Anda di halaman 1dari 17

Artikel Penjerapan Emisi CO2

Dibuat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Teknologi Batu Bara

Disusun Oleh :

1. Ady Prasetyo (5213418030)


2. Ririn Andriyani (5213418051)
3. Isna Rahmatul Laili (5213418061)
4. Sri Hayati (5213419012)
5. Muria Arya Dinata (5213419041)

TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2021

I. OXYCC di Industri pembangkit listrik

OXYCC di pembangkit listrik tenaga batu bara mengacu pada pembakaran bahan
bakar yang dilakukan dengan O murni bukan udara, menghasilkan gas buang yang
sebagian besar terdiri dari CO, dan H20 (IPCC, 2005). Bagian dari gas buang, gas
buang daur ulang (RFG), diumpankan ke boiler untuk menurunkan suhunya. CO
yang terkonsentrasi, aliran perlu dikeringkan, dikompresi, dan dimurnikan untuk
memenuhi spesifikasi penyimpanan dalam unit kompresi dan pemurnian (CPU).
Elemen konsumsi energi utama OXYCC adalah unit pemisahan udara (ASU) yang
diperlukan untuk O, produksi, dan CPU.

A. OXYCC di Boiler dengan umpan batubara serbuk pulverized

Gambar 1.1 Skema pembakaran oksi boiler batubara serbuk yang dilengkapi
dengan unit pemisah udara dan unit pemurnian CO, RFG, dan gas
buang daur ulang

Oxy-combustion pada pulverized coal boilers (OPC) adalah teknologi OXYCC


yang telah mencapai tingkat kesiapan teknologi tertinggi (TRL) hingga saat ini. 7
Parameter desain utama dalam OPC adalah bagaimana oksigen dan RFG dimasukkan
ke dalam boiler. Tingkat oksida sulfur perlu dibatasi untuk meminimalkan masalah
korosi, dan kelebihan oksigen dalam gas buang harus diminimalkan untuk
memastikan efisiensi pembakaran yang baik dan nyala api yang stabil. RFG
umumnya dibagi menjadi RFG primer (30% -35%) yang digunakan untuk transportasi
bahan bakar, dan RFG sekunder yang didaur ulang ke boiler.

RFG Primer dipasok ke pabrik, sehingga perlu didinginkan dan dicuci dalam
kondensor gas buang untuk menghilangkan kelembaban, halida, dan SO3. Jika larutan
alkali ditambahkan ke Water Wash atau pendingin kontak langsung dengan
menggunakan scrubber pemoles, SO2 juga dapat dihilangkan sebagian.

RFG sekunder dapat diambil dari berbagai titik proses yang mengarah ke daur
ulang hangat atau panas dengan kandungan partikulat tinggi, meskipun umumnya
lebih disukai untuk mendaur ulang gas buang bebas debu untuk mencegah masalah
erosi, korosi, pengotoran, dan penyumbatan. Proyek pertama yang
mendemonstrasikan OPC terintegrasi dalam boiler yang dipasang kembali dari
pembangkit listrik di seale besar (30 MW,) adalah Callide A, di Australia. Kemudian
ada di Shanxi International Energy Group yang akan mendemonstrasikan OPC dalam
skala komersial di pembangkit listrik tenaga batu bara superkritis 350 MW yang
direncanakan akan mulai beroperasi pada tahun 2020 di Cina, dengan kapasitas
penangkapan 2 Mt COly. Proyek ini akan menggunakan sistem pembakaran-oksi Air
Products serta teknologi kompresi dan pemurnian, yang divalidasi di pabrik
percontohan Schwarze Pumpe pada 2010-2011.

B. OXYCC di boiler dengan umpan batu bara terfluidasi

Pembakaran oksi dalam boiler terfluidisasi (OFB) kurang mendapat perhatian


dibandingkan OPC. terlepas dari keunggulan yang melekat, seperti fleksibilitas bahan
bakar yang lebih besar, NO lebih rendah, emisi, dan ukuran boiler yang lebih kecil.
Sejauh ini, teknologi OFB telah divalidasi hingga skala 30 MWth di CIUDEN,
Spanyol, di mana CPU mengolah 4500 Nm^3 / jam gas buang, menghasilkan 11 t / d
99% kemurnian CO, (de Dios, 2015). Teknologi OFB sudah mencapai TRL 6.

C. Chemical Looping Combustion


Gambar 1.2 Skema proses Chemical Looping Combustion

Chemical Looping Combustion (CLC) atau Pembakaran perulangan kimia


memanfaatkan pembawa oksigen, yaitu oksida logam yang bersirkulasi antara reaktor
bahan bakar, tempat mereka tereduksi, dan reaktor udara, tempat mereka dioksidasi.
Oksida logam transisi umum seperti Fe, Cu , Ni, Mn, dan Ba, dapat digunakan
sebagai pembawa oksigen, dengan Fe2O3 / Fe2O2, NiO / Ni, dan BaO2 / BaO. Secara
teori, energi keseluruhan dari proses CLC adalah sama dengan pembakaran langsung
bahan bakar, dan penurunan efisiensi yang sangat rendah yang mampu dicapai (= 3%
termasuk kompresi).

Teknologi CLC telah divalidasi menggunakan batu bara dan campuran batu bara
dan biomassa torrefied sebagai bahan bakar dalam prototipe 1 MWh di Technische
Universität Darmstadt, di Jerman, berdasarkan studi skala (100 kW) yang dilakukan
di Universitas Chalmers. Teknologi terus dikembangkan, proses perulangan kimia
langsung batu bara (CDCL), yang dikembangkan oleh Universitas Negara Bagian
Ohio, menggunakan peredam unggun bergerak berlawanan arah arus dan ruang bakar
unggun gelembung yang menggunakan pembawa oksigen berbasis besi (Fe-FeO /
Fe2O3).

Studi teknoekonomi menunjukkan bahwa LCL-C (Limestone CLC) berpotensi


menjadi pilihan biaya terendah untuk pembangkit listrik berbasis batubara dengan
tangkapan CO2 (Levasseur et al., 2016). LCL-C dengan tangkapan 97% dipasang di
550 MW, pembangkit akan meningkatkan LCOE sebesar 19,5% dibandingkan dengan
kasus dasar batu bara bubuk superkritis.
II. PRECC Berbasis Teknologi Adsorb

Ada 2 teknologi penangkapan CO2 yang dapat digunakan untuk memitigasi emisi
terkait batubara. Sector kelistrikan, ini dapat dibagi menjadi tiga kategori luas,
penangkapan pasca-pembakaran (POSTCC), penangkapan oxy-combustion
(OXYCC), dan penangkapan pra-pembakaran (PRECC). Kisaran biaya di Teknologi
generasi pertama untuk POSTCC, PRECC, dan OXYCC saling tumpang tindih,
meskipun pembangkit listrik tenaga batu bara bubuk superkritis dengan POSTCC
memberikan keuntungan di ujung bawah.

Emisi CO2 per satuan kalori dari batubara adalah yang terbanyak dibandingkan
dengan bahan bakar fosil lainnya. Perbandingan batubara, minyak, dan gas adalah
5:4:3. Kenaikan efisiensi panas sebesar 1% dapat menurunkan emisi CO2sebesar
2,5%. Maka efisiensi panas yang meningkat dapat mengurangi beban lingkungan
secara signifikan akibat pembakaran batubara.Jadi teknologi pembakaran (combustion
technology) merupakan bagian utama dalam upaya peningkatan efisiensi pemanfaatan
batubara secara langsung sekaligus upaya antisipasi isu lingkungan ke depannya.

Pada sektor kelistrikan, teknik penangkapan CO2 yang dapat digunakan untuk
memitigasi emisi terkait batubara umumnya terdiri dari tiga proses. Penangkapan
pasca-pembakaran (POSTCC), penangkapan oxy-combustion (OXYCC), dan
penangkapan pra-pembakaran (PRECC). Berikut ini tabel mengenai berbagai macam
teknologi penangkapan CO2 yang dikembangkan untuk batu bara :

Tabel 2.1 Pengembangan teknologi penangkapan CO2

Teknologi yang Paling


Teknologi Baru
berkembang
Power POSTCC Amine-based CANSOLV Absorpsi kimia GE’s CAP
generation absorption KM CDR dngan pelarut baru
CDRMax Enzim CO2
Bahan penyerap TSA/
padat (solid PSA/
sorbents) VSA/
PTSA
KIEDRY
KCC
ADAosrbS
RI’s ACS
TDA’s
SMB
Veloxo
Therm
CaL
MTR’s
Polaris
Membran
Process
CEPACS
OXYCC Peralatan boiler batu bara Fluidized Boilers SPOC
bubuk dengan unit pemisah with ASU and CPU FPOC
udara untuk produksi O2 (OFB) Pressurized OPFB
dan unit kompresi dan oxy-combustion
pemurnian CO2 CLC
Chemical looping CDLC
combustion CLOU
LCL-C
PRECC Cold gas cleanup or RTI’s TDA’s
WDP with WGS and PSA
chemical absorption TDA’s
(Amdea) WGS-PSA
SEWGS
Solid sorbents
Cold gas cleanup and TDA’s
physical absorption PSA
(selexol) TDA’s
WGS-PSA
SEWGS
Pembangkit listrik dari gasifikasi batubara dengan penangkapan CO2 pra-pembakaran
melibatkan reaksi batubara dengan oksigen/udara dan uap yang akan menghasilkan gas
sintesis (syngas). Singas terdiri dari CO2 dan H2. Dalam tahapan berikutnya CO2 akan
dipisahkan dari H2 untuk selanjutnya siap untuk dikompresi dan diinjeksikan ke dalam titik
penyimpanan. Gas H2 yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Pemanfaatan teknik
penangkapan CO2 dengan pra-pembakaran dikenal dengan Integrated Gasification Combined
Cycle (IGCC). Batubara diubah bentuk dari padat menjadi gas. Perubahan bentuk ini
meningkatkan efisiensi, yaitu dengan memperlakuan gas hasil gasifikasi seperti penggunaan
gas alam. Gas tersebut bisa dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin. Kendala utama dalam
pengembangan IGCC adalah tingginya biaya investasi di awal pembangunan. Keuntungan
dari pemakaian teknologi ini adalah bisa digunakan untuk bahan bakar kelas rendah, seperti
lignit, biomassa, minyak berat, atau limbah, dan menawarkan potensi untuk menghasilkan
listrik, bahan kimia, dan bahan bakar rendah karbon, seperti hydrogen. PRECC melibatkan
reaksi CO dengan H2O dalam reaktor katalitik. Dalam teknik pasca-pembakaran, CO2
dipisahkan dari gas hasil pembakaran. Cara konvensional yang digunakan adalah penggunaan
larutan amine (biasanya mono ethanol amine, MEA) sebagai larutan penyerap CO2.

Gambar. Skema pembangkit listrik siklus kombinasi pengukuran terintegerasi dengan


penangkapan pra-pembakaran.

Tahapan pertama dari proses ini, yaitu pembentukan slurry yang dilakukan setelah proses
menghalusan pada suhu yang cukup tinggi yaitu sekitar 1400-1500 derajat celsius. Abu sisa
pembakaran akan meleleh pada suhu tersebut. Kemudian, gas yang dihasilkan sebelum
masuk turbin gas dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan ESP dan desulfurisasi.
Proses desulfurisasi ini akan menghasilkan belerang murni yang mempunyai nilai jual tinggi.
Denitrifikasi dilakukan setelah HRSG. Keuntungan PRECC jika dibandingkan dengan
POSTCC adalah tekanan operasi yang lebih tinggi dan konsentrasi CO lebih tinggi.

III. Penjerapan CO2 di Industri

1. Industri Semen
- Sejarah dan Proses Manufaktur Semen
Semen adalah bahan pengikat, zat yang terbentuk dan mengeras dengan
sendirinya, dan mengikat material lain secara bersamaan1. Semen juga dapat
didefinisikan sebagai materi dengan sifat adesif dan kohesif yang membuat
ikatan fragmen material secara keseluruhan. Semen merupakan komoditi
global, yang diproduksi di ribuan pabrik.Pasar utama semen adalah industri
konstruksi yang mengkombinasikan banyak aplikasi yang dicampur dengan air
untuk menghasilkan beton. Industri manufaktur umumnya menggunakan
sepertiga dari energi global. Emisi CO2 untuk proses produksi dan
penggunaan energi industri mencapai 6.7 gigaton (Gt), atau sekitar 25% dari
seluruh total emisi global, yang mana 30% berasal dari industri besi dan baja,
27% dari industry mineral non-logam (khususnya semen) dan 16% dari
produksi kimia dan petrokimia (IEA, 2008). Produksi semen melibatkan
heating, calcining, dan sintering dari bahan-bahan yang dicampur untuk
membentuk clicker. Hasilnya, industri manufaktur semen adalah penghasil
emisi CO2 ketiga terbesar dikarenakan produksi lime, bahan utama dari
semen2. Secara garis besar terdapat tiga tipe semen yaitu semen Non-
Hydraulic, semen Hydraulic, dan semen Portland. Dua jenis pertama
digunakan untuk konstruksi dan Semen Portland diklasifikasikan sebagai
semen Hydraulic dan digunakan secara luas (Susana, 1988).

Proses manufaktur pada dasarnya terdiri dari penggilingan bahan mentah


menjadi bubuk yang sangat halus, kemudian dicampurkan dengan proporsi
yang
telah ditetapkan sebelumnya dan dibakar dengan kiln menggunakan
temperatur
1400 ºC atau 2550 ºF saat material tersebut melebur ke dalam clinker dan
terdiri
dari nodul berbentuk bulat antara 1 mm hingga 25 mm. Clinker tersebut
didinginkan dan diratakan menjadi bubuk yang sangat halus dengan sedikit
tambahan gypsum, dan hasilnya adalah semen Portland yang diperdagangkan
secara komersil di seluruh dunia.

Gambar 3.1 Proses Produksi Semen

Gambar 3.2 Tahapan Produksi Semen

Dari keseluruhan proses produksi, dua tahapan yang paling menghasilkan


emisi gas CO2 adalah kiln dan reaksi kimia (pada proses mengolah bahan
mentah) masing-masing sebesar 36.8% dan 46.3% dari total emisi.

Tabel 3.1 Penggunaan Energi dan Emisi CO2


- Industri Semen di Indonesia
Demi mendukung pemerataan kesejahteraan sosial-ekonomi, perlu
penyediaan infrastruktur yang mencukupi untuk membuat aktifitas ekonomi
berjalan dengan lancar. Hal ini menyebabkan permintaan semen khususnya
setelah masa krisis perbankan Asia 3. Pertengahan 1990an, Indonesia
memproduksi sekitar 25 Mt semen per tahun, dengan 90% kapasitas
digunakan pada tahun 1996. Pada tahun 1997 terjadi penurunan menjadi 82%
terlepas dari kenaikan permintaan, dengan kapasitas yang meningkat sebesar
6Mt per tahun dalam 12 bulan. Krisis keuangan Asia memukul industri semen
pada tahun 1997, yang pada tahun 1998 kapasitas yang digunakan hanyalah
sebesar 50%. Di tahun tersebut kapasitas mencapai 45 Mt per tahun, tapi
permintaan hanyalah sekitar 22 Mt per tahun. Hal ini menarik dikarenakan
dari 10 pabrik semen pada proyek sambungan pipa di awal 1997, hanya
Semen Bosowa Maros yang terlaksana (World Back, 2009).

2. Industri Besi & Baja


- Sejarah dan Proses Manufaktur Besi & Baja
Baja telah dikenal sejak zaman dahulu, dan telah diproduksi dengan
bloomeries, atau semacam fasilitas peleburan besi, yang terdiri dari karbon.
Produksi baja pertama diketahui dari sebuah tempat penyimpanan besi yang
digali dari situs arkeologi di Anatolia (Kaman-Kalehoyuk) dan berumur kira-
kira 4000 tahun. Baja purba yang lainnya berasal dari Afrika Timur, yang
diperkirakan ada sejak 1400 sebelum masehi. Bahan baku untuk pembuatan
baja adalah bijih besi, batu bara, batu kapur, dan baja daur ulang. Ada dua cara
pembuatan baja dan input sebagai berikut :
a. Integrated Steelmaking Route, berdasarkan blast furnace (BF) dan basic
oxygen furnace (BOF), menggunakan bahan baku seperti bijih besi, batu
bara, batu kapur, dan baja daur ulang. Rata-rata, penggunaan bahan
bakunya adalah 1,400 kg bijih besi, 770 kg batu bara, 150 kg batu kapur,
dan 120 kg baja daur ulang untuk memproduksi satu ton baja mentah.
b. Electric arc furnace (EAF), berdasarkan EAF, utamanya menggunakan
baja daur ulang dan/atau direct reduced iron (DRI) dan listrik. Rata-rata
pengguna inputnya adalah 880 kg baja daur ulang, 150 kg batu bara, 43
kg batu kapur untuk memproduksi satu ton baja mentah.

Karena besi hanya dalam bentuk iron oxides di kulit bumi, bijih besi harus
diubah, atau mengurangi penggunaan karbon. Sumber utama karbon ini adalah
batubara kokas. Batubara merupakan bahan baku utama dalam produksi baja.
Batubara utamanya digunakan sebagai bahan bakar padat untuk menghasilkan
listrik dan panas melalui pembakaran. Coke, yang dibuat dengan batubara
karburasi (pemanasan dengan tidak adanya oksigen pada suhu tinggi), dapat
merubah bijih besi. Coke merubah bijih besi menjadi besi cair jenuh dengan
karbon, yang disebut logam panas .Baja daur ulang adalah input yang
diperlukan untuk semua jenis proses pembuatan baja. Beberapa produk baja
bahkan terdiri dari 100 persen bahan daur ulang. Produk baja secara alami
berkontribusi untuk konservasi sumber daya dikarenakan daya tahannya,
potensinya dan dapat didaur ulang. Pada akhir masa guna produk, daur ulang
baja 100% dapat memastikan bahwa sumber daya yang diinvestasikan dalam
produksinya tidak hilang dan dapat digunakan kembali tanpa batas. Karena
bersifat magnetik, baja mudah untuk dipisahkan dari aliran limbah dan dapat
menghindari pencemaran sampah. Banyak baja didaur ulang di seluruh dunia
setiap tahunnya dari semua bahan yang disatukan, dengan sekitar 500 mmt
scrap yang dicairkan setiap tahun. Hal ini berguna untuk menghindari 700
mmt emisi CO (World Steel Association, 2012).
Gambar 3.3 Tahapan Produksi Baja

- Industri Besi & Baja di Indonesia


Konsumsi baja Indonesia tumbuh dengan cepat sebesar 22,4% per tahun
menjadi 10.95 juta metrik ton pada tahun 2011 seiring dengan pertumbuhan
permintaan baja dalam negeri. Sebagai negara dengan perekonomian terbesar
dan penduduk tertinggi di ASEAN, pangsa pasar baja mencapai 20,9%. Hal ini
menjadikan Indonesia sebagai negara konsumen baja terbesar kedua di
wilayah tersebut. Dengan sekitar 300 perusahaan domestik, industri baja
Indonesia mempekerjakan lebih dari 500.000 orang dan mampu menghasilkan
5.5 juta ton produk baja setiap tahunnya termasuk produk baja hot-rolled (bar,
batang kawat dan plate) dan produk baja mentah (billet dan slab). Seperti
negara-negara anggota ASEAN lainnya, Indonesia merupakan net-importir
produk baja dalam
jumlah besar, produsen lokal hanya memasok setengah dari permintaan baja
dalam negeri. Pada tahun 2011, total impor besi dan baja melonjak 24,5% per
tahun menjadi 9.7 juta ton. Negara asal terbesar adalah Jepang, Cina dan
Rusia.

3. Industri Likuifaksi CO2


Coal Liquefaction Technology merupakan salah satu bagian dari Clean Coal
Technology yang bertujuan untuk memanfaatkan nilai guna batubara peringkat
rendah sebagai bahan bakar. Metode yang digunakan dalam proses pencairan
batubara adalah metode langsung, dimana reaksi ini terjadi didalam sebuah reaktor
yang terbuat dari pipa stainless steel kapasitas 3 Liter dengan kondisi operasi suhu
mencapai 375˚C, tekanan mencapai 6 bar dan waktu operasi selama ±2 jam.
Didalam reaktor ini terdapat batubara, pelarut, dan katalis. Sampel batubara yang
digunakan adalah berasal dari daerah Tanjung Enim, Lahat, dan Muba, dengan
ukuran diameter batubara 60, 170, dan 200 mesh. Jenis pelarut yang digunakan
adalah kerosene dan sikloheksana. Perbandingan rasio bb dan pelarut adalah 1:1
1:3. Kemudian, jenis katalis yang digunakan adalah ZnCl2, Fe3O4, dan Al2O3,
dengan persen penggunaan 3-5%weight. Batubara memiliki kandungan hydrogen
dan kadar zat terbang yang tinggi, kandungan hydrogen pelarut yang tinggi juga
sehingga dapat berperan dengan baik, katalis yang merupakan jenis paling reaktif
dibanding yang lainnya sehingga dalam proses pencairan batubara mudah untuk
dicairkan. Produk yang dihasilkan memiliki nilai kalor yang berbeda dari teoritis,
Hal ini disebabkan oleh rendahnya kondisi operasi yang digunakan, sehingga
komposisi produk batubara cair yang dihasilkan adalah campuran alkane C5H12-
C7H16.

Pencairan batubara (Coal Liqeufaction) adalah suatu teknologi proses yang


mengubah wujud batubara dari padat menjadi cair. Batubara yang berupa padatan
diubah menjadi bentuk cair dengan cara mereaksikannya dengan hidrogen pada
temperatur dan tekanan tinggi. Tujuan dari likuifaksi batubara adalah untuk
mengkonversi atau mengupgrading batubara yang mempunyai nilai kalor yang
rendah yang tidak laku di pasaran menjadi salah satu bentuk bahan bakar atau
energi alternatif yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.

Pencairan batubara pada prinsipnya adalah melalui dekomposisi termal


batubara (biasanya 400- 500°C batubara sudah/mulai mengeluarkan liquid). Proses
secara kimiawi pada prinsipnya struktur kimia batubara dipecah menjadi kecil-
kecil, ikatan-ikatan organik dipecah menjadi lebih kecil dan rasio atom H/C
ditingkatkan (supaya menjadi liquid). Ada empat cara pada proses pencairan
batubara (Nursanto dkk, 2015) ;
- Pyrolisis
- Solvent extraction
- Catalytic Liquefaction
- Indirect liquefaction
Teknik pencairan batubara yang digunakan adalah hydrolikuifaksi (gabungan
solvent extraction dengan catalityc liquefaction). Likuifaksi ini relatif lebih murah
dan lebih bersih dibanding teknik indirect liquefaction (gasifikasi) yang
menimbulkan banyak asap, dan teknik pirolisis tidak efektif karena dominan
menghasilkan char daripada liquid. Teknik ini juga cocok untuk batubara peringkat
rendah (lignit), yang banyak terdapat di Indonesia.

