Anda di halaman 1dari 11

Translate hal 109 – 117

Apa itu flipped learning (pembelajaran terbalik)?

Pembelajaran terbalik atau disebut juga flipped classroom (kelas terbalik), menggunakan
blended learning (pembelajaran campuran) dimana merubah ulang struktur dari model
pembelajaran kelas umum. Strukturnya berpusat pada perubahan kapan dan dimana siswa bisa
menyelesaikan pembelajaran dan mendapatkan materi melalui pengajaran-pengajaran.
“Membalikkan kelas disini maksudnya adalah dimana biasanya pembelajaran dilakukan didalam
kelas maka sekarang dilakukan diluar kelas dan sebaliknya” (menurut Lage, 2000 hal.32). Dalam hal
ini, flipped classroom menggunakan blended learning dengan cara memberdayakan internet sebagai
media untuk menyampaikan materi kepada siswa, memberikan tugas dan pembelajaran secara
berkala untuk bisa dilihat secara online dimana siswa berada jauh dari sekolah. Nantinya ketika siswa
melakukan pembelajaran tatap muka di sekolah, siswa sudah siap dengan materi yang sudah
diajarkan sebelumnya dan bisa langsung mengerjakan tugas-tugas ataupun proyek terkait materi
tersebut.

Motivasi untuk melakukan kelas terbalik adalah berawal dari masalah-masalah yang sering
muncul dari pembelajaran di dalam kelas umum. Dimana pembelajaran biasanya pasif dan bersifat
satu arah, “dimana informasi hanya didapatkan dari dosen ke siswa” (Foetsch, Moses, Strikwerda &
Litzkow, 2002, hal. 26). Sedangkan dosen yang menerapkan pembelajaran aktif biasanya terbentur
dengan masalah kurangnya waktu dalam menyampaikan materi. Dengan menggunakan waktu
dikelas untuk menyampaikan materi akan menghabiskan banyak waktu berharga antara siswa dan
dosen dalam berinteraksi satu sama lain. Tetapi, walau bagaimanapun penyampaian materi itu
merupakan aspek yang diperlukan dalam pembelajaran. Para Professor mempunyai tingkatan
keahlian tertentu yang mana materi tersebut harus dikuasai siswa melalui bimbingan. Bahkan para
professor yang menggunakan pedagogi pembelajaran aktif sering beranggapan bahwa harus
menyampaikan materi dengan ceramah sebelum dilakukannya tugas kelompok (Foestsch, 2000).
Pembelajaran terbalik bisa memberikan solusi untuk mengatasi masalah-masalah ini. Dimana bisa
menyediakan sarana untuk para professor menyampaikan materi dengan ceramah tetapi
menghemat waktu kelas sehingga masih ada waktu untuk berinteraksi dan mengerjakan tugas yang
lebih penting.

Dengan beragamnya jenis blended learning dan ketidakkonsistenan dari efektifitasnya dalam
berbagai sumber bacaan, maka buku ini menyediakan beberapa contoh sebuah flipped classroom
(kelas terbalik) untuk pengajar, termasuk didalamnya analisis data pembelajaran dan perilaku siswa.
Kami akan menggambarkan sebuah kuliah statistik yang menggunakan Teknik blended learning
untuk menciptakan sebuah kelas terbalik. Dibawah naungan pembelajaran aktif, bab ini akan
mendasari desain kelas terbalik dan blended learning menggunakan tiga teori yaitu Blended Learning
Theory (Teori Pembelajaran Campuran), Project Based Learning (Pembelajaran Berbasis Proyek) dan
Cognitive Taxonomy Theory (Teori Taksonomi Kognitif).

DASAR-DASAR TEORITIS

Sama pentingnya dengan menyelidiki dan mengulas penelitian mengenai kelas terbalik, penting juga
untuk mengkontekstualisasi penelitian ini kedalam kerangka teoritis. Untuk memahami teoritis dari
kelas, kami sarankan bagi peneliti dan praktisi selanjutnya yang ingin menerapkan kelas terbalik
untuk melihat penjelasan yang disediakan dari sumber-sumber berikut; Teori Blended Learning (dari
Alonzo, Lopez, Manrique dan Vines, 2005; Kerres & De Witt, 2003), Problem or Project Based
Learning Theory (dari Helle, Tynjala & Olkinuora, 2006) dan Cognitive Taxonomy Theory (dari Bloom,
1956; Krathwohl, 2002). Teori-teori tersebut masih dibawah naungan Teori Pembelajaran Aktif (dari
Poirer & Feldman, 2007; Warren, 2006). Dimana, baik teori deskripsi ataupun penerapan mengenai
kelas terbalik dibahas didalamnya.

Blended Learning Theory (BLT) – Teori Pembelajaran Campuran

Deskripsi

BLT adalah pendekatan pedagogi mengenai suatu perintah kombinasi antara kegiatan tatap muka,
kegiatan berbasis computer dan pembelajaran online yang berdasarkan Teori Pembelajaran Aktif
(Alonzo, 2005; Kerres & De Witt, 2003). Kerres & De Witt mengatakan bahwa BLT termasuk” …
metode didaktif (presentasi penjelasan, pembelajaran penemuan, pembelajaran kooperatif, dll) and
format pengiriman (komunikasi personal, penerbitan dan penyiaran, dll) (hal. 103). Osguthorpe dan
Graham (2003) menyarankan istilah BLT untuk mewakili istilah “pembauran” antara kegiatan
pembelajaran online dengan tatap muka. BLT mengurangi beberapa kelemahan dari pembelajaran
yang full online dengan cara memberikan waktu untuk bertatap muka antara professor, siswa dan
sejawatnya untuk memberikan kesempatan dalam menjelaskan materi dan tugas yang rumit (Bersin,
2004; Lage, 2000). Pembelajaran campuran seperti ini bisa menjadi suatu-sistem-pembelajaran-
bersama yang mengubah sistem teacher-centered (berpusat pada guru) menjadi learner-centered
(berpusat pada siswa) (Chamberlain, 2001). Jelas sekali bahwa BLT harus diterapkan pada penelitian-
penelitian yang menyelidiki mengenai keefektifan dari kelas terbalik, sebagai teoritis awalnya.

