Anda di halaman 1dari 116

Fenomena Aerodinamik dan Aeroelastik pada

Jembatan Bentang Panjang:


Tinjauan Mekanisme, Analisis dan Penanganan

Robby Permata
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Bung Hatta – Padang
PT REKAYASA PRATAMA KONSULTAN
Pendahuluan

Perkembangan jembatan Perkembangan jembatan cable-


suspension (bentang > 500 m) stayed (bentang > 400 m)

Bentang jembatan semakin panjang


 elemen struktur (dek, pylon, kabel) akan semakin fleksibel
 semakin sensitif terhadap medan aliran angin
Aerodinamik  fenomena yang ditimbulkan oleh perubahan aliran udara akibat
benda

Contoh: visualisasi aliran melewati benda lingkaran pada Re=550 menggunakan


vortex method (Permata, 2010)
Aeroelastik  fenomena yang terjadi akibat interaksi medan aliran dengan benda
yang memiliki kekakuan elastik
Ketika aliran bertemu dengan hambatan berupa benda dengan kekakuan elastik,
medan aliran sekitar benda akan berubah dan bisa menimbulkan getaran pada benda.
Getaran ini kembali akan merubah medan aliran di sekitar benda, menyebabkan
perubahan gaya dan memperngaruhi getaran pada benda. Interaksi berkelanjutan
antara medan aliran, gaya dan getaran inilah yang disebut fenomena aeroelastik.
Bluff body aerodynamics

Bisa diturunkan
persamaan closed-form
dengan teori potensial
Pola aliran untuk benda dengan B/D besar (> 2.8)
Fenomena getaran pada jembatan akibat angin

dari Fujino & Siringoringo, 2013


Keruntuhan
Jembatan Tacoma
Narrow (853 m)
pada tahun 1940
GALLOPING
Instabilitas galloping

adalah getaran single-degree of freedom pada arah tegak lurus aliran angin dan bersifat
divergen, sehingga bisa menimbulkan kegagalan elemen struktur.

Galloping terjadi jika arah gaya angkat quasi-steady pada benda dengan sudut serang
tertentu bersesuaian dengan arah gerak benda. Hal ini menyebabkan gaya aerodinamik
memberikan amplifikasi pada getaran dan redaman akibat aerodinamik bernilai negatif.
Dari penjelasan mekanisme terjadinya galloping, maka konsep dasar memitigasi
galloping adalah dengan memodifikasi bentuk bawah pada dek jembatan
sehingga terbentuknya inner circulatory flow bisa dihindari.

Contohnya adalah pemasangan lower skirt pada Jembatan Tozaki dan pelat
horisontal pada Jembatan Akses Bandara Kansai.
Pemasangan lower skirt dan double flap pada Jembatan Tozaki
(Fujino dkk, 2012)
Pemasangan pelat horisontal pada Jembatan Akses Bandara Kansai
(Honda dkk, 1990)
Ge dkk (2002)
melakukan studi
terhadap dek jembatan
Yadagawa
Penampang asli

Penampang dengan
40% slot
Penampang dengan
deflector
Penambahan deflector meningkatkan stabilitas dek secara sangat signifikan
Aplikasi modifikasi penampang pada kaki
pylon Jembatan Higashi Kobe
Kaki pylon jembatan ini tidak memiliki upper cross beam, sehingga kaki pylon menjadi
relatif fleksibel. Rasio B/D adalah antara 1.0 – 1.35.

Bentuk penampang dengan adanya corner cut dengan rasio B/D tertentu terbukti
mampu memitigasi galloping pada kaki pylon karena menghindarkan terjadinya inner
circulatory flow akibat terjadinya reattachment (Shiraishi dkk, 1988)
Kesimpulan - Galloping

1. Fenomena galloping merupakan fenomena yang bisa didekati dengan anggapan


gerakan yang quasi-steady
2. Galloping terjadi pada benda dengan B/D relatif kecil
3. Strategi mitigasi galloping adalah dengan memodifikasi bentuk penampang
(terutama penampang bagian bawah) sehingga bisa menghindarkan terjadinya
inner circulatory flow
FLUTTER
Analisis dan Mekanisme
Terjadinya Flutter
Flutter adalah getaran akibat aliran angin yang diinisiasi oleh gerakan benda tersebut.
Gerakan pada benda benda tidak teredam oleh sistem, malah semakin membesar karena
gaya aerodinamik yang terjadi memberikan energi pada sistem.

