-limited partnership)
sebenarnya cocok untuk perusahaan venture capital kecil sampai menengah, terutama
apabila para investor perorangan tertentu, karena CV adalah bentuk persekutuan yang
terdiri dari dua jenis sekutu (partner), yaitu: (a) Sekutu penyerta uang (silent partners), yaitu
sekutu pasif yang tidak ikut serta dalam pengurusan dan hanya bertanggung jawab sebatas
nilai penyertaannya; dan (b) Sekutu pengurus (managing Partner) yaitu sekutu aktif yang
mengurus persekutuan dan bertanggung jawab pribadi secara penuh. Tanggung jawab penuh
para sekutu pengurus merupakan suatu daya tarik tertentu, oleh karena itu diharapkan
mengakibatkan pengambilan keputusan yang sangat saksama dengan jaminan seluruh
harta sekutu pengurus dalam hal terjadi kelalaian dalam pengurusan. Tentunya, harta dan
reputasi sekutu pengurus harus dapat mendukung kepercayaan demikian. Keuntungan lain
dari bentuk persekutuan ini adalah mudahnya penghimpunan penanaman modal melalui
penambahan sekutu penyerta uang tanpa prosedur yang rumit. Penyertaan sekutu penyerta
uang pada hakikatnya merupakan suatu perjanjian pengelolaan dana dengan pembagian
keuntungan secara prorata atau cara lain yang dapat diperjanjikan. Bagi sekutu pengurus
status pasif sekutu penyerta uang efisien oleh karena mereka tidak ikut turut campur dalam
pengurusan. Apabila peserta penyerta uang tidak ingin meneruskan penyertaannya, maka
ada kesempatan untuk menarik diri sesuai dengan anggaran dasar persekutuan.
528 Secara khusus tentang perizinan Modal Ventura diatur dalam Kepmenkeu No.562/
KMK.011/1982 tanggal 1 September 1982. Perubahan atas Kepmenkeu No.563/KMK/iv/1/1972
tanggal 18 Januari 1972 tentang Perizinan Kegiatan Perusahaan Venture Capital.
529 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 186; Bahauddin Darus,
“Venture....., op.cit, hlm. 10.
530 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 188.
531 Handowo Dipo, Sukses....., op.cit, hlm. 103; Wimar Wiloelar, Bagaimana Menyusun
Rencana Usaha untuk Venture Capital, Seminar Cipta Bisnis Indonesia, Jakarta, 22 September
1988, hlm. 3.
532 Handowo Dipo, Sukses....., op.cit, hlm. 121.
533 Ibid, hlm. 131.
534 Ibid, hlm. 145.
535 Ibid, hlm. 185.
536 Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 186.
537 Ibid, hlm. 198; Handowo Dipo, Sukses....., op.cit, hlm. 166; Bahauddin Darus,
“Modal Venture untuk Usaha Kecil-Menengah”, Penataran dan Seminar UU Perbankan,
diselenggarakan FH USU, Medan, 23 November–3 Desember 1992, hlm. 5; Abdul Muis. H.
“Modal Venture untuk Usaha Kecil-Menengah”, Penataran dan Seminar UU Perbankan,
diselenggarakan FH USU, Medan, 23 November–3 Desember 1992, hlm. 2.
545 Melalui membeli kembali saham perusahaan modal ventura oleh pemegang saham
lain yang sudah ada, dan perusahaan modal ventura yang bersangkutan akan exit, atau
menjual aset perusahaan dan membagi hasilnya dengan atau tanpa proses likuidasi.
546 Perbedaannya adalah bahwa perjanjian pinjaman dalam rangka venture capital
biasanya lebih ketat persyaratannya dan sering mengandung ketentuan bahwa perusahaan
venture capital akan diberi hak untuk membeli saham-saham nasabah menurut ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam satu dokumen tersendiri. Dalam venture capital sebaiknya
memperoleh persetujuan dari para pemegang saham dalam bentuk Rapat Umum Pemegang
Saham perusahaan nasabah. Opsi tentang pembelian saham sedikit-dikitnya harus
mengandung ketentuan-ketentuan sebagai berikut: (a) lamanya opsi pembelian saham, (b)
harga saham, dan (c) ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan.
554 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 193.
555 Ibid, hlm. 194; Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 155.
556 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 177.
557 Lihat lebih lanjut SK Menteri Keuangan No.Kep-1382/MK/6/11/1975 tgl. 20 November
1975 tentang Rahasia Lembaga Keuangan Non Bank.
