Anda di halaman 1dari 30

Pengaruh Self Congruity pada Shopping Well-Being dimoderasi oleh

Experiental Value

(Studi pada Konsumen Transmart)

SKRIPSI

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

Oleh :

Kania Kartika

1504918

DEPARTEMEN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................5
C. Tujuan Penelitian............................................................................................................5
D. Manfaat Penelitian..........................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................7
KAJIAN PUSTAKA..................................................................................................................7
A. Self Congruity................................................................................................................7
B. Shopping Well-Being......................................................................................................9
D. Kerangka Pemikiran......................................................................................................11
E. Asumsi Penelitian..........................................................................................................12
F. Hipotesis........................................................................................................................12
BAB III.....................................................................................................................................13
METODE PENELITIAN.........................................................................................................13
A. Desain Penelitian...........................................................................................................13
B. Populasi dan Sampel.....................................................................................................13
C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional...............................................................14
1. Variabel Penelitian.......................................................................................................14
2. Definisi Operasional.....................................................................................................14
D. Instrumen Penelitian......................................................................................................14
1. Self Congruity...............................................................................................................14
2. Shopping Well-Being....................................................................................................18
3. Experiental Value.........................................................................................................19
E. Teknik Pengumpulan Data............................................................................................19
F. Prosedur Penelitian........................................................................................................19
1. Tahap Persiapan...........................................................................................................19
2. Tahap Pelaksanaan.......................................................................................................20
3. Tahap Pengolahan Data................................................................................................20
4. Tahap Pembahasan Data..............................................................................................20
5. Tahap Akhir..................................................................................................................20

i
G. Analisis Data.................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................21

ii
i
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persaingan bisnis di Indonesia berkembang cukup pesat setiap tahunnya,
berbagai jenis bisnis mulai bermunculan di berbagai wilayah Indonesia, salah satu
bisnis yang berkembang pesat adalah bisnis ritel, banyak gerai-gerai ritel baru
bermunculan di berbagai daerah baik di kota besar maupun di daerah-daerah
pinggiran kota. Munculnya berbagai gerai ritel baru di berbagai wilayah ini tak lepas
dari tingginya minat belanja masyarakat di sekitar wilayah tersebut. Masyarakat
menginginkan proses pembelian barang yang mudah, harga yang terjangkau, fasilitas,
dan pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal berbelanja, banyak ritel
bersaing dan mulai membuka gerai-gerai ritel di berbagai wilayah untuk menjangkau
dan memperluas pemasaran mereka. Salah satu ritel modern yang berkembang pesat
saat ini adalah hypermarket seperti Transmart, Giant, Hypermart, Lottemart, Hero,
dan lain sebagainya. Berbagai ritel tersebut bersaing untuk membuat tempat belanja
yang lengkap, murah dan juga nyaman untuk dikunjungi oleh konsumen, hal ini dapat
dilihat dari perbedaan penawaran dan fasilitas yang dimiliki tiap ritel meski produk
yang dijual hampir sama. Sehingga hal ini akan membuat daya tarik bagi konsumen
itu sendiri, konsumen sudah tidak lagi mencar produk berdasarkan fisiknya saja
namun mempertimbangkan hal lain seperti aspek pekayanan sejak tahap pembelian
hingga pasca pembelian.
Perusahaan ritel mengalami persaingan dalam meningkatkan fasilitas
perbelanjaan agar konsumen merasa puas berbelanja di ritel tersebut, salah satu ritel
yang mengembangkan fasilitasnya secara pesat adalah Transmart. Transmart
merupakan bagian PT Trans Retail Indonesia yang berhasil di akuisisi dari perusahaan
asal Prancis. Transmart memiliki pelayanan yang cukup lengkap sebagai pusat
perbelanjaan, karena termasuk hypermart maka Transmart memiliki barang yang
lengkap mulai dari makanan hingga ke hiburan, fasilitas hiburan inilah yang menjadi
daya tarik bagi konsumen, Transmart memiliki fasilitas hiburan seperti arena
permainan anak, roalller coster, bahkan baru-baru ini Transmart menggaet bioskop
asal korea yaitu CGV, sehingga konsumen dapat berbelanja sambil rekreasi di
Transmart.

1
2

Atas penjualan yang diraih oleh Transmart ini menjadikan Transmart masuk
ke dalam Top Brand nomor 1 pada tahun 2012-2017.

Survey Top Brand Index


Kategori Toko Ritel 2012-2017
Merek 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Transmart 53,8
47.3% 53,1% 44.7% 38.8% 42.4%
Carrefour %
18,3
Giant 22,7% 20,7% 23.2% 22.5% 19.1%
%
14,2
Hipermart 14,9% 15,2% 16.1% 19.5% 19.0%
%
Lottemart 3,6% 4,6% 5,4% 7.2% 6.2% 7.7%

Sumber:www.top-brandaward.com, (diakses 26 Maret 2019)


Selama 6 tahun Transmart menjadi Top Brand no 1 toko ritel di Indonesia,
meski dengan presentase yang menurun. Namun dari hal tersebut dapat dilihat bahwa
banyak konsumen yang memilih Transmart sebagai toko ritel yang mereka kunjungi. .
Menurut Kotler & Armstrong (2011), perilaku membeli konsumen dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu kebudayaan, sosial, personal, dan karakteristik psikologis.
Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi niat membeli konsumen. Salah satunya
adalah faktor personal, khususnya mengenai kepribadian dan konsep diri. Menurut
Schiffman, dkk (2010) kepribadian dapat mencerminkan perbedaan setiap individu,
kepribadian bersifat tetap dan abadi, dan kepribadian dapat berubah. Menurut Lee
(2009) kepribadian dapat berfungsi sebagai analisis respon konsumen terhadap
produk atau merek tertentu. Beberapa penelitian menyatakan bahwa kepribadian
konsumen memiliki hubungan terhadap keputusan pembelian (Shank, dkk 1994)
Kepribadian sering dikaitkan dengan konsep diri yang dimiliki oleh
konsumen. Pemilihan konsumen terhadap keputusan membelinya dapat dipengaruhi
juga oleh konsep diri yang dimiliki konsumen . Perilaku konsumen ditentukan oleh
kesesuaian dari hasil perbandingan psikologis yang melibatkan citra produk dan
konsep diri konsumen seperti citra diri aktual, citra diri ideal, dan citra diri sosial
(Sirgy, dkk 1997).
Menurut Schiffman & Kanuk (2010) citra diri individu itu unik karena
berkembang dari latar belakang dan pengalaman yang dimiliki individu. Sehingga
setiap konsumen memiliki gambaran terhadap diri yang berbeda-beda. Pandangan
tersebut akan berpengaruh pada niat beli individu. Terdapat penelitian mengenai
3

