Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

“PENGERTIAN & CONTOH DARI ILMU HUSULI & ILMU HUDURI ”


DI AJUKAN SEBAGAI MEMENUHI PERSYARATAN MATA KULIAH
“STUDI HADIS DALAM TASAWUF”

Dosen Pengampu : Repa Hudan Lisaman, M.Ag.

DiSusun Oleh : Kelompok 2


Program Studi ilmu hadits Kelas IH A / VI

Wahyudin 191370032
M. Sowi Alhijry 191370002

FAKULTAS USHULLUDIN DAN ADAB


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA
HASANUDIN BANTEN
TAHUN 2022

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Puja dan
Puji syukur kami panjatkan kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan
Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah Pendidikan
Kewarganegaraan dengan judul “PENGERTIAN & CONTOH DARI ILMU HUSULI &
ILMU HUDURI ” Tepat Waktunya.
Penulisan makalah ini telah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung
bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak
lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan
lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi
saran/kritik.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat
diambil manfaat dan besar keinginan kami agar menginspirasi para pembaca untuk
mengangkat permasalah lain yang berkaitan pada makalah-makalah selanjutnya.

Serang, 20 Februari 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................ii


DAFTAR ISI .................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah...............................................................................4
II. Perumusan Masalah ...................................................................................4
III. Tujuan Masalah ........................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

I. Pengertian dan contoh dari ilmu husuli .........................................5-10

II. Pengertian dan contoh dari ilmu hudhuri........................................10-14

III. Hubungan ilmu hushuli dan hudhuri...................................................15-21

BAB III PENUTUP

I. Kesimpulan........................................................................................... 22-23

iii
BAB I
(PENDAHULUAN)
I. Latar Belakang Masalah
Ilmu merupakan pola pikir yang tertuang secara sisitematis dan tertata. Sesuatu yang
nampak biasa saja akan hebat apabila di terapkan sebuah ilmu yang mengatur keadaan
tersebut. Ilmu duniawi atau ilmu ukhrowi keduanya sangat penting bagi manusia apalgi
mahasiswa sebagai kaum inteletual yang harus bisa menyimbangkan dan menguasai
keduanya. Pada dasarnya ilmu di buat atau di cetuskan untuk menyelesaikan suatu masalah
bukan malah memperkeruh atau memperumit masalah, nah dengan begitulah tujuan dan
fungsi ilmu bisa tersampaikan dengn tepat dan relevan.

Ilmu hushuli adalah ilmu yang di dapat melalui konseptualisasi (al-ilmu al-hushuli)
ilmu hudhuri adalah bentuk nyata dari epistemologi islam yang mendasarkan sebuah
pengetahuan yang di peroleh dengan kehadiran (al-ilmu al-hudhuri). Kedua istilah ni
memiliki pengertian yang bertolak belakang, tetapi memiliki ketekaitan anata satu sama
lainnya. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan di bahasa lebih lanjut mengenai ilmu
hushuli dan ilmu hudhuri mengenai kajian literatur tasawuf.

II. Perumusan Masalah


1. Apa pengertian dan contoh dari ilmu husuli ?
2. Apa pengertian dan contoh dari ilmu huduri ?

III. Tujuan Kepenulisan


1. Dapat memahami ilmu husuli
2. Dapat memahami ilmu huduri

4
BAB II
( PEMBAHASAN )

1. Pengertian dan contoh ilmu hushuli

Secara harfiah, kata “ilmu” berasal dari bahasa arab “‟ilm” yang merupakan turunan
dari kata „alima yang berarti tahu atau mengetahui. Ilmu hushuli merupakan pengetahuan
yang di dapat berdasarkan proses korespondensi yang terjadi antara subjek dengan objek
ekstenal, sehingga keduanya merupakan eksistensi independen yang berbeda satu sama lain. 1

Menurut Suhrawardi, ilmu ushuli atau di sebut juga sebagai ilmu pemahaman atau
ilmu ide adalah ilmu dimana “yang mengetahui” memahami bentuk dan ide tentang sesuatu
“yang di ketahui” di dalam dirinya sendiri. Sedangkan dalam pandangan Allamah Tha ba
thaba‟i. Ilmu hushuli adalah pengetahuan yang melaluinya kita mencapai realitas dalam
bentuk gambaran.2

Ilmu hushuli (acquired knowledge) adalah sejenis pengetahuan yang melibatkan


obyek subyektif maupun obyek obyektif secara terpisah, dan yang mencakup hubungan
korespondensi antara salah satu obyek ini dengan yang lain. Dalam kenyataannya, kombinasi
obyek-obyek luar dan dalam beserta derajat maksimum korespondensi antara mereka
membentuk esensi jenis pengetahuan ini. Karena korespondensi betul-betul merupakan
hubungan dua pihak secara hakiki, maka dapat dikatakan dengan logis bahwa apabila
hubungan ini terjadi, pasti ada konjungsi antara satu obyek, A, dengan obyek lain B.
Hubungan itu tidak berlaku apabila salah satu arah konjungsi tidak benar. Seandainya tidak
terdapat obyek eksternal, maka tidak akan ada gambaran dan representasinya. Akibatnya,
tidak terdapat kemungkinan lahirnya hubungan korespondensi antara keduanya, dengan
demikian tidak ada pula kemungkinan bagi eksistensi jenis pengetahuan itu sama sekali.
Sebagaimana dipaparkan di atas, obyek eksternal memainkan peran utama dan mendasar

1
Fathul Mufid, “Epistemologi ilmu hudhuri mulla sadra”, jurnal Al Qalam29, No. 2 (Mei-
Agustus 2012): 215-38., h.217
2
Heru Dayatullah, “Studi Komparatif Epistemologi Suhrawardi dan Allamah
Thabthabai,”Jurnal Teknologi Pendidkan” 2, no. 1 (Januari 2013); 89-109
5
dalam esensialitas ilmu hushuli (pengetahuan dengan korespondensi), 3 tetapi hal ini tidaklah
menjadi bagian pembentuk ilmu hudhuri (pengetahuan dengan kehadiran). Sekarang ada
keharusan untuk mendiskusikan ciri-ciri masing-masing spesies pengetahuan ini.

Apabila ada dua eksistensi yang mandiri dan independen sedemikian rupa sehingga
keadaan eksistensial yang satu sama sekali tidak berkaitan dengan atau berasal dari yang lain,
dan konsekuensinya tidak ada hubungan kausalitas yang konstan antara keduanya, maka
tampaknya adalah benar kalau dikatakan bahwa yang satu “mutlak netral” dalam
hubungannya dengan yang lain. Cara lain untuk menyatakan hal ini adalah bahwa kedua
wujud yang berbeda ini “berjauhan” secara eksistensial dari yang lain. Dengan demikian,
dapat dikatakan dan ditafsirkan bahwa keduanya secara eksistensial absen dari dan tidak
hadir bagi atau tidak bersatu dengan yang lain.

Di sini, seperti yang telah ditunjukkan, kata “ketidakhadiran” yang sangat sering
dipakai dalam teknik linguistik filsafat Iluminasi, berarti bahwa tidak ada kaitan dan
hubungan logis, ontologis, atau bahkan epistemologis antara kedua eksistensi tersebut, yang
dianggap berada dalam situasi dan kondisi wujud yang sama sekali berbeda. Ungkapan
“mutlak netral” karenanya adalah ungkapan yang sah untuk menamai pengertian
ketidakhadiran yang khusus seperti itu.

Suatu entitas mental atau hal-hal yang berada di alam pikiran berhadapan dengan
sebuah obyek eksternal pertama-tama akan tampak sebagai dua eksistensi yang mutlak netral
terhadap dan tidak hadir bagi yang lain. Ini berarti bahwa keduanya tidak terikat secara logis,
ontologis, ataupun epistemologis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa “netralitas”
seperti itu tak pernah bisa dihilangkan sama sekali dan diubah menjadi “kesatuan mutlak”
sehingga kedua eksistensi itu menjadi satu realitas dan sama secara serempak dan dalam
segala hal. Adalah suatu kontradiksi dan kekeliruan yang nyata bahwa sebuah entitas mental
dan obyek eksternal menjadi identik dan menyatu secara mutlak, baik secara logis, ontologis,
atau epistemologis apabila keduanya dianggap berbeda dalam ketiga kriteria ini.

Hanya ada satu kemungkinan bagi kedua eksistensi yang berbeda ini untuk
berkumpul, bersatu, dan terikat satu sama yang lain melalui semacam unifikasi. Yakni

3
Suatu obyek eksternal bisa dikatakan “diketahui dan dipahami” apabila dalam “subyek yang
mengetahui” terdapat suatu representasi yang berkorespondensi dengan obyek tersebut. Lihat
Suhrawardi, Kitab Al-Masy‟ari wa Al-Mutartihat, ed. H.Corbin (Istanbul, 1945),hal. 479.

6
unifikasi fenomenal yang bersifat epistemik, bukan logis ataupun ontologis. Sebuah obyek
eksternal boleh jadi memiliki, di samping realitas faktualnya yang termasuk dalam tatanan
wujud, sebuah representasi fenomenal dalam pikiran kita, 4yang berhubungan dengan tatanan
konsepsi. Ini tidak berarti sebuah tatanan wujud eksternal muncul, berada, dan berdiam dalam
pikiran kita sehingga secara eksistensial dianggap bersatu dengan pikiran kita, dan sekaligus
dipandang termasuk dalam tatanan konsepsi. Juga bisa dikatakan bahwa salah satu ciri utama
tatanan konsepsi adalah bahwa dengan bersifat mental ia sangat bergantung dan mendapatkan
realitasnya dari diri kita serta dihasilkan oleh pikiran kita dalam wilayah aksi fenomenal kita,
sementara tatanan wujud dicirikan oleh eksisnya ia tidak dalam diri kita, tetapi dalam dirinya
sendiri, dan terletak di luar diri kita di dunia eksternal yang independen terhadap pancaran
mentalitas kita.

Telah ditegaskan bahwa satu-satunya cara yang mungkin diambil ke arah unifikasi
kedua eksistensi yang pada awalnya netral itu adalah unifikasi epistemik. Akan tetapi,
bagaimana sifat unifikasi ini dan bagaimana ia terjadi, tetap menjadi sebuah pertanyaan.
Jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan ini terletak pada gagasan korespondensi (al-
muthabaqat). Arti korespondensi yang dipakai dalam teori pengetahuan ini ringkasnya adalah
“kemiripan” dalam isi dan “keidentikan” dalam bentuk. 5Artinya, bentuk internal disatukan
dengan bentuk material eksternal, akan tetapi eksistensi mental tak pernah identik dengan
eksistensi eksternal. Kedua mode eksistensi yang berbeda itu karenanya saling menyerupai
satu sama lain berkat unifikasi formal. Jika keidentikan formal ini tidak ada, maka tidak akan
ada kemungkinan “komunikasi” antara pikiran manusia dengan dunia realitas6.

Ketika kita berbicara tentang gagasan korespondensi (al-muthabaqat), tentu saja harus
dicatat bahwa paling tidak pada saat ini kita tidak berurusan dengan penetapan kriteria
pernyataan-pernyataan logis yang mesti benar atau salah. Dalam filsafat Iluminasi persoalan
ini dipandang berasal dari persoalan-persoalan yang sudah ada sejak asalnya. Bagaimana
pengetahuan kita bisa berkorespondensi dengan dunia realitas? Atau, dengan perkataan lain,
bagaimana kita bisa memahami dunia eksternal kita sebelum kita mampu berbicara dan
membuat kalimat-kalimat mengenainya? Inilah pokok dan ranah pembicaraan yang menjadi

4
“Representasi fenomenal” ini dalam bahasa Ilmuminasi Islam disebut al-asrar al-muthabiq li
al-waqi‟, yang berarti efek mental yang berkoresponden dengan realitas obyek tersebut. Lihat
Kitab Al-Masyari wa Al-Mutharihat (Istanbul, 1845), hal. 479.
5
Ini adalah pengertian khas Islam mengenai fenomenologi pikiran. Lihat Kitab Al-Asfar,
jilid 2, pasal 4.
6
Mulla Hadi Sabziwari, Syarh-I Manzhumah, hal. 58-85.
7
perhatian kita dalam masalah keadaan dimana suatu pernyataan tertentu adalah benar atau
salah, adalah masalah lain yang mesti dibahas pada tempat tersendiri.

Telah ditunjukkan bahwa tidak seperti ilmu hudhuri (pengetahuan dengan kehadiran),
ilmu hushuli (pengetahuan dengan korespondensi) ditandai oleh keterlibatan pengertian
ganda obyektivitas (yakni ilmu hushuli mempunyai dua obyek, obyek subyektif-esensial dan
obyek obyektif-aksidental). Ia mempunyai obyek subyektif (yang terletak dalam pikiran),
sebagai esensi yang diperlukan oleh pengetahuan seperti itu, dan juga mempunyai obyek
obyektif yang terletak di luar tatanan konsepsi (yang terletak di alam eksternal) dan
merupakan rujukan obyektif pengetahuan tersebut. Obyek yang pertama oleh filsafat
Iluminasi disebut “obyek yang hadir”, dan obyek yang terakhir disebut “obyek yang tak
hadir”, yang realitasnya terpisah dari realitas pikiran “subyek yang mengetahui”.

Dalam kasus pengetahuan ini, obyek subyektif memainkan peran representasi


perantara dalam pencapaian suatu pengetahuan. Artinya, obyek subyektif, melalui
konseptualisasi, menyuguhkan realitas obyek eksternal di hadapan pikiran “subyek yang
mengetahui”. Untuk mencapai tindakan representasi ini harus ada “kesesuaian” dan
“keidentikan” dalam pengertian korespondensi antara kedua jenis obyek tersebut. Sebagai
representasi, obyek subyektif dan esensial, dan karenanya keseluruhan kesatuan pengetahuan,
hanya bisa dimengerti apabila ia memiliki kesesuaian dan korespondensi dengan obyek
eksternal. Karenanya, ilmu hushuli (pengetahuan dengan korespondensi) adalah pengetahuan
dimana:

a. Terdapat dua jenis obyek: obyek internal (obyek esensial dan imanen) dan
obyek eksternal (obyek aksidental dan transitif). Artinya, baik obyek subyektif
maupun obyek obyektif harus sudah berada dalam tatanan aktual.

b. Ada hubungan korespondensi antara kedua obyek tersebut.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, karena hubungan korespondensi bersifat


aksidental, artinya, pengetahuan kita mungkin berkoresponden atau tidak dengan realitas
eksternal, maka dualisme logis kebenaran dan kesalahan, atau kekeliruan, perlu
dipertimbangkan. Apabila obyek subyektif-esensial kita benar-benar berkoresponden dengan
obyek obyektif-aksidental, maka pengetahuan kita mengenai dunia eksternal adalah benar
dan sahih, akan tetapi apabila kondisi koresponden belum diperoleh, maka kebenaran
pengetahuan kita tidak akan pernah dihasilkan. Ini karena oposisi terhadap kebenaran dan

8
kesalahan termasuk jenis oposisi khusus. Ia menuntut suatu relasi yang aplikasinya dapat
bersifat simetris bahkan jika hubungan itu tak simetris. Ini berarti bahwa pada setiap
proposisi atau kalimat dimana kualitas “kebenaran” bisa diterapkan, kualitas kesalahan
dengan alasan yang sama bisa diterapkan secara potensial, dan terhadap setiap proposisi atau
kalimat dimana kualitas kesalahan bisa diterapkan, maka kualitas kebenaran, atas dasar yang
sama secara potensial juga bisa diterapkan.

Dalam filsafat Iluminasi, menurut prinsip-prinsip yang layak, telah dikembangkan


oposisi-oposisi (taqâbul) tertentu yang tidak dapat ditemukan dalam kotak perlawanan
tradisional. Di antaranya, oposisi dan taqâbul terhadap apa yang disebut sebagai “bakat dan
privasi” („adam wa malakah) mesti dikhususkan dalam kaitannya dengan kebenaran dan
kepalsuan. Sifat oposisi ini, ketika dielaborasi, menyarankan suatu kategori oposisi yang di
dalamnya mesti terdapat sesuatu yang memenuhi syarat bagi pemenuhan salah satu kualitas
yang berlawanan. Sebuah contoh yang disebutkan oleh para filosof ini adalah obyek
bernyawa yang memenuhi syarat untuk melihat atau buta, yang kerentanan terhadapnya tidak
dimiliki oleh obyek tak bernyawa. Kita bisa mengatakan bahwa individu atau spesies
binatang tertentu buta karena pada keadaan generik ia mempunyai kemampuan untuk
melihat. Akan tetapi, kita tidak akan pernah bisa mengatakan bahwa benda tertentu (tak
bernyawa), katakanlah batu, adalah buta karena keadaan generik dari benda ini tidak
menganggap akan adanya kemampuan untuk dapat melihat. 7Jadi, benda apapun yang
mempunyai, menurut fitrahnya mempunyai “kemampuan” untuk memenuhi salah satu
kualitas yang berlawanan ini, ia mempunyai kemampuan dan kerentanan untuk
dikualifikasikan oleh kualitas yang lain, dan sebaliknya. Perlawanan (tashâd) antara
kebenaran dan kesalahan dianggap termasuk dalam jenis ini, dan berlaku hanya pada
penilaian-penilaian dan pernyataan-pernyataaan yang, melalui hubungan korespondensi,
memenuhi syarat untuk benar atau salah. Akan tetapi, ketika penerapan kriteria kesalahan
tidak berlaku, maka penerapan kriteria kebenaran juga tidak berlaku.

Melalui korespondensi dengan rujukan obyektifnya, ilmu hushuli (pengetahuan


dengan korespondensi) memiliki kemampuan untuk menjadi benar. Oleh karena itu, ada
kemungkinan pengetahuan ini tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang layak dan

7
Jenis perlawanan ini disebut „adam wa malikah‟. Lihat Sabziwari, Syarh-i Manzhumah, hal.
153.

9
sebagai akibatnya ia lantas menjadi salah. Akan tetapi, sifat dan karakteristik ini tidak berlaku
dalam ilmu hudhuri (pengetahuan dengan kehadiran), sebab jenis pengetahuan ini tidak
mempunyai kaitan dan hubungan apa-apa dengan korespondensi, sehingga tidak ada
kemungkinan untuk menjadi salah. Dengan demikian, ia tak mungkin dipersalahkan.
Sebagaimana dinyatakan oleh sifat perlawanan (tashâd), apabila tidak ada kerentanan
terhadap kesalahan, maka tidak ada pula makna bagi kebenaran. Dengan demikian, dualisme
kebenaran dan kesalahan hanya berlaku dalam perlawanan yang layak dimana kemungkinan
salah satu pihaknya merupakan tolok ukur bagi kemungkinan pihak lain. Ketidak mungkinan
yang satu juga dipandang sebagai kriteria bagi ketidak mungkinan yang lain. Akan tetapi,
seperti telah kita nyatakan, dalam derajat eksistensi ilmu hudhuri (pengetahuan dengan
kehadiran) yang tinggi terdapat versi kebenaran lain yang, seperti halnya pengetahuan itu
sendiri, termasuk dan digolongkan ke dalam tatanan eksistensi dan bukan tatanan konsepsi
dan representasi.8

2. Pengertian dan contoh ilmu hudhuri

Ilmu hudhuri (knowledge by presence) adalah sejenis pengetahuan yang semua


hubungannya berada dalam kerangka dirinya sendiri, sehingga seluruh anatomi gagasan
tersebut bisa dipandang benar tanpa implikasi apapun terhadap acuan obyektif eksternal yang
membutuhkan hubungan eksterior. Artinya, hubungan mengetahui, dalam bentuk
pengetahuan tersebut adalah hubungan swaobyek tanpa campur tangan koneksi dengan obyek
eksternal. Akan tetapi, dalam penyuguhan gagasan ini, apa yang terpaksa kita sebut obyek
obyektif (di alam eksternal) sama sekali tidak berbeda status ontologi dan eksistensialnya dari
obyek subyektif ( di alam pikiran). Artinya, jenis obyek yang telah kita sebut sebagai obyek
esensial bagi gagasan pengetahuan seperti itu, dan bersifat subyektif dan imanen dalam
pikiran subyek yang mengetahui, dalam ilmu hudhuri, mutlak bersatu dengan obyek obyektif.
Dengan demikian, obyek obyektif tak lagi absen (senantiasa hadir) dan aksidental bagi nilai
kebenaran ilmu hudhuri. Dengan perkataan lain, dalam ilmu hudhuri, obyek obyektif dan
obyek subyektif tidak lagi terbedakan dan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Oleh karena itu, ilmu hudhuri terdiri dari pengertian sederhana tentang obyektivitas yang

8
Untuk pembahasan mengenai semua pengertian penting “kebenaran”, lihat bahasan Al-
Farabi yang dikutip oleh Sabziwari, al-Manzhumah, hal. 170.

10
langsung hadir dalam “jiwa subyek yang mengetahui” („alim) dan dengan demikian, secara
logis tersirat dalam definisi konsepsi pengetahuan itu sendiri.

Dalam analisis hubungan mengetahui, terdapat kesatuan kompleks yang membentuk


keseluruhan hakikat hubungan ini. 9Dalam eksistensi mentalnya (di alam pikiran), kesatuan
ini pada awalnya sederhana. Akan tetapi, perenungan dan pengkajian mengenai kesatuan ini
dapat secara sah memecah kesederhanaannya menjadi tiga bagian sehingga bisa dianalisis
melalui perenungan tentang tindak “mengetahui”, “subyek yang mengetahui”, dan “obyek
yang diketahui”. Tiga serangkai yang konseptual dalam kaitannya dengan gagasan ilmu
hudhuri ini bisa diderivasikan dari perenungan tentang kesederhanaan primordial eksistensi
mental yang konstruktif dari tindak imanen dan esensial mengetahui itu sendiri, jenis
tindakan yang mutlak identik dengan eksistensi pikiran manusia itu sendiri. Sedangkan
tentang kesatuan mutlak antara tindak “pengetahuan” dengan pikiran “orang yang yang
mengetahui”, telah kita tinjau dalam makalah terdahulu bahwa kesatuan mutlak seperti itu
adalah kesatuan yang menjadi komitmen teori Ibnu Rusyd tentang “kebahagiaan” dan
10
pengertian transubstansiasinya. Dalam hal pengetahuan “tentang diri” dalam jiwa, gagasan
Ibnu Sina yang ditafsirkan oleh hampir semua muridnya sebagai bertujuan pada bentuk
kesatuan mutlak yang sama, meskipun Ibnu Sina mengingkari kesatuan Porphyrian dari
“yang mengetahui” dengan “yang diketahui” dalam mode-mode pengetahuan lain11. Di
samping itu, salah satu tesis Shadr Al-Din, Mulla Sadra, yang paling masyhur adalah
kesatuan eksistensial antara “subyek yang mengetahui”, “obyek yang diketahui”, dan
“pengetahuan”. Tidak ada alasan mengapa kita harus tidak mampu menganalisis kesatuan
yang sederhana dan mutlak ini menjadi bagian-bagian konseptual yang berbeda, tanpa
kerumitan konseptualnya merusak ketunggalan dan kesatuan dari realitas yang “tak
berangkap” tersebut.12

9
Lihat kitab Al-Isyarat wa Al-Tanbihat dan komentar Thusi terhadap definisi pengetahuan
seperti itu dan gagasan “hudhur” dan “syuhud”, yang masing-masing berarti “kehadiran” atau
“kesadaran”. Ed. Sulayman Al-Dunya, hal. 363-65.
10
Jenis pengetahuan ini dalam terminologi ilmu hudhuri kami diberi nama “keidentikan”, jika
dibandingkan dengan pengetahuan-kehadiran dengan “iluminasi” dan penyerapan”. Yang
pertama adalah keunggulan, dan yang kedua adalah ketergantungan.
11
Ibnu Sina: “Di antara para filosof paripetik ada seorang bernama Porphyry yang meyakini
bahwa “pengetahuan” dan “hal yang diketahui” adalah satu dan tunggal. Kitab Al-Isyarat wa
Al-Tanbihat, Metaphysics, „namat‟.3.
12
Shadr Al-Din Al-Syirazi, Kitab Al-Asfar, jilid I, pasal 3.
11
Ambillah misalnya titik pusat sebuah lingkaran sebagai contoh. Secara matematis
dikatakan bahwa titik itu tunggal dan karenanya tidak bisa dibagi. Artinya, titik itu tidak bisa
dibagi menjadi beberapa titik pada pusat lingkaran. Namun, kita ketahui bahwa titik itu
mungkin dibagi ke dalam berbagai sisi dan arah jika secara konseptual kita telah
merenungkan dan mendefinisikannya sebagai “titik yang berjarak sama dari semua titik yang
ada di lingkaran yang mengelilinginya”. Jelas bahwa titik yang tak bisa dibagi itu kini telah
terbagi menjadi sisi-sisi yang berbeda menurut bagian yang mengena kepadanya di sekeliling
lingkaran itu. Sekalipun begitu, kita tahu bahwa multiplisitas yang tercermin dalam definisi
tentang pusat lingkaran ini tidak merusak ketunggalan dan kesatuan status matematisnya.

Yang ingin dikemukakan dari analogi di atas adalah bahwa sementara struktur orisinal
ilmu hudhuri adalah tunggal, tak berangkap, dan tak dapat dibagi-bagi, analisis konseptual
memecah belahnya menjadi tiga “bagian” yang saling berhubungan yang semuanya dicirikan
oleh keadaan-keadaannya yang esensial, hadir, dan bersifat mental. Akan tetapi, ketiga
“bagian” ini tidak bergerak lebih lanjut dan berubah menjadi sebuah obyek eksternal.
Sekalipun demikian, analisis ilmu hushuli, seperti akan kita lihat, melakukan hal itu; ia
mengambil obyek eksternal sebagai butir keempat dari esensialitasnya. Oleh karena itu, ilmu
hudhuri (pengetahuan dengan kehadiran) adalah pengetahuan yang nyata dengan sendirinya
(self-evident) dan memiliki obyek yang swaobyektif.13

Salah satu ciri ilmu dan pengetahuan hudhuri adalah kebebasannya dari dualisme
kebenaran dan kesalahan (yakni senantiasa sesuai dengan kebenaran dan realitas). Hal ini
karena esensi pola pengetahuan ini tidak berhubungan dengan gagasan korespondensi. Ketika
tidak ada obyek eksternal, maka korespondensi antara keadaan internal dan eksternal,
maupun antara “fakta eksternal” dan “pernyataan” tidak berlaku lagi. Dengan demikian,
sementara prinsip korespondensi telah secara luas diterima sebagai kriteria dan tolok ukur
kebenaran atau kesalahan sebuah pernyataan tentang obyek eksternal, dan sementara prinsip
yang sama telah diterima sebagai tolok ukur pemeriksaan kebenaran atau kesalahan dalam –
14
menurut pernyataan Russell- pengetahuan tentang kebenaran prinsip seperti itu tidak bisa,
dan tidak pula dituntut untuk diberlakukan dalam kasus pengetahuan dan ilmu hudhuri.

Karena dualisme kebenaran dan kesalahan bergantung secara substansial pada


hubungan korespondensi, pertama antara obyek “subyektif-esensial” (obyek yang ada di alam

13
Suhrawardi, Kitab Al-Tanbihat (Istanbul, 1945), hal. 72.
14
B. Russell, The Problems of Philosophy, bab 12, “Truth and Falsehood”(London, 1976).
12
pikiran) dengan obyek “obyektif-aksidental” (obyek yang eksternal), dan kedua antara sebuah
“pernyataan” dengan “acuan obyektifnya”, maka tidak akan ada penerapan dualisme seperti
dalam pengetahuan dan ilmu hudhuri. Apabila tidak ada korespondensi, maka tidak ada arti
konsep ilmu hushuli (pengetahuan dengan korespondensi); begitu pula pernyataan mengenai
pengetahuan ini, pernyataan mengenai sebuah obyek fisik, serta kebenaran atau kesalahan
pernyataan seperti itu. Konsekuensinya, karena terbebas dari korespondensi, “pengetahuan
dengan kehadiran” tidak rentan terhadap dualisme logis kebenaran dan kesalahan.

Ciri dan karakteristik lain “pengetahuan dengan kehadiran” (ilmu hudhuri) adalah
kebebasannya dari pembedaan antara “pengetahuan dengan konsepsi” (tashawwur) dan
“pengetahuan dengan konfirmasi” (tashdiq) . Tidak seperti pengetahuan dengan
korespondensi, “pengetahuan dengan kehadiran” tidak tunduk kepada pembedaan dari kedua
hal ini.

Pembedaan ini mula-mula dibuat oleh Ibnu Sina dalam karyanya Al-Mantiq untuk
menguraikan definisi konsepsi dan konfirmasi. Dia menulis, “Setiap pengetahuan dan
kesadaran diperoleh melalui konsepsi (tashawwur) atau konfirmasi (tashdiq). Pengetahuan
dengan “konsepsi” adalah pengetahuan primer yang bisa diperoleh melalui definisi atau apa
saja yang berfungsi sebagai definisi. Seolah-olah dengan definisi, kita mengetahui esensi
manusia. Pengetahuan dengan “konfirmasi” di lain pihak adalah pengetahuan yang bisa
diperoleh dengan “inferensi”, yakni kita mempercayai suatu proposisi bahwa “segala sesuatu
mempunyai permulaan” (segala sesuatu memiliki Pencipta)”.15

Tampaknya ini adalah pembedaan yang sama atau hampir sama dengan yang dibuat
oleh sebagian ahli logika modern antara “makna” dan “nilai kebenaran”. Atas dasar
pembedaan ini, sebuah kata atau sebuah kalimat bisa dimengerti dan dipahami tanpa
mempunyai nilai kebenaran apapun. Kalau hanya untuk memperoleh sebuah kata, frase, atau
kalimat yang memiliki arti, kita tidak perlu melakukan demonstrasi, argumentasi, dan burhan
apapun yang membenarkan suatu keyakinan dan kepercayaan bahwa ia adalah benar. Yang
perlu kita lakukan adalah menyampaikan definisi verbal atau logis dari kata, frase, atau
kalimat tersebut. Tetapi untuk mengetahui penilaian konfirmatif (yakni mencapai derajat
tashdiq), kita secara logis diwajibkan untuk bersandar dan berpijak pada suatu justifikasi bagi
keyakinan bahwa penilaian itu mempunyai kebenaran.

15
Ibnu Sina, Kitab Al-Najat, „Mantiq‟, bab 2 (Kairo, 1938).
13
Tak soal betapa sahihnya pembedaan itu, ia tidak dapat diterapkan ketika yang
dibicarakan adalah ilmu dan pengetahuan hudhuri. Hal ini karena kedua alternatif ini -
konsepsi (tashawwur) dan konfirmasi (tashdiq)- adalah ciri-ciri intrinsik dan representasi,
bukan pada tatanan wujud dan kebenaran faktual. Namun realitas “pengetahuan dengan
kehadiran” sama sekali tidak melibatkan pengertian dua hal itu, yakni konsepsi dan
konfirmasi.

Dengan mengingkari dualisme kebenaran dan kesalahan dalam “pengetahuan dengan


kehadiran”, kita tidak memaksudkan bahwa tak ada pengertian kebenaran yang bisa
diterapkan kepada kategori pengetahuan khusus tersebut. Sebab, ada arti kebenaran yang lain
dalam linguistik filsafat Iluminasi yang relevan dengan pembahasan kita, yang bisa kita sebut
“non-fenomenal”.16 Akan tetapi, secara ketat ia setara dengan gagasan tentang “wujud”.
Dalam sistem filsafat Iluminasi ini, apabila orang mengatakan, misalnya “Tuhan adalah
kebenaran”, maka dia sebenarnya mengatakan bahwa “Tuhan itu ada” atau “Tuhan adalah
Wujud yang Wajib (Wajibul Wujud)”. Juga di sini jika kita menyetarakan ilmu hudhuri
dengan semacam “keseketikaan” atau “kehadiran langsung” realitas obyek dalam pikiran,
maka kita berada dalam posisi yang sah untuk menerapkan pengertian eksistensial kebenaran
seperti itu terhadap realitas ilmu hudhuri. Tetapi di sini pokok pembicaraannya adalah bahwa
dualisme logis antara kebenaran dan kesalahan maupun pembedaan logis antara konsep dan
keyakinan tidak bisa diterapkan pada wilayah pengetahuan dan ilmu hudhuri, akan tetapi
akan lebih tepat apabila dikatakan bahwa keduanya adalah sifat-sifat yang layak bagi ilmu
hushuli (pengetahuan dengan korespondensi).

16
Dengan istilah “non-fenomenal” yang kami maksud adalah bahwa ia tidak mempunyai
konotasi dalam pengertian bahwa ia “menunjukkan” dirinya kepada kita. Alih-alih, versi
kebenaran ini, seperti hanya makna segala sesuatu dalam dirinya sendiri, memiliki realitas
obyektifnya yang murni dalam kehadiran, meskipun ia mungkin tidak memperlihatkan
dirinya kepada kita.
14
Hubungan antara ilmu hushuli dan ilmu hudhuri
Salah satu istilah teknis yang sangat penting adalah “relasi iluminatif” 17(al-idhafat al-
isyraqiyyah) 18yang bisa dipandang sebagai istilah dasar bagi pendekatan iluminatif terhadap
masalah ontologi, kosmologi, dan pengetahuan manusia.

Berbeda dengan kategori “relasi Aristotelian”, relasi iluminatif bukanlah relasi yang
dirancang untuk mengaitkan satu sisi relasi dengan sisi yang lain, dan dengan demikian
mengikat dan menyatukan entitas-entitas yang terpisah dalam satu kesatuan yang kompleks.
Tidak pula ia berkaitan dengan kategori-kategori Aristoteles yang lain yang semuanya
termasuk dalam tatanan konsepsi dan esensialitas wujud. Di samping itu, relasi iluminatif
tidak dimaksudkan sebagai “penghubung” antara satu hal dengan hal lain dalam pengertian
yang normal. Sebaliknya, ia dirancang dan dikonstruksi untuk menjadi suatu “relasi” yang
termasuk dalam tatanan eksistensi dan mencerminkan realitas sebenarnya dari cahaya yang
melimpah dari Sumber Cahaya Tertinggi. Relasi ini berlaku khusus untuk derajat-derajat
dalam tindakan wujud (yakni aktual) dan bukan untuk kapasitas-kapasitas yang bersifat
potensi. Dengan perkataan lain, relasi semacam ini menandai status eksistensial sebuah
wujud iluminatif yang berasal dari Sebab Pertama. Seperti halnya realitas eksistensi itu
sendiri, relasi iluminatif beragam dalam intensitasnya tanpa pemisahan dan keterlepasan dari
sumber pancaran.

Berdasarkan hipotesis bahwa dalam “wilayah kesendirian mutlak keabadian”, tak


satupun, bahkan waktu dan ruang, yang eksis selain Tuhan, muncul pertanyaan berikut:
Bagaimana dan dengan cara apa Tuhan, sebagai Sebab Pertama, menghubungkan Diri-Nya
dengan wujud lain sebagai efek dan akibat-Nya yang pertama dan mewujudkannya,
sementara tidak terdapat suatu unsur wujudpun yang dapat dipakai untuk memulai mencipta?
Sekali lagi, dengan hipotesis lebih lanjut orang bisa, demi kejelasan, membayangkan dan
menggambarkan bahwa efek pertama, karena ketunggalan dan ke-basith-annya, terserap
sedemikian rupa ke dalam cahaya Tuhan tersebut sehingga secara eksistensial tidak bisa

17
“Relasi” di sini berarti “penyandaran” atau “ketergantungan” suatu wujud yang
eksistensinya berasal dari wujud yang lebih tinggi. Jadi bukan “relasi” antara wujud-wujud
yang sederajat. Relasi iluminatif adalah bukan suatu bentuk relasi dua arah yang
menghubungkan dua realitas wujud, melainkan sejenis relasi satu arah, yakni menerima
pancaran dan emanasi wujud dari Realitas Tertinggi
18
Suhrawardi, Kitab Al Masyari‟ wa Al-Mutharihat, hal. 478-89.

15
dipisahkan dan dibedakan, dan secara harfiah tak bisa dilepaskan, dari pancaran eksistensial
Sebab Pertama (Tuhan). Apabila demikian, bagaimana mungkin kita dapat menjelaskan
hubungan dan relasi antara satu eksistensi yang berpisah dengan eksistensi lainnya? Dapatkah
relasi dua hal seperti itu diungkapkan oleh suatu bahasa selain dari bahasa “relasi iluminatif”?

Jelaslah bahwa dalam konteks hipotesis ini tidak ada alternatif bagi fraseologi relasi
iluminatif yang dengan jelas menggambarkan kausalitas oleh iluminasi (isyraq) dan emanasi
(shudur) yang berbeda dari kausalitas oleh penciptaan (kaun) dan pemusnahan (fasad).
Apabila kita telah berhasil dalam konseptualisasi bentuk kausalitas ini, mengenai persoalan
hubungan dan relasi antara suatu sebab dengan akibat imanennya akan dikalahkan oleh
pertanyaan apakah tindak imanen itu sendiri semata-mata relasi iluminatif atau tidak, atau
apakah ia adalah sesuatu dalam dirinya sendiri yang berkaitan dengan sesuatu yang lain
sebagai sebabnya. Ini berarti bahwa “relasi ilunminatif” akan menjadi “relasi eksistesial”
yang bersifat tunggal, yakni “relasi iluminatif” adalah hubungan itu sendiri atau dengan
ungkapan lain antara “hubungan” dan “apa yang dihubungkan” adalah satu dan sama.

Hal ini tidaklah menjadi permasalahan sepanjang menyangkut hipotesis relasi


ilunminatif. Setelah melampaui analisis hipotesis ini kita berada dalam posisi untuk
melangkah lebih jauh ke masalah utama yakni apakah mungkin hubungan antara ilmu
hudhuri (pengetahuan dengan kehadiran) dengan ilmu hushuli (pengetahuan dengan
korespondensi) dinyatakan dalam bentuk relasi iluminatif. Secara lebih spesifik, masalahnya
adalah apakah pikiran manusia, yang dipandang sebagai sebab pertama dan merupakan
pendahulu bagi konsekuensi-konsekuensi fenomenalnya sendiri, memancarkan sinar tindak
imanen “pengetahuan dengan korespondensi” dari dalam “pengetahuan dengan
kehadiran”nya sendiri? Atau apakah ilmu hushuli manusia bersumber dari ilmu hudhurinya?
Apakah proses kausalitas fenomenal ini terjadi dengan metode yang sama seperti Sebab
Pertama (Tuhan) alam semesta memancarkan cahaya eksistensinya pada akibat pertama dan
pada dunia realitas???

16
Berikut contoh berupa dialog :19

Tanya: Bagaimanakah kita sebagai manusia bisa mempunyai pengetahuan?


Jawab: Berpikirlah secara introvertif tentang dirimu sendiri. Apabila itu kau lakukan, engkau
pasti akan menemukan jawaban yang benar bagi pertanyaanmu.

Tanya: Tapi bagaimana?


Jawab: Apabila aku secara introvertif memperhatikan diriku sendiri, akan kutemukan dengan
pasti bahwa aku benar-benar sadar akan diriku sehingga aku tidak mungkin menafikan dan
menolak diriku. Kepastian akan “eksistensi diri” ini meyakinkan aku bahwa pengetahuan dan
kesadaranku akan diriku sendiri tidak berarti apa-apa selain pengetahuan dan kesadaran
tentang diriku sendiri “oleh diriku”, bukan “oleh seseorang” atau “oleh sesuatu yang lain”.
Seandainya aku tahu dan sadar akan diriku “oleh seseorang” atau “oleh sesuatu yang lain”,
itu berarti kesadaran akan diriku dimiliki oleh kekuatan aktif yang berada di luar diriku.
Dalam hal ini, akan ada “subyek mengetahui” yang beroperasi dalam diriku dalam upaya
mengetahui diriku. Jadi, bukan diriku yang mengetahui diriku. Akan tetapi, telah diasumsikan
bahwa yang mengetahui diriku adalah “aku” sendiri sebagai realitas subyek bagi diriku
sendiri.

Dari sini argumen berkembang dalam dua arah yang berbeda. Pertama, bahwa dalam
kasus pengetahuan diri, “diri” sebagai “subyek pelaku kesadaran” dan diri yang sama
merupakan “obyek yang disadarinya”, dan identik secara absolut. Atau dengan kata lain,
terdapat kesatuan mutlak antara “diri kita” sebagai “subyek yang mengetahu” dan “diri kita”
juga sebagai “obyek yang diketahui”. Ini adalah konsep swaobyektivitas yang mencirikan
teori awal kita tentang ilmu hudhuri (pengetahuan dengan kehadiran), yang di sini bisa
menerangkan swaobyektivitas adalah “aku” sendiri. Kedua, bahwa dalam hal ilmu hushuli
(pengetahuan dengan korespondensi) di mana “subyek yang mengetahui” adalah “aku”
sendiri (dalam terminologi biasa disebut sebagai “aku performatif”) dan “obyek yang
diketahui” adalah obyek eksternal, maka “aku” tersebut telah mengetahui dirinya sendiri
melalui suatu bentuk “kehadiran” (yakni pengetahuan tentang dirinya sendiri hadir secara
langsung dalam dirinya, tanpa perantara oleh sesuatu yang lain) dan “aku” mengetahui obyek

19
Suhrawardi, Kitab Al-Talwihat, hal. 70.

17
eksternalnya melalui suatu “korespondensi”. Hanya perluasan argumen yang kedua yang
relevan dengan penyelidikan kita sekarang. Karena argumen tersebut sangat rumit maka
adalah suatu keharusan untuk mengembangkannya melalui pendekatan linguistik modern
untuk mencapai kesimpulan yang memuaskan mengenai masalah yang sedang
dipertimbangkan: hubungan dan ralasi ilmu hudhuri (pengetahuan dengan kehadiran) dan
ilmu hushuli (pengetahuan dengan korespondensi).

Dalam kasus: Aku benar-benar percaya dan yakin bahwa “aku mengetahui P”, muncul
pertanyaan, “aku mengetahui obyek eksternal P”, akan tetapi apakah aku, pada saat yang
sama mengetahui diriku sendiri? Apabila memang demikian, maka mestinya ada bentuk
pengetahuan lain yang secara tak-introspektif terlibat dalam pengetahuan saya tentang obyek
eksternal P. Berdasarkan pengandaian ini ada keharusan untuk mengajukan pertanyaan:
Apakah hakikat dan ciri pengetahuan dasar mengenai diriku ini, yang tersirat dalam
pengetahuanku tentang obyek eksternal P?
Kedua pertanyaan ini berangkat dari pengandaian bahwa “aku” sebagai “subyek yang
mengetahui” memang benar-benar mengetahui dirinya pada saat mengalami dan memperoleh
pengetahuan tentang obyek eksternal P. Kalau diambil alternatif bahwa “aku” tersebut tidak
benar-benar mengetahui dirinya pada saat ia mengetahui suatu obyek eksternal P, akibatnya
muncul beberapa pertanyaan paradoks dari berbagai perspektif.
Dari sudut pandang logika, ketika saya mengatakan, misalnya “aku mengetahui P”,
kata “aku” dalam proposisi dan pernyataan ini mewakili “subyek yang mengetahui”. “Subyek
yang mengetahui” adalah subyek yang membentuk dan memuat dalam dirinya hubungan
mengetahui dengan obyek P tersebut. Sebagaimana halnya kata “aku” adalah salah satu
bagian dalam bentuk kalimat “aku mengetahui P”, begitu juga pikiran pelaku, sebagai
“subyek yang mengetahui”, merupakan bagian integral dari pengetahuan yang padanya
seluruh konsep yang berkaitan dengan “hubungan mengetahui” didasarkan. Dengan demikian
“aku” sebagai bagian pembentuk pengetahuan, ada secara tersirat dalam keseluruhan. Dengan
demikian, “aku” tidak bisa tidak diketahui oleh dirinya sendiri atau “aku” niscaya dan pasti
diketahui oleh dirinya sendiri. Meniadakan “subyek yang mengetahui” dari kompleks
keseluruhan hubungan pengetahuan akan menyebabkan makna hubungan tersebut hilang
sama sekali dan sebagai akibatnya pengetahaun manusia tidak lagi mempunyai arti dan
makna. Konsekuensinya, apa yang merupakan bagian integral pengetahuan (yakni subyek
yang mengetahui itu sendiri) niscaya dan mesti diketahui.

18
Di samping itu, tindak mengetahui disebut sebagai aksi intensional dan imanen
dilawankan dengan aksi-aksi fisik dan transitif manusia. Sebagai aksi intensional, seluruh
kesatuan kompleks tindak mengetahui sebagai sebuah hubungan ditempatkan dalam lingkup
“intensionalitas” yang berarti bahwa setiap unsur dari hubungan itu diketahui oleh “subyek
yang mengetahui”. Sebagaimana yang dikemukakan, “aku” sebagai “subyek yang
mengetahui” dari bentuk pengetahuan seperti itu harus diketahui dalam konteksnya.
Selanjutnya, berdasarkan hipotesis ini, term subyek seperti halnya predikat, diketahui dengan
penuh kepastian dan keniscayaan. Hal ini karena apabila “aku” diketahui, tidak oleh dirinya
sendiri, tetapi oleh suatu representasi dan konsepsi tentang dirinya, maka bukan “aku” yang
mengetahui obyek eksternal itu, tetapi sebuah “representasi tentang aku”. Dengan demikian,
apabila “aku” benar-benar harus mengetahui suatu obyek eksternal menurut penilaian diri
sendiri, maka terlebih dahulu ia harus mengetahui realitas dan hakikat dirinya sendiri. Jika
dipahami bahwa realitas “aku” harus mengetahui realitas “dirinya sendiri”, maka itulah
contoh dari ilmu hudhuri (pengetahuan dengan kehadiran). Sebuah “aku” yang mengetahui
diketahui oleh dirinya sendiri melalui suatu bentuk “kehadiran” (bukan dengan konsepsi dan
representasi) dan bertindak seperti akal aktif untuk menghadirkan dalam dirinya bentuk
obyek eksternalnya sehingga ia mengetahui obyek itu melalui suatu “korespondensi”.
Dengan demikian, kita bisa memahami bahwa ilmu hudhuri (pengetahuan dengan
kehadiran) mempunyai prioritas kreatif atas ilmu hushuli (pengetahuan dengan
korespondensi). Dalam kenyataannya, pengetahuan dengan korespondensi selalu muncul dari
sumbernya yang kaya, yakni pengetahuan dengan kehadiran, dan yang tidak lain merupakan
wujud “aku” aktif dan performatif itu sendiri. Sebab, apabila “aku” sendiri tidak hadir dalam
semua pengetahuan korespondensi yang intensional, maka semua intensionalitas manusia,
seperti mempercayai, berpikir, berkeinginan, dan sebagainya menjadi tidak berarti. Artinya,
tidak akan ada artinya mengatakan “Saya percaya demikian atau demikian”, “Saya ingin
begini dan begitu”, dan sebagainya. Hubungan ilmu hudhuri (pengetahuan dengan kehadiran)
dan ilmu hushuli (pengetahuan dengan korespondensi) harus dipandang sebagai hubungan
sebab-akibat dalam pengertian iluminasi dan emanasi. Hubungan jenis ini tidak lebih
daripada hubungan sebab-akibat hakiki yang khas (hubungan sebab efisien dengan akibatnya
sendiri), akan tetapi untuk membedakan kausalitas intelektual ini dari kausalitas fisik-
eksternal, filsafat Iluminasi menyebutnya dalam terminologinya sendiri sebagai “relasi
iluminatif”.

19
Untuk melengkapi analisis kita mengenai relasi iluminatif antara ilmu hudhuri
(pengetahuan dengan kehadiran) dan ilmu hushuli (pengetahuan dengan korespondensi),
marilah kita berpaling kepada kajian komparatif Descrates “cogito ergo sum” (aku berpikir,
karena itu aku ada) dan apa yang dikatakan oleh sebagian filosof pencerahan Muslim
mengenai pokok persoalan yang sama, yakni pengetahuan mengenai diri sebagai identitas
personal. Setelah dirisaukan oleh skeptisisme filosofisnya yang terkenal, Descrates sampai
pada satu titik dimana dia menemukan dirinya tak lagi rentan terhadap keraguan. Dengan
memusatkan perhatian pada prinsipnya yang tidak diragukan lagi, cogito, Descrates
mengatakan, “Saya benar-benar ragu, segala sesuatu boleh diragukan, tetapi kenyataan bahwa
„saya ragu‟ adalah „sesuatu yang tidak bisa diragukan'”. Kepastian eksistensi tentang
„keraguan saya‟ membawa pada kepastian mengenai eksistensi „diri saya sendiri‟. Nampak
jelas bahwa Descrates berhasil menegakkan pengetahuan mengenai kediriannya melalui
kepastian eksistensi dirinya berkenaan dengan keadaan ragu itu. Dengan perkataan lain, dia
menyuguhkan satu tindak fenomenal pikirannya sebagai bukti untuk menjelaskan kebenaran
eksistensi identitas personalnya.
Pada sisi lain dari argumen ini ada beberapa pengamatan yang cukup disadari
beberapa filosof Muslim, meskipun mereka hidup lama sebelum masa Descrates. Mereka
mempertimbangkan kemustahilannya yang terkandung dalam argumen ini. Pendiri Hikmah
Muta‟aliyah (Filsafat Transendental), Shadr Al-Din Syirazi, tampaknya tidak sepakat dengan
gagasan Descrates mengenai cogito-nya. Akan tetapi, sebelum memasuki pelilk-pelik
perdebatan ini diperlukan suatu perkenalan ringkas. Sebagaimana akan kita lihat nanti, ciri
para filosof iluminatif Muslim, berbada dengan kebanyakan metafisikawan klasik, adalah
pendekatan empiris mereka terhadap isu-isu sentral pemikiran iluminasi. Ini nampak jelas
dalam teori tentang persepsi dan teori cahaya mereka.
Dalam masalah khusus ini mereka juga sangat mengandalkan data perseptual dalam
melangkah maju kepada kesimpulan konsep iluminasi mereka. Memulai dengan persepsi
indera kita yang khusus, Shadr Al-Din berargumen, “Tak ada persepsi indera ataupun
keadaan fenomenal pikiran, sekalipun dalam bentuk „aku‟, yang bisa menjadi saksi bagi nilai
kebenaran eksistensi diri saya. Ini karena setiap kejadian femomenal yang saya nisbatkan
kepada diri saya, misalnya merasa dingin, hangat, atau sakit, dan sebagainya, harus, dan
memang mempra-anggapkan adanya kesadaaran dasar tentang diri saya. Dengan kesadaran
dasar ini saja saya sudah bisa menghadirkan dalam diri saya rasa dingin, panas, sakit, senang,
dan lain-lain. Jika saya menderita karena udara yang sangat dingin atau menghindar dari
panas nyala api, itu hanya karena saya telah sadar akan sesuatu yang, dengan cara tertentu,

20
ada dalam diri saya. Ini juga berlaku dalam hal ragu, berpikir, mempercayai, dan sebagainya.
Berpikir, meragukan, percaya, pada umumnya, tidak pernah bisa diadakan oleh diri saya, dan
fenomena itu bukanlah sesuatu yang mengada dengan sendirinya dalam diri saya. Tetapi
karena secara khusus diterapkan pada diri saya dan dimiliki oleh saya sebagai pikiran,
keraguan, atau kepercayaan diri sendiri, ia melibatkan kesadaran akan diri saya sebagai
landasannya. Inilah keadaannnya, bagaimanapun realitas diri memahami dan bagaimanapun
masalah identitas diri dibicarakan oleh filsafat.
Shadr Al-Din Syirazi memerinci lebih lanjut isu tersebut dalam bahasanya yang lebih
forma, “Seandainya saya, melalui tindakan saya sendiri, baik yang bersifat intelektual
maupun fisik, bisa menjadi sadar akan diri saya, maka keadaannya seolah-olah saya harus
mengeluarkan dari diri saya bukti untuk menjadi saksi bagi diri saya. Jelas ini akan menjadi
sebuah lingkaran setan dimana pengetahuan mengnai tindakan saya berfungsi sebagha isebab
bagi pengetahuan saya tentang diri saya. Pengetahuan ini sendiri sudah tersirat dalam, dan
bertindak sebagai sebab bagi pengetahuan saya mengenai tindakan saya sendiri.”
Satu-satunya solusi bagi dilemma ini, demikian disarankan oleh para filosof
Iluminasi, terletak pada realitas ilmu hudhuri (pengetahuan dengan kehadiran), sejauh
menyangkut “subyek yang mengetahui” atau dalam terminologi kita “aku performatif”.
Dalam sistem identitas personal ini, diri mengetahui dirinya sendiri melalui ilmu hudhuri
(pengetahuan dengan kehadiran), yang secara eksistensial identik dengan wujud diri itu
sendiri. Dalam hal ini, tidak diperlukan lagi representasi dan konsepsi tentang diri, apalagi
representasi sebuah obyek atau persepsi tentang suatu tindakan seperti ragu, merasa, atau
pengetahuan tentang yang lain. Dan diri dengan pengetahuan dan kesadaran akan
kehadirannya sendiri kemudian mewujudkan keraguannya mengenai pemikiran dan
pengetahuannya tentang yang lain melalui suatu korespondensi.

21
BAB III
(PENUTUP)

KESIMPULAN

Ilmu hushuli adalah ilmu yang di dapat melalui konseptualisasi (al-ilmu al-hushuli)
ilmu hudhuri adalah bentuk nyata dari epistemologi islam yang mendasarkan sebuah
pengetahuan yang di peroleh dengan kehadiran (al-ilmu al-hudhuri). Kedua istilah ni
memiliki pengertian yang bertolak belakang, tetapi memiliki ketekaitan anata satu sama
lainnya. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan di bahasa lebih lanjut mengenai ilmu
hushuli dan ilmu hudhuri mengenai kajian literatur tasawuf.

Ilmu hushuli (acquired knowledge) adalah sejenis pengetahuan yang melibatkan


obyek subyektif maupun obyek obyektif secara terpisah, dan yang mencakup hubungan
korespondensi antara salah satu obyek ini dengan yang lain. Dalam kenyataannya, kombinasi
obyek-obyek luar dan dalam beserta derajat maksimum korespondensi antara mereka
membentuk esensi jenis pengetahuan ini.
Ilmu hushuli di bagi 2, pertama tashowur (konsepsi) Contoh : pak repa adalah dosen
ilmu hadis, sowi adalah mahasiswa uin banten, kedua tashdiq (asensi/penilaian yang disertai
keputusan atau penghukuman) contoh : pak repa adalah dosen mata kuliah studi hadis dalam
tasawuf, sowi adalah mahasiswa jurusan ilmu hadis uin banten. Ilmu hushuli berarti juga
pengetahuan yang hadir melalui perantara, pengetahuan seseorang tentang wujud eksternal di
luar dirinya lwt indera, kesimpulan logis,ataupun informasi dari pihak lain.
Ilmu hudhuri (knowledge by presence) adalah sejenis pengetahuan yang semua
hubungannya berada dalam kerangka dirinya sendiri, sehingga seluruh anatomi gagasan
tersebut bisa dipandang benar tanpa implikasi apapun terhadap acuan obyektif eksternal yang
membutuhkan hubungan eksterior. Artinya, hubungan mengetahui, dalam bentuk
pengetahuan tersebut adalah hubungan swaobyek tanpa campur tangan koneksi dengan obyek
eksternal. Akan tetapi, dalam penyuguhan gagasan ini, apa yang terpaksa kita sebut obyek
obyektif (di alam eksternal) sama sekali tidak berbeda status ontologi dan eksistensialnya dari
obyek subyektif ( di alam pikiran).

22
Ilmu hudhuri adalah pengetahun yang hadir tanpa melalui perantara. Pengetahuan
yang tergolong pada ilmu hudhuri seperti pengetahuan seseorang tentang keberadan dirinya,
perasaannya dan pikirannya. Ilmu hudhuri di peroleh secra langsung dari tuhan tanpa adanya
pemisah dua objek internal dan eksternal sehingga dia terbatas dari dua sisi yaitu kebenaran
atau kesalahan. Contohnya sowi adalah seorang laki-laki, gula ini rasanya manis, bajuku
sangat bagus.

23

Anda mungkin juga menyukai