Anda di halaman 1dari 2

6 Tempat Riya’ Perspektif Imam Al-Ghazali

Ahmad Dirgahayu Hidayat

Sabtu, 27 November 2021 | 06:00 WIB

BAGIKAN:

Menghindar dari jebakan riya’ atau pamer amal ibadah bukanlah hal yang mudah dilakukan.
Orang yang melawan jebakan riya’ sejatinya sedang berperang melawan dorongan dari dalam
diri sendiri. Satu energi besar yang bercampur baur, sukar dipisahkan antara positif dan
negatifnya. Persis seperti orang yang sedang menjalani misi besar yang harus melewati hutan
penuh ranjau. Satu sisi, ia dituntut untuk terus berjalan, tak boleh berhenti apalagi kembali. Di
sisi lain, ia seolah didorong mundur oleh sekian banyak ranjau yang tersembunyi.  Demikian
halnya ibadah. Jebakan riya’ sangat banyak. Belum lagi perangkap kesombongan, gila
popularitas (sum’ah), cari perhatian (tamalluq), dan semisalnya. Tetapi, hal itu bukan alasan
untuk menghentikan ibadah. Ibadah harus tetap dijalankan perlahan seraya membenahinya secara
bertahap. Nah, untuk pembenahan ini, perlu kiranya mengenal dari mana saja potensi riya’ dapat
muncul. Bukankah absurd berhasil membersihkan diri dari sesuatu yang tak dikenal akar-
pangkalnya? Imam al-Ghazali berkata: ‫ فمن ال يعرف الشر ومواقعه ال يمكنه أن يتقيه‬Artinya, “Buta dari
mengenal seluk-beluk benalu amal membuat kita mustahil dapat menghindarinya.” (Abu Hamid
al-Ghazali, Kitab al-Arba’in fi Ushul ad-Din, halaman 102).   Dalam Kitab al-Arba’in halaman
100-101 Imam al-Ghazali (wafat 505 H/1111 M) menjelaskan secara rinci 6 tempat yang sangat
berpotensi menumbuhkan riya’. Pertama, dalam bentuk badan dan raut muka. Al-Ghazali
menyebut beberapa contoh terkait ini. Seperti ‘menampakkan’ badan yang kerempeng dan lemah
misalnya, agar orang-orang melihatnya tampak seperti seorang ahli ibadah, ahli riyadhah, puasa,
dan semisalnya. Termasuk juga memperlihatkan raut muka sedih, supaya terlihat seperti orang
yang punya pengamatan mendalam ihwal kehidupan dan kehinaan dunia. Semua itu bagian dari
riya’ yang diwanti-wanti al-Ghazali. Kedua, dalam penampilan. Contoh kecil, seperti mencukur
kumis agar terlihat lebih menawan dan mempesona sehingga banyak orang terpukau,
menundukkan kepala saat berjalan, bergerak dan melangkah secar elegan supaya tampak lebih
berwibawa,  menampakkan bekas sujud di dahi agar tidak diragukan kualitas sujudnya, dan hal-
hal serupa.    Ketiga, dalam style pakaian. Seperti mengenakan pakaian lengan panjang dengan
lengan baju yang terlipat, tiada tujuan lain kecuali agar terlihat lebih keren, misalnya. Berbaju
lusuh dengan beberapa tambalan juga termasuk salah satunya, bila tujuannya agar terlihat
sebagai seorang sufi besar lagi bersahaja. Keempat, riya’ dengan ucapan. Hal ini termasuk yang
kerapkali menjebak para dai. Jadi, sebaiknya berhati-hati. Karena, orang alim pun tidak terlepas
dari penyakit riya’. Wajar saja bila baginda Nabi Muhammad saw bersabda dalam hadist riwayat
Mu’âdz bin Jabal, Min fitnatil âlim, an yakunal kalam ahabba ilaihi min al-istima’, “Termasuk
ujian besar seorang alim, yaitu ketika ia lebih suka berbicara daripada mendengar”. (Abu Hamid
al-Ghazali, Ihyâ’ Ulumuddin, juz I, halaman 62). Kelima, riya’ dalam perbuatan. Seperti
memperlama rukuk dan sujud, misalnya, sedekah, puasa, haji, dan lain sebagainya. Semua itu
sangat potensial untuk memunculkan riya’. Bahkan, gerak-gerik tubuh kita pun ketika melenceng
dari niat luhur kerapkali terjerumus dalam penyakit hati ini. Keenam, riya’ juga bisa tumbuh
karena banyaknya murid, teman, dan guru yang bisa dipamerkan. Seperti orang yang sering
berkunjung kepada para gurunya, sehingga ia memiliki branding diri yang baik di mata umat:
misalnya dekat dengan orang alim, sering bertabaruk, dan seterusnya.  Membaca sekilas
penjelasan al-Ghazali tentang 6 tempat riya’, seolah untuk beramal shaleh orang menjadi sangat
ribet. Beramal lillahi ta’ala, murni karena Allah semata memang tidak mudah. Bukan karena
Allah mempersulit akses menuju ke sana, tetapi karena hati mnusia penuh oleh nuansa syaithani,
egoisme, dan mabuk dunia, sehingga ia sulit menemukan kemurnian ibadah yang sebenarnya. 
Sebagai hamba Allah, tentu orang tak boleh berkecil hati. Orang harus terus berupaya sedikit
demi sedikit membenahi hati dengan cara apa pun. Seperti banyak membaca, mengaji kepada
para ustadz, kiai, atau tuan guru yang dapat meningkatkan kualitas spiritualnya. Kuncinya,
adalah tidak sampai berhenti karena terjangkit riya’ saat beramal pertama, kedua, atau bahkan
ketiga kalinya. Namun amal ibadah tetap harus terus dilanjutkan sampai hati menjadi stabil dan
tidak butuh dilihat lagi oleh manusia lainnya. Wallahu a’lam bisshawab.   Ust. Ahmad Dirgahayu
Hidayat, alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo,
Jawa Timur. 

Sumber: https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/6-tempat-riya-perspektif-imam-al-ghazali-3PL6t

Anda mungkin juga menyukai