perilaku konsumen yang menunjukkan bahwa konsumen menggunakan suatu produk


untuk nilai fungsional dan simbolis (Sirgy, 1997). Menurut Kressman, dkk. (2006)
kesesuaian fungsional merupakan kecocokan antara harapan ideal konsumen dengan
persepsi konsumen mengenai fitur-fitur yang sesuai dengan penilaian konsumen
terhadap suatu merek dan produk. Ketika konsumen ingin memilih tokoo ritel untuk
berbelanja, konsumen melakukan kesesuaian pada apa yang diharapkan konsumen
dengan persepsi yang dimiliki konsumen mengenai toko ritel yang ia kunjungi
tersebut.
Saat konsumen berniat berbelanja di toko ritel, konsumen cenderung akan
melakukan kesesuaian antara toko ritel yang akan dikunjungi dengan citra dirinya.
Ketika konsumen memiliki perasaan cocok dengan salah satu toko ritel tersebut,
secara langsung konsumen akan melakukan evaluasi positif terkait fungsi dari toko
ritel tersebut. Konsumen cenderung akan membeli produk atas dasar kesesuaian suatu
produk dengan konsep diri yang dimiliki, hal ini disebut dengan self congruity (Sirgy,
dkk. 1991). Self congruity merupakan salah satu pendekatan umum yang bisa
digunakan dalam memprediksi brand attitude dalam segi ilmu konsumen, selain itu
self congruity bisa digunakan untuk memprediksi variabel konsumen seperti sikap
terhadap produk, niat membeli produk dan kesetiaan pada produk (Sirgy, dkk 1991).
Self congruity akan memengaruhi motivasi konsumen dalam membeli suatu produk,
bagaimana konsumen tersebut secara konsisten membeli produk yang sesuai dengan
self image nya (Ibrahim & Najjar, 2008). Selain itu, self congruity dapat memprediksi
produk seperti apa yang akan di konsumsi oleh konsumen, konsumen akan cenderung
memilih produk yang dirasa memiliki kesamaan dengan konsep dirinya (Baron, dkk.
1999).
Kotler dan Keller (2009) menyebutkan bahwa merek mempunyai fungsi
kepribadian, konsumen akan mendefinisikan kepribadian merek sebagai gabungan
dari ciri-ciri bawaan manusia yang bisa dikatakan dimiliki oleh merek tertentu.
Konsumen cenderung mengevaluasi suatu merek dengan atribut simbolis terlebih
dahulu, lalu evaluasi atribut fungsional pada merek (Kressman, Sirgy, Hermann,
Huber, & Lee, 2006). Setelah merek diterima berdasarkan atribut simbolis, konsumen
akan menjadi terikat dengan suatu produk (Cass, 2000). Konsumen membeli produk
dan merek yang mereka percaya untuk memproses gambaran simbolis yang mirip
atau melengkapi citra diri mereka, yang nantinya akan mencapai kesesuaian diri.
(Fathollah, Aghdaie, & Khatami, 2014). Kesesuaian diri ini juga berpengaruh pada
4

shopping well-being yang berhubungan juga dengan nilai-nilai belanja yang dialami
konsumen (Hedli,dkk. 2013). Hedli, dkk. (2013) menyebutkan konsep dasar dari
shopping well-being mengacu pada kepuasan konsumen dengan beragamnya domain
dan subdomain kehidupan konsumen, selain itu berbelanja di mal dapat berkontribusi
pada kepuasan berbagai kebutuhan perkembangan manusia seperti aspek ekonomi,
sosial, harga diri, kebutuhan estetika, dan lain sebagainya. Shopping well-being
merupakan hal yang diterima konsumen ketika berbelanja yang menimbulkan dampak
kepuasan pada aspek penting konsumen seperti kehidupan konsumen, kehidupan
sosial, kehidupan rekreasi, dan kehidupan masyarakat. Hal ini juga dipengaruhi oleh
pengalaman konsumen ketika berbelanja pada suatu toko atau mal.
Pengalaman pembelian dari konsumen juga menjadi hal penting dalam
memprediksi konsumen. Menurut Stywan dan Astuti (2014) experiental value dalam
bidang pemasaran dapat menjadi cara untuk promosi produk juga untuk bersaing
dengan pesaingnya. Experiental Value merupakan sesuatu yang dirasakan individu
dari hasil pelayanan atau produk (Malhotra, 2004)
Untuk memberikan experiental value kepada konsumen, pemasar diharapkan
dapat membuat suasana yang menyenangkan, adanya promosi dan memberikan
partisipasi konsumen agar konsumen memiliki pengalaman yang lebih dalam
membeli suatu produk atau jasa (Baron, dkk, 2000; Malhotra, 2001). Experiental
value yang didapat oleh konsumen akan memengaruhi keputusan membeli pada suatu
produk (Fiore, Jin, dan Lee, 2005). Hal ini berdasarkan pengalaman yang di dapat
oleh konsumen apakah pengalaman tersebut positif atau negatif sehingga berujung
pada keputusan pembelian suatu produk. Menurut Magfira dan Farid (2000)
konsumen yang memiliki pengalaman positif cenderung akan melakukan pembelian
ulang pada suatu produk.
Konsumen memiliki harapan yang besar ketika berbelanja sehingga penting
bagi pemasar atau produsen untuk memfasilitasi harapan konsumen tersebut agar
konsumen memiliki pengalaman belanja yang positif (Postrel, 2003). Sehingga
dengan adanya self congruity dan experiental value yang dirasakan konsumen dapat
memprediksi perilaku konsumen dalam memutuskan pembelian. Maka dari itu
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari self congruity terhadap
keputusan pembelian konsumen sepeda motor yang dimoderasi oleh experiental
value.
5

B. Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat pengaruh self congruity terhadap shopping well-being pada
konsumen Transmart?
2. Apakah experiental value memengaruhi self congruity terhadap shopping well-
being pada konsumen Transmart?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dilaksanakannya penelitian
ini adalah untuk mengetahui pengaruh self congruity terhadap shopping well-being
konsumen Transmart yang dimoderasi oleh experiental value.