Gambar 3.4 Diagram Alir Preparasi Batubara


KESIMPULAN
Batu bara sebagai salah satu energi alternatif menghasilkan produk samping berupa
CO2 dapat berdampak buruk pada kesehatan dan lingkungan. Untuk menanggulangi dampak
yang dihasilkan  dapat dilakukan dengan teknologi mitigasi emisi yaitu POSTCC (Post
Combustion Capture), OXYTCC (Oxy-Combustion Capture) dan PRECC (Pre-Combustion
Capture). Penangkapan pembakaran oksigen OXYTCC dengan cara membakar bahan bakar
yang mengandung oksigen murni dan gas buang daur ulang pada proses sebelumnya yang
banyak mengandung CO2 sehingga proses tersebut menghasilkan gas buang CO2 dan uap
air. Dalam pengaplikasiannya OXYTCC dapat diterapkan dalam air separation unit (ASU)
atau unit pemisahan udara. OXYTCC juga diterapkan industry pembangkit listrik tenaga
batubara dengan OXYTCC di boiler dengan umpan batubara serbuk pulverized, OXYTCC di
boiler dengan upan batu bara terfluidas dan juga Chemical Looping Combustion (CLC).
Penangkapan pra pembakaran (pre-Combustion capture)(PRECC) melibatkan reaksi bahan
bakar dengan oksigen atau udara dan atau uap untuk menghasilkan gas sintesis atau gas
bahan bakar bersih yang terdiri dari karbon monoksidan dan hydrogen. PRECC melibatkan
reaksi CO dan H2O dalam reactor katalitiknya.. Penangkapan pasca pembakaran (post-
combustion capture) digunakan untuk memisahkan CO2 dari hasil pembakaran bahan fosil.
Ada beberapa teknologi yang dapat digunakan dalam POSTCC yaitu adsorption, Physical
adsorbtion, penyerapan membrane dan pemisahan membrane. Di industry pembangkit listrik
POSTCC ditempatkan pada tahap akhir pengeluaran fuel dan dengan tambahan bantuan
adsorben kimia kombinasi dengan proses mekanikal. Setiap Teknik penangkapan CO2
memiliki keunggulan masing-masing. OXYTCC memiliki keunggulan sperti tekanan parsial
CO2 rendah, Dapat diretro fitting, pelarut yang ditingkatkan dapat mengurangi energi, dan
biaya lebih murah. PERCC memiliki keunggulan dalam teknologi relative sederhana dan
cocok untuk retrofit NOx tidak signifikan sedangkan keunggulan POSTCC yaitu dapat
digunakan pada pembangkit listrik siklus gabungan, metide yang paling efisien, dan
menghasilkan H2.
Industri semen, industry besi baja, industry likuifaksi merupakan contoh dari industry
yang menerapkan penjerapan CO2. Industry semen merupakan penghasil emisi CO2 ketiga
terbesar dengan proses penghasil emisi terbesarnya ada pada tahap kiln dan reaksi kimia.
Tingkat emisinya semakin meningkat sejalan dengan tingkat konsumsi semen dari tahun
ketahun yang terus meningkat. Hal tersebut juga sama dengan tingkat konsumsi besi dan
baja. dan baja Dalam industry Lukuifaksi CO2, proses pencairan batu bara (coal
liquefaction) bertujuan untuk mengubah batu bara padat menjadi cair dengan mengkonversi
batubara yang mempunyai nilai kalor rendah dan tidak laku dipasaran menjadi bentuk bahan
bakar yang mempunyai nilai ekomi yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, S.N.,K. Ismail, M. A. M. Ishak dan A. H. Jawad. 2014. Coal Liquefaction using a
tetralinglycerol co-solvent system: effect of temperature and reaction time on conversion
and product yield. WIT Transactions on Ecology and The Environment,Vol.186,©2014
WIT Press, ISSN 1743-3541.
Aziz, Muhammad Abdul. Studi Gasifikasi Berbahan Bakar Briket Batubara Terhadap
Temperatur Pembakaran. Diss. Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018.
BPKIMI (Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri) – Kementrian Perindustrian.
(www.bkimi.kemenperin.go.id).
ClimateTechWiki, 2012. http://climatetechwiki.org/technology/energy-savingcement.
Duan, Yuanqiang, et al. "Observation of simultaneously low CO, NOx and SO2 emission
during oxy-coal combustion in a pressurized fluidized bed." Fuel 242 (2019): 374-381.
Enggal, Nurisman. 2007. Studi Pengaruh Variabel, Temperatur, Rasio Pelarut dan Batubara
serta Kuat Medan Proses Pencairan Batubara Lignite Tanjung Enim dengan Menggunakan
Electromagnetic Coal Liquefied Reactor. Tesis. Palembang : Universitas Sriwijaya.
Erlangga,Abdul Wahid. 2015. Kajian Liquifaksi Batubara Lignit Menggunakan Teknologi
Sistem Induksi. Palembang : Politeknik Negeri Sriwijaya.TA Gandhi, Shamim Ahmed.
2013. Coal Liquefaction Using Zinc Chloride Catalyst In An Extracting Solvent Medium.
California : University of California.
M. Kundak, L. LasiJ, J. RNKO (2008.) “C02 Emission in the Steel Industry”.
Masduki, Busron, R. Sukarsono R. dan Didiek Herhady.2001.Liquifaksi Batubara Sebagai
Substitusi Minyak Bumi. Yogyakarta.Puslitbang Teknologi Maju Batan.ISSN 0216-3128.
Metalurgi 48 (2009) 3: 193-197. Martawardaya, Berly & Maria Agriva, (2012), “Tax
Holiday: Konsep, Success Story & Penarapan di Indonesia. Unpublished study for
Indonesian Ministry of Industry. Modjo, ikhsan & Berly Martawardaya (2011),
“Economic Instruments for the Indonesian Industry to Reduce Emissions of Greenhouse
Gasses.” Report for PAKLIM GIZ.
Plaza, Marta G., and Covadonga Pevida. "Current status of CO2 capture from coal
facilities." New trends in coal conversion. Woodhead Publishing, 2019. 31-58.
Wibawa, B. S. S., A. P. Iswara, and R. Boedisantoso. "Impact Assessment of Coal Power
Plant Using Life Cycle Assessment (LCA)." IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science. Vol. 506. No. 1. IOP Publishing, 2020.

Anda mungkin juga menyukai