558 Lihat Pasal 11 jo Pasal 1 angka 10 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan; juga Kep. Bersama Men. Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia No.607/
KMK.017/1995 dan No.28/9/KEP/GBI tentang Pelaksanaan Pengawasan Perusahaan
Pembiayaan oleh Bank Indonesia; Permen Keuangan No.74/PMK.021/2006 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank; Kep.Dirjend LK No.Kep-
2833/LK/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah pada
Lembaga Keuangan Non Bank.
559 Lihat Pasal 55 ayat (1) dan Penjelasan Umum UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan; Pasal 34 ayat (1) UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu No.2 Tahun
2008 tentang Perubahan atas UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi UU.
560 Lihat Pasal 6 huruf c UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
561 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
562 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
563 Lihat Pasal 1 angka 4 dan Pasal 2 huruf c Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan; juga PP No.75 Tahun 2008 tentang Perubahan atas PP No.66 Tahun 2007 tentang
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Untuk Pendirian Perusahaan Perseroan
(Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur; PP No.85 Tahun 2010 tentang Penambahan
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan
(Persero) PT Sarana Multi Infrastruktur.
564 Lihat Lampiran Pasal 1 angka 2 UU No.5 Tahun 2006 tentang Pengesahan International
Convention for the Suppression of Terrorist Bombings, 1997 (Konvensi Internasional Pemberantasan
Pengeboman oleh Teroris, 1997).
161
yang mampu mendukung kepentingan strategis di dalam pengembangan
sumber daya manusia di dalam negeri yang meliputi pengembangan
keprofesian, penguasaan dan pemanfaatan teknologi nasional, dan
peningkatan kepentingan nasional dalam pengentasan kemiskinan dan
pengembangan kegiatan perekonomian perdesaan565.
565 Lihat Lampiran UU No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005–2025.
566 Lihat Pasal 8 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 1 huruf
i Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; Bank Indonesia,
“Pedoman Pelaksanaan Peraturan-peraturan tentang Pendirian Lembaga Keuangan”,
Penataran Dosen Hukum Perdata/Dagang, dilaksanakan FH UGM, Yogyakarta, 16-28
November/30 November-12 Desember 1992, hlm. 5; Dalam rangka meningkatkan peranan
dan kinerja perusahaan pembiayaan yang telah ada baik berupa kegiatan sewa guna usaha,
anjak piutang, usaha kartu kredit dan pembiayaan konsumen, Pemerintah menganggap perlu
mengambil kebijakan dengan menghentikan sementara pemberian izin usaha perusahaan
pembiayaan sejak tanggal 24 April 2002. Hal ini didasarkan pada Keputusan Menteri
Keuangan (Kepmenkeu) No.185/KNK.06/2002 tentang Penghentian Pemberian Izin Usaha
Perusahaan Pembiayaan.
567 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
568 Lihat Pasal 9 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
569 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
570 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.17
Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
571 PP No.88 Tahun 2010 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik
Indonesia Ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Penjaminan
Infrastruktur Indonesia; PP No.85 Tahun 2010 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara
Republik Indonesia Ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Sarana Multi
Infrastruktur; PP No.35 Tahun 2009 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia
untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Penjaminan Infrastruktur.
572 Lihat Pasal 13 huruf a Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
573 Lihat Pasal 13 huruf a Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
574 Lihat Pasal 7 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal
14 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
575 Lihat Pasal 13 huruf b Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
576 Lihat Pasal 7 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 7
ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
577 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
578 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
582 Lihat Pasal 1 huruf k Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
583 Lihat Pasal 1 huruf l Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
584 Lihat Pasal 1 huruf m Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan; juga SK MEnteri No. Kep-1063/KMK.00/1988 tgl. 27 Oktober 1988 tentang
Pembukuan Kantor Cabang Lembaga Keuangan Bukan Bank.
585 Lihat Pasal 10 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
586 Lihat Pasal 10 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
587 Lihat Pasal 12 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
588 Lihat Pasal 12 ayat (3) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
589 Lihat Pasal 12 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
590 Lihat Penjelasan Pasal 4 UU No.19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah
Negara.
591 Lihat Pasal 5 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
592 Lihat Pasal 5 ayat (1) huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
593 Lihat Pasal 16 ayat (1) UU No.22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2012.
594 Lihat Pasal 16 ayat (1) UU No.22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2012; Inpres No.3 Tahun 2009 tentang Pengembangan
Infrastruktur Istana Kepresidenan, Kebun Raya, dan Benda Cagar Budaya Tertentu.
595 Lihat Pasal 31 ayat (1) UU No.22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2012.
596 Lihat Pasal 219 ayat (2) huruf f UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan; bandingkan dengan UU No.36 Tahun 1964 tentang Pungutan Istimewa atas
Impor untuk Pembiayaan Pembangunan Jalan Raya Lintas Sumatra.
597 Lihat Penjelasan Pasal 27 ayat (11) UU No.22 Tahun 2011 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012.
598 Lihat Pasal 30 ayat (1) huruf c UU No.38 Tahun 2004 tentang Jalan.
599 Lihat Penjelasan Pasal 5 ayat (3) huruf a UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik.
600 Lihat Pasal 13 ayat (1) jo Pasal 25 UU No.39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi
Khusus.
601 Lihat Pasal 9 ayat (5) huruf b, Pasal 38 huruf b dan Pasal 63 huruf c UU No.41 Tahun
2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
602 Lihat Pasal 65 ayat (1) UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan.
603 Lihat Penjelasan Pasal 9 ayat (5) huruf b dan Penjelasan Pasal 24 ayat (2) huruf d UU
No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
604 Lihat Pasal 65 ayat (3) dan Pasal 66 UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; juga lihat PP No.43 Tahun 2009 tentang Pembiayaan,
Pembinaan, dan Pengawasan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.
605 Lihat Pasal 3 huruf f angka 2 UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi.
606 Lihat Kepmen Keuangan No.173/KMK.06/2002 tentang Rasio Pinjaman terhadap
Modal Sendiri dan Batas Waktu untuk Memulai Kegiatan Usaha bagi Perusahaan Pembiayaan
di Bidang Ketenagalistrikan.
607 Lihat Penjelasan Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 10 huruf e UU No.2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum.
608 Lihat Pasal 53 UU No.4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.
609 Lihat Pasal 5 ayat (1) huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
610 Lihat Pasal 5 ayat (1) huruf c Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
611 Lihat Pasal 8 dan Pasal 10 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
612 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
613 Lihat Pasal 10 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
614 Lihat Pasal 1 angka 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
615 Lihat Pasal 5 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
616 Lihat Pasal 5 ayat (2) huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
617 Lihat Pasal 5 ayat (2) huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
618 Lihat Pasal 5 ayat (2) huruf c Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan
619 Lihat Pasal 5 ayat (2) huruf d Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan
620 Lihat Pasal 5 ayat (2) huruf e Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan
621 Lihat Pasal 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan
622 Lihat Pasal 11 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahan
Pembiayaan
623 Lihat 17 ayat (1) huruf a angka 2) dan Pasal 18 ayat (3) huruf d UU No.8 Tahun 2010
tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
624 Lihat Penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf c UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
625 Lihat Pasal 4A ayat (3) huruf d UU No.42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.
626 Lihat Pasal 24 ayat (4) huruf h UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
627 Lihat Pasal 6 ayat (1) huruf k UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; PP No.93 Tahun 2010 tentang Sumbangan
Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan
Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur
Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
628 Lihat Penjelasan Pasal 49 huruf i dan huruf h UU No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; Perma No.2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
629 Lihat lebih lanjut SK Menteri Keuangan No.Kep-1382/MK/6/11/1975 tgl. 20 November
1975 tentang Rahasia Lembaga Keuangan Non Bank.
630 Lihat Pasal 11 jo Pasal 1 angka 10 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan; juga Kep. Bersama Men. Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia No.607/
KMK.017/1995 dan No.28/9/KEP/GBI tentang Pelaksanaan Pengawasan Perusahaan
Pembiayaan oleh Bank Indonesia; Permen Keuangan No.74/PMK.021/2006 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank; Kep.Dirjend LK No.Kep-
2833/LK/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah pada
Lembaga Keuangan Non Bank.