Seperti pada galloping, flutter juga merupakan getaran yang bersifat divergen dan bisa
menyebabkan ketidakstabilan elemen struktur, terutama pada dek jembatan.

Massa, redaman, kekakuan, bentuk penampang dan karakteristik aliran (seperti sudut
serang) menjadi faktor yang sangat penting dalam flutter.

Fenomena flutter yang umum pada jembatan adalah torsional flutter (hanya melibatkan
gerak torsional) dan coupled flutter (melibatkan interaksi gerak vertikal dan torsional).
Dari penjelasan di atas, diketahui bahwa flutter dipengaruhi oleh 3 hal: karakterisitik
aerodinamik penampang dek, parameter struktur jembatan (kekakuan, massa,
redaman) dan karakteristik aliran.

Karena karakteristik aliran merupakan fenomena alam yang tidak bisa dimodifikasi,
maka pendekatan untuk mitigasi flutter dilakukan dengan 2 cara: pendekatan
aerodinamik dengan mencari bentuk dek dengan sifat aerodinamik yang bagus, serta
pendekatan struktur untuk menghasilkan struktur yang lebih kaku.
Analisis Flutter

Flutter Analysis

Fully experimental Hybrid: Fully numerical and


Experimental and mathematical analysis
mathematical analysis
dari Permata, 2014
dari Fujino dkk, 2012
Pemodelan bi-modal dengan model 2D

Solusi analitis (Theodorsen function)

Persamaan untuk bluff body


(menggunakan aeodynamic derivatives)
Aerodynamic derivatives pelat tipis
(solusi analitis sesuai Theodorsen function)

2 
H 
*
F (k ) A1*  F (k )
1
k k
2  1 F (k ) G(k )   1 F (k ) G (k ) 
H 2*   A2*     
    k 2 2 k 
k 2 2 k 
  F (k ) G (k ) 
2  F (k ) G(k )  A3*    
H 3*      k k 2 
k  k k  
2 A4*  G (k )
H 4*   G (k ) k
k
C(k): Theodorsen function with k: reduced frequency, k=b./U with  is circular
frequency=2..f

H 1( 2) (k )
C (k )  ( 2) F (k )  iG (k )
H 1 (k )  iH 0 (k )
( 2)

where Hv(2) is the Hankel function of second kind. The value of C(k) could be
approximated by using equation proposed by R. T. Jones as follows:

a.k 2 c.k 2  k .a.b k .c.d 


C (k )  1  2   i   2 
b k 2
d k
2 2
b k
2 2
d k 
2
Aerodynamic derivatives

Sebaiknya dibandingkan dengan


nilai hasil Theodorsen function
untuk mendapatkan gambaran
perilaku aerodinamik penampang
dengan cepat.

Karakteristik aerodinamik pelat


B/D=20 hampir sama dengan hasil
Theodorsen function.

Nilai ini juga akan mirip dengan


aerodynamic derivatives
penampang streamlined single box
girder
Nilai aerodynamic derivatives ini bisa didapatkan dari pengujian terowongan angin,
baik dengan cara free vibration ataupun forced vibration.

Cara free vibration  kondisi pengujian mendekati kondisi riil; membutuhkan system
identification untuk bisa meng-ekstrak nilai aerodynamic derivatives tsb., tidak
membutuhkan alat motor yang mahal; set up eksperimen lebih rumit karena harus
meng-adjust frekuensi sistem

Cara forced vibration  membutuhkan motor untuk menggerakkan benda uji


(harganya relatif mahal); nilai aerodynamic derivatives lebih mudah untuk didapatkan
Mendapatkan aerodynamic derivatives dengan pengujian terowongan angin
menggunakan cara forced vibration:

1. Pengukuran langsung dengan loadcell  langsung didapatkan besaran aerodynamic


derivatives

2. Pengukuran tekanan permukaan  harus dilakukan integrasi tekanan permukaan di


sepanjang penampang; tidak bisa dilakukan pada benda uji yang sesuai bentuk riil
jembatan dengan railing, barrier, dll, karena membutuhkan pemasangan pressure tab
Pengukuran aerodynamic derivatives dengan loadcell
Unsteady pressure characteristics : and
Unsteady pressure characteristics : and
Bagaimana mendapatkan aerodynamic derivatives dari data
unsteady pressure characteristics:
Penyelesaian persamaan flutter dengan complex eigen value (CEV)
Contoh hasil analisis flutter dengan complex eigen value (CEV)

Model F

d frequency
4.5 6
4
Ucr=9.8 m/s
3.5
Ur cr=7.39 5

3
4
2.5

2 3
1.5

1 2

0.5
1
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16
-0.5
0
-1 0 2 4 6 8 10 12 14 16

delta_H-CEV delta_T-CEV f_H-CEV f_T_CEV

Terjadinya flutter adalah ketika redaman pada


salah satu mode getar menjadi = 0
Matsumoto dkk (2002) menggunakan metode Step-by-step atau SBS untuk menjelaskan
mekanisme flutter dan menyimpulkan bahwa A2*, H1*, A1* dan H3* adalah aerodynamic
derivatives yang penting untuk stabilisasi flutter.

A2* terkait dengan stabilitas gerak torsional, dan H1* terkait dengan stabilitas gerak
vertikal. A1* dan H3* berkaitan dengan coupled flutter pada gerakan 2 derajat kebebasan,
di mana A1* terkait besarnya momen aerodinamik akibat gerakan vertikal dan H3* terkait
besarnya gaya angkat aerodinamik akibat gerakan torsional.

Strategi untuk mendapatkan dek yang lebih stabil adalah dengan memodifikasi
aerodynamic derivatives sehingga:
1. A2*, H1* memiliki nilai negatif (untuk menghindari redaman negatif) dan
2. A1* , H3* memiliki nilai absolut yang rendah atau mendekati nol (artinya interaksi
antar gerakan torsional dan vertikal sangat kecil).
dari Matsumoto dkk, 2002)
Chen & Cai, 2003:

Frekuensi torsi
dan vertikal
tidak berimpit
saat flutter
terjadi

Redaman
gerak torsi = 0
pada
kecepatan 87
m/detik.
Aerodynamic derivatives H3*
menyebabkan terjadinya gaya angkat
vertikal akibat gerakan
torsional/rotasional
Usulan tahapan studi flutter suatu dek dengan bentuk penampang yang baru:

Tahap A adalah mengukur unsteady pressure characteristics dek dengan uji terowongan
angin atau simulasi CFD,
selanjutnya bisa ditampilkan dalam bentuk riwayat waktu tekanan permukaan pada dek
ketika mengalami getaran seperti pada gambar B.
Dengan data tekanan permukaan, maka bisa dikonstruksi perkiraan bentuk medan
aliran di sekitar dek seperti pada gambar C (pendekatan yang lebih valid adalah
menggunakan visualisasi aliran).
Nilai aerodynamic derivatives (D) bisa dihitung dengan mengintegrasikan nilai unsteady
pressure characteristics, dengan pengukuran langsung di uji terowongan angin atau
simulasi CFD.
Data aerodynamic derivatives bisa digunakan untuk menghitung kecepatan kritis flutter
(E).
Tahap terakhir adalah verifikasi hasil analitis dengan uji terowongan angin free vibration

 Uji free vibration dek


(Jembatan Musi VI, Palembang)

 Uji free vibration full


model dengan terrain
(Jembatan Ngarai
Sianok, Bukittinggi)
Analisis flutter dengan Selberg Formula:

Tidak membutuhkan data aerodynamic
derivatives

Diturunkan dari penampang pelat tipis

Contoh kasus:
perbandingan flutter dengan karakterisik aerodynamic derivatives
yang berbeda, dan validasi hasil Selberg formula

Test case: NF-II-A and SC (aerodynamic derivatives data dari Trein, 2009)
Aerodynamic derivatives penampang
NF-II-A dan SC

 Penampang NF-II-A rentan


terhadap torsional flutter
(A2* positif)

 Penampang SC memenuhi
kriteria dek stabil menurut
Matsumoto.

 Nilai Theodorsen function


digunakan sebagai
pembanding
Titik: hasil analisis dengan CEV
Garis: hasil analisis dengan Selberg formula

Solusi dengan Selberg formula


valid hanya untuk kasus dek dengan
karakteristik aerodinamik yang
mirip dengan pelat tipis

 Dek SC terbukti lebih stabil


daripada pelat tipis
 Kecepatan kritis flutter tidak hanya
tergantung pada rasio frekuensi, tetapi juga
 Dek NF-II-A memiliki stabilitas
kepada besarnya frekuensi tsb.
paling rendah
Perkembangan mitigasi flutter pada
dek jembatan bentang panjang
Penampang dek berbagai jembatan
suspension bentang panjang

dari Permata, 2014


Proposal / Usulan yang masih konseptual
Trend untuk masa depan:
kontrol aktif dan pasif (?)
Studi terbaru tentang aplikasi kontrol aktif oleh Li dkk (2017)
Pergerakan winglet yang mengikuti mekanisme kontrol berdasarkan gerakan dek utama
terbukti mampu mengurangi getaran dek tersebut.
Jembatan Selat Sunda

Ref: Budiono B., 2011


Usulan dari Prof. Wiratman Wangsadinata (1997)
Usulan dari PT. BSM (Prof. Wiratman Wangsadinata dkk.)
Usulan dari Prof. Bambang Budiono dkk
Usulan dari FX Supartono
Riset S3 di Kyoto University
MODEL - F
Case U(m/s) ratio
MODEL - 1A F 9.8 1.00
MODEL - 1B
1A 8.4 0.86
MODEL - 1C 1B unstable -
MODEL - 1D 1C unstable -
1D 6.3 0.64
MODEL - 1E
1E 8.9 0.91
MODEL - 1F 1F 9.5 0.97
MODEL - 2A
2A 8.9 0.91
MODEL - 2B 2B unstable -
MODEL - 2C 2C 8.5 0.87
2D 8.7 0.89
MODEL - 2D
2E 7.7 0.79
MODEL - 2E

MODEL - 4A 4A >35.2 >3.59


4B unstable -
MODEL - 4B
4C unstable -
MODEL - 4C
6 unstable -
MODEL - 6
Riset S3 di Kyoto University
Comparison of Case/Model 4A with another proposed slotted deck section
Riset S3 di Kyoto University
Riset S3 di Kyoto University

Model Ur cr ratio Ur cr

F 5.74 1.00
F +f 6.10 1.06
F +w 6.56 1.14
F +f+w 6.98 1.22

1B unstable -
1B +f 6.42 1.12
1B +w 6.59 1.15
1B +f+w 7.50 1.31

2B unstable -
2B +f 6.96 1.21
2B +w 7.31 1.27
2B +f+w 8.21 1.43

4A > 25.00 > 4.36


4A +f 1.81 0.32
4A +w > 25.00 > 4.36
4A +f+w 7.73 1.35

6 unstable -
6 +f 9.39 1.64
6 +w 24.80 4.32
6 +f+w 9.88 1.72
 Winglet sangat penting untuk menjamin stabilitas terhadap torsional flutter
 Besarnya spasi antar segmen dek atau slotted sangat mempengaruhi stabilitas
flutter
Kesimpulan - Flutter

 Sering kali laporan hasil pengujian terowongan angin hanya memberikan kecepatan
kritis flutter tanpa ada informasi lainnya seperti aerodynamic derivatives.
 Hal ini mungkin bisa diterima jika bentuk dek sudah umum, namun akan menjadi
masalah jika dilakukan pada kajian bentuk dek yang baru atau pada jembatan bentang
sangat panjang
VORTEX-INDUCED VIBRATION
(VIV)
Beberapa karakter VIV:
 terjadi pada kecepatan yang relatif lebih rendah dari flutter
 Terjadi hanya pada rentang kecepatan tertentu
Pemasangan flap dan bottom plate pada dek jembatan cable
stayed di Jepang (Katsuchi dkk, 2013)
Pemasangan guide vane di bawah dek Jembatan Great Belt East (kiri, dari Larsen
dkk, 2000) dan mekanisme reduksi trailing edge vortex oleh guide vane (kanan,
dari Larsen & Poulin, 2005)
Optimasi sudut sisi miring dek box girder (< 150) untuk mereduksi
getaran vertikal VIV (Larsen & Wall, 2012)
Kesimpulan - VIV

1. Pemodelan matematis fenomena VIV masih menjadi topik penelitian yang


terbuka, sehingga studi dek jembatan untuk mengkaji potensi VIV masih banyak
dilakukan dengan uji terowongan angin atau model CFD
2. Cara memitigasi VIV pada dek jembatan yang sering digunakan adalah:
- Pemasangan damper
- Pemasangan elemen tambahan  flap, guide vane
- Optimasi bentuk dek untuk meminimalkan vortex shedding
VIBRASI PADA HANGER
JEMBATAN BUSUR BAJA
Terlihat bahwa jembatan busur baja sepertinya aman terhadap getaran akibat
angin (Ge & Xiang, 2009)
Getaran hanger pada jembatan busur baja hanya ditemukan pada jembatan dengan
bentang relatif panjang dan hanger dengan profil H.

Cukup dengan menggunakan hanger berupa strand atau tension rod yang berbentuk
lingkaran, maka masalah ini bisa diatasi.

Profil H, meskipun secara aerodinamik tidak bagus, masih tetap menjadi pilihan
karena kemudahan pemasangan dan penyambungan, ketersediaan material dan
fabrikator/kontraktor sudah sangat familiar dengan bentuk penampang ini.
Chen dkk (2012) mempelajari hanger dengan bentuk profil H dan menganalisis
pengaruh lubang di sayap atau badan terhadap stabilitas aerodinamik hanger
tersebut.

Jembatan Dongping Keretakan pada sambungan


hanger dengan girder pada
Jembatan Dongping akibat
getaran hanger
Penambahan lubang pada badan dan sayap profil H
Rasio lubang di badan
pada hanger adalah:
Model A-1 : 0%
Model A-2 : 14%
Model A-3 : 27%
Model A-4 : 38%

Model A-3 adalah model


yang digunakan pada
struktur jembatan
Dongping

 Penambahan
lubang di badan malah
cenderung
mengurangi stabilitas
terhadap torsional
flutter
 Penambahan
lubang di badan malah
meningkatkan
stabilitas terhadap
galloping
Tabel S1, S2 dan S3 malah tidak ditemukan pada paper ini (???)
Andika dkk (2018) juga
melakukan studi
terhadap hanger profil
H, hexagonal dan
lingkaran
 Terjadinya VIV sangat
dipengaruhi oleh sudut
serang.
 Pada sudut serang 0o dan
15o, profil H lebih rentan
terhadap VIV pada
kecepatan rendah
 Pada sudut serang 30o, profil
hexagonal tetap lebih stabil
tetapi terjadi VIV pada
kecepatan tinggi dengan
amplitudo sangat besar
Profil lingkaran lebih aman terhadap VIV pada kecepatan rendah, tetapi
pada kecepatan tinggi terjadi VIV dengan amplitudo sangat besar
Kesimpulan – Getaran pada hanger

1. Penggunaan profil H pada hanger menimbulkan potensi getaran dengan


mekanisme yang cukup komplek dan bisa terjadinya berbagai fenomena
aeroelastik
2. Penggunaan lubang pada sayap ataupun badan mempengaruhi stabilitas haner.
Tetapi penambahan lubang ini juga menimbulkan masalah baru dari sisi kekuatan
struktur dan fabrikasi
3. Profil lingkaran dan hexagonal lebih stabil daripada profil H. namun perlu
diperhatikan bahwa ada potensi getaran VIV dengan amplitudo besar pada
kecepatan tinggi  strategi yang tepat adalah dengan membatasi kekakuan
minimal hanger sehingga kecepatan onset VIV tersebut berada di atas kecepatan
angin di loaksi jembatan
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai