Anda di halaman 1dari 210

H U K U M L E M B A G A

PEMBIAYAAN
H U K U M L E M B A G A

PEMBIAYAAN
Dr. H. Ahmad Muliadi, S.H., M.H.
HUKUM LEMBAGA PEMBIAYAAN

Penulis : Dr. H. Ahmad Muliadi, S.H., M.H.


Penyunting Isi & Bahasa: Yuan Acitra, S.E.
Koordinator Editorial: Yuan Acitra, S.E.
Penata Letak: mastergrafis
Perwajahan: mastergrafis

Hak Cipta Bahasa Indonesia


© 2013 Penulis

© 2013 Akademia Permata


akademiapenerbit@gmail.com
Distribusi oleh Indeks
Permata Puri Media Jl. Topaz Raya C2 No. 16
Kembangan-Jakarta Barat 11610
e-mail: indeks@indeks-penerbit.com

All right reserved. No part of this book may be reproduced or transmitted in


any form or by any means, electronic or mechanical including photocopying,
recording or by any information storage retrieval system, without permission
in writing from the publisher.

Hak Cipta dilindungi. Tidak ada bagian dari cetakan ini yang boleh
diproduksi ulang, disimpan dalam suatu sistem yang dapat diambil
kembali atau diproduksi ulang atau disampaikan dalam format apa pun
atau dengan cara-cara lainnya, secara elektronik, secara mekanis, dengan
fotokopi, kecuali kopi dari halaman-halaman yang dapat diproduksi
kembali untuk digunakan oleh lembaga yang membeli, merekam atau
lainnya tanpa izin tertulis terlebih dahulu dari penerbit.

ISBN (10) 602-8381-57-8


(13) 9 7 8 - 6 0 2 - 8 3 8 1 - 5 7 - 4

10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

Cetakan 1, 2013
Kata Pengantar

K
ami mengucapkan puji syukur kepada Allah swt., dengan izin dan
karunia-Nya dapat diselesaikan tulisan tentang Hukum Lembaga
Pembiayaan.
Tulisan ini disusun berdasarkan silabus mata kuliah Lembaga
Pembiayaan yang dipercayakan kepada kami di Fakultas Hukum
Universitas Jayabaya, sekaligus sebagai realisasi sumbangan karya dari
Penulis atas langkanya buku-buku yang berkenaan dengan hal dimaksud,
dengan tujuan membantu para mahasiswa dalam memahami tentang
Hukum Lembaga Pembiayaan.
Tulisan ini banyak kekurangan dan juga belum mencapai
hasil sempurna sebagaimana layaknya karya ilmiah karena dalam
pembahasannya masih lebih bentuk bibliografi, namun sebagai seorang
yang mencintai ilmu, kami berusaha memaparkannya semampu kami
yang didukung dengan literatur yang kami miliki, apalagi dihubungkan
dengan pekerjaan kami sehari-hari dalam praktik sebagai seorang advokat
dan konsultan hukum.
Dalam kesempatan ini diucapkan terima kasih yang sebanyak-
banyaknya kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses
penyusunan hingga terselesaikannya tulisan ini, terutama kepada
istriku Hj. Guswita Dewi, S.H., M.H.; anak-anakku Irma Sari Muliadi,
Hafiz Iskandar Muliadi, dan Syifa Aulia Muliadi. Dan tak lupa juga
kepada para staf dan karyawan di Kantor Advocate & Legal Consultant
Muliadi & Partners yang telah banyak membantu baik dalam pengetikan

v
dan pengeditan tulisan ini. Dengan harapan kiranya ada masukan dan
kritikan dari para pembaca yang sifatnya membangun demi perbaikan
selanjutnya.
Tulisan ini sebenarnya telah pernah dijadikan sebagai bahan acuan
pada mata kuliah yang sama di Fakultas Hukum Universitas Jayabaya
pada semester ganjil 2000/2001, yang sampai sekarang telah beberapa
kali perbaikan dan tambahan. Kiranya tulisan yang sederhana ini ada
manfaatnya dan dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa, praktisi, dan bagi
peminat lainnya.

Dr. H. Ahmad Muliadi, S.H., M.H.

vi Hukum Lembaga Pembiayaan


Daftar Isi

Kata Pengantar—v
Daftar Isi—vii
Daftar Singkatan—xiii

BAB I Pendahuluan—1
A. Latar Belakang—1
B. Pengertian Lembaga Pembiayaan—3
C. Dasar Hukum Lembaga Pembiayaan—4
D. Jenis Lembaga Pembiayaan—5

BAB 2 Sewa Guna Usaha—7


A. Pengertian Sewa Guna Usaha—7
B. Sejarah dan Perkembangan Sewa Guna Usaha (Leasing)—8
C. Pendirian dan Izin Usaha Sewa Guna Usaha—11
D. Ciri-ciri Leasing—17
E. Usaha Sewa Guna Usaha—21
1. Kegiatan Usaha Sewa Guna Usaha—21
2. Larangan Kegiatan bagi Sewa Guna Usaha—24
3. Kewajiban Perusahaan Sewa Guna Usaha—25
4. Hak bagi Perusahaan Sewa Guna Usaha—26
5. Penyelesaian Sengketa—27
F. Jenis-jenis Leasing—27
1. Financial Leasing—27
2. Operating Lease—35

vii
3. Sales and Lease Back—37
4. Leveraged Lease—38
G. Pengawasan dan Pembinaan —39
H. Pencabutan Izin Usaha—41

BAB 3 Anjak Piutang—43


A. Pengertian Anjak Piutang—43
B. Sejarah dan Perkembangan Anjak Piutang—44
C. Pendirian dan Izin Usaha Perusahaan Anjak Piutang—46
D. Usaha Anjak Piutang—52
1. Kegiatan Usaha Anjak Piutang—52
2. Larangan Kegiatan bagi Anjak Piutang—57
3. Kewajiban Perusahaan Anjak Piutang—57
4. Hak bagi Perusahaan Anjak Piutang—58
5. Penyelesaian Sengketa—58
E. Jenis-jenis Anjak Piutang—59
1. Dari Keterlibatan Klien, anjak piutang dibagi:—59
2. Dari Segi Negara Tempat Kedudukan Para Pihak,
dibagi:—60
3. Dari Segi Service (Jasa), dibagi:—60
F. Perjanjian Anjak Piutang—61
1. Dokumentasi dalam Anjak Piutang—63
2. Kewajiban dan Hak Para Pihak dalam Perjanjian—66
3. Karakter Hukum Perjanjian Anjak Piutang—68
G. Manfaat dan Kerugian Menggunakan Anjak Piutang—70
1. Manfaat—70
2. Kelemahan-kelemahan—71
H. Pengawasan dan Pembinaan —72
I. Pencabutan Izin Usaha—74

BAB 4 Usaha Kartu Kredit—75


A. Pengertian Usaha Kartu Kredit—75
B. Sejarah Kartu Kredit—77
C. Pendirian dan Izin Usaha Kartu Kredit—79
D. Usaha Kartu Kredit—85
1. Kegiatan Usaha Kartu Kredit—85

viii Hukum Lembaga Pembiayaan


2. Pihak dalam Kartu Kredit—88
3. Larangan Kegiatan bagi Usaha Kartu Kredit—91
4. Kewajiban Perusahaan Kartu Kredit—92
5. Hak bagi Perusahaan Kartu Kredit—93
6. Penyelesaian Sengketa—93
E. Klasifikasi Kartu Kredit—93
1. Kriteria Lokasi Penggunaan—93
2. Kriteria Sistem Pembayaran—94
3. Berdasarkan Afiliasinya—94
F. Perjanjian Kartu Kredit—95
G. Berakhirnya Perjanjian Penerbitan Kartu Kredit—101
H. Jenis-jenis Penyalahgunaan Kartu Kredit—102
I. Pengawasan dan Pembinaan —104
J. Pencabutan Izin Usaha—106

BAB 5 Pembiayaan Konsumen—109


A. Pengertian Pembiayaan Konsumen—109
B. Perkembangan Pembiayaan Konsumen—110
C. Pendirian dan Izin Usaha Pembiayaan Konsumen—111
D. Usaha Pembiayaan Konsumen—117
1. Kegiatan Usaha Pembiayaan Konsumen—117
2. Mekanisme Pembiayaan Konsumen—120
3. Larangan Kegiatan bagi Pembiayaan Konsumen—125
4. Kewajiban Perusahaan Pembiayaan Konsumen—125
5. Hak bagi Perusahaan Pembiayaan Konsumen—126
6. Penyelesaian Sengketa—126
E. Pengawasan dan Pembinaan —126
F. Pencabutan Izin Usaha—128

BAB 6 Perusahaan Modal Ventura—131


A. Pengertian Perusahaan Modal Ventura—131
B. Pendirian dan Izin Usaha Perusahaan Modal Ventura—133
C. Usaha Modal Ventura—139
1. Kegiatan Usaha Modal Ventura—139
2. Larangan Kegiatan bagi Modal Ventura—142
3. Tujuan Modal Ventura—142

Daftar Isi ix
4. Kewajiban Perusahaan Modal Ventura—146
5. Hak bagi Perusahaan Modal Ventura—147
6. Penyelesaian Sengketa—147
D. Para Pihak dalam Kegiatan Modal Ventura—148
1. Pihak Perusahaan Modal Ventura—148
2. Pihak Perusahaan Pasangan Usaha—149
3. Pihak Penyandang Dana—150
E. Mekanisme Penyertaan Modal—151
1. Lewat Penyertaan Modal (Equity Financing)—151
2. Pembiayaan Lewat Pinjaman (Loan Financing)—154
3. Pembiayaan Disertai Jasa Manajemen—155
4. Perjanjian Venture Capital—155
F. Kelebihan dan Kelemahan Modal Ventura—156
1. Keunggulan Modal Ventura—156
2. Kelemahan Modal Ventura—157
G. Pengawasan dan Pembinaan —158
H. Pencabutan Izin Usaha—160

BAB 7 Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur—161


A. Pengertian Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur—161
B. Pendirian dan Izin Usaha Pembiayaan Infrastruktur—162
C. Usaha Pembiayaan Infrastruktur—168
1. Kegiatan Usaha Pembiayaan Infrastruktur—168
2. Larangan Kegiatan bagi Pembiayaan Infrastruktur—
172
3. Kewajiban Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur—
172
4. Hak bagi Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur—173
5. Penyelesaian Sengketa—174
D. Pengawasan dan Pembinaan —174
E. Pencabutan Izin Usaha—176

Lampiran—177
Daftar Bacaan—187
Profil Penulis—195

x Hukum Lembaga Pembiayaan


Daftar Singkatan

Bank Negara Indonesia : BNI


Commanditaire Vennootschap(limited partnership) : CV
General Agreement on Tariffs and Trade : GATT
Hak Milik Intelektual : HaKI
Hak Atas Kekayaan Intelektual : HAKI
Intellectual Property Right : IPR
Kartu Izin Menetap Sementara : KIMS
Kartu Tanda Penduduk : KTP
Keputusan Menteri Keuangan : Kepmenkeu
Keputusan Presiden : Keppres
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang : KUHD
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : KUH Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana : KUHP
Letter of Credit : L/C
Nomor Pokok Wajib Pajak : NPWP
Peraturan Pemerintah : PP
Perjanjian Venture Capital : PVC
Perseroan Terbatas : PT
Personal Indentification Number : PIN
Program Pembangunan Nasional : Propenas
Rapat Umum Pemegang Saham : RUPS
Tanda Daftar Perusahaan : TDP
Undang-Undang : UU
Undang-Undang Dasar 1945 : UUD

xi
xii Hukum Lembaga Pembiayaan
B A B I Pendahuluan

A. LATAR BELAKANG
Sesuai dengan kaidah ekonomi, di mana ada demand dan di sisi
lain ada supply, yang menciptakan institusi tradisional di mana pihak
yang kelebihan dana akan mensuplai dana langsung kepada pihak yang
membutuhkan dana1. Dengan cara ini membawa suatu konsekuensi
terhadap pembangunan ekonomi masyarakat yang menuntut adanya
suatu kepastian hukum. Dalam masyarakat berkembang pula beberapa
bentuk perjanjian yang diakui keberadaannya dan dipraktikkan oleh
masyarakat sebagai jenis perjanjian bernama, yang diatur di luar Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya KUH Perdata Staatsblad.
1847 No. 23)2. Kondisi ini yang menjadi alasan bagi perkembangan
sektor hukum bisnis atau hukum ekonomi3 yang begitu cepat, sehingga

1 Munir Fuady, Hukum tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek—(Leasing, Factoring,
Modal Ventura, Pembiayaan Konsumen, Kartu Kredit), Citra Aditya Bakti, Bandung; Cet. Ke-1,
195, hlm. 1.
2 Hal ini bisa terjadi sebagai akibat dari asas terbuka yang dianut oleh Hukum Perjanjian
di dalam KUH Perdata Staatsblad. 1847 No. 23.
3 Adapun mengenai cirri-ciri Hukum Ekonomi, oleh Schrans disebutkan sebagai berikut:
(a) Di dalam Hukum Ekonomi batas-batas antara Hukum Publik dengan Hukum Perdata
menjadi kabur; (b) Hukum Ekonomi bersifat lebih kolektivitas daripada Hukum Dagang;
(c) Hukum Ekonomi merupakan suatu bidang yang mengubah tata hukum maupun tata
ekonomi; (d) Hukum Ekonomi mengubah nilai-nilai sosial, ekonomi, dan keadilan yang
berlaku, baik dalam masyarakat ekonomi maupun di dalam bidang hukum. Pada ciri yang
kelima kelihatan jelas bahwa Hukum Ekonomi tidak lagi merupakan bidang hukum yang
hanya mampu mengikuti perkembangan masyarakat saja (hinkt achter de feiten aan), akan
tetapi sudah merupakan suatu Hukum Pembangunan atau ontwikkekings recht, yang harus

1
membawa konsekuensi terhadap perlunya sektor hukum ditelaah ulang,
agar tetap up-to-date, seirama dengan perkembangan masa. Karena dalam
praktik sering didengar keluhan dari para pelaku usaha yang menyatakan
bahwa Era Globalisasi Ekonomi Dunia, bukan hanya dalam bentuk direct
investment maupun equity investment melainkan mengintrodusir investasi
dalam bentuk baru yaitu penyertaan modal secara informal, antara lain
dalam bentuk Franchising, Licensing, Technical Assistance, Modal Ventura
(Venture Capital) dll4.
Demikian juga halnya yang mengatur bantuan finansial lewat lembaga
pembiayaan yang dikenal sebagai cabang hukum bisnis, yang namanya
Hukum Lembaga Pembiayaan5. Sayangnya, kebutuhan pengaturan dalam
praktiknya masih terdapat kesenjangan yang semakin lama semakin besar6,
seperti juga banyak bidang hukum bisnis lainnya. Ada juga sebagian
menyebutkan bahwa lembaga pembiayaan adalah lembaga-lembaga
keuangan bukan bank7, yang tujuannya sama memulihkan perekonomian
nasional sehingga perlu diciptakan iklim usaha yang kondusif lebih
fleksibel dan moderat dari bank dengan memperhatikan prinsip-prinsip

mampu mengadakan social engineering sebagaimana dimaksudkan oleh Roescoe Pound,


dalam Schrans dan J. Grontaert., Economisch en Financieel Recht Vandaag, Gakke Gent, 1972,
hlm. 48-49, yang dikutip oleh Sunaryati Hartono. CFG, “Pengantar Hukum Ekonomi (Bagian
I – Umum)”, makalah pada Penataran Hukum Ekonomi, dilaksanakan oleh FH Unpar,
Bandung, tanggal 19-25 Januari 1990, hlm 6-10.
4 Partomuan Pohan. A, “Selayang Pandang tentang Franchising, Licensing, Technical
Assistance, Ventura Capital Factoring dan Costodian”, tulisan dalam Media Notariat, No.
20-21, Jakarta, Juli – ktober 1991, hlm. 122
5 Bandingkan dengan Munir Fuady, Hukum tentang …., op, cit. hlm. 1.; juga Ali Ridho.
R, Hukum Dagang tentang Prinsip dan Fungsi Asuransi dalam Lembaga Keuangan, Pasar Modal,
Lembaga Pembiayaan Modal Ventura, dan Asuransi Haji, Alumni, Bandung, Cet. Ke-1, 1992,
hlm. 263.; dan Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan
dan Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. Ke-1, 2000. hlm. 18-19.: serta Sri Redjeki
HArtono, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Mandar Maju, Bandung, Cet. Ke-1, 2000, hlm.
117.
6 Munir Fuady, Pembiayaan Perusahaan Masa Kini (Tinjauan Hukum Bisnis), Citra Aditya
Bakti, Bandung, Cet. Ke-1, 1997, hlm. 2.
7 Lebih lanjut lihat Surat Edaran Bank Indonesia No.21/4/BPPP tgl. 27 Oktober 1988
tentang Lembaga Keuangan Bukan Bank di Indonesia; bandingkan dengan Faried Wijaya
M. & Soetatwo Hadiwigeno, Lembaga-Lembaga Keuangan dan Bank – Perkembangan, Teori, dan
Kebijakan, BPFE, Yogyakarta, Ed. Ke-2, Cet. Ke-1, 1991, hlm. 371; dan Muchdarsyah Sinungan,
Uang dan Bank, Rineka Cipta, Jakarta, Cet. Ke-3, 1991, hlm. 179; serta Abdulkadir Muhammad
& Rilda Murniati, Segi …. Op, cit, hlm. 18.

2 Hukum Lembaga Pembiayaan


kehati-hatian, sebagaimana disebutkan dalam Permen Keuangan No. 84/
PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
Lembaga Pembiayaan dibutuhkan dalam proses pembangunan
nasional8, sehingga perlu diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres)
No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan yang berlaku tanggal 18
Maret 2009, yang dahulunya diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres)
No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan9, Keppres No. 29 Tahun
1988 tentang Lembaga Pembiayaan.

B. PENGERTIAN LEMBAGA PEMBIAYAAN


Lembaga pembiayaan ini terdiri dari dua kata, yaitu:
1. Lembaga adalah badan atau pranata10 yang bermaksud melakukan
sesuatu penyelidikan keilmuan atau melakukan sesuatu usaha11.

2. Pembiayaan adalah perbuatan untuk membiayai12 baik perorangan


maupun bentuk perusahaan.
Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar
kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik
pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun
anggaran berikutnya13.
Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh pemerintah, pemerintah
daerah, dunia usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi, dan

8 Lihat Konsideran Menimbang huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
9 Ketentuan ini telah dicabut Pasal 13 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
10 Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Cet. Ke-1, 1986, hlm. 349.
11 Dalam hal ini bentuk-bentuk usaha dimaksud adalah yang sesuai dengan bentuk usaha
yang dituangkan dalam perundang-undangan Nasional, misal Perseroan Terbatas, Perseroan
Komanditer, Perseroan Firma, Koperasi, dan sebagainya; lihat lebih lanjut Poerwadarminta.
WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Cet.ke-8, 1985, hlm. 582.
12 Ibid. hlm. 136
13 Lihat Pasal 1 angka 17 UU No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Pasal 1 angka 15 UU No.33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; Pasal 1 angka 17
UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Bab 1 • Pendahuluan 3
lembaga keuangan bukan bank, untuk mengembangkan dan
memperkuat permodalan usaha mikro, kecil, dan menengah14.

Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan


pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal15 yang
termasuk salah satu dari Lembaga Jasa Keuangan16.
Sehingga dapat diartikan Lembaga Pembiayaan adalah suatu badan
usaha di luar bank atau lembaga pembiayaan bukan bank yang secara
khusus didirikan untuk melakukan fungsi dan tugas sebagai kegiatan
usahanya membiayai orang atau perusahaan pihak lainnya.

C. DASAR HUKUM LEMBAGA PEMBIAYAAN


Lembaga pembiayaan yang dibentuk harus berdasarkan pada
ketentuan yang terdapat dalam17:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad. 1847 No. 23);
2. Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian;
3. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
4. UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;
5. Perpres No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan;
6. Permen Keuangan No. 74/PMK.021/2006 tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank;
7. Permen Keuangan No.84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.

14 Lihat Pasal 1 angka 11 UU No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah.
15 Lihat Pasal 1 angka 1 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; definisi
yang sama terdapat dalam Pasal 1 angka 9 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan.
16 Lihat Pasal 1 angka 4 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
17 Lihat Konsideran Mengingat Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.

4 Hukum Lembaga Pembiayaan


D. JENIS LEMBAGA PEMBIAYAAN
Lembaga Pembiayaan meliputi18:
1. Perusahaan Pembiayaan19;
Perusahaan pembiayaan adalah badan usaha di luar Badan dan
Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk
melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga
Pembiayaan20.
Perusahaan pembiayaan adalah badan usaha yang khusus
didirikan untuk melakukan Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang,
Pembiayaan Konsumen, dan/atau usaha Kartu Kredit21.
Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan meliputi22:
a. Sewa Guna Usaha23;
b. Anjak Piutang24;
c. Usaha Kartu Kredit25;
d. Pembiayaan Konsumen26.

2. Perusahaan Modal Ventura27;

3. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur28;

18 Lihat Pasal 2 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.


19 Lihat Pasal 2 huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; juga
Permen Keuangan No.84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
20 Lihat Pasal 1 huruf b Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
21 Lihat Pasal 1 angka 2 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Permen
Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
22 Lihat Pasal 3 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 2 Permen
Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
23 Lihat Pasal 3 huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; juga
Kepmen Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing).
24 Lihat Pasal 3 huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
25 Lihat Pasal 3 huruf c Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
26 Lihat Pasal 3 huruf d Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
27 Lihat Pasal 2 huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; juga
Kepmen Keuangan No.143/KMK.06/2004 tentang Pemberian Izin Usaha Modal Ventura
Kepada PT Ventura Giant Asia (NPWP: 02.238.381.4-042.000).
28 Lihat Pasal 2 huruf c Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; juga PP
No.75 Tahun 2008 tentang Perubahan atas PP No.66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal
Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang

Bab 1 • Pendahuluan 5
4. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
Lembaga Pembiayaan Ekspor Nasional adalah lembaga keuangan
yang memberikan fasilitas kepada badan usaha termasuk perorangan
dalam rangka mendorong ekspor nasional29.

Berbicara tentang pembiayaan (finance), sebenarnya dibahas


tentang:
1. Konsep dasar pembiayaan, terdiri dari: risiko, return/pengembalian,
dan security.
2. Proses pembiayaan, terdiri dari: mobilisasi, intermediasi, maturity
transformation/analisis pembiayaan yang matang, risk transfer, financial
deepening/mendalam dan financial repression/mengontrol secara ketat
keuangan.
3. Mekanisme finansial, terdiri dari: institusi, instrumen, dan pasar.

Masing-masing kegiatan perusahaan pembiayaan sungguh pun


berbeda-beda dan mempunyai karakteristik sendiri-sendiri, tetapi
masih banyak terdapat persamaannya. Karena semuanya memang
bertujuan untuk memberi kemudahan finansial bagi perusahaan lain.
Dalam menjalankan kegiatan berdasarkan prinsip syariah, juga dilihat
kondisi pelaksanaan lembaga pembiayaan30, bentuk badan usaha
perusahaan pembiayaan, yang hanya membenarkan bentuk perseroan
dan koperasi.
Dengan luas lingkup dari Hukum Lembaga Pembiayaan ini dibatasi
objek pembahasan tertentu dan yang dianggap aktual dalam kehidupan
sehari-hari yang termasuk bagian dari Hukum Lembaga Pembiayaan
tersebut.
Perusahaan lembaga pembiayaan dan kegiatan usaha perusahaan
pembiayaan akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.

Pembiayaan Infrastruktur.
29 Lihat Pasal 1 angka 1 UU No.2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia.
30 John W. Head, Pengaturan Umum Hukum Ekonomi, Proyek ELIPS + FH UI, Jakarta, Cet.
ke-1, 1997, hlm. 13; Felix O. Soebagjo, (et al.), Rancangan Teaching Materials – Hukum Organisasi
Perusahaan, FH UI, Jakarta, 1994, hlm. 68.

6 Hukum Lembaga Pembiayaan


BAB 2 Sewa Guna Usaha

A. PENGERTIAN SEWA GUNA USAHA


Sewa guna usaha (leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi
(finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease)
untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu
tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran31.
Pengertian leasing32 sebagai setiap perjanjian33 dalam kegiatan
pembayaran34 perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang

31 Lihat Pasal 1 angka 5 dan Pasal 3 huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan; juga Kepmen Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna
Usaha (Leasing); pengertian yang sama terdapat pada Pasal 1 huruf c Permen Keuangan No.
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
32 Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan
dan Jaminan Perorangan, Liberty-BPHN, Yogyakarta, Cet.ke-1, 1980, hlm. 54, Subekti. R, Pokok-
Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, Cet.ke-16,1982, hlm. 55-56; Abdulkadir Muhammad
& Rilda Murniati, Segi ….. , op, cit, hlm. 34; Amin Widjaja Tunggal & Arif Djohan Tunggal,
Aspek Yuridis dalam Leasing, Rineka Cipta, Jakarta, Cet.ke-1, 1994, hlm.3; Thomas Suyatno, et
al, Kelembagaan Perbankan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Ed.ke-2, Cet.ke-1, 1993, hlm. 84;
Nur Fatah & Syafaruddin Alwi, Pembelanjaan Perusahaan, Andi Offset, Yogyakarta, Ed.ke-1,
Cet.ke-1, 1989, hlm. 143; kahi & ALI, “Apek Hukum dalam Lease Financing the Legal Aspects of
Leasing in Indonesia”, Sambutan dan Pembukaan Seminar Aspek Hukum Leasing oleh Ketua Ikahi,
Jakarta, Oktober 1986, dimuat dalam Varia Peradilan Edisi Khusus Tahun II No. 16 Januari
1987, hlm. 57.
33 Setelah menentukan bahwa dasar perjanjian leasing adalah ketentuan-ketentuan dalam
KUHPerdata, maka kita harus secara konsisten membentuk perjanjian tersebut menurut KUH
Perdata tersebut sesuai perkembangan interprestasi dan yurisprudensi Indonesia untuk
semua unsur dalam perjanjian leasing, maupun terhadap dampak-dampak di bidang hukum
seperti wanprestasi atau cedera janji. Perjanjian leasing dianggap sebagai kegiatan pembiayaan
dengan aspek-aspek hukum yang menimbulkan kewajiban-kewajiban pembayaran disertai
opsi pembelian dan sering kali disertai pemberian agunan.
34 Lihat SK Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 tgl. 27 November tentang Kegiatan

7
modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan, untuk suatu jangka
waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala disertai dengan
hak pilihan (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang
modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing
berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.
Di sisi lain bahwa perjanjian leasing disebut juga sebagai perjanjian
pengikatan hak bersyarat35 berupa “perjanjian sewa guna usaha (leasing
agreement)” adalah suatu perjanjian di mana seseorang (pemberi sewa guna
usaha/lessor) memberikan hak kepada orang lain (penerima sewa guna usaha/
lessee) untuk menguasai suatu objek pesawat udara (dengan atau tanpa opsi untuk
membeli) dengan kompensasi berupa uang sewa atau pembayaran lainnya.
Apa pun nama perjanjian dalam leasing, harus mencerminkan inti (het
wezen) perjanjian dengan tegas sehingga bentuk hukum peraturan mana
yang berlaku36, hak-hak dan kewajiban-kewajiban pihak-pihak jelas dan
tidak memberi kesempatan atau peluang kepada hakim yang mengadili
perselisihan tentang perjanjian itu untuk memberikan interprestasi lain
atau melaksanakan perjanjian itu lain daripada yang dimaksudkan pihak-
pihak.

B. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN SEWA GUNA USAHA


(LEASING)
Leasing adalah suatu bangunan hukum yang tidak lain merupakan
improvisasi dari pranata hukum konvensional yang disebut sewa-
menyewa37, karena leasing ini dikembangkan dari sewa-menyewa

Sewa Guna Usaha (Leasing): bandingkan bahwa dinyatakan bahwa leasing adalah suatu
kegiatan pembiayaan mengandung pengertian ekonomi. Perusahaan leasing dianggap sebagai
lembaga keuangan serta diperlukan sebagai lembaga keuangan di bidang fiskal. Karena
perjanjian leasing sebenarnya mencakup serangkaian perbuatan dan lembaga hukum yang
tujuan komersialnya adalah untuk membiayai pengadaan barang modal yang dipakai oleh
perusahaan (lesse); lebih lanjut lihat Mohamad Idwan Ganie, “Kontrak Khusus”, Seminar
Aspek Hukum Leasing, Jakarta, Oktober 1986,dimuat dalam Varia Peradilan Edisi Khusus Tahun
II No. 16 Januari 1987, hlm. 113.
35 Llihat Penjelasan Pasal 71 UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
36 Selama ini belum ada suatu undang-undang yang khusus mengatur leasing yang kita
pakai sebagai pedoman.
37 Munir Fuady, Hukum tentang….,op, cit, hlm. 14; Reinsma. M, “Hire Purchase: Purchase

8 Hukum Lembaga Pembiayaan


dalam arti modern, pertama sekali berkembang di Amerika Serikat pada
tahun 1850, yaitu leasing kereta api. Pada tahun 1877 The Bell Telephone
Company memperkenalkan leasing di bidang pelayanan telepon kepada
para pelanggannya. Selanjutnya pada tahun 1952, perusahaan leasing di
San Francisco (USA) memperkenalkan leasing terhadap produk-produk
tertentu.
Di samping itu perusahaan pemegang trademark terkenal juga ikut
menjadi lessor, misalnya GATX untuk leasing railcards, IBM untuk leasing
komputer, Xerox untuk leasing fotokopi. Di Indonesia pertama sekali
dikenal dalam berbagai peraturan perundang-undangan pada tahun
1974, namun sampai tahun 1980 perusahaan leasing di Indonesia hanya
berjumlah 5 buah, pada tahun 1984 menjadi 48 buah dengan total kontrak
Rp436,1 miliar38.
Sungguh perkembangan bisnis leasing sudah mulai terasa di Indonesia,
banyak pihak beranggapan perkembangannya sebenarnya masih jauh dari
yang diharapkan, karena39:
1. bisnis leasing masih terbilang relatif baru;
2. kurang promosi dan lemahnya aturan hukum;
3. masyarakat masih lebih terfokus pada barang-barang primer, dan
belum terhadap barang-barang lainnya;
4. ada anggapan sementara pihak bahwa beban yang dipikul oleh para
pihak lebih besar dibandingkan dengan fasilitas perbankan;
5. untuk leasing barang-barang tertentu dibutuhkan jaminan, sehingga
orang cenderung memilih sistem perbankan;

on Installment, and Leasing in Nethderlands”, Seminar Aspek Hukum Leasing, Jakarta, Oktober
1986, dimuat dalam Varia Peradilan Edisi Khusus Tahun II No. 16 Januari 1987, hlm. 135.
38 Eddy P. Soekadi, Mekanisme Leasing, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 19.
39 Di sisi lain kelebihan leasing yaitu (a) pembiayaan secara leasing merupakan sumber
pembiayaan yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan kredit investasi dari bank,
karena sistem leasing sebagai sarana alternatif pembiayaan pengadaaan barang modal pada
umumnya menggunakan sumber dana yang berasal dari lembaga perbankan; (b) selama
kontrak leasing berlangsung barang modal yang di-lease tidak dapat dijadikan sebagai unsur
aktiva pihak lessee untuk tujuan collaretal kredit; (c) bagi perusahaan-perusahaan tertentu
kadang-kadang timbul masalah prestise antara memiliki sendiri barang modal atau lease,
dalam Marzuki Usman, “Industri …., op, cit, hlm. 130-131.

Bab 2 • Sewa Guna Usaha 9


6. kondisi ini lebih pada aspek ekonominya, sementara dari sisi hukum
masih dibutuhkan beberapa penjelasan dan tafsiran yang seragam
sehingga tidak menimbulkan masalah dalam pelaksanaan perjanjian
leasing40.

Motivasi perjanjian leasing adalah mendapatkan kembali biaya yang


dikeluarkan untuk membiayai penyediaan barang yang di-lease dengan
keuntungan, sedang di lain pihak lessee dalam suatu financial lease ingin
mendapatkan pembiayaan untuk penambahan peralatan atau penggantian
peralatan, tanpa terlihat adanya tambahan jumlah yang terutang olehnya
dalam neraca perseroan lessee, sehingga lessee memenuhi persyaratan debt
quity ratio yang sehat dan pada waktu yang sama lessee mengharapkan
keringanan di bidang fiskal, karena uang sewa leasing dapat dikurangkan
sebagai ongkos perusahaan dan dengan demikian keuntungan perusahaan
yang kena pajak menjadi kecil41.
Dengan demikian, munculnya lembaga leasing (keunggulan leasing)42
tersebut akan mampu memberikan suatu alternatif pembiayaan yang
cukup menarik dalam rangka pengadaan barang modal bagi penguasaan
nasional, yang berarti pula akan lebih melengkapi tersedianya sumber-
sumber pembiayaan jangka menengah dan jangka panjang, yang secara
umum penyediaannya dirasakan masih sangat terbatas.

40 Contoh draf, dalam Sudargo Gautama, Contoh-Contoh Kontrak, Rekes & Surat Resmi
Sehari-Hari Jilid 6, Citra Aditya Bakti, Bandung, Bandung, Cet.ke-1, 1991, hlm. 1-31; Contoh
draf Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia – Buku Kesatu – Jilid I, Alumni,
Bandung, Cet.ke-5, 1992, hlm. 73-161.
41 Lessor dalam operational lease bermaksud untuk mendapatkan penghasilan yang
menguntungkan dari penyediaan barang serta pemberian jasa-jasa yang berkenaan dengan
pemeliharaan serta pengoperasian barang itu, sedangkan lessee dalam operational lease
bermaksud untuk memenuhi kebutuhannya akan peralatan, serta ahli atau pekerja untuk
pemeliharaan pengoperasian peralatan itu, tanpa risiko bagi lessee akan kerusakan atau
tidak bekerjanya alat yang bersangkutan, sambil mendapatkan keuntungan secara fiskal dan
keuntungan di bidang akuntansi. Lessee yang membutuhkan peralatan dihadapkan pada
pilihan.
42 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi ….., op, cit, hlm. 212.; Munir Fuady,
Hukum tentang …., op, cit, hlm. 32.

10 Hukum Lembaga Pembiayaan


C. PENDIRIAN DAN IZIN USAHA SEWA GUNA USAHA
Izin usaha adalah izin mendirikan untuk melakukan kegiatan
usaha di bidang pembiayaan yang ditetapkan oleh menteri43, yang sejak
tanggal 31 Desember 201244 beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
dengan secara jelas mencantumkan dalam anggaran dasarnya kegiatan
pembiayaan yang dilakukan.
Permohonan untuk mendapatkan izin usaha wajib dilampiri
dengan45:
1. Akta pendirian badan usaha termasuk anggaran dasar yang telah
disahkan oleh instansi berwenang, yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. Nama, bentuk usaha dan tempat kedudukan.
Bentuk badan Usaha Perusahaan Pembiayaan Sewa Guna Usaha
(Leasing) dapat dilakukan oleh perusahaan yang berbentuk badan
hukum perseroan terbatas46 atau koperasi47.
b. Kegiatan usaha sebagai perusahaan pembiayaan.
c. Permodalan, ditetapkan:

43 Lihat Pasal 8 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 1 huruf i
Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; Bank Indonesia,
“Pedoman Pelaksanaan Peraturan-Peraturan tentang Pendirian Lembaga Keuangan”,
Penataran Dosen Hukum Perdata/Dagang, dilaksanakan FH UGM, Yogyakarta, 16-28
November/30 November-12 Desember 1992, hlm. 5; dalam rangka meningkatkan peranan
dan kinerja perusahaan pembiayaan yang telah ada baik berupa kegiatan sewa guna usaha,
anjak piutang, usaha kartu kredit dan pembiayaan konsumen, Pemerintah menganggap perlu
mengambil kebijakan dengan menghentikan sementara pemberian izin usaha perusahaan
pembiayaan sejak tanggal 24 April 2002. Hal ini didasarkan pada Keputusan Menteri
Keuangan (Kepmenkeu) No.185/KNK.06/2002 tentang Penghentian Pemberian Izin Usaha
Perusahaan Pembiayaan.
44 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
45 Lihat Pasal 9 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
46 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
47 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.17
Tahun 2012 tentang Perkoperasian.

Bab 2 • Sewa Guna Usaha 11


1) perusahaan swasta nasional sekurang-kurangnya sebesar
Rp100.000.000.000-, (seratus miliar rupiah)48;
2) perusahaan patungan sekurang-kurangnya sebesar
Rp100.000.000.000-, (seratus miliar rupiah)49;
Pemilikan saham oleh Badan Usaha Asing ditentukan paling
besar 85% (delapan puluh lima per seratus) dari Modal
Disetor50.
3) koperasi sekurang-kurangnya sebesar Rp50.000.000.000-,
(lima puluh miliar rupiah)51.
d. Kepemilikan.
Pendirian Perusahaan Pembiayaan Sewa Guna Usaha yang
berbentuk Perseroan Terbatas, sahamnya dapat dimiliki
oleh52:
1) Warga Negara Indonesia dan/atau Badan Hukum
Indonesia53;
2) Badan Usaha Asing dan Warga Negara Indonesia atau Badan
Hukum Indonesia (usaha patungan)54.
Badan usaha Indonesia berupa bank dibolehkan melakukan
kegiatan penyertaan modal pada kegiatan usaha bukan
bank atau perusahaan lain di bidang keuangan, seperti
sewa guna usaha55, dengan memenuhi ketentuan yang

48 Lihat Pasal 13 huruf a Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan


Pembiayaan.
49 Lihat Pasal 13 huruf a Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
50 Lihat Pasal 7 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 14
Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
51 Lihat Pasal 13 huruf b Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
52 Lihat Pasal 7 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 7
ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
53 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
54 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
55 Lihat Pasal 7 huruf b UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun
1992 tentang Perbankan.

12 Hukum Lembaga Pembiayaan


ditetapkan oleh Bank Indonesia (sekarang adalah Otoritas
Jasa Keuangan).
e. Wewenang, tanggung jawab, masa jabatan direksi dan dewan
komisaris atau pengurus dan pengawas.

2. Data direksi dan dewan komisaris atau pengurus dan pengawas,


meliputi:
a. fotokopi tanda pengenal yang berupa kartu tanda penduduk
(KTP) atau paspor;
b. daftar riwayat hidup;
c. surat pernyataan:
1) tidak tercatat sebagai debitur kredit macet di sektor
perbankan;
2) tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang
perbankan;
3) tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
4) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang
mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan
pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap;
5) tidak merangkap jabatan pada perusahaan pembiayaan lain
bagi Direksi;
6) tidak merangkap jabatan lebih dari 3 (tiga) perusahaan
pembiayaan lain bagi Komisaris;
d. bukti pengalaman operasional di bidang perusahaan pembiayaan
atau perbankan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun bagi
salah satu direksi atau pengurus;
e. fotokopi kartu izin menetap sementara (KIMS) dan fotokopi
surat izin bekerja dari instansi berwenang bagi warga negara
asing.

Bab 2 • Sewa Guna Usaha 13


3. Data pemegang saham atau anggota dalam hal:
a. Perorangan, wajib dilampiri dengan dokumen serta surat
pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman56
dan kegiatan pencucian uang (money laundering).
b. Badan hukum, wajib dilampiri dengan:
1) akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar
berikut perubahan-perubahan yang telah mendapat
pengesahan dari instansi berwenang termasuk bagi badan
usaha asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara
asal;
2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik
dan laporan keuangan terakhir57;
3) dokumen yang sama dengan angka 2 huruf a, b, dan c bagi
pemegang saham dan direksi atau pengurus.

4. Sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia.


a. Perusahaan pembiayaan dapat melakukan akuisisi, konsolidasi,
dan merger.
Akuisisi adalah pengambilalihan, baik seluruh maupun sebagian
bear saham Perusahaan Pembiayaan yang dapat mengakibatkan
beralihnya pengendalian terhadap Perusahaan Pembiayaan58.
Konsolidasi adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan
Pembiayaan atau lebih, dengan cara mendirikan Perusahaan
Pembiayaan baru dan membubarkan Perusahaan-perusahaan
Pembiayaan tersebut dengan atau tanpa likuidasi59.

56 Lihat lebih lanjut SK Menteri Keuangan No.606/KMK.017/1995 tgl. 19 Desember


1995 tentang Ketentuan Pinjaman yang Diterima, Penyertaan, dan Pelaporan Perusahaan
Pembiayaan.
57 Lihat lebih lanjut Surat Edaran Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan No.SE-1087/
LK/1996 tgl. 26 Februari 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelaporan dan Sanksi bagi
Perusahaan Pembiayaan.
58 Lihat Pasal 1 huruf j Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
59 Lihat Pasal 1 huruf k Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.

14 Hukum Lembaga Pembiayaan


Merger adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan
Pembiayaan atau lebih dengan cara tetap mempertahankan
berdirinya salah satu Perusahaan Pembiayaan lainnya dengan
atau tanpa likuidasi60.
Pelaksanaan merger dan akuisisi wajib dilaporkan kepada
Menteri Keuangan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari
setelah merger dan akuisisi dilakukan, dengan melampirkan
(a) notulen RUPS atau rapat anggota; (b) perubahan anggaran
dasar yang telah disahkan atau dilaporkan kepada instansi
berwenang dan didaftarkan dalam daftar perusahaan; (c) akta
jual beli atau akta merger; (d) data pemegang saham, direksi,
dan dewan komisaris atau anggota pengurus dan pengawas; (e)
status kantor perusahaan pembiayaan yang menggabungkan
diri, di mana kantor pusat dan kantor cabangnya masih dapat
berjalan sebagai kantor hasil merger.
b. Kantor cabang
Kantor cabang adalah unit usaha dari suatu perusahaan
pembiayaan yang diperkenankan menjalankan semua jenis
usaha perusahaan pembiayaan dan menyelenggarakan tata
usaha/pembukuan sendiri, tetapi dalam mengatur usahanya
tunduk pada segala ketentuan yang berlaku bagi kantor pusat
perusahaan pembiayaan yang bersangkutan61, dan hanya dapat
dilakukan dengan izin menteri.

5. Fotokopi bukti pelunasan modal disetor dalam bentuk deposito


berjangka pada salah satu bank umum di Indonesia dan dilegalisasi
oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama dalam proses
pengajuan izin usaha.

60 Lihat Pasal 1 huruf l Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan


Pembiayaan.
61 Lihat Pasal 1 huruf m Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan; juga SK Menteri No. Kep-1063/KMK.00/1988 tgl. 27 Oktober 1988 tentang
Pembukuan Kantor Cabang Lembaga Keuangan Bukan Bank.

Bab 2 • Sewa Guna Usaha 15


6. Rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. Rencana pembiayaan dan langkah-langkah yang dilakukan
untuk mewujudkan rencana dimaksud;
b. Proyeksi arus kas/neraca dan perhitungan laba/rugi bulanan
dimulai sejak Perusahaan Pembiayaan melakukan kegiatan
operasional.

7. Bukti kesiapan operasional, antara lain berupa:


a. Daftar aktiva tetap dan inventaris;
b. Bukti kepemilikan, penguasaan, atau perjanjian sewa-menyewa
gedung kantor;
c. Contoh perjanjian pembiayaan yang akan digunakan;
d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

8. Perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia


bagi perusahaan patungan.

9. Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah


(P4MN).
Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha diberikan
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap62, dan berlaku sejak tanggal
ditetapkan untuk tenggang waktu selama perusahaan masih
menjalankan usahanya63.
Perusahaan pembiayaan wajib menjalankan kegiatan usaha
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
izin usaha ditetapkan64, dengan ancaman pencabutan izin apabila

62 Lihat Pasal 10 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
63 Lihat Pasal 10 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
64 Lihat Pasal 12 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.

16 Hukum Lembaga Pembiayaan


tidak melaksanakan kegiatan usaha65. Perusahaan pembiayaan setelah
melaksanakan kegiatan usaha wajib melaporkannya paling lambat
10 (sepuluh) hari setelah kegiatan usaha dimulai66.

D. CIRI-CIRI LEASING
Ciri-ciri umum leasing adalah:
1. Pihak-pihak dalam leasing terdiri dari: (a) lessor67 yang harus berbentuk
perseroan atau koperasi dan telah memperoleh izin usaha dari
Menteri Keuangan68; (2) lessee; dan (3) supplier.
Penyewa Guna Usaha (Lessee) adalah perusahaan atau perorangan
yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari
Perusahaan Pembiayaan (Lessor)69.

65 Lihat Pasal 12 ayat (3) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
66 Lihat Pasal 12 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
67 Segala sesuatu yang berkenaan dengan pendirian, izin usaha, permodalan,
kepengurusan, merger, akuisisi, konsolidasi, kantor cabang, pinjaman dan penyertaan,
perkantoran, nama, laporan, pengawasan, pencabutan izin usaha dan sanksi bagi perusahaan
penerbit kartu kredit secara mutatis mutandis berlaku ketentuan Perubahan Kepmenkeu No.
448/KMK.017/2000 jo Kepmenkeu No. 172/KMK.06/2002 tgl. 23 April 2002 tentang Perubahan
Kepmenkeu No. 48/KMK.017/2000 kecuali ditentukan lain sebagai penyimpangan dalam
peraturan tersendiri; yang telah diuraikan pada pendahuluan pembahasan di Bab I tentang
Lembaga Pembiayaan. Lihat Ketentuan SE Direktur Jenderal Moneter Dalam Negeri No. SE-
4835/MD/1983 tgl. 1 September 1983 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pendirian Kantor
Cabang dan Kantor Perwakilan Perusahaan Leasing.
68 Lihat Pasal 5 SK Menkeu RI No.: Kep-649/MK/IV/5/1974 dan Pengumuman Dirjend.
Moneter No. Peng-307/DJM/III.1/7/1974; SK Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian
dan Menteri Perdagangan No.Kep-122/MK/IV/2/1974; No.32/M/SK/2/1974; No.30/Kpb/I/1974
tgl. 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing; tindak lanjutnya dikeluarkan SK Menteri
Keuangan No.Kep-649/MK/IV/5/1974 tgl. 6 Mei 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing; lihat
Pengumuman Direktur Jenderal Moneter No.: Peng-307/DJM/III.I/7/1974 tgl. 8 Juli 1974
tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Leasing; dilanjut SE Direktur Jenderal Moneter
Dalam Negeri No. SE-2815/MD/1983 tgl. 13 Agustus 1983 tentang Ketentuan Perpanjangan
Izin Usaha Perusahaan Leasing dan Perpanjangan Penggunaan Tenaga Warga Negara Asing
pada Perusahaan Leasing; artinya sehingga setiap orang/badan hukum yang menurut
ketentuan-ketentuan umum dalam hukum perdata dapat dan mampu melakukan tindakan
hukum (handelings bekwaam); bandingkan dengan Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati,
Segi …., op, cit, hlm. 203.
69 Lihat Pasal 1 huruf d Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.

Bab 2 • Sewa Guna Usaha 17


2. Leasing adalah suatu cara pembiayaan yang dilakukan dalam bentuk
pengadaan barang modal bagi lessee, baik dengan maupun tanpa
hak opsi untuk membeli barang tersebut70.

3. Perjanjian leasing71 itu harus tertulis dengan tujuan pengawasan72


dan pembuktian73, yang disertai dengan pembuatan dokumentasi
yang diperlukan dalam leasing74.

70 Lihat lanjut Ketentuan Pasal 3 ayat (1) Kepmenkeu No.448/KMK.017/2000.


71 Lihat Pasal 9 SK Menteri Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tgl. 27 November 1991
tentang Kegiatan Sewa Guna USaha (Leasing); lihat contoh Perjanjian Sewa Dasar Guna
Usaha, dalam Amin Widjaja Tunggal & Arif Djohan Tunggal, Aspek …, op, cit, hlm. 175-
212; bandingkan penjelasan dalam hlm.7.; juga Mariam Darus Badrulzaman, Aneka…, op,
cit, hlm.32.; Omar Ishananto, “Leasing (Perjanjian Sewa Guna Usaha) di Bidang Property”,
lokakarya Keliling “Hukum Kontrak”, Proyek Elips, Februari 1998, hlm. 167; Kartini Mulyadi,
“Perjanjian Leasing”, Seminar Aspek Hukum Leasing, Jakarta, Oktober 1986, dimuat dalam
Varia Peradilan Edisi Khusus Tahun II No. 16 Januari 1987, hlm. 66; Mohamad Idwan Ganie,
Kontrak …, op, cit. hlm. 114.
72 Lihat Ketentuan SE Direktur Jenderal Moneter Dalam Negeri No.SE-499/MD/1984
tgl. 24 Januari 1984 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penyampaian Laporan Perusahaan
Leasing; lihat Pasal 20-23 SK Menteri Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tgl. 27 November
1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing); bandingkan dalam Keputusan Menteri
Keuangan dan Keputusan Bersama ditentukan antara lain sebagai berikut: “dalam rangka
pengawasan, pengusaha leasing diharuskan menyampaikan kepada Direktorat Lembaga-
Lembaga Keuangan, kopi kontrak leasing”. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan
bahwa perjanjian leasing harus tertulis. Pengumuman Direktur Jenderal Moneter tersebut
tidak mengatur apakah perjanjian leasing harus berbentuk akta otentik atau akta di bawah
tangan.
73 Ditinjau dari sudut hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia, Pasal 1870 KUH
Perdata, bukti yang paling kuat adalah bukti dalam bentuk akta otentik. Pasal 1870 KUH
Perdata menentukan bahwa: “Akta otentik merupakan bukti kebenaran seluruh isi akta yang
bersangkutan sampai ada orang/pihak lain yang membuktikan kebalikannya (prima facie
evidence)”. Karenanya, orang yang membantah kebenaran akta otentik, harus membuktikan
apakah akta itu palsu, dibuat dengan paksaan, keliru atau dibuat dengan penipuan. Jadi,
beban pembuktian ada pada orang/pihak yang menyangkal kebenaran-kebenaran akta
otentik tersebut. Akta di bawah tangan baru mempunyai kekuatan pembuktian jika pihak
yang menandatangani akta tersebut mengakui tanda tangannya dalam akta tersebut.
Sedangkan mengenai tanggalnya tidak mempunyai kekuatan bukti terhadap pihak
ketiga yang menyangkalnya. Jikalau ada orang/pihak yang membantah kebenaran isi dan
tanggalnya, maka beban pembuktian ada pada orang yang menandatangani akta di bawah
tangan tersebut, atau pihak yang memakai akta di bawah tangan itu sebagai bukti, untuk
membuktikan bahwa isi dan tanggal akta itu benar. Banyak perusahaan leasing menyadari hal
ini maka banyak di antara mereka yang membuat perjanjian leasing secara notariil.
74 Munir Fuady, Hukum tentang …, op, cit, hlm. 48.

18 Hukum Lembaga Pembiayaan


4. Adanya hubungan antara jangka waktu lease dan masa kegunaan
benda yang di-lease-kan75.

5. Hak milik benda yang di-lease-kan ada pada lessor76. Hal ini
menimbulkan dampak di bidang akuntansi77 dan di bidang
hukum78.

6. Objek leasing adalah benda-benda yang dipergunakan dalam suatu


perusahaan79.
a. Objek leasing biasanya dibeli lessor atas permintaan lessee80 dari
supplier menurut spesifikasi yang ditentukan lessee, barang
langsung diserahkan kepada lesse oleh supplier, dan setelah lessor
menerima pemberitahuan dari lesse bahwa ia telah menerima

75 Inilah perbedaan pokok dengan sewa biasa. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa
masa leasing dalam suatu finansial adalah sama dengan masa kegunaan ekonomis benda
yang di-lease-kan.
76 Untuk antisipasi selanjutnya perlu diingat Pasal 1977 KUH Perdata yang mengatur
bahwa “bezit geldt als volkomen title voor roerende goederen” , lessee sebagai pemegang yang
menguasai barang, dapat dianggap sebagai pemilik yang sah oleh pihak ketiga yang tidak
mengetahui adanya hubungan leasing. Demikian juga kalau diperhatikan Pasal 3 ayat (3)
Kepmenkeu No.448/KMK.017/2000, yang menyatakan sepanjang sewa guna usaha masih
berlaku, maka hak milik atas barang modal sebagai objek transaksi sewa guna usaha masih
berada pada perusahaan pembiayaan; bandingkan dengan Munir Fuady, Hukum tentang ….,
op, cit, hlm. 43.
77 Seperti penyusutan; lihat Pasal 13 SK Menteri Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tgl. 27
November 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna usaha (Leasing).
78 Antara lain dalam hal melaksanakan perjanjian leasing apabila terjadi cedera janji atau
wanprestasi dan dalam hal kepailitan. Lebih lanjut lihat Abdulkadir Muhammad & Rilda
Murniati, Segi …., op,cit, hlm.214-224.; Azikin Kusumah Atmadja. Z, “The Legal Aspects of
Leasing in Indonesia”, Seminar Aspek Hukum Leasing, Jakarta, Oktober 1986, dimuat dalam
Varia Peradilan Edisi Khusus tahun II No. 16 Januari 1986, hlm. 92-94; Gani Djemat, “Soal-Soal
Hukum yang Dihadapi oleh Industri Leasing di Indonesia”, Seminar Aspek Hukum Leasing,
Jakarta, Oktober 1986, dimuat dalam Varia Peradilan Edisi Khusus Tahun II No.16 Januari
1987, hlm. 95-104.
79 Pengertian benda-benda yang dipergunakan untuk suatu perusahaan harus diberi
pengertian luas, yakni benda-benda yang dipergunakan untuk menjalankan perusahaan, jadi
tidak saja mesin-mesin untuk berproduksi, tetapi juga kendaraan bermotor dan komputer
misalnya. Jelasnya objek leasing dapat berupa barang bergerak maupun tidak bergerak. Lihat
lebih lanjut Ali Ridho. R, Hukum…, op, cit, hlm. 309.
80 Pasal 1 huruf (d) Keputusan Menteri Keuangan (Kepmenkeu) No.448/KMK.017/2000,
menyebutkan Penyewa Guna Usaha (Lessee) adalah perusahaan atau perorangan yang
menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari perusahaan pembiayaan (Lessor).

Bab 2 • Sewa Guna Usaha 19


barang dengan baik, lessor akan membayar harga barang kepada
supplier81.
b. Objek leasing harus diperinci apa jenisnya, kuantitasnya,
lokasinya, dan lain-lain, penting demi kepastian hukum semua
pihak dalam perjanjian leasing82.

Untuk lebih mengamankan kepentingan lessor atas objek-objek


yang di-lease-kan, perlu dibuat daftar barang-barang yang telah
menjadi objek perjanjian leasing.

7. Opsi bagi lessee untuk membeli objek leasing83.


Setelah jangka waktu leasing berakhir dan memenuhi semua
kewajibannya berdasarkan perjanjian leasing, maka lessee mempunyai
hak opsi untuk membeli barang. Bila tidak menggunakan hak opsi
untuk membeli atau memperpanjang leasing, maka lessee wajib
mengembalikan barang atas biaya lesse kepada lessor, dalam keadaan
baik dan tempat yang ditentukan lessor.

81 Menurut Pengumuman Direktur Jenderal Moneter tersebut, “barang yang dapat


di-leasing harus dimiliki oleh lessor dan diambil dari produksi dalam negeri”. Karenanya
salah satu hal yang harus diperhatikan bahwa barang yang di-lease-kan benar-benar milik
lessor secara sah, berdasarkan peraturan yang berlaku bagi jenis barang yang bersangkutan.
Pengecualian hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Menteri Keuangan setelah
mendengar departemen teknis yang bersangkutan.
82 Ketentuan ini penting sehubungan dengan Pasal 1365 dan Pasal-Pasal 1367 KUH
Perdata, di mana ditentukan bahwa tiap-tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian kepada orang/pihak lain, mewajibkan yang karena salahnya atau karena
kelalaiannya atau kurang hati-hatinya, menerbitkan kerugian itu, untuk mengganti kerugian
tersebut. Orang tersebut juga bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan perbuatan
yang dilakukan oleh orang yang menjadi tanggungannya atau oleh karena barang yang di
bawah pengawasannya.
83 Lihat Pasal 10-12 SK Menteri Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tgl. 27 November 1991
tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing); bandingkan sebaliknya harga beli ditentukan
dengan tegas dalam perjanjian. Setelah pembayaran dengan tunai lessee menjadi pemilik
barang. Lessee juga berhak untuk melepaskan haknya untuk membeli dan memilih untuk
memperpanjang masa lease dengan syarat-syarat yang disetujui bersama.

20 Hukum Lembaga Pembiayaan


8. Adanya jaminan kebendaan yang diberikan berupa benda yang di-
lease-kan84, dan eksekusi jika cicilan macet85 serta pengaturan tentang
putusnya perjanjian leasing86.

E. USAHA SEWA GUNA USAHA


1. Kegiatan Usaha Sewa Guna Usaha
Kegiatan Sewa Guna Usaha dilakukan dalam bentuk pengadaan
barang modal bagi Penyewa Guna Usaha, baik dengan maupun tanpa
hak opsi untuk membeli barang tersebut87.
Ketentuan lebih lanjut yang mengatur tentang pelaksanaan kegiatan
usaha Sewa Guna Usaha diatur oleh Menteri88, yang sejak tanggal 31
Desember 201289 beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang
antara lain:
a. Menerbitkan Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) dengan memenuhi
prinsip kehati-hatian (prudential principles)90.
Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) adalah surat pernyataan
kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu

84 Selanjutnya, pengikatan yang dibuat oleh lessee dalam perjanjian financial leasing itu
berupa pengikatan untuk membayar imbalan jasa financial leasing secara teratur dan menurut
apa yang ditetapkan. Jaminan ada yang diberikan lessee kepada lessor dalam menepati janji-
janjinya untuk melakukan pembayaran, karena benda yang diperjanjikan berada di tangan
atau penguasaan lessee. Karena konsepsi bahwa perjanjian financial leasing itu adalah pada
intinya suatu perjanjian pembiayaan, maka dapat dimengerti bahwa lessor juga minta agunan
sebagai jaminan bagi terlaksananya kewajiban-kewajiban lessee menurut ketentuan-ketentuan
perjanjian financial leasing. Jaminan-jaminan yang biasanya diberikan adalah sama dengan
jaminan-jaminan untuk kredit perbankan, seperti gadai, hipotek, penyerahan hak milik
atas barang secara fiducial, cessie hasil asuransi dan jaminan pribadi atau jaminan perseroan;
selanjutnya lihat Kartini Mulyadi, “Perjanjian…., op, cit. hlm. 66; Munir Fuady, Hukum tentang
…, op, cit. hlm. 37.
85 Ibid, hlm. 64.
86 Ibid, hlm. 53.
87 Lihat Pasal 3 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
88 Lihat Pasal 8 dan Pasal 10 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
89 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
90 Lihat Pasal 10 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.

Bab 2 • Sewa Guna Usaha 21


kepada pihak yang tercantum dalam surat tersebut atau kepada
penggantinya91.

b. Melakukan pembiayaan terhadap pesawat udara92.


Perjanjian sewa guna usaha (leasing agreement) atas objek pesawat
udara adalah suatu perjanjian di mana seseorang (pemberi sewa
guna usaha/lessor) memberikan hak kepada orang lain (penerima
sewa guna usaha/lessee) untuk menguasai suatu objek pesawat udara
(dengan atau tanpa opsi untuk membeli) dengan kompensasi berupa
uang sewa atau pembayaran lainnya93.
Alasan dibutuhkannya leasing pesawat udara karena untuk
kegiatan usaha penunjang angkutan udara dalam bentuk penyewaan
pesawat udara (aircraft leasing)94.
Apabila terjadi cedera janji dalam hubungan perjanjian sewa
guna usaha pesawat udara, maka kreditur dapat meminta penetapan
dari pengadilan negeri95 untuk memperoleh tindakan sementara
berdasarkan perjanjian tanpa didahului pengajuan gugatan pada
pokok perkara untuk melaksanakan tuntutannya di Indonesia
dan tanpa para pihak mengikuti mediasi yang diperintahkan oleh
pengadilan96.
Penetapan pengadilan negeri dilakukan dalam jangka
waktu97:
1) Paling lama 10 (sepuluh) hari kalender sejak permohonan diterima
untuk memberikan perlindungan terhadap objek pesawat udara

91 Lihat Pasal 1 angka 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
92 Lihat Penjelasan Umum, Pasal 25 huruf c, Pasal 71, Pasal 81 jo Pasal 370 ayat (3) huruf
d UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
93 Lihat Penjelasan Pasal 71 UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
94 Lihat Penjelasan Pasal 131 ayat (1) UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
95 Lihat Penjelasan Pasal 79 UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; menyebutkan
”pengadilan negeri” adalah pengadilan negeri yang dipilih oleh para pihak atau pengadilan
negeri Indonesia yang memiliki kompetensi relatif dalam hal tidak adanya pilihan pengadilan
dalam perjanjian.
96Lihat Pasal 79 ayat (1) UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
97 Lihat Pasal 79 ayat (2) UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

22 Hukum Lembaga Pembiayaan


dan nilainya, penguasaan, pengendalian atau pengawasan, dan/
atau larangan memindahkan objek pesawat udara;
2) Paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak permohonan
diterima untuk memberikan sewa guna usaha atau pengelolaan
objek pesawat udara dan pendapatan yang diterima dari hal
tersebut, serta penjualan dan penggunaan hasil penjualan dari
objek pesawat udara.

Pengadilan, kurator, pengurus kepailitan, dan/atau debitur harus


menyerahkan penguasaan objek pesawat udara kepada kreditur yang
berhak dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Pemerintah98.
Tagihan-tagihan tertentu memiliki prioritas terhadap tagihan
dari pemegang kepentingan internasional yang terdaftar atas objek
pesawat udara99, misalnya:
1) hak karyawan perusahaan angkutan udara atas gaji yang belum
dibayar yang timbul sejak dinyatakan cedera janji menurut
perjanjian pembiayaan atau sewa guna usaha atas objek pesawat
udara;
2) hak dari otoritas di Indonesia terkait dengan pajak atau tagihan
lainnya yang belum dibayar yang timbul dari atau terkait dengan
penggunaan objek pesawat udara, dan timbul sejak dinyatakan
cedera janji menurut perjanjian pembiayaan atau sewa guna
usaha atas objek pesawat udara tersebut;
3) hak lainnya dari pihak yang memperbaiki objek pesawat udara
yang berada dalam penguasaannya sepanjang perbaikan tersebut
mempunyai nilai tambah bagi objek pesawat udara tersebut.

Ketentuan dalam “Konvensi Internasional Mengenai Kepentingan


Internasional dalam Peralatan Bergerak dan Protokol Mengenai
Masalah-Masalah Khusus pada Peralatan Pesawat Udara”, karena
Indonesia merupakan pihak dalam konvensi tersebut (telah
diratifikasi) sehingga aturan konvensi berlaku dan mempunyai

98 Lihat Pasal 80 UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.


99 Lihat Pasal 81 UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Bab 2 • Sewa Guna Usaha 23


kekuatan hukum mengingat dan harus dipatuhi di Indonesia, yang
dalam istilah lainnya bahwa konvensi internasional dimaksud apabila
berhubungan dengan aturan dan ketentuan lain yang berlaku di
Indonesia dapat dijadikan sebagai ketentuan hukum khusus (lex
specialis)100. Ketentuan hukum khusus adalah dalam hal terjadi
pertentangan atau perbedaan pengaturan antara ketentuan dalam
konvensi, protokol atau deklarasi dengan peraturan perundang-
undangan Indonesia, ketentuan-ketentuan dari konvensi, protokol,
dan deklarasi tersebut yang berlaku.

c. Melakukan pembiayaan terhadap kapal dengan tujuan pemberdayaan


industri angkutan perairan nasional101.
Pemberian fasilitas di bidang pembiayaan adalah102:
1) mengembangkan lembaga keuangan nonbank khusus untuk
pembiayaan pengadaan armada niaga nasional;
2) memfasilitasi tersedianya pembiayaan bagi pengembangan
armada niaga nasional baik yang berasal dari perbankan dan
lembaga keuangan nonbank dengan kondisi pinjaman yang
menarik.

d. Dalam kegiatan sewa guna usaha, pengadaan barang modal dapat


juga dilakukan dengan cara membeli barang Penyewa Guna Usaha
yang kemudian digunasewausahakan kembali103.

2. Larangan Kegiatan bagi Sewa Guna Usaha

Lembaga Pembiayaan Sewa Guna Usaha dilarang menarik dana


secara langsung dari masyarakat dalam bentuk104:
a. giro;

100 Lihat Pasal 82 UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.


101 Lihat Pasal 57 ayat (1) huruf a UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
102 Lihat Penjelasan Pasal 57 ayat (1) huruf a UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
103 Lihat Pasal 3 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
104 Lihat Pasal 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.

24 Hukum Lembaga Pembiayaan


b. deposito;
c. tabungan.

Di samping larangan tersebut di atas juga Perusahaan Pembiayaan


Sewa Guna Usaha dilarang membuat suatu perjanjian dengan distributor
atau merchant tertentu yang menentukan bahwa satu-satunya sebagai
pemasok dan/atau penyedia barang dan/atau jasa105.

3. Kewajiban Perusahaan Sewa Guna Usaha

Kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan


lembaga pembiayaan sewa guna usaha dalam menjalankan aktivitasnya,
antara lain:
a. Wajib memiliki piutang pembiayaan sekurang-kurangnya sebesar
40% (empat puluh persen) dari total Aktiva106.

b. Menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa yang apabila


meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna Jasa
maka Perusahaan Pembiayaan adalah sebagai pihak pelapor kepada
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)107.

c. Menerapkan sistem lembaga keuangan ramah lingkungan hidup,


yaitu suatu sistem lembaga keuangan yang menerapkan persyaratan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam kebijakan
pembiayaan dan praktik sistem lembaga keuangan bank dan lembaga
keuangan nonbank108.

105 Lihat Penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
106 Lihat Pasal 11 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
107 Lihat Pasal 17 ayat (1) huruf a angka (2) dan Pasal 18 ayat (3) huruf d UU No.8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
108 Lihat Penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf c UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Bab 2 • Sewa Guna Usaha 25


4. Hak bagi Perusahaan Sewa Guna Usaha
Hak yang diperoleh oleh Lembaga Keuangan Perusahaan Sewa Guna
Usaha dalam menjalankan aktivitasnya, antara lain:
a. Tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai terhadap jasa sewa guna
usaha yang diberikan109.
Namun apabila diperhatikan dari sisi pengalihan barang maka
Penyerahan Barang Kena Pajak dapat terjadi karena perjanjian sewa
beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing)110. Yang dimaksud
dengan “pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa
guna usaha (leasing)” adalah penyerahan Barang Kena Pajak yang
disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak
opsi.
Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha
Kena Pajak dalam rangka perjanjian sewa guna usaha (leasing)
dengan hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap diserahkan langsung
dari Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) kepada pihak yang
membutuhkan barang (lessee).

b. Tidak dikenakan Pajak Penghasilan atas pembentukan atau


pemupukan dana cadangan atas piutang tak tertagih untuk usaha
sewa guna usaha dengan hak opsi111.

c. Tidak dikenakan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang dibayar


atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi
sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan112.

109 Lihat Pasal 4A ayat (3) huruf d UU No.42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.
110 Lihat Pasal 1A ayat (1) huruf b dan Penjelasannya UU No.42 Tahun 2009 tentang
Perubahan Ketiga atas UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
111 Lihat Pasal 9 ayat (1) huruf c UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
112 Lihat Pasal 24 ayat (4) huruf h UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

26 Hukum Lembaga Pembiayaan


d. Sepanjang perjanjian Sewa Guna Usaha masih berlaku, hak milik
atas barang modal objek transaksi Sewa Guna Usaha berada pada
Perusahaan Pembiayaan113.

5. Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa atau yang berwenang memeriksa, memutus,


dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama atas kegiatan leasing
adalah Pengadilan Negeri, namun bagi pembiayaan dengan leasing yang
menggunakan konsep syariah adalah Pengadilan Agama114.

F. JENIS-JENIS LEASING
Dari kegiatan yang dilakukan dalam bidang leasing, maka diperoleh
jenis-jenis leasing, terdiri dari115:

1. Financial Leasing

Financial Leasing ini kalau dikategorikan terhadap macam leasing


adalah termasuk bagian dari leasing116 pada umumnya yang dikenal sehari-
hari. Isi perjanjian finansial harus memuat keterangan mengenai117:

113 Lihat Pasal 3 ayat (3) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
114 Lihat Penjelasan Pasal 49 huruf i dan huruf h UU No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; Perma No.2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
115 Ibid, hlm. 19; Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi …, op, cit. hlm. 205;
Angky Tisnadisastra, “Bentuk dan Mekanisme Leasing di Indonesia”, Seminar Aspek Hukum
Leasing, Jakarta, Oktober 1986, dimuat dalam Varia Peradilan Edisi Khusus Tahun II No.16
Januari 1987, hlm. 105.
116 Munir Fuady, Hukum tentang …, op, cit. hlm. 20; Amin Widjaja Tunggal & Arif Djohan
Tunggal, Aspek…., op, cit. hlm.25.
117 Lihat pengumuman Direktur Jenderal Moneter Nomor Peng-307/DJM/III.1/7/1974.

Bab 2 • Sewa Guna Usaha 27


a. Objek perjanjian financial leasing, untuk barang tidak bergerak118,
misalnya kapal119, dan rumah, mengandung unsur perjanjian sewa-
menyewa120.
Berdasarkan azas hukum terhadap barang tetap yang
menganut azas pelekatan (natrekking), timbul kesulitan manakala
akan ditanggungkan atau dijual. Hak lessor akan kalah terhadap
pemegang hak tanggungan yang mempunyai hak prioritas atas
barang berdasarkan Pasal 1133 KUH Perdata jo UU No. 4 Tahun
1996, maka untuk itu perlu dibuat perjanjian khusus121 tentang hal
ini122.

118 Harap diperhatikan bahwa barang bergerak dapat dianggap menjadi barang tidak
bergerak karena tujuan pemakaiannya ataupun karena barang tersebut dlekatkan (aard en
nagelvas) pada tanah/bangunan. Misalnya: mesin-mesin di pabrik.
119 Lihat lanjut Ketentuan Pasal SK Menteri Perhubungan No.KM 82 Tahun 1988 tgl.
21 November 1988 tentang Persyaratan Pendaftaran dan Operasional Kapal Laut yang
Diperbolehkan dengan Cara Sewa Guna Usaha (Leasing); tetapi sampai sekarang hampir
tidak dilakukan leasing kapal karena ketentuan yang berlaku bahwa pemilik kapal juga
wajib mengoperasikan kapal, sehingga lessor tidak dapat mendaftarkan sebagai pemilik
kapal. Dalam leasing, lessor harus menjadi pemilik kapal tetap pengoperasiannya dilakukan
oleh lesse. Sepanjang kami ketahui baru PT PANN saja yang diberi izin khusus sebagai
pengecualian atas persyaratan bahwa pihak yang memiliki kapal harus sama dengan yang
mengoperasikan kapal itu.
120 Dalam hal ini harus diperhatikan adanya peraturan-peraturan sewa-menyewa di
Indonesia, misalnya ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963
tentang Hubungan Sewa Menyewa Perumahan; jo Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun
1981 tentang Perubahan atas PP No. 49 Tahun 1963 tentang Hubungan Sewa-Menyewa
Perumahan.
121 Bila tanah dan bangunan tersebut milik lessee maka dalam perjanjian leasing dapat
dimasukkan ketentuan-ketentuan pengamanan, misalnya bahwa: (a) lessee dilarang untuk
melekatkan (menghubungkan secara tetap) barang yang di-lease dengan tanah/bangunan/
barang-barang lain sehingga barang yang di-lease menjadi bagian tanah/bangunan/barang-
barang lain tersebut, kecuali dengan izin tertulis lessor. Dengan demikian tentunya lessor
hanya memberikan izin setelah mendapatkan kepastian bahwa hak milik atas objek leasing
tidak terancam hak agunan atau bahaya lain; (b) lessee dilarang selama jangka waktu leasing
untuk memindahtangankan atau mengagunkan tanah/bangunan tempat objek leasing berada,
tanpa terlebih dahulu mendapatkan izin tertulis lessor; (c) dalam perjanjian dibuat suatu
ketentuan bahwa lessee wajib memberitahukan pihak ketiga termasuk petugas Pengadilan
bahwa barang tersebut milik lessor.
122 Tetapi ketentuan semacam ini tidak banyak faedahnya karena perjanjian financial
leasing dibuat hanya antara lessee dan lessor saja sehingga berdasarkan Pasal 1315 jo Pasal
1318 KUH Perdata, ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut hanya mengikat lesee dan
lessor, para ahlli waris atau pihak yang memperoleh hak darinya kecuali ditegaskan secara
lain. Jadi pada umumnya tidak mengikat pihak ketiga. Hal ini biasanya dihindari dengan

28 Hukum Lembaga Pembiayaan


b. Jangka waktu financial leasing123.
Pada prinsipnya selama masa leasing berjalan, lessee tidak berhak
mengakhiri perjanjian leasing. Tetapi lessor dan lessee dapat
menyimpang dari hal tersebut, asalkan lessee memenuhi syarat
pembayaran tunai kepada lessor atas uang sewa dan ongkos-ongkos
lainnya.

c. Harga sewa serta cara pembayarannya124.


Kewajiban utama lessee adalah untuk membayar imbalan jasa leasing
secara berkala sebagaimana ditentukan dalam perjanjian leasing,
berupa biaya pemesanan, pengangkutan barang, pemasangan,
asuransi, bunga, pajak-pajak, dan ongkos-ongkos lain yang
berdasarkan ketentuan perjanjian leasing harus ditanggung oleh
lessee.
Perlu kiranya ditentukan tempat di mana pembayaran harus
dilakukan atas mekanisme pembayaran melalui bank, maupun mata
uang yang harus digunakan.

memasanng tanda-tanda yang menyatakan hak milik lessor atas barang yang bersangkutan.
Bilamana misalnya karena sesuatu sebab Pengadilan menyita tanah/bangunan tempat barang
berada/melekat, maka mungkin barang tersebut ikut serta tersita, kalau tidak ada tanda-
tanda tegas bahwa barang-barang itu bukan milik lessee. Kesulitan yang lebih besar akan
dihadapi lessor bilamana barang objek leasing ditempatkan di atas tanah dan bangunan milik
orang ketiga yang bukan lessee. Pihak ketiga tidak terikat pada perjanjian financial leasing
sehingga ia boleh saja mengagunkan tanah/bangunannya, maka penting sekali mengetahui
keadaan sebenarnya sebelum perjanjian ditandatangani agar dapat dibuat klausula-klausula
pengamanan, dan/atau dimintakan pernyataan tertulis kreditur bahwa barang yang di-lease
itu tidak termasuk agunannya.
123 Biasanya jangka waktu dimulai dari saat lessee menerima barang leasing sampai jam
waktu yang disepakati para pihak. Apabila terjadi kejadian kelalaian (event of default) maka
lessor dalam hal tersebut berhak untuk seketika mengakhiri perjanjian leasing. Misalnya,
bilamana lessee lalai memenuhi kewajibannya, pailit, dicabut izin usahanya, objek leasing
musnah atau sedemikian rusaknya sehingga menurut pendapat lessor tidak mungkin lagi
diperbaiki dan lain-lain.
124 Pada umumnya dalam perjanjian leasing ditentukan bahwa lessee berkewajiban untuk
membayar imbalan jasa lease sepanjanag masa lease dan kewajiban lessee ini tidak berakhir atau
berkurang apa pun yang terjadi, misalnya musnahnya barang baik seluruh atau sebagian,
barang yang tidak dapat dipakai karena rusak atau diperbaiki. Ada kalanya lessee memberikan
uang muka atas jumlah imbalan yang harus dibayarnya.

Bab 2 • Sewa Guna Usaha 29


d. Kewajiban perpajakan125.
Biasanya semua pajak, bea meterai, bea masuk sehubungan dengan
perolehan barang, penyediaan barang serta persiapan pembuatan,
pelaksanaan perjanjian leasing harus ditunggu lessee.

e. Penutupan asuransi126.
Semua kerugian akibat kerusakan atau kehilangan barang harus
ditanggung lessee. Untuk lessee harus mengamankan diri dan pada
umumnya diwajibkan mengasuransikan barang pada perusahaan
asuransi yang disetujui lessor, atas ongkos dan biaya lessee sendiri
atas risiko yang disetujui lessor selama masa lease.

f. Perawatan barang.

g. Penggantian dalam hal barang hilang/rusak127, yang sering dibuat


klausula bahwa lessor tidak bertanggung jawab kepada lessee untuk
kerugian-kerugian yang timbul akibat keterlambatan supplier
menyerahkan barang, cacat barang, dan lain-lain, kecuali kalau
kerugian itu terjadi karena tindakan lessor128.

125 Lihat Pasal 14-19 SK Menteri Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tgl. 27 November 1991
tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing); juga SK Menteri Keuangan No.Kep-650/MK/
II/05/1974 tgl. 6 Mei 1974 tentang Penegasan Ketentuan Pajak Penjualan dan Besarnya Bea
Materai terhadap Usaha Leasing.
126 Syarat-syarat asuransi ditetapkan oleh lessor dan pihak asuransi pada siapa barang
itu berada atau di tangan siapa penguasaan atas barang. Hasil asuransi yang dibayarkan bila
terjadi musibah, pertama-tama harus dipergunakan untuk memperbaiki/mempertahankan
barang. Polis asuransi aslinya dipegang lessor. Lessee wajib melaporkan dengan segera segala
kerusakan/kehilangan barang kepada lessor. Bilamana lessee lalai mengasuransikan barang
maka lessor berhak untuk mengasuransikannya dan lessee wajib mengganti semua biaya yang
telah dikeluarkan.
127 Sebaiknya antara lessor dan lessee diadakan perhitungan kembali demi penyesuaian
masing-masing kepentingan, karena sering terjadi memperoleh kekayaan secara kurang adil
(ongerechtvaardige verrijiking).
128 Bagaimana kalau supplier tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang penjual yang
baik? Biasanya kerugian yang timbul akibat cedera janji yang dilakukan supplier ditanggung
oleh lessee. Timbul pertanyaan siapakah yang harus menggugat supplier jika ia cedera janji?
Mengingat bahwa perjanjian jual beli barang dibuat antara lessor dan supplier, maka lessor
yang pertama-tama berhak menggugat supplier (biasanya dengan biaya-biaya perkara dan
pengacara ditanggung lessee). Lessee dapat ikut sebagai penggugat kedua atau lessor memberi

30 Hukum Lembaga Pembiayaan


Perbedaan financial leasing dengan bentuk perjanjian dan pembiayaan
lainnya:
a. Financial Leasing dan Sewa-menyewa
Menurut Pasal 1548 KUH Perdata, inti perjanjian sewa-menyewa129
adalah: pihak yang menyewakan wajib menyediakan barang bagi
pihak penyewa untuk dapat dinikmati kegunaannya, dan penyewa
membayar imbalan jasa kepada pihak yang menyewakan.
Unsur-unsur perjanjian sewa-menyewa terdapat dalam
perjanjian financial leasing namun kedua perjanjian ini jelas tidak
sama, perbedaannya130 adalah:
1) Financial leasing adalah suatu metode pembiayaan, sedangkan
sewa-menyewa belum tentu bertujuan pembiayaan
perusahaan;
2) Objek leasing pada umumnya adalah alat-alat produksi,
sedangkan sewa-menyewa juga dapat meliputi barang-barang
untuk digunakan di luar perusahaan;
3) Subjek pada perjanjian sewa-menyewa tidak ditentukan131,
sedang dalam perjanjian leasing harus perusahaan yang telah
memperoleh izin dari Menteri Keuangan132;
4) Lessor adalah instansi penyedia dana (financiers) dan bisa menjadi
pemilik barang yang di-lease;
5) Seluruh risiko objek ada pada lessee dan pada umumnya
pemeliharaan pun menjadi kewajiban lessee, sedangkan dalam
sewa-menyewa, penyewa (ikut) memikul risiko objek sewa;

kuasa kepada lessee untuk mewakilinya. Selanjutnya lihat Abdulkadir Muhammad & Rilda
Murniati, Segi…., op,cit. hlm. 224.
129 Perjanjian sewa-menyewa diatur dalam Pasal 1548 s.d. Pasal 1600 KUH Perdata,
ditambah dengan peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur sewa-menyewa
tanah dan bangunan antara lain dalam UU No.1 Tahun 1964 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 55 Tahun 1981.
130 Munir Fuady, Hukum tentang …,op, cit. hlm.27.
131 Setiap subjek hukum dapat menjadi penyewa atau yang menyewakan.
132 Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.649/MK/IV/5/1974 dan Pengumuman
Direktur Jenderal Moneter No. Peng-307/DJM/III/7?1974.

Bab 2 • Sewa Guna Usaha 31


6) Imbalan jasa yang dibayar pada perjanjian sewa-menyewa adalah
uang sewa, sedangkan imbalan jasa pada financial leasing pada
pokoknya merupakan tebusan berkala harga perolehan barang
ditambah ongkos pembiayaan;
7) Kalau sewa-menyewa waktunya mungkin tidak terbatas,
justru pada financial lease harus merupakan jangka waktu yang
tertentu;
8) Kewajiban lessee untuk membayar imbalan leasing tidak berhenti
atau berkurang, walaupun barang yang menjadi objek lease
musnah, sedangkan sewa-menyewa tidak.

b. Financial Leasing dan Sewa Beli


Tidak diatur dalam KUH Perdata133, tetapi konstruksi hukumnya
diterima dalam praktik dan dunia perdagangan. Sewa beli (hire
purchase) adalah: jual beli barang di mana penjual melaksanakan
penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran
yang dilakukan pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang
telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian,
serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada
pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada
penjual. Syarat-syarat serta ketentuan-ketentuannya diatur dalam
perjanjian yang dibuat di antara kedua belah pihak.
Persamaannya adalah hak milik barang yang menjadi objek
tetap pada penjual dan lessor. Adapun perbedaannya adalah134:
1) Lessor biasanya pihak penyedia dana dan membiayai pembelian
barang dan bertindak sebagai lembaga keuangan, sedangkan
pada sewa beli penjual adalah produsen atau pedagang barang
yang berusaha menjual barangnya.

133 Kita jumpai peraturan yang menyangkut kedua bentuk peranjian ini dalam
Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No.34/KP/II/80, tentang Perizinan Kegiatan
Usaha Sewa Beli (hire purchase), Jual beli dengan angsuran dan sewa (renting), tertanggal 1
Februari 1980.
134 Munir Fuady, Hukum tentang …,op,cit. hlm.31

32 Hukum Lembaga Pembiayaan


2) Masa leasing biasanya ditetapkan sesuai dengan umur kegunaan
barang; dengan sewa beli, masa pembayaran angsuran ditetapkan
atas dasar kemampuan pembeli.
3) Pada akhir masa sewa beli, hak milik atas barang dengan
sendirinya beralih kepada pembeli, sedangkan pada leasing,
lessee memutuskan apakah akan mempergunakan hak opsinya
untuk membeli barang atau me-lease kembali.

c. Financial Leasing dan Jual Beli dengan Angsuran


Tidak diatur dalam KUH Perdata135, tetapi konstruksi hukumnya
diterima dalam praktik dan dunia perdagangan. Jual beli dengan
angsuran adalah jual beli barang di mana penjual melaksanakan
penjualan barang dengan cara menerima pelunasan pembayaran
yang dilakukan oleh pembeli dengan beberapa kali angsuran atas
harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam
suatu perjanjian serta hak milik atas barang tersebut beralih dari
penjual kepada pembeli. Syarat-syarat serta ketentuan-ketentuannya
diatur dalam perjanjian yang dibuat di antara kedua belah pihak.
Persamaannya adalah pembeli membayar angsuran dalam
waktu tertentu. Adapun perbedaannya adalah:
1) Lessor sebagai pihak yang penyedia dana dan membiayai
pembelian barang, sedangkan jual beli dengan angsuran, penjual
adalah produsen atau pedagang barang yang berusaha menjual
barangnya.
2) Masa leasing ditetapkan sesuai dengan umur kegunaan barang,
sedangkan masa pembayaran angsuran ditetapkan atas dasar
kemampuan pembeli.
3) Pada akhir jual beli dengan angsuran, hak milik atas barang
dengan sendirinya beralih kepada pembeli. Sedangkan pada
leasing ditentukan oleh hak opsi.

135 Kita jumpai peraturan yang menyangkut kedua bentuk perjanjian ini dalam
Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No.34/KP/II/80 tentang Perizinan Kegiatan
Usaha Sewa Beli (hire purchase), Jual Beli dengan angsuran dan sewa (renting), tertanggal 1
Februari 1980.

Bab 2 • Sewa Guna Usaha 33


d. Financial Leasing dengan Pinjaman Uang
Pinjam-meminjam uang (verbruiklening van geld) dimaksud dalam
Pasal 1754 KUH Perdata, tidak seperti penyerahan sejumlah uang dari
lessor kepada lessee, maka perjanjian financial leasing bukan perjanjian
pinjaman uang. Lain pada sale-lease-back di mana lease-back terjadi
dalam bentuk financial lease, lessee hanya menyerahkan barang kepada
lessor secara fiducia dan lessor membayar sejumlah uang kepada lessee;
hal ini sama dengan konstruksi perjanjian uang.

e. Financial Leasing dan Loan


Terdapat perbedaan antara loan136 dengan leasing137, yaitu138:
1) Loan bertujuan menyediakan dana, sementara leasing bertujuan
menyewakan barang modal.
2) Loan berfokus pada uang, jadi kreditur bukan pemilik dari barang
yang didanainya, sementara dalam leasing paling tidak secara
yuridis lessor merupakan pemilik fasilitas atau barang modal.
3) Pada loan risikonya berupa financial risk, sementara pada leasing
risikonya berupa financial risk dan physical risk atas barang
modal.
4) Jaminan utang pada loan adalah barang bergerak atau tidak
bergerak yang sering kali tidak ada hubungannya dengan tujuan
penggunaan dana pinjaman, sementara pada leasing jaminannya
berupa barang modal yang dibeli dengan dana dari leasing
tersebut.
5) Pada loan, jika ada wanprestasi dari pihak debitur, maka barang
jaminan dilelang, dan kelebihan harganya dikembalikan kepada
debitur, sedangkan wanprestasi lessee pada leasing, maka lessor
hanya mengambil kembali barang modal tersebut tanpa harus
memperhitungkan atau mengembalikan kelebihan harga139.

136 Yang diberikan oleh bank.


137 Yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan.
138 Munir Fuady, Hukum tentang….,op,cit. hlm. 26
139 Hal ini terjadi karena barang modal tersebut masih merupakan milik lessor.
Sungguhpun dalam praktik leasing hal ini tidak selamanya konsisten diikuti.

34 Hukum Lembaga Pembiayaan


f. Financial Leasing dan Jual Beli
Transaksi jual beli140 terjadi di mana salah satu pihak membutuhkan
barang dengan pembayaran tunai dan biaya pembelian nilainya
cukup besar, sementara di sisi lain tidak cukup tersedia dana atau
tidak perlu mengeluarkan dana sendiri untuk memperoleh barang
dengan cara financial leasing yang kedudukannya sebagai penengah
keuangan (financial intermediary) antara lessee dengan penjual. Dan
unsur inilah yang tidak ada pada jual beli.
Beda lainnya pada jual beli barang, maka demi hukum akan
menjadi milik pembeli segera setelah adanya penyerahan (levering),
sementara pada leasing terjadinya peralihan hak tidak secara otomatis,
melainkan jika hak opsi digunakan.

2. Operating Lease

Operational Leasing141 adalah suatu bentuk pemberian jasa, di mana:


a. Lessor membeli suatu barang, kemudian menyerahkannya kepada
lessee untuk dipakai selama jangka waktu yang lebih pendek dan
sebagai imbalan lessee wajib membayar kepada lessor suatu imbalan
berkala.

b. Risiko ekonomis barang jatuh pada lessor, karena lessee dapat


mengakhiri perjanjian sewaktu-waktu.

c. Lessor mencatatkan barang itu sebagai aktivanya.

d. Setelah berakhirnya perjanjian lease, maka lessee dapat menggunakan


hak opsinya untuk membeli barang dengan harga yang riil, biasanya
relatif lebih besar jumlahnya.

140 Merupakan salah satu jenis perjanjian bernama yang diatur dalam Buku III KUH
Perdata. Lebih lanjut Munir Fuady, Hukum tentang…,op,cit. hlm. 29.
141 Ibid, hlm. 19

Bab 2 • Sewa Guna Usaha 35


Dengan demikian pengakhiran perjanjian dengan mudah adalah salah
satu ciri operating lease. Biasanya lessor memberikan jasa-jasa lain kerusakan
yang terjadi, asuransi untuk menghindari risiko serta pengoperasian
barang yang di-lease oleh pihak lessor.
Perbedaan operating leasing dengan bentuk perjanjian dan
pembiayaan lainnya:
a. Perbedaan dengan Financial Leasing, adalah:
1) Financial leasing adalah suatu perjanjian pembiayaan di mana
lessor diminta untuk membiayai pengadaan barang untuk lesse,
sedangkan pada operational leasing perjanjian menitikberatkan
pada pemberian jasa.
2) Pada financial leasing, risiko ekonomi atas objeknya berada
pada lessee karena lessee wajib membayar kembali modal yang
disediakan lessor untuk mengadakan barang yang bersangkutan
ditambah bunga dan ongkos lain selama kontrak berjalan,
sedangkan operational leasing risiko ekonomis atas barang yang
di-lease ada pada lessor.
3) Pada financial leasing, lessor hanya memikul risiko berkenaan
dengan keadaan keuangan, kemampuan membayar serta
bonafiditas lessee (debiteurs risico = debt risk), sedangkan pada
operational leasing, lessor menanggung risiko hilangnya atau
rusaknya objek yang di-lease.
4) Pada financial leasing jangka waktu kontrak sama atau hampir
sama dengan masa kegunaan barang yang bersangkutan menurut
persetujuan lessor dan lessee, sedangkan operational leasing jangka
waktu perjanjian pada umumnya tidak sama dengan masa
kegunaan barang yang bersangkutan.
5) Dalam hak opsi untuk membeli barang dari lessor harus disetujui
lebih dahulu, pada financial leasing hampir tak berarti jumlahnya,
sedangkan pada operational leasing jumlah harga relatif tinggi
menurut nilai ekonomis riil barang tersebut.
6) Pada financial leasing, lesse dilarang mengakhiri kontrak sebelum
jangka waktu yang diperjanjikan berakhir, kecuali diperjanjikan

36 Hukum Lembaga Pembiayaan


lain (onopzegbaar), sedangkan pada operational leasing jangka
waktu leasing tidak tertentu dan dapat diakhiri oleh lesse
(opzegbaar).
7) Pada operational leasing, lessor pada umumnya memberikan
jasa-jasa untuk kegunaan pengoperasian dan pemeliharaan
barang yang di-lease, sedangkan hal ini tidak terjadi pada financial
leasing.

b. Perbedaan dengan Sewa-menyewa


Sebenarnya kalau dilihat operational lease memenuhi ketentuan atau
definisi sewa-menyewa dalam Pasal 1548 KUH Perdata dan di samping
itu biasanya ditambah perikatan untuk pemberian jasa-jasa tertentu.
Kebanyakan sewa-menyewanya dari segi pemberian jasa, yang
erat hubungannya serta sama pentingnya dengan operating leasing
sehingga merupakan satu kesatuan. Artinya ketentuan-ketentuan
tentang sewa-menyewa selalu berlaku, baik secara langsung maupun
secara analogis.
Perlu disinggung di sini bahwa dalam hal sale-lease-back di mana
lease-back itu dilakukan secara operational leasing, hal ini tidak dapat
dipandang sebagai suatu perjanjian penyerahan hak milik secara
fiducia, di mana lessor memiliki barang itu sebagai pemegang/pemilik
barang secara fiducia, karena jual beli dan penyerahan hak atas barang
tidak dilakukan untuk jaminan dan ada opsi untuk membeli.

3. Sales and Lease Back

Satu variasi yang banyak dilakukan adalah perusahaan leasing


membeli barang yang akan di-lease-nya dari lessee dan setelah menjadi
pemilik sah barang itu lessor men-lease-nya kembali kepada lessee. Hal
ini dilakukan oleh lessee, karena lessee telah banyak membeli peralatan
perusahaan yang agak panjang masa kegunaannya dan pada suatu waktu
lessee membutuhkan modal kerja142.

142 Ibid, hlm.21

Bab 2 • Sewa Guna Usaha 37


Dengan menjual sebagian mesinnya, lessee memperoleh uang
tunai dan karena lessor kemudian men-lease kembali mesin itu kepada
lessee, lessee tidak terganggu dalam usahanya karena lessee tetap dapat
menggunakan mesin-mesin. Yang sukar adalah penilaian haga barang
karena sudah barang bekas, biasanya perusahaan leasing dalam financial
leasing akan mengambil sebagian dasar harga yang dapat diperolehnya
apabila barang itu dijual dengan segera dengan mendapatkan pembayaran
tunai untuk mendapat kembali biaya-biaya yang telah dikeluarkan
serta keuntungannya, sedangkan lessor dalam hal operational leasing
akan lebih menitikberatkan pada nilai sesungguhnya barang yang
bersangkutan143.
Di Indonesia sale-lease-back benar-benar menjual barangnya kepada
lessor, serta lessor memperoleh hak milik penuh atas barang dengan adanya
keharusan adanya opsi untuk membeli atau perpanjangan masa sewa.

4. Leveraged Lease

Leverage leasing144 bukan merupakan variasi bentuk leasing, tetapi


suatu teknik pembiayaan bagi lessor. Lessor tidak menggunakan dananya
sendiri untuk membiayai suatu lease, tetapi meminjam sebagian dari dana
yang diperlukan dari kreditur pihak ketiga dan kreditur ini tentunya
minta jaminan dan sebagai jaminan biasanya diberikan objek yang di-
lease dan/atau lessor melakukan cessie untuk jaminan dari semua tagihan
lessor kepada lessee.

143 Perlu diperhatikan penentuan harga beli ini karena kemungkinan adanya untung
atau rugi bagi lesse berkenaan dengan nilai buku barang yang bersangkutan. Maka penting
bagi lessee dalam hal sale-lease-back, pemilihan saat yang paling baik untuk mendapatkan
manfaat fiskal yang paling banyak di samping memilih bentuk leasing yang tepat untuk
dapat menganggap barang yang bersangkutan sebagai aktiva sehingga dapat disusutkan
(depreciation).
144 Munir Fuady, Hukum tentang …,op,cit, hlm. 22.

38 Hukum Lembaga Pembiayaan


G. PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
Pengawasan dan pembinaan serta menjaga kerahasiaan145 atas
Lembaga Pembiayaan Sewa Guna Usaha dilakukan oleh Menteri
Keuangan146, yang sejak tanggal 31 Desember 2012147 beralih kepada
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang melaksanakan tugas pengaturan
dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Lembaga
Pembiayaan148.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan, OJK mempunyai wewenang149,
antara lain:
1. Menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan
mengenai Lembaga Jasa Keuangan dan pihak yang melakukan
kegiatan di sektor jasa keuangan.

2. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa


keuangan.

3. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis


terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu.
Perintah tertulis adalah perintah secara tertulis untuk
melaksanakan atau tidak melaksanakan kegiatan tertentu guna
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan dan/atau mencegah dan mengurangi kerugian konsumen,
masyarakat, dan sektor jasa keuangan.
Perintah tertulis diberikan antara lain untuk mengganti pengurus
atau pihak tertentu di Lembaga Jasa Keuangan, menghentikan,

145 Lihat lebih lanjut SK Menteri Keuangan No.Kep-1382/MK/6/11/1975 tgl. 20 November


1975 tentang Rahasia Lembaga Keuangan Non Bank.
146 Lihat Pasal 11 jo Pasal 1 angka 10 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan; juga Kep. Bersama Men. Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia No.607/
KMK.017/1995 dan No.28/9/KEP/GBI tentang Pelaksanaan Pengawasan Perusahaan
Pembiayaan oleh Bank Indonesia; Permen Keuangan No.74/PMK.021/2006 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank; Kep.Dirjend LK No.Kep-
2833/LK/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah pada
Lembaga Keuangan Non Bank.
147 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
148 Lihat Pasal 6 huruf c UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
149 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Bab 2 • Sewa Guna Usaha 39


membatasi, atau memperbaiki kegiatan usaha atau transaksi,
menghentikan atau mengubah perjanjian antara Lembaga Jasa
Keuangan dengan pihak lain yang diduga merugikan konsumen,
masyarakat, dan sektor jasa keuangan, serta menyampaikan informasi,
dokumen, dan/atau laporan tertentu kepada OJK.
4. Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.

Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai


wewenang150, antara lain:
1. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan
konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan,
pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.

2. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/


atau pihak tertentu.

3. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan


pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan.

4. Memberikan dan/atau mencabut:


a. izin usaha;
b. izin orang perseorangan;
c. efektifnya pernyataan pendaftaran;
d. surat tanda terdaftar;
e. persetujuan melakukan kegiatan usaha;
f. pengesahan;
g. persetujuan atau penetapan pembubaran;
h. penetapan lain.

150 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

40 Hukum Lembaga Pembiayaan


H. PENCABUTAN IZIN USAHA
Pencabutan izin usaha perusahaan pembiayaan dilakukan dalam
hal perusahaan pembiayaan:
1. bubar, karena:
a. keputusan RUPS atau rapat anggota;
b. jangka waktu berdirinya perusahaan yang ditetapkan dalam
anggaran dasar berakhir;
c. putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
d. keputusan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam UU No.
17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian;

2. dikenakan sanksi, misalnya dicabut izin setelah diberikan dalam


waktu 60 hari tidak menjalankan kegiatan usaha;

3. tidak lagi menjadi perusahaan pembiayaan;

4. melakukan merger atau konsolidasi;

5. melanggar ketentuan UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas


Devisa dan Sistem Nilai Tukar dan Peraturan Pelaksanaannya, setelah
memperoleh rekomendasi dari Bank Indonesia.

Bab 2 • Sewa Guna Usaha 41


42 Hukum Lembaga Pembiayaan
BAB 3 Anjak Piutang

A. PENGERTIAN ANJAK PIUTANG


Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk
pembelian piutang dagang jangka pendek suatu Perusahaan berikut
pengurusan atas piutang tersebut151.
Kegiatan anjak piutang merupakan kegiatan pengurusan piutang
atau tagihan jangka pendek dari transaksi perdagangan dalam atau luar
negeri, yang dilakukan dengan cara pengambilalihan atau pembelian
piutang tersebut152.
Pengertian anjak piutang (factoring)153 merupakan usaha pembiayaan
atau teknik pendanaan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan

151 Lihat Pasal 1 angka 6 dan Pasal 3 huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan; pengertian yang sama dituangkan dalam Pasal 1 huruf d Permen Keuangan No.
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
152 Lihat Penjelasan Pasal 6 huruf l UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU
No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
153 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 227; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 67; Handowo Dipo, Sukses....., op.cit, hlm. 28; Mariam Darus
Badrulzaman, “Sejauh mana Lembaga Pembiayaan Factoring dapat Dikembangkan di
Indonesia”, Makalah Seminar, FH USU, Medan 25 Februari 1989, hlm. 1; Zainal Asikin,
Pokok....., op.cit, hlm. 37; Pada awalnya istilah factoring sering menjadi perdebatan tentang asal
usul terjemahannya menjadi anjak piutang. Oleh karena itu kiranya adalah tugas kita semua
baik dari dunia usaha maupun dari para teoretikus dan praktisi hukum untuk memberikan isi
pada konsep lembaga anjak piutang dan mengakomodasikannya pada perangkat ketentuan
hukum yang sudah ada sejauh hal ini dapat dilakukan dan menemukan landasan hukum
yang tepat di mana akomodasi dimaksud di atas tidak dapat dilaksanakan. Menurut tafsiran
Departemen Keuangan, kata anjak piutang dipilih oleh lembaga ahli Bahasa Indonesia
tanpa mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Departemen Keuangan. Dengan demikian

43
serta pengurusan piutang154 atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan
(client) yang terbit dari suatu transaksi perdagangan dalam dan luar
negeri155 oleh client dan nasabah, dengan imbalan biaya administrasi dan
bunga yang diberikan kepada perusahaan factor156.

B. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ANJAK PIUTANG


Anjak piutang merupakan institusi finansial yang tergolong baru,
tetapi cikal bakalnya sudah lama, dimulai dalam bentuk yang sederhana
pada masa kekaisaran Romawi. Di Kota London157, pada tahun 1623 awal
dikembangkannya anjak piutang dilakukan oleh Common Council pada
pabrik tekstil. Awalnya anjak piutang dianggap sebagai calo, karena dapat
menaikkan harga barang dengan mengeksploitasi perbedaan harga yang
ada di pasaran. Dari sisi bisnis calo piutang diperlukan, karena: (1) pihak
produsen pakaian/pabrik tekstil memerlukan dana yang cepat yang
tidak dapat dipenuhi oleh para pemakai atau oleh para pedagang, dan
(2) pihak produsen pakaian/tekstil tidak mampu dan tidak mau untuk

perkataan anjak piutang merupakan istilah baru dalam perbendaharaan bahasa Indonesia.
154 Perusahaan yang bersangkutan menjual atau menyerahkan hak atas piutangnya
kepada perusahaan anjak piutang. Kemudian perusahaan anjak piutang menyerahkan uang
kepada perusahaan tersebut sebesar persentase tertentu dari jumlah nilai piutang.
155 Keppres No.61 Tahun 1988 hanya sekadar memberikan definisi bahwa perusahaan
anjak piutang (factoring company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan
dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan dalam
dan luar negeri.
156 Handowo Dipo, Sukses....., op.cit, hal. 28; bandingkan Unidroit (International Intitie
for the unification of Private Law), mengartikan factoring sebagai a contract by which the factor in
to provide at least two of the service (finance, the maintenance of accounts, the collection of receivables
and protection against credit risks), and the supplier is to assign to the factor on a continuing basis, by
way of sale or security, receivables arising from the sale of goods or supply of services.
157 Menurut David Hawkins, dikembangkan para pembuat pakaian dan pembantunya
yang telah menjual dagangan (pakaian) kepada para pedagang atau pemakainya atas laba
penuh yang diterimanya sendiri, dalam buku, Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm.
72. Dengan demikian sejarah anjak piutang (factoring) di Inggris ini ditandai oleh hal-hal
sebagai berikut: (a) Anjak piutang tumbuh dan berkembang bersama dengan tumbuh dan
berkembangnya perdagangan tekstil. Dan hal ini bertahan cukup lama sebelum bisnis
anjak piutang merambah juga ke bidang-bidang lain di luar perdagangan tekstil, (b) Pihak
perusahaan anjak piutang (faktor) terdiri dari para pedagang, dalam hal ini pedagang tekstil,
bukan para bankir; Retnowulan Sutantio, “Perkembangan Anjak Piutang (Factoring) di
Indonesia”, makalah, Jakarta: ............TT, hlm. 10.

44 Hukum Lembaga Pembiayaan


bepergian jauh ke pasar untuk memasarkan produknya dan menagih
bayarannya.
Awal abad ke-17 anjak piutang oleh pengusaha dibawa ke Amerika
Serikat bersamaan dengan hijrahnya orang Inggris dan orang Eropa
lainnya. Di Amerika Serikat berkembang cukup pesat pada tahun 1890
oleh perusahaan Oelberman Dommerich & Co di New York, dengan
konsentrasi pemberian jasa berupa penata bukuan (ledging) terhadap
administrasi pengontrolan kredit dan penagihan. Di Belanda dimulai
dari anjak piutang yang bergerak di bidang pelayaran. Di Jepang anjak
piutang pertama sekali dikenal sekitar tahun 1972, yang dilakukan oleh
bank-bank komersial (Citibank), dengan objek pembelian promissory notes
dengan diskonto tertentu, sebab orang Jepang merasa bonafiditasnya akan
menurun jika menjual piutangnya kepada perusahaan anjak piutang.
Di Indonesia resmi mulai dikembangkan dengan dikeluarkannya
Keppres No.61 Tahun 1988, yang ditindaklanjuti oleh Keputusan Menteri
Keuangan No.1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan sebagai paket kebijaksanaan Desember
1988 (Pakdes 1988)158, dan sekarang telah diubah dengan Permen Keuangan
No.84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
Perkembangan selanjutnya factoring internasional, yaitu para pihak
yang terlibat dalam transaksi anjak piutang tidak hanya berasal dari
satu negara, melainkan melibatkan dua perusahaan anjak piutang yaitu
perusahaan anjak piutang domestik dan perusahaan anjak piutang
luar negeri. Yang satu menjadi export factor, dan yang lainnya menjadi
import factor, yang disebut sindikasi factoring internasional yang bersifat
permanen, salah satunya Factor’s Chain International.

158 Peta bisnis anjak piutang di Indonesia sampai tahun 1997 cukup banyak yaitu
terbanyak nomor dua di dunia setelah Italia. Namun dalam hal omzet, masih tertinggal dari
lima negara maju lainnya. Bandingkan dengan Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm.
78-80; Mohamad Idwan Ganie, “Aspek Hukum Lembaga Factoring di Indonesia”, Seminar
ILUNI-FH, Jakarta, 18 Februari 1989, hlm. 72; Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati,
Segi....., op.cit, hlm. 239-245.

Bab 3 • Anjak Piutang 45


C. PENDIRIAN DAN IZIN USAHA PERUSAHAAN ANJAK
PIUTANG

Izin usaha adalah izin mendirikan untuk melakukan kegiatan


usaha di bidang pembiayaan yang ditetapkan oleh Menteri159, yang sejak
tanggal 31 Desember 2012160 beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
dengan secara jelas mencantumkan dalam anggaran dasarnya kegiatan
pembiayaan yang dilakukan.
Permohonan untuk mendapatkan izin usaha wajib dilampiri
dengan161:
1. Akta pendirian badan usaha termasuk anggaran dasar yang telah
disahkan oleh instansi berwenang, yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. Nama, bentuk usaha dan tempat kedudukan.
Bentuk badan usaha Perusahaan Anjak Piutang dapat dilakukan
oleh Perusahaan yang berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas162 atau Koperasi163.
b. Kegiatan usaha sebagai perusahaan pembiayaan.
c. Permodalan, ditetapkan:

159 Lihat Pasal 8 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 1 huruf
i Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; Bank Indonesia,
“Pedoman Pelaksanaan Peraturan-Peraturan tentang Pendirian Lembaga Keuangan”,
Penataran Dosen Hukum Perdata/Dagang, dilaksanakan FH UGM, Yogyakarta, 16-28
November/30 November-12 Desember 1992, hlm. 5; Dalam rangka meningkatkan peranan
dan kinerja perusahaan pembiayaan yang telah ada baik berupa kegiatan sewa guna usaha,
anjak piutang, usaha kartu kredit dan pembiayaan konsumen, Pemerintah menganggap perlu
mengambil kebijakan dengan menghentikan sementara pemberian izin usaha perusahaan
pembiayaan sejak tanggal 24 April 2002. Hal ini didasarkan pada Keputusan Menteri
Keuangan (Kepmenkeu) No.185/KNK.06/2002 tentang Penghentian Pemberian Izin Usaha
Perusahaan Pembiayaan.
160 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
161 Lihat Pasal 9 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
162 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
163 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.17
Tahun 2012 tentang Perkoperasian.

46 Hukum Lembaga Pembiayaan


1) Perusahaan swasta nasional sekurang-kurangnya sebesar
Rp100.000.000.000-, (seratus miliar rupiah)164.
2) Perusahaan patungan sekurang-kurangnya sebesar
Rp100.000.000.000-, (seratus miliar rupiah)165.
Pemilikan saham oleh Badan Usaha Asing ditentukan paling
besar 85% (delapan puluh lima per seratus) dari Modal
Disetor166.
3) Koperasi sekurang-kurangnya sebesar Rp50.000.000.000-,
(lima puluh miliar rupiah)167.
d. Kepemilikan.
Pendirian Perusahaan Anjak Piutang yang berbentuk Perseroan
Terbatas, sahamnya dapat dimiliki oleh168:
1) Warga Negara Indonesia dan/atau Badan Hukum
Indonesia169.
2) Badan Usaha Asing dan Warga Negara Indonesia atau Badan
Hukum Indonesia (usaha patungan)170.
e. Wewenang, tanggung jawab, masa jabatan direksi dan dewan
komisaris atau pengurus dan pengawas.

2. Data direksi dan dewan komisaris atau pengurus dan pengawas


meliputi:
a. fotokopi tanda pengenal yang berupa kartu tanda penduduk
(KTP) atau paspor;

164 Lihat Pasal 13 huruf a Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
165 Lihat Pasal 13 huruf a Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
166 Lihat Pasal 7 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal
14 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
167 Lihat Pasal 13 huruf b Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
168 Lihat Pasal 7 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 7
ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
169 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
170 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.

Bab 3 • Anjak Piutang 47


b. daftar riwayat hidup;
c. surat pernyataan:
1) tidak tercatat sebagai debitur kredit macet di sektor
perbankan;
2) tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang
perbankan;
3) tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
4) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang
mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan
pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap;
5) tidak merangkap jabatan pada perusahaan pembiayaan lain
bagi Direksi;
6) tidak merangkap jabatan lebih dari 3 (tiga) perusahaan
pembiayaan lain bagi Komisaris;
d. bukti pengalaman operasional di bidang perusahaan pembiayaan
atau perbankan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun bagi
salah satu direksi atau pengurus;
e. fotokopi kartu izin menetap sementara (KIMS) dan fotokopi
surat izin bekerja dari instansi berwenang bagi warga negara
asing.

3. Data pemegang saham atau anggota dalam hal:


a. Perorangan, wajib dilampiri dengan dokumen serta surat
pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman171
dan kegiatan pencucian uang (money laundering).
b. Badan hukum, wajib dilampiri dengan:
1) akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar
berikut perubahan-perubahan yang telah mendapat
pengesahan dari instansi berwenang termasuk bagi badan

171 Lihat lebih lanjut SK Menteri Keuangan No.606/KMK.017/1995 tgl. 19 Desember


1995 tentang Ketentuan Pinjaman yang Diterima, Penyertaan, dan Pelaporan Perusahaan
Pembiayaan.

48 Hukum Lembaga Pembiayaan


usaha asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara
asal;
2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik
dan laporan keuangan terakhir172;
3) dokumen yang sama dengan angka 2 huruf a, b, dan c bagi
pemegang saham dan direksi atau pengurus.

4. Sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia:


a. Perusahaan pembiayaan dapat melakukan akuisisi, konsolidasi,
dan merger.
Akuisisi adalah pengambilalihan baik seluruh maupun sebagian
bear saham Perusahaan Pembiayaan yang dapat mengakibatkan
beralihnya pengendalian terhadap Perusahaan Pembiayaan173.
Konsolidasi adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan
Pembiayaan atau lebih, dengan cara mendirikan Perusahaan
Pembiayaan baru dan membubarkan Perusahaan-Perusahaan
Pembiayaan tersebut dengan atau tanpa likuidasi174.
Merger adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan
Pembiayaan atau lebih dengan cara tetap mempertahankan
berdirinya salah satu Perusahaan Pembiayaan lainnya dengan
atau tanpa likuidasi175.
Pelaksanaan merger dan akuisisi wajib dilaporkan kepada
Menteri Keuangan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari
setelah merger dan akuisisi dilakukan, dengan melampirkan
(a) notulen RUPS atau rapat anggota; (b) perubahan anggaran
dasar yang telah disahkan atau dilaporkan kepada instansi
berwenang dan didaftarkan dalam daftar perusahaan; (c) akta

172 Lihat lebih lanjut Surat Edaran Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan No.SE-1087/
LK/1996 tgl. 26 Februari 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelaporan dan Sanksi bagi
Perusahaan Pembiayaan.
173 Lihat Pasal 1 huruf j Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
174 Lihat Pasal 1 huruf k Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
175 Lihat Pasal 1 huruf l Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.

Bab 3 • Anjak Piutang 49


jual beli atau akta merger; (d) data pemegang saham, direksi,
dan dewan komisaris atau anggota pengurus dan pengawas; (e)
status kantor perusahaan pembiayaan yang menggabungkan
diri, di mana kantor pusat dan kantor cabangnya masih dapat
berjalan sebagai kantor hasil merger.
b. Kantor cabang.
Kantor cabang adalah unit usaha dari suatu perusahaan
pembiayaan yang diperkenankan menjalankan semua jenis
usaha perusahaan pembiayaan dan menyelenggarakan tata
usaha/pembukuan sendiri, tetapi dalam mengatur usahanya
tunduk pada segala ketentuan yang berlaku bagi kantor pusat
perusahaan pembiayaan yang bersangkutan176, dan hanya dapat
dilakukan dengan izin menteri.

5. Fotokopi bukti pelunasan modal disetor dalam bentuk deposito


berjangka pada salah satu bank umum di Indonesia dan dilegalisasi
oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama dalam proses
pengajuan izin usaha.

6. Rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama yang sekurang-kurangnya


memuat:
a. rencana pembiayaan dan langkah-langkah yang dilakukan untuk
mewujudkan rencana dimaksud;
b. proyeksi arus kas/neraca dan perhitungan laba/rugi bulanan
dimulai sejak Perusahaan Pembiayaan melakukan kegiatan
operasional.

7. Bukti kesiapan operasional antara lain berupa:


a. daftar aktiva tetap dan inventaris;
b. bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa-menyewa
gedung kantor;

176 Lihat Pasal 1 huruf m Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan; juga SK Menteri No. Kep-1063/KMK.00/1988 tgl. 27 Oktober 1988 tentang
Pembukuan Kantor Cabang Lembaga Keuangan Bukan Bank.

50 Hukum Lembaga Pembiayaan


c. contoh perjanjian pembiayaan yang akan digunakan;
d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

8. Perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia


bagi perusahaan patungan;

9. Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah


(P4MN).

Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha diberikan


selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan
diterima secara lengkap177, dan berlaku sejak tanggal ditetapkan untuk
tenggang waktu selama perusahaan masih menjalankan usahanya178.
Perusahaan pembiayaan wajib menjalankan kegiatan usaha
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal izin
usaha ditetapkan179, dengan ancaman pencabutan izin apabila tidak
melaksanakan kegiatan usaha180. Perusahaan pembiayaan setelah
melaksanakan kegiatan usaha wajib melaporkannya paling lambat 10
(sepuluh) hari setelah kegiatan usaha dimulai181.

177 Lihat Pasal 10 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
178 Lihat Pasal 10 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
179 Lihat Pasal 12 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
180 Lihat Pasal 12 ayat (3) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
181 Lihat Pasal 12 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.

Bab 3 • Anjak Piutang 51


D. USAHA ANJAK PIUTANG
1. Kegiatan Usaha Anjak Piutang
Kegiatan Anjak Piutang dilakukan dalam bentuk pembelian piutang
dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang
tersebut182.
Piutang dagang jangka pendek adalah piutang dagang yang jatuh
tempo selama-lamanya 1 (satu) tahun183.
Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan kegiatan usaha Anjak
Piutang diatur oleh Menteri184, yang sejak tanggal 31 Desember 2012185
beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang antara lain:
a. Sumber pembiayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil dengan
pengembangan lembaga anjak piutang186;
b. Menerbitkan Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) dengan memenuhi
prinsip kehati-hatian (prudential principles)187.

Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) adalah surat pernyataan


kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu
kepada pihak yang tercantum dalam surat tersebut atau kepada
penggantinya188.
Dari kegiatan usaha anjak piutang dapat dikemukakan189:
a. Usaha anjak piutang terdiri dari 3 (tiga) pihak190, yaitu:

182 Lihat Pasal 4 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
183 Lihat Pasal 4 ayat (5) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
184 Lihat Pasal 8 dan Pasal 10 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
185 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
186 Lihat Pasal 22 huruf c jo Pasal 23 ayat (1) huruf a UU No.20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah.
187 Lihat Pasal 10 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
188 Lihat Pasal 1 angka 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
189 Mariam Darus Badrulzaman & Sugondo Kramadibrata, “Perjanjian Anjak Piutang
(Factoring Agreement)”, Makalah Seminar, FH USU, Medan, 23 November s.d. 3 Desember
1992), hlm. 4.
190 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 229; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 85.

52 Hukum Lembaga Pembiayaan


1) Perusahaan anjak piutang (faktor)191, ialah perusahaan yang
akan membeli192 dan/atau menerima pengalihan piutang, yang
berfungsi sebagai perantara antara penjual piutang (klien) dengan
nasabah (pelanggan)193.
Yang dapat menjadi perusahaan anjak piutang (faktor)
adalah: (1) perusahaan yang bergerak khusus dalam usaha anjak
piutang194, atau (2) perusahaan multifinance, yang di samping
bergerak di bidang anjak piutang tetapi juga bergerak di bidang
usaha finansial lainnya, seperti bidang leasing, consumer finance,
kartu kredit, dan sebagainya; atau (3) bank yang diperkenankan
beroperasi di bidang usaha anjak piutang berdasarkan UU
Perbankan No. 10 Tahun 1998 yaitu sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 6 butir (l)195, dengan bentuk badan usaha perseroan
dan koperasi.

191 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 230; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 86.
192 Sebagai perjanjian jual beli maka perjanjian anjak piutang tunduk pada ketentuan
dalam Buku ketiga KUH Perdata sejauh para pihak tidak mengatur sesuatu masalah yang
menyangkut hubungan hukum mereka dan sejauh menyangkut ketentuan-ketentuan pokok
yang bersifat mengikat yang terdapat dalam KUH Perdata tersebut. Dalam hubungan ini
saya ingin menunjuk pada pasal 1458 yang berbunyi “jual beli itu dianggap telah terjadi antara
kedua belah pihak seketika setelah orang-orang itu mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut
dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar” dalam
kaitannya dengan ketentuan dalam Pasal 1459 yang berbunyi “hak milik atas barang yang dijual
tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612,
613 dan 616.
193 Bandingkan dengan Pasal 1 ayat (8) Keppres No.61 Tahun 1988, yang menyebutkan
Perusahaan anjak piutang adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam
bentuk pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan-tagihan
jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.
194 Sedangkan Pasal 3 ayat (1) dari Keppres No.61 Tahun 1988 mengatakan bahwa
kegiatan anjak piutang dapat dilakukan oleh: (1) Bank, (2) Lembaga Keuangan Bukan Bank
(cat: Khusus mengenai Lembaga Keuangan Bukan Bank maka dengan berlakunya UU
No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, maka istilah Lembaga Keuangan Bukan Bank sudah
ditiadakan. Lembaga Keuangan Bukan Bank sudah dibuatkan bentuk tersendiri yaitu apakah
menjadi bank atau perusahaan sekuritas), (3) Perusahaan Pembiayaan.
195 Jelasnya terdapat dalam Bab ke-3 tentang Jenis dan Usaha Bank; Bagian kedua Usaha
Bank Umum, huruf l yang berbunyi; “melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit
dan kegiatan wali amanat.

Bab 3 • Anjak Piutang 53


2) Penjual Piutang (Client) adalah perusahaan yang menjual piutang
dagang Jangka pendek kepada Perusahaan Pembiayaan196 dan/
atau mengalihkan piutang atau tagihannya yang timbul dari
transaksi perdagangan kepada perusahaan anjak piutang
(faktor)197. Piutang termasuk benda bergerak tak bertubuh
(choses in action), maka hak milik atas piutang yang dialihkan
dapat beralih kepada si pembeli, harus ada penyerahan yuridis
sebagaimana diatur Pasal 613 KUH Perdata, yaitu: penyerahan
dilakukan dengan akta otentik atau di bawah tangan dengan
pelimpahan hak kepada orang lain yang dicantumkan pada
faktur (invoice)198, dengan menjamin kepentingan si faktor dalam
bentuk retention of ownership199. Dengan demikian maka barang
yang dijual kepada Nasabah masih merupakan milik si Klien
sebelum Nasabah melunasi pembayarannya.
3) Nasabah atau pelanggan200, adalah pihak (debitur) yang berutang
kepada penjual piutang (klien), yang selanjutnya dengan kegiatan
anjak piutang, piutang yang terbit dari utang tersebut dialihkan
kepada perusahaan anjak piutang (faktor). Kepada perusahaan
anjak piutang (faktor) nantinya nasabah (pelanggan) melunasi
pembayaran utangnya.

196 Lihat Pasal 1 huruf f Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan; Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 230; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 86.
197 Dengan demikian penjual piutang (klien) disyaratkan harus merupakan perusahaan,
yang berarti usaha dagang perorangan tidak dimungkinkan untuk menjual piutangnya
dengan cara anjak piutang.
198 Pemberitahuan tersebut dapat berbunyi misalnya sebagai berikut: “Jumlah uang
yang tercantum pada faktur dan menjadi tagihan terutang berdasarkan faktur ini telah dijual
kepada/dibeli oleh PT Angin Ribut dan karenanya kami minta dan dengan ini pula kami
beri Anda wewenang untuk membayarkan seluruh jumlah tersebut di atas kepada PT Angin
Ribut tersebut”.
199 Apabila piutang dagang yang bersangkutan dialihkan oleh Klien kepada Faktor
maka dengan serta merta retention of ownership pun beralih kepada Faktor sehingga manakala
ternyata di kemudian hari si Faktor tidak bisa menagih kepada Nasabah maka tanpa
mengurangi hak-haknya yang lain terhadap Klien, Faktor dapat menarik kembali benda yang
menjadi objek dari penjualan secara kredit tadi.
200 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 231; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 87.

54 Hukum Lembaga Pembiayaan


b. Usaha anjak piutang adalah berupa perjanjian jual beli tagihan201,
oleh karena perjanjian anjak piutang harus dianggap sebagai satu
jenis atau varian dari perjanjian jual beli202, yang diartikan sebagai
suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya
untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan. Dalam proses transaksi/
prosedur anjak piutang203, maka piutang yang dimiliki oleh klien
dialihkan (dijual) kepada faktor. Proses pengalihan piutang204 ini
mendapatkan pengaturannya dalam KUH Perdata205.

c. Jual beli piutang dilakukan secara terus-menerus (on a continuing


basis), dengan en bloc (in bulk) baik yang sudah ada maupun yang
baru akan ada kemudian206.

201 Ibid, hlm. 88.


202 Yang dalam KUH Perdata diatur dalam pasal 1457 s.d. 1540.
203 Perjanjian anjak piutang umumnya diadakan secara tertulis dalam bentuk yang
boleh dikatakan sudah baku untuk suatu jangka waktu sekurang-kurangnya satu tahun dan
berlanjut terus untuk tahun-tahun berikutnya kecuali apabila salah satu pihak menyatakan
keinginannya untuk mengakhiri perjanjian tersebut. Jadi kalau kita hubungkan dengan Pasal
1457 maka perjanjian anjak piutang antara Faktor dan Klien timbul pada saat kedua belah
pihak (Faktor dan Klien) sepakat mengenai syarat-syarat yang berlaku bagi hubungan hukum
yang akan mereka ciptakan dan direalisasikan dengan perjanjian anjak piutang dimaksud,
terlepas dari telah ada/tidaknya suatu dokumen tertulis tentang perjanjian tersebut. Akan
tetapi pada umumnya, perjanjian anjak piutang menentukan bahwa hubungan hukum antara
mereka baru akan mengikat sejak saat perjanjian anjak piutang ditandatangani. Bandingkan
dengan Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 114.
204 Menurut Tolley jumlah piutang dagang di Amerika Serikat pada satu saat
diperkirakan 2-3 kali dari piutang bank sehingga apabila ada sedikit saja perubahan dalam
jangka waktu kredit perdagangan (credit term) maka hal itu akan mempunyai pengaruh yang
sangat besar terhadap ketergantungan dunia bisnis kepada sistem perbankan. Memang
lembaga anjak piutang ini berkembang untuk memenuhi kebutuhan pemasok barang-barang
untuk memperoleh kredit dagang jangka pendek kepada para nasabah.
205 Mengingat di dalam ketentuan KUH Perdata ada ketentuan-ketentuan tentang
pengalihan piutang. Oleh karena itu ketentuan tentang cessie khususnya, perlu diperhatikan
apabila melakukan transaksi anjak piutang.
206 Dilihat dari sisi ini maka perjanjian anjak piutang dapat dikonstruksikan sebagai
suatu perjanjian piutang yang belum ada/terbit, si Klien tentunya belum bisa menjualnya
kepada si Faktor, yang demikian itu berdasarkan pada azas nemo plus juris ad alium transferre
potest quam ipse habet yang berarti tidak seorang pun dapat mengalihkan kepada orang lain
lebih dari apa yang dimilikinya.

Bab 3 • Anjak Piutang 55


d. Tagihan yang diperjualbelikan adalah tagihan jangka waktu pendek207,
berupa: (a) piutang uang berdasarkan invoice (faktur) yang belum
jatuh tempo; (b) piutang yang timbul dari surat-surat berharga yang
belum jatuh tempo, misalnya seperti promissory notes; dan (c) piutang
yang timbul dari suatu proses pengiriman barang.

e. Tagihan berasal dari suatu transaksi perdagangan baik perdagangan


lokal (dalam negeri) ataupun perdagangan internasional (luar
negeri).

f. Transaksi perdagangan merupakan sale of goods atau the provision


of services, yang mengandung aspek208, antara lain: (a) pembelian
piutang dalam bentuk account receivable ataupun promissory notes; (b)
membantu perputaran dana (cash flow) klien; dan (c) dititikberatkan
kepada kepentingan kredit manajemen klien.

g. Keuntungan faktor atas biaya209, bunga, dan komisi diperhitungkan


dari jumlah persentase volume penjualan klien. Faktor akan
memberikan pembayaran di muka sampai dengan 80% atau bahkan
sampai 90% dari jumlah piutang setelah bukti-bukti penjualan barang
diserahkan kepada faktor.

207 Lebih lanjut anjak piutang digolongkan ke dalam pembiayaan jangka pendek,
berkisar antara 30 sampai 100 hari. Umur tagihan yang relatif singkat ini membuat kedudukan
faktor lebih baik, karena perubahan terhadap piutang atau nasabah jatuh pailit dan lain-lain
kemungkinannya relatif kecil; bandingkan Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 95.
208 Marzuki Usman, et al., “Tentang Pembiayaan”, Makalah Seminar, Jakarta, 1987, hlm.
52.
209 Lihat biasanya pada Pasal 6 ayat (2) dari perjanjian anjak piutang ini disebutkan
pula bahwa faktor berhak atas biaya anjak piutang dengan diterimanya piutang yang
bersangkutan dan biaya anjak piutang tersebut akan dikurangi dari harga pembelian untuk
piutang tersebut. Dari ketentuan ini diketahui bahwa faktor akan mendapatkan suatu biaya
yang diperlukan dalam proses menuju penjualan piutang oleh faktor. Biaya anjak piutang ini
menjadi hak dari faktor, dan biaya anjak piutang ini diambil dari harga pembelian piutang
yang disetujui yaitu dengan cara biaya anjak piutang tersebut dikurangi dari harga pembelian
untuk piutang; bandingkan dengan Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 103.

56 Hukum Lembaga Pembiayaan


2. Larangan Kegiatan bagi Anjak Piutang
Lembaga Pembiayaan Anjak Piutang dilarang menarik dana secara
langsung dari masyarakat dalam bentuk210:
a. giro;
b. deposito;
c. tabungan.

3. Kewajiban Perusahaan Anjak Piutang

Kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan


lembaga pembiayaan anjak piutang dalam menjalankan aktivitasnya,
antara lain:
a. Wajib memiliki piutang pembiayaan sekurang-kurangnya sebesar
40% (empat puluh persen) dari total Aktiva211.

b. Menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa yang apabila


meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna Jasa
maka Perusahaan Pembiayaan adalah sebagai pihak pelapor kepada
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)212.

c. Menerapkan sistem lembaga keuangan ramah lingkungan hidup,


yaitu suatu sistem lembaga keuangan yang menerapkan persyaratan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam kebijakan
pembiayaan dan praktik sistem lembaga keuangan bank dan lembaga
keuangan nonbank213.

210 Lihat Pasal 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
211 Lihat Pasal 11 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
212 Lihat 17 ayat (1) huruf a angka 2) dan Pasal 18 ayat (3) huruf d UU No.8 Tahun 2010
tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
213 Lihat Penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf c UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Bab 3 • Anjak Piutang 57


4. Hak bagi Perusahaan Anjak Piutang
Hak yang diperoleh Lembaga Keuangan Perusahaan Anjak Piutang
dalam menjalankan aktivitasnya, antara lain:
a. Tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai terhadap jasa anjak piutang
yang diberikan214.

b. Tidak dikenakan Pajak Penghasilan atas pembentukan atau


pemupukan dana cadangan atas piutang tak tertagih untuk usaha
perusahaan anjak piutang215.

c. Tidak dikenakan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang dibayar


atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi
sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan216.

5. Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa atau yang berwenang memeriksa, memutus,


dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama atas pembiayaan anjak
piutang adalah Pengadilan Negeri, sedangkan untuk kegiatan yang
menggunakan konsep syariah adalah Pengadilan Agama217.

214 Lihat Pasal 4A ayat (3) huruf d UU No.42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah
215 Lihat Pasal 9 ayat (1) huruf c UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas
UU No.7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
216 Lihat Pasal 24 ayat (4) huruf h UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas
UU No.7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
217 Lihat Penjelasan Pasal 49 huruf i dan huruf h UU No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; Perma No.2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

58 Hukum Lembaga Pembiayaan


E. JENIS-JENIS ANJAK PIUTANG
Dalam perkembangan bisnis, anjak piutang muncul beberapa jenis
atau variasi218, bahkan sering dapat mempunyai bentuk-bentuk kombinasi
satu sama lain.

1. Dari Keterlibatan Klien, anjak piutang dibagi:

a. With Recourse Factoring


Cara kerja jenis anjak piutang ini, yaitu apabila faktor tidak
mendapatkan atau tidak semuanya mendapatkan tagihannya dari
pihak nasabah maka klien masih tetap bertanggung jawab untuk
melunasinya.
Anjak piutang dengan jaminan dari Penjual Piutang (With
Recourse) adalah kegiatan Anjak Piutang di mana Penjual Piutang
menanggung risiko tidak tertagihnya sebagian atau seluruh piutang
yang dijual kepada Perusahaan Pembiayaan219.
Bahkan ada jenis with recourse factoring yang memberikan opsi
untuk pihak faktor untuk menjual piutangnya kembali kepada
pihak klien semula. Oleh karena itu asas with recourse factoring dalam
perjanjian anjak piutang ini merupakan pengecualian dari prinsip
yang dianut oleh KUH Perdata yaitu without recourse factoring220.

b. Without Recourse Factoring


Cara kerja jenis anjak piutang ini, yaitu yang meletakkan beban
tagihan beserta seluruh risikonya sepenuhnya pada faktor. Jika
terjadi kegagalan dalam hal penagihan piutang dalam jenis ini adalah
merupakan tanggung jawab pihak faktor sendiri, sementara pihak

218 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 236.; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 110.
219 Lihat Pasal 4 ayat (4) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
220 Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa wanprestasi dari nasabah dalam perjanjian
anjak piutang untuk membayar kepada faktor tidak dengan sendirinya menjadi tangungan
klien kecuali apabila memang dengan tegas diperjanjikan lain. Hal ini sesuai dengan asas
kebebasan berkontrak yang dianut dalam KUH Perdata kita.

Bab 3 • Anjak Piutang 59


klien tidak lagi bertanggung jawab dan tidak dapat dikembalikan
penagihan kepada pihak klien.
Kegiatan Anjak Piutang dapat dilakukan dalam bentuk Anjak
Piutang tanpa Jaminan dari Penjual Piutang (Without Recourse)221.
Anjak Piutang tanpa jaminan dari Penjual Piutang (Without Recourse)
adalah kegiatan Anjak Piutang di mana Perusahaan Pembiayaan
menanggung seluruh risiko tidak tertagihnya piutang222.

2. Dari Segi Negara Tempat Kedudukan Para Pihak, dibagi:

a. Domestic Factoring, yaitu cara kerja pengalihan piutang melalui


anjak piutang yang semua pihak berada dalam satu negara.
b. International Factoring, yaitu cara kerja anjak piutang dalam hal
pihak nasabahnya berada di luar negeri. Untuk International Factoring
ini sering disebut juga dengan istilah Export Factoring.

3. Dari Segi Service (Jasa), dibagi:

a. Financial Factoring, yaitu faktor memberikan jasa atau bantuan


finansial. Jasa finansial ini diberikan lewat advance payment oleh
faktor kepada klien sebelum jatuh tempo atau sebelum ditagihnya
piutang.
Dalam keadaan yang demikian faktor dapat memberikan bantuan
berupa pembayaran sampai 80% atau bahkan sampai dengan 90%
dari jumlah piutang dagang, segera setelah diadakan kontrak factoring
dan penyerahan bukti-bukti penjualan.

b. Nonfinancial Factoring, dalam hal ini faktor memberikan jasa


nonfinansial sehingga faktor melayani kepentingan credit management
dari klien.

221 Lihat Pasal 4 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
222 Lihat Pasal 4 ayat (3) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.

60 Hukum Lembaga Pembiayaan


Jasa nonfinancial ini dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1) Credit investigation. Besarnya risiko yang dihadapi klien sampai
sebelum menyetujui pembelian piutang maka klien meminta
faktor untuk menilai kemampuan membayar (credit standing)
dari nasabah dengan sebaik-baiknya.

2) Sales ledger administration. Cara kerja sales ledger administration


sama dengan fungsi sales accounting, yaitu dengan melakukan
pembukuan penagihan atas penjualan yang dilanjutkan dengan
memberi laporan posisi utang pada nasabah klien.

3) Credit control, termasuk collection. Dalam hal ini faktor


memonitor penjualan yang dilakukan pihak klien dengan
baik, aktivitasnya termasuk juga untuk menetapkan prosedur
penagihannya agar piutang dagang dapat diselesaikan pada
waktunya.

4) Protection against credit risk. Dalam hal ini faktor mengusaha-


kan cara-cara pengamanan terhadap risiko bad debs (penagi-
han).

F. PERJANJIAN ANJAK PIUTANG


Perjanjian anjak piutang223 merupakan perjanjian obligatoir, karena
baru menimbulkan kewajiban bagi klien untuk menyerahkan piutangnya
dan/atau baru berupa pengalihan piutang224 kepada faktor. Faktor akan

223 Sebagai suatu perjanjian jual beli maka perjanjian anjak piutang tunduk pada
ketentuan-ketentuan dalam Buku Ketiga KUH Perdata sejauh para pihak tidak mengatur
sesuatu masalah yang menyangkut hubungan hukum mereka dan sejauh menyangkut
ketentuan-ketentuan pokok yang bersifat mengikat yang terdapat di dalam KUH Perdata
tersebut. Contoh draf, dalam [Sudargo Gautama, Contoh....., op.cit, hlm. 33-47]; bandingkan
dengan Mariam Darus Badrulzaman, Aneka....., op.cit, hlm. 32; Mariam Darus Badruzaman &
Sugondo Kramadibrata, “Perjanjian....., op.cit, hlm. 13.
224 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 231; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 88.

Bab 3 • Anjak Piutang 61


memberikan jasa faktoring kepada klien225, apabila telah diikuti oleh
perjanjian zakelijk/kebendaan berupa penyerahan faktur-faktur atas
barang.
Anjak piutang juga sebagai perjanjian sui generis226 (terdiri dari perjan-
jian jual beli piutang227, pemberian kuasa228), yang mengatur tanggung
jawab faktor sebagai imbalan dari renumeration, sifat discretionair (discretion-
ary nature) dari hak-hak faktor dalam hubungan keuangan yang timbul
karena pemberian piutang dan konsekuensinya yaitu pembayaran229 oleh
faktor kepada klien.
Anjak piutang sebagai kegiatan bisnis mengandung risiko tinggi, maka
penting diperhatikan transaksinya bersifat nasional atau internasional.

225 Ibid, hlm. 100.


226 Secara yuridis perjanjian anjak piutang mencakup unsur-unsur beberapa perjanjian
yang diatur dalam KUH Perdata, yaitu antara lain perjanjian jual beli khususnya jual beli
piutang, perjanjian jual beli angsuran, perjanjian kuasa. Pada prinsipnya perjanjian anjak
piutang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.
227 Dalam KUH Perdata ditentukan bahwa jual beli itu dianggap telah terjadi antara
kedua belah pihak seketika setelah orang-orang itu mencapai sepakat tentang kebendaan
tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum
dibayar (Pasal 1458 KUH Perdata). Selanjutnya disebutkan pula bahwa hak milik atas barang
yang dijual itu tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahan belum dilakukan
menurut Pasal 612, 613 dan 616 KUH Perdata (Pasal 1459 KUH Perdata). Penyerahan tagihan
dan jual beli perjanjian anjak piutang dilakukan dengan penyerahan hak milik ketentuan
Pasal 613 KUH Perdata yaitu terhadap benda bergerak tak bertubuh; bandingkan dengan
Mariam Darus Badrulzaman & Sugondo Kramadibrata, “Perjanjian....., op.cit, hal. 20.
228 Ketentuan seperti ini secara tegas disebutkan dalam Pasal 24 dari perjanjian anjak
piutang yang dilakukan oleh perusahaan Niaga Factoring Corporation, yaitu klien dengan
ini memberi kuasa kepada faktor yang tidak dapat ditarik kembali untuk dan atas nama
klien baik selama dan setelah pengakhiran perjanjian ini di Indonesia atau di mana saja di
dunia untuk melaksanakan dan menyelesaikan setiap pengalihan hukum yang dikehendaki
faktor dari semua atau setiap piutang yang dibeli berdasarkan perjanjian ini. Akibat hukum
yang mengikat bagi seorang nasabah (pelanggan) setelah adanya perjanjian anjak piutang
antara perusahaan anjak piutang (faktor) dengan klien (klien) baru berlaku setelah adanya
pemberitahuan secara tertulis. Saat itu nasabah (pelanggan) hanya dapat membebaskan diri
dari kewajiban piutang lewat pembayaran kepada perusahaan anjak piutang yang dalam
hal ini merupakan kreditur baru. Apabila pembayaran kepada kreditur lama atau klien
setelah pemberitahuan terjadi maka perusahaan anjak piutang berhak tidak mengakuinya
(menolak).
229 Dalam melakukan pembayaran piutang, yang sering kali terjadi sebelum piutang
yang bersangkutan ditagih dari Nasabah (terakhir), Faktor harus mempunyai hak (dan
kewenangan) untuk mengubah “timing” pembayaran tersebut setiap saat dan sepanjang umur
Perjanjian itu (yaitu) manakala situasi/kondisi berubah, misalnya, apabila Klien bersikeras
untuk menjual di atas limit kredit yang ditentukan oleh Faktor.

62 Hukum Lembaga Pembiayaan


Jika transaksi internasional mesti dilihat klausula tentang choice of law,
apakah berlaku hukum Indonesia atau tidak230.

1. Dokumentasi dalam Anjak Piutang

Dokumentasi transaksi anjak piutang menurut praktik dan hukum


di Indonesia231 adalah:
a. Perjanjian yang menyebabkan timbulnya piutang, seperti jual beli
atau ekspor impor antara klien dengan nasabah atau pelanggan.

b. Permohonan/penawaran jasa anjak piutang oleh klien.

c. Perjanjian anjak piutang antara klien dengan faktor, yang berisi: (a)
definisi istilah; (b) penawaran piutang oleh klien; (c) penyerahan
dokumen; (d) penerimaan oleh faktor; (e) harga pembelian; (f)
pembayaran232 dan beban biaya; (g) pembayaran awal; (h) cadangan
kontijensi; (i) persetujuan dari nasabah; (j) risiko dan pembayaran
kembali; (k) pengembalian uang jika barang-barang ditolak atau
dikembalikan; (l) masalah pajak; (m) pembayaran oleh nasabah;
(n) bunga; (o) jaminan; (p) kerugian atas kerusakan barang233; (q)
pilihan hukum dan pengadilan; (r) keterangan mengenai nasabah;
(s) permulaan, pengakhiran, dan perubahan; (t) pelepasan hak; dan
(u) surat kuasa.

230 Kalau justru hukum Indonesia yang berlaku, maka transaksi tersebut harus disesuai-
kan dengan hukum Indonesia agar sah berlakunya. Juga sama halnya jika transaksi tersebut
terhadap transaksi anjak piutang yang domestik. Lebih lanjut lihat Munir Fuady, Hukum
tentang....., op.cit, hlm. 126.
231 Ibid, hal. 124.
232 Pembayaran atas piutang yang dibeli oleh Faktor dapat dilakukan sebelum tanggal
hari bayar (maturity dates) dari setiap masing-masing piutang, atau pada hari bayar. Perjanjian
juga biasanya menentukan bahwa apabila pembayaran dilakukan sebelum hari bayar dari
faktur yang bersangkutan, Faktor dapat memungut biaya atas pembayaran-pembayaran
tersebut terhitung sejak tanggal pembayaran dilakukan sampai hari bayar yang tercantum
pada faktur.
233 Setiap kredit yang diberikan oleh Klien kepada nasabah (misalnya untuk barang
dagangan yang cacat dan dikembalikan) akan mengurangi nilai piutang dimaksud, dan
karenanya juga mengurangi utang Faktor kepada Kliennya.

Bab 3 • Anjak Piutang 63


d. Akta cessie.

e. Pemberitahuan berupa persetujuan dari nasabah (pelanggan) sebagai


notification factoring234.

f. Konfirmasi dari nasabah (pelanggan) yang dilengkapi dengan


penagihan235

g. Dokumen utang seperti invoice, delivery order, promes, dan sebagainya.


Faktor tidak bertanggung jawab untuk sengketa-sengketa yang
timbul, dan perjanjian harus menegaskan mengenai faktur-faktur
yang mengandung risiko236.

234 Selain notification factoring ada pula ketentuan non-notification factoring, dilakukan
dalam hal: (a) sengaja disembunyikan kepada nasabah (pelanggan), karena terdapat
larangan untuk mengalihkan piutang secara kontraktual; (b) notifikasi tidak praktis, karena
jumlah nasabah cukup banyak, sedangkan jumlah piutangnya kecil; dan (c) menghindari
kekurangseriusan dari pihak nasabah (pelanggan), karena menganggap bahwa dengan
adanya pengalihan piutang, pihak pengalih piutang dianggap sudah kurang bonafiditasnya.
Terhadap anjak piutang (factoring) tanpa notifikasi menurut sistem hukum dalam KUH
Perdata tidak punya kekuatan hukum sama sekali, hal ini disebabkan tidak terpenuhinya
ketentuan dalam Pasal 613 KUH Perdata. Kecuali apabila pihak debitur mengakuinya akan
menyetujuinya secara tertulis.
235 Contoh pemberitahuan tersebut ialah (lebih lanjut lihat juga Mariam Darus &
Sugondo Kramadibrata, “Perjanjian....., op.cit, hal. 24-25): jumlah uang yang tercantum
pada faktur ini telah dijual kepada atau dibeli oleh PT Angin Ribut dan karenanya kami
minta agar pihak saudara membayarkan seluruh jumlah utang tersebut di atas kepada PT
Angin Ribut. Tanda terima dari PT Angin Ribut yang dibubuhi cap perusahaan merupakan
bukti yang sah tentang telah dilunasinya faktur tersebut. Kewenangan yang diberikan ini
tidak dapat dicabut kembali tanpa persetujuan tertulis dari PT Angin Ribut. Mengenai cara-
cara pemberitahuan dalam perjanjian anjak piutang dapat dilakukan oleh salah satu pihak
yang terlibat dalam perjanjian. Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 30 Perjanjian Anjak
Piutang Niaga Factoring Corporation bahwa pemberitahuan-pemberitahuan berdasarkan
perjanjian ini dapat diberikan oleh salah satu pihak dalam perjanjian ini dengan mengirimkan
pemberitahuan tersebut dengan pos tercatat yang ongkosnya dibayar di muka ke kantor atau
alamat yang terdaftar dari pihak lainnya yang disebutkan diatas dan setiap pemberitahuan
yang dikirimkan secara demikian harus dianggap telah diberikan 3 (tiga) hari setelah tanggal
pemberitahuan tersebut dikirimkan melalui pos tersebut.
236 Dalam situasi yang terakhir, Faktor hanya dapat keluar dari risiko dan meninjau
kembali tanggung jawabnya, apabila setelah sengketanya diselesaikan, ternyata nasabah
berada dalam keadaan tidak bisa membayar. Pembatalan hanya dapat dilakukan pada faktur-
faktur yang baru akan diterbitkan dan dijual kemudian. Kewajiban Klien dalam hubungan ini
adalah untuk tidak menyembunyikan keterangan apa pun yang dapat mengakibatkan Faktor

64 Hukum Lembaga Pembiayaan


h. Dokumen pengiriman jika ada, seperti bill of lading, surat jalan, dan
sebagainya

i. Dokumen jaminan237, karena transaksi anjak piutang membutuhkan


jaminan atas penjualan piutang dari klien, dengan tujuan mengurangi
risiko nonpembayaran oleh nasabah, seperti personal atau corporate
guarantee. Kewajiban menanggung kerugian faktor manakala jaminan
klien tidak benar.

Dengan banyak dokumen yang dibutuhkan dalam perjanjian factoring


ini jelas kelihatan bahwa sebenarnya factoring itu sendiri mempunyai
tujuan atau beberapa pertimbangan dalam menjual piutang238 yang
menyangkut biaya: (a) mempertahankan customer; (b) perlindungan bad

untuk membatalkan perlindungan kredit pada setiap nasabah.


237 Bahwa jaminan yang diberikan klien: (a) klien yang menjamin kecuali yang telah
diberitahukan kepada faktor secara tertulis, klien tidak mempunyai suatu jaminan beban-
beban yang bersifat tetap atau tidak tetap yang masih berlaku atas setiap bagian yang
kekayaan atau kegiatannya dan klien mengikat diri untuk memberitahukan kepada faktor
secara tertulis sebelum melakukan pembebanan tersebut; (b) selama berlakunya perjanjian
anjak piutang ini, klien mengikat diri untuk, tanpa persetujuan terlebih dahulu secara tertulis
dari faktor, tidak mengalihkan, membebankan atau dengan cara lain memindahtangankan
suatu piutang yang timbul dari penjualan kredit yang bukan kepada faktor maupun untuk
mengadakan suatu perjanjian atau melakukan pengaturan untuk melakukan hal tersebut;
(c) klien menjamin kepada faktor bahwa semua piutang yang klien tawarkan kepada faktor
berdasarkan atau sesuai dengan perjanjian anjak piutang sepenuhnya dapat dilaksanakan
dan tidak diperselisihkan dan piutang adalah milik klien yang tidak dibebani atas mana
klien bebas untuk memperdagangkan, terlepas dari suatu hak jaminan atau beban apa
pun; (d) klien mengikatkan diri untuk menjamin bahwa semua piutang yang diterima oleh
faktor adalah bebas dari hak konpensasi atau tuntutan balik apa pun antara klien dan para
pelanggannya; (e) klien mengikatkan diri untuk memenuhi semua ketentuan dan kewajiban
klien yang timbul dari atau yang tercantum dalam setiap kontrak mengenai perjanjian kredit;
(f) klien mengikatkan diri untuk memenuhi persyaratan, apabila diminta oleh faktor, untuk
menandatangani dan menyerahkan dokumen jaminan tambahan dalam rangka menjamin
pelaksanaan dan pemenuhan kewajiban-kewajiban pembayaran penjualan piutang
berdasarkan perjanjian anjak piutang ini; dan (g) semua biaya hukum, ongkos-ongkos, biaya-
biaya dan pengeluaran-pengeluaran lainnya yang layak dan wajar dikeluarkan oleh faktor
untuk membebaskan piutang dari hak jaminan, hak-hak yang diprioritaskan atas beban lain
atau dalam pelaksanaan hak-hak faktor dalam hubungannya dengan piutang tersebut atau
berdasarkan perjanjian ini harus dibayar oleh klien; bandingkan dengan Munir Fuady, Hukum
tentang....., op.cit, hlm. 105.
238 Ibid, hlm. 76-78

Bab 3 • Anjak Piutang 65


debt; (c) pertimbangan cash flow; (d) perbandingan dengan biaya internal;
dan (e) perlindungan dengan pembiayaan biasa.

2. Kewajiban dan Hak Para Pihak dalam Perjanjian

Dalam perjanjian anjak piutang dapat disebutkan beberapa hal yang


menjadi kewajiban dan hak para pihak.
a. Pihak Faktor
1) Kewajibannya: (1) menerima penawaran piutang yang timbul
dari penjualan dengan cara kredit dari klien239; (2) melakukan
pembayaran kepada klien berupa pembayaran awal sebesar
80% hingga 90% dari harga jual dalam invoice (faktur) sebagai
prepayment240; (3) menyelesaikan sisa pembayaran selebihnya
setelah tagihan lunas ditarik dari nasabah.
2) Haknya: (1) menerima semua dokumen invoice (faktur) dari
klien; (2) menerima piutang dalam keadaan bersih dan bebas
dari segala tuntutan; (3) melakukan penagihan piutang kepada
nasabah sesuai syarat pembayaran yang telah ditetapkan antara
penjual piutang dengan nasabah.

239 Ketentuan lain menyebutkan bahwa penjual piutang tidak bertanggung jawab
tentang cukup mampunya si berutang, kecuali jika ia telah mengikatkan dirinya untuk itu
dan hanya untuk jumlah harga pembelian yang telah diterimanya untuk piutangnya (Pasal
1535 KUH Perdata). Pasal ini memberikan pengertian bahwa seorang yang menjual piutang
kepada orang lain tidak akan bertanggung jawab untuk menjamin tentang cukup mampunya
si berutang membayar utang-utangnya kepada kreditur yang baru sehubungan dengan telah
terjadinya penjualan piutang tersebut. Akan tetapi lain halnya jika penjual piutang telah
mengikatkan dirinya dalam perjanjian penjualan piutang tersebut untuk menanggung dan
bertanggung jawab terhadap kemampuan si debitur untuk membayar utangnya. Selanjutnya
ditentukan penjual piutang telah berjanji untuk menanggung terhadap cukup mampunya
si berutang, maka janji ini harus diartikan kemampuannya sekarang, dan tidak mengenai
keadaan di kemudian hari, kecuali jika dengan tegas dijanjikan sebaliknya (Pasal 1536 KUH
Perdata). Ketentuan pasal ini memberikan pengertian bahwa seorang penjual piutang jika
ia telah berjanji untuk menanggung si berutang untuk membayar utang-utangnya maka
janji itu harus diartikan untuk kemampuannya pada saat sekarang bukan kemampuannya
mengenai keadaan yang akan datang. Akan tetapi lain halnya jika ada diperjanjikan lain
yaitu diperjanjikan sebaliknya. Di sini penjual piutang terikat kepada kewajibannya untuk
menjamin terhadap cukup mampunya si berutang (debitur) untuk membayar utang-
utangnya.
240 Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 94.

66 Hukum Lembaga Pembiayaan


b. Pihak Klien
1) Kewajibannya: (1) melakukan penawaran piutang kepada
faktor; (2) menyerahkan semua dokumen berupa invoice
(faktur) dari klien; (3) menjamin bahwa piutang-piutang
yang dialihkan bersih dan bebas dari segala tuntutan241; (4)
menyampaikan pemberitahuan kepada nasabah mengenai
telah dilakukan pengalihan piutang kepada faktor; (5) tidak
menerima pembayaran piutang dari nasabah yang telah dibeli
oleh faktor242.
2) Haknya: (1) menerima pembayaran dari faktor yaitu berupa
pembayaran awal sebesar 80% hingga 90% dari harga jual; (2)
menerima sisa pembayaran selebihnya dari faktor setelah tagihan
tersebut lunas ditarik dari nasabah.

c. Pihak Nasabah
1) Kewajibannya: melakukan pembayaran piutang kepada faktor
sebagai kreditur baru.
2) Haknya: menerima pemberitahuan tentang pengalihan piutang
secara tertulis.

241 Dari beberapa ketentuan yang ada dalam perjanjian anjak piutang oleh perusahaan
Niaga Factoring Corporation dapat dikatakan bahwa pihak penjual piutang (klien) yang
menanggung risiko yang mungkin timbul dalam masa perjanjian anjak piutang itu masih
berlangsung. Dalam pasal-pasal yang mengatur tentang risiko di dalam perjanjian anjak
piutang tersebut selalu saja disebutkan bahwa pihak penjual piutang (klien) akan menjamin
untuk mengganti kerugian kepada pembeli piutang (faktor) terhadap kemungkinan kerugian.
Oleh karenanya risiko dalam perjanjian ini dapat dikatakan memakai ketentuan with recourse
factoring. Di dalam KUH Perdata ada ditentukan bahwa barang siapa menjual suatu piutang
atau suatu hak-hak tak bertubuh lainnya, harus menanggung bahwa hak-hak itu benar ada
sewaktu diserahkan, biarpun penjualan dilakukan tanpa janji penanggungan (Pasal 1534
KUH Perdata). Dari ketentuan pasal ini ditentukan bahwa penjual piutang harus bertanggung
jawab terhadap kebenaran dari hak-hak yang dijual itu kepada pembeli piutang seandainya
pun penjualan itu dilakukan tanpa adanya suatu perjanjian penanggungan.
242 Semua dan setiap uang, cek, wesel, pengiriman uang atau pembayaran-pembayaran
lainnya atau bukti dokumen pembayaran dalam bentuk asli mengenai suatu piutang yang
dibeli berdasarkan perjanjian anjak piutang yang dibuat, yang diterima oleh penjual piutang
merupakan harta benda milik mutlak dari pembeli piutang dan harus segera diserahkan,
dipindahkan atau diberikan secara fisik oleh penjual piutang kepada pembeli piutang pada
saat diterima oleh penjual piutang.

Bab 3 • Anjak Piutang 67


3. Karakter Hukum Perjanjian Anjak Piutang
Karakter hukum perjanjian anjak piutang adalah cessie yaitu
penyerahan atau pengalihan piutang dari kreditur lama (klien) kepada
kreditur baru (faktor)243. Penyerahan piutang atas nama dan barang-
barang tak bertubuh lainnya diatur dalam Pasal 613 KUH Perdata244,
dengan konsekuensi setiap transaksi anjak piutang harus diikuti dengan
penyerahan hak melalui akta, kemudian dilakukan pemberitahuan
mengenai adanya penyerahan itu oleh juru sita kepada debitur dari
piutang tersebut245.
Apabila terjadi kepailitan pada kreditur lama setelah dibuatnya akta
cessie, kreditur baru tetap aman246 sekalipun terjadi beslag pada kreditur
lama karena hak atas piutang tersebut telah berpindah pada kreditur
baru.
Dengan adanya karakteristik factoring ini menunjukkan bahwa adanya
suatu spesifikasi dalam perjanjian factoring, yang membedakannya dengan
kegiatan penyediaan dana lainnya. Yang dibedakan antara lain:
a. Perbedaan antara Factoring dengan Kredit Bank247: (1) Bahwa
factoring tidak memakai sistem jaminan dengan agunan, sedangkan

243 Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 89.


244 Dalam Pasal 613 KUH Perdata ditentukan sebagai berikut: (1) Penyerahan piutang-
piutang atas nama dan kebendaan tidak bertubuh lainnya dilakukan dengan jalan membuat
sebuah akta autentik atau di bawah tangan dengan mana hak-hak atas kebendaan itu
dilimpahkan kepada orang lain. (2) Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada
akibatnya melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis
disetujui dan diakuinya.
245 Menurut Scholten bahwa cessie dapat ditunjukkan dari dua segi. Sebagai lembaga
perikatan maka cessie merupakan lembaga penggantian kualitas kreditur. Kemudian sebagai
bagian dari hukum benda maka cessie merupakan cara untuk melaksanakan peralihan hak
milik, dalam Satrio. J, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie, & Percampuran Hutang, Alumni,
Bandung, Cet.ke-1, 1991, hlm. 24; bandingkan dengan Sri Soedewi Masjchoen Syofwan,
Hukum....., op.cit, hlm. 60; Achmad Ichsan, Hukum Perdata (I A), Pembimbing Masa, Jakarta,
Cet.ke-1, 1969, hlm. 183.
246 Juga kepailitan kreditur lama tak mengganggu kreditur baru sekalipun tidak ada
pemberitahuan kepada debitur, karena pemberitahuan kepada debitur bukan syarat untuk
adanya cessie. Dalam KUH Perdata ada ditentukan bahwa pembayaran dengan iktikad baik
dilakukan kepada orang yang memegang surat piutangnya adalah sah, juga surat piutang
tersebut kemudian karena suatu penghukuman untuk menyerahkannya kepada orang lain,
diambil dari penguasaan orang tersebut (Pasal 1386 KUH Perdata).
247 Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 118-119.

68 Hukum Lembaga Pembiayaan


kredit bank umumnya memakai agunan; (2) Factoring tidak bisa
menghimpun dana dari masyarakat, sedangkan bank usahanya
adalah menghimpun dan menyalurkan dana dari dan ke masyarakat;
(3) Factoring diawasi oleh Departemen Keuangan, sedangkan bank
diawasi oeh Bank Indonesia.

b. Perbedaan antara Factoring dengan Check Discounting: Dalam sistem


check discounting, pihak pemegang cek sama sekali tidak ikut terlibat
dalam bisnis penerbit cek, karena pemegang cek hanya diberikan
suatu cek mundur untuk menagih jatuh temponya cek, sedangkan
factoring, faktor terlibat langsung menjadi pihak dalam transaksi
bisnis.

c. Perbedaan antara Factoring dengan Account Receivable: (1) Dalam


account receivable diperlukan contract assignment dari pihak suppier
kepada pihak bank pemberi kredit untuk tujuan jaminan yang bukan
sebagai jual beli atau pengalihan piutang sebagaimana pada factoring;
(2) Pada account receivable, pihak debitur masih tetap supplier, bukan
pembeli seperti pada sistem factoring; (3) Biaya pada factoring berupa
factoring fee plus biaya-biaya financing lainnya, sedangkan pada account
receivable biaya adalah bunga dan charges.

d. Perbedaan antara Factoring dengan Reserve Plan Discounting: pada


Reserve Plan Discounting pihak penyedia dana harus menyediakan
15% dari dana tagihan yang akan dipotong sebagai jaminan manakala
ada risiko, sehingga pihak penyedia dana akan menanggungnya,
sedangkan pada factoring tidak sebesar itu pemotongan yang
terjadi.

e. Perbedaan antara Factoring dengan L/C: (1) L/C adalah sistem


pembayaran, sedangkan factoring adalah sistem pendanaan; (2)
Kebutuhan dana untuk L/C lebih besar bila dibandingkan dengan
factoring; (3) L/C adalah transaksi yang berhubungan dengan
dokumen, sedangkan pada factoring merupakan transaksi barang.

Bab 3 • Anjak Piutang 69


f. Perbedaan antara Factoring dengan Debt Collector: (1) Debt collector
menggunakan teknik-teknik penagihan tertentu, baik secara psikologis
maupun fisik, sedangkan factoring tidak demikian; (2) Dect collector
tidak menanggung risiko penagihan, sedangkan factoring dapat
menanggung risiko atas kegagalan penagihan248.

G. MANFAAT DAN KERUGIAN MENGGUNAKAN ANJAK


PIUTANG
1. Manfaat
Pendanaan dengan menggunakan metode anjak piutang ternyata
banyak keuntungan dalam praktik dunia bisnis, terutama jika dibandingkan
dengan metode pembiayaan lainnya, antara lain249:
a. Anjak piutang dapat menurunkan biaya produksi yakni dengan
adanya pembayaran lebih cepat, maka kegiatan usaha dapat
memanfaatkan price discount dari suatu produk.
b. Membantu meningkatkan sumber kredit, yakni dengan adanya
fasilitas advanced payment dari perusahaan faktor250.
c. Meningkatnya daya saing dari dunia usaha dengan timbulnya
kemungkinan melakukan perdagangan secara open account.
d. Dengan cepatnya mendapatkan instant cash, maka anjak piutang
dapat membantu peningkatan perolehan laba dari dunia usaha.
e. Pengambilalihan risiko kerugian dunia usaha jika ternyata tagihan
tidak bisa dicairkan.

248 Bandingkan Jasa Penagihan Kriminal, dalam Adrianus Meliala, Menyingkap Kejahatan
Krah Putih, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Cet.ke-2, 1995, hlm. 140.
249 Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hal. 80; Abdulkadir Muhammad & Rilda
Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 235.
250 Dapat mengadakan cash flow bagi perusahaan yang kebetulan menjual produknya
secara kredit, karena dengan menjual piutang tersebut akan memperoleh dana tunai dari
perusahaan anjak piutang (faktor) sehingga dapat dipergunakan untuk kegiatan produksi.
Zainal Asikin, Pokok....., op.cit, hlm. 44.

70 Hukum Lembaga Pembiayaan


f. Secara umum anjak piutang dapat membantu akselerasi proses
perputaran perekonomian251.
g. Dapat memperlancar perputaran modal dalam kerangka menaikkan
mutu maupun keuntungan.
h. Mendorong pengusaha untuk lebih kompetitif dalam berusaha.

2. Kelemahan-kelemahan

Lembaga anjak piutang masih mempunyai kelemahan walaupun


sebagiannya masih bisa diperdebatkan, atau masih sangat tergantung
situasi dan kondisi dari banyak hal, di antaranya252:
a. Pemborosan Biaya
Karena ikutnya pihak lain, yaitu pihak faktor dalam hubungan antara
klien dengan nasabah, maka bisa jadi akan menambah beban biaya
terhadap bisnis yang bersangkutan.

b. Menurunkan Reputasi
Bagi negara-negara di mana institusi anjak piutang belum
memasyarakat, maka ada kesan seolah-olah klien menyerahkan
piutangnya kepada faktor dalam keadaan kesulitan dan tidak
sanggup melaksanakan sendiri penagihan piutangnya.

c. Bisnis Rentan Risiko


Karena hakikat yang inherent dalam institusi anjak piutang, seperti
absennya collateral, maka dapat juga timbul anggapan bahwa bisnis
dari perusahaan anjak piutang (faktor) mengandung risiko tinggi
terhadap keberhasilan dalam menagih piutang.

d. Kurang Profesional

251 Sebab alternatif untuk memperoleh keuntungan/keuangan secara tunai telah terbuka
melalui anjak piutang tanpa harus mengandalkan kredit perbankan yang cenderung lebih
birokratis dan membutuhkan jaminan.
252 Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hal. 84

Bab 3 • Anjak Piutang 71


Ada juga kelemahan anjak piutang tetapi sifatnya temporer yakni
profesionalitas perusahaan anjak piutang. Ini terutama disebabkan
karena bisnis anjak piutang belum begitu populer sehingga banyak
perhatian diberikan kepadanya dan tenaga ahli pun masih terbilang
langka.

H. PENGAWASAN DAN PEMBINAAN


Pengawasan dan pembinaan serta menjaga kerahasiaan253 atas
Lembaga Anjak Piutang dilakukan oleh Menteri Keuangan254, yang sejak
tanggal 31 Desember 2012255 beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan
jasa keuangan di sektor Lembaga Pembiayaan256.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan, OJK mempunyai wewenang257,
antara lain:
1. Menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan
mengenai Lembaga Jasa Keuangan dan pihak yang melakukan
kegiatan di sektor jasa keuangan.

2. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa


keuangan.

3. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis


terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu.

253 Lihat lebih lanjut SK Menteri Keuangan No.Kep-1382/MK/6/11/1975 tgl. 20 November


1975 tentang Rahasia Lembaga Keuangan Non Bank.
254 Lihat Pasal 11 jo Pasal 1 angka 10 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan; juga Kep. Bersama Men. Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia No.607/
KMK.017/1995 dan No.28/9/KEP/GBI tentang Pelaksanaan Pengawasan Perusahaan
Pembiayaan oleh Bank Indonesia; Permen Keuangan No.74/PMK.021/2006 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank; Kep.Dirjend LK No.Kep-
2833/LK/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah pada
Lembaga Keuangan Non Bank.
255 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
256 Lihat Pasal 6 huruf c UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
257 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

72 Hukum Lembaga Pembiayaan


Perintah tertulis adalah perintah secara tertulis untuk
melaksanakan atau tidak melaksanakan kegiatan tertentu guna
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan dan/atau mencegah dan mengurangi kerugian konsumen,
masyarakat, dan sektor jasa keuangan.
Perintah tertulis diberikan antara lain untuk mengganti pengurus
atau pihak tertentu di Lembaga Jasa Keuangan, menghentikan,
membatasi, atau memperbaiki kegiatan usaha atau transaksi,
menghentikan atau mengubah perjanjian antara Lembaga Jasa
Keuangan dengan pihak lain yang diduga merugikan konsumen,
masyarakat, dan sektor jasa keuangan, serta menyampaikan informasi,
dokumen, dan/atau laporan tertentu kepada OJK.

4. Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai


dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.

Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai


wewenang258, antara lain:
1. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan
konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan,
pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.

2. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/


atau pihak tertentu.

3. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan


pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan.

258 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Bab 3 • Anjak Piutang 73


4. Memberikan dan/atau mencabut:
a. izin usaha;
b. izin orang perseorangan;
c. efektifnya pernyataan pendaftaran;
d. surat tanda terdaftar;
e. persetujuan melakukan kegiatan usaha;
f. pengesahan;
g. persetujuan atau penetapan pembubaran;
h. penetapan lain.

I. PENCABUTAN IZIN USAHA


Pencabutan izin usaha perusahaan pembiayaan dilakukan dalam
hal perusahaan pembiayaan:
1. bubar, karena:
a. keputusan RUPS atau rapat anggota;
b. jangka waktu berdirinya perusahaan yang ditetapkan dalam
anggaran dasar berakhir;
c. putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
d. keputusan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam UU No.
17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian;

2. dikenakan sanksi, misalnya dicabut izin setelah diberikan dalam


waktu 60 hari tidak menjalankan kegiatan usaha;

3. tidak lagi menjadi perusahaan pembiayaan;

4. melakukan merger atau konsolidasi;

5. melanggar ketentuan UU No.24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas


Devisa dan Sistem Nilai Tukar dan Peraturan Pelaksanaannya, setelah
memperoleh rekomendasi dari Bank Indonesia.

74 Hukum Lembaga Pembiayaan


Usaha
BAB 4 Kartu Kredit

A. PENGERTIAN USAHA KARTU KREDIT


Usaha Kartu Kredit (Credit Card) adalah kegiatan pembiayaan
untuk pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan kartu
kredit259. Sehingga dengan demikian kartu kredit dapat disebut jenis
alat pembayaran yang dapat digunakan oleh masyarakat yang termasuk
alat pembayaran yang bersifat elektronis260.
Usaha kartu kredit merupakan usaha dalam kegiatan pemberian kredit
atau pembiayaan untuk pembelian barang atau jasa yang penarikannya
dilakukan dengan kartu. Secara teknis kartu kredit berfungsi sebagai sarana
pemindahbukuan dalam melakukan pembayaran suatu transaksi261.
Kartu kredit262 atau credit card adalah suatu kartu yang umumnya
dibuat dari bahan plastik, dengan dibubuhkan identitas dari pemegang dan

259 Lihat Pasal 1 angka 8 dan Pasal 3 huruf c Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan; pengertian yang sama terdapat dalam Pasal 1 huruf h Permen Keuangan No.
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
260 Lihat Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu No.2
Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi UU.
261 Lihat Penjelasan Pasal 6 huruf l UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU
No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
262 KUH Perdata maupun Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya KUHD)
tidak ada mengatur mengenai kartu kredit, maka untuk memahami dan mengetahui apa
sebenarnya kartu kredit ini, sebagai perbandingan lihat Abdulkadir Muhammad & Rilda
Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 263, dan Munir Fuady, Hukum tentang.....,, op.cit, hlm. 215; serta
Retnowulan Sutantio, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Hukum Perbankan, Seri Varia Yustisia 1,
diterbitkan MARI, Jakarta, Cet. ke-2, 1996, hlm. 9; Biro Hukum BI, Kartu Kredit Suatu Tinjauan

75
penerbitnya dengan basis magnetis263 yang memberikan hak kepada siapa
kartu ini diisukan untuk menandatangani tanda pelunasan pembayaran
harga dari suatu jasa atau barang yang dibeli di tempat-tempat tertentu264,
yang pembayaran pelunasannya dapat dilakukan oleh pembeli secara
sekaligus atau angsuran pada jangka waktu265. Kartu Kredit dapat juga
menguangkan kepada bank atau pada cabang bank yang mengeluarkannya266.
Pengertian credit card di atas lebih menitikberatkan pada fungsi sebagai alat
pembayaran pengganti uang tunai. Dengan demikian aspek terpenting
digunakannya kartu kredit dalam fungsi tersebut yaitu telah memberikan

dari Sisi Hukum, BHBI & AKKI, Jakarta:.......TT, hlm. 10.


263 Selanjutnya diupayakan mengembangkan kartu bayar berteknologi baru berbasis
chip, karena memiliki tiga keunggulan, yaitu sebagai alat pembayaran tunai (pay pass atau
kerap dikenal dengan sebutan kartu debit) di tempat-tempat tertentu, sebagai kartu kredit
dan sebagai alat bayar untuk pembelanjaan melalui internet. Dengan teknologi chip tingkat
keamanan kartu menjadi lebih tinggi ketimbang kartu magnetis, karena sebelum transaksi
dilakukan pemilik kartu harus memberikan identitas pribadi yang tercantum dalam PIN dan
password. Selama ini baik kartu kredit maupun kartu pembayaran dengan basis magnetis
hanya meminta Personal Identification Number (PIN) dari si pemilik, keamanan melalui
password ini yang tidak terdapat pada kartu magnetis. Keunggulan lain, kartu chip tersebut
menyimpan sejumlah data sosial pemegang kartu, sehingga apabila kartu itu berpindah
tangan maka kartu tersebut tidak akan dapat digunakan oleh si pemegang baru sebab
pemegang baru tentunya tidak akan mengetahui data sosial pemilik kartu yang sebenarnya;
lebih lanjut lihat Harian Koran Tempo, tanggal 06 Agustus 2003, Judul berita: Master Card
Kembangkan Kartu Berbasis Chip.
264 Munir Fuady, Hukum tentang.....,, op.cit, hal. 218; Hal yang hampir sama disebutkan
oleh Emmy Pangaribuan Simanjuntak, adalah “suatu kartu yang memberikan hak kepada
pemegangnya atas penunjukan dari kartu itu dan dengan menandatangani formulir rekening
pada suatu perusahaan dapat memperoleh barang-barang atau jasa tanpa perlu membayar
secara langsung” dalam Emmy Pangaribuan Simanjuntak, “Kartu Kredit”, makalah pada
Penataran Dosen Hukum Perdata, dilaksanakan FH UGM, Yogyakarta, tanggal 16–18
November 1992, hlm. 7.
265 Sri Susilo. Y, et al., Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta, Cet.
Pertama, 2000, hlm. 167.
266 Credit Card atau kartu kredit adalah “suatu jenis alat pembayaran sebagai pengganti
uang tunai, di mana kita sewaktu-waktu dapat menukarkan apa saja yang kita inginkan
yaitu di tempat di mana saja ada cabang yang dapat menerima credit card dari bank atau
perusahaan yang mengeluarkannya. Atau dapat juga menguangkan kepada bank yang
mengeluarkan atau pada cabang bank yang mengeluarkannya; atau disebut juga “Kartu
kredit berarti setiap alat, tertulis atau tanda lainnya, yang dikenal sebagai kartu kredit, plat,
kredit, charge atau dengan nama lainnya, yang menyatakan sebagai bukti perjanjian untuk
membayar harta benda atau jasa yang dikirim atau dikembalikan kepada atau atas perintah
orang yang ditunjuk atau pemegang”. Bandingkan dengan Imam Prayogo Suryohadibroto
& Djoko Prakoso, Surat Berharga – Alat Pembayaran dalam Masyarakat Modern, Rineka Cipta,
Jakarta, Cet.ke-2, 1991, hlm. 334.

76 Hukum Lembaga Pembiayaan


substitusi cara pembayaran di luar dan/atau di samping alat pembayaran
yang sah267 dan surat berharga268.

B. SEJARAH KARTU KREDIT


Sejarah memang tidak mungkin kita lupakan, demikian juga halnya
dalam transaksi. Bentuk transaksi yang paling tua adalah bentuk tukar-
menukar atau barter269. Kemudian ketika manusia mengenal alat bayar
dalam bentuk uang maka mulailah berkembang transaksi jual beli270.
Akan tetapi, ternyata uang sebagai alat bayar pun tidak cukup aman
bagi pemegangnya, karena tidak praktis, sering terjadi perampokan
atau kehilangan tanpa tersedia upaya pengamanan yang berarti, maka
kemudian berkembang bentuk-bentuk alat bayar lain, yaitu surat
berharga. Namun juga tidak cukup comfortable bagi pemegang maupun
penerimanya.
Kemudian berkembang alat bayar lain yang berbentuk kartu plastik,
yang secara populer disebut kartu kredit. Walaupun eksistensi kartu kredit
tidak dimaksudkan untuk menghapus secara total sistem pembayaran
dengan menggunakan uang cash ataupun surat berharga, tetapi terutama
untuk kegiatan pembayaran yang day to day dengan jumlah pembayaran
tingkat menengah, maka keberadaan kartu kredit sesungguhnya dapat
menggeser peranan uang cash ataupun cek271.

267 Uang kertas/logam.


268 Dalam dunia perusahaan dan perdagangan dikenal surat berharga. Orang
menyatakan itu surat berharga berdasarkan kenyataan bahwa surat itu mempunyai nilai uang
atau dapat ditukar dengan sejumlah uang, atau apa yang tersebut di dalam surat itu dapat
dinilai atau ditukar dengan uang. Surat-surat itu dapat berupa wesel, aksep, cek, saham,
obligasi, konosemen, karcis kereta api, surat penitipan barang dan lain-lain.
269 Model transaksi barter ini sudah ada sejak zaman dahulu. Karena model transaksi
inilah yang paling simpel untuk dilakukan. Tanpa perlu suatu alat bayar apa pun.
270 Perjanjian jual beli adalah termasuk perjanjian khusus yang diatur di dalam KUH
Perdata. Bila dilihat dari Pasal 1457 KUH Perdata ditemui definisi perjanjian jual beli sebagai
berikut: “Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan sesuatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga
yang telah diperjanjikan”. Dari definisi di atas diketahui, bahwa perjanjian jual beli adalah
perjanjian bersegi dua. Artinya dalam perjanjian jual beli para pihak yang terlibat dibebani
kewajiban di samping mempunyai hak.
271 Untuk pembayaran yang bukan tingkat menengah, memang penggunaan kartu

Bab 4 • Usaha Kartu Kredit 77


Di Amerika272, kartu kredit pertama sekali dipergunakan dalam
dekade 1920-an, yang diberikan oleh Departement-departement Store
besar kepada para pelanggannya. Tujuannya untuk mengidentifikasi
pelanggannya yang ingin berbelanja tetapi dengan pembayaran bulanan
tanpa bunga273. Kemudian di awal dasawarsa 1950-an, Dinner’s Club
mulai memperkenalkan kartu kredit tiga pihak yang mempunyai
hubungan hukum segitiga antara penerbit, pemegang kartu kredit dan
penjual barang/jasa. Setelah Dinner’s Club, lembaga-lembaga lain yang
menerbitkan kartu kredit ini adalah American Express Company dalam
tahun 1958 dan Hilton Credit Coorporation dalam tahun 1959.
Akhir dasawarsa 1950-an, Bank of America menjadi pionir dengan
memperkenalkan kartu kredit antarbank yang kemudian berkembang
menjadi apa yang sekarang dikenal dengan kartu kredit VISA. Dalam
hal kartu kredit seperti VISA, bukan hanya dipergunakan oleh satu bank
saja, tetapi dipergunakan secara bersamaan oleh beberapa bank dengan
sistem franchise. Fungsi bank-bank tersebut dapat berupa (1) penerbit kartu
kredit, atau dapat juga berupa (2) bank perantara bayar (collection bank),
yakni yang bertugas untuk menerima slip penjualan dari penjual barang/
jasa, dan membayarnya kepada penjual tersebut, dan meneruskan slip
penjualan tersebut kepada bank penerbit untuk mendapat pembayaran
kembali, dan (3) dapat juga suatu bank bertindak sekaligus sebagai bank
penerbit dan bank perantara bayar.
Perkembangan berbagai macam kartu kredit dan menerobos tapal
batas negara, seiring dengan arus globalisasi yang tidak terkecuali juga
di Indonesia. Perkembangan lebih lanjut di Malaysia pada tahun 1996
AmBank Berhard274 meluncurkan produk Al-Taslif Credit Card275, dengan

kredit masih belum populer. Karena, untuk transaksi kecil, orang cenderung menggunakan
uang cash, sementara untuk transaksi yang besar, pilihan jatuh pada alat bayar cek ataupun
surat-surat berharga lainnya.
272 Munir Fuady, Hukum tentang.....,, op.cit, hlm. 216.
273 Karena itu, kartu kredit seperti ini berbentuk kartu pembayaran lunas (charge card),
yang dibayar bulanan setelah ditagih, dan tanpa kewajiban membayar bunga. Jadi para
pihaknya hanya dua pihak saja, yaitu pihak pertama toko sebagai penerbit, sedangkan pihak
kedua adalah pelanggan sebagai pemegang kartu kredit.
274 Sebelumnya lebih dikenal sebagai Arab-Malaysian Bank Berhard.
275 Pertamanya kalinya kartu kredit syariah ada di dunia.

78 Hukum Lembaga Pembiayaan


menggunakan skim bai al-inah276 (bayar angsuran) dengan pertimbangan
ongkos yang lebih murah juga menggunakan sistem jual beli, yaitu bank
menjual sebagian asetnya kepada pelanggan dengan bayar angsuran,
yang kemudian nantinya bank akan membeli kembali aset itu secara
diskon277.

C. PENDIRIAN DAN IZIN USAHA KARTU KREDIT


Izin usaha adalah izin mendirikan untuk melakukan kegiatan
usaha di bidang pembiayaan yang ditetapkan oleh Menteri278, yang sejak
tanggal 31 Desember 2012279 beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
dengan secara jelas mencantumkan dalam anggaran dasarnya kegiatan
pembiayaan yang dilakukan.
Permohonan untuk mendapatkan izin usaha wajib dilampiri
dengan280:
1. Akta pendirian badan usaha termasuk anggaran dasar yang telah
disahkan oleh instansi berwenang, yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. Nama, bentuk usaha dan tempat kedudukan.

276 Yang berasal dari skim bithaman ajil, karena kurang dianggap sukses pada tahun 2001
direvisi dan diganti dengan skim bai al-inah.
277 Harian Republika, tanggal 23 April 2003, Judul berita: Biayanya Lebih Murah, Kartu
Kredit Syariah Lebih Digemari.
278 Lihat Pasal 8 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 1 huruf
i Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; Bank Indonesia,
“Pedoman Pelaksanaan Peraturan-peraturan tentang Pendirian Lembaga Keuangan”,
Penataran Dosen Hukum Perdata/Dagang, dilaksanakan FH UGM, Yogyakarta, 16-28
November/30 November-12 Desember 1992, hlm. 5; Dalam rangka meningkatkan peranan
dan kinerja perusahaan pembiayaan yang telah ada baik berupa kegiatan sewa guna usaha,
anjak piutang, usaha kartu kredit dan pembiayaan konsumen, Pemerintah menganggap perlu
mengambil kebijakan dengan menghentikan sementara pemberian izin usaha perusahaan
pembiayaan sejak tanggal 24 April 2002. Hal ini didasarkan pada Keputusan Menteri
Keuangan (Kepmenkeu) No.185/KNK.06/2002 tentang Penghentian Pemberian Izin Usaha
Perusahaan Pembiayaan.
279 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
280 Lihat Pasal 9 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.

Bab 4 • Usaha Kartu Kredit 79


Bentuk badan Usaha Perusahaan Pembiayaan Kartu Kredit
dapat dilakukan oleh Perusahaan yang berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas281 atau Koperasi282.
b. Kegiatan usaha sebagai perusahaan pembiayaan.
c. Permodalan, ditetapkan:
1) Perusahaan swasta nasional sekurang-kurangnya sebesar
Rp100.000.000.000-, (seratus miliar rupiah)283.
2) Perusahaan patungan sekurang-kurangnya sebesar
Rp100.000.000.000-, (seratus miliar rupiah)284.
Pemilikan saham oleh Badan Usaha Asing ditentukan paling
besar 85% (delapan puluh lima per seratus) dari Modal
Disetor285.
3) Koperasi sekurang-kurangnya sebesar Rp50.000.000.000-,
(lima puluh miliar rupiah)286.
d. Kepemilikan.
Pendirian Perusahaan Pembiayaan Usaha Kartu Kredit yang
berbentuk Perseroan Terbatas, sahamnya dapat dimiliki
oleh287:
1) Warga Negara Indonesia dan/atau Badan Hukum
Indonesia288.

281 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
282 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.17
Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
283 Lihat Pasal 13 huruf a Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
284 Lihat Pasal 13 huruf a Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
285 Lihat Pasal 7 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal
14 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
286 Lihat Pasal 13 huruf b Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
287 Lihat Pasal 7 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 7
ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
288 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.

80 Hukum Lembaga Pembiayaan


2) Badan Usaha Asing dan Warga Negara Indonesia atau Badan
Hukum Indonesia (usaha patungan)289.
e. Wewenang, tanggung jawab, masa jabatan direksi dan dewan
komisaris atau pengurus dan pengawas.

2. Data direksi dan dewan komisaris atau pengurus dan pengawas


meliputi:
a. fotokopi tanda pengenal yang berupa kartu tanda penduduk
(KTP) atau paspor;
b. daftar riwayat hidup;
c. surat pernyataan:
1) tidak tercatat sebagai debitur kredit macet di sektor
perbankan;
2) tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang
perbankan;
3) tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
4) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang
mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan
pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap;
5) tidak merangkap jabatan pada perusahaan pembi-
ayaan lain bagi Direksi;
6) tidak merangkap jabatan lebih dari 3 (tiga) perusa-
haan pembiayaan lain bagi Komisaris.
d. bukti pengalaman operasional di bidang perusahaan
pembiayaan atau perbankan sekurang-kurangnya se-
lama 2 (dua) tahun bagi salah satu direksi atau pengu-
rus;
e. fotokopi kartu izin menetap sementara (KIMS) dan fo-
tokopi surat izin bekerja dari instansi berwenang bagi
warga negara asing.

289 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.

Bab 4 • Usaha Kartu Kredit 81


3. Data pemegang saham atau anggota dalam hal:
a. Perorangan, wajib dilampiri dengan dokumen serta surat
pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman290
dan kegiatan pencucian uang (money laundering).
b. Badan hukum, wajib dilampiri dengan:
1) akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar
berikut perubahan-perubahan yang telah mendapat
pengesahan dari instansi berwenang termasuk bagi badan
usaha asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara
asal;
2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik
dan laporan keuangan terakhir291;
3) dokumen yang sama dengan angka 2 huruf a, b, dan c bagi
pemegang saham dan direksi atau pengurus.

4. Sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia.


a. Perusahaan pembiayaan dapat melakukan akuisisi, konsolidasi,
dan merger.
Akuisisi adalah pengambilalihan baik seluruh maupun sebagian
bear saham Perusahaan Pembiayaan yang dapat mengakibatkan
beralihnya pengendalian terhadap Perusahaan Pembiayaan292.
Konsolidasi adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan
Pembiayaan atau lebih, dengan cara mendirikan Perusahaan
Pembiayaan baru dan membubarkan Perusahaan-perusahaan
Pembiayaan tersebut dengan atau tanpa likuidasi293.

290 Lihat lebih lanjut SK Menteri Keuangan No.606/KMK.017/1995 tgl. 19 Desember


1995 tentang Ketentuan Pinjaman yang Diterima, Penyertaan, dan Pelaporan Perusahaan
Pembiayaan.
291 Lihat lebih lanjut Surat Edaran Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan No.SE-1087/
LK/1996 tgl. 26 Februari 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelaporan dan Sanksi bagi
Perusahaan Pembiayaan.
292 Lihat Pasal 1 huruf j Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
293 Lihat Pasal 1 huruf k Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.

82 Hukum Lembaga Pembiayaan


Merger adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan
Pembiayaan atau lebih dengan cara tetap mempertahankan
berdirinya salah satu Perusahaan Pembiayaan lainnya dengan
atau tanpa likuidasi294.
Pelaksanaan merger dan akuisisi wajib dilaporkan kepada
Menteri Keuangan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari
setelah merger dan akuisisi dilakukan, dengan melampirkan
(a) notulen RUPS atau rapat anggota; (b) perubahan anggaran
dasar yang telah disahkan atau dilaporkan kepada instansi
berwenang dan didaftarkan dalam daftar perusahaan; (c) akta
jual beli atau akta merger; (d) data pemegang saham, direksi,
dan dewan komisaris atau anggota pengurus dan pengawas; (e)
status kantor perusahaan pembiayaan yang menggabungkan
diri, di mana kantor pusat dan kantor cabangnya masih dapat
berjalan sebagai kantor hasil merger.
b. Kantor cabang.
Kantor cabang adalah unit usaha dari suatu perusahaan
pembiayaan yang diperkenankan menjalankan semua jenis
usaha perusahaan pembiayaan dan menyelenggarakan tata
usaha/pembukuan sendiri, tetapi dalam mengatur usahanya
tunduk pada segala ketentuan yang berlaku bagi kantor pusat
perusahaan pembiayaan yang bersangkutan295, dan hanya dapat
dilakukan dengan izin menteri.

5. Fotokopi bukti pelunasan modal disetor dalam bentuk deposito


berjangka pada salah satu bank umum di Indonesia dan dilegalisasi
oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama dalam proses
pengajuan izin usaha.

294 Lihat Pasal 1 huruf l Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
295 Lihat Pasal 1 huruf m Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan; juga SK Menteri No. Kep-1063/KMK.00/1988 tgl. 27 Oktober 1988 tentang
Pembukuan Kantor Cabang Lembaga Keuangan Bukan Bank.

Bab 4 • Usaha Kartu Kredit 83


6. Rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. rencana pembiayaan dan langkah-langkah yang dilakukan untuk
mewujudkan rencana dimaksud;
b. proyeksi arus kas/neraca dan perhitungan laba/rugi bulanan
dimulai sejak Perusahaan Pembiayaan melakukan kegiatan
operasional.

7. Bukti kesiapan operasional antara lain berupa:


a. daftar aktiva tetap dan inventaris;
b. bukti kepemilikan, penguasaan, atau perjanjian sewa-menyewa
gedung kantor;
c. contoh perjanjian pembiayaan yang akan digunakan;
d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

8. Perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia


bagi perusahaan patungan.
9. Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
(P4MN).
Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha diberikan
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap296, dan berlaku sejak tanggal
ditetapkan untuk tenggang waktu selama perusahaan masih
menjalankan usahanya297.
Perusahaan pembiayaan wajib menjalankan kegiatan usaha
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
izin usaha ditetapkan298, dengan ancaman pencabutan izin apabila
tidak melaksanakan kegiatan usaha299. Perusahaan pembiayaan

296 Lihat Pasal 10 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
297 Lihat Pasal 10 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
298 Lihat Pasal 12 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
299 Lihat Pasal 12 ayat (3) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.

84 Hukum Lembaga Pembiayaan


setelah melaksanakan kegiatan usaha wajib melaporkannya paling
lambat 10 (sepuluh) hari setelah kegiatan usaha dimulai300.

D. USAHA KARTU KREDIT


1. Kegiatan Usaha Kartu Kredit
Kegiatan Usaha Kartu Kredit dilakukan dalam bentuk penerbitan
kartu kredit yang dapat dimanfaatkan oleh pemegangnya untuk pembelian
barang dan/atau jasa301, sepanjang berkaitan dengan sistem pembayaran
wajib mengikuti ketentuan Bank Indonesia302.
Bentuk fisik dari kartu kredit mencantumkan:
a. Keterangan tentang badan hukum (perusahaan dan/atau bank) yang
menerbitkan kartu kredit. Keterangan ini penting untuk siapa yang
bertanggung jawab atas penagihan nantinya dari pihak pedagang
(merchant). Bagi penerbit sendiri pencantuman ini juga berarti sarana
promosi.
b. Nama dan tanda tangan pemegang kartu. Pencantuman nama
dan tanda tangan penting karena hanya orang yang nama dan
tanda tangan tercantum dalam kartu kredit tersebut sajalah yang
dapat menggunakan kartu itu, artinya kartu kredit itu tidak dapat
dipindahtangankan. Di samping itu juga ada kartu kredit yang
mencantumkan foto dari si pemegang303.
c. Nomor urut kartu kredit. Nomor urut kartu kredit berfungsi untuk
mengetahui berapa kartu kredit yang sudah dikeluarkan oleh
penerbit dan sebagai salah satu alat keamanan bagi penerbit dalam
menerbitkan daftar hitam yang disebarkan para pedagang.

300 Lihat Pasal 12 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
301 Lihat Pasal 5 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
302 Lihat Pasal 5 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
303 Hal ini sangat dimungkinkan dengan adanya prinsip kehati-hatian, sehingga pihak
penjual barang atau jasa (merchant/pedagang) lebih dapat memastikan bahwa si pemegang
adalah orang yang berhak atas kartu kredit tersebut.

Bab 4 • Usaha Kartu Kredit 85


d. Masa berlakunya kartu. Pencantuman masa berlaku pada kartu
kredit adalah agar pedagang dapat mengetahui apakah kartu kredit
tersebut masih berlaku atau tidak.
e. Kartu kredit bukan termasuk sebagai surat berharga304, karena
tidak memenuhi ciri-ciri surat berharga305 yang antara lain dapat
dipindahtangankan dengan mudah.

Berhubung kartu kredit mengandung berbagai aspek dan harus


didukung oleh berbagai pihak, maka selain pengertian kartu kredit
itu sendiri, perlu juga diberikan pemahaman tentang pihak-pihak dan
pendukung terciptanya lalu lintas kartu kredit, yaitu:
a. Pemegang kartu, adalah seseorang yang namanya tercantum pada
kartu dan berhak menggunakan kartu tersebut.

b. Merchant, adalah perusahaan atau perorangan yang menandatangani


perjanjian dengan bank untuk menerima pembayaran atas penjualan
barang-barang makanan atau jasa dengan menggunakan kartu
kredit.

c. Slip penjualan (sales draft), adalah formulir yang disediakan oleh


bank yang memproses untuk digunakan oleh merchant dalam

304 Sebenarnya pengertian tentang surat berharga yang diberikan masyarakat tidak
sama dengan yang dimaksudkan oleh pembuat undang-undang dalam KUHD. Surat-surat
itu berupa wesel, cek, bilyet giro, saham, oblogasi, kartu kredit, karcis kereta api, voucher
untuk menginap di hotel, dan sebagainya; surat dianggap sebagai surat yang berharga,
karena surat itu mempunyai nilai uang atau dapat ditukar dengan sejumlah uang, yang
diterbitkan untuk pemenuhan suatu prestasi, jelasnya surat berharga adalah surat yang
oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi,
yang berupa pembayaran sejumlah uang. Tetapi pembayaran itu tidak dilakukan dengan
menggunakan mata uang, melainkan dengan menggunakan alat bayar lain, berupa surat
yang di dalamnya mengandung suatu perintah kepada pihak ketiga, atau pernyataan
sanggup, untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang surat tersebut. Lebih lanjut
lihat Soetan Batoeh Boerhanudin, Surat-Surat Berharga dan Artinya Menurut Hukum, Angkasa,
Bandung, 1980, hal. 11.
305 Ciri-ciri utama surat berharga adalah (1) sebagai alat pembayaran (alat tukar
pengganti uang); (2) sebagai alat untuk memindahkan hak tagih (dapat diperjualbelikan
dengan mudah atau sederhana); (3) sebagai surat bukti hak tagih (surat legitimasi); (4) mudah
diperjualbelikan; dan (5) sebagai surat bukti tuntutan utang.

86 Hukum Lembaga Pembiayaan


melakukan transaksi penjualan barang-barang, makanan atau jasa
dan merupakan bukti yang sah bagi merchant untuk menagih kepada
bank atau badan usaha lainnya yang ditunjuk oleh bank penerbit.

d. Lembar penagihan (billing statement), adalah lembar informasi yang


berisi rincian penggunaan kartu kredit pemegang kartu utama dan
tambahan (pembelanjaan, pembayaran, penarikan uang tunai, biaya
administrasi) yang dicetak dan dikirimkan oleh penerbit setiap
bulannya 306.

e. Tanggal penagihan (cycle date), adalah tanggal tutup buku dan


sekaligus merupakan tanggal pencetakan tagihan setiap bulan.

f. Tanggal jatuh tempo (due date), adalah batas akhir bagi pemegang
kartu kredit untuk melakukan pembayaran tagihan baik minimum,
sebagian, maupun seluruh tagihan baru.

g. Batas kredit (credit limit), adalah batas maksimal penggunaan kartu


kredit yang besarnya telah ditentukan penerbit307.

Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan kegiatan usaha Kartu


Kredit diatur oleh Menteri308, yang sejak tanggal 31 Desember 2012309 beralih
kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang antara lain: Menerbitkan Surat
Sanggup Bayar (Promissory Note) dengan memenuhi prinsip kehati-hatian
(prudential principles)310. Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) adalah
surat pernyataan kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah
uang tertentu kepada pihak yang tercantum dalam surat tersebut atau
kepada penggantinya311.

306 Bank Negara Indonesia, Ketentuan Umum bagi Pemegang Kartu Kredit, BNI, Jakarta,
2002, hlm. 18.
307 Ibid, hlm. 19.
308 Lihat Pasal 8 dan Pasal 10 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
309 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
310 Lihat Pasal 10 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
311 Lihat Pasal 1 angka 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.

Bab 4 • Usaha Kartu Kredit 87


2. Pihak dalam Kartu Kredit
a. Pihak Penerbit (Issuer)312. Penerbit di sini merupakan pihak atau
lembaga atau badan usaha (hanya dalam bentuk usaha Perseroan
dan Koperasi) yang kegiatan usahanya mengeluarkan dan mengelola
kartu kredit, dengan hak dan kewajibannya adalah:
1) Kewajiban Penerbit
Penerbit bertanggung jawab atas perjanjian yang dibuatnya
dengan pemegang kartu dan pengusaha. Dengan demikian
penerbit mempunyai tanggung jawab kepada pemegang kartu
dan pengusaha (merchant).
Kewajiban penerbit kepada pemegang kartu adalah: (1)
menjamin penggunaan kartu kredit oleh pemegang kartu
kredit yang benar-benar berhak, dan (2) bertanggung jawab
atas kerugian akibat perbedaan nilai (kurs) mata uang (untuk
penerbit yang menagih transaksi yang dilakukan oleh pemegang
kartu kredit dengan mata uang asing).
Kewajiban penerbit kepada pengusaha antara lain: (1)
membayar tagihan yang dikirimkan pengusaha pada hari
kerja yang sama atau hari kerja berikutnya setelah pengusaha
mengirimkan daftar pembelian dan bukti kredit pembelian kepada
penerbit; (2) penerbit bertanggung jawab untuk mengirimkan
semua pemberitahuan resmi, seperti daftar hitam dari para
pemegang kartu, otorisasi (persetujuan) atas transaksi yang
melebihi limit kepada pengusaha; dan (3) penerbit bertanggung
jawab atas semua pemberian kredit kepada pemegang kartu.

2) Hak Penerbit
Hak penerbit adalah: (1) tidak memperpanjang keanggotaan
pemegang kartu kredit dengan atau tanpa alasan; (2) meminta
pembayaran dari pengguna atau pemegang kartu atas
pengeluaran pemegang kartu kredit akibat transaksi-transaksi
yang dibuatnya dan atas bunga yang timbul serta pembayaran

312 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 269.

88 Hukum Lembaga Pembiayaan


tahunan (annual fee) secara mencicil atau kredit; (3) pembayaran
minimal (10% dari jumlah utang); (4) mengubah limit kredit
maksimal sewaktu-waktu, tanpa pemberitahuan; (5) membekukan
keanggotaan pemegang kartu kredit bilamana diperlukan; (6)
menerima kembali kartu kredit yang telah dibatalkan; dan (7)
menagih keseluruhan tagihan pemegang kartu kredit dalam hal
meninggalnya pemegang kartu.

b. Pemegang Kartu (Card Holder)313. Adalah pihak yang telah memenuhi


prosedur atau persyaratan yang ditetapkan oleh penerbit untuk dapat
diterima sebagai anggota dan yang berhak menggunakannya. Untuk
diterima menjadi anggota suatu kartu, calon pemegang kartu harus
memenuhi persyaratan pokok jumlah minimum penghasilan per
tahunnya314, artinya kartu kredit hanya akan diberikan kepada orang-
orang tertentu, setelah dilakukan penyelidikan tentang kemampuan
pembayarannya315.
Pemegang kartu dibedakan atas kartu utama (basic card) dan
kartu tambahan (supplementary card). Kartu suplemen ini diterbitkan
untuk digunakan pihak-pihak yang akan ditanggung oleh pemegang
kartu utama316. Pemegang kartu utama bertanggung jawab atas
pembayaran terhadap tagihan pemakai kartu suplemen.

313 Ibid, hlm. 268


314 Untuk dapat menjadi pemegang kartu kredit, maka seseorang harus mengajukan
permohonan kepada bank atau lembaga keuangan yang menerbitkan kartu kredit. Selain itu
calon pemegang kartu harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh penerbit
kartu kredit. Setelah pemohon mengisi formulir permohonan yang berisikan keterangan
mengenai identitas, pekerjaan, penghasilan dan sebagainya, penerbit akan mengadakan
penilaian terhadap kemampuan membayar dari calon pemegang kartu kredit. Oleh karena
itu untuk menjadi pemegang kartu benar-benar diseleksi secara ketat. Tiap-tiap penerbit
kartu kredit mempunyai syarat-syarat tentang pendapatan/penghasilan minimal pemegang
kartu itu sendiri. Visa card misalnya masyarakat pendapatan minimal lima belas juta rupiah
per tahun, sedangkan American Express yang mempunyai tiga jenis kartu, yaitu “Green card”,
“Gold card” dan “Platinum card”, penghasilan minimum masing-maing sebesar 15, 30 dan
50 ribu dolar Amerika Serikat setiap tahun. Berbeda dengan “Dinner’s Club International”
mensyaratkan pendapatan minimal 15 juta rupiah per tahun.
315 Zainal Asikin, Pokok-Pokok Hukum Perbankan di Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, Cet.ke-1, 1995, hlm. 184.
316 Hubungan hukum yang terjalin antara pemegang kartu utama dengan pemegang
kartu tambahan adalah hubungan hukum pemberian kuasa, seperti yang diatur dalam Pasal

Bab 4 • Usaha Kartu Kredit 89


1) Kewajiban pengguna/pemegang kartu kredit kepada penerbit,
antara lain (1) bertanggung jawab atas semua kerugian yang
timbul akibat penyalahgunaan kartu kredit; (2) bertanggung
jawab atas pembayaran utang yang terjadi atas penggunaan
kartu kredit; dan (3) bertanggung jawab atas pembayaran bunga
karena keterlambatan pembayaran.
2) Hak pengguna/pemegang kartu, antara lain (1) menggunakan
kredit sebagai alat pembayaran pada tempat-tempat yang
terdaftar sebagai penerima kartu, menarik uang tunai pada
bank yang bersangkutan atau yang ditunjuk sebatas kredit
limit maksimal; (2) mengajukan permohonan membuat kartu
tambahan serta peningkatan kredit limit dengan persetujuan
penerbit; (3) mendapat kartu baru apabila hilang atau rusak
setelah dilaporkan; (4) mengajukan keberatan atas perhitungan
tagihan dalam jangka waktu yang ditentukan setelah perincian
penggunaan kartu diterima asalkan pembayaran minimum telah
dibayarkan lebih dahulu; (5) apabila pembayaran tagihan dari
penerbit melalui proses eksekusi, maka sisa pelunasan adalah
hak pemegang kartu; dan (6) memutuskan perjanjian kartu
kredit tanpa memberi alasan, dengan mematahkan kartu dan
menyerahkan kembali kepada bank.

c. Pihak Penjual Barang/Jasa (Merchant)317, adalah pihak yang ditunjuk/


disetujui oleh pihak pengelola untuk dapat melakukan transaksi
dengan pemegang kartu kredit sebagai pengganti uang tunai.
Merchant ini dapat berupa pedagang, toko-toko, hotel, restoran,
travel biro, dan sebagainya.
1) Kewajiban pedagang antara lain: (1) bertanggung jawab atas
pengisian nama dan nomor kartu kredit yang ditunjukkan
kepadanya, tanggal transaksi, dan jenis barang atau jasa yang dijual

1792 KUH Perdata yang menentukan bahwa: “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan
dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain yang menerimanya untuk
atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.”
317 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 270-271

90 Hukum Lembaga Pembiayaan


kepada pemegang kartu kredit yang dikirimkan kepada penerbit;
(2) bertanggung jawab atas pemeriksaan tanda tangan yang tertera
pada kartu kredit; (3) bertanggung jawab atas ketelitian dalam
memeriksa keganjilan pada kartu kredit dan restriksi mata uang;
(4) menyerahkan atau mengirimkan sales slip atau credit slip paling
lambat 15 (lima belas) hari setelah tanggal transaksi pada penerbit;
(5) bertanggung jawab atas penggunaan kartu kredit yang floor
limit atau batas minimum tanpa otorisasi penerbit; (6) bertanggung
jawab atas tuntutan atau tindakan hukum lainnya yang diambil
oleh pemegang kartu yang berkaitan dengan sales slip atau kartu
palsu; (7) bertanggung jawab atas kebenaran pengisian sales slip
atau kartu palsu termasuk jumlah tagihan; dan (8) menggunakan
dan memelihara Credit authorization terminal (CAT).
2) Hak pedagang ialah untuk mendapatkan pembayaran sejumlah
uang yang tertera pada nota penjualan dari penerbit kartu,
sebagai akibat dari transaksi pengguna kartu dengan pedagang,
setelah dikurangi sejumlah provisi sebagai keuntungan komisi
bagi penerbit dari jumlah harga transaksi penjualan tersebut.

d. Perantara (Acquirer)318 adalah pihak yang mengelola penggunaan


kartu kredit terutama dalam hal penagihan dan pembayaran antara
pihak issuer dan merchant dan/atau antara pemegang dan penerbit.
Acquirer akan meneruskan tagihan kepada penerbit yang
diberikan oleh penjual barang/jasa. Pihak perantara penagihan
akan mendapat komisi atau fee tertentu. Pihak perantara pembayaran
ini berkedudukan dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama
seperti pemberian jasa pengiriman uang lainnya.

3. Larangan Kegiatan bagi Usaha Kartu Kredit

Lembaga pembiayaan usaha kartu kredit dilarang menarik dana


secara langsung dari masyarakat dalam bentuk319:

318 Ibid, hlm. 271.


319 Lihat Pasal 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.

Bab 4 • Usaha Kartu Kredit 91


a. giro;
b. deposito;
c. tabungan.

4. Kewajiban Perusahaan Kartu Kredit

Kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan


lembaga pembiayaan kartu kredit dalam menjalankan aktivitasnya, antara
lain:
a. Wajib memiliki piutang pembiayaan sekurang-kurangnya sebesar
40% (empat puluh persen) dari total aktiva320.

b. Menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa yang apabila


meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna Jasa
maka Perusahaan Pembiayaan adalah sebagai pihak pelapor kepada
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)321.

c. Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban


perpajakan, perusahaan usaha kartu kredit wajib memberikan
data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan, yang sangat
diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak322.

d. Menerapkan sistem lembaga keuangan ramah lingkungan hidup,


yaitu suatu sistem lembaga keuangan yang menerapkan persyaratan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam kebijakan
pembiayaan dan praktik sistem lembaga keuangan bank dan lembaga
keuangan nonbank323.

320 Lihat Pasal 11 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan


Pembiayaan.
321 Lihat Pasal 17 ayat (1) huruf a angka (2) dan Pasal 18 ayat (3) huruf d UU No.8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
322 Lihat Pasal 35 A ayat (1) UU No.16 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu No.5 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
323 Lihat Penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf c UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

92 Hukum Lembaga Pembiayaan


5. Hak bagi Perusahaan Kartu Kredit
Hak yang diperoleh Lembaga Keuangan Perusahaan Kartu Kredit
dalam menjalankan aktivitasnya, antara lain:
a. Tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai terhadap jasa kartu kredit
yang diberikan324.

b. Tidak dikenakan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang dibayar


atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi
sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan325.

6. Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa atau yang berwenang memeriksa, memutus,


dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama atas pembiayaan yang
menggunakan konsep syariah adalah Pengadilan Agama326.

E. KLASIFIKASI KARTU KREDIT


Sebagai dampak dari jor-joran marketing ditambah dengan kreativitas
dari penjual jasa kartu kredit, maka nama kartu kredit banyak macamnya.
Pengkategorian kartu dapat dilakukan dengan melihat kepada327:

1. Kriteria Lokasi Penggunaan

a. Kartu Kredit Internasional, dimaksudkan sebagai kartu kredit yang


penggunaannya dapat dilakukan di mana saja, tanpa terikat dengan
batas antarnegara. Sungguh pun kartu kredit tersebut diterbitkan di

324 Lihat Pasal 4A ayat (3) huruf d UU No.42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.
325 Lihat Pasal 24 ayat (4) huruf h UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
326 Lihat Penjelasan Pasal 49 huruf i dan huruf h UU No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; Perma No.2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
327 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 271; bandingkan
dengan Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 223.

Bab 4 • Usaha Kartu Kredit 93


Indonesia pemegangnya dapat saja membeli barang/jasa yang ada
di Eropa. Contohnya VISA Card, MASTER Card, American Express,
dan sebagainya. Master Card internasional dapat ditemukan dengan
logo Cirrus, sedangkan visa internasional menggunakan logo Plus.

b. Kartu Kredit Lokal. Kartu ini hanya dapat digunakan di wilayah


tertentu atau di suatu negara tertentu saja, misalnya Indonesia.
Contohnya Lippo Card, BCA Card, dan sebagainya.

2. Kriteria Sistem Pembayaran

a. Kartu Kredit (Dalam Arti Sempit), yaitu jenis kartu yang dapat
digunakan sebagai alat pembayaran transaksi jual beli di mana
pelunasan atau pembayarannya kembali dapat dilakukan dengan
sekaligus atau dengan cara mencicil sejumlah minimum tertentu.

b. Kartu Pembayaran Lunas, sering disebut Charge Card, yang


penggunaannya tidak jauh berbeda dengan kartu kredit (dalam
arti sempit). Charge Card adalah kartu yang dapat digunakan sebagai
alat pembayaran suatu transaksi jual beli barang atau jasa di mana
nasabah harus membayar kembali seluruh tagihan secara penuh pada
akhir bulan atau bulan berikutnya. Dalam sistem charge card pihak
pemegang kartu akan melakukan pembayaran seluruh transaksi
yang dibuatnya pada saat ditagih oleh penerbitnya.

3. Berdasarkan Afiliasinya

a. Co-Branding Card, yaitu kartu kredit yang dikeluarkan atas kerja sama
antara institusi pengelola kartu kredit dengan satu atau beberapa
bank. Contohnya Visa, Master Card.

b. Affinity Card, yaitu kartu kredit yang digunakan oleh sekelompok


atau segolongan tertentu, misalkan kelompok mahasiswa, kelompok
profesi, dan lain-lain. Contohnya Ladies Card, Banker’s Card.

94 Hukum Lembaga Pembiayaan


F. PERJANJIAN KARTU KREDIT
Bahwa sistem hukum Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak328,
maka setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam kegiatan kartu
kredit, akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka. Kebebasan
berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham pasar bebas329,
untuk menambah kebaikan sosial330 dalam aliran utilitarianism331. Dalam
perkembangannya ternyata kebebasan berkontrak dapat mendatangkan
ketidakadilan, karena prinsip kebebaan berkontrak baru dapat mencapai
tujuannya apabila para pihak memiliki kekuatan ekonomi yang seimbang,
sehingga negara menganggap perlu turut campur tangan untuk melindungi
pihak yang lemah melalui peraturan perundang-undangan agar penerapan
asas kebebasan berkontrak tidak menyimpang atau bertentangan dengan
asas keselarasan, keseimbangan, kecakapan, iktikad baik, kausa yang
dilarang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Di samping kebebasan berkontrak dalam pembuatan perjanjian kartu
kredit, juga menganut sistem perjanjian standar (baku) atau perjanjian
adhesi332, yaitu di pihak yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku pada

328 Lihat lebih lanjut Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata menyatakan bahwa “setiap perjanjian
yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”. bandingkan
dengan uraian dari Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 276; dan
Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 226.
329 Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya mendasarkan pemikirannya pada
ajaran hukum alam yang menyatakan bahwa: “Dorongan psikologis yang utama dari manusia
sebagai mahkluk ekonomi adalah dorongan untuk memenuhi kepentingan dirinya.”
330 Oleh karena itu Adam Smith berkesinambungan bahwa program yang terbaik adalah
memberikan proses ekonomi berjalan tanpa campur tangan pihak lain atau pemerintah; lebih
lanjut dalam Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, Cet.
ke-1, 1993, hlm. 17.
331 Hal yang sama menjadi dasar pemikiran Jeremy Bentham yang dikenal dengan
utilitarianism, yang menyatakan bahwa dalam kegiatan usaha yang dijalankan tidak ada
campur tangan pemerintah. Teori ini dapat dikecualikan dalam hal tertentu. Sedangkan
teori ekonomi “laissez faire” atau ekonomi liberal atau “non-interbensionisme” dianggap
menghidupkan pemikiran liberal individualistis. Keduanya percaya bahwa individualisme
sebagai nilai dan mekanisme sosial serta kebebasan berkontrak dianggap sebagai suatu
prinsip yang umum.
332 Oleh karena itu perjanjian-perjanjian kredit bank di Indonesia dibuat dalam bentuk
perjanjian baku atau dibuat dengan klausula-klausula baku, maka perlu kiranya dibahas
masalah-masalah hukum yang ada di sekitar atau yang timbul karena perjanjian baku pada
umumnya, yang dengan sendirinya juga dihadapi oleh perjanjian kredit bank yang merupakan
perjanjian baku itu. Masalah-masalah yang dihadapi dalam penggunaan perjanjian baku

Bab 4 • Usaha Kartu Kredit 95


suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan
kepada pihak lainnya untuk disetujui. Untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan terhadap perjanjian baku pengadilan-pengadilan di
Amerika Serikat menerapkan konsep atau doktrin baru yaitu doktrin
unconscionability333.
Penggunaan credit card dapat ditinjau dari segi hukum perdata334
maupun segi hukum pidana335. Dari segi hukum perdata bentuk perjanjian-
perjanjian336 yang terjadi antara para pihak yang terlibat dalam pengeluaran
dan pemakaian kartu kredit bersifat/karakteristik yuridisnya337 adalah sui
generis, yaitu:
1. Perjanjian Pemegang Kartu, terjadi secara bilateral (dua pihak atau
timbal balik), yaitu yang menunjukkan adanya kewajiban dan hak
dari masing-masing pihak.

2. Perjanjian Kredit Bank, karena utang akan dibayar kembali secara


mencicil, dan dibayar kembali sekaligus pada waktu penagihan dalam
kasus kartu pembayaran tunai (Charge Card). Dalam kartu kredit,
kreditnya tanpa jaminan kebendaan, melainkan kepercayaan dengan

itu adalah terutama mengenai keabsahan dari perjanjian baku itu dan kedua, sehubungan
dengan pembuatan klausula-klausula atau ketentuan-ketentuan yang secara tidak wajar
dapat memberatkan bagi pihak lainnya; lihat lebih lanjut Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam
Teori dan Praktek – (Buku Kedua), Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet.ke-1, 1994, hal. 52.
333 Doktrin “unconscionability” berarti memberikan wewenang kepada seorang hakim
untuk mengesampingkan sebagian bahkan seluruh perjanjian demi menghindari hal-hal
yang dirasakan sebagai hal yang bertentangan dengan hati nurani. Dengan berlakunya asas
“unconscionability” tersebut, menurut Corley dan Sjedd, suatu perjanjian baku tetap saja bukan
tidak absah (“not illegal”) tetapi perlu diteliti sehubungan dengan keadilan dari perjanjian itu.
Namun sekalipun keabsahan berlakunya memang tidak perlu dipersoalkan, tetapi masih perlu
dipersoalkan apakah perjanjian itu tidak bersifat sangat berat sebelah dan tidak mengandung
klausula yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya, sehingga perjanjian
itu merupakan perjanjian yang menindas dan tidak adil. Sangat “berat sebelah” adalah bahwa
perjanjian itu hanya atau terutama mencantumkan hak-hak salah satu pihak saja (yaitu pihak
yang mempersiapkan perjanjian baku tersebut) tanpa mencantumkan apa yang menjadi
kewajiban-kewajiban pihak lainnya, sedangkan apa yang menjadi hak-hak pihak lainnya itu
tidak disebutkan. Tidak jarang dijumpai perjanjian (baku) yang demikian ini; Lebih lanjut lihat
Husni Syawali, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 39.
334 Retnowulan Sutantio, Kapita....., op.cit, hlm. 80-82.
335 Ibid, hlm. 82-83.
336 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka....., op.cit, hlm. 33.
337 Munir Fuady, Hukum tentang.....,, op.cit, hlm. 229-239.

96 Hukum Lembaga Pembiayaan


ukuran the 5 C’S of credit, yaitu character338, capacity339, collateral340,

338 Karakter pemohon kartu kredit dinilai dengan menggunakan informasi yang
diperoleh dari: a) Referensi kredit atau bank yang menunjukkan hubungan sebelumnya
antara pemohon kartu kredit dengan bank ataupun penerbit lain. Untuk memperoleh dari
pemohon, referensi dimintakan langsung kepada bank atau penerbit yang bersangkutan
secara langsung. b) Rekening koran untuk tiga bulan terakhir yang menunjukkan bagaimana
pemohon kartu kredit menggunakan uang yang dimilikinya. c) Pegawai perusahaan yang
menunjukkan kedudukan pemohon kartu kredit dalam perusahaan, menilai pegawai
tersebut. d) Kejujuran pemohon kartu kredit dalam mengisi formulir aplikasi, yaitu dengan
membandingkan sesuai atau tidaknya seluruh informasi dalam formulir aplikasi dengan
dokumen-dokumen lain yang dilampirkan dan informasi yang diperoleh dari sumber lain
seperti referensi kredit dari penerbit atau bank lain. Lihat lebih lanjut uraian Mariam Darus
Badrulzaman, Beberapa Masalah Hukum dalam Perjanjian Kredit Bank dengan Jaminan Hypotheek
serta Hambatan-Hambatannya dalam Praktek di Medan, Alumni, Bandung, Cet. ke-4, 1989, hlm.
17.
339 Capacity, ditunjukkan dari faktor pendapatan adalah faktor yang terpenting dalam
memberikan persetujuan suatu permohonan. Seperti telah penulis terangkan di atas bahwa
salah satu sumber penerimaan penerbit adalah “discount” atau pemotongan harga yang
dibebankan kepada penjual untuk setiap tagihan. Dengan semakin besarnya penggunaan
kartu kredit, maka akan semakin besar pula penerimaan penerbit atau bank. Selanjutnya
diasumsikan bahwa setiap pemegang kartu kredit akan menggunakan kartu kredit sebesar
persentase tertentu dari pendapatan per bulan. Berdasarkan asumsi tersebut, dengan semakin
besar pendapatan, maka semakin besar pula penggunaan kartu kredit. Untuk memperkirakan
apakah pendapatan yang diperoleh pemegang kartu kredit akan dapat dipertahankan atau
ditingkatkan di waktu yang akan datang, maka dilakukan penilaian terhadap lamanya
bekerja, posisi dalam pekerjaan, jenis pekerjaan serta bidang usaha. Tingkat pendapatan
yang diperoleh pemohon kartu kredit digunakan untuk mengukur dan memperkirakan
pendapatan yang akan diperoleh pemohon kartu kredit di waktu yang akan datang. Untuk
membuktikan kebenaran informasi mengenai pendapatan yang diberikan dalam formulir
aplikasi dibutuhkan dokumen yang berasal dari salah satu sumber berikut ini, yaitu:
perusahaan tempat pemohon kartu kredit bekerja, pengacara, akuntan publik dan notaris.
Pendapatan minimum yang ditentukan adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh
pemohon kartu kredit. Tujuan ditentukannya pendapatan minimum yang harus dipenuhi
ini adalah: a) untuk mengurangi risiko bank atau penerbit. Dengan dipenuhinya syarat
pendapatan minimum oleh pemohon kartu kredit, maka diharapkan pemegang kartu kredit
mampu melunasi tagihan-tagihan yang timbul karena penggunaan kartu kredit; b) agar
volume penggunaan kartu kredit mencapai tingkat yang menguntungkan bagi panerbit atau
bank.
340 Collateral. Pihak bank dalam hal ini dapat meminta jaminan kepada pemohon kartu
kredit yang berupa deposito berjangka atau rekening koran yang diblokir. Permintaan
jaminan ini dilakukan jika pihak bank menganggap bahwa pemohon kartu kredit mempunyai
kekurangan dalam faktor kredit lainnya, terutama karakter. Sehingga risiko kredit yang
ditangguhkan oleh penerbit dapat dikurangi. Baik dalam bentuk deposito berjangka
maupun dalam bentuk rekening yang dilbokir, maka jaminan yang diberikan oleh pemohon
kartu kredit harus pada Bank Central Asia, alasannya adalah sebagai berikut: untuk tidak
melibatkan pihak ketiga dan merupakan sumber dana.

Bab 4 • Usaha Kartu Kredit 97


capital341, dan conditional economic342.

3. Perjanjian Pinjam Pakai Habis (Verbruiklening)343, adalah perjanjian


penyerahan sejumlah barang yang dapat habis terpakai (uang) kepada
pihak peminjam dengan syarat peminjam akan mengembalikan
barang sejenis (uang) kepada pihak pemberi pinjaman dalam jumlah
dan keadaan yang sama, serta bisa memperjanjikan pengembalian
uang pokok plus bunga344.

341 Capital. Pemilikan aset yang dipertimbangkan dalam menilai pemohon kartu kredit
adalah pemilikan rumah. Meskipun demikian pemilikan rumah bukanlah syarat yang harus
dipenuhi atau syarat mutlak.
342 Condition. Untuk “personal account”, meskipun penanggung jawab penggunaan kartu
kredit adalah pemegang kartu kredit yang bersangkutan secara pribadi, kelangsungan hdiup
dan masa depan perusahaan tetap dipertimbangkan, karena perusahaan adalah sumber
pendapatan bagi pemegang kartu kredit. Oleh karena itu keadaan perekonomian secara
umum dan bidang usaha yang berhubungan langsung dengan pemohon kartu kredit akan
mempengaruhi penilaian terhadap permohonan kartu kredit. Menurut Crosse dan Hampel
terdapat perbedaan pendekatan antara pengambilan keputusan untuk menginvestasikan dana
pada surat-surat berharga (“Securities”) dengan pengambilan keputusan untuk pemberian
kredit. Penilaian untuk investasi pada surat-surat berharga pada umumnya dilakukan
dengan menggunakan pengukuran yang objektif seperti tingkat bunga relatif, kualitas kredit,
dan pemasaran. Sedangkan pemberian kredit sering kali dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
lebih subjektif seperti penilaian karakter peminjam dan hubungan peminjam dengan bank
sebelumnya. Demikian pula dengan pemberian hak penggunaan kartu kredit yang dilakukan
oleh bank BNI dalam memutuskan disetujui atau ditolaknya permohonan kartu kredit,
penilaian karakter peminjam lebih diutamakan dibandingkan dengan penilaian terhadap
kemampuan. Persyaratan pendapatan minimum yang telah ditentukan adalah syarat mutlak
yang harus dipenuhi oleh pemohon kartu kredit.
343 Diatur dalam Pasal 1754 s/d Pasal 1773 KUHPerdata.
344 Selanjutnya ditentukan pula, bahwa apabila yang dipinjamkan tersebut berupa
sejumlah uang, maka para pihak diperkenankan untuk pengembalian pokok dan bunga.
Lebih lanjut lihat ketentuan Pasal 1675 KUH Perdata. Berbicara masalah bunga dalam
kartu kredit kelihatannya dalam praktik bahwa suku bunga kartu kredit masih sulit turun
mengikuti kecenderungan penurunan suku bunga, karena bank sebagai pengelola kartu
kredit masih memperhitungkan potensi tunggakan atau kredit macet. Potensi tunggakan
kartu kredit diperhitungkan karena kartu kredit tidak memiliki jaminan seperti kredit pada
umumnya, yang membuat potensi risikonya lebih tinggi, sehingga suku bunga yang tinggi
dianggap masih mencakup menanggung risiko tersebut. Selanjutnya lihat Harian Koran
Tempo, tanggal 18 Juni 2003, Judul berita: Bunga Kartu Kredit Masih Sulit Turun. Ditambahkan
bahwa segmen pasar juga menjadi pengaruh bagi bank penerbit untuk menentukan besaran
bunga yang diberikan. Pada priode Juni 2003 beberapa bank menawarkan bunga kartu kredit
yang bervariasi, misalnya Bank Bukopin sebesar 1,5%; BNI sebesar 2,25%; Citibank sebesar
3,25%; BII sebesar 2,9%; lebih lanjut lihat Harian Bisnis Indonesia, tanggal 18 Juni 2003, Judul
berita: Bank Sulit Turunkan Bunga Kartu Kredit.

98 Hukum Lembaga Pembiayaan


4. Perjanjian Kartu Kredit sebagai Perjanjian Pinjam-meminjam dapat
didasarkan pada Pasal 1754 KUH Perdata345, dan oleh karenanya
disebut sebagai real contract346 (perjanjian nyata). Dalam perjanjian
kartu kredit, penerbit berkedudukan sebagai pemberi pinjaman
(kreditur) terhadap pemegang kartu pada saat pemegang kartu
melakukan transaksi dengan menggunakan kartu kredit.

5. Perjanjian Jual Beli. Hubungan hukum antara pemegang kartu


kredit dengan pedagang adalah hubungan jual beli347, karena
untuk mendapatkan barang/jasa dari pedagang (merchant) akan
menggunakan kartu kredit sebagai alat pembayaran dengan
menandatangani slip pembelian348. Ciri perjanjian jual beli dengan
kartu kredit adalah adanya understanding antara merchant dengan
pemegang kartu bahwa transaksi jual beli itu tidak akan dibayar
dengan cash, tetapi pembayarannya akan dimintakan kepada issuer
atau acquirer.

6. Perjanjian Penggunaan Kartu Kredit, adalah perjanjian assessoire


terhadap perjanjian pokoknya berupa perjanjian penerbitan kartu
kredit.

7. Perjanjian Merchant. Perusahaan yang telah menandatangani perjanjian


dengan penerbit, akan dapat menerima pembayaran atas penjualan

345 Perjanjian pinjam-meminam adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang–barang yang belakangan
ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam keadaan yang sama pula.
346 Persetujan yang bersifat riil, yaitu suatu perjanjian baru dianggap lahir pada saat
barang diserahkan, sebelum barang diserahkan hanya ada suatu perjanjian pendahuluan
(Voorvereenkomst).
347 Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya
untuk membayar harga yang dijanjikan. Yang diperjanjikan oleh pihak yang satu dalam hal ini
adalah (penjual) menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atau barang yang ditawarkan,
sedangkan yang dijanjikan oleh pihak lain membayar harga yang telah disetujuinya.
348 Dengan penandatanganan ini berarti pemegang kartu memberikan persetujuan
kepada merchant untuk menagih issuer atau acquirer agar melunasi transaksi jual beli tersebut.
Selanjutnya issuer atau acquirer akan meminta pemegang kartu untuk membayar transaksi
jual beli yang telah dilakukannya itu.

Bab 4 • Usaha Kartu Kredit 99


barangnya dengan kartu kredit yaitu melalui cara menagih kepada
bank atau badan usaha lainnya yang telah ditunjuk oleh bank dengan
menunjukkan slip penjualan (sales draft).

8. Perjanjian Asuransi. Untuk memberikan keamanan serta kenyamanan


ekstra bagi pemegang kartu kredit, para penerbit kartu kredit
melengkapi layanan kartu kreditnya dengan asuransi, berkaitan
dengan penggunaan kartu kredit mereka349. Misalnya perlindungan
pembelian (purchase protection)350, asuransi perjalanan351, dan asuransi
perlindungan tagihan kartu kredit352.

349 Harian Media Indonesia, 22 Oktober 2001; Judul berita Layanan Asuransi untuk Kartu
Kredit.
350 Dengan adanya perlindungan pembelian konsumen, maka nasabah pemegang
kartu kredit dapat menikmati perlindungan atas risiko kehilangan atau kerusakan yang
tidak disengaja dari barang yang dibeli dengan menggunakan kartu kredit sebagai alat
pembayarannya. Tentunya penggantian atas barang tersebut apabila barang itu hilang atau
rusak. Tetapi untuk mendapatkan penggantian, harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh penerbit kartu kredit. Syarat-syarat itu antara lain, terjadi dalam jangka waktu
tertentu setelah tanggal pembelian, atau besarnya penggantian tergantung pada ketentuan
yang berlaku.
351 Mengenai asuransi perjalanan, maka pemilik kartu kredit bisa mendapatkannya,
khususnya bila melakukan perjalanan dengan pesawat terbang. Tentu saja, asuransi itu bisa
diterima bila pembayaran tiket pesawat terbangnya menggunakan kartu kredit. Dengan
adanya asuransi ini, maka perjalanan akan semakin nyaman dan aman karena pemegang kartu
kredit mendapat perlindungan asuransi perjalanan. Pertanggungan asuransi perjalanan yang
ditawarkan pun bervariasi. Biasanya variasi yang ditawarkan terkait langsung dengan jenis
kartu yang dimiliki. Untuk kartu perak atau classic, biasanya menawarkan pertanggungan
risiko yang mengakibatkan meninggal dunia atau cacat. Sedangkan bagi pemegang kartu
emas, selain pertanggungan yang sama dengan kartu perak, biasanya penerbit kartu kredit
juga memberikan jaminan atas ketidaknyamanan perjalanan akibat kehilangan bagasi, hingga
keterlambatan pesawat. Bahkan pemegang kartu platinum bisa mendapatkan jaminan apabila
bagasi mereka mengalami keterlambatan.
352 Asuransi perlindungan tagihan kartu kredit akan membayar sebagian atau seluruh
jumlah saldo tagihan kartu kredit bila pemegang kartu kredit mengalami cacat sementara. Jika
pemegang kartu kredit meninggal dunia atau cacat permanen, maka seluruh saldo tagihan
akan dibayarkan selama masih dalam jumlah sesuai ketentuan. Untuk asuransi perlindungan
tagihan kartu kredit dibebani premi yang besarnya tergantung pada besarnya saldo tagihan
kartu kredit. Besarnya premi ini adalah 0,36% dari saldo terakhir.

100 Hukum Lembaga Pembiayaan


G. BERAKHIRNYA PERJANJIAN PENERBITAN KARTU
KREDIT

Perjanjian penerbitan kartu kredit dapat berakhir atau batal dalam


hal:
1. Adanya pembatalan oleh salah satu pihak terhadap perjanjiannya.
Penerbit dapat membatalkan atau membekukan keanggotaan
pemegang kartu setiap saat jika dipandang perlu tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu kepada pemegang kartu. Pengguna atau pemegang
kartu juga dapat memutuskan secara sepihak perjanjiannya, dengan
memotong kartu dan mengembalikannya kepada penerbit, dengan
catatan tetap harus membayar tagihan-tagihan yang timbul akibat
transaksi yang dibuat sebelumnya dengan menggunakan kartu kredit
tersebut.

2. Berakhirnya suatu ketetapan waktu.


Pemakaian kartu kredit berlaku selama satu tahun, maka secara
otomatis perjanjian keanggotaan akan berakhir seketika, kecuali
dilakukan perpanjangan keanggotaan sesuai dengan kesepakatan
bersama para pihak, untuk satu tahun berikutnya. Dalam hal
yang demikian untuk perkembangan sekarang ini ada yang telah
menjadikannya lima tahun.

3. Berakhirnya karena satu peristiwa.


Perjanjian berakhir seketika, pada saat pemegang kartu dinyatakan
pailit, sehingga semua menjadi jatuh tempo dan harus dibayar
seketika. Demikian pula halnya apabila pemegang atau pengguna
kartu kredit meninggal dunia, sehingga perjanjian berakhir seketika
dan semua tagihan menjadi jatuh tempo dan harus dibayar oleh ahli
warisnya.

Bab 4 • Usaha Kartu Kredit 101


H. JENIS-JENIS PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT353
Pemalsuan kartu kredit354 sering kali digolongkan sebagai kejahatan
kerah putih (white collar crime)355. Ciri-ciri kejahatan kartu kredit ini biasanya
menggunakan modus operandi yang cukup canggih dan oleh sindikat
kejahatan baik yang bersifat nasional maupun internasional. Biasanya
pemalsuan kartu kredit ini tidak mudah dilacak oleh petugas hukum
karena jaringannya yang cukup lincah dan besar.
Pembajakan kartu kredit atau yang lebih dikenal dengan istilah
Carding saat ini sudah menjadi suatu fenomena yang menakutkan bagi
pengguna kartu kredit. Kejahatan ini biasanya dilakukan oleh pelaku
dengan menggunakan fasilitas internet. Fenomena berbelanja lewat internet
dengan menggunakan kartu kredit (credit card) orang lain atau carding
ini sungguh luar biasa. Layaknya mal atau plaza di dunia maya, etalase
maya dipenuhi berbagai barang bermerek yang memang bisa merangsang.
Tak heran bila jumlah carding terus bertambah setiap tahunnya. Di India,
misalnya seperti dikutip Times of India, pertumbuhan bisa mencapai 35%
hingga 50% per tahun. Ternyata angka carding di Indonesia lumayan tinggi,
tahun 1999 terhitung senilai US$2,8 miliar. Di Indonesia belum ada aturan
hukum bagi para pelaku carding oleh karena itu polisi terpaksa menjerat
mereka dengan Pasal 362 KUHP yaitu tentang kejahatan pencurian.
Untuk menghindari pemalsuan kartu kredit dilakukan upaya sebagai
aspek perlindungan konsumen terhadap kartu Kredit356, di antaranya:

353 Retnowulan Sutantio, Kapita....., op.cit, hlm. 76; bandingkan dengan Siahaan. NHT,
Money Laundering – Pencucian Uang & Kejahatan Perbankan, Sinar Harapan, Jakarta, Cet.ke-1,
2002, hlm. 191.
354 Munir Fuady, Pembiayaan....., op.cit, hlm. 239.
355 yaitu suatu kejahatan yang dilaksanakan oleh orang-orang intelektual (orang-orang
berdasi).
356 Munir Fuady, Pembiayaan....., op.cit, hlm. 245.

102 Hukum Lembaga Pembiayaan


1. Tool kit357, yaitu pemberian informasi penting, pelatihan dan bantuan
supaya para penegak hukum bisa melakukan investigasi kasus
penipuan kartu kredit dengan perangkat teknologi canggih358.

2. Pada kartu kredit tercantum foto dan tanda tangan pemegang kartu
yang akan menambah rasa aman dan percaya diri pada saat digunakan
untuk segala keperluan. Sehingga pada saat terjadi transaksi
penjualan, dengan adanya foto tersebut memperkecil kemungkinan
penggunaan kartu kredit oleh orang lain yang menggunakannya.

3. Kolom tanda tangan. Untuk keamanan dalam melakukan segala


bentuk transaksi, biasanya pihak bank mewajibkan bagi pemegang
kartu kredit untuk mencantumkan tanda tangan yang sesuai dengan
yang terletak pada sisi depan kartu. Apabila terjadi keganjilan atau
perbedaan tanda tangan, maka pemegang kartu harus menunjukkan
atau memperlihatkan kartu atau tanda pengenal lainnya.

4. PIN berfungsi untuk menghindari penggunaan atau pemakaian


yang berlebihan atau merugikan pemegang kartu itu sendiri.
Pemalsuan kartu kredit ini memberikan akibat hukum terutama
dalam hal tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan dari
pemalsuan tersebut, yaitu siapakah yang harus bertanggung jawab
jika terjadi pemalsuan kartu kredit. Untuk hal ini terdapat beberapa
ukuran untuk dikemukakan dengan berlandaskan prinsip keadilan.
Ukuran-ukuran tersebut adalah sebagai berikut:

357 Tool kit itu berisi program software yang user friendly yang didesain membantu aparat
hukum dalam menangkap data rekening yang mencurigakan ketika ada transaksi. Isinya
berupa detail sistem kartu pembayaran, fitur keamanan kartu, tren palsu beserta bariasi,
operasi penipuan bank, support teknis, dan operasional bank; lebih lanjut lihat pada Harian
Bisnis Indonesia, tanggal 4 Oktober 2003, judul berita Master Card Atasi Penipuan Kartu
Kredit.
358 Penyebaran ini dilakukan oleh Master Card International terhadap 300 Law
Enforcement Smart Tool Kit kepada para pelaksana hukum di Asia Pasifik sebagai langkah
mengatasi penipuan kartu kredit. Hal ini disampaikan oleh Vice President and Regional Head,
Security & Risk Management Master Card International Asia Pacific (Esmond Chang), dalam
Harian Bisnis Indonesia, tanggal 4 Oktober 2003, judul berita Master Card Atasi Penipuan Kartu
Kredit.

Bab 4 • Usaha Kartu Kredit 103


1. Tanggung jawab dibebankan kepada siapa saja yang bersalah
melakukan pemalsuan.
2. Tanggung jawab perdata dapat dibebankan kepada atasan dari
pelaku jika pelaku melakukan pemalsuan dalam menjalankan
tugasnya, misalnya atasan perusahaan pengiriman jika pemalsuan
dilakukan oleh seorang pengantar surat.
3. Pemegang kartu ikut bertanggung jawab jika dia bersalah,
baik karena kesengajaan atau kurang hati-hati. Misalnya
dia meminjamkan kartunya kepada orang yang melakukan
pemalsuan.
4. Jika tidak ada satu pihak pun yang dapat dimintakan tanggung
jawabnya, maka yang bertanggung jawab adalah mereka yang
harus menanggung risiko secara hukum dalam hal perjanjian jual
beli (di antara ketiga pihak) dan perjanjian pinjam uang (antara
pihak penerbit dengan pihak pemegang).

I. PENGAWASAN DAN PEMBINAAN


Pengawasan dan pembinaan serta menjaga kerahasiaan359 atas
Perusahaan Kartu Kredit dilakukan oleh Menteri Keuangan360, yang sejak
tanggal 31 Desember 2012361 beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan di sektor Lembaga Pembiayaan362.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan, OJK mempunyai wewenang363,
antara lain:

359 Lihat lebih lanjut SK Menteri Keuangan No.Kep-1382/MK/6/11/1975 tgl. 20 November


1975 tentang Rahasia Lembaga Keuangan Non Bank.
360 Lihat Pasal 11 jo Pasal 1 angka 10 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan; juga Kep. Bersama Men. Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia No.607/
KMK.017/1995 dan No.28/9/KEP/GBI tentang Pelaksanaan Pengawasan Perusahaan
Pembiayaan oleh Bank Indonesia; Permen Keuangan No.74/PMK.021/2006 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank; Kep. Dirjend LK No. Kep-
2833/LK/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah pada
Lembaga Keuangan Non Bank.
361 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
362 Lihat Pasal 6 huruf c UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
363 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

104 Hukum Lembaga Pembiayaan


1. Menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan
mengenai Lembaga Jasa Keuangan dan pihak yang melakukan
kegiatan di sektor jasa keuangan.

2. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa


keuangan.

3. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis


terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu.
Perintah tertulis adalah perintah secara tertulis untuk
melaksanakan atau tidak melaksanakan kegiatan tertentu guna
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan dan/atau mencegah dan mengurangi kerugian konsumen,
misalnya pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di
internet364, masyarakat, dan sektor jasa keuangan.
Perintah tertulis diberikan antara lain untuk mengganti pengurus
atau pihak tertentu di Lembaga Jasa Keuangan, menghentikan,
membatasi, atau memperbaiki kegiatan usaha atau transaksi,
menghentikan atau mengubah perjanjian antara Lembaga Jasa
Keuangan dengan pihak lain yang diduga merugikan Konsumen,
masyarakat, dan sektor jasa keuangan, serta menyampaikan informasi,
dokumen, dan/atau laporan tertentu kepada OJK.

4. Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai


dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.
Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai
wewenang365 dan harus berkoordinasi dengan Bank Indonesia apabila
penerbit kartu kredit adalah bank366, antara lain:

364 Lihat Penjelasan Umum UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
365 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
366 Lihat Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu No.2
Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi UU; Pasal 39 huruf d UU No.21 Tahun 2011

Bab 4 • Usaha Kartu Kredit 105


1. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan
konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan,
pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.
2. Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan
dan/atau pihak tertentu.
3. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan.
4. Memberikan dan/atau mencabut:
a. izin usaha;
b. izin orang perseorangan;
c. efektifnya pernyataan pendaftaran;
d. surat tanda terdaftar;
e. persetujuan melakukan kegiatan usaha;
f. pengesahan;
g. persetujuan atau penetapan pembubaran;
h. penetapan lain.

J. PENCABUTAN IZIN USAHA


Pencabutan izin usaha perusahaan pembiayaan dilakukan dalam
hal perusahaan pembiayaan:
1. bubar, karena:
a. keputusan RUPS atau rapat anggota;
b. jangka waktu berdirinya perusahaan yang ditetapkan dalam
anggaran dasar berakhir;
c. putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
d. keputusan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam UU No.
17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian;

tentang Otoritas Jasa Keuangan.

106 Hukum Lembaga Pembiayaan


2. dikenakan sanksi, misalnya dicabut izin setelah diberikan dalam
waktu 60 hari tidak menjalankan kegiatan usaha;

3. tidak lagi menjadi perusahaan pembiayaan;

4. melakukan merger atau konsolidasi;

5. melanggar ketentuan UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas


Devisa dan Sistem Nilai Tukar dan Peraturan Pelaksanaannya, setelah
memperoleh rekomendasi dari Bank Indonesia.

Bab 4 • Usaha Kartu Kredit 107


108 Hukum Lembaga Pembiayaan
Pembiayaan
BAB 5 Konsumen

A. PENGERTIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN


Pembiayaan konsumen (consumer finance) adalah kegiatan pembiayaan
untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan
pembayaran secara angsuran367.
Pembiayaan konsumen berasal dari istilah Consumer Finance,
sebagai salah satu model pembiayaan yang dilakukan oleh perusahaan
finansial368. Pembiayaan konsumen369 sebagai suatu kegiatan perjanjian370
yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk

367 Lihat Pasal 1 angka 7 dan Pasal 3 huruf d Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan; pengertian yang sama dituangkan dalam Pasal 1 huruf g Permen Keuangan No.
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
368 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 246; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 203.
369 Ada yang mengatakan pembiayaan konsumen ini tidak lain dari sejenis kredit
konsumsi (consumer credit) artinya kredit yang diberikan kepada konsumen-konsumen guna
pembelian barang-barang konsumsi dan jasa-jasa seperti yang dibedakan dari pinjaman-
pinjaman yang digunakan untuk tujuan-tujuan produktif atau dagang. Kredit yang demikian
itu dapat mengandung risiko yang lebih besar daripada kredit dagang biasa, maka dari itu
biasanya kredit itu diberikan dengan tingkat bunga yang lebih tinggi. Dari definisi-definisi
tersebut dapat ditarik kesimpuan bahwa sebenarnya antara kredit konsumsi dengan
pembiayaan konsumen sama saja. Hanya pihak pemberi kreditnya yang berbeda, di mana
pembiayaan konsumen dilakukan oleh perusahaan pembiayaan, sementara kredit konsumsi
diberikan oleh bank; bandingkan dengan Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 205
370 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka....., op.cit, hlm. 33, yang menyebutkan perjanjian
pembiayaan konsumen adalah perjanjian penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian
barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran. Di samping perjanjian penyediaan
dana secara angsuran dikenal pula perjanjian sewa beli.

109
pembelian barang atau jasa yang akan langsung dikonsumsi oleh
konsumen, serta pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala
oleh konsumen371.
Pembiayaan konsumen tergolong ke dalam sale credit, karena
konsumen tidak menerima cash, tetapi hanya menerima barang yang
dibeli dengan kredit tersebut untuk tujuan konsumtif. Sistem pembiayaan
konsumen memungkinkan perusahaan pembiayaan memberikan bantuan
dana untuk pembelian barang-barang produk dari perusahaan dalam
kelompoknya, yang disebut captive finance company.

B. PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN KONSUMEN


Lahirnya pembiayaan konsumen sebenarnya merupakan jawaban atas
kendala-kendala perkembangan masyarakat dalam bidang pembiayaan
selama ini. Sehingga ada upaya untuk mencari sistem pendanaan yang
mempunyai terms and conditions yang lebih businesslike, karena372:
1. Bank kurang tertarik untuk menyediakan dana bagi kepentingan
konsumen karena pada umumnya kredit berukuran kecil, sebaliknya
konsumen sulit untuk mengakses bank karena masih berpenghasilan
rendah.