631 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
632 Lihat Pasal 6 huruf c UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
633 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
634 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
177
• Pasal 11 Permen Keuangan No.74/PMK.012/2006 tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan
Non Bank
• Pasal 11 Kep.Dirjend LK No.Kep-2833/LK/2003 tentang
Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
Pada Lembaga Keuangan Non Bank
• Pasal 1 angka 4, Pasal 2 angka c, Pasal 5 angka 1, Pasal 7
ayat (1) Kepmen Keuangan No.173/KMK.06/2002 tentang
Rasio Pinjaman terhadap Modal Sendiri dan Batas Waktu Untuk
Memulai Kegiatan Usaha Bagi Perusahaan Pembiayaan di Bidang
Ketenagalistrikan
• Permen Keuangan No.130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran
Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan
Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan
Pembebanan Jaminan Fidusia
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka upaya meningkatkan peran Lembaga
Pembiayaan dalam proses pembangunan nasional, perlu didukung
oleh ketentuan mengenai Lembaga Pembiayaan yang memadai;
b. bahwa untuk dapat meningkatkan peran sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang
Lembaga Pembiayaan perlu disempurnakan dengan mengganti
Keputusan Presiden dimaksud dengan Peraturan Presiden yang
baru;
Mengingat:
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun1945;
2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Staatsblad 1847 Nomor
23);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502);
4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Lampiran 179
3. Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Company) adalah badan
usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan modal ke
dalam suatu Perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan
(Investee Company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk
penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konversi,
dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha3.
4. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur adalah badan usaha yang
didirikan khusus untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan dana pada proyek infrastruktur4;
5. Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayan dalam
bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha
dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak
opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha
(Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran
secara angsuran5;
6. Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk
pembelian piutang dagang jangka pendek suatu Perusahaan berikut
pengurusan atas piutang tersebut;
7. Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance) adalah kegiatan
pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan
konsumen dengan pembayaran secara angsuran;
8. Usaha Kartu Kredit (Credit Card) adalah kegiatan pembiayaan
untuk pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan kartu
kredit;
9. Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) adalah surat pernyataan
kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu
(Leasing)
3 lihat Kepmen Keuangan No.143/KMK.06/2004 tentang Pemberian Izin Usaha Modal
Ventura Kepada PT. Ventura Giant Asia (NPWP: 02.238.381.4-042.000)
4 lihat Kepmen Keuangan No.173/KMK.06/2002 tentang Rasio Pinjaman terhadap Modal
Sendiri dan Batas Waktu Untuk Memulai Kegiatan Usaha Bagi Perusahaan Pembiayaan di
Bidang Ketenagalistrikan
5 lihat Kepmen Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha
(Leasing)
BAB II
JENIS, KEGIATAN USAHA, DAN PENDIRIAN LEMBAGA
PEMBIAYAAN
Pasal 2
Lembaga Pembiayaan meliputi :
a. Perusahaan Pembiayaan6;
b. Perusahaan Modal Ventura7;
c. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur8.
Pasal 3
Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan9 meliputi:
a. Sewa Guna Usaha10;
b. Anjak Piutang;
c. Usaha Kartu Kredit; dan/atau
d. Pembiayaan Konsumen.
Pasal 4
Kegiatan usaha Perusahaan Modal Ventura meliputi11:
a. Penyertaan Saham (equity participation);
Lampiran 181
b. Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi equity
partcipation);
c. Pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/revenue
sharing);
Pasal 5
(1) Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur meliputi12:
a. Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk Pembiayaan
Infrastruktur;
b. Refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain; dan/
atau;
c. Pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang
berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur;
Pasal 6
Perusahaan Pembiayaan13, Perusahaan Modal Ventura14, dan Perusahaan
Pembiayaan Infrastruktur berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi.
Pasal 8
Ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan, tata cara pendirian perusahaan
dan pelaksanaan kegiatan usaha diatur oleh Menteri.
BAB III
PEMBATASAN
Pasal 9
Lembaga Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilarang
menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk:
a. Giro;
b. Deposito;
c. Tabungan.
Lampiran 183
Pasal 10
(1) Lembaga Pembiayaan dapat menerbitkan Surat Sanggup Bayar
(Promissory Note) dengan memenuhi prinsip kehati-hatian (prudential
principles);
(2) Penerbitan Surat Sanggup Bayar (Promissory Note)sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 11
Menteri melakukan pengawasan dan pembinaan atas Lembaga Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 12
Dengan ditetapkannya Peraturan Presiden ini, Perusahaan Pembiayaan18
dan Perusahaan Modal Ventura19 yang telah memperoleh izin usaha
dari Menteri tetap dapat melanjutkan kegiatannya dengan melakukan
penyesuaian terhadap Peraturan Presiden ini paling lambat 2 (dua) tahun
sejak Peraturan Presiden ini ditetapkan.
17 lihat Kep. Bersama Men. Keuangan Dan Gubernur Bank Indonesia No.607/
KMK.017/1995 dan No.28/9/KEP/GBI tentang Pelaksanaan Pengawasan Perusahaan
Pembiayaan Oleh Bank Indonesia.; Permen Keuangan No.74/PMK.012/2006 tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank.; Kep.Dirjend LK
No.Kep-2833/LK/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
Pada Lembaga Keuangan Non Bank
18 lihat Permen Keuangan No.84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan
19 lihat Kepmen Keuangan No.143/KMK.06/2004 tentang Pemberian Izin Usaha Modal
Ventura Kepada PT. Ventura Giant Asia (NPWP: 02.238.381.4-042.000)
Pasal 13
Dengan ditetapkannya Peraturan Presiden ini :
a. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga
Pembiayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988
Nomor 53) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
b. Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang
Lembaga Pembiayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1988 Nomor 53) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden ini.
Pasal 14
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Maret 2009
Lampiran 185
186 Hukum Lembaga Pembiayaan
Daftar Bacaan
187
Bahauddin Darus, “Venture Capital Bentuk Pembiayaan untuk Industri
dan Komersialisasi Hasil Penelitian”, Seminar Cipta Bisnis Indonesia,
Jakarta, 22 September 1988.
-----, Modal Venture di Indonesia: Penyelenggaraan dan Permasalahan, Majalah
Usahawan No. 10 Thn. XX, Jakarta, Oktober 1991.
----, “Modal Venture untuk Usaha Kecil-Menengah”, Penataran dan
Seminar UU Perbankan, diselenggarakan FH USU, Medan, 23
November–3 Desember 1992.
Bank Indonesia, “Pedoman Pelaksanaan Peraturan-Peraturan tentang
Pendirian Lembaga Keuangan”, Penataran Dosen Hukum Perdata/
Dagang, dilaksanakan FH UGM, Yogyakarta, 16-28 November/30
November-12 Desember 1992.
Bank Negara Indonesia, Ketentuan Umum bagi Pemegang Kartu Kredit,
BNI, Jakarta, 2002.
Basani Situmorang, “Masalah Hukum Ketenagakerjaan dalam Usaha
Franchise”, Seminar Hukum, BPHN, Jakarta, 14-16 Desember
1993.
Biro Hukum BI, Kartu Kredit Suatu Tinjauan dari Sisi Hukum, BHBI &
AKKI, Jakarta, (Tanpa Tahun).
Bisnis Indonesia, Bank Sulit Turunkan Bunga Kartu Kredit, tanggal 18 Juni
2003.
-----, Master Card atasi Penipuan Kartu Kredit, tanggal 4 Oktober 2003.
Chris Bovaird, Venture Capital Finance, Great Britain, England, 1991.
Daniel Iman. Tb.Mac, “Masalah Merek dalam Usaha Franchise”, Seminar
BPHN, Jakarta, 14-16 Desember 1993.
Dermawan. PDD, “Sifat dan Bentuk Perjanjian Franchising”, Makalah
pada Panel Diskusi, Beberapa Permasalahan Hukum di Sekitar Penanaman
Modal, Jakarta, pada 18-20 Juni 1990.
Douglas J. Queen, Pedoman Membeli dan Menjalankan Franchise – Tuntutan
Langkah demi Langkah menuju Keberhasilan suatu Franchise, Elex Media
Komputindo, Jakarta, Cet.ke-1, 1993.
Eddy P. Soekadi, Mekanisme Leasing, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.
Ediwarman, “Peraturan Perdagangan dan Industri tentang Franchise
(Waralaba)”, makalah Penataran Hukum Perdagangan, dilaksanakan
195
bidang Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran Bandung, lulus tanggal
28 Nopember 2011, dengan predikat Cum Laude (IPK 3,99).
Sebagai seorang Dosen, beliau telah membimbing Mahasiswa pada
Program Doktor (S.3), Program Magister Hukum dan Notariat (S.2), dan
Program Strata Satu (Sarjana Hukum).
Di bidang Organisasi dan kemasyarakat adalah menjabat sebagai
Ketua DKM Masjid Al-Hasanah, dari tahun 2007 s/d sekarang, dan
terdaftar sebagai Anggota Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin).
Berbagai karya ilmiah telah dihasilkan, baik berupa buku maupun
Diktat Mata Kuliah, yaitu:
1. Politik Hukum, diterbitkan oleh Akademia Permata, Padang, tahun
2013, ISBN 978-602-8381-46-8 yang pada awalnya berasal dari bahan
ajar pada Mata Kuliah Politik Hukum di Pascasarjana Magister
Hukum dan Magister Kenotariatan Universitas Jayabaya.