Anda di halaman 1dari 2

Menghindar dari jebakan riya’ atau pamer amal ibadah bukanlah hal yang mudah

dilakukan. Orang yang melawan jebakan riya’ sejatinya sedang berperang melawan
dorongan dari dalam diri sendiri. Satu energi besar yang bercampur baur, sukar
dipisahkan antara positif dan negatifnya. Persis seperti orang yang sedang menjalani
misi besar yang harus melewati hutan penuh ranjau. Satu sisi, ia dituntut untuk
terus berjalan, tak boleh berhenti apalagi kembali. Di sisi lain, ia seolah didorong
mundur oleh sekian banyak ranjau yang tersembunyi. Demikian halnya ibadah.
Jebakan riya’ sangat banyak.
Belum lagi perangkap kesombongan (takabur), gila popularitas (sum’ah), cari
perhatian (tamalluq), dan semisalnya. Tetapi, hal itu bukan alasan untuk
menghentikan ibadah. Ibadah harus tetap dijalankan perlahan seraya membenahinya
secara bertahap. Nah, untuk pembenahan ini, perlu kiranya mengenal dari mana saja
potensi riya’ dapat muncul. Bukankah absurd berhasil membersihkan diri dari
sesuatu yang tak dikenal akar-pangkalnya?
Imam al-Ghazali berkata:

‫فمن ال يعرف الشر ومواقعه ال ميكنه أن يتقيه‬


Artinya, “Buta dari mengenal seluk-beluk benalu amal membuat kita mustahil dapat
menghindarinya.” (Abu Hamid al-Ghazali, Kitab al-Arba’in fi Ushul ad-Din, halaman
102). Dalam Kitab al-Arba’in halaman 100-101 Imam al-Ghazali (wafat 505 H/1111
M) menjelaskan secara rinci 6 tempat yang sangat berpotensi menumbuhkan riya’.
Pertama, dalam bentuk badan dan raut muka. Al-Ghazali menyebut beberapa contoh
terkait ini. Seperti ‘menampakkan’ badan yang kerempeng dan lemah misalnya, agar
orang-orang melihatnya tampak seperti seorang ahli ibadah, ahli riyadhah, puasa,
dan semisalnya. Termasuk juga memperlihatkan raut muka sedih, supaya terlihat
seperti orang yang punya pengamatan mendalam ihwal kehidupan dan kehinaan
dunia. Semua itu bagian dari riya’ yang diwanti-wanti al-Ghazali.
Kedua, dalam penampilan. Contoh kecil, seperti mencukur kumis agar terlihat lebih
menawan dan mempesona sehingga banyak orang terpukau, menundukkan kepala
saat berjalan, bergerak dan melangkah secar elegan supaya tampak lebih berwibawa,
menampakkan bekas sujud di dahi agar tidak diragukan kualitas sujudnya, dan hal-
hal serupa.
Ketiga, dalam style pakaian. Seperti mengenakan pakaian lengan panjang dengan
lengan baju yang terlipat, tiada tujuan lain kecuali agar terlihat lebih keren, misalnya.
Berbaju lusuh dengan beberapa tambalan juga termasuk salah satunya, bila
tujuannya agar terlihat sebagai seorang sufi besar lagi bersahaja.
Keempat, riya’ dengan ucapan. Hal ini termasuk yang kerapkali menjebak para dai.
Jadi, sebaiknya berhati-hati. Karena, orang alim pun tidak terlepas dari penyakit
riya’. Wajar saja bila baginda Nabi Muhammad saw bersabda dalam hadist riwayat
Mu’âdz bin Jabal, Min fitnatil âlim, an yakunal kalam ahabba ilaihi min al-
istima’, “Termasuk ujian besar seorang alim, yaitu ketika ia lebih suka berbicara
daripada mendengar”. (Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ’ Ulumuddin, juz I, halaman 62).
Kelima, riya’ dalam perbuatan. Seperti memperlama rukuk dan sujud, misalnya,
sedekah, puasa, haji, dan lain sebagainya. Semua itu sangat potensial untuk
memunculkan riya’. Bahkan, gerak-gerik tubuh kita pun ketika melenceng dari niat
luhur kerapkali terjerumus dalam penyakit hati ini.
Keenam, riya’ juga bisa tumbuh karena banyaknya murid, teman, dan guru yang
bisa dipamerkan. Seperti orang yang sering berkunjung kepada para gurunya,
sehingga ia memiliki branding diri yang baik di mata umat: misalnya dekat dengan
orang alim, sering bertabaruk, dan seterusnya.
Membaca sekilas penjelasan al-Ghazali tentang 6 tempat riya’, seolah untuk beramal
shaleh orang menjadi sangat ribet. Beramal lillahi ta’ala, murni karena Allah semata
memang tidak mudah. Bukan karena Allah mempersulit akses menuju ke sana, tetapi
karena hati mnusia penuh oleh nuansa syaithani, egoisme, dan mabuk dunia,
sehingga ia sulit menemukan kemurnian ibadah yang sebenarnya.
Sebagai hamba Allah, tentu orang tak boleh berkecil hati. Orang harus terus
berupaya sedikit demi sedikit membenahi hati dengan cara apa pun. Seperti banyak
membaca, mengaji kepada para ustadz, kiai, atau tuan guru yang dapat
meningkatkan kualitas spiritualnya. Kuncinya, adalah tidak sampai berhenti karena
terjangkit riya’ saat beramal pertama, kedua, atau bahkan ketiga kalinya. Namun
amal ibadah tetap harus terus dilanjutkan sampai hati menjadi stabil dan tidak
butuh dilihat lagi oleh manusia lainnya. Wallahu a’lam bisshawab.

Sumber: https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/6-tempat-riya-perspektif-imam-al-ghazali-3PL6t

Anda mungkin juga menyukai