D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini dapat digunakan untuk menambah wawasan
mengenai hubungan self congruity pada shopping well-being konsumen Transmart
yang di moderasi oleh experiental value, serta memberikan sumbangan bagi ilmu
pengetahuan psikologi, khususnya pada cabang ilmu psikologi industri dan organisasi.
Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi
untuk penelitian selanjutnya mengenai self congruity pada shopping well-being
konsumen Transmart yang di moderasi oleh experiental value
E. Sistematika Penulisan Proposal Penelitian

BAB I PENDAHULUAN

BAB I akan membahas pendahuluan yang berisi beberapa hal


terkait penelitian, diantaranya latar belakang sebagai dasar
pemikiran dari penelitian yang akan dilakukan, pertanyaan
penelitian, tujuan penelitian dan manfaat penelitian.
BAB II KAJIAN TEORI

BAB II akan membahas kajian teori yang berisi teori-teori


relevan dan terkait dengan tujuan serta pertanyaan penelitian,
yang terdiri dari penjelasan tentang Self Congruity, Kepuasan
Pelanggan, dan Brand Loyalty.
6

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III akan membahas metode penelitian yang berisi desain


penelitian, populasi dan sampel, variabel penelitian, instrumen
penlitian dan analisis data terkait penelitian yang dilakukan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Self Congruity
1. Pengertian Self Congruity
Self congruity merupakan kesesuaian antara self image individu dengan suatu
brand image suatu objek tertentu (Sirgy, 1982). Sejalan dengan Sirgy, Magin, dkk
(2003) menyebutkan bahwa self congruity merupakan kesesuaian citra diri dengan
suatu produk yang digunakan. Kesesuaian tersebut dipengaruhi atas adanya
kesamaan antara nilai produk-atribut ekspresif (product’s value-expressive
attributes) dengan citra diri konsumen dan konsep diri konsumen (Sirgy, 2000).
Citra diri adalah bagaimana seseorang mempersepsikan dirinya, seseorang
cenderung ingin memiliki citra diri yang sesuai dengan citra yang ideal menurutnya
(Rogers, 1959). Seseorang cenderung akan membeli produk yang dapat
menggambarkan citra diri mereka yang sebenarnya atau citra ideal dirinya (Sirgy,
1985). Menurut teori citra diri, orang cenderung untuk mempertahankan dan
meningkatkan citra diri mereka melalui produk yang mereka beli dan gunakan
(Graeff, 1996).
Citra diri merupakan suatu nilai bagi suatu individu, sehingga perilaku konsumsi
individu akan mengarah pada perlindungan dan peningkatan konsep diri melalui
pembelian, memperlihatkan, dan penggunaan barang sebagai simbol yang akan
mengkomunikasikan makna simbolis pada dirinya dan orang lain (Sirgy, 1982). Hal
ini akan menyebabkan konsumen lebih suka memilih merek yang memiliki citra
yang sesuai dengan citra diri mereka (Kotler dan Keller, 2011).
Kesesuaian antara citra diri dan citra merek disebut self congruity, hal ini
berpengaruh pada perilaku konsumen, dimana konsep diri konsumen menjadi faktor
penentu kesesuaian dan motif untuk membeli (Sirgy, 1991). Sirgy (1985)
menjelaskan bahwa self congruity melibatkan penilaian kognitif dan afektif pada
suatu produk. Self congruity bisa diaplikaskan sebagai prediktor dan perancangan
berbagai jenis strategi marketing, iklan, dan retail (Barone, 1999). Menurut Sirgy
(1997) teori self congruity mengusulkan bahwa perilaku konsumen ditentukan oleh
kesesuaian dari hasil perbandingan psikologis yang melibatkan citra produk dan
konsep diri konsumen seperti citra diri aktual, citra diri ideal, citra diri sosial.

7
8

Perbandingan psikologis ini dapat dikategorikan sebagai kesesuaian diri tinggi


atau rendah. Kesesuaian diri yang tinggi dialami ketika konsumen merasakan citra
produk sesuai dengan citra dirinya, dan begitu sebaliknya. Kesesuaian konsep diri
dan citra suatu produk memengaruhi pengambilan keputusan konsumen. Konsep
diri, self congruity dapat memengaruhi perilaku konsumen dengan cara yang
menghasilkan pembelian suatu produk (Johar & Sirgy, 1989). Konsumen dapat
memutuskan untuk tidak membeli produk atau tidak berbelanja di toko tertentu jika
mereka merasa bahwa tindakan ini tidak konsisten dengan persepsi mereka sendiri
(Britt, 1960). Mereka akan membutuhkan simbol untuk membantu mereka memilih
kompleksitas kehidupan sehari-hari karena mereka menggunakan produk untuk
mengekspresikan identitas sosial mereka (Ericksen, 1996)
Kesesuaian diri ini dapat mempengaruhi perilaku konsumen yaitu sikap
konsumen dan niat beli melalui motif konsep diri seperti kebutuhan untuk
konsistensi diri dan harga diri (Sirgy, 1997). Inti dari self congruity adalah
konsumen akan cenderung memilih merek yang berasosiasi dengan ciri-ciri
kepribadian (personality traits) tertentu yang sesuai dengan ciri-ciri kepribadian
yang konsumen tersebut miliki miliki (Aaker, 1997).
2. Dimensi Self Congruity
Menurut Sirgy (1982) terdapat beberapa dimensi kesesuaian antara citra diri
dengan citra produk atau disebut juga self congruity. Dimensi-dimensi tersebut
adalah:
1. Actual Self Congruity
Kesesuaian antara suatu brand image suatu produk terhadap actual self image
konsumen.
2. Ideal Self Congruity
Kesesuaian brand image suatu produk terhadap ideal self image atau citra diri
yang diharapkan.setiap individu tentunya memiliki ideal self (Sirgy, dkk.
2000). Ideal self image ini dapat mendorong individu untuk melakukan
tindakan yang dapat memenuhi kebutuhan self esteem mereka (Saleski,dkk.
2014)
3. Social Actual Self Congruity
Kesesuaian antara brand image suatu produk terhadap self image social. Self
image social adalah persepsi individu terhadap bagaimana orang lain menilai
9

dirinya (Sirgy, 1982). Self image social ini akan mendorong individu untuk
menjaga citra dirinya di lingkungan sosial (Sirgy, 2000).
4. Social Ideal Self Congruity
Kesesuaian antara brand image suatu produk terhadap social ideal self image.
Social ideal self image adalah citra diri yang diharapkan individu yang
ditampilkan di lingkungan sosialnya (Sirgy, 1982). Hal ini dapat mendorong
individu untuk bertindak dan berperilaku untuk mendapat penerimaan diri di
lingkungan sosialnya (Johar & Sirgy, 1991).

B. Shopping Well-Being
1. Pengertian Shopping Well-being
Shopping well-being adalah dampak yang dirarasakan konsumen dari
kegiatan berbelanja di suatu tempat yang menimbulkan kepuasan bagi kehidupan
konsumen tersebut (Hedli,dkk. 2013). Menurut Ekici, dkk. (2017) shopping well-
being merupakan persepsi bahwa berbelanja memiliki kontribusi pada kualitas
keseluruhan hidup diri sendiri dan keluarga. Konsep shopping well-being berasal
pada konsep literatur macromarketing, yaitu konsep consumer well-being (CWB).
Shopping well-being ini didasarkan pada empat model teoritis yang berbeda, yaitu
(1) "the shopping satisfaction model” (Meadow, 1983). (2) " the
consumer/product life cycle model" (Lee dkk., 2002) , (3) " the need satisfaction
model” (Sirgy dkk, 2006), dan (4) "model spillover bottom-up" (Diener, 1984;
Sirgy, 2002).
Berbelanja di suatu pusat perbelanjaan dapat memberikan kepuasa bagi
kehidupan pribadi konsumen, kehidupan sosial, kehidupan rekreasi, dan
kehidupan komunitas. Selain itu, shopping well-being ini dapat memengaruhi
afeksi, serta sikap loyal konsumen dan perilaku word-of-mouth secara positif
(Hedli, dkk. 2013).
Kepuasan yang dirasakan konsumen ketika mengalami shopping well-being
bukanlah kepuasan mengenai produk, pelayanan dan pengalaman belanjanya
melainkan sejauh mana tempat berbelanja tersebut menciptakan kualitas hidup
seseorang (Heidi, dkk. 2013). Berbelanja berkontribusi pada kesejahteraan
individu dengan menciptakan kenikmatan hedonis dan kepuasan kebutuhan
ekspresif diri. Karena berbelanja behubungan dengan nilai hedonis (Arnold and
10

Reynolds 2012), kegembiraan (Oliver dkk. 1997; Wakefield &Baker 1998) dan
kenikmatan (Beatty & Ferrell 1998).
Menurut Sirgy,dkk. (2016) kegiatan pasar seperti berbelanja dapat
membantu individu untuk mengekspresikan diri mereka. Sehingga belanja tidak
hanya menyenangkan secara hedonis tetapi juga ekspresif dalam hal individu
mengekspresikan identitas pribadinya sendiri melalui berbelanja. Hal ini dapat
berfungsi untuk mengaktualisasikan potensi individu dalam memenuhi harapan
peran seperti menjadi ibu, ayah yang baik, istri atau suami, dan lain sebagainya.
Konsep shopping well-being berasal dari studi keseimbangan kualitas
kehidupan, yaitu konsep kesejahteraan konsumen (Heidhli, dkk. 2016)..
Kesejahteraan konsumen mengacu pada kepuasan konsumen dengan berbagai
domain dan subdomain kehidupan konsumen (Sirgy dan Lee, 2006). Hedhli, dkk.
(2013) berpendapat bahwa berbelanja pusat perbelanjaan dapat berkontribusi
pada kepuasan berbagai kebutuhan perkembangan manusia seperti ekonomi,
sosial, harga diri, kebutuhan estetika, dan lain sebagainya. Selain itu Heldi
menyebutkan kepuasan konsumen dengan pengalaman belanjanya di suatu tempat
dapat diartikan dalam kesejahteraan atau kepuasan hidup.
2. Dampak berbelanja di pusat perbelanjaan
Menurut (Hedhli,dkk. 2016) Berbelanja dapat berdampak bagi empat domain
utama kehidupan yaitu kehidupan konsumen, kehidupan sosial, kehidupan
rekreasi, dan kehidupan komunitas.
2.1 Kehidupan Konsumen
Pusat perbelanjaan dapat berkontribusi dalam kehidupan kosnsumen dengan
cara menyediakan barang dan jasa yang sangat dibutuhkan oleh kosnumen
tersebut.
2.2 Kehidupan Sosial
Pusat perbelanjaan berkontribusi dalam kehidupan sosial dengan cara
menyediakan tempat bagi konsumn untuk bertemu dengan orang-orang dan
teman-teman, untuk berinteraksi dan bersosialisasi.
2.3 Kehidupan Rekreasi
Pusat perbelanjaan berkontribusi dalam kehidupan rekreasi konsumen dengan
cara menyediakan tempat hiburan bagi para konsumen.
2.4 Kehidupan Komunitas
11

Pusat perbelanjaan berkontribusi dalam kehidupan komunitas dengan cara


menyediakan tempat pertemuan bagi warga masyarakat untuk berkumpul,
bersosialisasi, dan mengalami rasa kebersamaan
C. Experiental Value
1. Pengertian Experiental Value
Nilai merupakan hal subjektif yang terbentuk dari pertukaran pengalaman
dalam proses transaksi persepsi individu (Lee dan Overby, 2004). Prahalad dan
Ramaswamy (2004) menyatakan bahwa penciptaan nilai yang diterapkan pada
perusahaan dapat menjadi sumber nilai yang unik bagi perusahaan tersebut.
Chang dan Chen (2008) menunjukkan bahwa pengalaman merupakan variabel
penting dalam memahami perilaku konsumen dan memprediksi bahwa konsumen
dapat membelikan pembelian ulang suatu produk
Penelitian Gentile dkk. (2007) menunjukkan bahwa pengalaman yang di
dapat pelanggan dapat memainkan peran yang mendasar yang kemudian
mempengaruhi keputusan pembelian. Experiential value dapat diciptakan melalui
pengalaman konsumsi individu. Persepsi individu mengenai experiential value
berdasar pada interaksi dari penggunaan langsung atau bagaimana apresiasi
terhadap produk dan jasa yang digunakan oleh konsumen (Maholtra dkk., 2001;
Datta & Vasantha, 2013).
Experiental value adalah sesuatu yang dirasakan, relativistik, preferensi
untuk produk atau jasa yang timbul dari interaksi yang mempengaruhi konsumsi
yang memfasilitasi atau cara pencapaian tujuan pelanggan (Mathwick,dkk.
2001). Hoffman & Novak (1996) menyatakan bahwa experiental value efektif
untuk mendapat stimulasi sosial yang dapat meningkatkan pengalaman belanja
konsumen. Persaingan perusahaan untuk berinovasi agar terus dapat bertahan
memaksa untuk menerapkan strategi dalam menanamkan experiental value yang
positif pada konsumen (Gowinda dan Suprapti, 2014). Agar pemasar dapat
memberikan experiental value kepada konsumen, pemasar dapat menciptakan
lingkungan ritel yang menekankan suasana menyenangkan, kegembiraan,
promosi, serta mendorong partisipasi pelanggan yang lebih besar dalam
pengalaman belanja ritel (Baron, dkk, 2000;. Mathwick, Malhotra, & Ridgedon,
2001)
2. Dimensi Experiental Value
12

Menurut Mathwick, dkk. (2001) terdapat 4 dimensi experiental value,


yaitu laba atas investasi, keunggulan layanan, kesenangan, dan daya tarik estetika.
2.1 Laba atas Investasi
Berupa investasi aktif dalam sumber daya keuangan, temporal, perilaku dan
psikologis yang berpotensi menghasilkan keuntungan.
2.2 Keunggulan Layanan
Merupakan respon reaktif ketika konsumen mengkonsumsi suatu produk atau
jasa dengan pelayanan yang baik sehingga dapat membuat konsumen merasa
senang, konsumen merasa dihargai sebagaimana mereka mengaktualisasi diri
mereka.
2.3 Daya Tarik Estetika
Hal ini berupa daya tarik visual yang menimbulkan respon kesenangan
langsung untuk kepentingan konsumen sendiri. Estetika memberikan kesan
positif pada konsumen karena adanya kesesuaian antara desain dan kegunaan
yang menciptakan keindahan
2.4 Kesenangan
Terdapat kenikmatan intrinsik dan rasa senang serta nyaman yang dirasakan
oleh konsumen dari hasil usaha pemasar. Konsumen merasakan kesenangan
melebihi apa yang ia harapkan dari suatu produk atau jasa.

D. Kerangka Pemikiran

SHOPPING WELL-
SELF CONGRUITY
BEING
(Y)
(X)

EXPERIENTAL
VALUE

(Z)

Self congruity merupakan hal yang penting untuk dikaji terutama dalam
bidang pemasaran, dengan mengetahui self congruity produsen bisa mengetahui
berbagai perilaku konsumen dan apa saja yang diharapkan konsumen. Self congruity
13

adalah kesesuaian citra diri konsumen dengan suatu citra suatu merek (Sirgy, 1982).
Jika citra diri konsumen sudah sesuai dengan suatu produk, maka konsumen
cenderung menilai produk tersebut secara positif. Terdapat beberapa faktor penentu
perilaku konsumen yaitu faktor pribadi, yang mencakup usia dan siklus hidup,
pekerjaan dan lingkungan ekonomi, kepribadian dan konsep diri, serta gaya hidup dan
nilai yang dimiliki oleh konsumen. Kesesuaian diri ini juga diasumsikan berpengaruh
pada shopping well-being yang berhubungan dengan nilai-nilai belanja yang dialami
konsumen (Hedli,dkk. 2013). Shopping well-being mengacu pada kepuasan konsumen
dengan beragamnya domain dan subdomain kehidupan konsumen. Hal ini juga
dipengaruhi oleh pengalaman konsumen ketika berbelanja pada suatu toko atau mall.
Pengalaman pembelian dari konsumen juga menjadi hal penting dalam memprediksi
konsumen.
Menurut Stywan dan Astuti (2014) experiental value dalam bidang pemasaran
dapat menjadi cara untuk promosi produk juga untuk bersaing. Experiental value yang
didapat oleh konsumen akan memengaruhi keputusan membeli pada suatu produk
(Fiore, Jin, dan Lee, 2005). Hal ini berdasarkan pengalaman yang di dapat oleh
konsumen apakah pengalaman tersebut positif atau negatif sehingga berujung pada
keputusan pembelian suatu produk. Sehingga, peneliti memiliki pemikiran bahwa self
congruity akan memengaruhi shopping well-being, selain itu shopping well-being juga
dapat dipengaruhi oleh experiental value.
A.
B.
C.
D.
E. Asumsi Penelitian
Berdasarkan penjabaran dalam bagian pendahuluan, penulis memiliki beberapa
asumsi penelitian, diantaranya:

1. Konsumen cenderung akan mengevaluasi produk secara positif jika produk


tersebut memiliki karakteristik yang sama dengan kepribadiannya (self congruity)
(Ishaq & Fani, 2018). Menurut penelitian Tsai, dkk. (2015) jika konsumen
mampu menggambarkan citra diri mereka dalam suatu produk, konsumen akan
cenderung memiliki nilai positif konsumen akan melakukan pembelian bahkan
membeli ulang. Dengan demikian, diasumsikan konsumen Transmart yang
14

memiliki self congruity dengan Transmart akan berbelanja di toko atau tempat
yang sesuai dengan citra dirinya.
2. Experiental value yang dimiliki oleh konsumen dapat menimbulkan
pengalaman-pengalaman yang akan menjadi pertimbangan dalam pembelian.
menurut Chang dan Chen (2008) menunjukkan bahwa pengalaman merupakan
variabel penting dalam memahami perilaku konsumen dan memprediksi bahwa
konsumen dapat membelikan pembelian ulang suatu produk jika mengalami
pengalaman yang positif begitupun sebaliknya.
D.
E.
F. Hipotesis
H1 : Self Congruity berpengaruh pada shopping well-being konsumen Transmart
H2 : Experiental Value berpengaruh pada shopping well-being konsumen Transmart
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, karena
penelitian kuantitaif lebih berjalan sistematis, mampu memanfaatkan teori yang ada,
penelitian lebih berjalan objektif, spesifik, jelas dan rinci, dan ukuran penelitiannya
lebih besar (Kurnia, 2015). menggunakan metode korelasional yang bertujuan
menjelaskan hubungan antar variabel yang digunakan oleh peneliti (Creswell, 2012).
Penelitian ini akan mengetahui pengaruh dari self congruity terhadap shopping well-
being konsumen Transmart yang dimoderasi oleh experiental value.

B. Populasi dan Sampel


Populasi adalah seluruh bagoan dari subjek yang akan diteliti dan memenuhi
karakteristik tertentu untuk menjawab rumusan masalah penelitian, untuk ditarik
kesimpulannya (Azwar, 2012). Sedangkan sampel adalah bagian dari populasi yang
dapat mewakili populasi (Shaughnessy dkk., 2012). Metode yang digunakan untuk
pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah metode nonprobabilty sampling,
yaitu metode pengambilan sampel yang tidak memberikan kesempatan yang sama
bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono,
2012). Selain itu, pengambilan sampel penelitian ini menggunakan teknik
convenience sampling. Teknik tersebut biasa juga disebut dengan teknik aksidental.
Menurut Sugiyono (2012), sampel aksidental adalah teknik penentuan responden
berdasarkan siapa saja yang secara kebetulan dipandang cocok sebagai sumber data
maka akan dipilih sebagai responden. Berdasarkan teknik aksidental tersebut maka
responden yang cocok untuk penelitian ini adalah konsumen Transmart.
Penentuan jumlah sampel didasarkan pada alat analisis yang digunakan untuk
menguji hipotesis, yaitu Structural Equation Modeling (SEM). Ghozali dan Fuad
(2005) menyatakan bahwa ukuran sampel minimum yang disarankan dalam
penggunaan SEM adalah sebanyak 100 atau menggunakan perbandingan 5-10 kali
jumlah observasi untuk setiap estimated parameter atau indikator yang dipakai. SEM
mensyaratkan jumlah ukuran sampel harus 5-10 kali jumlah pengamatan untuk setiap
parameter atau indikator yang diperkirakan digunakan (Ferdinand, 2006).

15
16

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional


1. Variabel Penelitian
Menurut Creswell (2016) Variabel penelitian adalah karakteristik seorang
individu atau suatu organisasi yang dapat diukur atau diobservasi. Terdapat tiga
variabel dalam penelitian ini, diantaranya terdiri atas satu variabel bebas dan dua
variabel terikat. Variabel bebas yaitu self congruity (X), dan variabel terikat yaitu
shopping well-being (Y) dan Experiental Value sebagai variabel moderasi (Z).

2. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi variabel secara praktis (Reksoatmodjo, 2006).
Berikut ini merupakan penjelasan mengenai definisi operasional dari variabel-
variabel yang akan diteliti.
a. Self Congruity
Self congruity adalah kesesuaian antara citra diri konsumen Transmart
dengan citra merek yang dimiliki oleh Transmart.
b. Shopping Well-being
Shopping well-being adalah hal yang dirarasakan konsumen Transmart
dari kegiatan berbelanja di Transmart yang menimbulkan kepuasan bagi
kehidupan konsumen tersebut
c. Experiental Value
Experiental Value merupakan pengalaman yang dirasakan individu ketika
melakukan kegiatan berbelanja di Transmart, sehingga menimbulkan rasa
puas ataupun tidak puas atas pengalaman individu tersebut membeli

D. Instrumen Penelitian
1. Self Congruity
Self Congruity akan diukur menggunakan self-congruity measure di adaptasi dari
Sirgy & Johar (1999).
DIMENSI ITEM KATEGORI

Actual self- The image of the (user of local brand) is highly Favorable
congruence consistent with how I see myself, more so than
the image of (referent brand).
Transmart sangat sesuai dengana saya melihat
17

diri saya sendiri

I can’t relate to those people who (use focal Unfavorable


brand) rather than (referent brand).
Saya tidak dapat bergaul dengan orang-orang
yang berbelanja di Transmart

I can’t identify with those people who prefer Unfavorable


(focal brand) over (referent brand).
Saya tidak dapat mengenal orang-orang yang
berbelanja di Transmart

People who are very different from me prefer Unfavorable


(focal brand) over (referent brand).
Orang-orang yang sangat berbeda dengan saya
lebih suka berbelanja di Transmart
I am very much like the typical person who Favorable
prefers to (use) (focal brand) rather than
(referent brand).
Saya sangat mirip dengan orang yang berbelanja
di Transmart
Ideal self- I may like myself better if I were to (use) (focal Favorable
congruence brand) rather than (referent brand).
Berbelanja di Transmart membuat saya lebih
menyukai diri saya.

(Using focal brand) may make me less special Unfavorable


than (using referent brand).
Berbelanja di Transmart dapat membuat saya
kurang istimewa.

I hate the image of (focal brand) (user) Unfavorable


compared to the image of (referent brand).
Saya tidak suka citra konsumen Transmart

I prefer the image of (focal brand) (user) than Favorable


18

the image of (referent brand).


Saya suka citra konsumen Transmart.

I may not think highly of myself if I were to (use) Unfavorable


(focal brand) rather than (referent brand).
Saya mungkin tidak terlalu memikirkan diri saya
sendiri jika saya berbelanja di Transmart

I like the kind of person who (uses) (focal brand) Favorable


better than the kind of person who (uses)
(referent brand).
Saya suka orang yang berbelanja di Transmart

Social self- People who are close to me have a hard time Unfavorable
congruence seeing me as (using) a (focal brand) over
(referent brand).
Orang-orang yang dekat dengan saya tidak suka
melihat saya berbelanja di Transmart

People who know me think that I’m very Unfavorable


different from those who (use focal brand)
instead of (referent brand).
Orang-orang yang mengenal saya berpikir bahwa
saya sangat berbeda dari orang yang berbelanja
di Transmart

People that I know think of me as the kind of Unfavorable


person who (uses) (focal brand) and I’m not the
kind who (uses) (referent brand).
Orang yang saya kenal menganggap saya sebagai
tipe orang yang berbelanja di Transmart

The image of the (user) of (referent brand) is Favorable


highly consistent with how I’m seen by the
people who are close to me.
Menurut orang yang dekat dengan saya,
19

Transmart sangat sesuai dengan diri saya.

People who know me think of me as the kind of Favorable


person who is more likely to (use) (focal brand)
than (referent brand)
Orang-orang yang mengenal saya menganggap
saya sebagai tipe orang yang lebih mungkin
berbelanja di Transmart daripada berbelanja di
tempat lain

I am usually viewed by my relatives and friends Favorable


like the typical person who prefers to (use)
(focal brand) rather the kind of person who
prefers to (use) (referent brand).
Saya biasanya dilihat oleh kerabat dan teman-
teman saya seperti orang biasa yang lebih suka
berbelanja di Transmart.

Ideal Social My friends and associates don’t like to see me as Unfavorable


self- a (user) of a (focal brand) compared to (referent
congruence brand).
Teman-teman saya tidak suka melihat saya
berbelanja di Transmart

People that I associate with do not have much Unfavorable


regard for the image of the (focal brand user)
compared to the image of the (referent brand
user).
Teman-teman saya lebih memperhatikan citra
toko lain di banding citra transmart.

(Using) (focal brand) may make people think Favorable


more special of me than if I were to (use)
(referent brand).
Berbelanja di Transmart dapat membuat orang
berpikir saya lebih istimewa daripada jika saya
20

berbelanja di tempat lain

(Using) (focal brand) may make my friends and Unfavorable


associates have less regard for me than if I were
to use (referent brand).
Berbelanja di Transmart dapat membuat teman-
teman saya kurang menghargai saya.

People around me may like me more if I were to Favorable


(use) (focal brand) than (referent brand).
Orang-orang di sekitar saya mungkin lebih
menyukai saya jika saya berbelanja di Transmart
daripada berbelanja di trmpat lain.

My friends and associates prefer the image of Favorable


(focal brand) (user) than the image of (referent
brand) (user).
teman-teman saya lebih suka pada saya karena
saya berbelanja di Transmart

2. Shopping Well-Being
Shopping well-being akan diukur dengan menggunakan alat ukur shopping
wellbeing measurement yang di adaptasi dari Ekici dkk (2017).
No Item
Thinking about shopping, I feel that my shopping
contributes significantly to my own personal well-
1 being.
Thinking about shopping, my quality of life would
2 diminish significantly if I don’t shop
Thinking about shopping, I feel that shopping makes
3 me happy.

Thinking about shopping, I feel that shopping


4 contributes significantly to myquality of life overall.
I feel that my shopping activities contribute
5 significantly to my family well-being.
The quality of life of my family would diminish
6 significantly if I don’t shop.
21

I feel that shopping makes me happy because


7 shopping contributes much to my family well-being.

I feel that my shopping contributes significantly to


8 my family’s quality of lifeoverall

3. Experiental Value
Experiental value akan diukur dengan menggunakan experiental valu measurement
yang diadaptasi dari Mathwick dkk.(2001)

Dimensi Indikator
The way XYZ displays its products is attractive.
XYZ’s Internet site is aesthetically appealing
Visual Appeal I like the way XYZ’s Internet site looks.
I think XYZ’s Internet site is very entertaining.
The enthusiasm of XYZ’s Internet site is catching, it picks me
Entertainment up.
Value XYZ doesn’t just sell products-it entertains me.
Shopping from XYZ’s Internet site “gets me away from it all”
Shopping from XYZ makes me feel like I am in another world.
I get so involved when I shop from XYZ that I forget everything
Escapism else.
I enjoy shopping from XYZ’s Internet site for its own sake,
Intrinsic notjust for the items I may have purchased.
Enjoyment I shop from XYZ’s Internet site for the pure enjoyment of it.
Shopping from XYZ is an efficient way to manage my time.
Shopping from XYZ’s Internet site makes my life easie
Efficiency Shopping from XYZ’s Internet site fits with my schedule.
XYZ products are a good economic value.
Overall, I am happy with XYZ’s prices.
The prices of the product(s) I purchased from XYZ’s Internet
Economic Value site are too high, given the quality of the merchandise.
22

E. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah cara-cara yang digunakan oleh
peneliti untuk mengumpulkan data (Reksoatmodjo, 2006). Pengumpulan data
dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner. Kuesioner merupakan teknik
pengumpulan data untuk mengukur suatu variabel dengan cara memberi beberapa
pertanyaan tertulis kepada responden (Shaughnessy dkk., 2012).

F. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini diantaranya adalah sebagai
berikut:

1. Tahap Persiapan
a. Menentukan topik dan masalah penelitian,
b. Melakukan studi literatur mengenai variabel penelitian,
c. Menyusun teori-teori dan konsep yang relevan dengan penelitian,
d. Merumuskan rancangan dan metode penelitian,
e. Menentukan teknik pengambilan data,
f. Mempersiapkan instrumen penelitian berupa kuesioner self congruity,
kepuasan pelanggan, dan brand loyalty yang diadaptasi dan telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
g. Melakukan expert judgement instrumen penelitian yang akan digunakan
kepada beberapa ahli,
h. Melakukan uji coba (try out) instrumen penelitian yang akan digunakan.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Meminta kesediaan subjek yang sesuai kriteria untuk mengisi kuesioner,
b. Melakukan pengambilan data.
3. Tahap Pengolahan Data
a. Verifikasi data, tujuannya untuk memeriksa kelengkapan jumlah kuesioner
yang terkumpul sebelum melakukan pengolahan data,
b. Melakukan penginputan data dan penyekoran data,
c. Melakukan pengolahan data menggunakan software SPSS versi 16 untuk
memperoleh seberapa berpengaruh self congruity terhadap kepuasan
pelanggan dan brand loyalty.
23

4. Tahap Pembahasan Data


a. Melakukan analisis data yang telah diolah sebelumnya,
b. Mendeskripsikan temuan hasil penelitian yang telah diolah,
c. Menjelaskan temuan dengan menjawab hipotesis penelitian,
d. Melakukan interpretasi data.
5. Tahap Akhir
a. Menyusun laporan hasil penelitian dan menarik simpulan dari hasil
penelitian.
G. Analisis Data
Dalam penelitian pengaruh self congruity terhadap keputusan pembelian
dimoderasi oleh experiental value menggunakan teknik analisis data regresi ganda
untuk mengetahui hubungan variabel bebas dengan variabel terikat (Sugiyono, 2005).
24

DAFTAR PUSTAKA
(Ed.), Encyclopedia of Quality-of-Life and Well-Being Research. Springer Publishers,
Dordrecht, Netherlands, pp. 1237–1240
Arnold, M. J., & Reynolds, K. E. (2012). Approach and avoidance motivation: Investigating
hedonic consumption in a retail setting. Journal of Retailing, 88(3), 399–411

Baron, R.M. and Kenny, D.A (1986) The Moderator- Mediator Variable Distinction In Social
Psychological Research: Conceptual, Strategic, And Statistical Considerations. Journal
Of Personality And Social Psychology. Vol 51 (6), 1173-1182.

Chang, H. H., & Chen, S. W. (2008). The Impact of Customer Interface Quality, Satisfaction
and Switching Costs on E-Loyalty: Internet Experience as a Moderator. Computers in
Human Behavior, 1016 (10)

Datta & Vasantha. (2013). Experiential Value, Customer Satisfaction and Customer Loyalty:
An Empiricial Study Of KFC In Chennai. Vels University P V Vaithiyalingam Road,
Velan Nagar, Pallavaram, Chennai 600117 Tamil Nadu, India.

Ekici, A., Sirgy, M. J., Lee, D., Yu, G. B., Bosnjak, M., & Lee, D. (2017). The Effects of
Shopping Well-Being and Shopping Ill-Being on Consumer Life Satisfaction.
https://doi.org/10.1007/s11482-017-9524-9

El Hedhli, K., 2013. Consumer well-being, shopping satisfaction. In: Michalos, A.C.
El Hedhli, K., Chebat, J.C., Sirgy, M.J., 2013. Shopping well-being at the mall: construct,
antecedents, and consequences. J. Bus. Res. 66 (7), 856–863.
Fathollah, S., Aghdaie, A., & Khatami, F. (2014). Investigating the Role of Self Confidence
and Self-Image Proportion in Consumer Behavior, 6(4), 133–144.
Fiore, A.M., Jin, H.J., & Lee, H. (2005). For Fun and Profit: Hedonic Value
From Image Interactivity and Responses Toward An Online Store.
Psycology and Marketing, Vol. (8), 669-694.

Gowinda, H. dan Suprapti, W. (2014). Pengaruh Experiential Marketing terhadap


Experiential Value pada Pengguna Smartphone di Kota Denpasar. Jurnal Ekonomi dan
Bisnis Universitas Udanaya Bali.

Hoffman D.L., & Novak T.P. (1996). Marketing in computer-mediated environments:


Conceptual foundations. Journal of Marketing, 60(3), 50–68.
Jung Wan Lee. 2009. “Relationship Between Consumer Personality and Brand Personality
As Self-Concept; From The Case Of Korean Automobile Brands”. Academy of
25

Marketing Studies Journal, Vol 13, No. 1


Kata Data. 2019. Jumlah Penduduk Indonesia 2019 Mencapai 267 Juta Jiwa. [online].
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/01/04/jumlah-penduduk-indonesia-
2019-mencapai-267-juta-jiwa . Di akses 17 Februari 2019.
Kotler, P., Keller, K. L., Ancarani, F., & Costabile, M. (2011). Marketing management 14/e.
Pearson.
Kotler, Philip and Keller, Kevin Lane. 2009. Marketing Management 13th Edition.
Singapore: Prentice Hall

Kotler, Philip dan Armstrong, Gary. (2011). 10th Edition. “Marketing an Introduction”.
Indonesia: Perason.

Kotler, Philip. (2001). Marketing. Australia: Frenchs Forest, N.S.W Pearson Education
Australia.

Kotler, Philip. 2005. Manajemen Pemasaran Jilid I. PT.Indeks: Jakarta


Kressmann, F., Sirgy, M. J., Herrmann, A., Huber, F., Huber, S., & Lee, D. (2006). Direct
and indirect effects of self-image congruence on brand loyalty, 59. Journal of business
research, 955–964.

Kristian, D., & Widayanti, R. (2016). Keputusan pembelian sepeda motor honda pada
mahasiswa kampus 1 universitas kristen krida wacana. JURNAL ILMIAH MANAJEMEN
BISNIS, 16(1).

Lee, E. and Overby, J.W. (2004), “Creating Value for Online Shoppers: Implications for
Satisfaction and Loyalty,” Journal of Satisfaction, Dissatisfaction, and Complaining
Behavior, Vol. 17, pp. 54-67
Malhotra, N (2004) Marketing Research: An Applied Orientation (4th ed.). New
Jersey: Prentice Hall.

Malhotra, N., Mathwick, C., and Rigdon, E., 2001, Experiential Value: Conceptualization,
Measurement and Application in the Catalog and Internet Shopping Environment,
Journal of Retailing, New York University

Paul, J. Peter dan Jerry C. Olson. 2000. Consumer Behavior: Perilaku Konsumen dan
Strategi Pemasaran. Terjemahan. Jakarta: Erlangga
Postrel, V (2003) The Substance of Style. New York: Harper Collins

Prahalad and Ramaswamy, 2004. The Future Of Competition, Co-Creating Unique Value
with Customers : Harvard Business School Press

Rangkuti, Freddy. 2008. The Power Of Brands, Teknik Mengelola Brand Equity Dan Strategi
Pengembangan Merek + Analisis Kasus Dengan SPSS. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
26

Utama.
Schiffman, G Leon., Kanuk, Leslie Lazar and Wisenblit, Joseph. 2010. Consumer Behavior
Tenth Edition. New Jersey: Prentice Hall
Schiffman, Leon G. & Kanuk, Leslie L. 2010. Consumer Behavior (tenth edition).
New Jersey: Prentice Hall.

Shank, Matthew D, Langmeyer, Lynn.1994. “Does Personality Influence Brand Image?”.The


Journal of Psychology.Vol.128, Iss.2, Pg. 157.
Sirgy, M. Joseph, D. Grewal, T. F. Mangleburg, J. O. Park, K. Chon, C. B. Claiborne, J. S.
Johar, and H. Berkman (1997). “Assessing the Predictive Validity of Two Methods of
Measuring Self-Congruity.” Journal of the Academy of Marketing Science, 25: 229-41.
Styawan, R., & Astuti, B. (2012). Analisis experiential marketing terhadap experiential.
Jurnal Siasat Bisnis. 18 (02). 210-218

Tjiptono, Fandy. 2008. Strategi Pemasaran, Edisi 3. ANDI: Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai