Anda di halaman 1dari 82

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Karakteristik Limbah Industri Kayu Lapis


Pengulitan kayu secara hidrolik dan perlakuan awal dari kayu
gelondongan sebelum dipotong, merupakan sumber-sumber utama air limbah
pada industri kayu lapis. Sumber-sumber air limbah lainnya adalah kegiatan
pembersihan alat perata perekat dan alat pengering. Selain itu air pendingin
kompresor dan air pendingin ketel juga dapat merupakan sumber limbah yang
penting.
Air dari pengulitan mengandung banyak padatan tersuspensi. Air bekas
perlakuan awal banyak mengandung fenol, padatan tersuspensi dan asam resin.
Pengering pembersih air yang mengandung latek kayu, menghasilkan fenol dan
asam resim. Air bekas cuci mesin perekatmengandung perekat – urea, fenol dan
atau asam amino. Air pendingin akan bebas dari zat pencemar bila pemeliharaan
kebersihan di dalam pabrik baik.
( Sumber : Environment Management Development Indonesia )
Karakteristik limbah industri kayu lapis terdiri dari :
1. Biological Oxygen Demand (BOD)
Merupakan parameter yang menunjukkan banyaknya oksigen yang
diperlukan untuk menguraikan senyawa organik yang terlarut dan
tersuspensi dalam air oleh aktivitas mikroba. Pada industri kayu lapis,
BOD5 yang dihasilkan tinggi pada proses di penampungan kayu dan proses
mengeringkan lapisan kayu halus menggunakan uap panas. BOD5 limbah
industri kayu lapis ini = 350 mg/l. Sedangkan pada baku mutu yang ada di
Peraturan Gubernur Jawa Timur No.72 Tahun 2013 yaitu sebesar 75mg/l.
2. Chemical Oxygen Demand (COD)
5
COD ( Chemical Oxygen Demand ) adalah banyaknya oksigen yang
dibutuhkan dalam kondisi khusus untuk menguraikan benda organik
dengan menggunakan oksidator kimia yang kuat ( potassium dikromat ). (

4
Syed R. Qasim, 1985, “Wastewater Treatment plant”, CBS College
Publishing, hal 39)
Kandungan COD air buangan industri kayu lapis ini adalah 530 mg/l,
sedangkan baku mutu yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan adalah
sebesar 125 mg/l. Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur No.72
Tahun 2013.
3. pH (derajat keasaman)
Nilai pH air buangan industri kayu lapis ini adalah 6,8, sedangkan baku
mutu untuk limbah industri kayu lapis mengatur besar nilai pH yang
diperbolehkan dibuang ke lingkungan adalah sebesar 6 - 9. Jadi nilai
limbah dengan nilai pH 6,8 boleh langsung di buang ke badan air.
pH adalah derajat keasaman digunakan untuk menyatakan tingkat
keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Yang
dimaksudkan "keasaman" di sini adalah konsentrasi ion hidrogen (H +)
dalam pelarut air.
Nilai pH berkisar dari 0 hingga 14. Suatu larutan dikatakan netral apabila
memiliki nilai pH=7. Nilai pH>7 menunjukkan larutan memiliki sifat basa,
sedangkan nilai pH<7 menunjukan keasaman. Nama pH berasal dari
potential of hydrogen. Secara matematis, pH didefinisikan dengan
pH = − log10[H + ]
Umumnya indikator sederhana yang digunakan adalah kertas lakmus yang
berubah menjadi merah bila keasamannya tinggi dan biru bila
keasamannya rendah. Selain mengunakan kertas lakmus, indikator asam
basa dapat diukur dengan pH meter yang bekerja berdasarkan prinsip
elektrolit / konduktivitas suatu larutan. (www.id.wikipedia.org )

4. TSS (Total Suspended Solid)


TSS (Total Suspended Solid) merupakan suatu endapan yang dapat
disaring (filtrable residu) dan dapat membentuk suatu sludge blanket yang
terdiri-dari bahan-bahan organik. Sedangkan dissolved solid adalah suatu
solid yang tidak dapat disaring (non filtrable residu).

5
TSS ( Total Suspended Solid ) dalam air limbah seperti pasir, liat, dan
bahan organic. TSS jika dibuang ke badan air akan meningkatkan
kekeruhan dalam air dan jika berada didasar perairan akan mengganggu
proses perkembangbiakan hewan – hewan air. ( Syed R. Qasim, 1985,
“Wastewater Treatment plant”, CBS College Publishing, hal 42 ).
Pada industri kayu lapis ini, TSS dihasilkan dari proses di bak penampung
kayu dari pengulitan kulit kayu. TSS industri kayu lapis ini = 400 mg/l.
Sedangkan Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur No.72 Tahun
2013 baku mutu TSS yaitu 50 mg/l.
5. Phenol
Phenol dihasilkan dari proses mengeringkan lapisan kayu halus
menggunakan uap panas. Phenol industri kayu lapis ini = 11 mg/l.
Phenol merupakan padatan tidak berwarna, dan bersifat higroskopis.
Phenol merupakan racun protoplasma dan bersifat toksik terhadap segala
jenis sel, kadar phenol yang tinggi akan mengendapkan protein tanpa
koagulasi.
6. NH3 – N (Amonia Total)
Kandungan Ammonia air buangan Industri kayu lapis ini adalah 17 mg/l,
sedangkan baku mutu yang mengatur besar kandungan Ammonia yang
diperbolehkan dibuang ke lingkungan adalah sebesar 4 mg/l.
Amonia adalah senyawa kimia dengan rumus NH 3 . Biasanya senyawa ini
didapati berupa gas dengan bau tajam yang khas (disebut bau ammonia).
Walaupun amonia memiliki sumbangan penting bagi keberadaan nutrisi di
Bumi, namun amonia sendiri adalah senyawa kaustik dan dapat merusak
kesehatan. (sumber : www.id.wikipedia.org)

Gambar 2.1
Struktur Kimia Ammonia
(sumber : www.id.wikipedia.org)

6
II.2 Bangunan Pengolahan Air Buangan
Berdasarkan proses pengolahan, maka pegolahan air buangan di bedakan
menjadi tiga, yaitu:
1. Pengolahan Fisik
Bertujuan untuk menghilangkan partikel diskrit yang dapat mengendap
dengan sendirinya dan zat yang terapung.
2. Pengolahan Kimiawi
Bertujuan untuk menghilangkan partikel koloid baik yang berupa organik
maupun anorganik serta partikel tersuspensi
3. Pengolahan Biologis
Bertujuan untuk menstabilkan air buangan dengan memanfaatkan
mikroorganisme. Pengolahan biologis ini dapat dibedakan menjadi 3
bagian antara lain, pengolahan aerobik. Pengolahan anaerobik dan
pengolahan fakultatif.
Bangunan Pengolahan Air Buangan mempunyai kelompok tingkat
pengolahan, pengolahan air buangan dibedakan atas:

II.2.1 Pengolahan Pendahuluan (Pre Treatment)


Proses pengolahan yang dilakukan untuk membersihkan dan
menghilangkan sampah terapung dari pasir agar mempercepat proses pengolahan
selanjutnya.
Unit pengolahannya meliputi :
a. Sumur pengumpul dan pemompaan.
Sumur pengumpul merupakan unit penyeimbang, sehingga debit dan
kualitas limbah yang masuk ke instalasi dalam keadaan konstan. Pemompaan
digunakan untuk mengalirkan limbah ke unit pengolahan selanjutnya.

7
TABEL 2.1 MACAM-MACAM KARAKTERISTIK POMPA

KlasifikasiUtama Type Pompa Kegunaan Pompa

Kinetik Centrifugal - Air limbah sebelum diolah


- Penggunaan lumpur kedua
- Pembuangan effluent
Peripheral - Limbah logam, pasir lumpur,
air limbah kasar
Rotor - Minyak, pembuangan gas
permasalahan zat-zat kimia
pengaliran lambat untuk air
dan air buangan
Posite Displacement - Pasir, pengolahan lumpur
SCREW
pertama dan kedua
- Air limbah pertama
- Lumpur kasar
Diafragma Penghisap - Permasalahan zat kimia
- Limbah logam
- Pengolahan lumpur pertama
dan kedua (permasalahan
kimia)
Air Lift - Pasir, sirkulasi dan
pembuangan lumpur kedua
Pneumatic Ejektor - Instalasi pengolahan air
limbah skala kecil
(Sumber : Syed R Qasim, “WWTP Planning, Design, and Operation”, 1985,
hal 178 - 179)

Rumus yang digunakan :

td =
Screw Pump
Saluran Pembawa

Pipa inlet
8
V=AxH
dengan :
V = volume sumur pengumpul (m3)
A = luas permukaan sumur pengumpul (m2)
Q = debit air buangan yang dipompa (m3/dt)
td = waktu detensi (dt)
H = kedalaman air (m)
Sumber : Metcalf and Eddy, Wastewater engineering Treatment and Reuse,
McGraw-Hill, Inc, 1991, hal 224.

Screw Pump
Saluran Pembawa

Pipa inlet

Gambar 2.2. Sumur Pengumpul dan Pompa

b. Screening
Screening biasanya terdiri dari batang pararel, kawat atau grating,
perforated plate dan umumnya memiliki bukaan yang berbentuk bulat atau persegi
empat. Secara umum peralatan screen terbagi menjadi dua tipe yaitu screen kasar
dan screen halus dan cara pembersihannya ada dua cara yaitu secara manual dan
mekanis. Perbedaan screen kasar dan halus adalah pada jauh dekatnya jarak antar
bar screen.
 Penyaring kasar (coarse screen)
Screen ini berbentuk seperti batangan paralel yang biasa dikenal dengan “bar
screen”. Berfungsi untuk menyaring padatan kasar yang berukuran dari 6-

9
150 mm, seperti ranting kayu, kain, dan sampah –sampah lainnya. Dalam
pengolahan air limbah screen ini digunakan untuk melindungi pompa, valve,
saluran pipa, dan peralatan lainnya dari kerusakan atau tersumbat oleh benda
– benda tersebut. Bar screen terbagi lagi menjadi dua untuk cara
pembersihannya, yaitu secara manual maupun mekanik.
Manual menggunakan tenaga manusia sedang mekanik menggunakan tenaga
mesin.

Gambar 2.3. Bar Screen Manual Gambar 2.4. Bar Screen Mekanikal

Tabel 2.2 Klasifikasi Screen

Bagian-bagian Manual Mekanikal

Ukuran kisi
- Lebar 05 – 15 mm 05 – 15 mm
- Dalam 25 – 38 mm 25 – 38 mm
Jarak antar kisi 25 – 50 mm 15 – 75 mm
Sloop 300 - 400 00 - 300
Kecepatan melalui bar 0,3 – 0,6 m/det 0,6 – 1,0 m/det
Head Loss 150 mm 150 - 600 mm

(Sumber : tabel 5-2. Metcalf and EddyWWET, and Reuse 4th edition, 2004)

10
 Penyaring halus (fine screen)
Berfungsi untuk menyaring partikel-partikel yang berukuran kurang dari 6
mm. Screen ini dapat di gunakan untuk pengolahan pendahuluan (Pre-
Treatment) maupun pengolahan pertama atau utama (Primary Treatment).
Penyaring halus (Fine Screen) yang digunakan untuk pengolahan
pendahuluan (Premilinary Treatment) adalah seperti, ayakan kawat (static
wedgewire),drum putar(rotary drum),atau seperti anak tangga (step type).
Penyaring halus (Fine Screen) yang dapat digunakan untuk menggantikan
pengolahan utama ( seperti pada pengolahan pengendapan pertama /primary
clarifier) pada instalasi kecil pengolahan air limbah dengan desain kapasitas
mulai dari 0,13 m3/dt. Screen tipe ini dapat meremoval BOD dan TSS.

Tabel 2.3. Klasifikasi Fine Screen


Permukaan Screen
Jenis Klasifika Range Ukuran
Bahan Screen Penggunaan
Screen si Ukuran In Mm
Ayakan kawat yang
Miring 0,01 - 0,25- Pengolahan
Sedang terbuat dari stainless-
(Diam) 0,1 2,5 Primer
steel
0,1 - 2,5 – 5
Ayakan kawat yang Pengolahan
Kasar 0,2
terbuat dari stainless- Pendahuluan
steel.
0,25-
Sedang 0,01 - 2,5
Drum Ayakan kawat yang Pengolahan
0,1
(berputar) terbuat dari stainless- Primer
steel. Meremoval
residual dari
6 -
Stainlees-steel dan suspended
Halus 35µm
kain polyester solid sekunder

Horizontal Sedang 0,06 - 1,6 – 4 Batangan stainless- Gabungan

11
reciprocati dengan saluran
0,17 steel
ng air hujan
Gabungan
1200 Jala-jala yang terbuat
Tangential Halus 0,0475 dengan saluran
µm dari stainless-steel
pembawa

Gambar 2.5.
Inclined Screen

Gambar 2.6. Rotary Drum Screen Gambar 2.7. Fixed Parabolic Screen

 Microscreen berfungsi untuk menyaring padatan halus, zat atau material yang
mengapung, alga, yang berukuran kurang dari 0,5 µm.
Prinsip yang digunakan pada segala jenis screen ini adalah bahan padat
kasar dihilangkan dengan sederet bahan baja yang diletakan dan dipasang
melintang arah aliran. Kecepatan arah aliran harus lebih dari 0.3 m/dt sehingga
bahan padatan yang tertahan di depan saringan tidak terjepit. Jarak antar batang

12
biasanya 20-40 mm dan bentuk penampang batang tersebut empat persegi panjang
berukuran 10 mm x 50 mm. Untuk bar screen yang dibersihkan secara manual,
biasanya saringan dimiringkan dengan kemiringan 60o terhadap horizontal.
biasanya saringan dimiringkan dengan kemiringan 60o terhadap horizontal.

Gambar 2.8. Cara Kerja Screening (Metcalf&Eddy,317)

Screen berfungsi untuk :


1. Menyaring benda padat dan kasar yang ikut terbawa atau hanyut dalam air
buangan supaya benda-benda tersebut tidak menggangu aliran idalam
saluran dan tidak mengganggu proses pengolahan air buangan.
2. Mencegah timbulnya kerusakan dan penyumbatan dalam saluran pembawa
3. Melindungi peralatan seperti pompa, valve dan peralatan lainnya.
(Sumber : Met Calf and Eddy, “ Waste Water Engineering Trethment
Disposal Reuse”4th edition. hal 316)

Tabel 2.9. Faktor bentuk Screen

13
Jenis Bor  Bentuk

- Segi empat sisi runcing 2,42

- Segi empat sisi bulat runcing 1,83

- Segi empat sisi bulat 1,67

- Bulat 1,79

( Sumber : Met Calf and Eddy, “ Waste Water Engineering Trethment


Disposal Reuse”4th edition. hal 316)

Kriteria Rumus (Screen) yang digunakan :

1. Jumlah Batang kisi (n) :

Dengan :

Ws = Lebar saluran, (m)

n = Jumlah batang

r = Jarak antar kisi, (m)


Y
d = Lebar kisi/bar, (m)

2. Lebar Bukaan Screen :

3. Tinggi kisi () X


 = h + Freeboard

dengan :

h = Kedalaman saluran

4. Panjang kisi (P)

14
mbar 2.5 Screen
P=

dengan :

 = Kemiringan kisi

 = Tingggi kisi (m)

5. Jarak kemiringan kisi (x)


x = P . Cos 
dengan :

 = Kemiringan kisi

P = Panjang kisi (m)


6. Kecepatan melalui kisi (Vi) :

7. Tekanan kecepatan air melalui screen :

8. Headloss pada bar screen

dengan :

hf = Headloss (m)

 = Faktor bentuk, direncanakan

d = Lebar muka kisi (m)

r = Jarak antar kisi (m)

hv = Tekanan kecepatan air yang melalui kisi (m/dt)

 = Sudut terhadap h

15
Sumber : Syed R. Qasim, Wastewater Treatment Plants,
Planning,Design, and Operation, 1985, hal 160-161 (Ven Te
Chow, Open Channel Hydraulics, McGraw-Hill,Inc, hal 100)
Pembersihan

1. Pembersihan dilakukan setelah terjadi clogging 50 %


2. Kecepatan penggelontoran (Vc)

Vc =

dengan :

Q = Debit aliran (m3/dt)

Wc = Lebar bukaan screen (m)

h = Tinggi screen

3. Headloss melalui kisi setelah clogging (hVc)

hVc =

dengan :

g = Kercepatan gravitasi (cm/det2)

Vc = Kecepatan aliran (m/dt)

4. Headloss clogging (hfc)


hfc =  . (w / b)4/3 . hVc . Sin 
dengan :

Hfc = Headloss (m)

 = Faktor bentuk, direncanakan

d = Lebar muka kisi (m)

r = Jarak antar kisi (m)

hVc = Tekanan kecepatan air yang melalui kisi (m/dt)

 = Sudut terhadap horizontal

16
c. Comminutor
Comminutor yaitu mesin penghalus/pemarut, berfungsi untuk
menghancurkan padatan kasar yang lolos dari screening, sehingga padatan
tersebut mempunyai ukuran kecil dan seragam serta tidak mengganggu
instalasi dan proses selanjutnya. Comminutor terdiri dari tabung berongga,
terbuat dari besi tuang yang berputar secara kontinyu pada sumbu vertikalnya
dengan/sumber tenaga dari motor listrik. Tabung ini merupakan suatu
saringan yang mempunyai gigi-gigi pemotong yang sangat tajam.

Bahan-bahan padat yang tertahan dimuka tabung yang bergerak oleh


aliran air buangan akan dibawa oleh tabung ke sisi stasioner, dimana padatan
dihaluskan dengan kerjasama antara batang pemotong dan gigi pemotong.
Comminutor dipasang khusus dalam ruangan yang terbuat dari beton, tepat
dibawah comminutor terdapat saluran yang menghubungkan saluran di hulu
dan di hilir. Pemeliharaan rutin comminutor hanya terbatas pada pelumasan
dan penggantian gigi pemotong.

Comminutor umum digunakan di dalam perencanaan bangunan


pengolahan air limbah sederhana, dengan debit kurang lebih sebanyak 0.2 m 3 /
s (5 Mgal / d). Comminutor dipasang di dalam saluran air limbah dengan
material yang berukuran dari 6 – 20 mm (0.25 – 0.77 in) tanpa adanya
removal pada air limbah tersebut.
(Sumber : Metcalf & Eddy, ”Wastewater Engineering Treatment and Reuse”,
4nd edition, hal 331)

17
Gambar 2.10.
Communitor

Rumus yang digunakan :


Perhitungan pada comminutor didasarkan pada tabel. Alat ini merupakan alat
mekanis buatan pabrik yang dapat dipesan dengan ukuran yang ada standart
menurut debitnya. Removal untuk BOD dan TSS adalah 20 – 35 %.

Tabel 2.5. Kapasitas dan Ukuran Comminutor

Over All Capasities (MGD)


No Size of Motor
Controlled Discharge Free Discharge

7B ¼ 0,00 – 0,35 0,00 – 0,30

10A ½ 0,17 – 2,20 0,17 – 1,50

15M ¾ 0,40 – 4,60 0,40 – 2,80

25M 1,5 1,00 – 10,00 1,00 – 7,60

25A 1,5 1,50 – 20,00 1,00 – 14,00

35A 2 1,50 – 40,00 1,50 – 25,00

54A Separatly desaign for all job

Sumber : Elwyn E. Seelye, Design, 3rd ed, 1960, hal 19-05

18
II.2.2. Pengolahan Pertama (Primary Treatment)
Pada tingkat ini umumnya mampu mereduksi BOD antara 25 – 30 % dan
mereduksi TSS 50 – 60 %. Pada proses ini terjadi proses fisik dengan unit
pengolahan meliputi:
a. Grit Chamber
Fungsinya adalah untuk mengendapkan grit atau padatan tersuspensi
yang berdiameter > 0,2 mm, seperti pasir, pecahan logam atau kaca dan
butiran kasar lainnya. Kecepatan horisontal pada grit chamber harus konstan.
Penghilangan grit dimaksudkan agar tidak terjadi penyumbatan di dalam pipa
akibat adanya endapan kasar didalam saluran. Alat ini dapat berupa
proportional weir atau pharshall flume. Pengendapan yang terjadi pada proses
ini adalah secara gravitasi.

Ada dua jenis grit chambers :

1. Horizontal Flow Grit Chamber


Debit yang melalui saluran ini mempunyai arah horizontal dan
kecepatan aliran dikontrol oleh dimensi dan unit yang digunakan atau
melalui penggunaan weir khusus pada bagian effluen.

19
Tabel 2.6 Kriteria Perencanaan untuk aliran Horizontal Grit Chamber
U.S. CUSTOMARY
  UNITS SI UNITS
ITEM UNIT RANGE TYPE UNIT RANGE TYPE
Waktu tinggal (td) S 45 - 90 60 s 45 – 90 60
0.25 -
Kecepatan horizontal ft/s 0.8 - 1.3 1 m/s 0.4 0.3
Kecepatan mengendap
untuk removal dari :      
0.21 mm (65-mesh)
material ft/min 3.2 - 4.2 3.8 m/min 1.0 - 1.3 1.15
0.15 mm (65-mesh)
material ft/min 2.0 - 3.0 2.5 m/min 0.6 - 0.9 0.75
Prosentase headloss di
dalam zona sludge % 30 - 40 36 % 30 – 40 36
Panjang turbulen inlet dan
outlet % 25 - 50 30 % 25 – 50 30
(Sumber : Metcalf & Eddy, ”Wastewater Engineering Treatment and
Reuse”, 4nd edition, hal 385)

Gambar 2.11. Horizontal Grit Chamber

2. Aerated Grit Chamber


Tabel 2.7 Kriteria Perencanaan Grit Chamber Tipe Aerated

20
  U.S. CUSTOMARY UNITS SI UNITS
ITEM UNIT RANGE TYPE UNIT RANGE TYPE
Waktu tinggal
pada puncak aliran min 2-5 3 min 2-5 3
Dimensi :  
Tinggi ft 7-16 M 2-5  
Panjang ft 25-65 M 7.5-20  
Lebar ft 8-23 M 2.5-7  
Rasio tinggi – 1:1 sampai
lebar rasio 5:1 1.5:1 rasio 1:1 sampai 5:1 1.5:1
Rasio panjang – 3:1 sampai
tinggi rasio 5:1 4:1 rasio 3:1 sampai 5:1 4:1
Penambahan udara
per unit dari ft/ft- m/m-
panjang min 3-8 min 0.2-0.5  

Jumlah padatan ft/Mgal 0.5-27 2 m/10 m 0.004-0.20 0.015


(Sumber : Metcalf & Eddy, ”Wastewater Engineering Treatment and Reuse”, 4nd
edition, hal 389)

Gambar 2.12. Aerated Grit Chamber

21
Kriteria Rumus (Grit Chamber) yang digunakan :
1. Kecepatan pengendapan partikel, dengan menggunakan Hk. Stoke :

(Qasim, 1985)

dengan :
Vs = Kecepatan pengendapan partikel (cm/det)
p = Diameter partikel (cm)
g = Kecepatan gravitasi (cm/det2)
u = Kecepatan absolute (gr/cm.det)
p = Density partikel
 = Density air
v = Viskositas kinematis (cm2/det)
Ss = Spesific gravity
2. Proportional Weir
Merupakan outlet dari grit chamber yang digunakan untuk memisahkan
buangan yang sudah terbebas dari pasir dan juga berfungsi sebagai pengukur
debit yang keluar dari grit chamber

a.

dengan : Q dalam cfs

22
TABEL 2.8. Nilai Y/a dan X/b
TABEL NILAI Y/a dan X/b

 Y/a X/b  Y/a X/b  Y/a X/b

0,1 0,805 1,0 0,500 10 0,195

0,2 0,732 2,0 0,392 12 0,179

0,3 0,681 3,0 0,333 14 0,166

0,4 0,641 4,0 0,295 16 0,156

0,5 0,608 5,0 0,268 18 0,147

0,6 0,580 6,0 0,247 20 0,140

0,7 0,556 7,0 0,230 25 0,126

0,8 0,536 8,0 0,216 30 0,115

0,9 0,517 9,0 0,205    

23
Gambar 2.13. Proportional Weir
a. Bak Equalisasi
Berfungsi untuk mengendapkan butiran kasar dan merupakan unit
penyeimbang, sehinggga debit dan kualits air buangan yang masuk ke
instalasi pengolahan dalam keadaan seimbang dan tidak berfluktuasi.