Penerapan

Jika BLT merupakan bagian keseluruhan dari kelas terbalik sebagaimana dikatakan (Rausch &
Crawford, 2012), kemudian, apakah itu bisa mewakili hasil dari penelitian mengenai kelas terbalik?
Yang pertama, Walker, Cotner dan Beermann (2011) menyelidiki dampak dari sebuah kelas terbalik
yang dimodifikasi pada siswa dalam pembelajaran biologi dasar. Walker dkk menggunakan “vodcast”
dan sarana multimedia lainnya untuk mengajar baik online ataupun tatap muka. Setelah mengawasi
beberapa siswa dengan karakteristik yang diharapkan, mereka menemukan bahwa siswa dalam
kelas terbalik secara akademis melampaui siswa di kelas biasa dalam beberapa hal dan juga secara
statistik sama dalam beberapa hal lainnya. Kami simpulkan bahwa dengan menggunakan berbagai
macam metode Pembelajaran Aktif, kegiatan berbasis computer dan kegiatan tatap muka, maka
para siswa dalam penelitian Walker dkk, mereka mampu setara atau bahkan melampaui
pembelajaran di kelas biasa. Karena dengan menggunakan BLT, para pengajar mempunyai waktu
dikelas yang lebih lama dalam mencapai pembelajaran aktif.

Project Based Learning Theory (PBLT) – Teori Pembelajaran Berbasis Proyek

Deskripsi

PBLT merupakan pedagogi yang berpusat pada siswa dimana memfokuskan dalam penyelesaian
proyek atau masalah-masalah yang dialami siswa (Helle dkk, 2006). Lebih lanjut dipaparkan oleh
Adderley (1975, hal.1) dimana PBLT adalah:

1. Melibatkan solusi sebuah masalah; seringkali walaupun tidak harus, diungkapkan oleh siswa
itu sendiri.
2. Melibatkan inisiatif dari siswa atau sekelompok siswa dan mengharuskan sebuah keragaman
kegiatan pendidikan.
3. Biasanya menghasilkan sebuah produk jadi (sebagai contoh; laporan tesis, rencana desain,
program computer dan model)
4. Kerjaannya biasanya berlangsung dalam jangka waktu yang ditentukan.
5. Staff pengajar berperan sebagai penasihat dalam semua tahap – mulai dari tahap awal,
pelaksanaan hingga kesimpulan bukan sebagai pemimpin.

Seringkali dalam PBLT, tujuan pembelajaran siswa diarahkan untuk membantu siswa
mengembangkan motivasi intrinsik, kemampuan berkolaborasi, fleksibel, kemampuan efektif
memecahkan masalah dan yang utama mampu melakukan pembelajaran mandiri (Hmelo-Silver,
2004). Sebagai tambahan, PBLT juga memberikan kepada siswa kesempatan untuk memecahkan
masalah dunia nyata. Para guru berperan sebagai fasilitator yang bekerja berdampingan dengan
siswa untuk membantu merangkai pertanyaan-pertanyaan dan membangun tugas-tugas otentik dan
bermakna sambil memberika masukan-masukan kritis pada para siswa.

Bukan hanya PBLT dijelaskan dengan baik, tapi juga sudah digunakan dengan sukses dalam berbagai
konteks. Baik digunakan untuk meningkatkan kemampuan menulis Siswa Bahasa Inggris (Foulger and
Jimenez Silva, 2007) ataupun untuk merancang pembelajaran sains k-12 (Polman, 2000) atau juga
menggabungkan PBLT dengan teknologi (Boss & Krauss, 2007), PBLT sudah memberikan contoh
sebagai suatu cara efektif dalam pembelajaran. Jika dikaitkan dengan penelitian mengenai
keefektifan pedagogi kelas terbalik, PBLT bisa digunakan untuk memahami potensi teoritis yang
mendasari pedagogi tersebut.

Aplikasi/Penerapan

Bagaimana pandangan sebuah kelas terbalik dari lensa PBLT? Sebagai contoh, Schullery, Reck dan
Schullery (2001) menemukan bahwa para siswa dengan tingkat partisipasi tinggi dalam
pembelajaran kelas terbaik lebih merasa puas dan terlibat aktif di kelasnya. Penting untuk dicatat
bahwa pada tahap awal penelitian, ditemukan bahwa ukuran kelas para siswa ini tidak
memungkinkan adanya aktivitas dan diskusi yang bermakna. Hasil penelitian Schullery dkk jika
diinterpretasikan menggunakan PBLT bahwa Schullery dan para koleganya merancang pedagoginya
sehingga "para siswa terdorong untuk berinteraksi selama diskusi dan mereka diharapkan untuk
berkolaborasi dengan teman-teman mereka sebagai suatu kelompok kelas" (hal.3). Kami percaya
bahwa analogi ini merupakan salah satu definisi dan tujuan dari PBLT yaitu dimana para siswa
bekerjasama dalam suatu kolaborasi untuk memecahkan masalah bersama (Adderley, 1975; Hmello-
Silver, 2004).

Contoh lain dalam penggunaan PBLT dalam kelas terbalik adalah dari penelitian yang dilakukan oleh
Pierce, Fox dan Dunn (2012). Pierce dkk menggunakan pedagogi kelas terbalik untuk mengajar kelas
Farmakoterafi Ginjal selama 8 minggu. Mereka menemukan bahwa para siswa baik secara objektif
meningkat performanya dan bersikap positif selama di kelas jika dibandingkan dengan kelas berbasis
ceramah biasa. Salahsatu alat pedagogi yang digunakan Pierce dkk dalam penelitiannya adalah
berupa setting kelompok "rancangan percobaan...dimana para siswa dihadirkan dalam situasi
berantakan yang mewakili berbagai pembelajaran hidup nyata" (hal.196). Kami percaya bahwa
elemen ini dan banyak elemen lainnya yang ada pada penelitian Pierce dkk merupakan PBLT, dimana
kelasnya dirancang sedemikian mungkin bermakna dan otentik seperti yang dikemukakan oleh
Hmello-Silver (2004). Ini adalah beberapa contoh bagaimana PBLT bisa menjelaskan penelitian saat
ini mengenai kelas terbalik.
Cognitive Taxonomy Theory (CTT) - Teori Taksonomi Kognitif

Deskripsi

Berdasar dari penelitian Bloom (1956) dan Anderson dan Krathwohl (2001). Krathwohl (2002)
memodifikasi Taksonomi Kognitif karya Bloom untuk membandingkan berbagai perubahan yang
terjadi saat ini dalam buku-buku psikologi kognitif. CTT adalah sebuah cara untuk mengidentifikasi
dan mengelompokkan tipe-tipe proses kognitif. Dengan kata lain, itu adalah sebuah proses untuk
mengklasifikasikan pemikiran. Anderson dan Krathwohl mengidentifikasi CTT yang direvisi berkaitan
dengan 6 ranah kognitif (mengingat, memahami, menerapkan, menganalisa, mengevaluasi dan
menciptakan). Keenam ranah kognitif muncul berurutan secara alami dimana dimulai dengan
mengingat (tingkatan paling dasar) dan diakhiri dengan menciptakan (tingkatan paling rumit dan
tinggi). Sederhananya, mengingat didefinisikan sebagai mengenali dan mengambil kembali ingatan;
memahami didefinisikan sebagai merangkai arti melalui proses layaknya merangkum; menerapkan
artinya melakukan atau mengerjakan suatu prosedur; menganalisa berarti membongkar suatu
konsep menjadi bagian-bagian dan memahami hubungan serta struktur dari masing-masing bagian
tersebut; mengevaluasi artinya membuat suatu kriteria dan standar berdasarkan penilaian; yang
terakhir yaitu menciptakan artinya meletakan atau mengatur ulang elemen-elemen sehingga
terciptalah suatu struktur baru (Anderson & Krahtwohl, 2001). CTT sudah terbukti sukses digunakan
dalam berbagai macam artikel dan paling banyak digunakan dalam berbagai penelitian pendidikan
saat ini (Anderson & Sosniak, n.d). Terakhir, kami percaya bahwa CTT cocok dalam memahami
penelitian mengenai kelas terbalik, karena terdapat elemen-elemen CTT dalam format kelas terbalik.

Penerapan

Ada banyak cara dimana kita bisa menerapkan CTT dalam penelitian kelas terbalik. CTT bisa langsung
diterapkan pada penelitian yang dilakukan Pierce dkk (2012) dan Sadaghiani (2012). Awalnya, Pierce
dkk meneliti ranah kognitif penerapan CTT kemudian menemukan bahwa para siswa di kelas terbalik
secara akademis terbukti melampaui para siswa di kelas tradisional dalam penilaian ranah kognitif
penerapannya. Kami yakin jika Pierce dkk mengecek juga ranah lain dari CTT, maka akan ditemukan
para siswa dari kelas terbalik akan memiliki performa akademik yang lebih tinggi jika dibanding kelas
lainnya. Secara teori, alasan kenapa para siswa melakukan lebih baik di ranah penerapan dari CTT
adalah karena format perintahnya membiarkan siswa untuk membangun tingkatan CTT yang lebih
rendah melalui pembelajaran mandiri sehingga memproses informasi lebih dalam. Dalam penelitian
lain mengenai keefektifan dari kelas terbaik. Sadaghiani (2012) menemukan bahwa ketika para siswa
mendapatkan pembelajaran awal melalui online (podcast, kuis dll). Kemudian mengerjakan tugas
problem-solving melalui setting tatap muka, maka pengetahuan psikis para siswa meningkat, begitu
juga tingkat kesenangan mereka di kelas. Hasil penelitian Sadaghiani bisa dijelaskan dengan CTT
sebagai sebuah hasil dari pedagogi kelas terbalik, dimana para siswa membangun tingkatan
pembelajaran yang lebih rendah (sebelum pembelajaran di kelas) kemudian terlibat pada tingkatan
kelas yang lebih tinggi selama proses pembelajaran menggunakan kelas terbalik.

ULASAN LITERATUR

Deskripsi teoritis, PBLT, BLT dan CTT menyajikan sebuah bingkai kerja untuk paradigma
pembelajaran campuran dan terbalik. Kedua metode itu mempunyai potensi terbaik untuk
digunakan dalam pembelajaran online dan tatap muka. Karenanya, pada bagian ini kami akan
membahas mengenai kelebihan kedua metode tadi (contohnya pada kesiapan dan keterlibatan
siswa, interaksi para siswa, pembelajaran aktif, dll) kemudian juga kekurangan dan rintangannya
(contohnya; masalah teknis yang sering muncul, persepsi para siswa dan kurangnya kontrol) yang
dibahas pada berbagai literatur mengenai pembelajaran campuran dan terbalik.

Kelebihan

Kesiapan dan Keterlibatan

Fakultas dan para siswa mencatat bahwa pembelajaran campuran membantu siswa dalam
mempersiapkan diri dalam kelas tatap muka, yang mana otomatis meningkatkan keterlibatan siswa
didalam kelas dan dengan materi pembelajarannya. Dengan membuat para siswa mendapatkan
pembelajaran terlebih dahulu via online akan membantu mereka untuk lebih siap menerima
pembelajaran yang lebih tinggi ketika di dalam kelas (Gecer & Dag, 2012). Sejalan dengan itu, para
siswa pun mengatakan bahwa mereka merasa memiliki tanggung jawab lebih jika sebelumnya
diberikan pembelajaran online (Gecer & Dag, 2012) dimana membantu dalam mengembangkan
kemampuan pribadi sarjana. Sebagai tambahan, semakin siap siswa maka semakin terlibat juga
mereka dalam pembelajaran di kelas (Schullerly dkk, 2011). Sebagai contoh, pembelajaran online
memberikan waktu yang fleksibel bagi siswa untuk memahami materi pembelajarannya, dimana hal
itu menunjukan peningkatan keterlibatan dan partisipasi siswa di dalam kelas (Dengler, 2008; Rausch
& Crawford, 2012; Stacey & Gerbic, 2007). Para siswa mengatakan bahwa dengan adanya diskusi
kelas online membuat mereka lebih terarah dan jelas dalam berargumen dan dalam menulis
(Dengler, 2008; Stacey & Gerbic, 2007). Sama halnya bagi siswa yang biasanya enggan untuk
berpartisipasi di kelas bisa menggunakan forum diskusi online sebagai cara untuk berdialog secara
tidak langsung sehingga melatih kepercayaan diri mereka untuk nantinya bisa berpartisipasi diskusi
secara tatap muka (Rausch & Crawford, 2012; Stacey & Gerbic, 2007). Dengler (2007) mengatakan
hal ini bisa diterapkan untuk para siswa perempuan dan siswa bukan penutur asli bahasa Inggris.

Interaksi Siswa

Keuntungan dari meningkatnya interaksi dan keterlibatan siswa sangatlah penting untuk
membangun rasa kekeluargaan dalam pembelajaran (Schullerly dkk, 2011). Dengan menerapkan
perangkat pembelajaran online akan meningkatkan kolaborasi antar siswa dan interaksi guru dengan
siswa (Osguthorpe & Graham, 2003). Fakultas melihat bahwa perpindahan ke pembelajaran
campuran menghasilkan waktu lebih banyak bagi siswa untuk melaksanakan pembelajaran (Beck &
Ferdig, 20008; Schullerly dkk, 2011). Para siswa juga lebih banyak bertanya didalam lingkungan
pembelajaran online, baik pertanyaan mengenai ketertarikan pribadi mereka ataupun terkait materi
pembelajaran (Beck & Ferdig, 2008). Catatan lain ditemukan bahwa seringkali siswa menggunakan
jalur diskusi online sebagai tempat memecahkan solusi dan atau mencari bantuan untuk tugas-tugas
sulit yang sedang mereka kerjakan (Cole & Krtizer, 2009; Heinze & Procter, 2006). Sebagai
tambahan, pembelajaran campuran juga bisa memberikan banyak kesempatan untuk bekerja
berkelompok. Imbasnya, para siswa belajar untuk salaing menghargai pendapat dan kolaborasi
teman sejawat.

Pembelajaran Aktif

Perangkat online bisa digunakan supaya para siswa terlibat lebih dalam materi diluar ruang kelas,
dimana membantu menerapkan materi yang dipelajari juga mempererat hubungan antar kelas
(Dengler, 2008). Fakultas melaporkan bahwa terjadinya peningkatan dalam pemikiran kritis dan
kemampuan pribadi para sarjana ketika keterlibatan semacam itu terjadi (Masalela, 2009;
Osguthorpe & Graham, 2003). Bahkan video rekaman sebuah materi kuliah bisa menjadi perangkat
pembelajaran aktif ketika para siswanya mencatat materi dengan cara memutar-memberhentikan
rekaman, memutar ulang poin-poin tertentu yang belum bisa dipahami, dan menggunakan rekaman
tersebut untuk mengulas pelajaran sebelumnya (Foertsch dkk, 2002; Senn, 2008). Jika kita
membandingkan pembelajaran antara kelas campuran dengan kelas tradisional, maka pada kelas
campuran siswa memiliki keinginan untuk berpartisipasi lebih aktif di kelas yang mana dibutuhkan
agar terjadinya suatu pembelajaran.

Fleksibilitas dan Ketertarikan

Para siswa dan fakultas menemukan bahwa format pembelajaran campuran memberikan lebih
banyak fleksibiltas untuk siswa. Sebagai contohnya, beberapa fakultas memberikan kebebasan bagi
para siswanya untuk mengambil semua kelas secara online dengan catatan mereka bisa memenuhi
nilai standar kriteria yang sudah ditetapkan (Ackerman, 2008; Brothen & Wambach, 2007). Hal ini
memberikan kesempatan bagi siswa untuk bisa belajar menyesuaikan waktu yang cocok sesuai
kebutuhan mereka (Masalela, 2009), dimana menurut para siswa ini merupakan salah satu faktor
yang memotivasi mereka dalam pembelajaran campuran (Gecer & Dag, 2012). Para siswa juga
mengatakan bahwa mereka meluangkan lebih banyak waktu focus pada materi nya karena bisa
mengatur kapan dan dimana mereka bisa belajar jika dibandingkan dengan harus datang dan duduk
diam didalam suatu ruang kelas (Stacey & Gerbic, 2007). Sebagai tambahan, para siswa yang
mengikuti pembelajaran campuran ini juga lebih mudah beradaptasi dalam menyesuaikan waktu
antara kerja dengan keluarga (Osguthorpe & Graham, 2003). Zapatero, Maheswari & Chen (2012)
mengatakan bahwa penggunaan perangkat online juga lebih menarik bagi para siswa muda yang
merasa bosan dengan metode pembelajaran tradisional di kelas. Mereka mengatakan bahwa
kebosanan ini bisa mengarah pada menurunnya keterlibatan siswa di kelas dan kurangnya performa
siswa.

Keragaman Inklusi

Walaupun ada beberapa kekhawatiran dimana kelas campuran akan mengorbankan jangkauan
materi, banyak fakultas menyatakan bahwa jangkauannya tidak dikorbankan (Lage dkk, 2000;
Osguthorpe & Graham, 2003). Bahkan, kami menemukan bahwa kelas campuran bisa memperluas
jangkauan materi dan aplikasi termasuk gabungan perbedaan materi terkait. Kebutuhan akan
pendidikan diversifikasi muncul dari meningkatnya keragaman budaya masyarakat (Hussey, Fleck &
Warner, 2010). Di dunia yang cepat berubah dan “menyusut” ini, para peneliti menemukan
meningkatnya kesadaran akan adanya hak istimewa kulit putih, empati terhadap ras minoritas dan
meningkatnya perilaku positif terhadap kaum minoritas ketika keragaman dimasukan kedalam
kurikulum (Hussey dkk, 2010; Niehuis, 2005; Paoletti, Segal & Totino, 2007). Sebagai contoh, Hussey
dkk membandingkan hasil pembelajaran dan perilaku terhadap kaum minoritas menggunakan
pembelajaran tradisional dan menggunakan pembelajaran dengan memasukan keragaman. Materi
keragaman dimasukan kedalam pembelajaran melalui materi bacaan, diskusi dan kegiatan kelas dan
dengan menghadirkan pembicara tamu. Pada akhir semester, hasil pembelajaran yang didapat tidak
berbeda tetapi berbeda dari segi perilaku yang lebih baik terhadap kaum minoritas. Jika dibahas,
maka materi keragaman dari penelitian ini dimasukan kedalam kurikulum melalui “hari-hari
penerapan” proyek akhir.

Kekurangan dan Rintangan

Sebagaimana diungkapkan oleh Montera-Guiterez (2006), penolakan dari beberapa level Fakultas
pastinya terjadi karena pembelajaran online merupakan hal baru. Beberapa fakultas mungkin
merasa cocok dengan pembelajaran campuran ini dibanding yang lain jika melihat metode
pengajaran dan keterbukaan mereka dalam menerima metode pengajaran baru (Beck & Ferdig,
2008). Juga, berdasarkan dari pengalaman guru-gurunya dalam menggunakan perangkat online,
mereka juga mungkin mampu menghadapi beberapa kekurangan dan rintangan yang muncul dalam
menggunakan pembelajaran campuran. Rintangan-rintangan ini didalamnya termasuk masalah
teknis dan pengetahuan yang sering muncul, persepsi para siswa, kurangnya control dan campuran
persepsi, yang mana masing-masingnya dijelaskan sebagai berikut.

Masalah teknis dan pengetahuan: Fakultas mungkin menghindari penggunaan perangkat


pembelajaran online karena takut munculnya masalah-masalah teknis, yang bisa mengalihkan dari
pembelajaran dan menyita waktu kelas (Montera-Guiterez, 2006). Bagi fakultas yang tidak
mengadopsi pembelajaran campuran, mereka mengatakan bahwa perlu adanya infrastruktur online
yang memadai dan teknisi online yang mana mempengaruhi keputusan mereka untuk berpindah ke
format pembelajaran campuran (Masalela, 2009). Kemudian juga, fakultas akan menghindari
penggunaan perangkat pembelajaran online jika mereka merasa tidak percaya diri dengan
pengetahuan mereka dalam menggunakan perangkat pembelajaran online secara efektif (Cole &
Kritzer, 2009; Mortera-Guiterrez, 2006). Rintangan-rintangan inipun bisa muncul jika fakultas merasa
tidak memiliki waktu untuk belajar mengenai perangkat atau jika mereka merasa tidak punya
dukungan teknisi dalam menggunakan perangkat-perangkat tersebut (Mortera-Guiterrez, 2006).
Sama halnya jika fakultas merasa bahwa mereka tidak mempunyai kemampuan yang mumpuni
untuk melatih siswanya dalam menggunakan perangkat pembelajaran.

Persepsi Siswa: sejumlah rintangan juga muncul dari segi persepsi siswa baik di fakultas ataupun di
pembelajarannya. Banyak siswa yang sudah terbiasa dengan pembelajaran tradisional dimana
mereka bisa langsung berinteraksi dengan guru ketika mengerjakan tugas di kelas (Forrtsch dkk,
2002). Hal ini tidak selalu menjadi rintangan di pembelajaran online. Rintangan ini muncul ketika
pengajar hadir tidak bisa hadir secara online atau ketika diluar jam kerja, maka untuk bertanya siswa
harus mengirimkan email dan menunggu balasan. Hal ini bisa mengarah pada persepsi siswa dimana
fakultas kurang mendukung dalam pembelajaran campuran (Senn, 2008). Persepsi siswa akan
kurangnya dukungan ini bisa membuat siswa merasa bahwa pembelajaran campuran justru
menambah beban kerja siswa. Walaupun sebenarnya beban kerjanya sama saja, Senn, (2008)
mengatakan persepsi seperti ini bisa muncul dikarenakan usaha lebih yang harus siswa lakukan guna
menyelesaikan tugas onlinenya. Sebagai contoh, disaat siswa melakukan pembelajaran tatap muka
di kelas, kemudian pengajar melihat dia menemukan kesulitan maka pengajar bisa langsung
memberikannya solusi atau masukan. Beda halnya jika dalam kelas virtual dimana pengajar tidak
hadir secara realtime maka ketika siswa menemui kesulitan dia harus menunggu lebih lama
(misalkan via email) dan dalam rentang waktu menunggu tersebut, siswa cenderung tidak mencari
solusi lain atau bahkan menjadi frustasi.

Frustasi ini bisa muncul mulai dari siswa yang tidak memahami materi hingga siswa yang
kebingungan dalam menggunakan perangkat online. Tidak semua siswa ahli dalam komputer,
sehingga berdampak pada harus dilakukannya pelatihan dalam mengakses materi pelajaran.
Sehingga harus dilakukan sesi pelatihan pada awal pembelajaran atau bisa jadi selama
berlangsungnya pembelajaran jika dibutuhkan (Groves & O'Donoghue, 2009). Walaupun sudah
berlangsung pembelajaran, para siswa bisa saja mengalami berbagai kesulitan dalam mengakses
materi misalkan terjadi masalah pada koneksi internetnya, kebingungan lain yang muncul atau
mungkin merasa terbebani dengan banyaknya informasi yang disediakan (Gecer & Dag, 2012).
Adapun, dengan mengenali masalah-masalah ini pada awal pembelajaran akan membantu siswa
lebih nyaman dengan teknologi dan mempermudah mengatasi masalah (Cole & Kritzer, 2009).

Akibat yang timbul dari masalah-masalah diatas adalah fakultas menjadi ragu untuk berpindah ke
pembelajaran campuran dikarenakan kemungkinan munculnya rating negatif dari para siswa. Hal ini
menjadi kekhawatiran yang penting bagi fakultas yang kepopuleran dan promosinya sebagian besar
bergantung pada rating siswanya (Cole & Kritzer, 2009). Para siswa yang berjuang sendiri dalam
pembelajaran campuran, kemudian pada akhirnya mendapat hasil yang tidak memuaskan akan
menyalahkan pengajar/instrukturnya dan memberikan rating kecil pada pembelajaran fakultasnya
(Senn, 2008). Ekspektasi tinggi terhadap performa fakultas dan struktur pembelajaran juga bisa
mengarah pada rating negatif (Gecer & Dag, 2012).

Kurangnya kontrol: Fakultas cenderung ragu untuk berpindah ke pembelajaran campuran


dikarenakan merasa berkurangnya kontrol akan kelas mereka. Sebagai contoh, munculnya
pertanyaan apakah siswa akan melihat materi online atau tidak. Foertsch dkk (2002) melihat bahwa
para siswa hanya melihat materi online jika mereka ingin mempersiapkan kelas tatap muka nantinya.
Beberapa fakultas menggunakan insentif agar siswa menggunakan perangkat pembelajaran online
dengan cara melibatkan mereka dalam memberi masukan dalam suatu mata kuliah (Groves &
O'Donoghue, 2009). Untuk bisa menggunakan secara efektif perangkat pembelajaran online, maka
pihak fakultas harus sadar dan ikut terlibat dalam diskusi online para siswa. Termasuk didalamnya
wilayah yang tidak diketahui fakultas, sebagai contoh pertanyaan-pertanyaan yang diutarakan siswa
tetapi tidak dikuasai oleh fakultas pada saat diskusi online dan berlanjut hingga nanti pembelajaran
di ruang kelas (Dengler, 2008). Heinz dan Procter (2006) menyatakan bahwa penyelanggaraan
diskusi online tidak bisa diprediksi dikarenakan para siswa biasanya keluar dari topik, tidak
berpartisipasi atau terlalu berpartisipasi.

Persepsi campuran: Terkadang elemen-elemen dalam pembelajaran campuran terasa


menguntungkan dan merugikan. Sebagai contoh, Jackson dan Helms (2008) mengecek persepsi dari
siswa yang mengikuti pembelajaran hybrid menggunakan sebuah metode untuk mengetahui apa
yang mereka lihat sebagai elemen penting dalam pembelajaran. Para siswa melaporkan bahwa
interaksi dengan fakultas merupakan kekuatan dan kelemahan dari pembelajaran campuran.
Sebagai contoh, pada pembelajaran online diberikan lebih banyak waktu untuk mencari jawaban
tetapi lebih sedikit waktu untuk berinteraksi dengan fakultas. Hal ini mengarah pada persepsi bahwa
menurunnya proses pembelajaran. Sama halnya dengan interaksi antar siswa dianggap sebagai
kekuatan dan kelemahan dikarenakan para siswa menganggap bisa lebih belajar dari teman
sebayanya dengan adanya forum diskusi online, tetapi dalam waktu bersamaan mereka juga merasa
hubungan mereka dengan temen sekelasnya berkurang. Para siswa mengatakan bahwa semakin
banyak tugas diluar kelas maka semakin luas pula materi yang mereka dalami untuk dikelas, begitu
juga dengan cara berpikir kritis mereka. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa pembelajaran
campuran justru menjauhkan mereka dari belajar, karena mereka bisa menyalin tugas siswa lain
sebelum mereka mengirimkan tugasnya.

Komitmen waktu juga merupakan faktor lain yang dianggap sebagai kelebihan dan kekurangan
dalam pembelajaran campuran. Layaknya pembelajaran lain, pastinya ada masalah dalam komitmen
waktu dalam menyiapkan kelas terbalik. Bagaimanapun pembelajaran terbalik lebih kepada
persiapan diawal sebelum diadakannya pembelajaran jika dibandingkan pembelajaran tradisional,
yakni dalam hal menyiapkan kelas virtual, materi yg sudah direkam dan materi-materi lainnya (Cole
& Kritzer, 2009). Sehingga dengan menggunakan materi yang sudah ada sebelumnya dan
menyiapkan dukungan teknis akan mengurangi beban kerja kedepannya (Lage dkk, 2000). Fakultas
yang benar-benar baru mengenal pembelajaran online mungkin mendapat keuntungan dari
pelatihan (Kim & Bonk, 2006) tetapi bisa jadi fakultas melihat hal ini sebagai intimidasi atau sebuah
beban (Cole & Kritzer, 2009; Masalela, 2009). Sebagai tambahan, fakultas juga akan merasa cemas
karena diperlukannya waktu tambahan untuk melatih para siswa belajar online ( Masalela, 2009).
Beberapa fakultas juga menyatakan mereka memerlukan waktu yang lebih untuk berkomunikasi
dengan para siswanya setelah beralih ke pembelajaran campuran (Berg & Ferdig, 2008; Senn, 2008).
Hal ini juga memicu frustasi bagi fakultas karena kekhawatiran munculnya banyak pertanyaan
selama percakapan di kelas (Senn, 2008). Lebih jauh lagi, beberapa fakultas melaporkan
meningkatnya timbal balik mengenai tugas-tugas setelah beralih ke pembelajaran campuran (Beck &
Ferdig, 2008).

Bagaimanapun, elemen pembelajaran campuran bisa membantu meningkatkan pembelajaran


dengan komitmen waktu minimal. Sebagai contoh, banyak pembelajaran campuran yang
dikembangkan melalui pendidikan tradisional yang sudah ada sebelumnya, mengurangi jumlah kerja
untuk fakultas (Osguthorpe & Graham, 2003). Yang lain menemukan bahwa dengan membuat kuliah
online bisa memangkas waktu kuliah setengahnya (Foertsch dkk, 2003). Tambahan info, waktu
keterlibatan diskusi di kelas membutuhkan 30menit dalam seminggu (Dengler, 2008). Tetapi jika
jumlah siswa di kelas meningkat melebihi 40-50 orang maka waktu yang dibutuhkan pun meningkat
(Dengler, 2008; Lage dkk, 2000). Namun, ada juga beberapa pengajar yang menggunakan format
pembelajaran campuran untuk meningkatkan hubungan para siswa di kelas dengan memanfaatkan
waktu tatap-muka sebaik mungkin ketika kelas besar terjadi (Foertsch, 2002; Schullery, 2011).
Fakultas lain sudah merubah beberapa tugas untuk diperiksa secara online oleh teman sekelasnya
dan oleh fakultas, hal ini terbukti dapat meningkatkan pembelajaran (Groves & O'Donoghue, 2009).
Kelebihannya, hal ini bisa menghemat waktu untuk fakultas dan seringkali siswa lebih menikmati dan
senang ketika memeriksa atau diperiksa tugasnya oleh teman sekelasnya (Groves & Donoghue,
2009; Jackson & Helms, 2008; Strayer, 2012).

Walaupun ada beberapa halangan ketika beralih ke pembelajaran campuran tetapi kelebihannya
lebih besar daripada keuntungannya (Cole & Kritzer, 2009). Setelah fakultas meluangkan waktu
untuk mempelajari perangkat online dan menyiapkan pembelajaran, saatnya untuk mereka
meluangkan waktu berinteraksi dengan para siswa dan memfasilitasi pembelajaran (Cole & Kritzer,
2009). Ada juga beberapa strategi dan pelatihan yang bisa diterapkan oleh fakultas untuk
meningkatkan pembelajaran campuran mereka guna membantu dalam masa perpindahan, melihat
halangan yang mungkin terjadi dan untuk meningkatkan pembelajaran para siswa.

Praktek Terbaik untuk Kelas Terbalik dan Campuran

Ada banyak cara yang bisa digunakan fakultas untuk menyampaikan materi dalam pembelajaran
campuran, tetapi yang menjadi pertanyaan adalah materi mana yang cocok disampaikan online dan
mana yang melalui tatap muka (Brothen & Wambach, 2007; Gecer & Dag, 2012; Masalela, 2009;
Osguthorpe & Graham, 2003;

Stacey & Gerbic, 2007; Strayer, 2012; Tao, Fore,

& Forbes, 2011). Mortera-Gutierrez (2006) mencatat bahwa elemen pembelajaran yang umumnya
dipakai secara berurutan adalah pertemuan tatap muka, tugas membaca, konten mandiri, perangkat
online (seperti forum diskusi) konferensi video/audio, kelas virtual, pertemuan asinkronus &
sinkronus. Bagaimanapun, tidak cukup hanya dengan memilih acak elemen-elemen ini (Tao dkk,
2011), fakultas juga harus berfokus pada siswa dalam membuat metode pengajaran mereka (Beck &
Ferdig, 2008). Dengan kata lain, tidak ada satu metode yang bisa cocok untuk semua mata pelajaran
(Osguthorpe & Graham, 2003; Strayer, 2012). Beberapa mata pelajaran membutuhkan lebih banyak
waktu bertatap-muka dibanding yang lain, dimana mata pelajaran ini membutuhkan lebih banyak
demonstrasi dan praktek (Beck & Ferdig, 2008; Senn, 2008). Terserah kepada fakultas mau pilih
pembelajaran campuran mana yang paling cocok dengan kebutuhan siswa, yang memfokuskan pada
pemberian metode terbaik sebagai pengantar pembelajaran (Groves & O’Donoghue, 2009; Heinze &
Procter, 2006).

Materi audio dan visual: Fakultas yang menggunakan materi audio dan video online dalam
pengajarannya dan atau untuk melengkapi materi dari kelas tatap muka menemukan adanya
peningkatan pada pembelajaran siswa (Mortera-Gutierrez, 2006). Tetapi, guna terciptanya
pembelajaran online yang efektif maka sangatlah penting bagi fakultas untuk melengkapi dirinya
dengan pengetahuan mengenai media ini dan mengetahui cara membuat serta menerapkan
perangkat pembelajaran online ini guna membantu melancarkan pembelajaran siswa dan
menghindari terbuangnya waktu kelas sia-sia (Mortera-Gutierrez, 2006). Hal ini termasuk
menyelaraskan antara perangkat pembelajaran online dengan tujuan pembelajaran (Groves &

O’Donoghue, 2009; Strayer, 2012). Sebagai tambahan, fakultas harus membantu siswa terbiasa
dengan perangkat pembelajaran online dan bagaimana mereka menggunakannya untuk membantu
dalam mengoptimalkan pembelajaran. Heinze dan Procter (2006) menemukan kegiatan tersebut
meningkatkan partisipasi online siswa dan memperdalam diskusinya.

Membangun komunitas dan ekspektasi: Sangatlah penting untuk memulai pengajaran melalui
pertemuan tatap muka terlebih dahulu untuk membangun hubungan antara siswa dengan fakultas
guna menciptakan rasa keterkaitan dan interaksi saling asuh (Ackerman, 2008; Heinze & Procter,
2006; Mortera-Gutierrez, 2006; Rausch & Crawford, 2012). Membangun rasa komunitas ini,
terkadang tidak ditemui dalam kelas online (Mortera-Gutierrez, 2006) yang mana mempengaruhi
persepsi siswa dalam pembelajaran (Rausch & Crawford, 2012). Sangatlah penting untuk
mempertahankan rasa keterkaitan itu selama pembelajaran, misalkan melalui kegiatan kolaborasi
para siswa (Ackerman, 2008; Beck & Ferdig, 2008) dan melanjutkan kegiatan diskusi diluar kelas
(Osguthorpe & Graham, 2003). Diskusi kelas online bisa membangun rasa komunitas (Cole & Kritzer,
2009). Sebagai contoh, Heinze dan Procter (2006) membuat suatu "cafe virtual" dimana para siswa
bisa bertemu dan berdiskusi mengenai apapun. Ini bisa digunakan sepenuhnya oleh para siswa agar
tidak merasa terhalangi dalam diskusi mereka. Tetapi suatu kebijakan harus diterapkan karena
keterlibatan fakultas tidak ada disitu maka diskusi yang dilakukan tidak boleh melanggar kebijakan-
kebijakan fakultas. Kelas diskusi lain bisa diterapkan dengan cara yang sama pula. Sebagai contoh,
fakultas bisa membuat kelas diskusi bertajuk "Lebih Mengenalmu" untuk memupuk perkenalan
antara para siswa dengan fakultas (Cole & Kritzer, 2009). Sebagai tambahan, Cole and Kritzer (2009)
menggunakan video pesan singkat seminggu sekali untuk memupuk rasa kehadiran dan komunitas.
Walaupun bukan sebuah kelas diskusi tetapi perannya setara.

Pada awal pembelajaran, siswa harus menyadari apa harapan mereka terhadap hasil pembelajaran
dan apa yang diharapkan pembelajaran kepada mereka (Strayer, 2012). Sebagai contoh, Lage dkk
menjelaskan kepada siswa, waktu dan usaha yang dibutuhkan untuk berhasil dalam pembelajaran
terbalik serta mendorong mereka untuk berpindah jurusan jika mereka tidak percaya mereka bisa
berhasil dalam pembelajaran terbalik. Untuk membantu siswa dalam mengatur waktu, fakultas
harus memberikan saran tentang jadwal waktu yang tepat untuk mengambil kelas dan materi online
supaya mereka terarah dan siap untuk berpartisipasi baik di kelas online ataupun tatap muka
(Foertsch et al., 2002). Salah satu cara mereka melayani kebutuhan para siswa adalah dengan cara
membuat suatu modul berdasarkan tema mata pelajaran mereka (Cole & Kritzer, 2009). Sebagai
tambahan, siswa mungkin akan merasa terbantu jika fakultas menjelaskan alasan atau tujuan
pembelajaran, struktur kuliah atau tujuan pemberian tugas tertentu (Groves & O’Donoghue, 2009).
Hal ini mungkin akan berguna khususnya di kelas campuran dimana tidak ada banyak struktur
rutinitas kelas sebanyak di kelas tradisional (Strayer, 2012).
Penugasan dan Tujuan Pembelajaran: Guna mengurangi kebingungan dan banyaknya pertanyaan
siswa melalui email, fakultas harus memberikan gambaran sejelas mungkin mengenai tugas yang di
berikan kepada siswa (Mortera-Gutierrez, 2006). Termasuk didalamnya mengenai bagaimana dan
kemana tugas tersebut diserahkan. Fakultas yang meminta para siswanya untuk menyerahkan tugas
via email biasanya akan kebanjiran email (MorteraGutierrez, 2006). Beck dan Ferdig (2008) juga
menyarankan untuk mengubah penugasan tradisional menjadi proyek online.

Sangatlah penting untuk diingat bahwa tujuan pembelajaran selaras dengan pembelajaran
campuran, karenanya dibutuhkan penyesuaian yang berarti ketika berpindah ke format
pembelajaran campuran (Mortera-Gutierrez, 2006; Tao dkk., 2011). Sebagai contoh, fakultas
mungkin harus merubah dari metode berfokus pada konten menjadi berbasis pada siswa (Beck &
Ferdig, 2008; Kim & Bonk, 2006). McDaniel dan Caverly (2010) menyarankan bahwa fokus awalnya
adalah menentukan tujuan-tujuan pembelajaran guna membantu membimbing pembelajaran di
kelas dan materi online. Lebih jauh lagi, tujuan pembelajaran harus berpusat pada pembelajaran
siswa terhadap materi: kalau tidak maka kelas online hanya akan berfungsi sebagai alat komunikasi
saja bukanlah sebagai perangkat pembelajaran (Mortera-Gutierrez, 2006). Sejalan dengan itu, maka
perangkat penilaian oembelajaran pun harus dimodifikasi sehingga sejalan dengan arah tujuan
pembelajaran baru (Kim & Bonk, 2006; Zapatero dkk, 2012).

Keterlibatan Fakultas: sangatlah penting untuk fakultas terlibat dalam elemen pembelajaran, baik
didalam ataupun diluar ruang kelas. Salah satu cara agar fakultas untuk tetap terlibat diluar kelas
adalah dengan cara membuka konsultasi online khususnya bagi siswa yang merasa kesulitan diluar
jam kuliah atau bagi yang sibuk bekerja (Cole & Kritzer, 2009). Sebagai tambahan, dengan adanya
keterlibatan pada kelas diskusi online menandakan pentingnya elemen kelas tersebut. Tetapi harus
dicatat bahwa harus ada jumlah maksimal bagi fakultas untuk terlibat; jika keterlibatan fakultas
dalam kelas online terlalu banyak maka akan menghalangi siswa untuk berpartisipasi tetapi jika tidak
terlalu sedikit maka akan memperlihatkan ketidakpedulian fakultas terhadap siswa (Cole & Kritzer,
2009). Fakultas bisa juga meningkatkan pembelajaran siswa dan keberlangsungannya dengan cara
memastikan kegiatan-kegiatan siswa saat tatap muka berhubungan dengan diskusi online nya
(Stacey & Gerbic, 2007). Walaupun cara terbaik untuk terlibat dengan siswa mungkin membutuhkan
pelatihan, banyak fakultas yang ingin dan berharap keterlibatan itu bisa meningkatkan pembelajaran
campuran (Beck & Ferdig, 2008; Kim & Bonk, 2006).

Anda mungkin juga menyukai