Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan teknologi komunikasi di Indonesia saat ini berkembang
dengan pesat. Hal ini ditandai dengan banyaknya vendor telepon seluler
berlomba-lomba untuk meningkaatkan pelayanan kepada masyarakat, salah
satu sector penunjang pada industri telekomunikasi adalah menara atau tower
telekomunikasi.
Tower adalah menara yang terbuat dari rangkaian baja atau pipa baik
segi empat atau segi tiga, atau hanya berupa pipa panjang (tongkat), yang
bertujuan untuk menempatkan antena dan radio atau pemancar maupun
penerima gelombang sinyal telekomunikasi. Tower telekomunikasi dapat
dibedakan dari bentuk dan jenis konstruksi. Ada empat macam bentuk tower
yaitu, tower MT (mini tower), tower SST (self supporting tower), tower
minipole dan tower monopole. Dari keempat bentuk tower diatas yang paling
sering dan umum digunakan untuk perencanaa tower telekomunikasi seluler/
tower BTS (Base Transceiver Station) adalah tower SST. Karena SST
merupakan tower yang memiliki pola batang yang disusun dan disambung dan
membentuk rangka yang berdiri sendiri tanpa adanya sokongan sehingga
mampu menerima beban-beban yang berat seperti beban antena, kabel, tangga,
manusia, gempa dan angin.
Pembangunan tower ini dapat berupa tower yang menjulang atau tower
yang pendek tetapi mempunyai daya pasang antena yang banyak (sering
digunakan untuk keperluan tower bersama). Oleh karena itu pihak
pengembang teknologi tersebut banyak membangun maupun merencanakan
ulang tower untuk memperluas jaringan atau signal komunikasi.
Dalam merencanakan tower dibutuhkan perhitungan yang sangat teliti.
Karena tower merupakan bangunan tinggi yang cenderung memiliki
kelangsingan yang besar. Perencanaan tower diatur sedemikian matang agar
dapat kuat terhadap hempasan angin dalam skala tinggi. Untuk tower dengan

1
ketinggian yang besar, pengaruh angin menjadi prioritas utama dalam
perhitungan struktur ini.
Oleh karena itu sebagai mahasiswa teknik sipil harus mampu
merencanakan suatu tower telekomunikasi untuk menjawab kebutuhan yang
ada pada zaman sekarang.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana merencanakan konstruksi tower telekomunikasi dengan
ketinggian 27 m?
2. Bagaimana analisa struktur telekomunikasi yang direncanakan
menggunakan mutu baja BJ 41, mutu beton 30 Mpa, mutu tulangan 240
Mpa dan 320 Mpa, teg. Ijin tanah 5 kg/cm2 dengan jenis tanah keras?

1.3 Batasan Masalah


Dalam penulisan laporan ini perlu adanya batasan-batasan yang
bertujuan untuk memfokuskan bagian yang akan dibahas secara rinci.
Batasan-batasan yang akan dibahas dalam laporan ini adalah perencanaan
konstruksi tower dengan tinggi 27 m dengan mutu baja BJ 41, mutu beton 30
Mpa, mutu tulangan 240 Mpa dan 320 Mpa, teg. Ijin tanah 5 kg/cm 2 dengan
jenis tanah keras.

1.4 Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan ini yaitu:
1. Untuk mengetahui perencanaan konstruksi tower telekomunikasi dengan
ketinggian 27 m
2. Untuk mengetahui analisa struktur telekomunikasi yang direncanakan
menggunakan mutu baja BJ 41, mutu beton 30 Mpa, mutu tulangan 240
Mpa dan 320 Mpa, teg. Ijin tanah 5 kg/cm2 dengan jenis tanah keras

2
1.5 Manfaat
Manfaat dari Tugas besar struktur baja 2 ini yaitu, mahasiswa dapat
merencanakan konstruksi tower dan dapat membuat gambar struktur dari
perencanaan konstruksi tower, dan sebagai salah satu sarana untuk
meningkatkan wawasan dan kemampuan mahasiswa dalam dunia konstruksi
pada saat terjun dalam dunia kerja nantinya.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Material Baja


2.1.1 Sifat Bahan Baja
Sifat baja yang terpenting dalam penggunaannya sebagai bahan
konstruksi adalah kekuatannya yang tinggi dibandingkan dengan bahan lain
seperti kayu, dan sifat keliatannya yaitu kemampuan untuk berdeformasi
secara baik dalam tegangan, regangan maupun dalam kompresi sebelum
kegagalan, serta sifat homogenitas yaitu sifat keseragaman yang tinggi.
Baja yang digunakan dalam struktur dapat diklasifikasikan menjadi
baja karbon, baja paduan rendah mutu tinggi, dan baja paduan. Sifat-sifat
mekanik dari baja tersebut seperti tegangan leleh dan tegangan putusnya
diatur dalam ASTM A6/A6M.
a. Baja Karbon
Baja karbon dibagi menjadi 3 kategori tergantung dari presentase
kandungan karbonnya, yaitu: baja karbon rendah (C=0,03-0,35%), baja
karbon medium (C=0,35-0,50%), dan baja karbon tinggi (C=0,55-1,7%).
Baja yang sering digunakan dalam struktur adalah baja karbon medium,
misalnya BJ 37. Kandungan karbon bajamedium bervariasi dari 0,25-
0,29% tergantung ketebalan. Selain karbon, unsur lain yang juga
terdapat dalam baja karbon adalah mangan (0,25-1,5%), silikon (0,25-
0,30%), fosfor (maksimal 0,04%) dan sulfur (0,05%). Baja karbon
umumnya memiliki tegangan leleh (fy) antara 210-250 Mpa,
b. Baja paduan rendah mutu tinggi
Yang termasuk dalam kategori baja paduan rendah mutu tinggi (hingh-
strength low-alloy steel/HSLA) mempunyai tegangan leleh berkisar
antara 290-550 Mpa dengan tegangan putus (fu) antara 415-700 Mpa,
c. Baja paduan
Baja paduan rendah (low alloy) dapat ditempa dan dipanaskan untuk
memperoleh tegangan leleh antara 550-760 Mpa. Tegangan leleh dari
baja paduan biasanya ditentukan sebagai tegangan yang terjadi saat

4
tombul regangan permanen sebesar 0,2% atau dapat ditentukan pula
sebagai tegangan pada saat regangan mencapai 0,5%.

2.1.2 Sifat Mekanik Baja


Model pengujian yang paling tepat untuk mendapatkan sifat-sifat
mekanik dari material baja adalah dengan melakukan uji tarik terhadap
suatu benda uji baja. Uji tekan tidak dapat memberikan data yang akurat
terhadap sifat-sifat mekanik baja, karena disebabkan beberapa hal antara
lain adanya potensi tekuk pada benda uji yang mengakibatkan
ketidakstabilan dari benda uji tersebut, selain itu perhitungan tegangan
yang terjadi di dalam benda uji lebih mudah dilakukan untuk uji tarik dari
pada uji tekan. Gambar 2.1 dan Gambar 2.2 di bawah menunjukkan
suatu hasil uji tarik material baja yang dilakukan pada suhu kamar serta
dengan memberikan laju regangan yang normal. Tegangan nominal (f)
yang terjadi dalam benda uji diplot pada sumbu vertikal, sedangkan
regangan (ε) yang merupakan perbandingan antara pertambahan panjang
dengan panjang mula-mula (∆L/L) diplot pada sumbu horizontal. Gambar
2.1 merupakan hasil uji tarik dari suat benda uji baja yang dilakukan
hingga benda uji mengalami keruntuhan, sedangkan Gambar 2.2
menunjukkan gambaran yang lebih detail dari perilaku benda uji hingga
mencapai regangan sebesar ± 2%.

Gambar 2.1 Kurva Hubungan Tegangan (f) vs Regangan (ε)


Sumber : Agus Setiawan, Perencanaan Struktur Baja Dengan Metode LRFD

5
Gambar 2.2 Bagian Kurva Tegangan (f) – Regangan (ε) Yang Diperbesar
Sumber : Agus Setiawan, Perencanaan Struktur Baja Dengan Metode LRFD

Titik-titik penting ini membagi kurva tegangan-regangan menjadi


beberapa daerah sebagai berikut:
1. Daerah linier antara 0 dan fp dalam daerah ini berlaku hukum Hooke,
kemiringan dari bagian kurva yang lurus ini disebut sebagai modulus
elastisitas atau modulus young, E= (f / ε),
2. Daerah elastis antara 0 dan fe pada daerah ini jika beban dihilangkan
maka benda uji akan kembali ke bentuk semula atau dikatakan bahwa
benda uji tersebut masih elastis,
3. Daerah plastis yang dibatasi oleh regangan antara 2% hingga 1,2-1,5%,
pada bagian ini regangan mengalami kenaikan akibat tegangan konstan
sebesar fy. Daerah ini dapat menunjukkan pula tingkat daktilitas dari
material baja tersebut. Pada baja mutu tinggi terdapat pula daerah
plastis, namun pada daerah ini tegangan masih mengalami kenaikan.
Karena itu baja jenis ini tidak mempunyai daerah plastis yang benar-
benar datar segingga tak dapat dipakai dalam analisa plastis,
4. Daerah penguatan regangan (strain hardening) antara ε sh dan ε u. Untuk
regangan lebis besar dari 15 hingga 20 kali regangan elastis
maksimum, egangan kembali mengalami kenaikan namum dengan
kemiringan lebih kecil daripada kemiringan daerah elastis. Daerah ini
dinamakan daerha penguatan regangan (strain hardening), yang

6
berlanjut hingga mencapai tegangan putus. Kemiringan daerah ini
dinamakan modulus penguatan regangan (Est).

Dalam perencanaan struktur baja, SNI 03-1729-2002 mengambil


beberapa sifat mekanik dari material baja yang sama yaitu:
Modulus Elastis, E = 200.000 MPa
Modulud Geser, G = 80.000 Mpa
Angka Poison = 0,30
Koefisien Muai Panjang = 12 x 10-6/ oC

Sedangkan berdasarkan tegangan leleh dan tegangan putusnya, SNI


03-1729-2002 mengklasifikasikan mutu dari material baja menjadi 5 kelas
mutu baja, sebagai berikut:

Tabel 2.1 Kuat Tarik Batas Dan Tegangan Leleh


Kuat Tarik Batas Tegangan Leleh
Jenis Baja
(Fu) Mpa (Fy) Mpa
BJ 34 340 210
BJ 37 370 240
BJ 41 410 250
BJ 50 500 290
BJ 55 550 410
Sumber : SNI 2002

2.1.3 Profil baja


Terdapat banyak jenis bentuk profil baja struktural yang tersedia di
pasaran. Semua bentuk profil tersebut mempunyai kelebihan dan kelemahan
tersendiri. Beberapa jenis profil baja menurut AISCM bagian I diantaranya
adalah profil IWF, tiang tumpu (HP), O, C, profil siku (L), dan profil T
struktural.

7
Gambar 2.3 Macam-macam Profil Baja
Sumber : Agus Setiawan, Perencanaan Struktur Baja Dengan Metode LRFD

Profil IWF sering digunakan sebagai elemen struktur balok dan


kolom. Semakin tinggi profil ini, maka semakin ekonomis untuk banyak
aplikasi. Profil M mempunyai penampang melintang yang pada dasarnya
sama dengan profil W, dan juga mempunyai aplikasi yang sama.
Profil S adalah Profil yang memiliki bidang flens yang miring, dan
web yang relative lebih tebal. Profil ini jarang digunakan dalam konstruksi,
tetapi masih digunakan terutama untuk beban terpusat yang sangat besar
pada bagian flens.
Profil HP adalah profil jenis penumpu (bearing type shape) yang
mempunyai karakteristik penampang agak bujur sangkar dengan flens dan
web yang hampir sama tebalnya. Biasanya digunakan sebagai fondasi tiang
pancang. Bisa juga digunakan sebagai balok dan kolom, tetapi umumnya
kurang efisien.
Profil C atau kanal mempunyai karakteristik flens pendek, yang
mempunyai kemiringan permukaan dalam sekitar 1:6. Aplikasinya biasanya
digunakan sebagai penampang tersusun, bracing tie, ataupun elemen dari
bukan rangka (frame opening).
Profil siku atau profil L adalah profil yang sangat cocok untuk
digunakan sebagai bracing dan batang tarik. Profil ini biasa digunakan
secara gabungan, yang lebih dikenal sebagai profil siku ganda. Profil ini
sangat baik untuk digunakan pada struktur truss.

8
2.2 Pengertian Tower
Tower atau yang sering disebut dengan menara yang digunakan
secara umum dapat digolongkan ke dalam tiga jenis, yaitu:
a. Self-Supporting Tower, adalah menara yang memiliki pola batang yang
disusun dan disambung sehingga membentuk rangka yang berdiri
sendiri tanpa ada sokongan lainnya.

Gambar 2.4 Self-Supporting Tower


Sumber: Masca Indra Triana, 2010

b. Guyed Tower, adalah jenis menara yang disokong dengan kabel-kabel


yang diangkurkan pada landasan tanah, menara ini juga disusun atas
pola batang yang sama halnya dengan Self-Supporting Tower, akan
tetapi menara jenis Guyed Tower memiliki jenis dimensi batang yang
lebih kecil dari pada jenis menara Self-Supporting Tower.

Gambar 2.5 Guyed Tower


Sumber: Masca Indra Triana, 2010.

c. Monopole, menara ini adalah jenis menara yang hanya terdiri dari satu
batang atau satu tuiang yang didirikan atau ditancapkan langsung pada
tanah. Dari penampangnya menara ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

9
1. Cilcular-pole, addalah jenis monopole yang memiliki diameter
penampang/ panel seragam mulai dari bawah sampai atas.

Gambar 2.6 Circular-Pole


Sumber: Masca Indra Triana, 2010

2. Tapered-pole, adalah jenis monopole yang memiliki ukuran


diameter bervariasi, yaitu diameter yang digunakan semakin keatas
semakin kecil.

Gambar 2.7 Tapered-pole


Sumber: Masca Indra Triana, 2010

Jenis menara Guyed Tower dan Monopole biasanya memiliki


ketinggian menara yang rendah dari menara jenis self-supporting tower dan
dirancang untuk menerima beban-beban yang lebih ringan dari pada jenis
menara self-supporting tower, sehingga kedua jenis menara ini tidak dapat
menerima beban seperti beban antena yang memiliki dimensi dan berat yang
besar. (Sumargo, 2007)
Ketinggian suatu menara biasanya mulai dari 20-120 meter
ketinggian dari menara pemancar tersebut didasarkan atas kebutuhan serta
jangkauan dalam menerima sinyal, menara pemancar komunikasi
mempunyai beberapa macam kegunaan yaitu menara pemancar untuk radio
AM (Amplitudo Modulasi), radio FM (Frekuensi Modulasi), dan BTS (Base

10
Transmite Satelit). Selain itu lokasi menara juga sangat berpengaruh
terhadap struktu menara tersebut.

2.3 Antena Pemancar


Secara umum antena yang dipakai untuk menara komunikasi ada dua
macam yaitu antena jenis solid (microwave) dan jenis grid (sectoral), untuk
ukuran diameter yang sama antena sectoral memiliki berat yang lebih
ringan dibandingkan dengan antena jenis solid. Antena yang digunakan juga
memiliki bentuk yang beragam seperti bentuk lingkaran dan persegi, namun
biasanya antena yang digunakan memiliki bentuk standart berupa lingkaran.
Selain itu juga antena memiliki ukuran diameter dna panjang yang beragam,
seperti 80 cm, 100 cm, 120 cm, dan lainnya, berat antena juga beragam
tergantung pada ukuran diameter lingkarannya.
Beberapa jenis antena yang dipakai dalam perencanaan tower BTS
adalah sebagai berikut:
1. Microwave antenna
Antena yang berbentuk seperti gendering rebana yang berfungsi sebagai alat
penerima dan memancarkan gelombang dari radio BTS ke BSC atau BTS ke
BTS lainnya.

Gambar 2.8 Microwave Antena


Sumber: Terrstrial Microwave Antenna Sistem Products

2. Sectoral antena (grid)


Antena yang berbantuk persegi panjang, terpasang pada tower dengan
ketinggian tertentu berfungsi sebagai penghubung antara BTS dengan
Handphone.

11
Gambar 2.9 Sectoral Antena (Grid)
Sumber: Masca Indra Triana, 2010

Tiap antena memilki spesifikasi yang berbeda, yang dipaki dalam


perencanaan tower bersama adalah jenis antena multisektoral dan multi
band. Antena multisektoral adalah antena yang memiliki jangkauan
frekuensi lebih dari satu polarisasi sehingga dapat mencakup daerah yang
lebih luas. Untuk antena multiband adalah antena yang mampu menerima
sinyal lebih dari satu frekuensi.

2.4 Pembebanan
Suatu sistem struktur pada konstruksi sipil direncanakan untuk dapat
menahan beban-beban yang bekerja. Oleh karena itu dalam perencanaan
dimensi selalu memperhatikan beban-beban yang bekerja pada struktur yang
berkaitan dengan umur rencana dari struktur itu, sehingga struktur tersebut
akan berfungsi sebagai mana yang diharapkan dalam waktu yang telah
direncanakan. Pada stuktur tower ini beban-beban yang bekerja antara lain:
a. Beban Mati (Dead Load)
Beban mati adalah beban yang bekerja pada struktur akibat adanya gaya
gravitasi. Berat struktur dipandang sebagai beban mati, demikian juga
semua beban yang dipikul selama struktur berdiri.
b. Beban Hidup (Live Load)
Beban hidup berasal dari beban pekerja pada tower. Asumsi satu orang
pekerja adalah sebesar 100 kg.
c. Beban Angin (Wind Load)
Beban angin adalah tekanan pada struktur bangunan yang diakibatkan
oleh angin. Beban angin diperhitungkan dari berbagai faktor antara lain

12
lokasi bangunan, kecepatan angin, luas penampang yang terkena
hembusan (tekanan) angin.
Menrut PPIUG 1983 tekanan angin diperhitungkan sebagai berikut:
1. Tekanan tiup harus diambil minimum 25 kg/m 2, kecuali yang
ditentukan poin 2,3,4 dibawah ini,
2. Tekanan tiup di laut dan ditepi laut sampai sejauh 5 km dari pantai
harus diambil minimum 40 kg/m2, kecuali yang ditentukan dalam
poin 3, dan 4,
3. Untuk daerah-daerah di dekat laut dan daerah-daerah lain tertentu,
dimana terdapat kecepatan angin yang mungkin menghasilkan
tekanan tiup lebih besar dari pada yang ditentukan dalam poin 1 dan
2, tekanan tiup (p) harus dihitung dengan rumus:
p=¿V2/16 (kg/m2)
Dimana V adalah kecepatan angin dalam m/det, yang harus
ditentukan oleh instansi yang berwenang.
4. Pada cerobong, tekanan tiup dalam kg/m2 harus ditentukan dengan
rumus (42,5 + 0,6 h), dimana h adalah tinggi cerobong seluruhnya
dalam meter, diukur dari lapangan yang berbatasan.
5. Apabila dapat dijamin suatu gedung terlindung efektif terhadap angin
dari suatu jurusan tertentu oleh gedung-gedung lain, hutan-hutan
pelindung atau penghalang-penghalang lain, maka tekanan tiup dari
jurusan itu menurut poin 1 s/d 4 dapat dikalikan dengan koefisien
reduksi sebesar 0,5.
d. Beban Gempa (Earthquake Load)
Beban gempa adalah semua beban static ekivalen yang bekerja pada
bangunan atau bagian bangunan yang menirukan pengaruh dari gerakan
tanah akibat gempa itu. Ketika pengaruh gempa pada struktur bangunan
ditentukan berdasarkan suatu analisa dinamik, maka yang diartikan
dengan beban gempa disini adalah gaya-gaya di dalam struktur tersebut
yang terjadi oleh gerakan tanah akibat gempa itu.

13
Setiap struktur bangunan, menurut SNI 03-1726-2002, harus
direncanakan untuk menahan suatu beban geser dasar akibat gempa (V)
dalam arah-arah yang ditentukan oleh rumus:
C . I . Wt
V=
R
Dengan,
C = koefisien gema dasar
I = faktor keutamaan, faktor keutamaan ini dapat dilihat pada Tabel 2.2
R = faktor reduksi gempa, dapat dilihat pada Tabel 2.3
Wt = kombinasi dari beban mati dan beban hidup
Wt = 1,05 (BM + 0,3 BH)

Tabel 2.2 Faktor Keutamaan (I) Untuk berbagai Gedung dan Bangunan
Faktor Keutamaan
Kategori Gedung
I1 I2 I
Gedung umum seperti untuk penghunian, perniagaan 1,0 1,0 1,0
dan perkantoran
Monument dan bangunan monumental 1,0 1,6 1,6
Gedung penting pasca gempa seperti rumah sakit, 1,4 1,0 1,4
instalasi air bersih, pembangkit tenaga listrik, pusat
penyelamatan dalam keadaan darurat, fasilitas radio
dan televisi.
Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya seperti 1,6 1,0 1,6
gas, produk minyak bumi, asam, bahan beracun
Cerobong, tangki diatas menara 1,5 1,0 1,5
Sumber: SNI-1726-2002

14
Tabel 2.3 Faktor daktilitas maksimum, faktor reduksi gempa maksimum, faktor
tahanan lebih struktur dan faktor tahanan lebih total beberapa jenis
sistem dan subsistem struktur gedung.
Sistem dan subsistem struktur Uraian sistem pemikul gempa μm Rm f
gedung
1. Sistem dinding penumpu (sistem 1. Dinding geser beton bertulang 2,7 4,5 2,8
struktur yang tidak mempunyai 2. Dinding penumpu dengan rangka baja 1,8 2,8 2,2
rangka ruang pemikul beban ringan dan bresing tarik
gravitasi secara lengkap. 3. Rangka bresing dimana bresingnya
Dinding penumpu atau sistem memikul beban gravitasi
bresing memikul hampir semua a. Baja 2,8 4,4 2,2
beban gravitasi. Beban lateral b. Beton bertulang (tidak untuk 1,8 2,8 2,2
dipikul dinding geser atau wilayah 5 &6)
rangka bresing)
2. Sistem rangka gedung (sistem 1. Rangka bresing eksentris baja (RBE) 4,3 7,0 2,8
struktur gedung yang pada 2. Dinding geser beton bertulang 3,3 5,5 2,8
dasarnya memiliki rangka ruang 3. Rangka bresing biasa
pemikul beban gravitasi lengkap. a. Baja 3,6 5,6 2,2
Beban lateral dipikul dinding b. Beton bertulang (tidak untuk 3,6 3,6 2,2
geser atau rangka bresing) wilayah 5 & 6)
4. Rangka bresing konsentrik khusus
a. Baja 4,1 6,4 2,2
5. Dinding geser beton 4,0 6,5 2,8
bertulangberangkai daktail
6. Dinding geser beton bertulang 3,6 6,0 2,8
kantilever daktail penuh
7. Dinding geser beton bertulang 3,3 5,5 2,8
kantilever daktai parsial
3. Sistem rangka pemikul momen 1. Rangka pemikul momen khusus
(sistem struktur yang pada (SRMPK)
dasarnya memilikirangka ruang a. Baja 5,2 8,5 2,8
pemikul beban gravitasi lengkap. b. Beton bertulang 5,2 8,5 2,8
Beban lateral dipikul rangka 2. Rangka pemikul momen menengah 3,3 5,5 2,8
pemikul momen terutama beton (SRPMM)
melalui mekanisme lentur) 3. Rangka pemikul momen biasa
(SRPMB)
a. Baja 2,7 4,5 2,8
b. Beton bertulang 2,1 3,5 2,8
4. Rangka batang baja pemikul momen 4,0 6,5 2,8
khusus (SRBPMK)
4. Sistem ganda (terdiri dari: (1) 1. Dinding geser
rangka ruang yang memiliki a. Beton bertulang dengan SRPMK 5,2 8,5 2,8
seluruh beban gravitasi, (2) beton bertulang
pemikul beban lateral berupa b. Beton bertulang dengan SRPMB 2,6 4,2 2,8
dinding geser atau rangka baja
bresing dengan rangka pemikul c. Beton bertulang dengan SRPMM 4,0 6,5 2,8
momen. Rangka pemikul beton bertulang
momen harus direncanakan 2. RBE baja
secara terpisah mampu memikul a. Dengan SRPMK baja 5,2 8,5 2,8
sekurang-kurangnya 25% dari
b. Dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
seluruh beban lateral, (3) kedua
3. Rangka bresing biasa
sistem harus direncanakan untuk
memikul secara bersama-sama a. Dengan SRPMK baja 4,0 6,5 2,8
b. Dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8

15
seluruh beban lateral dengan c. Beton bertulang dengan SRPMK 4,0 6,5 2,8
memperhatikan interaksi/ sistem beton bertulang (tidak untuk
ganda wilayah 5 & 6)
d. Beton bertulang dengan SRPMM 2,6 4,2 2,8
beton bertulang (tidak untuk
wilayah 5 & 6)
4. Rangka bresing konsentrik khusus
a. Baja dengan SRPMK baja 4,6 7,5 2,8
b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
5. Sistem struktur gedung kolom Sistem struktur kolom kantilever 1,4 2,2 2
kantilever: (sistem struktur yang
memanfaatkan kolom kantilever
untuk memikul beban lateral)
6. Sistem interaksi dinding geser Beton bertulang biasa (tidak untuk wilayah 3,4 5,5 2,8
dengan rangka 3,4,5,& 6)
7. Subsistem tunggal (subsistem 1. Rangka terbuka baja 5,2 8,5 2,8
struktur bidang yang membentuk 2. Rangka terbuka beton bertulang 5,2 8,5 2,8
struktur bidang yang membentuk 3. Rangka terbuka beton bertulang 3,3 5,5 2,8
struktur gedung secara dengan balok beton pratekan
keseluruhan) (bergantung pada indeks baja total)
4. Dinding geser beton bertulang 4,0 6,5 2,8
berangkai daktail penuh
5. Dinding geser beton bertulang 3,3 5,5 2,8
kantilever daktai parsial
Sumber: SNI-1726-2002

 Koefisien Gempa Dasar (C)


Telah disajikan pada SNI – 1726 – 2002, bahwa di Indonesia terdapat 6
daerah gempa. Pembagian daerah gempa ini didasarkan pada frekuensi
kejadian dan potensi daya rusak gempa yang terjadi pada daerah tersebut.
Daerah gempa I adalah daerah gempa terkecil sedangkan daerah gempa
VI adalah daerah gempa paling besar. Pembagian daerah gempa tersebut
adalah seperti pada gambar berikut.

16
Gambar 2.10 Pembagian daerah gempa di Indonesia
Sumber: SNI-1726-2002

Selanjutnya tiap-tiap daerah gempa akan mempunyai spektrum respon


sendiri-sendiri, seperti pada Gambar di atas spektrum respon dalam hal
ini adalah plot antara koefisien gempa dasar C lawan periode getar
struktur T. Secara umum dapat dikatakan bahwa koefisien gempa dasar C
utamanya dipengaruhi oleh daerah gempa, periode getar T dan jenis
tanah.
 Periode Getar
Periode getar yang mempunyai respons struktur terhadap getaran gempa
besarnya dipengaruhi oleh masa dan kekakuanstruktur. Struktur yang
kaku akan mempunyai periode getar yang lebih pendek dibandingkan
struktur yang fleksible.
Rumus pendekatan yang digunakan untuk menghitung waktu getar alami
adalah sebagai berikut:
T empiris = 0.085 H ¾ untuk portal baja
T empiris = 0.06 H ¾ untuk portal beton
0.09 H
T empiris = untuk struktur lainnya
√B

17
Dengan,
H = tinggi bangunan
B = panjang bangunan pada arah yang ditinjau
e. Kombinasi Pembebanan
Berdasarkan SNI 2002, struktur baja harus mampu memikul semua
kombinasi pembebanan dibawah ini :
a. 1,4 D
b. 1,2 D + 1,6 L + 0,5 (La atau H)
c. 1,2 D + 1,6 (La atau H) + ( γL L atau 0,8 W)
d. 1,2 D + 1,3 W + γL L + 0,5 (La atau H)
e. 1,2 D ± (1,3 W atau 1,0 E)
D adalah beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen,
termasuk dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap, tangga, dan
peralatan layan tetap.
L adalah beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung,
termasuk kejut.
La adalah beban hidup di atap yang ditimbulkan selama perawatan oleh
pekerja, peralatan, dan material, atau selama penggunaan biasa oleh
orang dan benda bergerak.
H adalah beban hujan, tidak termasuk yang diakibatkan genangan air.
W adalah beban angin.
E adalah beban gempa, yang ditemukan menurut SNI 03 – 1726 – 2002,
atau penggantinya dengan γL = 0,5 bila L < 5 kPa, dan γL = 1 bila L ≥
5 kPa. Faktor beban untuk L harus sama dengan 1,0 untuk garasi parkir,
daerah yang digunakan untuk pertemuan umum dan semua daerah yang
memikul beban hidup lebih besar dari 5 kPa.

2.5 Daya Dukung Tanah


Pada peninjauan beban kerja pada tanah fondasi, maka pada
pembebanan sementara yang ditentukan dalam PPIUG 1983 pasal 1.1 ayat
(2), daya dukung tanah yang diizinkan dapat dinaikkan seperti menurut Tabel
2.4 berikut ini.

18
Tabel 2.4 Daya Dukung Tanah Fondasi
Pembebanan Sementara.
Pembebanan Tetap.
Jenis Tanah Kenaikan Daya Dukung
Daya Dukung yang Diizinkan
Fondasi yang Diizinkan
(kg/cm2)
(%)
Keras ≥5 50
Sedang 2–5 30
Lunak 0,5 – 2 0 – 30
Amat Lunak 0 – 0,5 0
Sumber: PPIUG 1983
Pada peninjauan beban kerja pada fondasi tiang pancang dan tiang
bor, maka pada pembebanan sementaraa yang ditentukan dalam PPIUG 1983
pasal 1.1 ayat (2), selama tegangan yang diizinkan di dalam tiang memenuhi
syarat-syarat yang berlaku untuk bahan tiang yang bersangkutan, daya
dukung tiang yang diizinkan dapat dinaikkan sampai 50%.

2.6 Sambungan Baut


Setiap struktur baja merupakan gabungan dari beberapa komponen
batang yang disatukan dengan alat pengencang. Salah satu alat pengencang di
samping las adalah baut, terutama baut mutu tinggi. Baut mutu tinggi
menggeser penggunaan paku keling sebagai alat pengencang karena beberapa
kelebihan yang dimilikinya dibandingkan dengan paku keling, seperti jumlah
tenaga kerja yang lebih sedikit, kemampuan menerima gaya yang lebih besar,
dan secara keseluruhan dapat menghemat biaya konstruksi. Selain mutu tinggi
ada pula baut mutu normal A307 terbuat dari baja kadar karbon rendah.
Baut mutu normal dipasang kencang tangan. Baut mutu tinggi mula-
mula dipasang kencang tangan, emudian diikuti ½ putaran (turn of the nut
method). Dalam Tabel 2.5 ditampilkan tipe-tipe baut dengan diameter, proof
load dan kuat tarik minimumnya.

19
Tabel 2.5 Tipe-Tipe Baut
Tipe Baut Diameter Proof Stres (MPa) Kuat Tarik Min.
(mm) (MPa)
A307 6.35 – 104 - 60
A325 12.7 – 25.4 585 825
28.6 – 38.1 510 725
A490 12.7 – 38.1 825 1035
Sumber: Agus Setiawan, 2008

Sambungan baut mutu tinggi dapat didesain sebagai sambungan tipe


friksi (jika dikehendaki tak ada slip) atau juga sebagai sambungan tipe tumpu.

 Tahanan Nominal Baut


Suatu baut yang memikul beban terfaktor, Ru sesuai dengan
persyaratan LRFD harus memenuhi:
Ru ≤ ΦRn
Dengan Rn adalah tahanan nominal baut sedangakan Φ adalah faktor
reduksi yang diambil sebesar 0,75. Besarnya Rn berbeda-beda untuk masing-
masing tipe sambungan.
 Tanahan Geser Baut
Tanahan nominal satu buah baut yang memikul gaya geser memenuhi
persamaan:
Rn = m. rl. f bu. Ab
Dengan: rl = 0,50 untuk baut tanpa ulir pada bidang geser
rl = 0,40 untuk baut dengan ulir pada bidang geser
f bu = kuat tarik baut (MPa)
Ab = luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir
m = jumlah bidang geser
 Tahanan Tarik Baut
Tahanan satu buah baut yang memikul gaya tarik tahanan nominalnya
dihitung menurut:
Rn = 0,75. f bu. Ab
Dengan: f bu = kuat tarik baut (MPa)

20
Ab = luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir
 Tahanan Tumpu Baut
Tahanan tumpu nominal tergantung kondisi yang terlemah dari baut atau
komponen pelat yang disambung besarnya ditentukan sebagai berikut:

Rn = 2,4. db. tp. f u .
Dengan : db = diameter baut pada daerah tak berulir
tp = tebal pelat

fu = tarik putus rendah dari baut atau pelat
Tata letak baut diatur dalam SNI pasal 13.4. jarak antar pusat lubang
baut harus diambil tidak kurang dari 3 kali diameter baut, dan jarak antara
baut tepi dengan ujung pelat harus sekurang-kurangnya 1,5 diameter nominal
baut. Dan jarak maksimum antar pusat lubang baut tidak melebihi 15tp (dengan
tp adalah tebal pelat lapis tertitip dalam sambungan) atau 200 mm,sedangkan
jarak tepi maksimum harus tidak melebihi (4tp + 100 mm) atau 200 mm.

Gambar 2.11 Tata Letak Baut


Sumber: Agus Setiawan, Perencanaan Struktur Baja Dengan Metode LRFD

2.7 Konsep Perhitungan LRFD


Secara umum, suatu struktur dikatakan aman apabila memenuhi
persyaratan sebabagi berikut:
∅ R n ≥ ∑ γi . Qi
Bagian kiri dari persamaan diatas merepresentasikan tahanan atau
kekuatan dari sebuah komponen atau sistem struktur. Dan bagian kanan
persamaan menyatakan beban yang harus dipikul struktur tersebut. Jika
tahanan nominal Rn dikalikan suatu faktor reduksi ∅ maka akan diperoleh
tahanan rencana. Namun demikian berbagai macam beban (beban mati, beban

21
hidup, gempa dan lain-lain) pada bagian kanan persamaan diatas dikalikan
suatu faktor beban γi untuk mendapatkan jumlah beban terfaktor ∑ γi .Qi .
Faktor reduksi adalah suatu faktor yang dipakai untuk mengalikan
kuat nominal untuk mendapatkan kuat rencana. Nilai-nilai faktor reduksi
untuk setiap komponen struktur berbeda-beda, berikut ini nilai faktor reduksi
berdasarkan SNI 03-1279-2002 dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Faktor reduksi (∅ ) untuk keadaan kekuatan batas


Faktor Reduksi (
Kuat Rencana Untuk
∅)
Komponen struktur yang memikul lentur:  
• balok 0,9
• balok pelat berdinding penuh 0,9
• pelat badan yang memikul geser 0,9
• pelat badan pada tumpuan 0,9
• pengaku 0,9
Komponen struktur yang memikul gaya tekan aksial:  
• kuat penampang 0,85
• kuat komponen struktur 0,85
Komponen struktur yang memikul gaya tarik aksial:  
• terhadap kuat tarik leleh 0,9
• terhadap kuat tarik fraktur 0,75
Komponen struktur yang memikul aksi-aksi kombinasi:  
• kuat lentur atau geser 0,9
• kuat tarik 0,9
• kuat tekan 0,85
Komponen struktur komposit:  
• kuat tekan 0,85
• kuat tumpu beton 0,6
• kuat lentur dengan distribusi tegangan plastik 0,85
• kuat lentur dengan distribusi tegangan elastik 0,9
Sambungan baut:  
• baut yang memikul geser 0,75
• baut yang memikul tarik 0,75
• baut yang memikul kombinasi geser dan tarik 0,75
• lapis yang memikul tumpu 0,75
Sambungan las:  
• las tumpul penetrasi penuh 0,9
• las sudut dan las tumpul penetrasi sebagian 0,75
• las pengisi 0,75

22
Sumber : SNI 03-1279-2002

2.7.1 Batang Tarik


Batang tarik adalah batang yang mendukung tegangan tarik yang
diakibatkan oleh bekerjanya gaya tarik pada ujung-ujung batang. Batang tarik
banyak digunakan struktur jembatan, rangka atap, tower, ikatan angin dan lain
sebagainya. Batang tarik sangat efektif dalam memikul beban. Beberapa profil
yang sering digunakan sebagai batang tarik sebagai berikut:

Gambar 2.12 Beberapa Penampang Batang Tarik


Sumber : Agus Setiawan, Perencanaan Struktur Baja Dengan Metode LRFD

Dalam menentukan tahanan nominal suatu batang tarik harus


memperhatikan tiga macam kondisi keruntuhan yang menentukan, yaitu:
a. Leleh dari luas penampang kotor di daerah yang jauh dari sambungan,
b. Farktur dari luas penampang efektif pada daerah sambungan,
c. Geser blok pada sambungan.
Menurut SNI 03-1279-2002 pasal 10.1 dinyatakan bahwa semua
komponen struktur yang memikul gaya tarik aksial terfaktor sebesar Nu
harus memenuhi:
Nu ≥ ∅ Nn
Dengan Nn adalah kuat tarik rencana yang besarnya diambil sebagai nilai
terendah di antara dua perhitungan menggunakan harga-harga ∅ dan Nn di
bawah ini:

23
a. Leleh dari luas penampang kotor di daerah yang jauh dari sambungan
Bila kondisi leleh yang menentukan, maka tahanan nominal Nn dari
batang tarik menggunakan persamaan:
Nn = Ag x fy
∅ = 0,9
Dimana Ag : luas penampang kotor (mm2)
fy : Kuat leleh material (MPa)
b. Farktur dari luas penampang efektif pada daerah sambungan
Bila kondisi fraktur pada sambungan yang menentukan nilai tahanan
nominal Nn dari batang tarik menggunakan persamaan:
Nn = Ae x fu
∅ = 0,75
Dimana Ae : luas penampang efektif (mm2)
fu : tegangan tarik putus material (MPa)
Untuk mencari luas penampang efektif dari suatu penampang
menggunakan persamaan:
Ae = An x U
Dengan An : Luas tampang netto (mm2)
U : nilai faktor
c. Geser blok (Block Shear)
Keruntuhan geser blok merupakan penjumlahan tarik leleh (atau tarik
fraktur) pada suatu irisan dengan geser fraktur (atau geser leleh)
padairisan lainnya yang saling tegak lurus. Dan tahanan nominal tarik
dalam keruntuhan geser blok mempunyai persamaan:
1. Geser leleh – Tarik fraktur ( fu x An ≥ 0,6 x fu x Anv )
Nn = 0,6 x fy x Agv + fu x Ant
2. Geser farktur – Tarik leleh ( fu x An ¿ 0,6 x fu x Agt)
Nn = 0,6 x fu x Anv + fy x Agt
Dengan:
Agv : Luas kotor akibat geser

24
Agt : Luas kotor akibat tarik
Anv : Luas netto akibat geser
Ant : Luas netto akibat tarik
fu : Kuat tarik
fy : Kuat tarik

3. Nilai kelangsingan batang tarik


Untuk mengurangi masalah yang terkait dengan lendutan besar dan
vibrasi, maka komponen struktur tditentukan dengan persamaan serik
harus memenuhi syarat kekakuan. Syarat ini berdasarkan pada rasio
kelangsingan λ=L/r . Dengan λ adalah angka kelangsingan yang
dibatasi λ ≤ 240, untuk komponen utama dan λ ≤ 300 untuk komponen
sekunder.
Dengan
L adalah panjang komponen struktur (batang tarik)
r adalah jari-jari girasi penampang yang mempunyai persamaan
r =√ I / A

2.7.2 Batang Tekan


Batang tekan adalah elemen struktur yang mendukung gaya tekan
aksial. Batang tekan banyak dijumpai pada struktur bangunan seperti
gedung, tower, dan menara. Pada struktur gedung, batang tekan sering
dijumpai sebagai kolom, sedangkan pada struktur rangka batang (jembatan
atau kuda-kuda) dapat berupa batang tepi, batang diagonal, batang vertikal,
dan batang- batang pengekang (bracing).
Berdasarkan kelangsingannya, batang tekan atau kolom dapat
digolongkan dalam tiga jenis, yaitu kolom langsing (slender column), kolom
sedang (medium column), dan kolom gemuk/pendek (stoky column).
Berbeda dengan batang tarik, kestabilan batang tekan kurang baik dan perlu
diperhitungkan dalam perencanaan. Batang akan mengalami kegagalan
akibat tekuk (buckling). Batang gemuk akan mengalami kegagalan akibat
tekuk dengan tegangan normal cukup besar, sedang tegangan lenturnya

25
masih kecil. Hal yang sebaliknya akan terjadi pada batang langsing. Tampak
di sini bahwa kuat tekan kolom dipengaruhi oleh kelangsingan. Semakin
langsing suatu kolom, kuat tekannya semakin kecil.

a. Bentuk Penampang Tekan


Batang tekan dapat dirancang dengan profil tunggal maupun profil
tersusun. Jika beban yang didukung relatif kecil dan kapasitas profil
tunggal yang tersedia memenuhi, umumnya dipilih profil tunggal. Namun
apabila beban yang didukung relatif besar, sedang kapasitas profil tunggal
yang tersedia tidak memenuhi, dapat digunakan profil tersusun.
b. Perencanaan Akibat Gaya Tekan
Suatu komponen struktur yang mengalami gaya tekan konsentris
akibat beban terfaktor Nu , harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Nu ≤ ∅ x Nn
Keterangan:
∅ adalah faktor reduksi kekuatan
Nn adalah kuat tekan nominal komponen struktur
2. Perbandingan Kelangsingan.
 Kelangsingan elemen penampang (lihat Tabel 7.5-1) < λr
Lk
 Kelangsingan komponen struktur tekan, λ = ≤200
r
3. Komponen struktur tekan yang elemen penampangnya mempunyai
perbandingan lebar terhadap tebal lebih besar daripada nilai λr yang
ditentukan dalam Tabel 2.4 harus direncanakan dengan analisis rasional
yang dapat diterima.
Dengan :
λ adalah angka kelangsingan struktur tekan
k adalah faktor panjang tekuk sesuai dengan gambar 2.5
L adalah panjang komponen struktur (batang tarik)
r adalah jari-jari girasi penampang yang mempunyai persamaan
r =√ I / A

26
Gambar 2.13 Nilai k (faktor panjang tekuk)
Sumber : SNI 03-1729-2002
c. Daya Dukung Nominal komponen struktur tekan
Untuk penampang yang mempunyai perbandingan lebar terhadap
tebalnya lebih kecil daripada nilai λ r pada tabel 2.3, daya dukung nominal
komponen struktur tekan dihitung sebagai berikut:
fy
Nn = Ag x fcr = Ag x
ω
fy
fcr =
ω
untuk λ c ≤ 0,25 maka ω=1
1,43
untuk 0,25<¿ λ c ¿ 1,2 maka ω=
1,6−0,67 λc
untuk λ c ≥ 1,2 maka ω=1,25 x λ c2

untuk λ c ¿
I Lk
x
π iy
x
E√
fy

Ag adalah luas penampang bruto, mm2


fcr adalah tegangan kritis penampang, MPa

27
fy adalah tegangan leleh material, MPa
I adalah momen inersia penampang, cm4
L adalah panjang elemen tekan, m
k adalah faktor perletakan elemen
iy adalah jari-jari girasi penampang, cm

Untuk penampang yang mempunyai perbandingan lebar terhadap


tebalnya lebih besar daripada nilai λ r pada Tabel 2.7, analisis kekuatan dan
kekakuannya dilakukan secara tersendiri dengan mengacu pad ametode-
metode analisis yang rasional.

Tabel 2.7 Perbandingan maksimum lebar terhadap tebal untuk elemen tertekan

Perbandingan maksimum lebar


Perbandingan
terhadap tebal
Jenis Elemen
lebar terhadap
λp (kompak) λr ( tak kompak)
tebal (λ)
Pelat sayap balok-I dan kanal b/t 170 / √ f y (c) 370 / √ fy−fr (e)
dalam lentur
Pelat sayap balok-I hibrida 420
(e)
atau balok tersusun yang di b/t 170 / √ f yf √(fyf −fr)/ke
las dalam lentur (f)
Pelat sayap dari komponen-
komponen struktur tersusun b/t - 290 / √ fy /ke (f)
dalam tekan
Sayap bebas dari profil siku
kembar yang menyatu pada
sayap lainnya, pelat sayap
dari komponen struktur kanal
b/t - 250 / √ fy
dalam aksial tekan, profil siku
dan plat yang menyatu
dengan balok atau komponen
struktur tekan
Sayap dari profil siku tunggal
pada penyokong, sayap dari
profil siku ganda dengan pelat
kopel pada penyokong, b/t - 200 / √ fy
elemen yang tidak diperkaku,
yaitu, yang ditumpu pada
salah satu sisinya
Pelat badan dari profil T d/t - 335 / √ fy
Pelat sayap dari penampang b/t 500 / √ fy 625 / √ fy

28
persegi panjang dan
bujursangkar berongga
dengan ketebalan seragam
yang dibebani lentur atau
tekan pelat penutup dari pelat
sayap dan pelat diafragma
yang terletak di antara baut-
baut atau las
Bagian lebar yang tak
terkekang dari pelat penutup b/t - 830 / √ fy
berlubang [b]
Bagian-bagian pelat badan h/tw 1.680 / √ fy 2.550 / √ fy
dalam tekan akibat lentur [a]
Untuk
Nu / ø Ny ≤ 0,125
1.680 0,74 Nu
[ 1-
√ fy ∅ Ny
(g)
] 2.550
Bagian-bagian pelat badan
[ 1-
dalam kombinasi tekan dan h/tw Untuk √ fy
lentur 0,74 Nu
Nu / ø Ny ¿ 0,125 ]
500 ∅ Ny
[ 2,33-
√ fy
0,74 Nu 665
]≥
∅ Ny √ fy
Elemen-elemen lainnya yang
diperkaku dalam tekan murni b/t 665
-
yaitu dikekang sepanjang h/tw √ fy
kedua sisinya
Penampang bulat berongga (d)
D/t - 22.000 / fy
Pada tekan aksial
14.800 / fy 62.000 / fy
Pada lentur
(e) fr = tegangan tekan residual pada
[a] Untuk balok hibrida, gunakan tegangan pelat sayap
leleh pelat sayap fyf sebagai ganti fy. = 70 MPa untuk penampang dirol
= 150 MPa untuk penampang dilas
4
[b] Ambil luas neto plat pada lubang terbesar. (f) ke = tapi, 0,35 ≤ ke ≤ 0,763
√ h/tw
[c] Dianggap kapasitas rotasi inelastis sebesar 3
Untuk struktur-struktur pada zona gempa tinggi
diperlukan kapasitas rotasi yang lebih besar. (g) fy adalah tegangan leleh minimum
[d] Untuk perencanaan plastis gunakan
9.000/fy.
Sumber : SNI 03-1279-2002

29
30

Anda mungkin juga menyukai