Gambar 2.14. Potongan Memanjang Bak Equalisasi

b. Flotasi
Berfungsi untuk memisahkan partikel-partikel suspensi, seperti minyak,
lemak dan bahan-bahan apung lainnya yang terdapat dalam air limbah dengan
mekanisme pengapungan.
Berdasarkan mekanismenya pemisahannya :

24
1. Bisa berlangsung secara fisik, yaitu tanpa penggunaan bahan untuk
membantu percepatan flotasi, hal ini bisa terjadi karena partikel-partikel
suspensi yang terdapat dalam air limbah akan mengalami tekanan ke atas
sehingga mengapung di permukaan karena berat jenisnya lebih rendah
dibanding berat jenis air limbah.
2. Bisa dilakukan dengan penambahan bahan, yaitu : Udara atau bahan
polimer yang diinjeksikan ke dalam cairan pembawanya, yang dapat
mempercepat laju partikel ringan menuju permukaan. Untuk keperluan
flotasi, udara yang diinjeksikan jumlahnya relatif sedikit (0,2 m3 udara)
untuk setiap m3 air limbah. Semakin kecil ukuran gelembung udara maka
proses flotasi akan semakin sempurna.

Skimmer
Skimmed
ws
Solids
Air
PRV
Flotation Tank
Effluent

Feed
Pump Air Dissolution Tank

Gambar 2.15. Tangki Flotasi


Terdapat beberapa mekanisme kontak gelembung gas dan partikel (Vrablik, 1959;
Rich, 1974), antara lain :
a. Pengapungan
Gelembung gas akan naik ke atas dan tertangkap oleh struktur material
flokulen. Ikatan yang terjadi anatara gelembung gas dan partikel hanyalah
penangkapan secara fisik.

25
b. Penyerapan
Mekanisme ini terjadi karena penyerapan gelembung gas kedalam struktur
flokulen padat tersuspensi sehingga membentuk flokulen baru.
c. Pelekatan
Pelekatan terjadi karena adanya gaya tarik antara molekuler yang
dipergunakan pada suatu permukaan antara dua fasa dan mengakibatkan
tegangan permukaan.
Sedangkan empat metoda flotasi (Gaudin, 1957; Rich, 1974; Degremont, 1979) :
1. Spontaneous Flotation.
Flotasi spontan terjadi bila massa jenis partikel lebih kecil dari massa jenis
air. Cara ini dipergunakan untuk pemisahan minyak dari proses refinery.
2. Dispersed Air Flotation (AF).
Pada system dispersed air flotation, gelembung udara terbentuk karena
adanya tekanan udara yang masuk kecairan melalui diffuser atau impeller
berputar. Ukuran gelembung udara yang dihasilkan biasanya begitu besar
(1000 micron).

Gambar 2.16. Dispersed air flotation unit

26
3. Vacuum Flotasi (VF).
Melibatkan pelarutan udara di dalam air buangan pada tekanan 1 atm,
kemudian divacuumkan dengan tekanan yang lebih rendah maka akan
menurunkan kelarutan udara dalam air, udara akan keluar dari larutan
dalam bentuk gelembung yang halus.
4. Dissolved Air Flotation.
Pada system (DAF), udara dilarutkan didalam cairan di bawah tekanan
beberapa atmosfir sampai jenuh, kemudian dilepaskan ke tekanan
atmosfir. Akibat terjadinya perubahan tekanan maka udara yang terlarut
akan lepas kembali dalam bentuk gelembung yang halus (30-120 mikron).
Ukuran gelembung udara sangat menentukan dalam proses flotasi,
makin besar ukuran gelembung udara, kecepatan naiknya juga makin
besar, sehingga kontak antara gelembung udara dengan partikel tidak
berjalan dengan baik. Dengan demikian proses flotasi menjadi tidak
efektif.

Enabble diameter, mm
Grafik 2.1 Hub. Antara ukuran gelembung udara terhadap kec. naik ke
permukaan (degremond, 1979)

(Sumber : Metcalf and Edy, Reuse, 4th edition, hal 421.)

27
Gambar 2.17. Dissolved air flotation unit
(a) without recycle (b) with recycle

Kriteria Rumus (Flotasi) yang digunakan :


a. Volume bak (Vol)
V = Qtot × td
Dengan :
V = Volume bak
Qtot = Debit
Td = Waktu detensi
b. Dimensi bak
Vol = P × L × H

28
Dengan :
Vol = Volume bak
P = Panjang bak
L = Lebar bak
H = Kedalaman bak
c. Debit Minyak dan Lemak
a) Berat Minyak dan Lemak
b) Q minyak = Berat minyak
ρ
c) Qeffluent = Qin – Qminyak
d) Minyak dan Lemak teremoval = Influent × % Removal
d. Tekanan Udara (P)
e. Kebutuhan Udara (A)
f. Pipa Outlet
g. Saluran Pelimpah Minyak dan Lemak (Gutter)
h. Baffle
i. % Penurunan Minyak dan Lemak
1. Tekanan pada atm

P=

dengan :
P = Gage pressure, lb/in2 gage, 275 – 350 (kPa)

= ( U.S. customary units )

= ( SI units )

2. Debit Recycle (R)


a. Operasi tanpa resirkulasi

(A/S) =

b. Operasi dengan Resirkulasi

29
A/S =

dengan :
A/ S = Perbandingan udara dengan padatan, 0,005 – 0,06
(mL udara/mg padatan)
Sa = Kelarutan udara (mL/L)
Temp.,º C 0 10 20 30
Sa, mL/L 29,2 22,8 18,7 15,7

f = Fraksi udara terlarut pada tekanan P, biasanya 0,5–0,8


P = Tekanan (atm)
Q = Debit Aliran ( m3/hr )

(Industrial Water Pollution Control 2nd edition,W.Wesley


Eckenfelder,Jr.)

3. Debit total (Qtot)


Qtot = Qflotasi + R
dengan :
Q = Debit (m3/hr)
R = Debit recycle (m3/hr)
4. % Recycle
% R = (R / Q) x 100 %
dengan :
Q = Debit (m3/hr)
R = Debit recycle (m3/hr)
5. Luas permukaan (A)

A=

dengan :
SLR = Surface Loading Rate, 8 – 160 l/m2 menit

30
( Sumber: Metcalf and Eddy, Wastewater Engineering Treatment,
Disposal,and Reuse, McGraw-Hill, Inc, 1991, hal 426 )

a. Volume bak (V)


V = Qtot . td
dengan :
td = Waktu detensi,
20 – 30 menit
b. Dimensi bak
Volume = P . L . h
dengan :
P = Panjang (m)
L = Lebar (m)
h = Kedalaman (m)
6. Jari-jari Hidrolis (R)

R=

7. Kecepatan di Bak Flotasi (V)

V =

8. Headloss (Hf)

Hf =

n beton = 0,015
9. Minyak & Lemak teremoval
= Influent x % Removal
% Removal di Bak Flotasi = 80% - 90%
(Sumber :Metcalf & Eddy,1979,hal 420)
Effluent Minyak dan Lemak dari Bak Flotasi
= Influent – Minyak & Lemak teremoval
10. Bak Pengumpul Minyak

31
a.Debit minyak (Qmi)

Qmi =

dengan :
 = Densitas Minyak(kg/m3) = 0,8 kg/lt
b. Volume minyak (Vmi)
Vmi = Qmi . td
c.Dimensi bak

Panjang bak (P) =

dengan :
L = Lebar bak flotasi (m)
H = Kedalaman, direncanakan (m)
d. Tinggi air diatas bak pengumpul minyak (H)
Q = 2/3 . Cd . . B . H3/2 H
dengan :
Q = Debit (m3/dt) h
Cd = Koef. Konstraksi, 0,75
B = Lebar bak
b
11. Saluran Pelimpah air (Gutter)
Gambar 2.18. Tinggi air diatas
Lebar Gutter (B) = Lebar Bak Flotasi
bak Flotasi
a.Tinggi air diatas gutter (H)
Q = 2/3 . Cd . . B . H3/2 H

dengan :
h
Q = Debit (m3/dt)
Cd = Koef. Konstraksi, 0,75
B = Lebar bak b
12. Baffle Gambar 2.19. Tinggi air
a. Kecepatan belokan (Vb) diatas gutter

Vb =

dengan :

32
Qtot = Q + R (Q flotasi) (m3/dt)
B = Lebar bak flotasi, (m)
L = Jarak baffle dengan gutter, direncanakan (m)
Baffle
b. Jari – jari hydrolis (R) P
h
R=

c. Headloss (Hf)

Hf = Gambar 2.20. Baffle

c. Bak Pengendap I
Effisiensi removal dari bak pengendap pertama ini tergantung dari
kedalaman bak dan dipengaruhi oleh luas permukaan serta waktu detensi. Unit
pengolahan bak pengendap I ini berfungsi untuk memisahkan padatan tersuspensi
dan terlarut dari cairan dengan menggunakan sistem gravitasi dengan syarat
kecepatan horizontal partikel tidak boleh lebih besar dari kecepatan pengendapan.
Skimmer yang ada pada bak pengendap I digunakan untuk tempat pelimpah
minyak dan lemak yang mengambang.

33
Gambar 2.21. Bak Pengendap Rectangular.
(a) Denah, (b) Potongan ( Tom D. Reynold,249 )
Kriteria Rumus (Bak Pengendap I) yang digunakan :
1. Setling Zone
Untuk proses pengendapan atau pemisahan partikel dari buangan.
a) Kecepatan pengendapan partikel, mengikuti hukum Stokes.

dengan :
Vs = Kecepatan pengendapan partikel (cm/det)
g = Percepatan gravitasi (cm/det2)
Ss = Spesifik gravity

34
v = Viskositas kinematik (cm2/det)
dp = Diameter partikel (cm)
b) Check terjadinya penggerusan

dengan :
 = Faktor friksi porositas : 0,02 – 0,12
 = Faktor friksi hidrolis : 0,03
s = Spesifik gravity
Dimana bila Vsc > Vh maka tidak terjadi penggerusan.
c) Check terjadinya aliran pendek, ditentukan oleh Froude Number
(NFr)

dengan :
Vh = Kecepatan horizontal (cm/det)
R = Jari-jari hidrolis
Jika NFr > 10-5 tidak akan terjadi aliran pendek.

d) Check terjadinya aliran turbulensi ditentukan oleh Reynold


Number.

Bila Nre < 2000 untuk mencegah terjadinya aliran turbulensi.


2. Inlet Zone
Untuk memperluas aliran dari effluen ke settling zone.
Bila dipergunakan multiple openning :

dengan :
Q = Debit air buangan (m3/detik)
c = Faktor kontraksi 0,6
A = Luas area total m2

35
H = Beda tinggi air di saluran dan di bak.
3. Outlet Zone
Zone ini dibatasi oleh beban pelimpah yang merupakan banyaknya air
yang melimpah perpanjang perperiode waktu.
a) Penentuan panjang weir :

b) Tinggi diatas air weir :

dengan :
L = Panjang weir (m)
H = Tinggi air diatas weir (m)
4. Sludge Zone
Untuk menampung material terendap dalam bentuk lumpur. Ruang
lumpur berbentuk limas terpancung.

dengan :
A = Luas bagian atas limas (m2)
A’ = Luas bagian bawah limas (m2)
(Sumber : Huisman, L, Prof. Ir., Sedimentation and Flotation)

d. Koagulasi-Flokulasi
Tingkat pengolahan air buangan selalu meningkat karena
perkembangan industri yang kompleks dan meningkatnya populasi penduduk.
Populasi yang ada dalam air terdiri dari bahan-bahan organik dan an-organik
terlarut, bakteri dan plankton, dan bahan an-organik yang tersuspensi.
Komponen kasar seperti pasir dan lumpur dapat dipisah dengan cara
pengendapan secara sederhana, sedangkan partikel-partikel halus tidak dapat
dipisah dengan cara sederhana tetepi harus dilakukan flokulasi untuk
menghasilkan partikel besar yang dapat dipisahkan. Koloid adalah substans

36
yang berdiameter 0.1 milimikcron-100 milimicron yang sukar dipisahkan
dengan cara sedimentasi sederhana. Untuk dapat mengatasinya(hydroxide)
yang bermuatan positif. Hydroxide ini akan menetralisir koloid yang
bermuatan negatif.

Koagulasi dapat didefinisikan sebagai proses pembentukan partikel


tak stabil dan penggabungan awal dari partikel awal tak stabil dengan cara
penambahan bahan kimia yang disebut koagulan. Untuk keperluan ini
diperlukan energi yang cukup besar dalam waktu yang relatif singkat yaitu
antara 20-60 detik, dengan gradien kecepatan 0,05 – 2,0 ft/ detik. Flokulasi
adalah transportasi partikel tak stabil sehingga terjadi kontak antara partikel.
Pada flokulasi dilakukan pengadukan lambat untuk mengabungkan partikel
yang tidak stabil sehingga membentuk flok yang cepat mengendap.

Pengolahan dengan proses koagulasi selalui diikuti proses flokulasi.


Fungsi dari proses koagulasi untuk memberikan koagulan(alumunium sulfat,
garam besi, dan kalium hidroksida) pada air buangan. Sedangkan fungsi dari
proses flokulasi adalah untukm membentuk flok-flok. Perbedaan proses
flokulasi dan koagulasi pada kecepatan pengadukannya, proses koagulasi
memerlukan yang relatif cepat dibanding proses flokulasi.

Jenis-jenis koagulan yang sering digunakan adalah:


a. Koagulan Alumunium Sulfat
Alumunium sulfat dapat digunakan sebagai koagulan dalam pengolahan
air buangan. Koagulan ini membutukkan kehadiran alkalinitas dalam air
untuk membentuk flok. Dalam reaksi koagulasi, flok alum dituliskan
sebagai Al(OH)3. Mekanisme koagulasi ditentulkan oleh pH, konsentrasi
koagulan dan konsentrasi koloid. Koagulan dapat menurunkan pH dan
alkalinitas karbonat. Rentang pH agar koagulasi dapat berjalan dengan
baik antara 6-8. Didalam air koagulan alum akan mengalami proses
disosiasi, hidrolisa dan polimerisasi.
Reaksi disosiasi:
Al2(SO4)3 2Al³. 3SO4²-

37
Reaksi hidrolisa:
Al2(SO4)3 + 6H2O 2Al(OH)3 +3H2SO4
Reaksi polimerisai ion komplek
[Al(H2O)6]3+ + H+O [Al(H2O)5 OH]2+ +H2O
[Al(H2O)5 OH]2+ +H2O [Al(H2O)4 (OH)2]4+ +H2O

b. Koagulan Ferri Clorida


c. Koagulan Chlorinated Copperas (Fe(SO4)3), Fe Cl3 . 7H2O
d. Koagulan Poly Aluminium Chloride(PAC)
Komponen-komponen pengaduk lambat/mekanismnya diantaranya adalah:
- Impeler
- Motor
- Controller
- Reducer
- Sist Transmisi
- Shaft
- Bearing
Kendala yang yang ada pada pengaduk lambat adalah:
- Kurang Fleksibel Terhadap Perubahan Kualitas Air Baku
- Sulit Beradaptasi Terhadap Perubahan Debit
- Headloos Besar
Jenis-jenis flokulasi, yaitu:
1. Flokulasi mekanis
2. Flokulasi hidrolis
- Baffle channel flocculator
- Gravel bed flocculator
- Hidrolic jet flokulator
3. Flokulasi pneumatis
Pengolahan dengan proses koagulasi selalu diikuti dengan proses
flokulasi. Pengolahan dengan cara ini diperlukan untuk mengolah limbah

38
yang tingkat kekeruhannya cukup tinggi yang disebabkan oleh zat
pencemar.
Perbedaan proses koagulasi dengan flokulasi adalah pada
kecepatan pengadukannya. Koagulasi diperlukan pengadukan yang relatif
cepat sedangkan flokulasi pengadukannya secara perlahan.

Gambar 2.22. Koagulasi – Flokulasi


Sumber: Tom D. Reynold, Unit Operations & Processes In Environmental
Engineering, 2nd edition, hal. 166 - 203

e. Netralisasi
Air buangan industri dapat bersifat asam atau basa/alkali, maka sebelum
diteruskan ke badan air penerima atau ke unit pengolahan secara biologis
dapat optimal. Pada sistem biologis ini perlu diusahakan supaya pH berbeda
diantara nilai 6,5 – 9,0. Sebenarnya pada proses biologis tersebut
kemungkinan akan terjadi netralisasi sendiri dan adanya suatu kapasitas
buffer yang terjadi karena ada produk CO 2 dan bereaksi dengan kaustik dan
bahan asam.

Larutan dikatakan asam bila : H+ > H- dan pH < 7

Larutan dikatakan netral bila : H+ = H- dan pH = 7

Larutan dikatakan basa bila : H+ < H- dan pH > 7

Ada beberapa cara menetralisasi kelebihan asam dan basa dalam limbah cair,
seperti :

- Pencampuran limbah.
- Melewatkan limbah asam melalui tumpukan batu kapur.

39
- Pencampuran limbah asam dengan Slurry kapur.
- Penambahan sejumlah NaOH, Na2CO3 atau NH4OH ke limbah asam.
- Penambahan asam kuat (H2SO4,HCl) dalam limbah basa.
- Penambahan CO2 bertekanan dalam limbah basa.
- Pembangkitan CO2 dalam limbah basa.

Gambar 2.23. Netralisasi


Sumber: Eckenfelder Jr., Industrial Water Pollution Control, 2 nd edition, hal. 48
- 53

II.2.3. Pengolahan Sekunder (Secondary Treatment)


Pengolahan sekunder akan memisahkan koloidal dan komponen organik
terlarut dengan proses biologis. Proses pengolahan biologis ini dilakukan secara
aerobik maupun anaerobik dengan efisiensi reduksi BOD antara 75 - 90 % serta
90 % SS.
Macam-macam pengolahan sekunder adalah:
1. Pengolahan lumpur aktif (aktivated sludge)
Untuk mengubah buangan organik, menjadi bentuk anorganik yang lebih
stabil dimana bahan organik yang lebih terlarut yang tersisa setelah
prasedimentasi dimetabolisme oleh mikroorganisme menjadi CO2 dan H2O,
sedang fraksi terbesar diubah menjadi bentuk anorganik yang dapat
dipisahkan dari air buangan oleh sedimentasi. Adapun proses didalam
activated sludge, yaitu :

40
a. Kovensional
Pada sistem konvensional terdiri dari tanki aerasi, secondary clarifier dan
recycle sludge. Selama berlangsungnya proses terjadi absorsi, flokulasi
dan oksidasi bahan organik

Raw water/primary
effluent
Secondary
Clarifier
Efl

Reaktor
Sludge Wasr
Sludge return

Gambar 2.24. Activated sludge sistem konvensional

b. Nonkovensional
1) Step aerasi
- Merupakan type plug flow dengan perbandingan F/M atau subtrat
dan mikroorganisme menurun menuju autlet.
- Inlet air buangan masuk melalui 3 - 4 titik ditanki aerasi dengan
masuk untuk menetralkan rasio subtrat dan mikroorganisme dan
mengurangi tingginya kebutuhan oksigen ditik yang paling awal.
- Keuntungannya mempunyai waktu detensi yang lebih pendek

41
Udara Secondary
clarifier
influent

Sludge
Sludge return Waste

Gambar 2.25. Step Aerasi

2) Tapered Aerasi
Hampir sama dengan step aerasi, tetapi injeksi udara ditik awal lebih
tinggi.

Udara
Secondary
clarifier
influent

reaktor

Sludge
Sludge return
Waste

Gambar 2.26. Tapered Aeration

3) Contact Stabilisasi
Pada sistem ini terdapat 2 tanki yaitu :
- Contact tank yang berfungsi untuk mengabsorb bahan organik
untuk memproses lumpur aktif.
- Reaeration tank yang berfungsi untuk mengoksidasi bahan organik
yang mengasorb ( proses stabilasi ).

42
contact tank Secondary clarifier

influent

reaktor

Udara

Gambar 2.27. Contact Stabilisasi

4) Pure Oxygen
Oksigen murni diinjeksikan ke tanki aerasi dan diresirkulasi.
Keuntungannya adalah mempunyai perbandingan subtrat dan
mikroorganisme serta volumetric loading tinggi dan td pendek.

O2 murni resirkulasi O2

secondary
clarifier

reaktor
sludge
sludge return waste

Gambar 2.28. Pure Oxygen

43
5) High Rate Aeration
Kondisi ini tercapai dengan meninggikan harga rasio resirkulasi, atau
debit air yang dikembalikan dibesarkan 1 - 5 kali. Dengan cara ini
maka akan diperoleh jumlah mikroorganisme yang lebih besar.

Secondary
clarifier
Effluent
influent

reaktor
Sludge
Sludge return waste

Gambar 2.29. High Rate Aeration

6) Extended Aeration
Pada sistem ini reaktor mempunyai umur lumpur dan time detention
(td) lebih lama, sehingga lumpur yang dibuang atau dihasilkan akan
lebih sedikit.

Secondary clarifier
raw water/primary
influent Effluent

reaktor
Sludge
Sludge return waste

Gambar 2.30. Extended Aeration


7) Oxidation Dicth
Bentuk oksidation ditch adalah oval dengan aerasi secara mekanis,
kecepatan aliran 0,25 - 0,35 m/s.

44
Influent

Sludg
e
return
Aerato
Effluent
r

Secondary
Clarifier

Gambar 2.31. Oxidation Dicth

Kriteria Rumus (Activated Sludge) yang digunakan :


1. Nilai Koefisien pada Suhu T
kT = k20.θ (T-20) (Metcalf,679)
Dengan :
- kT = Nilai koefisien pada suhu T
- k20 = Nilai koefisien pada suhu 20 ˚C
- θ = Koefisien temperatur aktif
- T = Suhu air buangan
2. Perhitungan Konsentrasi Lumpur Recycle (Xr)

SVI = (Metcalf,685)

Xr =

Dengan :
- SVI = Sludge Volume Index (mL/g)
- Vol. = Lumpur mengendap setelah 30 menit, (mL/L)
- MLSS = Mixed Liquor Suspendid Solid (mg/L)
- Xr = Konsentrasi lumpur recycle (mg/L)
3. Debit Recycle (QR)
Xr . QR = X (Q + QR) (Metcalf,692)

45
Dengan :
- Xr = Konsentrasi lumpur recycle (mg/L)
- QR = Debit Recycle (m3/s)
- X = MLSS (mg/L)
- Q = Debit air buangan (m3/s)
4. Volume Reaktor

V= (Archeivala,83)/PBI Putu Wesen

Dengan :
- V = Volume bak aerasi (m3)
- Qin = Debit air buangan masuk ke bak aerasi (m3/dtk)
- θc = Umur Lumpur (hari)
- Y = Koefisien Batas Pertumbuhan (mgVss/mgBOD)
- So = Konsentrasi BOD influent (mg/L)
- S = Konsentrasi BOD effluent (mg/L)
- X = MLSS (mg/L)
- Kd = Koefisien Endogeneous (hari)
5. Debit masuk (Qin)
Qin = Q + QR
Dengan :
- Qin = Debit air buangan masuk ke bak aerasi (m3/s)
- Q = Debit air buangan (m3/s)
- QR = Debit Recycle (m3/s)
6. Dimensi Bak Aerasi (Cek Volume)
V=P.L.H
Dengan :
- V = Volume bak aerasi (m3)
- P = Panjang bak aerasi (m)
- L = Lebar bak aerasi (m)
- H = Tinggi bak aerasi (m)
7. Cek Td

46
Td =

Dengan :
- Td = Waktu tinggal di bak aerasi (s)
- V = Volume bak aerasi (m3)
- Q = Debit air masuk bak aerasi (m3/s)
8. Cek Rasio (F/M)

F/M = (Metcalf,679)

Dengan :
- F/M = Food to Microorganisme ratio
- Q = Debit air masuk bak aerasi (m3/s)
- So = Konsentrasi BOD influent (mg/L)
- V = Volume bak aerasi (m3)
- X = MLSS (mg/L)
9. Cek Volumetrik Loading (Lorg)

Lorg = (Metcalf,679)

Dengan :
- Lorg = Volumetrik organic Loading (kg.BOD5 / m3.hari)
- Q = Debit air masuk bak aerasi (m3/hari)
- So = Konsentrasi BOD influent (mg/L)
- V = Volume bak aerasi (m3)
10. Efisiensi (E)

E= (Qasim,305)

Dengan :
- E = Efisiensi / persen removal (%)
- So = Konsentrasi BOD influent (mg/L)
- S = Konsentrasi BOD effluent (mg/L)
11. Power Impeller
P = W . V karena W = G2 . µ

47
maka, P = G2 . µ . V (Reynold.190)
Dengan :
- P = Power Impeller (N.m/dtk)
- V = Volume bak aerasi (m3)
- G = Gradien kecepatan (/dtk)
- µ = Viskositas Absolute (N.dtk/m2)
12. Diameter Impeller

Di = (Reynold.191)

Dengan :
- Di = Diameter Impeller (m)
- P = Power Impeller (N.m/dtk)
- KT = Konstanta
- n = Kecepatan Impeller (Turbine) , (rps)
- ρ = Massa Jenis air pada suhu T˚C (kg/m3)
13. Cek NRe

NRe =

Dengan :
- NRe = Nilai bilangan Reynold
- Di = Diameter Impeller (m)
- n = Kecepatan Impeller (Turbine) , (rps)
- γ = Densitas air (gms/cm3)
- μ = Viskositas Absolute (N.dtk/m2)
14. Jumlah Produksi Lumpur

Px = (Lien,1548)/ PBI Putu Wesen

Dengan :
- Yobs = Koefisien hyield observasi (g/g)

48
- Y = Koefisien Batas Pertumbuhan (mgVss/mgBOD)
- Kd = Koefisien Endogeneous (hari)
- θc = Umur Lumpur (hari)
- Px = Produksi Lumpur (kg/hari)
- Q = Debit air buangan masuk ke bak aerasi (m3/dtk)
- So = Konsentrasi BOD influent (mg/L)
- S = Konsentrasi BOD effluent (mg/L)
15. Jumlah oksigen yang diperlukan/hari

Kg O2/hari =

(Lien,1544)/ PBI Putu Wesen


Dengan :
- Kg O2/hari = Jumlah oksigen yang diperlukan/hari (kg/hari)
- Q = Debit air buangan masuk ke bak aerasi (m3/dtk)
- So = Konsentrasi BOD influent (mg/L)
- S = Konsentrasi BOD effluent (mg/L)
- f = Faktor konversi BOD5 ke BOD0 0,67 (Lien,1549)
- Yobs = Koefisien hyield observasi (g/g)
- So = Konsentrasi NH3 influent (mg/L)
- S = Konsentrasi NH3 effluent (mg/L)
16. Kebutuhan Udara Teoritis

Udara = (Lien,1550)/ PBI Putu Wesen

Dengan :
- Udara = Kebutuhan Udara Teoritis (m3/hari)
- Kg O2/hari = Oksigen yang diperlukan/hari (kg/hari)
- γ.udara = Densitas udara , 1,202 kg/m3 (Lien,1550)
- % O2 di udara = 23,2%
17. Kebutuhan Udara

Keb.Udara =

49
(Lien,1550) / PBI Putu Wesen
Dengan :
- Keb.Udara = Kebutuhan Udara (m3/hari)
- Udara = Kebutuhan Udara Teoritis (m3/hari)
- Efisiensi difusi udara = 8%
18. Total kebutuhan udara
Total Keb.Udara = Keb.Udara x Safety Faktor (PBI Putu Wesen)
Dengan :
- Total Keb.Udara = Total kebutuhan udara (m3/hari)
- Keb.Udara = Kebutuhan Udara (m3/hari)
19. Removal TSS

%Removal =

Berat TSS = (TSSin - TSSout) . Q


Dengan :
- %Removal = Efisiensi / persen removal (%)
- TSSin = Konsentrasi TSS influent (mg/L)
- TSSout = Konsentrasi TSS effluent (mg/L)
- Q = Debit air buangan (m3/hari)
- Berat TSS = Jumlah TSS (kg/hari)
20. Pipa Inlet
Vin.AS = V.out.BP

Qin = ; Din =

Dengan :
- Din = Diameter Pipa Inlet (m)
- Qin = Debit Inlet Bak Activated Sludge (m3/dtk)
- Vin = Kecepatan aliran pipa inlet (m/dtk)
- Σbak = Jumlah Bak Activated Sludge
21. Pipa Outlet

50
Qout = ; Dout =

Dengan :
- Dout = Diameter Pipa Outlet (m)
- Qout = Debit Outlet Bak Activated Sludge (m3/dtk)
- Vout = Kecepatan aliran pipa Outlet (m/dtk)
- Σbak = Jumlah Bak Activated Sludge
22. Pipa Resirkulasi

Qr = ; Dr =

Dengan :
- Dr = Diameter Pipa Resirkulasi (m)
- Qr = Debit Resirkulasi Bak Activated Sludge (m3/dtk)
- Vr = Kecepatan aliran pipa Resirkulasi (m/dtk)
- Σbak = Jumlah Bak Activated Sludge
23. Design Blower

Kebutuhan Blower =

25. Pompa Resirkulasi


a. Kecepatan Pompa (V)
Q = VxA (Spellman,14.2)

karena → A = x D2

V =

V =

Dengan :
- V = Kecepatan Pompa (m/dtk)
- Q = Debit aliran (m3/dtk)
- D = Diameter Pompa (m)

51
b. Headloss Mayor (Hf.Mayor)

Q = 0,278 x C x D2,63 (Qasim,183)

Hf =

Dengan :
- Hf = Headloss mayor (m)
- L = Panjang pipa (m)
- Q = Debit aliran (m3/dtk)
- C = Koefisien kecepata aliran
- D = Diameter pipa (m)
c. Headloss Minor (Hf.Minor) (Qasim,182)

Hf.m = Kx

Dengan :
- Hf.m= Headloss minor (m)
- K = Koefisien Headloss
- V = Kecepatan pompa (m/dtk)
- g = Percepatan gravitasi (9,81 m/dtk2)
d. TH = Hs + Hf total + Hf.m total (Qasim,182)
Dengan :
- TH = Total Head (m)
- Hs = Head static (m)
- Hf total = total Headloss mayor (m)
- Hf.m total = total Headloss minor (m)
c) Nitrifikasi – Denitrifikasi
1. Nitrifikasi
Nitrifikasi merupakan proses konvensi nitrogen ammonia menjadi nitrat.
Nitrifikasi menjadi salah satu proses yang sangat penting untuk diperhatikan hal
itu disebabkan karena :

52
- Air limbah yang banyak mengandung N organik cenderung
merangsang pertumbuhan alga yang pada akhirnya akan menimbulkan
eutrophikasi diperairan.
- Adanya nitrifikasi akan menyebabkan turunnya konsentrasi
oksigen terlarut (DO), disebabkan karena pada setiap tahap reaksi dalam
nitrifikasi akan mengkonsumsi DO.
- NH4 juga bersifat tixic atau beracun terhadap kehidupan aquatic.
- NH4 juga mengkonsumsi dosis khlorine yang berakibat naiknya
kebutuhan chlor untuk desinfektan.
- Tingginya kandungan N pada limbah cair industri penyamakan
kulit.
Proses konveksi nitrogen ammonia menjadi nitrat melibatkan bakteri
autrotrof. Bakteri ini adalah bakteri yang menggunakan sumber energi dari cahaya
matahari (photoautrotrof), maupun dari hasil oksidasi bahan anorganik
(chemoautrotrof). Sumber karbon berasal dari fiksasi karbondioksida. Bakteri
autrotrof genus Nitrosomonas dan Nitrobacter adalah jenis bakteri yang
memegang peran peting dalam proses nitrifikasi.
Proses nitrifikasi yang dilaksanakan oleh oraganisme autrotrof dan
berlangsung dalam dua tahap, yaitu :
1. Tahap nitritasi yaitu tahap oksidasi ion ammonia (NH 4+) menjadi ion nitrit
(NO2) dan dilaksanakan oleh bakteri nitrosomonas, dengan reaksi sebagai berikut:
2NH4 + 3O2 NITROSOMONAS
2NO2 + 2H2O + 4H+
2. Tahap nitrat yaitu tahap oksidasi ion nitrit menjadi nitrat NO 3 dan dilakukan
oleh nitrobacter dengan reaksi :
2NO2- + O2 NITROSOMONAS
2NO2-
Proses nitrifikasi dapat diterapkan pada system Lumpur aktif (CFSTR).
Atau plug flow dengan resirkulasi dan biofilm (trickling filter dan cakram
biologis). Dalam proses pengolahan Lumpur aktif dapat dilakukan secara terpisah
dalam tangki yang berbeda maupun dalam satu tangki dengan proses kombinasi.

53
Gambar berikut merupakan jenis pengolahan ammonia dengan nitrifikasi

dengan cara Lumpur aktif :

Penyisihan C Clarifier nitrifikasi Clarifier

b. gambar two stage

Gambar 2.32. Nitrifikasi cara lumpur aktif

Dasar pemilihan antara system satu dengan satu tangki atau dua tangki
aerasi biasanya dengan memperhatikan perbandingan BOD5/TKN, untuk :
- BOD5/TKN < 3, menggunakan system
terpisah (two stage)
- BOD5/TKN > 5, menggunakan satu
tangki (single stage)
2. Denitrifikasi
Denitrifikasi adalah proses reduksi nitrat menjadi gas nitrogen (N2) secara
biologi pada kondisi anoxic (tanpa oksigen). Bakteri yang bertanggungjawab
dalam proses denitrifikasi adalah jenis heterotrof. Nitrit dan nitrat sebagai aseptor
electron, sedangkan organic karbon sebagai donor electron.
Dalam air buangan rendah, biasanya ditambahkan methanol (CH3OH)
sebagai sumber karbon, sedangkan sumber energi diperoleh dari hasil reaksi
anorganik.
Bakteri yang melakukan proses denitrifikasi meliputi : achromobacter,
Alcaligenes, Bacillus, Brevibacterium, F lavobacterium, Laccthobacterium dan
lainnya.
Ada dua tahap konveksi dalam proses denitrifikasi yaitu :
- Tahap nitrat menjadi nitrit

54
- Tahap nitrit menjadi gas nitrogen
Sehingga keseluruhan proses secara berurutan adalah :
NO3 → NO2 → NO → N2O →N2

2. Pegolahan dengan Biofilm


Macam-macam pengolahan dengan menggunakan biofilm :
a. Tricling Filter
Tricling filter menurunkan beban organik yang terdapat dalam air
buangan dengan cara mengalirkannya pada media yang permukaannya
diselimuti oleh lumpur aktif sebagai biological film. Filter yang digunakan
batua-batuan, pasir, granit dan lain-lain dalam berbagai ukuran mulai dari
diameter 3/4 in sampai dengan diameter 2,5 in. Proses yang terjadi adalah
proses biologis yang memerlukan oksigen (aerobik).

Cara kerja Tricling filter :


Air limbah dari pengolahan primer dialirkan masuk melalui pipa
yang berputar diatas suatu lahan dengan media filter, beban organik yang
ada dalam limbah disemprotkan diatas media, dan diuraikan oleh
mikroorganisme yang menempel pada media filter. Bahan organik sebagai
substrat yang terlarut dalam air limbah di absorbsi dalam biofilm antar
lapisan berlendir.
Pada lapisan bagian luar biofilm, bahan organik diuraikan oleh
mikroorganisme aerobik. Pertumbuhan mikroorganisme mempertebal
lapisan biofilm, oksigen yang terdifusi dapat dikomsumsi sebelum biofilm
mencapai ketebalan maksimum. Pada saat mencapai ketebalan penuh
maka oksigen tidak dapat mencapai penetrasi secara penuh, sehingga pada
bagian dalam atau pada permukaan media akan berad pada kondisi
anaerobik.
Pada saat lapisan biofilm mengalami penambahan ketebalan , dan
bahan organik yang diabsorbsi dapat diuraikan oleh mikroorganisme

55
namuin tidak mencapai mikroorganisme yang berada pada permukaan
media. Dengan kata lain tidak tersedia bahan organik untuk sel karbon
pada bagian permukaan media, sehingga mikroorganisme sekitar
permukaan media mengalami fase endogenous atau kematian. Pada
akhirnya mikroorganisme sebagai biofilm tersebut akan lepas dari media,
cairan yang masuk akan ikut melepas atau mencuci dan mendorong
biofilm keluar setelah itu lapisan biofilm baru akan segera tumbuh.
Fenomena lepasnya biofilm dari media tersebut disebut sloughing dan hal
ini fungsi dari beban organik dan beban hidrolik pada trickling filter
tersebut. Beban hidrolik memberikan kecepatan daya gerus biofilm
sedangkan beban organik memberikan kecepatan daya dalam biofilm.
Berdasarkan beban hidrolik dan organik maka dapat dikelompokan tipe
trickling filter low rate dan high rate.
Trickling filter terdiri dari suatu bak dengan media permeable
untuk pertumbuhan mikroorganisme. Filter media biasanya mempunyai
ukuran diameter 25-100 mm, kedalaman filter berkisar 0,9-2,5m (rata-rata
1,8) media filter dapat mencapai 12 m yang disebut sebagai tower
trickling filter.
Air limbah didistribusikan pada bagaian atas dengan satu lengan
distributor yang dapat berputar. Filter juga dilengkapi dengan underdrain
untuk mengumpulkan biofilm yang mati untuk kemudian diendapakan
dalam bak sedimentasi. Bagaian cairan yang keluar biasanya
dikembalikan lagi ketrickling filter sebagai air pengencer air baku yang
diolah.
(Sumber: Djoko B.M. Teknik Pengolahan Air Limbah secara
Biologis, hal 75 – 78).

56
Gambar 2.33. Trikling Filter

(Sumber: Djoko B.M. Teknik Pengolahan Air Limbah secara


Biologis, hal 80 - 82)

b. Rotating Biological Contactor ( RBC )


RBC menurunkan biomassa sebelum diendapkan pada bak
pengendap dengan cara yaitu RBC yang terdiri dari suatu piringan seri
berbentuk lingkaran yang terbuat dari bahan PVC, disusun secara vertikal
dengan menghubungkan satu sama lain dengan satu sumbu, sehingga
piringan tersebut dapat berputar. Sebagian piringan tersebut tercelup
dalam air limbah yang diolah dimana akan tumbuh biofilm dan menempel
pada permukaan piringan dalam bentuk lendir. Pada saat berputar bagian
piringan yang tercelup air akan menguraikan zat organik yang terlarut
dalam air, sedangkan pada saat kontak dengan udara, biomassa akan
mengabsorpsi oksigen sehingga tercapai kondisi aerobik dan biomassa
yang berlebihan akan terbawa keluar.
Keuntungan RBC :

57
1) Waktu kontak yang tidak terlalu lama, biasanya  1 jam karena luas
permukaan besar.
2) Dapat mengolah air limbah pada kisaran kapasitas yang besar, dari 
1000 gal/hari sampai  100.000 gal/hari.
3) Tidak diperlukan recycle.
4) Biomassa yang terlepas (sloughing) mudah dipisahkan dari air yang
sudah diolah.
5) Biaya operasi cukup murah karena tidak diperlukan keahlian khusus
untuk operatornya

Gambar 2.34.Rotating Biological Contractor (RBC)


(Sumber: Djoko B,M Teknik pengolahan limbah industri hal 84 – 86)

3. Pengolahan dengan Kolam Aerobik


a. Aerobik Lagoon
Aerobik lagoon adalah salah satu bentuk pengolahan biologis yang
sederhana. Kolam stabilisasi secara biologis akan membutuhkan area yang
luas dengan kedalaman yang dangkal. Dengan kolam semacam ini maka
kondisi aerobik akan terpelihara dengan adanya alga dan bakteri.

58
Kolam stabilisasi secara aerobik mengandung bakteri dan algae
dalam kondisi aerobik disepanjang kedalaman. Ada dua tipe pengolahan
aerobik lagoon, yaitu tipe high rate yaitu dengan memaksimalkan produksi
algae, pada kedalaman lagoon sekitar 15 – 45 cm.
Tipe yang kedua biasanya disebut sebagai oksidation atau
stabilisation lagoon, dengan cara memaksimalkan konsentrasi oksigen
yang dihasilkan, kedalaman lagoon sampai 1,5m. Untuk mencapai hasil
terbaik, lagoon diaduk secara periodik dengan pompa atau surface
aeration.
Prinsip pengolahan ini adalah, bahan organik yang terlarut dalam air
dioksidasi oleh bakteri aerobik dan fakultatif dengan menggunakan
oksigen yang dihasilkan oleh algae yang tumbuh disekitar permukaan air.
Proses reaksi fotosintesis dan reaksi yang dilakukan algae dapat ditulis
sebagai berikut::
Photosintesis:
CO2 + 2H2O + cahaya matahari  CH2O + O2 + H2O
Sel Baru Algae
Respirasi
CH2O + O2  CO2 + 2H2O
(Sumber Djoko D.M Teknik pengolahan limbah secara biologis hal 88)

b. Aerated Lagoon
Aerated lagoon merupakan pengembangan dari aerobik lagoon yaitu
dengan memasang surface aerator untuk mengatasi bau dan beban organik
yang tinggi.
Pada proses aerated lagoon pada prinsipnya sama dengan extended
aeration pada proses lumpur aktif, poerbedaannya terletak pada kedalaman
air yang dangkal dan oksigen diperoleh dari surface aerator atau diffuser
aerator. Dalam aerated lagoon semua zat padat dipertahankan dalam
keadaan tersuspensi. Pada sistem ini tanpa dilakukan dan biasanya diikuti
dengan kolam pengendapan yang besar.

59
Gambar 2.35. Aerated Lagoon

c. Kolam Fakultatif
Kolam fakultatif merupakan kolam dengan kedalaman 1 – 2,5 meter.
Pada kolam ini kedalaman air terbagi menjadi tiga zona yaitu zona aerobik
di bagian atas, zona fakultatif di bagian tengah, dan zona anaerobik di
bagian bawah atau dasar kolam. Proses penurunan BOD atau organik
COD terjadi karena adanya aktivitas reaksi simbiosis antara algae dan
bakteri.
Algae yang menempati bagian atas akan melakukan fotosintesis
pada siang hari, sebagai hasilnya produksi oksigen yang cukup tinggi
terjadi pada siang hari. Oksigen terlarut yang dihasilkan akan
dimanfaatkan oleh bakteri aerob untuk proses penguraian zat organik
dalam air buangan (sebagai BOD). Pada bagian ini terjadi proses biologi
secara aerobik (full aerobic), dan pada bagian ini juga dimungkinkan
terjadinya proses nitrifikasi. CO2 yang dihasilkan oleh bakteri akan
digunakan oleh algae sebagai sumber karbon pada proses fotosintesis.
Pada lapisan kedua jumlah oksigen relatif lebih sedikit. Hal ini
disebabkan berkurangnya algae atau cahaya matahari yang masuk ke
lapisan ini. Kondisi yang ada adalah antara aerobik dan anaerobik. Pada
siang hari mendekati aerobik dan pada malam hari cenderung anaerobik
sehingga disebut sebagai kondisi fakultatif. Bakteri yang berperan
dinamakan bakteri fakultatif.
Pada lapisan di atas dasar kolam terjadi proses anaerobik atau tanpa
adanya oksigen. Zat padat yang mudah mengendap atau mikro organisme

60
yang mati akan mengendap di dasar kolam. Pada kondisi demikian terjadi
dekomposisi zat organik secara anaerobik dan dihasilkan gas-gas CO 2,
NH3, H2S, dan CH4. Proses denitrifikasi juga dimungkinkan terjadi di zona
ini.

Gambar 2.36. Kolam Fakultatif

4. Pengolahan Anaerobik
a. Fixed Bed Reaktor
Prinsip operasi dari fixed bed reactor adalh air limbah yang dapat menuju
keatas (up flow) ataupun kebawah (down flow ) melalui suatu kolam yang
terisi media pendukung . Permulaan media tersebut berfungsi untuk
menempel mikroba dan menangkap flok yang tidak bisa menempel.
Mikroba yng menempel bertanggung jawab dalam proses stabilisasi air
limbah .Pada saat awal prose perlu seeding dengan merendam media filter
di dalam sptictank. Suatu saat biofilm akan menempel sehingga terjadi
clogging oleh karena itu perlu di lakukan penggelontoran. Apabila carbon
bed sudah jenuh maka carbon bed akan digantikan dengan yang baru

61
Gambar 2.37. Fixed Bed Reactor

b. Fludized Bed Reaktor


Merupakan reaktor dengan media pasir yang dialiri air limbah
dengan debit tertentu. Pada reaktor ini banyak biomassa menempel pada
media yang berukuran kecil sebagai biofilm. Biomassa yang menyelimuti
partikel media berada pada kondisi terekspansi [bergerak melayang-
layang atau terfluidasi secara vertikal dengan aliran keatas (up flow)].
Besarnya kecepatan partikel dicapai dengan mengatur besarnya tingkat
resirkulasi. Ukuran dan densitas dari media merupakan penentu dari
kestabilan sistem operasi dan ekonomis tidaknya reator. Dalam reaktor ini
tidak ada injeksi oksigen sehingga reaktor dalam keadaan tertutup.

62
Gambar 2.38. Fluidized Bed Reactor
c. Anaerobik lagoon
Pada anaerobik lagoon kedalaman air dapat mencapai 6 meter.
Kondisi anaerobik dapat dicapai dengan memberikan beban organik yang
tinggi sehingga terjadi deoksigenisasi, adanya lapisan scum (busa) pada
permukaan air kolam berguna untuk mencegah masuknya oksigen dari
atmosfer. Pada kondisi ini bahan organik akan mengalami stabilisasi yang
merupakan hasil kerja bakteri anaerobik thermophilik dengan proses
digestion.
Proses pengolahan yang terjadi analog dengan single stage
anaerobic digestion dimana asam organik dibentuk oleh bakteri dengan
memecah organik komplek. Selanjutnya asam yang terbentuk diubah
menjadi gas methane, gas karbon dioksida, sel dan produk lain yang stabil.
Air baku yang diolah bercampur di bagian bawah, hal ini dicapai
dengan cara melakukan pemasangan pipa inlet di bagian dasar kolam

63
menuju ke tengah kolam. Pipa inlet dalam keadaan terbenam pada kolam.
Bahan yang mudah mengapung seperti minyak, lemak dan zat padat yang
ringan akan berada di bagian permukaan air dan biasanya menutupi
seluruh permukaan air. Dengan demikian panas yang dihasilkan di seluruh
kedalaman kolam dapat dipertahankan. Pada tipe ini tidak diperlukan
pemanasan, equalisasi, mixing, maupun sirkulasi lumpur. Keutamaan dari
pengolahan jenis adalah mempunyai kemampuan mengolah dengan beban
yang tinggi serta tahan terhadap perubahan debit dan kualitas air limbah
(shock loading). Untuk mencegah terjadinya perembesan air limbah pada
dinding dan dasar kolam dapat dipasang lapisan kedap air (misal: plastik,
clay).

Gambar 2.39. Anaerobik Lagoon

d. Upflow Anaerobik Sludge Blanket (UASB)


Pada prinsipnya reaktor UASB terdiri dari lumpur padat yang
berbentuk butiran. Lumpur atau sludge tersebut ditempatkan dalam suatu
reaktor yang didesain dengan aliran ke atas. Air limbah mengalir melalui
dasar bak secara merata dan mengalir secara vertikal, sedangkan butiran
sludge akan tetap berada atau tertahan dalam reaktor.
Karakteristik pengendapan butiran sludge dan karakteristik air
limbah akan menentukan kecepatan upflow yang harus dipelihara dalam
reaktor. Biasanya kecepatan aliran ke atas berada pada rentang 0,5 – 0,3
m/jam. Untuk mencapai formasi sludge blanket yang memuaskan, pada
saat kondisi hidrolik puncak (debit puncak) kecepatan dapat mencapai
antara 2 – 6 m/jam.

64
Gas yang terperangkap dalam butiran sludge sering mendorong
sludge tersebut ke bagian atas reaktor, yang disebabkan oleh berkurangnya
densitas butiran. Untuk itu diperlukan pemisahan butiran sludge di luar
reaktor dan kemudian dikembalikan lagi ke dalam reaktor. Hal ini dapat
dilakukan dengan membuat gas-solid-liquid separator yang ditempatkan di
bagian atas reaktor. Gas yang terbentuk dapat ditampung dalam separator
tersebut dan sludge dikembalikan lagi ke reaktor.
Masalah yang dihadapi pada UASB terutama adalah sludge yang
bergerak naik yang disebabkan oleh turunnya densitas sludge. Disamping
itu juga turunnya aktivitas spesifik butiran. Beragamnya densitas sludge

65
memberikan ketidak seragaman sludge blanket sehingga sebagai
akibatnya sludge akan ikut keluar reaktor.ehingga sebagai akibatnya s
Tingginya konsentrasi suspended solid dan fatty mineral dalam air
limbah juga merupakan masalah operasi yang serius. Suspended solid
dapat menyebabkan penyumbatan (clogging) atau channeling. Adsorbsi
suspended solid pada sludge juga akan mempengaruhi proses dan air
limbah yang mengandung protein atau lemak menyebabkan pembentukan
busa.
Keuntungan :
- Kebutuhan energi rendah
- Kebutuhan lahan sedikit
- Biogas berguna
- Kebutuhan nutrien sedikit
- Sludge mudah diolah/dikeringkan
- Tidak mengeluarkan bau dan kebisingan
- Mempunyai kemampuan terhadap fluktuasi dan intermitten load

66
Gambar 2.40. Upflow Anaerobik Sludge Blanket

67
II.2.4. Pengolahan Tersier (Tertiary Treatment)
Pengolahan ini adalah kelanjutan dari pengolahan terdahulu, oleh karena
itu pengolahan jenis ini akan digunakan apabila pada pengolahan pertama dan
kedua, banyak zat tertentu yang masih berbahaya bagi masyarakat umum.
Pengolahan ketiga ini merupakan pengolahan secara khusus sesuai dengan
kandungan zat yang terbanyak dalam air limbah, biasanya dilaksanakan pada
pabrik yang menghasilkan air limbah khusus diantaranya yang mengandung fenol,
nitrogen, fosfat, bakteri patogen dan lainnya. Unit pengolahan tersier ini terdiri
dari :
1). Ion Exchange
Untuk limbah cair yang bahan pencemarnya larut dan membentuk ion
(bahan anorganik), pengolahannya tidak dapat dilakukan dengan cara
adsorbsi, karena ion-ion cenderung menjadi permukaan yang berbatasan
dengan absorber, sehingga cara pengolahan yang dipilih untuk jenis tersebut
adalah pertukaran ion (ion exchange) baik ion positif maupun ion negatif.
Secara garis besar prosesnya serupa dengan adsobsi yaitu dengan
mengkontakkan limbah dengan bahan aktif penukaran ion yang siap memberi
ion H+ atau OH- ke limbah dan menerima ion positif atau ion negatif dari
limbah. Keadaan jenuh juga akan dialami oleh bahan aktif penukar ion, yang
pemulihan keaktifanya dapat dilakukan melalui proses regenerasi. Limbah
biasanya menggunakan proses ion exchange antara lain yang mengandung
logam, misalnya Na2+, Ca2+, Cu, Ni, Cr, Mg2+, Fe, Co.

68
Gambar 2.41. Ion Exchange
Sumber: Eckenfelder Jr., Industrial Water Pollution Control, 2 nd edition, hal.
291 - 297

2). Karbon Aktif


Pengolahan air limbah dengan menggunakan karbon aktif biasanya
digunakan sebagai proses kelanjutan dari pengolahan secara biologis. Organik
terlarut yang ada dengan cara menyerap partikel yang berada dalam partikel
juga bisa dihilangkan. Selain itu proses ini juga bisa menghilangkan bau,
warna, rasa, bahan organik (fenol), merkuri dan lain-lain.

Gambar 2.42. Karbon Aktif

69
3). Bak Pengendap II ( Secondary Clarifier )
Bangunan ini digunakan untuk mengendapkan lumpur setelah proses
sebelumnya, biasanya proses lumpur aktif. Pada unit pengolahan ini, terdapat
scrapper blade yang berjumlah sepasang yang berbentuk vee (V). Alat tersebut
digunakan untuk pengeruk lumpur yang bergerak, sehingga slude terkumpul
pada masing – masing vee dan dihilangkan melalui pipa dibawah sepasang
blades. Lumpur lepas dari pipa dan masuk ke dalam sumur pengumpul lumpur
yang terdapat di tegah bagian bawah clarifier.. Lumpur dihilangkan dari sumur
pengumpul dengan cara gravitasi.
Waktu tinggal berdasarkan rata-rata aliran per hari, biasanya 1 – 2 jam.
Kedalaman clarifier rata – rata 10 – 15 feet ( 3 – 4,6 meter). Clarifier yang
menghilangkan lumpur biasanya mempunyai kedalaman ruang lumpur (sludge
blanket) yang kurang dari 2 feet (0,6 meter ).

Gambar 2.43. Secondary clarifier

70
Sumber: Tom D. Reynold, Unit Operations & Processes In Environmental
Engineering, 2nd edition, hal. 260 - 262

II.2.5 Desinfektan
Desinfektan adalah bahan yang digunakan untuk membunuh ya tergantung
pada pH air.
Nilai konstanta ionisasi Ki tergantung suhu dapat diperkirakan dari tabel

Suhu OC 0 5 10 15 20 25

Ki . 108 mol/l 1.5 1.7 2.0 2.2 2.5 2.7

(Sumber : Perencanaan Air Minum , Wahyono Hadi 124 )


Klor bebas dapat juga ditambahkan ke air dalam bentuk garam hipoklorit
dengan reaksi sebagai berikut : bakteri yang tidak dikehendaki yang ada dalam air,
seperti bakteri pathogen penyebab penyakit.
Densinfektan harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu, yaitu:
a. Dapat membunuh berbagai jenis dan semua populasi pathogen yang ada
didalam air minum dalam jangka waktu dan suhu tertentu
b. Tidak bersifat racun, baik untuk manusia maupun binatang atau ditolak
eksistensinya karena rasa/baunya
c. Biaya pengadaan murah, metode penyimpanan dan pemberiannya mudah dan
aman
d. Kadar dalam air minum sudah dianalisa dan diketahui
e. Masih menyisakan kadar tertentu sebelum dikonsumsi (Fair, 1971)

71
Cara-cara yang digunakan untuk membunuh bakteri adalah sebagai berikut:
a. Pemanasan
Pemanasan air hingga ketitik didih merupakan cara desinfektan
yang paling tua dan sederhana dalam skala rumah tangga di negara
berkembang. Waktu pendidihan air minimal adalah 15 - 20 menit untuk
memestikan matinya bakteri pathogen (penyebab penyakit), namun bukan
bakteri berbentuk spora yang taha terhadap suhu air mendidih.
Sistem pemanasan terhadap air tersebut tidak memberikan proteksi
disinfeksi terhadap air, namun sering kali bermanfaat sekaligus
menurunkan kesadahan sementara yang ada dalam air. Hal ini dapat
dilihat dari makin tebalnya kerak didasar ketel pemanas air.
b. Ultra Violet
Matahari merupakan disenfektan alam. Pada umumnya sinar ultra
violet adalah lampu uap mercuri yang menghasilkan sinar tak tampak
dengan panjang gelombang 2537 angstrom.
Untuk menjamin terjadinya proses disinfeksi, air harus bebas dari
bahan pengabsorbsi sinar, seperti senyawa aromatik dan senyawa fenol,
termasuk LAS, serta dari material tersuspensi yang mampu menghalangi
masuknya sinar. Selain itu, waktu pemaparan dan intensitas pemaparan
sinar ultra violet harus memadai, serta ketebalan air waktu melewati sinar
sedemikian tipisnya, sehingga tidak ada organisme yang lolos dari
paparan.

72
c. Bahan Kimia
Bahan kimia pengoksidasi/oksidan terdiri dari:
a) Kelompok halogen (klorin, bromin, iodin, klorin dioksid)
b) Ozon
c) Oksidan lain, seperti: kmno4, h2o2
Diantara halogen, gas klorin dan senyawa klorin lainya merupakan
disinfeksi yang efektif dan koefisien. Bromin dan iodin dapat digunakan
dikolam renang. KmnO4 yang harganya relatif mahal, merupakan bahan
disinfektan yang digunakan untuk berbagai keperluan dirumah sakit.
Bahan ini meninggalkan warna dan bau yang kurang enak, bila digunakan
untuk air minum. Ozon merupakan disinfeksi yang kuat namun sangat
mahal, tanpa meninggalkan sisa ozon untuk pengaman dijaringan
distribusi.
Teknologi disinfeksi tergantung pada 4 hal pokok yaitu:
a) Jenis bakteri yaitu non spor forming bacteri
b) Jenis distribusi dan kadar desinfektan
c) Jenis dan kadar air yang akan didisinfektan
d) Waktu kontak
Desinfektan secara kimia dapat dilakukan dengan cara:
a. Chlorinasi
Chlorinasi merupakan salah satu desinfektan kimia yang
umumnya dipakai dalam pengolahan air bersih maupun air buangan.
Fungsi chlorin yang utama adalah sebagai desinfektan, tetapi fungsi
lain bisa untuk penghilang bau.Klor dipilih karena efektif pada
konsentrasi rendah, mudah dan berbentuk sisa klor jika digunakan
pada dosis yang mencukupi. Senyawa klor yang umum digunakan
adalah gas klor (Cl2), kalsium hipoklorit (Ca(OCL)2), dan sodium
hipoklorit (NaOCL) dan klor dioksida (CLO2)

73
Gambar 2.44. Bak Chlorinasi

Klor dalam bentuk gas bila diinduksi kedalam air akan


berlangsung reaksi:
Cl2 + H2O HOCl + H+ + Cl-
Konstanta stabil untuk reaksi ini adalah:

K= = 4.5.10-4 pada 25 oC

Jumlah HOCl dan OCl yang ada dalam air disebut klor
tersedia bebas Distribusi relatif dari dua senyawa ini sangat penting
karena efisiensi pembunuhan HOCl sekitar 40-80 kali dari OCl – dan
keberadaann
Ca(OCl)2 + 2H2O  2HOCl + Ca(OH)2
Na(OCl) + H2O  HOCl + NaOH
Asam hipoklorit adalah pengoksidasi yang sangat aktif.
Karena itu mula mula akan bereaksi dengan ammonia yang sering
terdapat dalam air dan air limbah dan membentuk tipe kloramin
sebagai berikut:
NH3 + HOCl  NH2Cl (monokloramin) + H2O
NH2Cl + HOCl  NHCl2 (diklorin) + H2O
NHCl2 + HOCl  NCl3 (nitrogen triklorida) + H2O

74
Reaksi-reaksi ini sangat tergantung pada pH, temperatur waktu
kontak rasio klor terhadap ammonia. Klor dalam senyawa –senyawa
ini disebut klor tersedia tergabung.
Senyawa klor ini kurang efisien dalam membunuh bakteri.
Karena dosis klor ditambah hingga terdapat sisa klor, yaitu klor
tersedia bebas yang efisiensi sebagai desinfektan. Penambahan dosis
klor berakibat monokloramin pecah hingga membentuk N2.
2NH2Cl + HOCl  N2 + 3HCl + H2O
Reaksi ini tidak menghasilkan klor aktif, sehingga kadar klor
aktif menurun sampai titik terendah yang disebut break point.
Kecepatan reaksi break point (BPC) tergantung pada pH dan
maksimum terjadi pada pH antara 6,5-8,5. Waktu kontak yang
diperlukan lebih dari 30 menit dengan demikian waktu klorinasi lebih
dari BPC akan memberikan sisa klor bebas untuk pengaman sistem
distribusi, dan bau / rasa yang ada didalam air hilang, kecuali bila
terdapat ammonia dalam jumlah yang besar sehingga terbentuk
trikloramin (nitrogen triklorida).

Beberapa faktor penting yang mempengaruhi desinfektan dengan klor


adalah :
a) Efisiensi klor
b) Efisiensi beberapa klor
c) Pengadukan
d) Reaksi break point
e) Waktu kontak
f) Karakteristik air
g) karakteristik mikroorganisme
Hubungan antara jenis desinfektan, pH, energi aktivitas dan
perbandingan waktu kontak, seperti diuraikan dalam tabel.

75
TABEL. 2.8. KETERGANTUNGAN WAKTU KONTAK DAN KLORAMIN
PADA PH YANG BERVARIASI

NO Jenis klor pH E, Kalori* Q10

1 Klorin 7.0 6400 1.42

8.5 8200 1.65

9.8 12000 2.13

10.7 15000 2.50

2 Kloramin 7.0 12000 2.08

8.5 14000 2.28

9.5 20000 3.35

Cara kerja clorinasi:


Pada bak pengaduk terjadi proses pencampuran antara air
pelarut dengan chlor, hingga trcampur secara merata
Air dari bak pelarut /pengaduk dialirkan ke bak penenang
untuk menenangkan aliran dan menjaga fluktuasi aliran air chlor
Dari bak penenang air chlor kemudian diinjeksikan (sesuai
dosis dengan mengunakan dosing pump) kebak kontak chlor

Inlet motor pengaduk dosing pump pipa injeksi


Valve

Bak pengaduk bak penenang Bangunan pengolahan

Gb.2.45. bak clorinasi 76


b. Ozonisasi
Ozon merupakan oksidasi kuat berbetuk gas yang berwarna
biru yang berbau tajam dan merupakan bentuk yang tidak stabil dari
oksigen yang terdiri dari tiga atom O(O3).
Ozon dihasilkan dari oksigen yang dilewatkan pada listrik
bertegangan tinggi dalam udara kering .
Sifat ozon adalah :
a) Berat molekul : 48 gram / mol
b) Titik didih pada tekanan atmosfir normal : -112oC
c) Temperatur kritis : -12,1oC
d) Tekanan kritis : 55,30.105 Pa
e) Entalphi pembentukan molekul : 34220 ± 240kal
pada – 298oK ; 1,013.105 Pa
f) Densitas realtif terhadap udara : 1.657
Densitas absolut pada kondisi normal
(0oC ; 1,013.105Pa) : 2.143 kg/Nm3
g) Kelarutan dalam air pada 1 atm, 25oC : 0.006g/l
Ozon lebih larut dalam air dari pada oksigen. Ozon sering
digunakan untuk desinfektan air minum dan air limbah dan
mengoksidasi bahan-bahan penyebab bau, rasa, warna.
Pemakaian ozon dalam pengolahan air minum yang paling
umum adalah untuk desinfeksi bakteri dan virus. Dosis ozon
sebesar 0.4mg/l dalam waktu 4 menit (faktor waktu kontak
(CT) = 1.6) direkomendasikan untuk mnghilangkan bakteri
pathogenik dan polivirus. Faktor CT sebesar 2 diperlukan
untuk menghilangkan Glardiacysis.
Ozon yang digunakan sebagai desinfektan dalam air
mengalami reaksi sebagai berikut:
O3 + H2O  HO-3 + OH-
HO-3 + OH-  2H2

77
O3 + H2O  HO + 2O2
HO + HO2  O2
Pada reaksi itu terbentuk radikal bebas, HO2 dan HO yany
mempunyai kekuatan oksida besar dan merupakan bentuk yang aktif
disinfeksi. Radikal bebas juga mempunyai kekuatan oksidasi bereaksi
dengan pengotor yang lain dalam larutan.
Bila ozon masuk kedalam air akan terjadi 2 kemungkinan yaitu
oksidasi langsung yang berlangsung lambtat dan selaktif, auto
dekomposisi menjadi radikal hidroksil yang berlangsung cepat.
Oksidasi langsung akan terjadi bila pH air rendah atau auto
dekomposisi akan terjadi bila pH air tinggi

II.2.5. Pengolahan Lumpur


Pengolahan Lumpur (Sludge Treatment)
Dari pengolahan air limbah maka hasilnya adalah berupa lumpur yang
perlu diadakan pengolahan secara khusus agar lumpur tersebut tidak mencemari
lingkungan dan dapat dimanfaatkan kembali untuk keperluan kehidupan.
Sludge dalam disposal sludge memiliki masalah yang lebih kompleks. Hal
ini disebabkan karena :
a. Sludge sebagian besar dikomposisi dari bahan-bahan yang responsibel
untuk menimbulkan bau.
b. Bagian sludge yang dihasilkan dari pengolahan biologis dikomposisi
dari bahan organik.
c. Hanya sebagian kecil dari sludge yang mengandung solid (0,25% -
12% solid).
Tujuan utama dari pengolahan lumpur adalah :
- Mereduksi kadar lumpur
- Memanfaatkan lumpur sebagai bahan yang berguna seperti pupuk
dan sebagai penguruk lahan yang sudah aman.
Unit pengolahan lumpur meliputi :

78
a) Sludge Thickener
Sludge thickener adalah suatu bak yang berfungsi untuk menaikkan
kandungan solid dari lumpur dengan cara mengurangi porsi fraksi cair (air),
sehingga lumpur dapat dipisahkan dari air dan ketebalannya menjadi berkurang
atau dapat dikatakan sebagai pemekatan lumpur. Tipe thickener yang digunakan
adalah gravity thickener dan lumpur berasal dari bak pengendap I dan pengendap
II. Pada sistem gravity thickener ini, lumpur diendapkan di dasar bak sludge
thickener.
Kriteria Rumus (Sludge Thickener) yang digunakan :
- Perbandingan volume lumpur dengan konsentrasi diharapkan adalah
:

dengan :
V1 = volume lumpur yang masuk
V2 = volume lumpur yang terjadi
C1 = konsentrasi lumpur masuk
C2 = konsentrasi lumpur yang diharapkan
- Perbandingan berat jenis lumpur :

dengan :
Bj SS = berat jenis suspended solid
Bj f = berat jenis fixed
Bj v = berat jenis volatile SS
Pv = % volatile matter
Pf = % fixed matter
- Luas permukaan thickener (As) dapat dihitung dengan :

79
Gambar 2.46. Sludge Thickener
Sumber: Metcalf and Eddy, Waste Water Engineering Treatment Disposal
and Reuse, hal 401

b) Sludge Digester
Sludge digester berfungsi untuk menstabilkan sludge yang dihasilkan dari
proses lumpur aktif dengan mengkomposisi organik material yang bersifat lebih
stabil berupa anorganik material sehingga lebih aman untuk dibuang.
Kriteria Rumus (Sludge Digester) yang digunakan :

dengan :
 = volume reaktor
t = % volatile solid yang terurai
V = % volatile solid dalam thickener
W = berat solid yang masuk
Wm = kadar air dalam digester rata-rata
t = waktu tinggal lumpur dalam bak

dengan :
Qr = panas untuk menaikkan suhu lumpur (fermentasi), Btu/lb
Qi = kehilangan energi tangki
W = berat lumpur, lb/hari

80
T1 = suhu lumpur dalam digester (suhu fermentasi), F
T2 = suhu lumpur yang masuk, F

Gambar 2.47. Sludge Digester

(Metcalf & Eddy, Page 401)


c) Sludge Drying Bed
Sludge drying bed merupakan suatu bak yang dipakai untuk mengeringkan
lumpur hasil pengolahan dari thickener. Bak ini berbentuk persegi panjang yang
terdiri dari lapisan pasir dan kerikil serta pipa drain untuk mengalirkan air dari
lumpur yang dikeringkan. Waktu pengeringan paling cepat 10 hari dengan
bantuan sinar matahari.
Kriteria Rumus (Sludge Drying Bed) yang digunakan :

dengan :
Vi = volume cake kering, m3/hari
V = volume lumpur mula-mula, m3/hari
p = kadar air mula-mula (%)
pi = kadar air yang diharapkan (%)

81
Gambar 2.48. Sludge Drying Bed (Archeivala, 551)
2.3. Persen Removal
Tabel 2.6. Persen Removal Unit Pengolahan Air Limbah

Unit Pengolahan % Removal Sumber

I. Pre Teatment

Syed R.Qasim, WWTP


20 – 30 % SS
- Screening Planning, Design, and
20 – 30 % BOD
Operation, hal 156
II. Primary Treatment
95 % partikel Metcalf & Eddy, WWET
- Grit Chamber (Ø 0.15 mm) Disposal, and Reuse 4nd
100 % grit edition 1979, pagel 386
- Flotasi
Metcalf & Eddy, WWET
80 – 90 % Oil
1. Disolved Air Flotation Disposal, and Reuse 4nd
edition 1979, pagel 420
Metcalf & Eddy, WWET
50 – 70 % SS
- Bak pengendap I Disposal, and Reuse 4th
25 – 40 % BOD
edition, hal 396
III. Secondary Treatment

82
Syed R. Qasyim, WWTP,
90 – 93 % Cr
Planing, design and
- Ion Exchange 90 – 95 % NH3 - N
operation, page 52
Metcalf & Eddy, WWET
Disposal, and Reuse 4nd
85 – 95 % BOD
edition, page 484, 337 &
80 – 85 % COD
396.
- Activated Sludge 95 – 99 % Phenol
Cavaseno, Industrial
33 – 99 % NH3 - N
Wastewater and Solid
97 – 100 % H2S
Waste Engineering, page
15
IV. Tertiary Treatment
50 – 70 % SS Syed R. Qasyim, WWTP,
- Bak pengendap II
25 – 40 % BOD Planing, design and
(Clarifier)
25 – 40 % COD operation, page 66

2.4. Profil Hidroulis


Hal – hal yang perlu diperhatikan sebelum membuat Profil Hidrolis, antara lain:
1. Kehilangan tekanan pada bangunan pengolahan
Untuk membuat profil hidrolis perlu perhitungan kehilangan tekanan pada
bangunan. Kehilangan tekanan akan mempengaruhi ketinggian muka air di
dalam bangunan pengolahan. Kehilangan tekanan pada bangunan pengolahan
ada beberapa macam, yaitu:
a. Kehilangan tekanan pada saluran terbuka

Rumus yang digunakan :

Dimana :
V : Kecepatan air ( m/dt )
N : Koefisien tekanan ( tergantung material )
R : Jari-jari hidrolis ( m )

83
S : Slope
b. Kehilangan tekanan pada bak

Rumus yang digunakan :

c. Kehilangan tekanan pada pintu

Rumus yang digunakan : He =

d. Kehilangan tekanan pada weir, sekat, ambang dan sebagainya


harus di hitung secara khusus.
2. Kehilangan tekanan pada perpipaan dan assesoris
a. Kehilangan tekanan pada perpipaan
Cara yang mudah dengan monogram “Hazen William” Q atau V diketahui
maka S didapat dari monogram.
Rumus yang digunakan : L x S
b. Kehilangan tekanan pada assesoris
Cara yang mudah adalah dengan mengekivalen aksesoris tersebut dengan
panjang pipa, di sini juga digunakan monogram untuk mencari panjang
ekivalen sekaligus S.
c. Kehilangan tekanan pada pompa
Bisa dihitung dengan rumus, grafik karakteristik pompa serta dipengaruhi
oleh banyak faktorseperti jenis pompa, cara pemasangan dan sebagainya.
d. Kehilangan tekanan pada alat pengukur flok
Cara perhitungannya juga dengan bantuan monogram
3. Tinggi muka air
Kesalahan dalam perhitungan tinggi muka air dapat terjadi kesalahan
dalam menentukan elevasi ( ketinggian ) bangunan pengolahan, dalam
pelaksanaan pembangunan sehingga akan dapat mempengaruhi pada proses
pengolahan. Kehilangan tekanan bangunan (saluran terbuka dan tertutup)
tinggi terjunan yang direncanakan ( jika ada ) akan berpengaruh pada
perhitungan tinggi muka air. Perhitungan dapat dilakukan dengan cara :

84
■ Menentukan tinggi muka air bangunan pengolahan yang paling
akhir.
■ Tambahkan kehilangan tekanan antara clear well dengan bagunan
sebelumnya pada ketinggian muka air di clear well.
■ Didapat tinggi muka air bangunan sebelum clear well demikian
seterusnya sampai bangunan yang pertama sesudah intake.
■ Jika tinggi muka air bangunan sesudah intake ini lebih tinggi dari
tinggi muka air sumber maka diperlukan pompa di intake untuk
menaikkan air.

85

Anda mungkin juga menyukai