2. Sistem pembiayaan lainnya pada umumnya kurang fleksibel atau


tidak sesuai dengan kebutuhan, karena kurang terjangkau oleh
masyarakat konsumen, juga karena membutuhkan jaminan.

3. Sistem pembiayaan informal bersifat sangat usury oriented dan sangat


merugikan masyarakat, apalagi kalau dihubungkan dengan sistem
riba, adanya rentenir dan tengkulak. Sedangkan yang dibutuhkan
konsumen adalah angsuran pembayaran yang relatif kecil.

371 Bandingkan dengan Pasal 1 angka (6) Keppres No.61 Tahun 1988 tentang Lembaga
Pembiayaan, yang menyebutkan pembiayaan konsumen adalah pembiayaan pengadaan
barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala.
372 Ibid, hlm. 249; Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 206.

110 Hukum Lembaga Pembiayaan


4. Sistem pembiayaan lewat koperasi kurang berkembang sebagaimana
yang diharapkan, karena keterbatasan sistem manajemen, pembinaan
dan pengawasan yang belum profesional.

C. PENDIRIAN DAN IZIN USAHA PEMBIAYAAN KONSUMEN


Izin usaha adalah izin mendirikan untuk melakukan kegiatan
usaha di bidang pembiayaan yang ditetapkan oleh menteri373, yang sejak
tanggal 31 Desember 2012374 beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
dengan secara jelas mencantumkan dalam anggaran dasarnya kegiatan
pembiayaan yang dilakukan.
Permohonan untuk mendapatkan izin usaha wajib dilampiri
dengan375:
1. Akta pendirian badan usaha termasuk anggaran dasar yang telah
disahkan oleh instansi berwenang, yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. Nama, bentuk usaha, dan tempat kedudukan.
Bentuk badan Usaha Perusahaan Pembiayaan Konsumen dapat
dilakukan oleh perusahaan yang berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas376 atau Koperasi377.

373 Lihat Pasal 8 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 1 huruf
i Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; Bank Indonesia,
“Pedoman Pelaksanaan Peraturan-Peraturan tentang Pendirian Lembaga Keuangan”,
Penataran Dosen Hukum Perdata/Dagang, dilaksanakan FH UGM, Yogyakarta, 16-28
November/30 November-12 Desember 1992, hlm. 5; Dalam rangka meningkatkan peranan
dan kinerja perusahaan pembiayaan yang telah ada baik berupa kegiatan sewa guna usaha,
anjak piutang, usaha kartu kredit dan pembiayaan konsumen, Pemerintah menganggap perlu
mengambil kebijakan dengan menghentikan sementara pemberian izin usaha perusahaan
pembiayaan sejak tanggal 24 April 2002. Hal ini didasarkan pada Keputusan Menteri
Keuangan (Kepmenkeu) No.185/KNK.06/2002 tentang Penghentian Pemberian IZin USaha
Perusahaan Pembiayaan.
374 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
375 Lihat Pasal 9 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
376 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
377 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.17
Tahun 2012 tentang Perkoperasian.

Bab 5 • Pembiayaan Konsumen 111


b. Kegiatan usaha sebagai perusahaan pembiayaan.
c. Permodalan, ditetapkan:
1) Perusahaan swasta nasional sekurang-kurangnya sebesar
Rp100.000.000.000-, (seratus miliar rupiah)378.
2) Perusahaan patungan sekurang-kurangnya sebesar
Rp100.000.000.000-, (seratus miliar rupiah)379.
Pemilikan saham oleh Badan Usaha Asing ditentukan
paling besar 85% (delapan puluh lima per seratus) dari
Modal Disetor380.
3) Koperasi sekurang-kurangnya sebesar Rp50.000.000.000,
(lima puluh miliar rupiah)381.
d. Kepemilikan.
Pendirian Perusahaan Pembiayaan Konsumen yang berbentuk
Perseroan Terbatas, sahamnya dapat dimiliki oleh382:
1) Warga Negara Indonesia dan/atau Badan Hukum
Indonesia383.
2) Badan Usaha Asing dan Warga Negara Indonesia atau Badan
Hukum Indonesia (usaha patungan)384.
e. Wewenang, tanggung jawab, masa jabatan direksi dan dewan
komisaris atau pengurus dan pengawas.

2. Data direksi dan dewan komisaris atau pengurus dan pengawas


meliputi:

378 Lihat Pasal 13 huruf a Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
379 Lihat Pasal 13 huruf a Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
380 Lihat Pasal 7 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal
14 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
381 Lihat Pasal 13 huruf b Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
382 Lihat Pasal 7 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 7
ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
383 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
384 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.

112 Hukum Lembaga Pembiayaan


a. fotokopi tanda pengenal yang berupa kartu tanda penduduk
(KTP) atau paspor;
b. daftar riwayat hidup;
c. surat pernyataan:
1) tidak tercatat sebagai debitur kredit macet di sektor
perbankan;
2) tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang
perbankan;
3) tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
4) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang
mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan
pailit berdasarklan keputusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap;
5) tidak merangkap jabatan pada Perusahaan Pembiayaan
Lain bagi Direksi;
6) tidak merangkap jabatan lebih dari 3 (tiga) perusahaan
Pembiayaan lain bagi Komisaris;
d. bukti pengalaman operasional di bidang perusahaan pembiayaan
atau perbankan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun bagi
salah satu direksi atau pengurus;
e. fotokopi kartu izin menetap sementara (KIMS) dan fotokopi
surat izin bekerja dari instansi berwenang bagi warga negara
asing.

3. Data pemegang saham atau anggota dalam hal:


a. Perorangan, wajib dilampiri dengan dokumen serta surat
pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman385
dan kegiatan pencucian uang (money laundering).
b. Badan hukum, wajib dilampiri dengan:
1) akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar
berikut perubahan-perubahan yang telah mendapat

385 Lihat lebih lanjut SK Menteri Keuangan No.606/KMK.017/1995 tgl. 19 Desember


1995 tentang Ketentuan Pinjaman yang Diterima, Penyertaan, dan Pelaporan Perusahaan
Pembiayaan.

Bab 5 • Pembiayaan Konsumen 113


pengesahan dari instansi berwenang termasuk bagi badan
usaha asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara
asal;
2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik
dan laporan keuangan terakhir386;
3) dokumen yang sama dengan angka 2 huruf a, b, dan c bagi
pemegang saham dan direksi atau pengurus.

4. Sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia.


a. Perusahaan pembiayaan dapat melakukan akuisisi, konsolidasi,
dan merger.
Akuisisi adalah pengambilalihan baik seluruh maupun sebagian
bear saham Perusahaan Pembiayaan yang dapat mengakibatkan
beralihnya pengendalian terhadap Perusahaan Pembiayaan387.
Konsolidasi adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan
Pembiayaan atau lebih, dengan cara mendirikan Perusahaan
Pembiayaan baru dan membubarkan Perusahaan-perusahaan
Pembiayaan tersebut dengan atau tanpa likuidasi388.
Merger adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan
Pembiayaan atau lebih dengan cara tetap mempertahankan
berdirinya salah satu Perusahaan Pembiayaan lainnya dengan
atau tanpa likuidasi389.
Pelaksanaan merger dan akuisisi wajib dilaporkan kepada
Menteri Keuangan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari
setelah merger dan akuisisi dilakukan, dengan melampirkan
(a) notulen RUPS atau rapat anggota; (b) perubahan anggaran
dasar yang telah disahkan atau dilaporkan kepada instansi

386 Lihat lebih lanjut Surat Edaran Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan No.SE-
1087/LK/1996 tgl. 26 Februari 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelaporan dan Sanksi bagi
Perusahaan Pembiayaan.
387 Lihat Pasal 1 huruf j Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
388 Lihat Pasal 1 huruf k Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahan
Pembiayaan
389 Lihat Pasal 1 huruf l Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahan
Pembiayaan

114 Hukum Lembaga Pembiayaan


berwenang dan didaftarkan dalam daftar perusahaan; (c) akta
jual beli atau akta merger; (d) data pemegang saham, direksi,
dan dewan komisaris atau anggota pengurus dan pengawas; (e)
status kantor perusahaan pembiayaan yang menggabungkan
diri, di mana kantor pusat dan kantor cabangnya masih dapat
berjalan sebagai kantor hasil merger.
b. Kantor cabang.
Kantor cabang adalah unit usaha dari suatu perusahaan
pembiayaan yang diperkenankan menjalankan semua jenis
usaha perusahaan pembiayaan dan menyelenggarakan tata
usaha/pembukuan sendiri, tetapi dalam mengatur usahanya
tunduk pada segala ketentuan yang berlaku bagi kantor pusat
perusahaan pembiayaan yang bersangkutan390, dan hanya dapat
dilakukan dengan izin menteri.

5. Fotokopi bukti pelunasan modal disetor dalam bentuk deposito


berjangka pada salah satu bank umum di Indonesia dan dilegalisasi
oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama dalam proses
pengajuan izin usaha.

6. Rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama yang sekurang-kurangnya


memuat:
a. rencana pembiayaan dan langkah-langkah yang dilakukan untuk
mewujudkan rencana dimaksud;
b. proyeksi arus kas/neraca dan perhitungan laba/rugi bulanan
dimulai sejak Perusahaan Pembiayaan melakukan kegiatan
operasional.

7. Bukti kesiapan operasional antara lain berupa:


a. daftar aktiva tetap dan inventaris;

390 Lihat Pasal 1 huruf m Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahan
Pembiayaan.; juga SK MEnteri No. Kep-1063/KMK.00/1988 tgl. 27 Oktober 1988 tentang
Pembukuan Kantor Cabang Lembaga Keuangan Bukan Bank

Bab 5 • Pembiayaan Konsumen 115


b. bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa-menyewa
gedung kantor;
c. contoh perjanjian pembiayaan yang akan digunakan;
d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

8. Perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia


bagi perusahaan patungan.

9. Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah


(P4MN).
Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha diberikan
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap391, dan berlaku sejak tanggal
ditetapkan untuk tenggang waktu selama perusahaan masih
menjalankan usahanya392.
Perusahaan pembiayaan wajib menjalankan kegiatan usaha
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
izin usaha ditetapkan393, dengan ancaman pencabutan izin apabila
tidak melaksanakan kegiatan usaha394. Perusahaan pembiayaan
setelah melaksanakan kegiatan usaha wajib melaporkannya paling
lambat 10 (sepuluh) hari setelah kegiatan usaha dimulai395.

391 Lihat Pasal 10 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
392 Lihat Pasal 10 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
393 Lihat Pasal 12 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
394 Lihat Pasal 12 ayat (3) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
395 Lihat Pasal 12 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.

116 Hukum Lembaga Pembiayaan


D. USAHA PEMBIAYAAN KONSUMEN
1. Kegiatan Usaha Pembiayaan Konsumen
Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan kegiatan usaha
Pembiayaan Konsumen diatur oleh menteri396, yang sejak tanggal 31
Desember 2012397 beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kegiatan Pembiayaan Konsumen dilakukan dalam bentuk penyediaan
dana untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan
pembayaran secara angsuran398, antara lain meliputi399:
a. Pembiayaan kendaraan bermotor.
b. Pembiayaan alat-alat rumah tangga.
c. Pembiayaan barang-barang elektronik.
d. Pembiayaan perumahan.
Pembiayaan pembangunan perumahan adalah setiap penerimaan
yang perlu dibayar kembali dan/atau setiap pengeluaran yang akan
diterima kembali untuk kepentingan penyelenggaraan perumahan
dan kawasan permukiman baik yang berasal dari dana masyarakat,
tabungan perumahan, maupun sumber dana lainnya400 yang
digunakan untuk kepemilikan rumah.
Pemilikan rumah dapat difasilitasi dengan kredit atau pembiayaan
pemilikan rumah401 yang dapat dibebani402 dan/atau tidak dibebani
hak tanggungan403 sebagai pelunasan kredit atau pembiayaan akta

396 Lihat Pasal 8 dan Pasal 10 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
397 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
398 Lihat Pasal 6 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
399 Lihat Pasal 6 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
400 Lihat Pasal 1 angka 20 UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
401 Lihat Pasal 43 ayat (2) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
402 Lihat Pasal 43 ayat (3) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
403 Lihat Pasal 43 ayat (4) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.

Bab 5 • Pembiayaan Konsumen 117


perjanjian kredit atau pembiayaan untuk perolehan rumah bagi
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Kemudahan dan/atau bantuan pembangunan dan perolehan
rumah bagi MBR berupa subsidi perolehan rumah404 dituangkan
dalam akta perjanjian kredit atau pembiayaan untuk perolehan
rumah bagi MBR405 yang diatur dengan Peraturan Menteri406.
Sistem pembiayaan adalah sistem yang mengatur pengerahan,
pemupukan, penyaluran, dan pemanfaatan dana dari pihak
yang kelebihan dana kepada pihak yang kekurangan dana yang
dilaksanakan oleh lembaga keuangan dengan atau tanpa kemudahan
dan/atau bantuan407.
Sistem pembiayaan dilakukan berdasarkan prinsip konvensional
atau prinsip syariah melalui408:
1) Pembiayaan primer perumahan.
Pembiayaan primer perumahan adalah pembiayaan di sisi
pasokan pada saat kredit atau pembiayaan pembangunan rumah,
perumahan, permukiman, dan lingkungan hunian diterbitkan;
dan di sisi permintaan kredit atau pembiayaan perolehan rumah
diterbitkan yang dilaksanakan oleh bank dan/atau lembaga
keuangan bukan bank409.
Pembiayaan primer perumahan dilaksanakan oleh badan
hukum410 yang merupakan lembaga keuangan sebagai penyalur

404 Lihat Pasal 54 ayat (3) huruf a UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
405 Lihat Pasal 54 ayat (4) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
406 Lihat Pasal 54 ayat (5) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
407 Lihat Penjelasan Pasal 118 ayat (1) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman; hal yang sama disebutkan dalam Penjelasan Pasal 91 ayat (1) UU
No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
408 Lihat Pasal 121 ayat (3) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
409 Lihat Penjelasan Pasal 121 ayat (3) huruf a UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman; juga lihat Pasal 94 ayat (2) huruf a UU No.20 Tahun 2011 tentang
Rumah Susun.
410 Lihat Pasal 127 ayat (1) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.

118 Hukum Lembaga Pembiayaan


kredit atau pembiayaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan411.
2) Pembiayaan sekunder perumahan.
Pembiayaan sekunder perumahan adalah penyelenggaraan
kegiatan penyaluran dana jangka menengah dan/atau panjang
kepada lembaga keuangan penerbit kredit dengan melakukan
sekuritisasi412.
Pembiayaan sekunder perumahan berfungsi memberikan
fasilitas pembiayaan untuk meningkatkan kapasitas dan
kesinambungan pembiayaan perolehan rumah413 yang
dilaksanakan oleh lembaga keuangan bukan bank414 yang dapat
melakukan sekuritisasi aset pembiayaan perolehan rumah yang
hasilnya sepenuhnya diperuntukkan keberlanjutan fasilitas
pembiayaan perolehan rumah untuk MBR415 melalui pasar
modal416.
Sekuritisasi yaitu transformasi aset yang tidak likuid menjadi
likuid dengan cara pembelian aset keuangan dari lembaga
keuangan penerbit kredit dan penerbitan efek beragun aset417.
Pemerintah atau pemerintah daerah dapat menugasi atau
membentuk badan hukum pembiayaan di bidang perumahan dan

411 Lihat Pasal 127 ayat (2) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
412 Lihat Penjelasan Pasal 121 ayat (3) huruf b UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman; yang berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU No.21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan termasuk sebagai lembaga jasa keuangan lainnya; PP No.5 Tahun 2005
tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan
(Persero) di Bidang Pembiayaan Sekunder Perumahan; Perpres No.1 Tahun 2008 tentang
Perubahan atas Perpres No.19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan.
413 Lihat Pasal 128 ayat (1) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
414 Lihat Pasal 128 ayat (2) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman; juga lihat Pasal 94 ayat (2) huruf a UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah
Susun.
415 Lihat Pasal 128 ayat (3) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
416 Lihat Pasal 128 ayat (4) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
417 Lihat Penjelasan Pasal 121 ayat (3) huruf b UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman.

Bab 5 • Pembiayaan Konsumen 119


kawasan permukiman418 yang bertugas menjamin ketersediaan
dana murah jangka panjang untuk penyelenggaraan perumahan
dan kawasan permukiman419, yang dilakukan oleh bank420
maupun lembaga keuangan bukan bank421.
e. Sumber pembiayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil dengan
pengembangan lembaga modal ventura422.
f. Menerbitkan Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) dengan memenuhi
prinsip kehati-hatian (prudential principles)423.
Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) adalah surat pernyataan
kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu
kepada pihak yang tercantum dalam surat tersebut atau kepada
penggantinya424.

2. Mekanisme Pembiayaan Konsumen

Dalam membahas dan menganalisis mekanisme dalam pembiayaan


konsumen, yang penting diperhatikan adalah:
a. Landasan Hukum Pembiayaan Konsumen
Pembiayaan konsumen tidak hanya dilihat dari segi kebutuhan
ekonomi, melainkan harus didukung oleh pendekatan hukum (legal
approach)425 sehingga diakui dan berlaku dalam hubungan bisnis.
Pranata hukum yang mengatur pembiayaan konsumen secara
legalistik formal dimulai sejak diumumkannya Paket Kebijaksanaan

418 Lihat Pasal 122 ayat (1) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman
419 Lihat Pasal 122 ayat (2) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman
420 Lihat Pasal 123 ayat (2) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman
421 Lihat Pasal 123 ayat (3) UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman
422 Lihat Pasal 22 huruf b jo. Pasal 23 ayat (1) huruf a UU No.20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah
423 Lihat Pasal 10 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan
424 Lihat Pasal 1 angka 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan
425 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 255.; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 207

120 Hukum Lembaga Pembiayaan


20 Desember 1988 (Pakdes 20, 1988), namun sebelumnya juga masih
dapat dilihat dasar hukum adanya pembiayaan konsumen tersebut
dari pranata hukum yang ada sebelumnya, yaitu:
1) Kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata,
yang menyatakan bahwa suatu perjanjian426 yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Adanya kebebasan berkontrak ini terjadi karena adanya
perjanjian antara pihak perusahaan finansial sebagai kreditur
dan pihak konsumen sebagai debitur yang akan dibiayai, yang
merupakan perwujudan kehendak bebas dari kedua belah
pihak.
2) Perjanjian pinjam pakai habis berdasarkan Pasal 1754 KUH
Perdata427, dalam kondisi yang demikian sejumlah uang
dipinjamkan oleh Pemberi Pinjaman (Perusahaan Pembiayaan
Konsumen) yang berkedudukan sebagai kreditur, sedangkan
Peminjam adalah Konsumen yang berkedudukan sebagai
debitur.
Karena barang pakai habis yang dipinjam itu sejumlah
uang, maka menurut ketentuan Pasal 1765 KUH Perdata pihak-
pihak (perusahaan Pembiayaan Konsumen dan Konsumen)
boleh memperjanjikan pengembalian uang pokok ditambah
bunga428.

b. Perjanjian Pembiayaan Konsumen

426 Yang tentunya didahului dengan ketentuan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
427 Pinjam pakai habis adalah perjanjian, dengan mana Pemberi Pinjaman menyerahkan
sejumlah barang pakai habis kepada Peminjam dengan syarat bahwa Peminjam akan
mengembalikan barang tersebut kepada Pemberi Pinjaman dalam jumlah dan keadaan yang
sama.
428 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Pembiayaan
Konsumen tergolong perjanjian khusus yang objeknya adalah barang pakai habis yang diatur
dalam Pasal 1754 s.d. 1773 KUH Perdata. Dengan demikian, ketentuan pasal-pasal tersebut
berlaku terhadap dan sejauh relevan dengan perjanjian pembiayaan konsumen, kecuali
apabila dalam perjanjian diatur secara khusus menyimpang; Abdulkadir Muhammad & Rilda
Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 258.

Bab 5 • Pembiayaan Konsumen 121


Dari uraian tersebut diperoleh unsur-unsur pembiayaan konsumen,
yaitu:
1) Subjek429, yaitu (a) perusahaan pembiayaan konsumen
(kreditur)430; (b) konsumen (debitur) 431; dan (c) penyedia barang
(pemasok, supplier) 432.
2) Objek adalah barang bergerak keperluan konsumen.
3) Perjanjian adalah perbuatan persetujuan pembiayaan yang
diadakan antara perusahaan pembiayaan konsumen dan
konsumen, serta jual beli antara pemasok dan konsumen.
4) Hubungan kewajiban dan hak, di mana perusahaan pembiayaan
konsumen wajib membiayai harga pembelian barang keperluan
konsumen dan membayar tunai kepada pemasok untuk
kepentingan konsumen, sedangkan konsumen wajib membayar
harga barang secara angsuran kepada perusahaan pembiayaan
konsumen, dan pemasok wajib menyerahkan barang kepada
konsumen.
5) Pembayaran angsuran433, yaitu pihak konsumen membayar
harga barang kepada Perusahaan Pembiayaan Konsumen secara
angsuran sampai lunas.
Sebelum membuat perjanjian pembiayaan konsumen434
bahwa konsumen terlebih dahulu menghubungi perusahaan
pembiayaan dengan mengajukan daftar barang dan harga yang
tertuang dalam borang permohonan kredit untuk diisi konsumen,
baru perusahaan pembiayaan melakukan pemeriksaan
persyaratan yang dibutuhkan (surveyor report)435.
Dengan dasar ini baru dibuat perjanjian pembiayaan, yang
membuat terms dan conditions, yaitu akan membayar harga barang

429 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 247; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 208.
430 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 247.
431 Ibid, hlm. 248.
432 Ibid, hlm. 249.
433 Ibid, hlm. 254
434 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti,
Bandung, Cetke-1, 2003, hlm. 247.
435 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 253.

122 Hukum Lembaga Pembiayaan


secara angsuran kepada perusahaan pembiayaan konsumen,
dan perusahaan pembiayaan konsumen akan membayar harga
barang kepada pemasok (supplier) secara tunai.

Kondisi yang demikian menciptakan hubungan hukum di antara


para pihak, yaitu:
1) Hubungan pihak kreditur dengan konsumen, yaitu terbentuk
sebagai hubungan kontraktual.
Pihak pemberi biaya sebagai kreditur berkewajiban untuk
memberikan sejumlah uang untuk pembelian sesuatu barang
konsumsi, sementara pihak penerima biaya (konsumen) sebagai
pihak debitur berkewajiban untuk membayar kembali uang
tersebut secara cicilan kepada pihak pemberi biaya.
Sebagai konsekuensi yuridis dari perjanjian tersebut maka
seluruh kontrak ditandatangani, dan dana sudah dicairkan serta
barang sudah diserahkan oleh supplier kepada konsumen, maka
barang yang bersangkutan sudah langsung menjadi miliknya
konsumen, walaupun kemudian biasanya barang tersebut
dijadikan jaminan utang lewat perjanjian fiducia436.
Fiducia yang diikat tersebut harus didaftarkan paling lama
30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal perjanjian
pembiayaan konsumen untuk memberikan kepastian hukum
bagi perusahaan pembiayaan dan konsumen sehubungan
dengan penyerahan hak milik atas kendaraan bermotor dari
konsumen secara kepercayaan (fidusia) kepada perusahaan
pembiayaan, perlu dilakukan pendaftaran jaminan fidusia pada
kantor pendaftaran fidusia437.
2) Hubungan pihak konsumen dengan supplier, merupakan
hubungan jual beli bersyarat.

436 Lihat Permen Keuangan No.130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia


bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan
Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.
437 Lihat Pasal 2 Permen Keuangan No.130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan
Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk
Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.

Bab 5 • Pembiayaan Konsumen 123


Disebutkan sebagai perjanjian jual beli bersyarat berdasarkan
Pasal 1513 KUH Perdata438, karena perjanjian yang terjadi antara
Konsumen sebagai pembeli dan produsen (supplier) sebagai
penjual, dengan syarat bahwa yang melakukan pembayaran
secara tunai kepada penjual adalah perusahaan pembiayaan
konsumen439.
3) Hubungan penyedia dana dengan supplier.
Pihak penyedia dana hanya disyaratkan untuk membayar terlebih
dahulu atas permintaan yang diajukan oleh konsumen kepada
supplier, yang selanjutnya akan menciptakan hubungan hukum
nantinya antara penyedia dana dengan pihak konsumen.

c. Jaminan-jaminan
Jaminan440 berupa kepercayaan terhadap konsumen untuk dapat
membayar angsurannya. Barang yang dibiayai oleh perusahaan
pembiayaan konsumen merupakan jaminan pokok secara fiducia,
sedangkan dokumen kepemilikan barang dikuasai oleh perusahaan
pembiayaan konsumen (fiduciary transfer of ownership) sampai
angsuran terakhir dilunasi. Di samping kedua jaminan yang
disebutkan itu, pengakuan utang (promissory notes) merupakan
jaminan tambahan.

438 Pembeli wajib membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat yang ditetapkan
menurut perjanjian.
439 Perjanjian jual beli ini merupakan perjanjian accessoir dari Perjanjian Pembiayaan
Konsumen sebagai perjanjian pokok. Perjanjian jual beli ini digolongkan ke dalam perjanjian
jual beli yang diatur dalam Pasal 1457 s.d. 1518 KUH perdata tetapi pelaksanaan pembayaran
digantungkan pada syarat yang disepakati dalam perjanjian pokok, yaitu perjanjian
pembiayaan konsumen; Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 258.
440 Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 211; juga Permen Keuangan No.130/
PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang
Melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan
Fidusia.

124 Hukum Lembaga Pembiayaan


3. Larangan Kegiatan bagi Pembiayaan Konsumen
Lembaga pembiayaan konsumen dilarang menarik dana secara
langsung dari masyarakat dalam bentuk441:
a. giro;
b. deposito;
c. tabungan.

4. Kewajiban Perusahaan Pembiayaan Konsumen

Kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan


lembaga pembiayaan konsumen dalam menjalankan aktivitasnya, antara
lain:
a. Wajib memiliki piutang pembiayaan sekurang-kurangnya sebesar
40% (empat puluh persen) dari total aktiva442.

b. Menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa yang apabila


meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna Jasa
maka Perusahaan Pembiayaan adalah sebagai pihak pelapor kepada
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)443.

c. Menerapkan sistem lembaga keuangan ramah lingkungan hidup,


yaitu suatu sistem lembaga keuangan yang menerapkan persyaratan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam kebijakan
pembiayaan dan praktik sistem lembaga keuangan bank dan lembaga
keuangan nonbank444.

441 Lihat Pasal 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
442 Lihat Pasal 11 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
443 Lihat 17 ayat (1) huruf a angka (2) dan Pasal 18 ayat (3) huruf d UU No.8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
444 Lihat Penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf c UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Bab 5 • Pembiayaan Konsumen 125


5. Hak bagi Perusahaan Pembiayaan Konsumen
Hak yang diperoleh Lembaga Keuangan Perusahaan Pembiayaan
Konsumen dalam menjalankan aktivitasnya, antara lain:
a. Tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai terhadap jasa pembiayaan
konsumen yang diberikan445.

b. Tidak dikenakan Pajak Penghasilan atas pembentukan atau


pemupukan dana cadangan atas piutang tak tertagih untuk usaha
perusahaan pembiayaan konsumen446.

c. Tidak dikenakan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang dibayar


atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi
sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan447.

6. Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa atau yang berwenang memeriksa, memutus,


dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama atas pembiayaan yang
menggunakan konsep syariah adalah Pengadilan Agama448.

E. PENGAWASAN DAN PEMBINAAN


Pengawasan dan pembinaan serta menjaga kerahasiaan449 atas
Lembaga Pembiayaan Konsumen dilakukan oleh Menteri Keuangan450,

445 Lihat Pasal 4A ayat (3) huruf d UU No.42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.
446 Lihat Pasal 9 ayat (1) huruf c UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
447 Lihat Pasal 24 ayat (4) huruf h UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
448 Lihat Penjelasan Pasal 49 huruf i dan huruf h UU No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; Perma No.2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
449 Lihat lebih lanjut SK Menteri Keuangan No.Kep-1382/MK/6/11/1975 tgl. 20 November
1975 tentang Rahasia Lembaga Keuangan Non Bank.
450 Lihat Pasal 11 jo Pasal 1 angka 10 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga

126 Hukum Lembaga Pembiayaan


yang sejak tanggal 31 Desember 2012451 beralih kepada Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan
terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Lembaga Pembiayaan452.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan, OJK mempunyai wewenang453,
antara lain:
1. Menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan
mengenai Lembaga Jasa Keuangan dan pihak yang melakukan
kegiatan di sektor jasa keuangan.

2. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa


keuangan.

3. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis


terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu.
Perintah tertulis adalah perintah secara tertulis untuk
melaksanakan atau tidak melaksanakan kegiatan tertentu guna
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan dan/atau mencegah dan mengurangi kerugian konsumen,
masyarakat, dan sektor jasa keuangan.
Perintah tertulis diberikan antara lain untuk mengganti pengurus
atau pihak tertentu di Lembaga Jasa Keuangan, menghentikan,
membatasi, atau memperbaiki kegiatan usaha atau transaksi,
menghentikan atau mengubah perjanjian antara Lembaga Jasa
Keuangan dengan pihak lain yang diduga merugikan konsumen,
masyarakat, dan sektor jasa keuangan, serta menyampaikan informasi,
dokumen, dan/atau laporan tertentu kepada OJK.

Pembiayaan; juga Kep. Bersama Men. Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia No.607/
KMK.017/1995 dan No.28/9/KEP/GBI tentang Pelaksanaan Pengawasan Perusahaan
Pembiayaan oleh Bank Indonesia; Permen Keuangan No.74/PMK.021/2006 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank; Kep.Dirjend LK No.Kep-
2833/LK/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah pada
Lembaga Keuangan Non Bank.
451 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
452 Lihat Pasal 6 huruf c UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
453 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Bab 5 • Pembiayaan Konsumen 127


4. Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.
Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai
wewenang454, antara lain:
1. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan
konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan,
pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.
2. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan
dan/atau pihak tertentu.
3. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan.
4. Memberikan dan/atau mencabut: (a) izin usaha; (b) izin orang
perseorangan; (c) efektifnya pernyataan pendaftaran; (d) surat
tanda terdaftar; (e) persetujuan melakukan kegiatan usaha; (f)
pengesahan; (g) persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
(h) penetapan lain.

F. PENCABUTAN IZIN USAHA


Pencabutan izin usaha perusahaan pembiayaan dilakukan dalam
hal perusahaan pembiayaan:
1. bubar, karena;
a. keputusan RUPS atau rapat anggota;
b. jangka waktu berdirinya perusahaan yang ditetapkan dalam
anggaran dasar berakhir;
c. putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
d. keputusan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam UU No.
17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian;

454 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

128 Hukum Lembaga Pembiayaan


2. dikenakan sanksi, misalnya dicabut izin setelah diberikan dalam
waktu 60 hari tidak menjalankan kegiatan usaha;

3. tidak lagi menjadi perusahaan pembiayaan;

4. melakukan merger atau konsolidasi;

5. melanggar ketentuan UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas


Devisa dan Sistem Nilai Tukar dan Peraturan Pelaksanaannya, setelah
memperoleh rekomendasi dari Bank Indonesia.

Bab 5 • Pembiayaan Konsumen 129


130 Hukum Lembaga Pembiayaan
Perusahaan
BAB 6 Modal Ventura

A. PENGERTIAN PERUSAHAAN MODAL VENTURA


Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Company) adalah badan
usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan modal ke dalam
suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (investee company)
untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan
melalui pembelian obligasi konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan
pembagian atas hasil usaha455.
Perusahaan modal ventura adalah suatu perusahaan yang kegiatan
usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk
penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu456.
Modal ventura atau venture capital457 adalah perbuatan pembiayaan
yang bertujuan untuk membiayai pendirian, pengembangan dalam bentuk
advis manajemen dan memberikan kontribusinya terhadap keseluruhan
strategi perusahaan, perbaikan atau pengambilalihan (partisipasi equity)458

455 Lihat Pasal 1 angka 3 dan Pasal 2 huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan; juga Kepmen Keuangan No.143/KMK.06/2004 tentang Pemberian Izin Usaha
Modal Ventura Kepada PT Ventura Giant Asia (NPWP: 02.238.381.4-042.000).
456 Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf k UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Ketiga atas UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
457 Terjemahan dari terminologi bahasa Inggris, namun sudah meluas dipakai dalam tata
pergaulan hukum dan bisnis di Indonesia; lebih lanjut lihat dalam Abdulkadir Muhammad
& Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 181; Munir Fuady, Pembiayaan....., op.cit, hlm. 4; Munir
Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 133; Handowo Dipo, Sukses....., op.cit, hlm. 11; Sri Redjeki
Hartono, Kapita....., op.cit, hlm. 107.
458 Risiko yang relatif tinggi ini akan dikompensasikan dengan memungkinkan return

131
suatu perusahaan459 dengan risiko investasi (risk capital)460 tetapi mempunyai
potensi berkembang yang tinggi dan menyimpan keuntungan461 yang lebih
besar dari investasi dalam bentuk lain462.
Dari definisi di atas terlihat karakteristik modal ventura, antara lain:
(1) pemberian bantuan finansial tidak hanya menginvestasikan modal,
tetapi terlibat dalam manajemen perusahaan yang dibantunya463; (2)
investasi464 yang dilakukannya tidak bersifat permanen, tetapi bersifat
sementara465; (3) bermotif murni bisnis, yakni untuk mendapatkan
keuntungan yang relatif tinggi466, walaupun dengan risiko yang relatif

yang tinggi pula, yang biasanya didapatkan melalui capital gains yang bersifat medium term,
dalam Chris Bovaird, Venture Capital Finance, Great Britain, England, 1991, hlm. 3.
459 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 181; Munir Fuady,
Hukum tentang....., op.cit, hlm. 135.
460 Jack P. Friedman, Dictionary of Business Terms, Barron’s Educational Series Inc, New
York USA, 1987, hlm. 613.
461 Mengharapkan keuntungan dari investasinya tersebut, dalam Handowo Dipo,
Sukses....., op.cit, hal. 10.
462 Lihat Pasal 1 ayat (11) Keppres No.61 Tahun 1988, menyebutkan sebagai usaha
pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima
bantuan pembiayaan (investee company) untuk jangka waktu tertentu.
463 Ciri khas terletak pula pada gabungan antara jasa pembiayaan serta jasa
pengembangan usaha secara profesional dan canggih, dalam Mohamad Idwan Ganie, “Aspek
Hukum Venture Capital”, Seminar Cipta Bisnis Indonesia, Jakarta, 22 September 1988, hlm. 3.
464 Investasi tersebut bukan bersifat pembiayaan dalam bentuk pinjaman, tetapi
dalam bentuk partisipasi equity, atau setidak-tidaknya loan yang dapat dialihkan ke equity
(convertible). Karena itu return yang diharapkan oleh perusahaan modal ventura bukanlah
bunga atas modal yang ditanam, melainkan dividen dan capital gain. Karena itu, return-nya
bersifat slow yielding dan tidak teratur.
465 Venture capital yang ditanamkan oleh PVC akan ditarik segera pada saat Perusahaan
yang dibantu berjalan lancar dengan sasaran memperoleh apresiasi nilai modal yang ditanam
(capital gain) setinggi mungkin, dalam Bahauddin Darus, “Venture Capital Bentuk Pembiayaan
untuk Industri dan Komesialisasi Hasil Penelitian”, Seminar Cipta Bisnis Indonesia, Jakarta,
22 September 1988, hlm. 1-2.
466 Karena mengharapkan keuntungan yang relatif tinggi, maka rata-rata return yang
diharapkan jauh melebihi bunga kredit bank. Di USA misalnya, rata-rata perusahaan
pemodal ventura mempunyai return antara 20% sampai 30%. Sehingga di Indonesia, mestinya
diharapkan antara 30% sampai 40%. Di Inggris, return rata-rata juga sekitar 30%. Ciri khas
venture capital tampaknya terletak pada jenis usaha nasabahnya yang merupakan proyek-
proyek dengan risiko yang tinggi (high risk investment), akan tetapi bila berhasil mempunyai
potensi tingkat pertumbuhan yang tinggi pula (high growth rate). Dengan kata lain, venture
capital merupakan modal yang tersedia bagi perorangan atau perusahaan yang memiliki
gagasan yang dapat dikomersialkan, dengan perkiraan tingkat perkembangan yang cukup
tinggi. Oleh karena tingkat risiko dari bisnis yang dibiayai tinggi, maka pembiayaan venture
capital dilakukan secara aktif, dalam dari PVC akan turut terlibat dalam unsur-unsur kunci

132 Hukum Lembaga Pembiayaan


tinggi pula; (4) bentuk investasi jangka menengah dan/atau jangka
panjang; (5) prinsipnya investasi tanpa jaminan (collateral), karena itu
lebih dibutuhkan kehati-hatian dan kesabaran; dan (6) investasi modal
ventura dilakukan terhadap perusahaan yang tidak punya akses untuk
mendapatkan kredit perbankan467.
Dari segi sejarah perkembangan modal ventura468, kelihatan
perbedaan kegiatan usaha modal ventura dan perbandingannya dengan
cara pembiayaan lain469, serta peranan kegiatan usaha modal ventura dan
keterkaitannya dengan lembaga keuangan bank dan pasar modal470.

B. PENDIRIAN DAN IZIN USAHA PERUSAHAAN MODAL


VENTURA
Izin usaha adalah izin mendirikan untuk melakukan kegiatan
usaha di bidang pembiayaan yang ditetapkan oleh menteri471, yang sejak
tanggal 31 Desember 2012472 beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
dengan secara jelas mencantumkan dalam anggaran dasarnya kegiatan
pembiayaan yang dilakukan.

yang dapat menentukan sukses bisnis perusahaan.


467 Misalnya perusahaan tidak mempunyai track record yang fantastis, tidak mempunyai
balance sheet atau kolateral yang baik, dalam Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hal. 137.
468 Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 143; Ali Ridho. R, Hukum....., op.cit, hlm.
313.
469 Ibid, hlm. 319.
470 Ibid, hlm. 353.
471 Lihat Pasal 8 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 1 huruf
i Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; Bank Indonesia,
“Pedoman Pelaksanaan Peraturan-Peraturan tentang Pendirian Lembaga Keuangan”,
Penataran Dosen Hukum Perdata/Dagang, dilaksanakan FH UGM, Yogyakarta, 16-28
November/30 November-12 Desember 1992, hlm. 5; Dalam rangka meningkatkan peranan
dan kinerja perusahaan pembiayaan yang telah ada baik berupa kegiatan sewa guna usaha,
anjak piutang, usaha kartu kredit dan pembiayaan konsumen, Pemerintah menganggap perlu
mengambil kebijakan dengan menghentikan sementara pemberian izin usaha perusahaan
pembiayaan sejak tanggal 24 April 2002. Hal ini didasarkan pada Keputusan Menteri
Keuangan (Kepmenkeu) No.185/KNK.06/2002 tentang Penghentian Pemberian Izin Usaha
Perusahaan Pembiayaan.
472 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Bab 6 • Perusahaan Modal Ventura 133


Permohonan untuk mendapatkan izin usaha wajib dilampiri
dengan473:
1. Akta pendirian badan usaha termasuk anggaran dasar yang telah
disahkan oleh instansi berwenang, yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. Nama, bentuk usaha, dan tempat kedudukan.
Bentuk badan Usaha Perusahaan Pembiayaan Modal Ventura
dapat dilakukan oleh Perusahaan yang berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas474 atau Koperasi475.
b. Kegiatan usaha sebagai perusahaan pembiayaan.
c. Permodalan, ditetapkan:
1) Perusahaan swasta nasional sekurang-kurangnya sebesar
Rp100.000.000.000-, (seratus miliar rupiah)476.
2) Perusahaan patungan sekurang-kurangnya sebesar
Rp100.000.000.000-, (seratus miliar rupiah)477.
Pemilikan saham oleh Badan Usaha Asing ditentukan paling
besar 85% (delapan puluh lima per seratus) dari Modal
Disetor478.
3) Koperasi sekurang-kurangnya sebesar Rp50.000.000.000,
(lima puluh miliar rupiah)479.
d. Kepemilikan.

473 Lihat Pasal 9 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan


Pembiayaan.
474 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
475 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.17
Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
476 Lihat Pasal 13 huruf a Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
477 Lihat Pasal 13 huruf a Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
478 Lihat Pasal 7 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal
14 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
479 Lihat Pasal 13 huruf b Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.

134 Hukum Lembaga Pembiayaan


Pendirian Perusahaan Pembiayaan Modal Ventura yang berbentuk
Perseroan Terbatas, sahamnya dapat dimiliki oleh480:
1) Warga Negara Indonesia dan/atau Badan Hukum
Indonesia481.
2) Badan Usaha Asing dan Warga Negara Indonesia atau Badan
Hukum Indonesia (usaha patungan)482.
Badan usaha Indonesia berupa bank dibolehkan
melakukan kegiatan penyertaan modal pada kegiatan
usaha bukan bank atau perusahaan lain di bidang keuangan,
seperti modal ventura483, dengan memenuhi ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia (sekarang adalah Otoritas
Jasa Keuangan).
e. Wewenang, tanggung jawab, masa jabatan direksi dan dewan
komisaris atau pengurus dan pengawas.

2. Data direksi dan dewan komisaris atau pengurus dan pengawas


meliputi:
a. fotokopi tanda pengenal yang berupa kartu tanda penduduk
(KTP) atau paspor;
b. daftar riwayat hidup;
c. surat pernyataan:
1) tidak tercatat sebagai debitur kredit macet di sektor
perbankan;
2) tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang
perbankan;
3) tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
4) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang
mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan

480 Lihat Pasal 7 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 7
ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
481 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
482 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
483 Lihat Pasal 7 huruf b UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun
1992 tentang Perbankan.

Bab 6 • Perusahaan Modal Ventura 135


pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap;
5) tidak merangkap Jabatan pada Perusahaan Pembiayaan
Lain bagi Direksi;
6) tidak merangkap jabatan lebih dari 3 (tiga) perusahaan
Pembiayaan lain bagi Komisaris;
d. bukti pengalaman operasional di bidang perusahaan pembiayaan
atau perbankan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun bagi
salah satu direksi atau pengurus;
e. fotokopi kartu izin menetap sementara (KIMS) dan fotokopi
surat izin bekerja dari instansi berwenang bagi warga negara
asing.

3. Data pemegang saham atau anggota dalam hal:


a. Perorangan, wajib dilampiri dengan dokumen serta surat
pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman484
dan kegiatan pencucian uang (money laundering).
b. Badan hukum, wajib dilampiri dengan:
1) Akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar
berikut perubahan-perubahan yang telah mendapat
pengesahan dari instansi berwenang termasuk bagi badan
usaha asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara
asal.
2) Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik
dan laporan keuangan terakhir485.
3) Dokumen yang sama dengan angka 2 huruf a, b, dan c bagi
pemegang saham dan direksi atau pengurus.

4. Sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia.

484 Lihat lebih lanjut SK Menteri Keuangan No.606/KMK.017/1995 tgl. 19 Desember


1995 tentang Ketentuan Pinjaman yang Diterima, Penyertaan, dan Pelaporan Perusahaan
Pembiayaan.
485 Lihat lebih lanjut Surat Edaran Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan No.SE-1087/
LK/1996 tgl. 26 Februari 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelaporan dan Sanksi bagi
Perusahaan Pembiayaan.

136 Hukum Lembaga Pembiayaan


a. Perusahaan pembiayaan dapat melakukan akuisisi, konsolidasi,
dan merger.
Akuisisi adalah pengambilalihan baik seluruh maupun
sebagian bear saham Perusahaan Pembiayaan yang dapat
mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perusahaan
Pembiayaan486.
Konsolidasi adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan
Pembiayaan atau lebih, dengan cara mendirikan Perusahaan
Pembiayaan baru dan membubarkan Perusahaan-perusahaan
Pembiayaan tersebut dengan atau tanpa likuidasi487.
Merger adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan
Pembiayaan atau lebih dengan cara tetap mempertahankan
berdirinya salah satu Perusahaan Pembiayaan lainnya dengan
atau tanpa likuidasi488.
Pelaksanaan merger dan akuisisi wajib dilaporkan kepada
Menteri Keuangan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari
setelah merger dan akuisisi dilakukan, dengan melampirkan
(a) notulen RUPS atau rapat anggota; (b) perubahan anggaran
dasar yang telah disahkan atau dilaporkan kepada instansi
berwenang dan didaftarkan dalam daftar perusahaan; (c) akta
jual beli atau akta merger; (d) data pemegang saham, direksi,
dan dewan komisaris atau anggota pengurus dan pengawas; (e)
status kantor perusahaan pembiayaan yang menggabungkan
diri, di mana kantor pusat dan kantor cabangnya masih dapat
berjalan sebagai kantor hasil merger.
b. Kantor cabang.
Kantor cabang adalah unit usaha dari suatu perusahaan
pembiayaan yang diperkenankan menjalankan semua jenis
usaha perusahaan pembiayaan dan menyelenggarakan tata

486 Lihat Pasal 1 huruf j Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
487 Lihat Pasal 1 huruf k Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
488 Lihat Pasal 1 huruf l Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.

Bab 6 • Perusahaan Modal Ventura 137


usaha/pembukuan sendiri, tetapi dalam mengatur usahanya
tunduk pada segala ketentuan yang berlaku bagi kantor pusat
perusahaan pembiayaan yang bersangkutan489, dan hanya dapat
dilakukan dengan izin menteri.

5. Fotokopi bukti pelunasan modal disetor dalam bentuk deposito


berjangka pada salah satu bank umum di Indonesia dan dilegalisasi
oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama dalam proses
pengajuan izin usaha.

6. Rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama yang sekurang-kurangnya


memuat:
a. rencana pembiayaan dan langkah-langkah yang dilakukan untuk
mewujudkan rencana dimaksud;
b. proyeksi arus kas/neraca dan perhitungan laba/rugi bulanan
dimulai sejak Perusahaan Pembiayaan melakukan kegiatan
operasional.

7. Bukti kesiapan operasional antara lain berupa:


a. daftar aktiva tetap dan inventaris;
b. bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa-menyewa
gedung kantor;
c. contoh perjanjian pembiayaan yang akan digunakan;
d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

8. Perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia


bagi perusahaan patungan.

9. Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah


(P4MN).

489 Lihat Pasal 1 huruf m Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan; juga SK Menteri No. Kep-1063/KMK.00/1988 tgl. 27 Oktober 1988 tentang
Pembukuan Kantor Cabang Lembaga Keuangan Bukan Bank.

138 Hukum Lembaga Pembiayaan


Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha
diberikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap490, dan berlaku sejak tanggal
ditetapkan untuk tenggang waktu selama perusahaan masih
menjalankan usahanya491.
Perusahaan pembiayaan wajib menjalankan kegiatan usaha
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
izin usaha ditetapkan492, dengan ancaman pencabutan izin apabila
tidak melaksanakan kegiatan usaha493. Perusahaan pembiayaan
setelah melaksanakan kegiatan usaha wajib melaporkannya paling
lambat 10 (sepuluh) hari setelah kegiatan usaha dimulai494.

C. USAHA MODAL VENTURA


1. Kegiatan Usaha Modal Ventura
Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif
pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, penyertaan modal yang akan
dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-
perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek495.
Kegiatan usaha Perusahaan Modal Ventura meliputi496:
a. Penyertaan Saham (equity participation)497.

490 Lihat Pasal 10 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
491 Lihat Pasal 10 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
492 Lihat Pasal 12 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
493 Lihat Pasal 12 ayat (3) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
494 Lihat Pasal 12 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
495 Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf k UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Ketiga atas UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
496 Lihat Pasal 4 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; juga Kepmen
Keuangan No.143/KMK.06/2004 tentang Pemberian Izin Usaha Modal Ventura kepada PT
Ventura Giant Asia (NPWP: 02.238.381.4-042.000).
497 Lihat Pasal 4 huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.

Bab 6 • Perusahaan Modal Ventura 139


b. Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi equity
partcipation)498.
c. Pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/revenue
sharing)499.

Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan kegiatan usaha Modal


Ventura diatur oleh menteri500, yang sejak tanggal 31 Desember 2012501
beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang antara lain:
a. Menerbitkan Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) dengan memenuhi
prinsip kehati-hatian (prudential principles)502.
Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) adalah surat pernyataan
kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu
kepada pihak yang tercantum dalam surat tersebut atau kepada
penggantinya503.

b. Sistem Resi Gudang


Resi Gudang sebagai alas hak (document of title) atas barang dapat
digunakan sebagai agunan karena Resi Gudang tersebut dijamin
dengan komoditas tertentu dalam pengawasan Pengelola Gudang
yang terakreditasi.
Sistem Resi Gudang merupakan salah satu instrumen penting
dan efektif dalam sistem pembiayaan perdagangan yang diperoleh
pemilik barang tidak hanya berasal dari perbankan dan lembaga
keuangan nonbank, tetapi dapat berasal dari investor melalui
Derivatif Resi Gudang. Sistem Resi Gudang dapat memfasilitasi
pemberian kredit bagi dunia usaha dengan agunan inventori atau
barang yang disimpan di gudang.

498 Lihat Pasal 4 huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
499 Lihat Pasal 4 huruf c Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
500 Lihat Pasal 8 dan Pasal 10 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
501 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
502 Lihat Pasal 10 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
503 Lihat Pasal 1 angka 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.

140 Hukum Lembaga Pembiayaan


Hal ini dimungkinkan karena Resi Gudang juga sebagai
surat berharga yang merupakan instrumen keuangan yang dapat
diperjualbelikan, dipertukarkan, dan dalam perdagangan derivatif
dapat diterima sebagai alat penyelesaian transaksi kontrak berjangka
yang jatuh tempo di bursa berjangka.
Dengan terjadinya pengalihan Resi Gudang tersebut, kepada
Pemegang Resi Gudang yang baru diberikan hak untuk mengambil
barang yang tercantum di dalamnya. Hal ini akan menciptakan sistem
perdagangan yang lebih efisien dengan menghilangkan komponen
biaya pemindahan barang504.

c. Melakukan Pembiayaan usaha hortikultura yang dilakukan oleh


pelaku usaha505 yang diatur dengan Peraturan Pemerintah506.
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah mendorong terbentuknya
lembaga keuangan guna pembiayaan usaha hortikultura sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan507 sehingga
tercapai pemberdayaan holtikultura dengan memfasilitasi akses
kepada lembaga pembiayaan atau permodalan508.

d. Meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil,


maka Pemerintah melakukan upaya pengembangan lembaga modal
ventura509.

e. Penguasaan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan


dan Teknologi510.

504 Lihat Penjelasan Umum UU No.9 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No.9 Tahun
2006 tentang Sistem Resi Gudang.
505 Lihat Pasal 96 ayat (3) UU No.13 Tahun 2010 tentang Holtikultura.
506 Lihat Pasal 96 ayat (5) UU No.13 Tahun 2010 tentang Holtikultura.
507 Lihat Pasal 97 ayat (2) UU No.13 Tahun 2010 tentang Holtikultura.
508 Lihat Pasal 112 huruf c UU No.13 Tahun 2010 tentang Holtikultura.
509 Lihat Pasal 22 huruf b UU No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah; Permen Koperasi dan UKM No.:30/Per/M.KUKM/VIII/2007 tentang Petunjuk
Teknis Perkuatan Permodalan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, dan Lembaga
Keuangannya dengan Penyediaan Modal Awal dan Padanan Melalui Lembaga Modal
Ventura.
510 Lihat Lampiran UU No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Bab 6 • Perusahaan Modal Ventura 141


Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan pada
sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk
dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor nonmigas,
usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur
oleh Menteri Keuangan511.

2. Larangan Kegiatan bagi Modal Ventura

Lembaga Pembiayaan Modal Ventura dilarang menarik dana secara


langsung dari masyarakat dalam bentuk512:
a. giro;
b. deposito;
c. tabungan.

3. Tujuan Modal Ventura

Tujuan Modal Ventura513 untuk:


a. Pengembangan suatu penemuan baru.
b. Pengembangan perusahaan tahap awal yang usahanya mengalami
kesulitan dana.
c. Membantu perusahaan yang berada pada tahap pengembangan.
d. Membantu perusahaan yang berada dalam kemunduran usaha.
e. Pengembangan proyek penelitian dan rekayasa.
f. Pengembangan berbagai penggunaan teknologi baru dan alih
teknologi, baik dalam maupun dari luar negeri.
g. Membantu pengalihan pemilikan perusahaan.
h. Penyerahan modal dalam tiap pasangan usaha bersifat sementara
dan tidak boleh melebihi jangka waktu 10 (sepuluh) tahun.

Nasional 2005-2025.
511 Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf k UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Ketiga atas UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
512 Lihat Pasal 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
513 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 184; Bahauddin Darus,
“Modal Venture di Indonesia, Penyelenggaraan dan Permasalahan”, Majalah Usahawan No.10
Thn. XX, Jakarta, Oktober 1991, hlm. 16.

142 Hukum Lembaga Pembiayaan


Dengan adanya uraian yang disebutkan di atas tentang tujuan
modal ventura, maka perlu diperhatikan bahwa sektor-sektor usaha
dari perusahaan modal ventura adalah514:
a. Industri yang menghasilkan barang-barang untuk tujuan ekspor.
Ekspor komoditi nonmigas, terutama komoditi hasil industri, memiliki
potensi besar untuk ditingkatkan, dan oleh karena itu peranan
perusahaan Modal Ventura untuk mengembangkan perusahaan-
perusahaan industri yang menghasilkan barang-barang untuk tujuan
ekspor dan perusahaan-perusahaan jasa perdagangan penunjang
ekspor perlu ditingkatkan.

b. Industri yang menghasilkan komponen elektronika.


Industri yang menghasilkan komponen elektronika selain memerlukan
teknologi tinggi (high technology) dan modal besar, juga merupakan
titik strategis untuk mengembangkan industri elektronika yang besar
peranannya dalam mengembangkan industri informasi. Oleh karena
itu peranan perusahaan Modal Ventura juga perlu diarahkan untuk
mempercepat pertumbuhan industri yang menghasilkan komponen
elektronika tersebut.

c. Industri pengolahan hasil pertanian, peternakan, dan perikanan.


Hasil-hasil pertanian, peternakan, dan perikanan masih besar
potensinya untuk diolah menjadi komoditi yang mempunyai nilai
ekonomi yang tinggi, bukan hanya untuk tujuan ekspor saja tetapi
juga untuk memenuhi kebutuhan pasar di dalam negeri. Demikian
juga sektor usaha pertanian, perkebunan, perhutanan terutama hutan

514 Lihat Pasal 1 PP No.62 Tahun 1992 tentang Sektor-Sektor Usaha Perusahaan Pasangan
Usaha dari Perusahaan Modal Ventura dalam Pelaksanaan UU No.7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan UU No.7 Tahun 1991; misalya dalam
UU No.2 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010, disebutkan Pendapatan
program modal ventura adalah sebesar Rp3.437.496.000,00; sedangkan dalam UU No.26
Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No.41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009, disebutkan Pendapatan program modal ventura
RP5.131.437.000,00.

Bab 6 • Perusahaan Modal Ventura 143


tanaman industri, peternakan, dan perikanan masih berpotensi besar
untuk dikembangkan.

d. Usaha berskala kecil dan menengah, sesuai ketentuan Departemen


Perindustrian.
Perusahaan-perusahaan berskala kecil dan menengah seharusnya
merupakan pendukung utama kehidupan perekonomian yang
sehat, karena perusahaan kecil dan menengah pada umumnya
menyerap banyak tenaga kerja dan merupakan sarana pemerataan
pembangunan. Peranan perusahaan Modal Ventura terutama
diarahkan untuk pengembangan usaha kecil dan menengah ini.

e. Pembangunan rumah susun di daerah perkotaan.


Pembangunan rumah susun (bukan apartemen atau flat) di daerah
perkotaan merupakan alternatif yang tepat untuk memecahkan
masalah hunian di kota-kota besar yang padat penduduknya,
misalnya Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, dan Semarang. Oleh
karena itu usaha pembangunan rumah susun di kota-kota besar yang
padat penduduknya perlu dikembangkan dengan mengikutsertakan
perusahaan Modal Ventura.

f. Jasa angkutan darat antarkota, angkutan laut, dan angkutan


udara.
Sektor angkutan darat antarkota, angkutan laut, dan angkutan
udara juga perlu dikembangkan terutama untuk membuka daerah-
daerah terpencil yang mempunyai potensi ekonomi yang perlu
dikembangkan.

g. Jasa perdagangan penunjang ekspor.


Jika perusahaan pasangan usaha bergerak dalam bisnis internasional,
maka perusahaan modal ventura dapat memberikan bantuan, antara
lain berupa: (1) pemahaman pasar internasional yang lebih baik; (2)

144 Hukum Lembaga Pembiayaan


pemasaran atau produksi di luar negeri; dan (3) memiliki akses ke
sumber dana internasional515.

Sifat multidimensi sistem Modal Ventura berupa penempatan posisi


dari bisnis Modal Ventura sebagai: (1) lembaga finansial; (2) Corporate
Institution, karena ada penyertaan equity; dan (3) lembaga penolong
pengusaha lemah (mission humanistic). Oleh karena itu tugas yang harus
dilakukan oleh perusahaan modal ventura yaitu pemantauan investasi
dengan menempatkan orang-orangnya pada manajemen perusahaan
pasangan usaha dan peningkatan nilai tambah investasi516 yang diawasi
dan ditingkatkan.
Untuk mencapai tujuan agar bisnis modal ventura dapat terus
dikembangkan, maka faktor yang perlu diperhatikan adalah:
a. Tersedianya pasar modal yang baik dan likuid, sebab diperlukan
dalam hal perusahaan modal ventura melakukan divestasi dari
perusahaan pasangan usaha.

b. Sumber dana merupakan kebutuhan mutlak bagi suatu perusahaan


modal ventura, yang akan dimanfaatkan dalam penyediaan dana
atau penyertaan modal dalam perusahaan nasabahnya.

c. Manajemen yang andal merupakan faktor yang sangat menentukan,


sebab apabila suatu perusahaan modal ventura akan melakukan
investasi, maka dibutuhkan manajer profesional.

d. Terjaminnya fungsi pengawasan untuk dapat terdeteksi sejak dini.

515 Handowo Dipo, Sukses....., op.cit, hlm. 158


516 Peningkatan nilai tambah perusahaan dapat dilakukan perusahaan modal ventura
dengan cara: (a) mencari, meng-interview, memilih, dan melakukan negosiasi dengan
eksekutif profesional; (b) marketing; (c) mencari, memilih, dan menegosiasi pihak pemasok
bahan baku; (d) melatih dan memberikan penyuluhan terhadap pendiri/pemilik perseroan
atau staf manajemen lainnya; (e) mencari sumber dana lainnya; (f) membina hubungan
dengan calon pembeli saham lainnya; (g) memilih penjamin emisi dan profesi pasar modal
yang tepat dalam rangka go public.

Bab 6 • Perusahaan Modal Ventura 145


e. Deal Flows diperlukan untuk mencari dan memanfaatkan peluang
bisnis, ide dan temuan baru, sehingga fungsi research dan development
sangat penting.

4. Kewajiban Perusahaan Modal Ventura

Kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan


lembaga pembiayaan Modal Ventura dalam menjalankan aktivitasnya,
antara lain:
a. Wajib memiliki piutang pembiayaan sekurang-kurangnya sebesar
40% (empat puluh persen) dari total Aktiva517.

b. Menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa yang apabila


meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna Jasa
maka Perusahaan Pembiayaan adalah sebagai pihak pelapor kepada
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)518.

c. Menerapkan sistem lembaga keuangan ramah lingkungan hidup,


yaitu suatu sistem lembaga keuangan yang menerapkan persyaratan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam kebijakan
pembiayaan dan praktik sistem lembaga keuangan bank dan lembaga
keuangan nonbank519.

d. Dikenakan penghasilan dengan pajak bersifat final berupa transaksi


penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan
pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura520.

517 Lihat Pasal 11 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan


Pembiayaan.
518 Lihat Pasal 17 ayat (1) huruf a angka (2) dan Pasal 18 ayat (3) huruf d UU No.8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
519 Lihat Penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf c UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
520 Lihat Pasal 4 ayat (2) huruf d UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

146 Hukum Lembaga Pembiayaan


5. Hak bagi Perusahaan Modal Ventura
Hak yang diperoleh Lembaga Keuangan Perusahaan Modal Ventura
dalam menjalankan aktivitasnya, antara lain:
a. Tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai terhadap jasa modal ventura
yang diberikan521, apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura
berasal dari badan usaha, maka dividen yang diterima atau diperoleh
perusahaan modal ventura bukan merupakan objek pajak522.

b. Tidak dikenakan Pajak Penghasilan, mengingat perusahaan modal


ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan
modal; penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan
modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum
mempunyai akses ke bursa efek523.

c. Tidak dikenakan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang dibayar


atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi
sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan524.

6. Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa atau yang berwenang memeriksa, memutus,


dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama atas pembiayaan yang
menggunakan konsep syariah adalah Pengadilan Agama525.

521 Lihat Pasal 4A ayat (3) huruf d UU No.42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.
522 Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf k UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Ketiga atas UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
523 Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf n UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Ketiga atas UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
524 Lihat Pasal 24 ayat (4) huruf h UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
525 Lihat Penjelasan Pasal 49 huruf i dan huruf h UU No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; Perma No.2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

Bab 6 • Perusahaan Modal Ventura 147


D. PARA PIHAK DALAM KEGIATAN MODAL VENTURA
Dalam bisnis Modal Ventura terlibat para pihak sebagai berikut:

1. Pihak Perusahaan Modal Ventura

Pihak perusahaan Modal Ventura526 merupakan pihak yang


memberikan bantuan kepada perusahaan yang membutuhkan bantuan.
Perusahaan Modal Ventura haruslah berbentuk Perseroan Terbatas527 atau
Koperasi528. Dalam praktik bisnis modal ventura ini, perusahaan modal
ventura mengatur jalannya perusahaan yang dibiayainya, memegang
saham, menduduki posisi manajemen, membantu produksi, marketing,
dan sebagainya. Jadi tidak hanya bertindak sebagai investor pasif semata-
mata.

526 Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 178; Ali Ridho. R, Hukum....., op.cit, hlm.
328; Stanislaus Atalim, “PT Bahana (Persero) Pengelola Modal Ventura dalam Rangka Cita-
Cita Pasal 33 UUD 1945”, Majalah Era Hukum FH Untar, No.3/ Th.1/, Jakarta, Januari 1995,
hlm. 89.
527 Di Indonesia bentuk Commanditaire Vennootschap (CV-limited partnership)
sebenarnya cocok untuk perusahaan venture capital kecil sampai menengah, terutama
apabila para investor perorangan tertentu, karena CV adalah bentuk persekutuan yang
terdiri dari dua jenis sekutu (partner), yaitu: (a) Sekutu penyerta uang (silent partners), yaitu
sekutu pasif yang tidak ikut serta dalam pengurusan dan hanya bertanggung jawab sebatas
nilai penyertaannya; dan (b) Sekutu pengurus (managing Partner) yaitu sekutu aktif yang
mengurus persekutuan dan bertanggung jawab pribadi secara penuh. Tanggung jawab penuh
para sekutu pengurus merupakan suatu daya tarik tertentu, oleh karena itu diharapkan
mengakibatkan pengambilan keputusan yang sangat saksama dengan jaminan seluruh
harta sekutu pengurus dalam hal terjadi kelalaian dalam pengurusan. Tentunya, harta dan
reputasi sekutu pengurus harus dapat mendukung kepercayaan demikian. Keuntungan lain
dari bentuk persekutuan ini adalah mudahnya penghimpunan penanaman modal melalui
penambahan sekutu penyerta uang tanpa prosedur yang rumit. Penyertaan sekutu penyerta
uang pada hakikatnya merupakan suatu perjanjian pengelolaan dana dengan pembagian
keuntungan secara prorata atau cara lain yang dapat diperjanjikan. Bagi sekutu pengurus
status pasif sekutu penyerta uang efisien oleh karena mereka tidak ikut turut campur dalam
pengurusan. Apabila peserta penyerta uang tidak ingin meneruskan penyertaannya, maka
ada kesempatan untuk menarik diri sesuai dengan anggaran dasar persekutuan.
528 Secara khusus tentang perizinan Modal Ventura diatur dalam Kepmenkeu No.562/
KMK.011/1982 tanggal 1 September 1982. Perubahan atas Kepmenkeu No.563/KMK/iv/1/1972
tanggal 18 Januari 1972 tentang Perizinan Kegiatan Perusahaan Venture Capital.

148 Hukum Lembaga Pembiayaan


Usaha Modal Ventura529 oleh perusahaan dilakukan dengan
memperhatikan syarat penyertaan modal530, yaitu berupa (a) penyusunan
proposal PVC531; (b) menjalani pemeriksaan atas proposal yang diajukan532;
(c) penilaian dan negosiasi533; (d) pengikatan transaksi534; dan (e) model
proyeksi keuangan535.

2. Pihak Perusahaan Pasangan Usaha

Perusahaan Pasangan Usaha (investee)536 merupakan perusahaan yang


membutuhkan bantuan untuk bisa mengembangkan produknya dalam
bentuk penyertaan modal. Syarat perusahaan pasangan usaha haruslah
berbentuk perusahaan termasuk perusahaan pribadi yang bukan badan
hukum (sole proprietorship) dan pengusaha kecil537.
Perusahaan pasangan usaha harus hati-hati dalam memilih perusahaan
modal ventura untuk membiayai bisnisnya, yang mesti diperhatikan
antara lain:
a. Kualitas dan karakteristik personal, yang meliputi pertimbangan
mengenai:
1) komitmen kepada manajemen perusahaan;
2) kesabaran dalam menerima return on investment;
3) kejujuran;
4) mudah untuk bekerja sama;
5) cepat dan efisien dalam memberikan respons.

529 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 186; Bahauddin Darus,
“Venture....., op.cit, hlm. 10.
530 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 188.
531 Handowo Dipo, Sukses....., op.cit, hlm. 103; Wimar Wiloelar, Bagaimana Menyusun
Rencana Usaha untuk Venture Capital, Seminar Cipta Bisnis Indonesia, Jakarta, 22 September
1988, hlm. 3.
532 Handowo Dipo, Sukses....., op.cit, hlm. 121.
533 Ibid, hlm. 131.
534 Ibid, hlm. 145.
535 Ibid, hlm. 185.
536 Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 186.
537 Ibid, hlm. 198; Handowo Dipo, Sukses....., op.cit, hlm. 166; Bahauddin Darus,
“Modal Venture untuk Usaha Kecil-Menengah”, Penataran dan Seminar UU Perbankan,
diselenggarakan FH USU, Medan, 23 November–3 Desember 1992, hlm. 5; Abdul Muis. H.
“Modal Venture untuk Usaha Kecil-Menengah”, Penataran dan Seminar UU Perbankan,
diselenggarakan FH USU, Medan, 23 November–3 Desember 1992, hlm. 2.

Bab 6 • Perusahaan Modal Ventura 149


b. Pengalaman dari perusahaan modal ventura dan track record, yang
meliputi pertimbangan:
1) reputasi perusahaan modal ventura;
2) lamanya perusahaan modal ventura telah beroperasi.

c. Pertimbangan finansial, yang meliputi:


1) biaya dalam hal pengadaan dana;
2) kemungkinan pembelian kembali equity yang sudah terjual;
3) kekuatan finansial dari perusahaan modal ventura538.

3. Pihak Penyandang Dana

Adakalanya dalam bisnis modal ventura terlibat juga pihak


penyandang dana539 (pihak ketiga). Dalam ini, perusahaan modal ventura
berkedudukan sebagai fund management atau trustee540, di samping
kedudukannya sebagai investee management541.

538 Chris Bovaird, Venture....., op.cit, hlm. 87.


539 Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 195.
540 Perusahaan venture capital dalam hal ini bertindak sebagai pemberi jasa pengelolaan
dana pihak ketiga dengan suatu imbalan tertentu. Bedanya dengan jasa perbankan yang
mirip dengan itu adalah bahwa di sini dana yang dikelola akan dipakai untuk pembiayaan
perusahaan venture capital sendiri dan kemudian disalurkan dalam bentuk pembiayaan venture
capital kepada nasabahnya, dalam Mohamed Idwan Ganie, “Aspek....., op.cit, hlm. 10.
541 Ali Ridho. R, Hukum....., op.cit, hlm. 338.

150 Hukum Lembaga Pembiayaan


E. MEKANISME PENYERTAAN MODAL
Dalam proses bantuan yang dilakukan oleh PVC542, terbagi
dalam543:

1. Lewat Penyertaan Modal (Equity Financing)

Dari segi hukum, penyertaan modal dilakukan dengan pendirian


perusahaan baru antara PVC dengan nasabah atau dengan pembelian
saham yang belum ditempatkan dalam perusahaan nasabah544.
Proses pencairan dana dan penyertaan saham ke dalam suatu
perusahaan pasangan usaha pada prinsipnya sebagai berikut:
a. Seleksi Awal, merupakan proses pendahuluan dari pencairan dana
modal ventura, yakni untuk mengetahui layak tidaknya calon

542 Disebutkan bahwa pengelolaan dana dapat dilakukan dengan memperhatikan


tingkat pertumbuhan perusahaan, seperti berikut: (a) Tahap awal (seed deals), ditujukan bagi
perusahaan yang masih dalam proses pendirian dan masih mencari bentuk manajemen, karena
adanya produk baru yang harus melewati tahap percobaan/penelitian untuk selanjutnya
memasuki tahap komersial; (b) Tahap pertama, ditujukan bagi perusahaan yang tergolong
sudah lebih berkembang dengan produk yang dihasilkan sudah dikenal, namun kondisi
perusahaan masih memerlukan penataan manajemen. Kondisi perusahaan dalam tahap
melakukan perluasan, modernisasi, atau rehabilitasi dalam upaya mencapai perkembangan
yang lebih baik; (c) Tahap kedua, ditujukan bagi perusahaan mitra bisnis yang sedang dalam
kondisi khusus, sehingga memerlukan sejumlah dana untuk peningkatan kemampuannya;
(d) Tahap Pengembangan Profesional (Buy-out Financing), ditujukan bagi para pengelola aktif
(operasional manajemen) untuk turut serta memiliki sejumlah saham dalam perusahaan,
dengan tujuan kesinambungan bisnis; (e) Tahap Antara (Bridge Financing), ditujukan bagi
perusahaan yang diperkirakan dapat go public dalam waktu dekat (tidak lebih dari 1 tahun).
Sumber pengembalian diharapkan nantinya dari hasil go public; dan Tahap Pengembangan
Perusahaan (Aquisition Financing), ditujukan bagi perusahaan yang sudah berkembang dan
memerlukan dana untuk membeli perusahaan lain, lihat lebih lanjut Munir Fuady, Hukum
tentang....., op.cit, hlm. 158; Handowo Dipo, Sukses....., op.cit, hlm. 157; Abdulkadir Muhammad
& Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 189; Bahauddin Darus, “Modal Venture....., op.cit, hlm.
6.
543 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 186.
544 Pembelian saham yang telah ditempatkan pada prinsipnya tidak mungkin, karena
dalam keadaan demikian nasabah sendiri tidak menerima pembiayaan. Pengecualian adalah
di mana perusahaan venture capital mengambil alih saham yang telah ditempatkan dengan
kewajiban untuk melakukan penyetoran modal yang belum dibayar. Perbedaan dengan
penyertaan saham biasa terletak pada unsur pembiayaan. Oleh karena itu struktur perjanjian
pembelian saham sangat mirip dengan suatu perjanjian pinjaman. Hal ini disebabkan
kepentingan perusahaan venture capital secara komersial tetap sebagai kreditur.

Bab 6 • Perusahaan Modal Ventura 151


perusahaan pasangan usaha untuk didanai. Dalam hal ini yang
akan dideteksi adalah bentuk badan usaha, bidang bisnis, skala
usaha, kepemilikan, dan lain-lain.

b. Proses Penjajakan, merupakan kegiatan evaluasi pendahuluan,


yang meliputi kegiatan separti desk research, dan diskusi mengenai
aspek-aspek seperti permasalahan yang sudah dan/atau akan ada,
kewajiban usulan proyek, kebutuhan dana yang riil, prospek bisnis,
dan sebagainya.

c. Proses Evaluasi, merupakan proses penilaian lebih lanjut dan rinci


untuk memastikan apakah pendanaan lewat modal ventura itu
pantas diberikan atau tidak, dan apakah prospek terhadap capital
gain nanti baik atau tidak. Di antara aspek yang dievaluasi pada
tahap ini, antara lain aspek hukum, aspek teknik, aspek pemasaran,
manajemen, dan keuangan.

d. Proses Konfirmasi, adalah keputusan pendahuluan tentang apakah


diterima atau tidak proposal calon perusahaan pasangan usaha,
suatu persetujuan prinsip dan persyaratan keikutsertaan perusahaan
modal ventura ke dalam bisnisnya perusahaan pasangan usaha.

e. Proses Persiapan Kerja Sama, meliputi kegiatan penentuan besarnya


modal yang akan ditanam, besarnya nilai dan persentase saham yang
akan dipegang oleh perusahaan modal ventura, pembuatan, negosiasi,
review, dan penandatanganan shareholder agreement/venture capital
agreement, verifikasi atas dokumen legal lainnya, dan penyusunan
rencana implementasi.

f. Proses Pendirian Badan Hukum, biasanya dalam bentuk perseroan


terbatas atau koperasi. Apabila PT sebelumnya sudah terbentuk,
maka dapat dilakukan penjualan saham, pengeluaran saham dalam
portepel ataupun peningkatan modal terlebih dahulu. Kemudian PT
pasangan usaha membuat RUPS untuk meratifikasi seluruh kegiatan

152 Hukum Lembaga Pembiayaan


yang sudah dilakukan sehubungan dengan proses-proses pemberian
modal ventura ini.

g. Proses Implementasi rencana yang telah disepakati bersama, dapat


mencakup kegiatan pencairan dana, sistem administrasi keuangan,
pembangunan fisik, evaluasi pelaksanaan pembangunan fisik,
surpervisi, dan RUPS pengesahan pelaksanaan implementasi dan
rencana kerja tahun pertama komersial.

h. Proses Komersial, dilakukan terhadap proses yang sudah ditempuh


selama ini, yaitu: (1) jika investasinya berhasil, yang dilakukan: (i)
evaluasi perkembangan usaha, pelaksanaan kerja, laporan keuangan,
inspeksi ke lapangan, dan laporan khusus, (ii) supervisi, (iii)
penyusunan dan evaluasi rencana kerja, (iv) penanganan khusus (di
luar rencana kerja), dan (v) RUPS; (2) jika investasinya tidak berhasil,
maka dilakukan: (i) tindakan safety dengan cara mengundang pihak
ketiga untuk dapat berpartisipasi ke dalam perusahaan pasangan
usaha (secara kerja sama equity dan/atau manajerial dan/atau
nonequity), atau (ii) pembubaran kerja sama (divestasi negatif)545.

i. Proses Divestasi, wajib dilakukan oleh perusahaan modal ventura.


Umumnya divestasi dilakukan pada saat proses pendanaan sudah
mencapai antara 5 sampai 10 tahun. Proses divestasi dapat dilakukan
dengan berbagai cara: (i) flotation yakni dengan jalan go public; (ii)
earn out yakni dengan menjual saham yang dimiliki oleh perusahaan
modal ventura kepada pemegang saham pendiri, di mana pendiri
tersebut mengambil dana dari earning-nya pada perusahaan pasangan
usaha yang bersangkutan; (iii) investor menjual sahamnya kepada
manajemen perusahaan; (iv) trade sale, yaitu menjual sahamnya
ke pihak luar (ke pasar), misalnya kepada para pesaingnya, tetapi
tidak lewat pasar modal; (v) take out, yaitu menjual sahamnya

545 Melalui membeli kembali saham perusahaan modal ventura oleh pemegang saham
lain yang sudah ada, dan perusahaan modal ventura yang bersangkutan akan exit, atau
menjual aset perusahaan dan membagi hasilnya dengan atau tanpa proses likuidasi.

Bab 6 • Perusahaan Modal Ventura 153


kepada investor lain ataupun mungkin kepada pemodal ventura
lainnya, misalnya lewat private placement kepada penyandang dana
seperti dana asuransi, dana pensiun, dan sebagainya; dan/atau (vi)
melakukan swap saham.
Perusahaan venture capital yang membiayai nasabahnya lewat
pembiayaan penyertaan modal atau telah membeli saham lewat opsi
pembelian saham berdasarkan pembiayaan pinjaman pada prinsipnya
tidak berkepentingan untuk tetap menjadi pemegang saham dalam
perusahaan nasabah setelah masa venture capital berakhir. Keuntungan
diharapkan dari penjualan saham, dengan perbedaan antara harga
pembelian saham dengan harga jual.

2. Pembiayaan Lewat Pinjaman (Loan Financing)

Pembiayaan lewat pinjaman dituangkan dalam suatu perjanjian


pinjaman yang rinci mengandung persyaratan tentang pengunaan
dana pinjaman tersebut. Perjanjian pinjaman dalam rangka venture
capital mengandung persyaratan yang pada pokoknya tidak berbeda
dari perjanjian pinjaman yang biasa diadakan oleh lembaga keuangan
lainnya546.
Apabila pembiayaan venture capital berbentuk pinjaman maka
perusahaan venture capital biasanya akan meminta jaminan yang cukup,
misalnya tanggungan tanah, jaminan pribadi, penyerahan secara
kepercayaan (fiducia) atas tagihan-tagihan.

546 Perbedaannya adalah bahwa perjanjian pinjaman dalam rangka venture capital
biasanya lebih ketat persyaratannya dan sering mengandung ketentuan bahwa perusahaan
venture capital akan diberi hak untuk membeli saham-saham nasabah menurut ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam satu dokumen tersendiri. Dalam venture capital sebaiknya
memperoleh persetujuan dari para pemegang saham dalam bentuk Rapat Umum Pemegang
Saham perusahaan nasabah. Opsi tentang pembelian saham sedikit-dikitnya harus
mengandung ketentuan-ketentuan sebagai berikut: (a) lamanya opsi pembelian saham, (b)
harga saham, dan (c) ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan.

154 Hukum Lembaga Pembiayaan


3. Pembiayaan Disertai Jasa Manajemen
Pembiayaan venture capital disertai dengan jasa manajemen, marketing,
atau teknik. Dalam keadaan demikian perusahaan venture capital bersifat
sebagai konsultan belaka. Adakalanya bahwa perusahaan venture capital
terlibat secara aktif memegang jabatan direktur atau jabatan komisaris
dalam perusahaan nasabah. Dalam keadaan demikian perusahaan venture
capital menjadi partner penuh dan bukan hanya penasihat dalam bentuk
venture leasing547 sebagai modal ventura versi baru548. Bantuan manajemen
dapat dituangkan dalam perjanjian pembiayaan dengan imbalan berbentuk
management fee549.

4. Perjanjian Venture Capital

Perjanjian venture capital dilihat dari segi hukum550, harus dibuat


dalam bentuk tertulis551, sebab contoh kontrak harus dilampirkan pada
saat dimintakan izin usaha552, yang isinya (dokumen yang diperlukan)553
antara lain: (1) terms and conditions bagi perusahaan modal ventura
sebagai pemegang saham; (2) jumlah dan persentase saham yang akan

547 Handowo Dipo, Sukses....., op.cit, hlm. 90.


548 Ibid, hlm. 93; Robbia Pancarasa, “Tantangan Menuju Era Modal Venture di Indonesia”,
Majalah Usahawan No.10 Thn. XX, Jakarta, Oktober 1991, hlm. 20.
549 Apabila pembiayaan venture capital bersifat pinjaman maka ada kecenderungan
bahwa jasa manajemen tidak diberikan cuma-cuma. Apabila pembiayaan venture capital
dilakukan melalui penyertaan saham maka dengan sendirinya perusahaan venture capital
sangat berkepentingan atas pengembangan usaha yang sekarang ikut dimilikinya. Walaupun
demikian ini tidak berarti bahwa jasa manajemen tersebut dalam hal ada penyertaan saham
diberikan secara diam-diam. Lihat dalam Mohamed Idwan Ganie, “Aspek....., op.cit, hlm. 17.
550 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 194; Mohamad Idwan
Ganie, “Aspek....., op.cit, hlm. 10; Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 140.
551 Dapat saja dibuat terlebih dahulu suatu ikatan dasar berupa Memorandum of
Understanding (MoU) di antara para pihak, di mana para pihak mengemukakan keinginan
untuk melakukan deal modal ventura dan diatur garis-garis besar kerja sama tersebut. Dalam
sistem hukum kita, MoU tersebut sama saja mengikatnya dengan perjanjian lainnya mengikuti
klausula-klausula yang ada di dalam dokumen yang bersangkutan. Dan apabila transaksi
modal ventura jadi diteruskan, maka MoU harus diikuti oleh Perjanjian Pokok lain yang lebih
rinci, dalam Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 168; Mariam Darus Badrulzaman,
Aneka....., op.cit, hlm. 32.
552 Lihat SK Menteri Keuangan No.143/KMK.06/2004 tgl.19 Maret 2004 tentang Pemberian
Izin Usaha Modal Ventura kepada FT Ventura Giant Asia (NPWP: 02.238.381.4-042.000).
553 Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 167.

Bab 6 • Perusahaan Modal Ventura 155


dipegangnya; (3) lamanya divestasi dan cara exit; (4) dalam hal divestasi
kepada siapa saham harus ditawarkan terlebih dahulu; (5) posisi mana
yang bakal diduduki oleh perusahaan modal ventura, apakah manajer,
direktur, komisaris, atau jabatan-jabatan lainnya; dan (6) undertaking dari
pendiri, dan lain-lain.

F. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MODAL VENTURA


Modal ventura ada unsur plus minusnya, untuk itu ditinjau
keunggulan dan kelemahan, yaitu:

1. Keunggulan Modal Ventura

Keunggulan model pembiayaan lewat modal ventura554, yaitu:


a. Merupakan dana jangka pendek dan menengah yang relatif murah
dan dengan sistem repayment yang cukup fleksibel.

b. Merupakan sumber dana bagi perusahaan yang baru yang belum


memenuhi syarat untuk mendapatkan dana dari sumber pendanaan
lainnya.

c. Bantuan manajemen yang diberikan oleh perusahaan modal ventura


terhadap perusahaan pasangan usaha biasanya ikut menambah
majunya perusahaan.

d. Biasanya perusahaan modal ventura sangat concern terhadap maju


mundurnya perusahaan, sehingga jalannya perusahaan pasangan
usaha selalu dimonitor.

e. Tambahan modal baru dapat meningkatkan kemampuan perusahaan


untuk memperoleh pinjaman/bantuan modal dalam bentuk
lainnya.

554 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 193.

156 Hukum Lembaga Pembiayaan


f. Karena umumnya perusahaan modal ventura adalah perusahaan
yang sudah mempunyai reputasi, maka dengan penyertaan sahamnya
ke dalam perusahaan pasangan usaha, ikut pula menaikkan pamor
dari perusahaan pasangan usaha tersebut.

g. Perusahaan pasangan usaha dapat memperluas jaringan usaha


lewat partner-partner baru yang dimiliki oleh perusahaan modal
ventura.

h. Karena modal ventura ini umumnya diberikan kepada perusahaan-


perusahaan yang masih kecil, maka ini merupakan salah satu upaya
untuk mengangkat dan melindungi pengusaha kecil, dan memperluas
kesempatan kerja.

2. Kelemahan Modal Ventura

Kelemahan modal ventura555, antara lain:


a. Bila dilihat secara jangka panjangnya, pendanaan lewat modal
ventura ini bisa sangat mahal, berhubung dengan sistem bagi hasil
yang diterapkannya. Jadi return yang diperoleh perusahaan modal
ventura dari perusahaan pasangan usahanya bisa sangat besar,
terutama jika bisnis dari perusahaan pasangan usahanya sukses.

b. Bantuan finansial lewat modal ventura hanya dapat diberikan kepada


perusahaan tertentu saja dan biasanya sangat efektif. Hanya terhadap
perusahaan yang berprospek super bagus saja yang dapat dilayani
oleh perusahaan modal ventura. Dalam praktik, justru lebih banyak
perusahaan yang ditolak daripada yang diterima proposalnya.

c. Para pendiri perusahaan pasangan usaha yang dibiayai oleh


perusahaan modal ventura dapat kehilangan kontrol dan kepemilikan
dari perusahaannya berhubung manajemen dan saham yang dipegang

555 Ibid, hlm. 194; Munir Fuady, Hukum tentang....., op.cit, hlm. 155.

Bab 6 • Perusahaan Modal Ventura 157


oleh perusahaan modal ventura. Apabila perusahaan menunjukkan
gejala kegagalannya, perusahaan cenderung di-take over atau bahkan
langsung dilikuidasi.

d. Biaya yang mesti dikeluarkan556 cukup besar apabila pembiayaan


dilakukan dengan melibatkan pihak penyandang dana.

G. PENGAWASAN DAN PEMBINAAN


Pengawasan dan pembinaan serta menjaga kerahasiaan557 atas
Lembaga Pembiayaan Modal Ventura dilakukan oleh Menteri Keuangan558,
yang sejak tanggal 31 Desember 2012559 beralih kepada Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan
terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Lembaga Pembiayaan560.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan, OJK mempunyai wewenang561,
antara lain:
1. Menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan
mengenai Lembaga Jasa Keuangan dan pihak yang melakukan
kegiatan di sektor jasa keuangan.

2. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa


keuangan.

556 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi....., op.cit, hlm. 177.
557 Lihat lebih lanjut SK Menteri Keuangan No.Kep-1382/MK/6/11/1975 tgl. 20 November
1975 tentang Rahasia Lembaga Keuangan Non Bank.
558 Lihat Pasal 11 jo Pasal 1 angka 10 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan; juga Kep. Bersama Men. Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia No.607/
KMK.017/1995 dan No.28/9/KEP/GBI tentang Pelaksanaan Pengawasan Perusahaan
Pembiayaan oleh Bank Indonesia; Permen Keuangan No.74/PMK.021/2006 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank; Kep.Dirjend LK No.Kep-
2833/LK/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah pada
Lembaga Keuangan Non Bank.
559 Lihat Pasal 55 ayat (1) dan Penjelasan Umum UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan; Pasal 34 ayat (1) UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu No.2 Tahun
2008 tentang Perubahan atas UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi UU.
560 Lihat Pasal 6 huruf c UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
561 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

158 Hukum Lembaga Pembiayaan


3. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis
terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu.
Perintah tertulis adalah perintah secara tertulis untuk melaksanakan
atau tidak melaksanakan kegiatan tertentu guna memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan dan/atau
mencegah dan mengurangi kerugian konsumen, masyarakat, dan
sektor jasa keuangan.
Perintah tertulis diberikan antara lain untuk mengganti pengurus
atau pihak tertentu di Lembaga Jasa Keuangan, menghentikan,
membatasi, atau memperbaiki kegiatan usaha atau transaksi,
menghentikan atau mengubah perjanjian antara Lembaga Jasa
Keuangan dengan pihak lain yang diduga merugikan konsumen,
masyarakat, dan sektor jasa keuangan, serta menyampaikan informasi,
dokumen, dan/atau laporan tertentu kepada OJK.

4. Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai


dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.

Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai


wewenang562, antara lain:
1. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan
konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan,
pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.

2. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/


atau pihak tertentu.

3. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan


pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan;

562 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Bab 6 • Perusahaan Modal Ventura 159


4. Memberikan dan/atau mencabut:
a. izin usaha;
b. izin orang perseorangan;
c. efektifnya pernyataan pendaftaran;
d. surat tanda terdaftar;
e. persetujuan melakukan kegiatan usaha;
f. pengesahan;
g. persetujuan atau penetapan pembubaran;
h. penetapan lain.

H. PENCABUTAN IZIN USAHA


Pencabutan izin usaha perusahaan pembiayaan dilakukan dalam
hal perusahaan pembiayaan:
1. bubar, karena:
a. keputusan RUPS atau rapat anggota;
b. jangka waktu berdirinya perusahaan yang ditetapkan dalam
anggaran dasar berakhir;
c. putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
d. keputusan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam UU No.
17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian;

2. dikenakan sanksi, misalnya dicabut izin setelah diberikan dalam


waktu 60 hari tidak menjalankan kegiatan usaha;

3. tidak lagi menjadi perusahaan pembiayaan;

4. melakukan merger atau konsolidasi;

5. melanggar ketentuan UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas


Devisa dan Sistem Nilai Tukar dan Peraturan Pelaksanaannya, setelah
memperoleh rekomendasi dari Bank Indonesia.

160 Hukum Lembaga Pembiayaan


Perusahaan
Pembiayaan
BAB 7 Infrastruktur

A. PENGERTIAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN


INFRASTRUKTUR
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur adalah badan usaha yang
didirikan khusus untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
dana pada proyek infrastruktur (prasarana dan sarana)563.
Fasilitas infrastruktur berarti setiap fasilitas yang dimiliki secara
umum atau pribadi yang menyediakan atau menyalurkan pelayanan
untuk kepentingan umum, seperti air, pembuangan limbah rumah tangga,
listrik, bahan bakar atau komunikasi564.
Jasa infrastruktur dan keuangan dikembangkan sesuai dengan
kebijakan pengembangan ekonomi nasional agar mampu mendukung
secara efektif peningkatan produksi dan daya saing global dengan
menerapkan sistem dan standar mengelolanya sesuai dengan praktik
terbaik (the best practice) internasional, yang mampu mendorong
peningkatan ketahanan serta nilai tambah perekonomian nasional dan

563 Lihat Pasal 1 angka 4 dan Pasal 2 huruf c Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan; juga PP No.75 Tahun 2008 tentang Perubahan atas PP No.66 Tahun 2007 tentang
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Untuk Pendirian Perusahaan Perseroan
(Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur; PP No.85 Tahun 2010 tentang Penambahan
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan
(Persero) PT Sarana Multi Infrastruktur.
564 Lihat Lampiran Pasal 1 angka 2 UU No.5 Tahun 2006 tentang Pengesahan International
Convention for the Suppression of Terrorist Bombings, 1997 (Konvensi Internasional Pemberantasan
Pengeboman oleh Teroris, 1997).

161
yang mampu mendukung kepentingan strategis di dalam pengembangan
sumber daya manusia di dalam negeri yang meliputi pengembangan
keprofesian, penguasaan dan pemanfaatan teknologi nasional, dan
peningkatan kepentingan nasional dalam pengentasan kemiskinan dan
pengembangan kegiatan perekonomian perdesaan565.

B. PENDIRIAN DAN IZIN USAHA PEMBIAYAAN


INFRASTRUKTUR
Izin usaha adalah izin mendirikan untuk melakukan kegiatan
usaha di bidang pembiayaan yang ditetapkan oleh menteri566, yang sejak
tanggal 31 Desember 2012567 beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
dengan secara jelas mencantumkan dalam anggaran dasarnya kegiatan
pembiayaan yang dilakukan.
Permohonan untuk mendapatkan izin usaha wajib dilampiri
dengan568:
1. Akta pendirian badan usaha termasuk anggaran dasar yang telah
disahkan oleh instansi berwenang, yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. Nama, bentuk usaha, dan tempat kedudukan.
Bentuk badan Usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur
dapat dilakukan oleh Perusahaan yang berbentuk badan hukum

565 Lihat Lampiran UU No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005–2025.
566 Lihat Pasal 8 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 1 huruf
i Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; Bank Indonesia,
“Pedoman Pelaksanaan Peraturan-peraturan tentang Pendirian Lembaga Keuangan”,
Penataran Dosen Hukum Perdata/Dagang, dilaksanakan FH UGM, Yogyakarta, 16-28
November/30 November-12 Desember 1992, hlm. 5; Dalam rangka meningkatkan peranan
dan kinerja perusahaan pembiayaan yang telah ada baik berupa kegiatan sewa guna usaha,
anjak piutang, usaha kartu kredit dan pembiayaan konsumen, Pemerintah menganggap perlu
mengambil kebijakan dengan menghentikan sementara pemberian izin usaha perusahaan
pembiayaan sejak tanggal 24 April 2002. Hal ini didasarkan pada Keputusan Menteri
Keuangan (Kepmenkeu) No.185/KNK.06/2002 tentang Penghentian Pemberian Izin Usaha
Perusahaan Pembiayaan.
567 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
568 Lihat Pasal 9 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.

162 Hukum Lembaga Pembiayaan


Perseroan Terbatas569 atau Koperasi570, yang telah dibentuk PT
Penjaminan Infrastruktur Indonesia571.
b. Kegiatan usaha sebagai perusahaan pembiayaan.
c. Permodalan, ditetapkan:
1) Perusahaan swasta nasional sekurang-kurangnya sebesar
Rp100.000.000.000-, (seratus miliar rupiah)572.
2) Perusahaan patungan sekurang-kurangnya sebesar
Rp100.000.000.000-, (seratus miliar rupiah)573.
Pemilikan saham oleh Badan Usaha Asing ditentukan paling
besar 85% (delapan puluh lima per seratus) dari Modal
Disetor574.
3) Koperasi sekurang-kurangnya sebesar Rp50.000.000.000
(lima puluh miliar rupiah)575.
d. Kepemilikan.
Pendirian Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang berbentuk
Perseroan Terbatas, sahamnya dapat dimiliki oleh576:

569 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
570 Lihat Pasal 6 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; jo Pasal 7 ayat
(1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dan UU No.17
Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
571 PP No.88 Tahun 2010 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik
Indonesia Ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Penjaminan
Infrastruktur Indonesia; PP No.85 Tahun 2010 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara
Republik Indonesia Ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Sarana Multi
Infrastruktur; PP No.35 Tahun 2009 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia
untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Penjaminan Infrastruktur.
572 Lihat Pasal 13 huruf a Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
573 Lihat Pasal 13 huruf a Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
574 Lihat Pasal 7 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal
14 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
575 Lihat Pasal 13 huruf b Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
576 Lihat Pasal 7 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; Pasal 7
ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.

Bab 7 • Perusahaan Pembiayaan Invrastruktur 163


1) Warga Negara Indonesia dan/atau Badan Hukum
Indonesia577.
2) Badan Usaha Asing dan Warga Negara Indonesia atau Badan
Hukum Indonesia (usaha patungan)578.
e. Wewenang, tanggung jawab, masa jabatan direksi dan dewan
komisaris atau pengurus dan pengawas.

2. Data direksi dan dewan komisaris atau pengurus dan pengawas


meliputi:
a. fotokopi tanda pengenal yang berupa kartu tanda penduduk
(KTP) atau paspor;
b. daftar riwayat hidup;
c. surat pernyataan:
1) tidak tercatat sebagai debitur kredit macet di sektor
perbankan;
2) tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang
perbankan;
3) tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
4) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang
mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan
pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap;
5) tidak merangkap Jabatan pada Perusahaan Pembiayaan
Lain bagi Direksi;
6) tidak merangkap jabatan lebih dari 3 (tiga) perusahaan
Pembiayaan lain bagi Komisaris;
d. bukti pengalaman operasional di bidang perusahaan pembiayaan
atau perbankan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun bagi
salah satu direksi atau pengurus;

577 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
578 Lihat Pasal 7 ayat (1) huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.

164 Hukum Lembaga Pembiayaan


e. fotokopi kartu izin menetap sementara (KIMS) dan fotokopi
surat izin bekerja dari instansi berwenang bagi warga negara
asing.

3. Data pemegang saham atau anggota dalam hal:


a. Perorangan, wajib dilampiri dengan dokumen serta surat
pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman579
dan kegiatan pencucian uang (money laundering).
b. Badan hukum, wajib dilampiri dengan:
1) Akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar
berikut perubahan-perubahan yang telah mendapat
pengesahan dari instansi berwenang termasuk bagi badan
usaha asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara
asal.
2) Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik
dan laporan keuangan terakhir580.
3) Dokumen yang sama dengan angka 2 huruf a, b, dan c bagi
pemegang saham dan direksi atau pengurus.

4. Sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia.


a. Perusahaan pembiayaan dapat melakukan akuisisi, konsolidasi,
dan merger.
Akuisisi adalah pengambilalihan baik seluruh maupun sebagian
besar saham Perusahaan Pembiayaan yang dapat mengakibatkan
beralihnya pengendalian terhadap Perusahaan Pembiayaan581.
Konsolidasi adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan
Pembiayaan atau lebih, dengan cara mendirikan Perusahaan

579 Lihat lebih lanjut SK Menteri Keuangan No.606/KMK.017/1995 tgl. 19 Desember


1995 tentang Ketentuan Pinjaman yang Diterima, Penyertaan, dan Pelaporan Perusahaan
Pembiayaan.
580 Lihat lebih lanjut Surat Edaran Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan No.SE-1087/
LK/1996 tgl. 26 Februari 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelaporan dan Sanksi bagi
Perusahaan Pembiayaan.
581 Lihat Pasal 1 huruf j Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.

Bab 7 • Perusahaan Pembiayaan Invrastruktur 165


Pembiayaan baru dan membubarkan Perusahaan-perusahaan
Pembiayaan tersebut dengan atau tanpa likuidasi582.
Merger adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan
Pembiayaan atau lebih dengan cara tetap mempertahankan
berdirinya salah satu Perusahaan Pembiayaan lainnya dengan
atau tanpa likuidasi583.
Pelaksanaan merger dan akuisisi wajib dilaporkan kepada
Menteri Keuangan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari
setelah merger dan akuisisi dilakukan, dengan melampirkan
(a) notulen RUPS atau rapat anggota; (b) perubahan anggaran
dasar yang telah disahkan atau dilaporkan kepada instansi
berwenang dan didaftarkan dalam daftar perusahaan; (c) akta
jual beli atau akta merger; (d) data pemegang saham, direksi,
dan dewan komisaris atau anggota pengurus dan pengawas; (e)
status kantor perusahaan pembiayaan yang menggabungkan
diri, di mana kantor pusat dan kantor cabangnya masih dapat
berjalan sebagai kantor hasil merger.
b. Kantor cabang.
Kantor cabang adalah unit usaha dari suatu perusahaan
pembiayaan yang diperkenankan menjalankan semua jenis
usaha perusahaan pembiayaan dan menyelenggarakan tata
usaha/pembukuan sendiri, tetapi dalam mengatur usahanya
tunduk pada segala ketentuan yang berlaku bagi kantor pusat
perusahaan pembiayaan yang bersangkutan584, dan hanya dapat
dilakukan dengan izin menteri.

5. Fotokopi bukti pelunasan modal disetor dalam bentuk deposito


berjangka pada salah satu bank umum di Indonesia dan dilegalisasi

582 Lihat Pasal 1 huruf k Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
583 Lihat Pasal 1 huruf l Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
584 Lihat Pasal 1 huruf m Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan; juga SK MEnteri No. Kep-1063/KMK.00/1988 tgl. 27 Oktober 1988 tentang
Pembukuan Kantor Cabang Lembaga Keuangan Bukan Bank.

166 Hukum Lembaga Pembiayaan


oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama dalam proses
pengajuan izin usaha.

6. Rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama yang sekurang-kurangnya


memuat:
a. rencana pembiayaan dan langkah-langkah yang dilakukan untuk
mewujudkan rencana dimaksud;
b. proyeksi arus kas/neraca dan perhitungan laba/rugi bulanan
dimulai sejak Perusahaan Pembiayaan melakukan kegiatan
operasional.

7. Bukti kesiapan operasional antara lain berupa:


a. daftar aktiva tetap dan inventaris;
b. bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa-menyewa
gedung kantor;
c. contoh perjanjian pembiayaan yang akan digunakan;
d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

8. Perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia


bagi perusahaan patungan.

9. Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah


(P4MN).

Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha diberikan


selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan
diterima secara lengkap585, dan berlaku sejak tanggal ditetapkan untuk
tenggang waktu selama perusahaan masih menjalankan usahanya586.
Perusahaan pembiayaan wajib menjalankan kegiatan usaha
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal izin

585 Lihat Pasal 10 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
586 Lihat Pasal 10 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.

Bab 7 • Perusahaan Pembiayaan Invrastruktur 167


usaha ditetapkan587, dengan ancaman pencabutan izin apabila tidak
melaksanakan kegiatan usaha588. Perusahaan pembiayaan setelah
melaksanakan kegiatan usaha wajib melaporkannya paling lambat 10
(sepuluh) hari setelah kegiatan usaha dimulai589.

C. USAHA PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR


Membiayai pembangunan proyek adalah membiayai pembangunan
proyek-proyek yang telah mendapatkan alokasi dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara590, termasuk proyek infrastruktur
dalam sektor energi, telekomunikasi, perhubungan, pertanian, industri
manufaktur, dan perumahan rakyat.

1. Kegiatan Usaha Pembiayaan Infrastruktur

Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur meliputi591:


a. Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk Pembiayaan
Infrastruktur592, baik dalam bentuk Program Pengembangan
Infrastruktur Perdesaan (PPIP)593, Pengembangan Infrastruktur Sosial
Ekonomi Wilayah (PISEW)594, proyek kerja sama Pemerintah dengan

587 Lihat Pasal 12 ayat (1) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
588 Lihat Pasal 12 ayat (3) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
589 Lihat Pasal 12 ayat (2) Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
590 Lihat Penjelasan Pasal 4 UU No.19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah
Negara.
591 Lihat Pasal 5 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
592 Lihat Pasal 5 ayat (1) huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
593 Lihat Pasal 16 ayat (1) UU No.22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2012.
594 Lihat Pasal 16 ayat (1) UU No.22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2012; Inpres No.3 Tahun 2009 tentang Pengembangan
Infrastruktur Istana Kepresidenan, Kebun Raya, dan Benda Cagar Budaya Tertentu.

168 Hukum Lembaga Pembiayaan


badan usaha yang dilakukan melalui badan usaha PT Penjaminan
Infrastruktur Indonesia595, misalnya:
1) Pembiayaan untuk pemberdayaan industri dan pengembangan
teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan596, yang dalam
APBN Tahun 2012 sebesar597 Rp4.012.761.000.000,00.
Pembiayaan pembangunan jalan umum menjadi tanggung
jawab Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangan masing-masing598, misalnya penyediaan
infrastruktur transportasi perkotaan yang pengadaannya
menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah599.
2) Pembiayaan untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur
di dalam Kawasan Ekonomi Khusus dapat berasal dari600:
a) pemerintah dan/atau pemerintah daerah;
b) swasta;
c) kerja sama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan
swasta;
d) sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3) Pembiayaan/permodalan untuk petani dengan tujuan
pemberdayaan petani601 dengan pendirian Bank bagi Petani,
sehingga dibentuk lembaga pembiayaan mikro di bidang
pertanian baik berbentuk konvensional maupun syariah di
tingkat kabupaten/kota dan/atau provinsi602.

595 Lihat Pasal 31 ayat (1) UU No.22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2012.
596 Lihat Pasal 219 ayat (2) huruf f UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan; bandingkan dengan UU No.36 Tahun 1964 tentang Pungutan Istimewa atas
Impor untuk Pembiayaan Pembangunan Jalan Raya Lintas Sumatra.
597 Lihat Penjelasan Pasal 27 ayat (11) UU No.22 Tahun 2011 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012.
598 Lihat Pasal 30 ayat (1) huruf c UU No.38 Tahun 2004 tentang Jalan.
599 Lihat Penjelasan Pasal 5 ayat (3) huruf a UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik.
600 Lihat Pasal 13 ayat (1) jo Pasal 25 UU No.39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi
Khusus.
601 Lihat Pasal 9 ayat (5) huruf b, Pasal 38 huruf b dan Pasal 63 huruf c UU No.41 Tahun
2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
602 Lihat Pasal 65 ayat (1) UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian

Bab 7 • Perusahaan Pembiayaan Invrastruktur 169


Ketersediaan infrastruktur dalam bidang pertanian adalah
perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan
Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang memperhatikan
ketersediaan infrastruktur pendukung pertanian pangan antara
lain sistem irigasi, jalan usaha tani, dan jembatan603.
Sumber pembiayaan untuk pembentukan lembaga
pembiayaan mikro memanfaatkan604:
a) dana dari Pemerintah dan pemerintah daerah sebagai
stimulan;
b) dana tanggung jawab sosial dan lingkungan dari badan
usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan/atau
c) dana masyarakat.
4) Pembiayaan di sektor energi dengan membangun infrastruktur
energi untuk daerah belum berkembang sehingga dapat
mengurangi disparitas antardaerah605, misalnya: pembiayaan
ketenagalistrikan606.
5) Pembiayaan infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi adalah
infrastruktur yang terkait dengan kegiatan usaha hulu minyak
dan gas bumi yang mencakup kegiatan eksplorasi, eksploitasi,
transmisi, dan/atau distribusi607, yang dilakukan dengan cara
pengadaan tanah untuk sarana pendukungnya.
6) Infrastruktur Penyelenggaraan Informasi Geospasial608, dengan
Pemerintah wajib memfasilitasi pembangunan infrastruktur

Pangan Berkelanjutan.
603 Lihat Penjelasan Pasal 9 ayat (5) huruf b dan Penjelasan Pasal 24 ayat (2) huruf d UU
No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
604 Lihat Pasal 65 ayat (3) dan Pasal 66 UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; juga lihat PP No.43 Tahun 2009 tentang Pembiayaan,
Pembinaan, dan Pengawasan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.
605 Lihat Pasal 3 huruf f angka 2 UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi.
606 Lihat Kepmen Keuangan No.173/KMK.06/2002 tentang Rasio Pinjaman terhadap
Modal Sendiri dan Batas Waktu untuk Memulai Kegiatan Usaha bagi Perusahaan Pembiayaan
di Bidang Ketenagalistrikan.
607 Lihat Penjelasan Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 10 huruf e UU No.2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum.
608 Lihat Pasal 53 UU No.4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.

170 Hukum Lembaga Pembiayaan


Informasi Geospasial untuk memperlancar penyelenggaraan
Informasi Geospasial yang terdiri atas kebijakan, kelembagaan,
teknologi, standar, dan sumber daya manusia.

b. Refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain609; dan/


atau

c. Pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang berkaitan


dengan Pembiayaan Infrastruktur610.
Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan kegiatan usaha
Pembiayaan Infrastruktur diatur oleh menteri611, yang sejak tanggal
31 Desember 2012612 beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
yang antara lain: Menerbitkan Surat Sanggup Bayar (Promissory Note)
dengan memenuhi prinsip kehati-hatian (prudential principles)613.
Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) adalah surat pernyataan
kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu
kepada pihak yang tercantum dalam surat tersebut atau kepada
penggantinya614.

Untuk mendukung kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan


Infrastruktur dapat pula melakukan615;
a. pemberian dukungan kredit (credit enhancement), termasuk penjaminan
untuk Pembiayaan Infrastruktur616;
b. pemberian Jasa Konsultasi (advisory invesment)617;

609 Lihat Pasal 5 ayat (1) huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
610 Lihat Pasal 5 ayat (1) huruf c Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
611 Lihat Pasal 8 dan Pasal 10 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
612 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
613 Lihat Pasal 10 ayat (1) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
614 Lihat Pasal 1 angka 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
615 Lihat Pasal 5 ayat (2) Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
616 Lihat Pasal 5 ayat (2) huruf a Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
617 Lihat Pasal 5 ayat (2) huruf b Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga

Bab 7 • Perusahaan Pembiayaan Invrastruktur 171


c. penyertaan modal (equity investment)618;
d. upaya mencarikan swap market yang berkaitan dengan Pembiayaan
Infrastruktur619; dan/atau
e. kegiatan atau pemberian fasilitas lain yang terkait dengan Pembiayaan
Infrastruktur setelah memperoleh persetujuan menteri620.

2. Larangan Kegiatan bagi Pembiayaan Infrastruktur

Lembaga Pembiayaan Infrastruktur dilarang menarik dana secara


langsung dari masyarakat dalam bentuk621:
a. giro;
b. deposito;
c. tabungan.

3. Kewajiban Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur

Kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan


lembaga pembiayaan infrastruktur dalam menjalankan aktivitasnya,
antara lain:
a. Wajib memiliki piutang pembiayaan sekurang-kurangnya sebesar
40% (empat puluh persen) dari total aktiva622.

b. Menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa yang apabila


meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna Jasa

Pembiayaan.
618 Lihat Pasal 5 ayat (2) huruf c Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan
619 Lihat Pasal 5 ayat (2) huruf d Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan
620 Lihat Pasal 5 ayat (2) huruf e Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan
621 Lihat Pasal 9 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan
622 Lihat Pasal 11 Permen Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahan
Pembiayaan

172 Hukum Lembaga Pembiayaan


maka Perusahaan Pembiayaan adalah sebagai pihak pelapor kepada
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)623.

c. Menerapkan sistem lembaga keuangan ramah lingkungan hidup,


yaitu suatu sistem lembaga keuangan yang menerapkan persyaratan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam kebijakan
pembiayaan dan praktik sistem lembaga keuangan bank dan lembaga
keuangan nonbank624.

4. Hak bagi Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur

Hak yang diperoleh Lembaga Keuangan Perusahaan Pembiayaan


Infrastruktur dalam menjalankan aktivitasnya, antara lain:
a. Tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai terhadap jasa pembiayaan
infrastruktur yang diberikan625.

b. Tidak dikenakan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang dibayar


atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi
sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan626.

Biaya pembangunan infrastruktur sosial dijadikan sebagai faktor


pengurang pada pajak penghasilan yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah627.

623 Lihat 17 ayat (1) huruf a angka 2) dan Pasal 18 ayat (3) huruf d UU No.8 Tahun 2010
tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
624 Lihat Penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf c UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
625 Lihat Pasal 4A ayat (3) huruf d UU No.42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.
626 Lihat Pasal 24 ayat (4) huruf h UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
627 Lihat Pasal 6 ayat (1) huruf k UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; PP No.93 Tahun 2010 tentang Sumbangan
Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan
Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur
Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.

Bab 7 • Perusahaan Pembiayaan Invrastruktur 173


5. Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa atau yang berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama atas pembiayaan yang
menggunakan konsep syariah adalah Pengadilan Agama628.

D. PENGAWASAN DAN PEMBINAAN


Pengawasan dan pembinaan serta menjaga kerahasiaan629 atas
Lembaga Pembiayaan Infrastruktur dilakukan oleh Menteri Keuangan630,
yang sejak tanggal 31 Desember 2012631 beralih kepada Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan
terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Lembaga Pembiayaan632.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan, OJK mempunyai wewenang633,
antara lain:
1. Menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan
mengenai Lembaga Jasa Keuangan dan pihak yang melakukan
kegiatan di sektor jasa keuangan.

2. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa


keuangan.

3. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis


terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu.

628 Lihat Penjelasan Pasal 49 huruf i dan huruf h UU No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; Perma No.2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
629 Lihat lebih lanjut SK Menteri Keuangan No.Kep-1382/MK/6/11/1975 tgl. 20 November
1975 tentang Rahasia Lembaga Keuangan Non Bank.
630 Lihat Pasal 11 jo Pasal 1 angka 10 Perpres No.9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan; juga Kep. Bersama Men. Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia No.607/
KMK.017/1995 dan No.28/9/KEP/GBI tentang Pelaksanaan Pengawasan Perusahaan
Pembiayaan oleh Bank Indonesia; Permen Keuangan No.74/PMK.021/2006 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank; Kep.Dirjend LK No.Kep-
2833/LK/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah pada
Lembaga Keuangan Non Bank.
631 Lihat Pasal 55 ayat (1) UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
632 Lihat Pasal 6 huruf c UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
633 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

174 Hukum Lembaga Pembiayaan


Perintah tertulis adalah perintah secara tertulis untuk
melaksanakan atau tidak melaksanakan kegiatan tertentu guna
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan dan/atau mencegah dan mengurangi kerugian konsumen,
masyarakat, dan sektor jasa keuangan.
Perintah tertulis diberikan antara lain untuk mengganti pengurus
atau pihak tertentu di Lembaga Jasa Keuangan, menghentikan,
membatasi, atau memperbaiki kegiatan usaha atau transaksi,
menghentikan atau mengubah perjanjian antara Lembaga Jasa
Keuangan dengan pihak lain yang diduga merugikan konsumen,
masyarakat, dan sektor jasa keuangan, serta menyampaikan informasi,
dokumen, dan/atau laporan tertentu kepada OJK.

4. Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan


sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-un-
dangan di sektor jasa keuangan.

Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai


wewenang634, antara lain:
1. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan
konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan,
pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.

2. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/


atau pihak tertentu.

3. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan


pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan;

634 Lihat Pasal 8 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Bab 7 • Perusahaan Pembiayaan Invrastruktur 175


4. Memberikan dan/atau mencabut:
a. izin usaha;
b. izin orang perseorangan;
c. efektifnya pernyataan pendaftaran;
d. surat tanda terdaftar;
e. persetujuan melakukan kegiatan usaha;
f. pengesahan;
g. persetujuan atau penetapan pembubaran;
h. penetapan lain.

E. PENCABUTAN IZIN USAHA


Pencabutan izin usaha perusahaan pembiayaan dilakukan dalam
hal perusahaan pembiayaan:
1. bubar, karena;
a. keputusan RUPS atau rapat anggota;
b. jangka waktu berdirinya perusahaan yang ditetapkan dalam
anggaran dasar berakhir;
c. putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
d. keputusan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam UU No.
17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian;

2. dikenakan sanksi, misalnya dicabut izin setelah diberikan dalam


waktu 60 hari tidak menjalankan kegiatan usaha;

3. tidak lagi menjadi perusahaan pembiayaan;

4. melakukan merger atau konsolidasi;

5. melanggar ketentuan UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas


Devisa dan Sistem Nilai Tukar dan Peraturan Pelaksanaannya, setelah
memperoleh rekomendasi dari Bank Indonesia.

176 Hukum Lembaga Pembiayaan


Lampiran

Keterangan Peraturan Disahkan Tgl. Berlaku Tgl.


Perpres No.9 Tahun 2009 18 Maret 2009 18 Maret 2009
tentang LEMBAGA PEMBIAYAAN
Kategori Pembiayaan
Mencabut • Keppres No.61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan
Pelaksanaan • Stb. 1847 No.23 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
• UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
• UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
• Stb. 1847 No. 23 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
• UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan
Tambahan • PP No.94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena
Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan
Dilaksanakan • Pasal 1 angka 2 dan 5, Pasal 3 huruf a dgn Kepmen Keuangan
No.1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha
(Leasing)
• Pasal 1 angka 3, Pasal 2 huruf b, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7 ayat
(1), Pasal 12 dgn Kepmen Keuangan No.143/KMK.06/2004
tentang Pemberian Izin Usaha Modal Ventura Kepada PT. Ventura
Giant Asia (NPWP: 02.238.381.4-042.000)
• Pasal 1 angka 2, Pasal 2 huruf a, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 12 dgn
Permen Keuangan No.84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan
• Pasal 11 dgn Kep. Bersama Men. Keuangan Dan Gubernur
Bank Indonesia No.607/KMK.017/1995 dan No.28/9/KEP/GBI
tentang Pelaksanaan Pengawasan Perusahaan Pembiayaan Oleh
Bank Indonesia

177
• Pasal 11 Permen Keuangan No.74/PMK.012/2006 tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan
Non Bank
• Pasal 11 Kep.Dirjend LK No.Kep-2833/LK/2003 tentang
Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
Pada Lembaga Keuangan Non Bank
• Pasal 1 angka 4, Pasal 2 angka c, Pasal 5 angka 1, Pasal 7
ayat (1) Kepmen Keuangan No.173/KMK.06/2002 tentang
Rasio Pinjaman terhadap Modal Sendiri dan Batas Waktu Untuk
Memulai Kegiatan Usaha Bagi Perusahaan Pembiayaan di Bidang
Ketenagalistrikan
• Permen Keuangan No.130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran
Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan
Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan
Pembebanan Jaminan Fidusia

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 9 TAHUN 2009
TENTANG
LEMBAGA PEMBIAYAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa dalam rangka upaya meningkatkan peran Lembaga
Pembiayaan dalam proses pembangunan nasional, perlu didukung
oleh ketentuan mengenai Lembaga Pembiayaan yang memadai;
b. bahwa untuk dapat meningkatkan peran sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang
Lembaga Pembiayaan perlu disempurnakan dengan mengganti
Keputusan Presiden dimaksud dengan Peraturan Presiden yang
baru;

178 Hukum Lembaga Pembiayaan


c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang
Lembaga Pembiayaan;

Mengingat:
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun1945;
2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Staatsblad 1847 Nomor
23);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502);
4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);

MEMUTUSKAN :
Menetapkan: PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan:


1. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal.
2. Perusahaan Pembiayaan1 adalah badan usaha yang khusus didirikan
untuk melakukan Sewa Guna Usaha2, Anjak Piutang, Pembiayaan
Konsumen, dan/atau usaha Kartu Kredit.

1 lihat Permen Keuangan No.84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan


2 lihat Kepmen Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha

Lampiran 179
3. Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Company) adalah badan
usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan modal ke
dalam suatu Perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan
(Investee Company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk
penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konversi,
dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha3.
4. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur adalah badan usaha yang
didirikan khusus untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan dana pada proyek infrastruktur4;
5. Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayan dalam
bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha
dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak
opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha
(Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran
secara angsuran5;
6. Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk
pembelian piutang dagang jangka pendek suatu Perusahaan berikut
pengurusan atas piutang tersebut;
7. Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance) adalah kegiatan
pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan
konsumen dengan pembayaran secara angsuran;
8. Usaha Kartu Kredit (Credit Card) adalah kegiatan pembiayaan
untuk pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan kartu
kredit;
9. Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) adalah surat pernyataan
kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu

(Leasing)
3 lihat Kepmen Keuangan No.143/KMK.06/2004 tentang Pemberian Izin Usaha Modal
Ventura Kepada PT. Ventura Giant Asia (NPWP: 02.238.381.4-042.000)
4 lihat Kepmen Keuangan No.173/KMK.06/2002 tentang Rasio Pinjaman terhadap Modal
Sendiri dan Batas Waktu Untuk Memulai Kegiatan Usaha Bagi Perusahaan Pembiayaan di
Bidang Ketenagalistrikan
5 lihat Kepmen Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha
(Leasing)

180 Hukum Lembaga Pembiayaan


kepada pihak yang tercantum dalam surat tersebut atau kepada
penggantinya;
10. Menteri adalah Menteri Keuangan.

BAB II
JENIS, KEGIATAN USAHA, DAN PENDIRIAN LEMBAGA
PEMBIAYAAN

Pasal 2
Lembaga Pembiayaan meliputi :
a. Perusahaan Pembiayaan6;
b. Perusahaan Modal Ventura7;
c. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur8.

Pasal 3
Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan9 meliputi:
a. Sewa Guna Usaha10;
b. Anjak Piutang;
c. Usaha Kartu Kredit; dan/atau
d. Pembiayaan Konsumen.

Pasal 4
Kegiatan usaha Perusahaan Modal Ventura meliputi11:
a. Penyertaan Saham (equity participation);

6 lihat Permen Keuangan No.84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan


7 lihat Kepmen Keuangan No.143/KMK.06/2004 tentang Pemberian Izin Usaha Modal
Ventura Kepada PT. Ventura Giant Asia (NPWP: 02.238.381.4-042.000)
8 lihat Kepmen Keuangan No.173/KMK.06/2002 tentang Rasio Pinjaman terhadap Modal
Sendiri dan Batas Waktu Untuk Memulai Kegiatan Usaha Bagi Perusahaan Pembiayaan di
Bidang Ketenagalistrikan
9 lihat Permen Keuangan No.84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan
10 lihat Kepmen Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha
(Leasing)
11 lihat Kepmen Keuangan No.143/KMK.06/2004 tentang Pemberian Izin Usaha Modal
Ventura Kepada PT. Ventura Giant Asia (NPWP: 02.238.381.4-042.000)

Lampiran 181
b. Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi equity
partcipation);
c. Pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/revenue
sharing);

Pasal 5
(1) Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur meliputi12:
a. Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk Pembiayaan
Infrastruktur;
b. Refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain; dan/
atau;
c. Pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang
berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur;

(2) Untuk mendukung kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat


(1), Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dapat pula melakukan;
a. Pemberian dukungan kredit (credit enhancement), termasuk
penjaminan untuk Pembiayaan Infrastruktur;
b. Pemberian Jasa Konsultasi (advisory invesment);
c. Penyertaan Modal (equity investment);
d. Upaya mencarikan swap market yang berkaitan dengan
Pembiayaan Infrastruktur; dan/atau
e. Kegiatan atau pemberian fasilitas lain yang terkait dengan
Pembiayaan Infrastruktur setelah memperoleh persetujuan
Menteri.

Pasal 6
Perusahaan Pembiayaan13, Perusahaan Modal Ventura14, dan Perusahaan
Pembiayaan Infrastruktur berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi.

12 lihat Kepmen Keuangan No.173/KMK.06/2002 tentang Rasio Pinjaman terhadap


Modal Sendiri dan Batas Waktu Untuk Memulai Kegiatan Usaha Bagi Perusahaan Pembiayaan
di Bidang Ketenagalistrikan
13 lihat Permen Keuangan No.84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan
14 lihat Kepmen Keuangan No.143/KMK.06/2004 tentang Pemberian Izin Usaha Modal

182 Hukum Lembaga Pembiayaan


Pasal 7
(1) Saham Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura15, dan
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur16 yang berbentuk Perseroan
Terbatas dapat dimiliki oleh:
a. Warga Negara Indonesia dan/atau Badan Hukum Indonesia;
b. Badan Usaha Asing dan Warga Negara Indonesia atau Badan
Hukum Indonesia (usaha patungan).

(2) Pemilikan saham oleh Badan Usaha Asing sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf b ditentukan paling besar 85% (delapan puluh
lima per seratus) dari Modal Disetor.

Pasal 8
Ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan, tata cara pendirian perusahaan
dan pelaksanaan kegiatan usaha diatur oleh Menteri.

BAB III
PEMBATASAN

Pasal 9
Lembaga Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilarang
menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk:
a. Giro;
b. Deposito;
c. Tabungan.

Ventura Kepada PT. Ventura Giant Asia (NPWP: 02.238.381.4-042.000)


15 lihat Kepmen Keuangan No.143/KMK.06/2004 tentang Pemberian Izin Usaha Modal
Ventura Kepada PT. Ventura Giant Asia (NPWP: 02.238.381.4-042.000)
16 lihat Kepmen Keuangan No.173/KMK.06/2002 tentang Rasio Pinjaman terhadap
Modal Sendiri dan Batas Waktu Untuk Memulai Kegiatan Usaha Bagi Perusahaan Pembiayaan
di Bidang Ketenagalistrikan

Lampiran 183
Pasal 10
(1) Lembaga Pembiayaan dapat menerbitkan Surat Sanggup Bayar
(Promissory Note) dengan memenuhi prinsip kehati-hatian (prudential
principles);
(2) Penerbitan Surat Sanggup Bayar (Promissory Note)sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB IV
PENGAWASAN

Pasal 11
Menteri melakukan pengawasan dan pembinaan atas Lembaga Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 12
Dengan ditetapkannya Peraturan Presiden ini, Perusahaan Pembiayaan18
dan Perusahaan Modal Ventura19 yang telah memperoleh izin usaha
dari Menteri tetap dapat melanjutkan kegiatannya dengan melakukan
penyesuaian terhadap Peraturan Presiden ini paling lambat 2 (dua) tahun
sejak Peraturan Presiden ini ditetapkan.

17 lihat Kep. Bersama Men. Keuangan Dan Gubernur Bank Indonesia No.607/
KMK.017/1995 dan No.28/9/KEP/GBI tentang Pelaksanaan Pengawasan Perusahaan
Pembiayaan Oleh Bank Indonesia.; Permen Keuangan No.74/PMK.012/2006 tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank.; Kep.Dirjend LK
No.Kep-2833/LK/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
Pada Lembaga Keuangan Non Bank
18 lihat Permen Keuangan No.84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan
19 lihat Kepmen Keuangan No.143/KMK.06/2004 tentang Pemberian Izin Usaha Modal
Ventura Kepada PT. Ventura Giant Asia (NPWP: 02.238.381.4-042.000)

184 Hukum Lembaga Pembiayaan


BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 13
Dengan ditetapkannya Peraturan Presiden ini :
a. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga
Pembiayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988
Nomor 53) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
b. Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang
Lembaga Pembiayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1988 Nomor 53) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden ini.

Pasal 14
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Maret 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Lampiran 185
186 Hukum Lembaga Pembiayaan
Daftar Bacaan

Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan


dan Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. ke-1, 2000.
Abdul Muis, H, “Modal Venture untuk Usaha Kecil-Menengah”, Penataran
dan Seminar UU Perbankan, diselenggarakan FH USU, Medan, 23
November–3 Desember 1992.
Achmad Ichsan, Hukum Perdata (I A), Pembimbing Masa, Jakarta, Cet.
ke-1, 1969.
Adrianus Meliala, Menyingkap Kejahatan Krah Putih, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, Cet.ke-2, 1995.
Ali Ridho. R, Hukum Dagang tentang Prinsip dan Fungsi Asuransi dalam
Lembaga Keuangan, Pasar Modal, Lembaga Pembiayaan Modal Ventura,
dan Asuransi Haji, Alumni, Bandung, Cet.ke-1, 1992.
Amin Widjaja Tunggal & Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis dalam Leasing,
Rineka Cipta, Jakarta, Cet.ke-1, 1994.
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Cet.ke-1,
1986.
Angky Tisnadisastra, “Bentuk dan Mekanisme Leasing di Indonesia”,
Seminar Aspek Hukum Leasing, Jakarta, Oktober 1986, dimuat dalam
Varia Peradilan Edisi Khusus Tahun II No.16 Januari 1987.
Azikin Kusumah Atmadja, Z, “The Legal Aspects of Leasing in Indonesia”,
Seminar Aspek Hukum Leasing, Jakarta, Oktober 1986, dimuat dalam
Varia Peradilan Edisi Khusus Tahun II No.16 Januari 1987.

187
Bahauddin Darus, “Venture Capital Bentuk Pembiayaan untuk Industri
dan Komersialisasi Hasil Penelitian”, Seminar Cipta Bisnis Indonesia,
Jakarta, 22 September 1988.
-----, Modal Venture di Indonesia: Penyelenggaraan dan Permasalahan, Majalah
Usahawan No. 10 Thn. XX, Jakarta, Oktober 1991.
----, “Modal Venture untuk Usaha Kecil-Menengah”, Penataran dan
Seminar UU Perbankan, diselenggarakan FH USU, Medan, 23
November–3 Desember 1992.
Bank Indonesia, “Pedoman Pelaksanaan Peraturan-Peraturan tentang
Pendirian Lembaga Keuangan”, Penataran Dosen Hukum Perdata/
Dagang, dilaksanakan FH UGM, Yogyakarta, 16-28 November/30
November-12 Desember 1992.
Bank Negara Indonesia, Ketentuan Umum bagi Pemegang Kartu Kredit,
BNI, Jakarta, 2002.
Basani Situmorang, “Masalah Hukum Ketenagakerjaan dalam Usaha
Franchise”, Seminar Hukum, BPHN, Jakarta, 14-16 Desember
1993.
Biro Hukum BI, Kartu Kredit Suatu Tinjauan dari Sisi Hukum, BHBI &
AKKI, Jakarta, (Tanpa Tahun).
Bisnis Indonesia, Bank Sulit Turunkan Bunga Kartu Kredit, tanggal 18 Juni
2003.
-----, Master Card atasi Penipuan Kartu Kredit, tanggal 4 Oktober 2003.
Chris Bovaird, Venture Capital Finance, Great Britain, England, 1991.
Daniel Iman. Tb.Mac, “Masalah Merek dalam Usaha Franchise”, Seminar
BPHN, Jakarta, 14-16 Desember 1993.
Dermawan. PDD, “Sifat dan Bentuk Perjanjian Franchising”, Makalah
pada Panel Diskusi, Beberapa Permasalahan Hukum di Sekitar Penanaman
Modal, Jakarta, pada 18-20 Juni 1990.
Douglas J. Queen, Pedoman Membeli dan Menjalankan Franchise – Tuntutan
Langkah demi Langkah menuju Keberhasilan suatu Franchise, Elex Media
Komputindo, Jakarta, Cet.ke-1, 1993.
Eddy P. Soekadi, Mekanisme Leasing, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.
Ediwarman, “Peraturan Perdagangan dan Industri tentang Franchise
(Waralaba)”, makalah Penataran Hukum Perdagangan, dilaksanakan

188 Hukum Lembaga Pembiayaan


Law Firm T. Badrulzaman, Medan, 20 November – 12 Desember
1996.
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, “Kartu Kredit”, makalah pada Penataran
Dosen Hukum Perdata, dilaksanakan FH UGM, Yogyakarta, tanggal
16–18 November 1992.
Faried Wijaya M. & Soetatwo Hadiwigeno, Lembaga-Lembaga Keuangan
dan Bank – Perkembangan, Teori, dan Kebijakan, BPFE, Yogyakarta,
Ed.ke-2, Cet.ke-1, 1991.
Felix O. Soebagjo, et al, Rancangan Teaching Materials – Hukum Organisasi
Perusahaan, FH UI, Jakarta, 1994.
Gani Djemat, “Soal-Soal Hukum yang Dihadapi oleh Industri Leasing
di Indonesia”, Seminar Aspek Hukum Leasing, Jakarta, Oktober
1986, dimuat dalam Varia Peradilan Edisi Khusus Tahun II No.16
Januari 1987.
Handowo Dipo, Sukses Memperoleh Dana Usaha – Dengan Tinjauan Khusus
Modal Ventura, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, Cet.ke-2, 1993.
Heru Soepraptomo. H, Hukum Pembiayaan, PPS Unpad, Bandung, (Tanpa
Tahun).
Husni Syawali, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung,
2000.
Ikahi & ALI, “Apek Hukum dalam Lease Financing the Legal Aspects of
Leasing in Indonesia”, Sambutan dan Pembukaan Seminar Aspek
Hukum Leasing oleh Ketua Ikahi, Jakarta, Oktober 1986, dimuat
dalam Varia Peradilan Edisi Khusus Tahun II No.16 Januari 1987.
Imam Prayogo Suryohadibroto & Djoko Prakoso, Surat Berharga – Alat
Pembayaran dalam Masyarakat Modern, Rineka Cipta, Jakarta, Cet.
ke-2, 1991.
IPPM, “Konsep Perdagangan Baru: Waralaba (Sistem Pemasaran Vertikal:
Franchising)”, makalah pada Perdagangan, Jakarta, 25 Juni 1991.
-----, “Franchising – Kesempatan dan Permasalahan”, makalah lepas
tanpa tema, Jakarta, (Tanpa Tahun).
----- & ILO, “Kesepakatan Kerja Sama Analisis Perjanjian Waralaba”,
Makalah pada Departemen Perdagangan, Jakarta, 1990.

Daftar Bacaan 189


Ismail Saleh, Hukum dan Ekonomi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
Cet.ke-1, 1990.
Jack P. Friedman, Dictionary of Business Terms, Barron’s Educational Series
Inc, New York USA, 1987.
John W. Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi, Proyek ELIPS + FH UI,
Jakarta, Cet.ke-1, 1997.
Juajir Sumardi, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional,
Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet.ke-1, 1995.
Kafi Kurnia, “Perjanjian Licensing, Franchising, dan Technical Assistance
dalam Praktek”, Makalah pada Panel Diskusi, Beberapa Permasalahan
Hukum di Sekitar Penanaman Modal, Jakarta, pada 18-20 Juni 1990.
Kartini Mulyadi, “Perjanjian Leasing”, Seminar Aspek Hukum Leasing,
Jakarta, Oktober 1986, dimuat dalam Varia Peradilan Edisi Khusus
Tahun II No.16 Januari 1987.
Kompas, Aspek Hukum dari Franchise, tanggal 21 Januari 1991.
Koran Tempo, Bunga Kartu Kredit Masih Sulit Turun, tanggal 18 Juni
2003.
-----, Master Card Kembangkan Kartu Berbasis Chip, tanggal 06 Agustus
2003.
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III – Hukum Perikatan
dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, Cet.ke-1, 1983.
-----, Beberapa Masalah Hukum dalam Perjanjian Kredit Bank dengan Jaminan
Hypotheek serta Hambatan-Hambatannya dalam Praktek di Medan, Alumni,
Bandung, Cet.ke-4, 1989.
-----, “Sejauh mana Lembaga Pembiayaan Factoring dapat Dikembangkan
di Indonesia”, Makalah Seminar, FH USU, Medan 25 Februari
1989.
-----, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, Cet.ke-1, 1994.
-----, “Kerangka Dasar Hukum Perjanjian (Kontrak)”, Lokakarya Keliling,
“Hukum Kontrak”, Proyek Elips, Februari 1998, tulisan dalam ELIPS,
Hukum Kontrak di Indonesia, Proyek Elips, Jakarta, Februari 1998.
----- & Sugondo Kramadibrata, “Perjanjian Anjak Piutang (Factoring
Agreement)”, Makalah Seminar, FH USU, Medan, 23 November
s.d. 3 Desember 1992.

190 Hukum Lembaga Pembiayaan


Marzuki Usman, “Industri Leasing di Indonesia dan Peranannya dalam
Pembangunan Nasional”, Seminar Aspek Hukum Leasing, Jakarta,
Oktober 1986, dimuat dalam Varia Peradilan Edisi Khusus Tahun II
No.16 Januari 1987.
-----, et al., “Tentang Pembiayaan”, Makalah Seminar, Jakarta, 1987.
Media Indonesia, Layanan Asuransi untuk Kartu Kredit, 22 Oktober 2001.
Mendelsohn Martin, Franchising Petunjuk Praktis bagi Franchisor dan Fran-
chisee, PT Pustaka Binaan Pressindo, Jakarta, Cetakan Ke-1, 1993.
Mohamad Idwan Ganie, “Kontrak Leasing”, Seminar Aspek Hukum
Leasing, Jakarta, Oktober 1986, dimuat dalam Varia Peradilan Edisi
Khusus Tahun II No.16 Januari 1987.
-----, “Aspek Hukum Venture Capital”, Seminar Cipta Bisnis Indonesia,
Jakarta, 22 September 1988.
-----, “Aspek Hukum Lembaga Factoring di Indonesia”, Seminar ILUNI-
FH, Jakarta, 18 Februari 1989.
Muchdarsyah Sinungan, Uang dan Bank, Rineka Cipta, Jakarta, Cet.ke-3,
1991.
Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek – (Buku Kedua), Citra
Aditya Bakti, Bandung, Cet.ke-1, 1994.
-----, Hukum tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek – (Leasing, Factoring,
Modal Ventura, Pembiayaan Konsumen, Kartu Kredit), Citra Aditya Bakti,
Bandung, Cet.ke-1, 1995.
-----, Pembiayaan Perusahaan Masa Kini (Tinjauan Hukum Bisnis), Citra
Aditya Bakti, Bandung, Cet.ke-1, 1997.
-----, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya
Bakti, Bandung, Cetke-1, 2003.
Nur Fatah & Syafaruddin Alwi, Pembelanjaan Perusahaan, Andi Offset,
Yogyakarta, Ed.ke-1, Cet.ke-1, 1989.
Omar Ishananto, “Leasing (Perjanjian Sewa Guna Usaha) di Bidang
Property”, Lokakarya Keliling “Hukum Kontrak”, Proyek Elips,
Februari 1998.
Partomuan Pohan, A., “Selayang Pandang tentang Franchising, Licensing,
Technical Assistance, Ventura Capital Factoring dan Costodian”,

Daftar Bacaan 191


tulisan dalam Media Notariat, No. 20-21, Jakarta, Juli-Oktober
1991.
Poerwadarminta. WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, Cet.ke-8, 1985.
Reinsma, M, “Hire Purchase: Purchase on Installment, and Leasing in
Nethderlands”, Seminar Aspek Hukum Leasing, Jakarta, Oktober
1986, dimuat dalam Varia Peradilan Edisi Khusus Tahun II No.16
Januari 1987.
Renny Supriatni, “Sistem Pembiayaan Secara Syariah sebagai Upaya
Pengembangan bagi Pengusaha Kecil”, Jurnal Penegakan Hukum,
Volume 2 No.1, diterbitkan FH Unpad, Bandung, Januari 2005.
Republika, Biayanya Lebih Murah, Kartu Kredit Syariah Lebih Digemari,
tanggal 23 April 2003.
Retnowulan Sutantio, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Hukum Perbankan,
Seri Varia Yustisia 1, diterbitkan MARI, Jakarta, Cet.ke-2, 1996.
-----, “Perkembangan Anjak Piutang (Factoring) di Indonesia”, makalah,
Jakarta, (Tanpa Tahun).
Robbia Pancarasa, “Tantangan Menuju Era Modal Venture di Indonesia”,
Majalah Usahawan No.10 Thn. XX, Jakarta, Oktober 1991.
Roeslan Saleh, Seluk Beluk Praktis Lisensi, Sinar Grafika, Jakarta, Cet.
ke-2, 1991.
Rooseno Harjowidigdo, “Perspektif Pengaturan Perjanjian Franchise”,
makalah Seminar BPHN, Jakarta, 14-16 Desember 1993.
Satrio. J, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie, & Percampuran Hutang,
Alumni, Bandung, Cet.ke-1, 1991.
Schrans G. dan J. Grotaert., Economisch en Financieel Recht Vandaag, Gakke
Gent, 1972.
Siahaan. NHT, Money Laundering – Pencucian Uang & Kejahatan Perbankan,
Sinar Harapan, Jakarta, Cet.ke-1, 2002.
Soetan Batoeh Boerhanudin, Surat-Surat Berharga dan Artinya Menurut
Hukum, Angkasa, Bandung, 1980.
Sri Edi Sarwono, Sitem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, Universitas
Indonesia Press, Jakarta, 1987.

192 Hukum Lembaga Pembiayaan


Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Mandar Maju,
Bandung, Cet.ke-1, 2000.
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok
Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty-BPHN, Yogyakarta,
Cet.ke-1, 1980.
Sri Susilo, Y., et al., Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat,
Jakarta, Cet. 1, 2000.
Stanislaus Atalim, “PT Bahana (Persero) Pengelola Modal Ventura dalam
Rangka Cita-Cita Pasal 33 UUD 1945”, Majalah Era Hukum FH Untar,
No.3/ Th.1/, Jakarta, Januari 1995.
Steven S. Raab & Gregory Matusky, “Creating Your Own Franchise”,
Makalah pada Panel Diskusi, Beberapa Permasalahan Hukum di Sekitar
Penanaman Modal, Jakarta, pada 18-20 Juni 1990.
Subekti. R, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, Cet.ke-16,
1982.
Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum Hak Milik Intelektual, PT Eresco,
Bandung, Cetakan I, 1990.
-----, Contoh-Contoh Kontrak, Rekes & Surat Resmi Sehari-Hari. Jilid 6, Citra
Aditya Bakti, Bandung, Cet.ke-1, 1991.
-----, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Kesatu, Jilid I, Alumni,
Bandung, Cet.ke-5, 1992.
Sunaryati Hartono. CFG, “Pengantar Hukum Ekonomi (Bagian I –
Umum)”, makalah pada Penataran Hukum Ekonomi, dilaksanakan
oleh FH Unpar, Bandung, tanggal 19-25 Januari 1990.
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang
bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir
Indonesia, Jakarta, Cet. ke-1, 1993.
Thomas R. Goin, “Perjanjian-Perjanjian Lisensi Technical Assistance dan
Franchising dari Sudut Pandang Pihak Asing”, Makalah pada Panel
Diskusi Beberapa Permasalahan Hukum di Sekitar Penanaman Modal,
Jakarta, pada 18-20 Juni 1990.
Thomas Suyatno, et al., Kelembagaan Perbankan, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, Ed.ke-2, Cet. ke-1, 1993.

Daftar Bacaan 193


Wimar Wiloelar, “Bagaimana Menyusun Rencana Usaha untuk Venture
Capital”, Seminar Cipta Bisnis Indonesia, Jakarta, 22 September
1988.
Winarno. V, Sistem Franchise Diserbu Pengusaha, tulisan dalam Majalah
Manajemen, Jakarta Januari-Februari 1992.
Zainal Asikin, Pokok-Pokok Hukum Perbankan di Indonesia, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, Cet. ke-1, 1995.

194 Hukum Lembaga Pembiayaan


Profil Penulis

Dr. H. Ahmad Muliadi, SH., M.H., lahir di Singengu (Kotanopan/


Mandailing), tanggal 22 Mei 1966. Bertempat tinggal di Perumahan
Jayaratu Jl. Teratai No. 41 RT.003/RW.011, Kelurahan Jatiwarna, Kecamatan
Pondok Melati, Kota Bekasi, Telepon/HP (021) 8469019/0811805656 - Fax.
(021) 3148339.
Beliau dilahirkan oleh Ibu Almh. Wannahari Lubis dengan perkawinan
dengan Alm. H. Abdul Rahim Dalimunthe, dan telah menikah dengan
Hj. Guswita Dewi, S.H., M.H. (karyawati BUMN), dan telah mempunyai
putra/i, yaitu Irma Sari Muliadi, Hafiz Iskandar Muliadi, dan Syifa Aulia
Muliadi.
Profesi yang ditekuni adalah sebagai Dosen pada Fakultas Hukum dan
Pascasarjana Universitas Jayabaya dengan NIDN-0322056601 dan Fakultas
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, juga sebagai Advokat &
Konsultan Hukum berdasarkan SK. Menteri Kehakiman dan HAM No.
D-377.KP.04.13-Th.2002 tanggal 30 Desember 2002, serta Pemegang Kartu
Pengenal PERADI dengan No.A.02.10621, yang berkantor di Bank Mega/
Mandiri 7th. Floor Building, Jl.Tanjung Karang No. 3-4A Jakarta Pusat
10230, Telp. (021) 3148370 – 3148372 – 3148339 Fax. (021) 3148339 E.mail:
muliadi@lawmuliadi.com dan muliadi_and_partners@yahoo.com, dengan
website: www.lawmuliadi.com.
Pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah
Menengah Atas dilalui di Kotanopan, melanjutkan Pendidikan Tinggi
di Medan, dan telah menyelesaikan jenjang Pendidikan Tertinggi (Doktor)

195
bidang Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran Bandung, lulus tanggal
28 Nopember 2011, dengan predikat Cum Laude (IPK 3,99).
Sebagai seorang Dosen, beliau telah membimbing Mahasiswa pada
Program Doktor (S.3), Program Magister Hukum dan Notariat (S.2), dan
Program Strata Satu (Sarjana Hukum).
Di bidang Organisasi dan kemasyarakat adalah menjabat sebagai
Ketua DKM Masjid Al-Hasanah, dari tahun 2007 s/d sekarang, dan
terdaftar sebagai Anggota Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin).
Berbagai karya ilmiah telah dihasilkan, baik berupa buku maupun
Diktat Mata Kuliah, yaitu:
1. Politik Hukum, diterbitkan oleh Akademia Permata, Padang, tahun
2013, ISBN 978-602-8381-46-8 yang pada awalnya berasal dari bahan
ajar pada Mata Kuliah Politik Hukum di Pascasarjana Magister
Hukum dan Magister Kenotariatan Universitas Jayabaya.

2. Hukum Lembaga Pembiayaan, diterbitkan Fakultas Hukum


Universitas Jayabaya bekerjasama dengan Kantor Muliadi & Partners,
tahun 2008, ISBN 978-602-95094-1-0 telah beberapa kali direvisi yang
pada awalnya berasal dari Diktat Mata Kuliah mulai dari tahun
2000.

3. Pengaturan dan Metode Penyelesaian Sengketa Bisnis, diterbitkan


Fakultas Hukum Universitas bekerjasama dengan Kantor Muliadi
& Partners, tahun 2008, ISBN 978-602-95094-0-3 telah beberapa kali
direvisi yang berasal dari Diktat Mata Kuliah mulai dari tahun
2000.

4. Arbitrase, diterbitkan Fakultas Hukum Universitas Jayabaya


bekerjasama dengan Kantor Muliadi & Partners, tahun 2008, ISBN
978-602-95094-2-7 telah beberapa kali direvisi yang berasal dari
Diktat Mata Kuliah mulai dari tahun 2000.

196 Hukum Lembaga Pembiayaan


5. Peran Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, diterbitkan Pascasarjana
Universitas Jayabaya bekerjasama dengan Kantor Muliadi & Partners,
tahun 2010, sebagai Diktat Mata Kuliah.

6. Hukum Agraria, diterbitkan Pascasarjana Universitas Jayabaya,


tahun 2011, sebagai Diktat Mata Kuliah.

7. Hukum Ekonomi, diterbitkan Fakultas Hukum Jayabaya bekerjasama


dengan Kantor Muliadi & Partners, tahun 2007, sebagai Diktat Mata
Kuliah.

Profil Penulis 197


198 Hukum Lembaga Pembiayaan

Anda mungkin juga menyukai