Anda di halaman 1dari 20

PENGEMBANGAN KURIKULUM LOKAL SEBAGAI KONSTRUKSI OBJEK:

ANALISIS SOSIOMATERI
E. TRONSMO, M. NERLAND / TEACHING AND TEACHER EDUCATION 72 (2018)
33-43
Abstrak
Artikel ini mengkaji pengembangan kurikulum lokal guru dengan menganalisis perkembangan
tersebut sebagai sebuah proses konstruksi objek (konstruksi objek: faktor-faktor yang
membangun dan membentuk sebuah konsep atau pandangan). Sebanyak satu tim guru dari
sekolah menengah pertama, diberi tugas untuk mengembangkan kurikulum mata pelajaran untuk
sekolah mereka selama lebih dari setahun melalui pendekatan etnografi (etnografi: kajian tentang
kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik). Data hasil dari enam pertemuan tim ini
dianalisis untuk melacak bagaimana kurikulum dikembangkan melalui serangkaian instansiasi
objek yang juga bekerja pada proses konstruksi. Proses ini membutuhkan berbagai bentuk
keterlibatan epistemik (epistemik: dasar-dasar pengetahuan), yang harus diakui dalam diskusi
pekerjaan para guru saat ini dan tanggungjawab profesional mereka yang lebih luas.

1. Pengantar
Saat ini semakin diakui bahwa peran guru adalah sebagai co-produser pengetahuan professional
(co-produser pengetahuan professional: tenaga profesional/orang yang membantu dalam upaya
peningkatan kemampuan dan pengetahuan formal), bukan sebagai praktisi yang hanya
menerapkan pengetahuan yang diberikan untuk bekerja dalam praktik pendidikan. Pengajaran
terletak dalam lanskap standar dan template (pola/tatanan) yang kompleks, berbagai kontribusi
penelitian, sumber daya yang dikembangkan praktisi dibagikan di dalam dan di seluruh sekolah,
dan harapan dari pemangku kepentingan yang berbeda sering kali menimbulkan masalah
kecurangan (Fransson & Grannas, 2013 ; Jonasson, Makitalo, & Nielsen, 2015).

Menavigasi (mengarahkan) dalam lanskap (persepsi/model/acuan) ini dan membuat pengunaan


sumber daya yang tersedia membutuhkan keterampilan analitis, kapasitas untuk beradaptasi dan
membangun pengetahuan dan alat untuk mendukung kebutuhan lokal sekolah. Bentuk
keterlibatan seperti itu memerlukan tanggungjawab yang lebih untuk mengembangkan dan
menjaga pengetahuan untuk penggunaan lokal, yang membawa dimensi epistemik yang lebih
kuat pada pekerjaan profesional (Nerland & Jensen, 2012). Selain itu, tanggungjawab yang lebih
besar ini membawa pengetahuan kolaboratif bekerja ke depan sebagai cara untuk
mengembangkan otonomi kolektif, bukan pribadi, dalam profesi (Hermansen, 2017).

Salah satu contoh di mana tanggungjawab yang lebih ini berperan dalam pengembangan
kurikulum lokal; karena pekerjaan tersebut bersinggungan antara standar umum dan kebutuhan
lokal dan melibatkan berbagai masalah epistemik dan sosial.

Beberapa peneliti telah memeriksa bagaimana reformasi kurikulum yang dilakukan di sekolah
dan komunitas guru lokal dan menunjukkan hasil, misalnya, bagaimana pekerjaan tersebut
membutuhkan pemahaman organisasi yang luas (Coburn, 2001), bagaimana hal itu
membutuhkan bahasa profesional bersama untuk fokus pada masalah yang sama ( Horn & Little,
2010), bagaimana rute menuju pengajaran baru sering kali melibatkan rekonstruksi praktik yang
ada dan hubungan pemeran (Hermansen & Nerland, 2014), dan bagaimana itu memberi dan
memerlukan(mensyaratkan) bentuk-bentuk agen baru di antara para guru (Priestley, Edwards,
Priestley, & Miller, 2012; Pyhalto, Pietarinen, & Soini, 2015). Studi juga telah mengamati
dimensi materi yang penting dalam pengembangan kurikulum, dalam artian melibatkan
konstruksi, adaptasi, dan desain ulang materi kurikulum, seperti rencana tertulis, rubrik
penilaian, templat kegiatan, dan lain sebagainya (Voogt, Westbroek; Handelzalts, Walraven,
McKenney, Pieters & DeVries, 2011). Akibatnya, perhatian dipusatkan kepada guru sebagai
perancang kurikulum dan bagaimana proses ini memberikan kesempatan belajar bagi guru
(Voogt, et al., 2015). Penelitian ini telah menghasilkan serangkaian literatur yang berfokus pada
bagaimana guru merancang lingkungan pembelajaran, seringkali juga terkait dengan penggunaan
teknologi (Goodyear, 2015; Vestøl & Lund, 2017). Namun, kami tidak memiliki pemahaman
yang menyeluruh tentang bagaimana cara guru yang sebenarnya dalam membangun kurikulum
lokal yang mencakup beberapa tingkat kelas atau apa yang ditimbulkan oleh tanggungjawab
epistemic ini. Untuk menyelidiki masalah ini, perlu untuk mengikuti proses desain secara
mendalam dan dari waktu ke waktu, menyelidiki bagaimana mereka berkembang secara spesifik
di lingkungan epistemik dan material. Singkatnya, kami berpendapat bahwa diperlukan fokus
pada apa yang dibangun, bagaimana itu dibangun, dan implikasi dari konstruksi sementara untuk
proses desain selanjutnya.

Artikel ini berkontribusi pada fokus tersebut dengan menggunakan perspektif sosio materi pada
pengembangan kurikulum lokal dengan menganalisis perkembangan tersebut sebagai proses
konstruksi objek. Lebih spesifik mengacu pada gagasan Knorr Cecina tentang “Objek
pengetahuan” yang terbuka dan berkembang. Dengan memperhatikan pembuatan kurikulum
sebagai objek pengetahuan yang berkembang, kami menganalisis proses pengembangan dalam
tim guru sekolah menengah pertama di Norwegia yang diberi tugas untuk mengembangkan
kurikulum mata pelajaran (dalam analisis kami disebut sebagai “rencana”) untuk sekolah
mereka. Pendekatan analitik ini telah digunakan untuk mengungkap proses desain dan konstruksi
pengetahuan kolaboratif dibidang profesional lainnya, seperti dalam desain arsitektur (Comi&
Whyte, 2017; Ewenstein & Whyte, 2009), desain konstruksi (Miettinen & Paavola, 2016), dan
dalam pengembangan prosedur klinis untuk pekerjaan perawat (Nerland & Jensen, 2012);
namun, pendekatan ini belum banyak digunakan dalam studi tentang profesi guru.

Analisis menunjukkan bagaimana para guru membangun serangkaian objek perantara dan
bagaimana objek perantara ini menjadi konsekuensi untuk proses perencanaan, serta keterlibatan
epistemik yang diperlukan dalam proses tersebut. Kami membahas bagaimana konstruksi objek
memungkinkan guru untuk menangani masalah yang berbeda dan untuk menavigasi dalam
beberapa lanskap waktu dan menyimpulkan dengan menunjukkan kemungkinan implikasi untuk
profesi guru. Implikasi tersebut mungkin memerlukan tantangan sekolah dan program
pendidikan guru untuk mempersiapkan guru pada jenis desain pekerjaan yang kompleks.
Sebelum mempresentasikan temuan studi, kami memulai dengan tinjauan singkat penelitian
tentang keterlibatan guru dalam pengembangan kurikulum.
2. Keterlibatan guru dalam pengembangan kurikulum: Tinjauan singkat

Penelitian ulang tentang keterlibatan guru dalam pengembangan kurikulum telah menyelidiki
berbagai aspek proses desain guru. Satu literatur telah melihat manfaat pekerjaan dalam tim
desain guru atau teacher design teams (TDT). Di sini, TDT telah dijelaskan dan diselidiki dalam
kaitannya dengan manfaatnya untuk peningkatan sekolah (Handelzalts, 2009; Law &Nieveen,
2010) dan perubahan sekolah (Huizinga, Handelzalts, Nieveen, & Voogt, 2014), dan
meningkatkan spesifikasi topik dan subjek (Pepin,Xu, Trouche, & Wang, 2017; Voogtdkk.,
2011). Manfaat lain yang dilaporkan dari keterlibatan tim dalam pengembangan kurikulum
adalah pembelajaran profesional (Lewis, Perry, & Hurd, 2009; Shawer, 2010; Vescio, Ross, &
Adams, 2008; Voogtdkk., 2011, 2015). Dalam hal ini, pembelajaran terkait dengan kerja
kolaboratif guru dalam mengembangkan sumber daya untuk pengajaran praktis dan strategi
instruksi baru untuk mata pelajaran mereka, seperti yang dijelaskan oleh Binkhorst, Handelzalts,
Poortman, dan Van Joolingen (2015). Mereka menyelidiki jaringan TDT di Belanda dan
menemukan bahwa TDT mempromosikan pengembangan profesional guru, terutama dalam
kasus di mana pelatih tim berkontribusi mencari tujuan bersama. Untaian literatur lain telah
melihat apa yang diperlukan untuk terlibat dalam desain ini, menunjukkan bagaimana guru
bekerja dengan dan pada jenis representasi yang berbeda, misalnya ide abstrak dan materi
konkret. Beberapa peneliti telah mengkonseptualisasikan ini sebagai prototipe (McKenney,
Nieveen& Van den Akker, 2006; Plomp, 2013; Van den Akker & Kuiper, 2008) yang mengacu
pada proses sistematis revisi produk desain dalam siklus berulang selama proses desain.

Dalam sebuah penelitian atas 12 tim desain guru di Belanda selama upaya mereka untuk
mendesain ulang kurikulum mereka, Handelzalts (2009) menemukan bahwa kegiatan yang
paling kondusif dalam tim desain guru adalah kegiatan yang “memaksa” tim untuk menentukan
alasan mereka dan tujuan mereka sementara tim bekerja sama pada bahan konkret. Menetapkan
ide-ide abstrak di atas kertas membuatnya nyata dan dapat diakses untuk diskusi dan membantu
para guru dalam menciptakan gambaran konkret tentang kemungkinan praktik di masa depan.
Juga, dalam studi etnografi pembuatan kurikulum di Skotlandia, Priestley dan Drew (2017)
melaporkan bahwa ruang dan repertoar guru untuk memanuver dipengaruhi oleh konfigurasi
materi dan pengembanagan nilai sosial yang dilakukan oleh para guru yang bertindak sebagai
penerjemah dari ide-ide yang diprakarsai secara eksternal dan internal dengan cara yang
menyiratkan rekonstruksi praktik yang ada. Baker-Doyle dan Gustavson (2016) menunjukkan
dalam studi mereka dalam konteks AS bagaimana alat-alat budaya dipengaruhi oleh dan dalam
memengaruhi lembaga guru serta menunjukkan kompleksitas dan kekhawatiran berbeda yang
tertanam dalam apa yang mereka sebut “saat-saat kecil” interaksi tingkat mikro selama desain
kurikulum kolaboratif. Singkatnya, apa yang diilustrasikan oleh semua penelitian ini adalah
bahwa guru memperoleh tanggungjawab yang lebih besar untuk membangun, mengadaptasi, dan
mendesain ulang sumber daya instruksional. Seperti yang dibahas secara eksplisit oleh
McKenney, Kali, Markusaite, &Voogt (2015) studi ini telah memberikan wawasan yang
berharga tentang kompleksitas pengembangan kurikulum kolaboratif dan memperluas
pemahaman kita tentang bagaimana guru sebagai perancang kurikulum bekerja di berbagai
tingkatan secara paralel sambil membuat dan berinteraksi dengan representasi eksternal. Namun,
sebagian besar studi ini telah mengkonseptualisasikan desain sebagai proses mendetail dari
membayangkan dan membangun artefak untuk penggunaan instruksional (McKenney, Kali,
Markauskaite, & Voogt, 2015). Meskipun guru tanggungjawab diperpanjang diterangi dalam
literatur, kita membutuhkan lebih banyak wawasan ke dalam dimensi epistemic tanggungjawab
tersebut. Yaitu, bagaimana guru menangani berbagai bentuk dan perhatian pengetahuan,
bagaimana mereka mengeksplorasi praktik baru dan mapan di ruang dan waktu, dan bagaimana
mereka membenarkan keputusan yang dibuat dalam proses konstruksi.

Berikut ini, kami memeriksa aspek epistemic pekerjaan guru dalam studi kasus tentang
bagaimana tim guru sekolah menengah pertama di Norwegia menyusun kurikulum mata
pelajaran untuk sekolah mereka. Pekerjaan ini berlangsung di tempat Van den Akker,
Gravemeijer, McKenney, dan Nieveen (2006) menggambarkan sebagai 'tingkat meso', antara
praktik kelas dan pedoman dari tingkat nasional dan sekolah itu sendiri. Norwegia adalah
konteks yang menarik untuk memeriksa proses tersebut, karena guru diberi tanggungjawab untuk
pengembangan kurikulum lokal. Ada peraturan nasional, tapi ini tidak terlalu lebih spesifik,
sehingga perlu dikembangkan secara lokal (Hatch, 2013). Oleh karena itu, ketegangan antara
regulasi eksternal dan manuver profesional ada, bagaimanapun, pada tingkat yang lebih rendah
dari pada di Inggris atau AS, sebagai contoh (Czerniawski, 2011). Studi ini menganalisis proses
penyusunan kurikulum mata pelajaran yang harus diterapkan di seluruh kelas dan kelas di
sekolah, bukan pada desain khusus untuk materi pembelajaran. Pekerjaan tersebut mewujudkan
seperangkat peraturan yang lebih luas di berbagai mata pelajaran dan memungkinkan untuk
memeriksa pengembangan kurikulum di tingkat nasional dan lokal.

3. Mengkonseptualisasikan pengembangan kurikulum sebagai konstruksi objek

Untuk menyelidiki pengembangan kurikulum sebagai proses konstruksi, kita perlu


memperhatikan proses yang terjadi, dan berbagai sumber yang terkait dengan guru dalam
pekerjaan ini. Perspektif teoretis yang cocok untuk memahami hubungan yang muncul seperti itu
adalah perspektif sosiomaterial tentang praktik profesional ( Fenwick, Edwards, & Sawchuk,
2011 ). Dalam pendekatan seperti itu, asumsi utamanya adalah bahwa praktik adalah demikian
secara relasional dibentuk oleh manusia dan dunia material yang menangkap, membentuk, dan
mewujudkan pengetahuan dari domain tertentu atau lintas domain. Asumsi kedua adalah bahwa
praktik, yaitu cara melakukan atau bertindak kolektif, dibentuk oleh bentuk materialitas dan
sumber daya (mis. dokumen kebijakan, subjek-spesifik dan wacana pedagogis, standar dan
teknologi) yang dihadapi dan ditindaklanjuti. Dalam proses pengembangan kurikulum,
representasi terwujud tertentu dari konvensi sosial, standar pendidikan, dan prioritas atau
pemahaman kurikulum mungkin memiliki dampak yang lebih besar daripada yang lain. Di lain
waktu, praktik yang sudah mapan mungkin ditantang oleh ide-ide baru atau sumber budaya baru.
Apa yang muncul adalah situasi yang membutuhkan pertimbangan dan keseimbangan
kepentingan dan kekhawatiran. Asumsi ketiga mempertimbangkan bahwa relasi, makna,
tindakan, dan pengetahuan selalu dalam keadaan munculnya. Untuk praktik profesional, keadaan
ini menyiratkan bahwa pengetahuan dan sumber daya diterjemahkan saat diberlakukan dalam
praktik, dan terjemahan ini melibatkan kekuatan transformatif dan stabilisasi (Nerland & Jensen,
2012 ). Secara analitis, pendekatan ini menarik perhatian ke jaringan kompleks tuntutan, orang,
aktivitas, dan standar, di mana pekerjaan guru saat ini disematkan, ditemukan dan disusun oleh
jadwal, kalender, rencana, dan silabus pengajaran yang dirancang guru untuk pekerjaan di masa
depan tetapi juga dalam pandangan pengalaman dan praktik sebelumnya. Terlepas dari
bagaimana caranya pekerjaan perencanaan tetap mungkin tampak, selalu dinamis, muncul, dan
dibangun dengan cara yang melibatkan proses penerjemahan.
Teori sosiomaterial terdiri dari beberapa pendekatan potensial untuk mempelajari konstruksi
objek saya. Untuk artikel ini kami mengacu pada satu konsep dalam perspektif sosiomaterial
yang memungkinkan kami untuk mengeksplorasi dimensi epistemik dan relasional dari proses
konstruksi; konsep “objek pengetahuan” (Fenwick, Nerland, & Jensen, 2012; Knorr Cetina, 1999
, 2001). Knorr Cetina menekankan bahwa objek pengetahuan adalah benda dan proses. Benda-
benda seperti itu dibatasi tetapi terungkap dan masuk fi berkembang tanpa batas; mereka
“keduanya siap di tangan dan tunduk pada pengembangan dan penyelidikan lebih lanjut” ( Knorr
Cetina, 2001 , hal. 187). Untuk mencontohkan pengertian objek pengetahuan Knorr Cetina
mengacu pada program komputer; mereka terus berubah tetapi sekaligus siap untuk digunakan.
Dualitas ini memiliki dua implikasi analitis yang penting.

Pertama, karakteristik objek pengetahuan adalah ketidaklengkapannya. Properti mereka muncul


dan berkembang hanya jika dieksplorasi dan dikerjakan. Objek pengetahuan selalu dalam proses
menjadi material dan terus dapatkan properti baru dan ubah properti yang mereka miliki (Knorr
Cetina, 2001 , hal. 181). Dalam pengertian ini, objek pengetahuan sebagai keutuhan tidak pernah
sepenuhnya tersedia dan muncul hanya ketika sebagian aspek dikerjakan. Kedua, karena objek
pengetahuan sering kali ada secara bersamaan dalam berbagai bentuk, mereka membawa dualitas
temporal: satu menunjuk ke depan dalam waktu ke keadaan yang sejauh ini tidak lengkap atau
belum sepenuhnya tercapai dan yang lain diekspresikan melalui representasi dari keadaan masa
lalu atau sekarang. Objek pengetahuan sebagai konsep analitis memungkinkan kita untuk
menganalisis bagaimana rencana itu dibangun dan apa yang sedang dibangun.

Hubungan kedua versi objek ini telah dicirikan sebagai “Instansiasi” dari objek pengetahuan
(Vinck, 2012 ) menghubungkan aspek abstrak (ideasional) dan aspek konkrit. Untuk membuka
proses konstruksi, kami mengacu pada konsep “objek perantara” ( Vinck, 2012; Vinck, Jeantet,
& Laureillard, 1996) untuk memahami berbagai fungsi yang dimiliki objek dalam proses
konstruksi. Pertama, objek perantara berfungsi sebagai mediator dalam arti materialitasnya
menyediakan titik fokus di mana ambiguitas dapat dipilah, kejutan dapat muncul, dan makna
diterjemahkan. Kedua, dalam mengikuti objek perantara, kita dapat mendeskripsikan munculnya
solusi karena materialitas objek membangun dan membatasi dinamika di tempat kerja dengan
memungkinkan untuk mengoordinasikan masukan dari aktor yang berbeda; untuk menstabilkan
beberapa aspek, dan untuk mengembangkan yang lain. Konsep ini cocok untuk memahami
banyak versi sementara dari kurikulum yang sedang dibangun. Ketiga, objek perantara dan batasi
ruang untuk aksi ( Vinck, 2012 ), misalnya, apa yang harus terjadi di ruang publik atau privat,
siapa yang seharusnya memiliki kendali atas penggunaan objek, siapa yang bertanggung jawab
atas mereka, dll. Dengan menggunakan konsep objek pengetahuan dan objek perantara serta
berbagai fungsinya sebagai alat pemeka, penelitian ini bertujuan untuk membuka proses
pengembangan kurikulum sebagai konstruksi objek dengan melihat bagaimana rencana sebagai
objek pengetahuan dikonstruksi melalui serangkaian objek perantara. Seperti yang dirumuskan
oleh Vinck, objek perantara ini bertindak kembali pada proses konstruksi dengan membingkai
tindakan, menyusun kerangka waktu, dan menengahi landasan bersama untuk pekerjaan tersebut.
Di bagian selanjutnya kami menggunakan perspektif ini untuk mengeksplorasi tiga pertanyaan
berikut yang memandu analisis kami:
a. Apa yang menjadi ciri pengembangan kurikulum sebagai proses konstruksi objek?
b. Peran apa yang diambil objek perantara dalam proses ini?
c. Jenis tanggung jawab epistemik apa yang dibutuhkan oleh guru dalam proses ini?

4. Pengaturan dan metode empiris

Satu sekolah dipilih sebagai lokasi empiris untuk penelitian ini. Kami menghubungi beberapa
sekolah menengah pertama yang berorientasi pada pembangunan, dan dari sekolah yang
berminat, kami memilih sekolah di mana pengembangan kurikulum lokal menjadi bidang
prioritas. Inisiatif pengembangan kurikulum sekolah berasal dari analisis status yang dilakukan
oleh sekolah dua tahun sebelumnya yang telah mengungkapkan keinginan di antara staf untuk
memperluas pemahaman kurikulum umum mereka dan untuk mendapatkan lebih banyak waktu
untuk membenamkan diri mereka sendiri dalam mata pelajaran lintas tingkatan, mengenai tujuan
keseluruhan dari disiplin dan prinsip yang melekat dari mata pelajaran. Para guru juga meminta
lebih banyak waktu untuk berkolaborasi lintas mata pelajaran untuk memperdalam topik tertentu
dari berbagai sudut.

Manajemen sekolah mengatur semua guru dalam mata pelajaran tertentu dan memberi mereka
peremuan secara teratur dalam kelompok mata pelajaran: enam kali per tahun, 2 jam per
pertemuan, di samping hari perencanaan, untuk mengembangkan kurikulum berbasis sekolah
dalam mata pelajaran masing-masing. Baik manajemen maupun guru tidak memiliki pengalaman
sebelumnya dengan pengembangan kurikulum. Dalam wawancara terungkap bahwa para guru
memiliki pemahaman yang sama tentang pekerjaan. Harapan jangka panjang adalah untuk
mengembangkan secara lengkap produk eksibel yang memberikan standar umum, yang pada
gilirannya diharapkan memungkinkan mereka mengalokasikan lebih banyak waktu untuk
mengembangkan metode pengajaran yang beragam dan pembelajaran yang mempromosikan
praktik penilaian. Kurikulum mata pelajaran dimaksudkan untuk memiliki kerangka validitas
tiga tahun, tetapi metodologi dan silabus harus direvisi setiap tahun. Dalam amanat yang
diberikan kepada guru, kerja keras yang antara lain membutuhkan gambaran tentang isi mata
pelajaran, metodologi, teori pembelajaran, dan keterampilan pedagogik, diharapkan. Sebuah
template untuk komponen kurikulum yang akan dimasukkan dalam rencana dikembangkan
bekerjasama oleh manajemen dan guru. Tabel 1 menunjukkan bagaimana template ini disajikan
sebagai titik awal untuk pekerjaan guru. Komponen kurikulum adalah: tujuan kompetensi dalam
kurikulum nasional; rencana lokal untuk kegiatan sosial dan budaya yang terkait dengan
kurikulum inti nasional (yaitu membahas sikap dan pengetahuan); keterampilan; konten subjek;
metode pengajaran, kunjungan, dan sumber pengajaran; dan penilaian (bagaimana dan kapan).
Desain template ( Tabel 1 ) adalah hasil dari kebijakan, persyaratan nasional, penelitian, dan
prioritas sekolah dan dengan demikian, pembawa pekerjaan tersebar melalui ruang dan waktu.

Dalam setiap kelompok, salah satu guru bertanggung jawab menjalankan proses, termasuk
merujuk dan mengadakan pertemuan rutin dengan kepala sekolah dan koordinator kelompok
mata pelajaran lainnya. Dalam kelompok yang kami ikuti, pertemuan memiliki agenda
terstruktur dengan agenda yang dikenalkan oleh koordinator. Meskipun beberapa tema berulang
dari pertemuan ke pertemuan, topik baru diperkenalkan pada setiap pertemuan meskipun topik
yang telah dikerjakan guru belum tentu fi diselesaikan. Itu merupakan persyaratan implisit
bahwa tugas-tugas tertentu harus diselesaikan di antara rapat. Kepala sekolah menjelaskan dalam
sebuah wawancara bahwa kurikulum mata pelajaran yang mereka kembangkan adalah
“mengikat” dalam arti akan diabadikan dalam dokumen strategi sekolah dan bertindak sebagai
dokumentasi dalam kaitannya dengan otoritas pengawas. Dia juga menjelaskan, bagaimanapun,
itu “pekerjaan ini tidak akan pernah selesai,”.

Sebab lanjutnya, pengembangan kurikulum para guru itu “pengembangan profesional


berkelanjutan terbaik yang bisa diperoleh.” Ini menyiratkan bahwa rencana tersebut memiliki
tujuan yang berbeda, yaitu mendukung pengembangan profesional dan komunikasi ke luar
kepada orang tua dan pemangku kepentingan, tetapi juga untuk praktik pengajaran internal di
antara guru dan staf masa depan.

Untuk mempelajari pengembangan kurikulum sebagai praktik yang muncul dalam lingkungan
sosiomateri, kami mengambil pendekatan etnografi untuk mengumpulkan data. Kami mengikuti
enam pertemuan untuk topik-spesifik pada kelompok Ilmu Sosial (Sejarah, Geografi, dan PKn)
sepanjang tahun ajaran (2015, 2016), terdiri dari enam guru lintas tingkat kelas (8 10) sementara
mereka secara kolaboratif mengembangkan kurikulum Ilmu Sosial untuk sekolah mereka. Tiga
guru berpengalaman dengan pelatihan pascasarjana dalam supervisi, satu adalah pemula, dan
satu memiliki pengalaman beberapa tahun. Dengan menggunakan strategi “mengikuti objeknya”
(Bruni, 2005; Czarniawska-Joerges, 2007), kami sangat prihatin tentang menangkap berbagai
versi rencana untuk memastikan kepekaan dalam materi dan detail interaksional saat rencana
berjalan. Data terdiri dari data observasi, data wawancara, dokumen, dan sumber daya yang
dibagikan di ruang kerja online guru. Pengamatan dan wawancara direkam dengan kamera video
dan dilengkapi dengan tulisan tangan pada catatan lapangan, diketik setelah setiap kunjungan
dan disimpan dalam Log Aktivitas Kerja Lapangan. Wawancara digunakan untuk menguraikan
pengamatan dan alasan tindakan guru, sementara data tambahan dikumpulkan dari pertemuan
lain (misalnya, pertemuan tingkat kelas dan hari perencanaan), dan dokumen sekolah.
Pengamatan video dan wawancara ditranskripsikan kata demi kata. Fokus transkripsi adalah
komunikasi verbal, tetapi tindakan nonverbal relevan dengan interaksi (Jordan & Henderson,
1995) diikutsertakan (misalnya saat peserta membuat catatan, mengetik, dipindahkan ke dalam
ruangan, atau artefak bekas). Transkripsi dikaitkan dengan representasi material dari pekerjaan
tim, seperti gambar artefak yang digunakan dan versi draf rencana. Versi menengah dari rencana
tersebut diunduh dan dianalisis untuk menunjukkan versi sebagian dari proses tersebut. Ketika
observasi dimulai, kelompok Ilmu Sosial telah bekerja dengan konten disipliner dan komponen
penilaian pada tahun akademik sebelumnya; namun, banyaknya ruang kosong di kolom dan baris
menunjukkan masih banyak yang harus dilakukan.
5. Strategi analitis
Untuk artikel ini, kami memfokuskan spesifikasi fi mengandalkan kerja kolaboratif guru selama
enam pertemuan. Mengingat ketertarikan kami pada jenis konstruksi objek yang terlibat dalam
pengembangan kurikulum lokal, proses membangun, mengeksplorasi, dan menstabilkan objek
dan perwujudannya merupakan fokus analitik dari studi ini. Kami mengikuti objek dalam
pembuatannya daripada maksud guru (Vinck, 2012 ; Lihat juga; Ewenstein & Whyte, 2009).
Analisis dilakukan dalam tiga langkah. Pertama, melalui pembacaan transkrip yang berulang,
catatan lapangan, dan melihat materi video, kami mendekati pekerjaan etnografi dengan
sejumlah kategori analitis (misalnya, pertanyaan yang mereka kerjakan dalam desain kurikulum,
sumber pengetahuan yang digunakan, ketegangan yang muncul, dan aktor yang dirujuk)
dirumuskan melalui teori kami dan kepentingan metodologis. Namun, kami kembali fi
Menemukan kategori-kategori ini selama pembacaan materi yang dihasilkan secara induktif.
Kedua, mengikuti McGivern dan Dopson's (2010) strategi, kami menandai peristiwa-peristiwa
penting yang menandai “fase” untuk menangkap objek pengetahuan yang menyeluruh. Kami
mencari objek dan episode perantara di mana interaksi sosial dan material untuk sementara
diringkas atau ditutup dengan meninjau catatan lapangan dan transkrip. Misalnya, setelah diskusi
yang lebih panjang tentang konten pengetahuan dan kriteria hasil pembelajaran, prosesnya bisa
ditutup dengan sebuah kesimpulan, tetapi instantiasi ini kemungkinan besar akan dibuka kembali
di tahap selanjutnya. Ketiga, setelah kami menentukan episode ini untuk menjamin analisis lebih
lanjut, kami melakukan analisis mendalam tentang bagaimana objek berkembang di dalam dan di
luar episode ini. Untuk memvalidasi interpretasi, ini disajikan kepada peneliti inti dalam sesi data
bersama dan tiga peneliti secara sistematis mengkompromikan interpretasi mereka selama proses
berlangsung.

Dengan menganalisis data dari keenam pertemuan, kami memperoleh wawasan tentang proses
mikro pengembangan kurikulum. Meskipun identitas tersebut hadir dalam semua pertemuan,
kami memilih tiga episode empiris untuk menggambarkan proses di mana objek perantara dibuka
untuk eksplorasi lebih lanjut atau distabilkan. Presentasi dan analisis berikutnya menarik
sebagian dari para peneliti konstruksi narasi dan sebagian pada ekstrak pengamatan video. Kami
tidak menyajikan episode ini dalam garis waktu linier, tetapi fokus pada bagaimana versi, opsi,
atau solusi yang berbeda tiba, dan interaksi sosial dan material dimobilisasi dalam pekerjaan ini.
Ketiga peristiwa tersebut menggambarkan karakter yang berbeda dari proses-proses ini.

6. Temuan: kurikulum bekerja sebagai konstruksi objek (sementara) menutup masalah.

Tinjauan menyeluruh dari seluruh kumpulan data menunjukkan bagaimana guru perlu
mengeksplorasi aspek parsial dan hubungan yang melekat dalam objek pengetahuan. Dalam
situasi ini, guru membuat objek perantara untuk bekerja secara spesifik fi terutama dengan
bidang-bidang seperti pertanyaan penilaian atau hubungan dengan pedoman nasional.

Kami mengidentifikasi tiga masalah gabungan yang tertanam dalam keseluruhan objek
pengetahuan yang perlu diselesaikan oleh guru, serta keterlibatan epistemik yang diperlukan. Itu
Episode pertama adalah dari pertemuan ketiga ketika salah satu guru mencontoh sesi
pembelajaran secara pribadi. Episode kedua adalah dari pertemuan kelima ketika kelompok
membahas masalah penilaian, topik yang berulang selama pertemuan. Episode ketiga dari
pertemuan terakhir menggambarkan bagaimana berbagai komponen kurikulum dilihat dalam
konteks dan dicari keselarasan.

6.1. Instansiasi prinsip-prinsip kurikulum melalui praktik pembelajaran modeling: episode


Beberapa menit sebelum rapat dimulai, enam guru muncul dari berbagai wilayah sekolah,
masing-masing membawa laptop. Sudah 30 menit sejak siswa terakhir meninggalkan sekolah,
dan sekarang rekan kerja bertemu di kelas 10 dan menyatukan enam meja siswa untuk meja
rapat. Oliver, sang ketua kelompok, langsung menuliskan agenda pertemuan (yang dibagikan
sebelumnya) di papan tulis. Nadanya informal dan ceria. Oliver membuka ruang daring bersama
di mana letak kurikulum yang sedang berjalan dan memproyeksikannya di layar, dan rapat
dimulai tepat waktu.

Sembilan puluh menit setelah rapat, mereka berhenti di kolom paling kiri (lihat Tabel 1) dalam
rencana Kelas 10, pada tujuan kompetensi dari kurikulum nasional yang diwakili oleh kata-kata
kunci berikut: “Hubungan nasional dan global fi keuangan. ” Pada topik ini, kolom lain dalam
rencana masih kosong (yaitu, garis horizontal). Stephen, salah satu guru kelas 10, telah
memulai dan siap untuk menguraikan masalah ini dengan sebuah “pemodelan” sidang. Berdiri
di belakang podium, dia menutup jendela yang diproyeksikan dengan rencana Ilmu Sosial dan
membuka slide PowerPoint dengan judul “Hubungan antara ekonomi mikro dan makro.”

Ekonomi mikro dibahas dalam kurikulum mata pelajaran matematika, katanya, dan membuka
versi saat ini dari rencana matematika yang tersedia di ruang online bersama dan menunjukkan
tumpang tindih antara dua mata pelajaran. Sekali lagi, dia membuka rencana Ilmu Sosial, dan
bertanya, Bisakah kita serahkan ini pada guru matematika saja? Dia melanjutkan: Mengenai
topik ini, kita harus mengambil tanggung jawab kita, tetapi pertanyaannya adalah bagaimana
kita dapat melakukannya dengan cara yang masuk akal bagi siswa. Dia menambahkan bahwa
dia baru-baru ini menghadiri seminar sarapan di mana seorang profesor di bidang sosial
ekonomi berbagi keprihatinan tentang kaum muda ' Kurangnya pemahaman tentang ekonomi
makro. Kelompok melihat rencana yang diproyeksikan di layar. Selanjutnya, seperti seorang
aktor dalam sebuah adegan, ia mensimulasikan sesi pengajaran, menggunakan beberapa
sumber (gambar, narasi, misalnya, cerita Donald Duck yang menggambarkan fenomena, dan
diagram dari ekonomi Keynesian). Yang lain mendengarkan dengan penuh perhatian dan
mencatat. Setelah menyelesaikan peragaan pengajaran ini, yang lain mengajukan pertanyaan
dan memberikan saran. Stephen ' Slide berikutnya menunjukkan penelitian tentang bagaimana
ekonomi makro memengaruhi keluarga fi keuangan, diikuti oleh statistik pemuda kurangnya
pemahaman tentang ekonomi, data dari Palang Merah tentang tingginya pinjaman konsumen di
kalangan remaja, dan penelitian tentang korelasi antara kesehatan mental dan ketiadaan
keterampilan hidup finansial. Setelah 10 menit, dia telah membagikan saran tentang didaktik
dan argumen tentang relevansi topik ini untuk kurikulum mata pelajaran Ilmu Sosial. Ini
memulai diskusi tentang tujuan dari subjek. Menit-menit berikutnya, tujuan kompetensi dan
penilaian beralih ke latar belakang dan interaksi tentang guru mandat untuk mendidik siswa
menjadi warga negara yang kritis. Para guru setuju bahwa masalah tersebut perlu
dikembangkan lebih lanjut pada pertemuan berikutnya bekerja sama dengan para guru
Matematika, dan setelah 20 menit secara total, mereka mengakhiri sesi dengan mewujudkan
beberapa baris di kolom kosong rencana tentang metodologi, sumber daya, penilaian , dan
kolaborasi interdisipliner.
(Berdasarkan observasi dari pertemuan 3).
Titik masuk episode ini adalah representasi prinsip kurikulum dari kurikulum nasional yang
dalam rencana sebagai penghubung potensial antara nasional dan global. Instansiasi yang
diproyeksikan di layar berfungsi sebagai objek perantara. Namun, ternyata objek perantara tidak
dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam rencana tetapi memunculkan serangkaian pertanyaan
dan kekhawatiran yang perlu dinegosiasikan sebelum objek tersebut dapat distabilkan. Jadi,
dalam episode ini, objek perantara bertindak sebagai mediator untuk memanipulasi bagian dari
objek pengetahuan yang menyeluruh (kurikulum lokal) dengan cara eksploratif. “pemodelan
jalan memutar.” Thomas, salah satu guru dalam kelompok, menjelaskan dalam wawancara
kelompok, “Hal tentang pemodelan adalah memberi kita wawasan tentang ide-ide di balik
konsep pengajaran yang berbeda. ”Pemodelan tersebut berfungsi sebagai alat untuk
menerjemahkan prinsip-prinsip kurikulum nasional. Dengan demikian, fungsi dari objek
perantara berperan dalam beberapa cara.

Pertama, Stephen membuat proposal sketsa dalam bentuk slide untuk mengeksternalisasi idenya.
Dengan menawarkan sesuatu kepada kelompok untuk dipegang, dia memobilisasi beberapa
sumber (misalnya, gambar, diagram penelitian, dan sumber didaktik) yang menciptakan
kerangka kerja interpretatif di sekitar objek perantara. Melihat slide dengan rekan-rekannya
berfungsi sebagai aktivitas mediasi sosial dan material yang memperluas repertoar interaksional
mereka. Misalnya, kisah Donal Bebek tentang in asi terkait dengan perkembangan kegiatan
instruksional. Dalam terlibat dengan ide-ide eksternal Stephen, para guru menghasilkan saran-
saran baru, banyak di antaranya belum dibahas oleh kelompok sebelumnya. Diskusi membawa
dimensi kreatif untuk bekerja dengan hasil yang baru dan tak terduga. Dalam menanyakan
apakah masalah mikroekonomi harus diserahkan pada mata pelajaran Matematika, pertanyaan
Stephen menimbulkan keprihatinan atas tanggung jawab guru yang menyebabkan guru untuk
menyelidiki secara spesifik. Ketika ini terjadi, objek itu terbuka, memunculkan diskusi
eksploratif tentang berbagai alternatif tentang apa yang akan dimasukkan ke dalam kolom-kolom
berbeda dalam rencana. Pertanyaan baru perlu diperjelas fi ed sebelum guru bisa melanjutkan.
Misalnya dalam mengaitkan masalah pribadi fi keuangan untuk mandat masyarakat dari subjek
mereka, mereka secara bersamaan membenarkan mengapa masalah ini termasuk dalam area
tanggung jawab guru. Upaya penalaran tersebut memunculkan kebutuhan untuk menyelaraskan
pekerjaan kurikulum lokal dengan tujuan utama kurikulum inti nasional.

Kutipan tersebut juga menunjukkan bahwa prinsip kurikulum di layar diterjemahkan ke dalam
spesifikasi Contoh, tidak hanya tentang bagaimana hal ini sebelumnya telah dilakukan di kelas
Stephen tetapi juga bagaimana hal ini dapat dilakukan. Dengan demikian, pemodelan memediasi
sinkronisasi pengalaman dan keterlibatan sebelumnya dalam pengajaran yang akan datang dan
kemungkinan masa depan. Ini menciptakan ruang untuk beralih dari masa lalu ke skenario
imajiner yang mengarah ke masa depan di mana kelompok berubah antara mengartikulasikan
“bagaimana jika” kemungkinan dan mewujudkan diskusi mereka dalam bentuk teks dan grafik di
layar. Pemodelan tersebut menciptakan interaksi yang kompleks antara duniawi di mana para
guru menggabungkan representasi waktu dan ruang yang berbeda. Alih-alih hanya mengikuti
struktur terkompresi dan linier dari templat kurikulum, interaksi eksploratif guru dengan objek
perantara membentuk hubungan temporal dan spasial. Terhubung ke jaringan yang beragam di
dalam dan di luar sekolah lokal, seperti praktik kelas, pertemuan mata pelajaran lainnya, dan
seminar eksternal, perkembangan kurikulum lokal demikian dipengaruhi oleh praktik di
pengaturan dan waktu lain.

Ketiga, konstruksi rencana yang dikembangkan sebagai tanggapan terhadap kerangka acuan
yang lebih luas. Ketika guru membuat catatan, mengajukan pertanyaan, mengusulkan perubahan,
dan memecahkan masalah, mereka masuk nuansa dari, misalnya, pengalaman kerja atau dari
pengetahuan berbasis penelitian. Nuansa ini penting untuk cara konstruksi rencana bergerak
maju dan dalam menentukan arah. Misalnya, dengan mengaitkan tujuan pembelajaran umum
dengan penelitian tentang pinjaman konsumen tinggi di kalangan kaum muda, objek perantara
yang dimulai oleh guru dibentuk (ulang) dalam kaitannya dengan tujuan sekolah (dan dengan
mandat sosial mereka). Pembentukan kembali ini, pada gilirannya, memicu elaborasi metode
pengajaran yang relevan seperti yang diilustrasikan oleh slide dan saran Stephen untuk kegiatan
pendidikan. Selain itu, dalam menggambarkan mata pelajaran Matematika, kaitannya dengan
misi sosial mata pelajaran Ilmu Sosial diperkuat, yang pada gilirannya membutuhkan spesifikasi
khusus. fi kation pekerjaan interdisipliner. Keputusan untuk membagikan versi perantara baru
dari objek dengan guru Matematika memberikan objek penutupan awal yang berfungsi sebagai
tanah stabil sementara dari mana proses konstruksi secara kolaboratif dapat bergerak maju.

Singkatnya, episode empiris ini menggambarkan bagaimana penggunaan prinsip-prinsip umum


tidak langsung tetapi membutuhkan upaya komprehensif yang kompleks. Kami mengamati
bentuk proses penerjemahan di sekitar objek perantara yang mengambil fungsi
rekontekstualisasi. Ini membutuhkan keterlibatan epistemik dari para guru dan tanggung jawab
untuk mengeksplorasi dan menstabilkan implikasi untuk praktik.

6.2. Menghubungkan rencana dengan asas umum: episode 2


Aspek lain dari konstruksi objek adalah pergantian antara speci fi c tugas dan prinsip umum. Di
episode kedua, kita melihat bagaimana proses konstruksi bergerak maju dengan negosiasi atas
isu-isu inti, seperti dalam kutipan tentang penilaian ini (lihat tabel 2). Sekarang bulan April dan
tujuh minggu sejak pertemuan mereka sebelumnya. Dua menit sebelum rapat dimulai, Oliver
menulis item agenda di papan tulis, di bawah formulir penilaian. Hari ini, “formulir penilaian”
menyiratkan meninjau, menentukan, dan memilih
penilaian yang memadai untuk diwujudkan dalam rencana. Interaksi berikut berlangsung 20
menit setelah rapat dimulai. Perhatian kelompok diarahkan ke layar di kolom penilaian, setelah
ditinjau secara menyeluruh dan dibenarkan fi S ed berbagai bentuk penilaian yang saat ini
digunakan dalam mata pelajaran di ketiga tingkat kelas. Selama interaksi, Oliver mencantumkan
semua formulir penilaian yang diucapkan oleh para aktor dalam dokumen tambahan yang
sekarang dia baca:

Dalam kutipan ini, titik masuknya adalah berbagai formulir penilaian yang dibuat oleh Oliver.
Daftar ini bertindak sebagai objek perantara dalam arti berfungsi sebagai contoh prinsip yang
menjembatani bentuk dan praktik penilaian lokal dan nasional. Selama interaksi dengan daftar
ini, perhatian, sumber daya, dan pandangan yang berbeda tentang topik dimobilisasi, dan para
guru mencoba menavigasi di antara mereka.

Pertama, pekerjaan guru pada objek perantara membuat mereka mendiskusikan berbagai sumber
yang saat ini digunakan. Panggilan untuk memperluas praktik penilaian dan meminta sikap
kreatif yang dipromosikan oleh Rob (baris 8 12) terkait dengan inisiatif kebijakan Penilaian
untuk Pembelajaran (AfL) yang telah menjadi area prioritas sekolah dalam beberapa tahun
terakhir. Ini telah memberi guru beragam sumber daya terkait penilaian untuk mendukung
pembelajaran siswa, yang dikembangkan dalam pengaturan pengetahuan yang berbeda di luar
komunitas lokal. Inisiatif semacam itu datang dengan spesi fi c motif, prasangka kebijakan, dan
asumsi tentang pembelajaran yang memerlukan adaptasi lokal dan dapat diubah ke berbagai
arah. Berbagai sumber daya yang terkait dengan objek perantara memediasi sebuah ruangan di
mana jalan yang lebih mungkin diikuti atau dikecualikan. Misalnya, ketika Rob berargumen
untuk memperluas praktik penilaian mereka dalam hal variasi, Ann, sebaliknya,
mempertanyakan asumsi yang mendasari tentang variasi besar dalam bentuk penilaian yang
penting untuk meningkatkan pembelajaran (baris 15). Dalam situasi ini, objek perantara
memediasi ruang untuk mengeksplorasi apakah variasi menghambat atau mendorong
pembelajaran siswa dan membantu para pelaku untuk lebih spesifik. Mengartikulasikan secara
efektif pemahaman mereka tentang penilaian untuk pembelajaran. Kemajuan menuju
pemahaman bersama membuat ide mereka lebih eksplisit dan dengan demikian bisa
diperdebatkan. Hal ini mempertaruhkan pemahaman mereka saat ini tentang penilaian untuk
pembelajaran.

Kedua, episode ini menggambarkan bagaimana objek perantara memasukkan penyesuaian yang
dibuat oleh guru tetapi juga membawa ketegangan tentang penilaian dalam pengaturan ini dan
seterusnya. Guru negosiasi tentang penilaian dan pembelajaran siswa bertumpu pada jaringan,
praktik, dan hubungan yang telah dibentuk sebelumnya, seperti jaringan AfL. Ketika para guru
menyusun berbagai alternatif dan menciptakan gambaran konkret dari praktik penilaian di masa
depan, mereka membuat jalan memutar di luar rencana, bergerak dari spesifikasi fi c dan prinsip-
prinsip konkret untuk umum, seperti ketika mereka membahas pertanyaan yang lebih umum
tentang kapan jumlah penilaian menjadi gangguan untuk penilaian isi mata pelajaran. Penstabilan
objek pada episode ini terjadi melalui cara spesi lokal dan universal. “Universal,” di sini, tidak
menyiratkan perpecahan dengan praktik yang ada sebagaimana direpresentasikan tetapi
mentransformasikannya. Contoh ini menggambarkan bagaimana objek perantara menstabilkan
beberapa aspek dan mengembangkan yang lain, dan dengan demikian berkontribusi pada
terungkapnya kurikulum mata pelajaran sebagai objek pengetahuan yang menyeluruh.

Ketiga, kelompok memulai dengan masalah konkret dalam menentukan jumlah dan bentuk
penilaian, tetapi ketika diupayakan, masalah itu dijabarkan dan disarikan, seperti ketika perhatian
untuk menggambar batas antara bentuk dan isi dalam kaitannya dengan penilaian (baris 18-20)
telah dibahas. Namun kekhawatiran lain dibawa ke meja terkait dengan hak siswa untuk
memperoleh instruksi tentang bentuk penilaian yang berbeda, seperti dalam ucapan Oliver (baris
25-27).

Pada tahap ini, objek pengetahuan yang sedang berkembang disampaikan tidak hanya sebagai
rencana pengajaran dan penilaian yang akan datang tetapi juga sebagai bahan formalisasi.
“kontrak” dan harapan dengan siswa dan pemangku kepentingan lainnya. Sebuah aspek dari ini
berkaitan dengan bagaimana guru dimintai pertanggungjawaban melalui dokumentasi tertulis
dari praktik profesional mereka dan memicu perhatian untuk menentukan dan menjelaskan
urutan instruksi, memperkuat lebih banyak strategi dalam praktik mereka. Setelah diskusi
tentang bagaimana melatih siswa dalam bentuk penilaian, proses berakhir dengan suatu
kesimpulan di mana panggilan Oliver untuk aspek prosedural menggantikan prinsip variasi
sebelumnya.

Singkatnya, episode ini menunjukkan bagaimana objek pengetahuan yang lebih besar terus
berkembang melalui para guru eksplorasi objek perantara. Dengan mempertimbangkan secara
kritis formulir penilaian lokal terhadap standar yang ditetapkan, guru memvalidasi aspek
rencana.

6.3. Menyelaraskan bagian-bagian menjadi satu kesatuan: episode 3

Aspek lain dari konstruksi objek adalah untuk membangun konsistensi antara bagian-bagian
yang berbeda dari rencana. Di episode ini, kita melihat bagaimana para guru ' pekerjaan bergerak
maju dengan memastikan keterkaitan antara berbagai komponen, yaitu antara sumbu vertikal dan
horizontal, antara berbagai garis waktu, dan antara apa yang tertulis dalam rencana dan apa yang
sedang dilakukan. Berikut adalah contoh bagaimana mereka bekerja dengan keselarasan di
seluruh elemen kurikulum (lihat Tabel 3 ).

Sekarang bulan Juni, dan akhir tahun ajaran sudah dekat. Seperti biasa, Oliver sudah
membagikan agenda rapat beberapa hari sebelumnya, dan salah satu agendanya adalah
“Meninjau seluruh rencana”. Pertemuan sebelumnya ditangani bagian demi bagian, tetapi
sekarang para guru bekerja dari keseluruhan dengan mencoba mendapatkan gambaran umum di
sepanjang kolom. Apa yang tersisa sebelum kurikulum mata pelajaran berlaku untuk tahun
ajaran yang akan datang? Kerangka temporal baru telah memasuki pekerjaan yang memicu
pertanyaan lain: Apa yang harus diprioritaskan? Bagian apa yang diselesaikan, dan bagaimana
sinkronisasi? Salah satu bidang yang telah disepakati oleh guru untuk dimasukkan ke dalam
rencana, selain pengetahuan konten dan penilaian, adalah untuk memastikan bahwa keterampilan
dasar lintas mata pelajaran disorot. Grup mengambil posisi pada status. Apakah ada keterampilan
yang lebih diutamakan daripada yang lain, tanya Oliver, dan oleh karena itu, adakah bidang yang
tidak ditangani secara memadai?

Suasana di dalam ruangan terfokus. Jessica, sekarang di belakang podium, mengontrol keyboard
dan menambah rencananya. Dalam kutipan berikut dari pertemuan tersebut, kelompok tersebut
telah berhenti di satu bagian di tengah-tengah rencana Tingkat 8 mengenai revolusi Prancis dan
Amerika.

Dalam episode ini, para guru dengan hati-hati menggulir kolom yang berbeda dari rencana Kelas
8 ke atas dan ke bawah untuk mendeteksi ketidakkonsistenan dalam kaitannya dengan maksud
dan persyaratan secara keseluruhan. Dalam karya ini, objek perantara pertama kali dibangun
sebagai hubungan antara konten subjek dan keterampilan dasar untuk menyelidiki, dan hubungan
ini dimediasi oleh versi terbaru dari rencana di layar. Upaya yang dilakukan oleh para guru untuk
terus menstabilkan berbagai hubungan sambil pada saat yang sama menjelajahinya, menyusun
pekerjaan dalam beberapa cara.

Pertama, pada pembukaan petikan di atas, Oliver ketua kelompok menanyakan apakah berhitung
sebagai keterampilan dasar termasuk dalam topik revolusi dalam rencana kelas 8. Pertanyaan ini
memediasi penyelidikan apakah rencana dalam bentuknya yang sekarang sudah sesuai dengan
persyaratan tentang memiliki fi lima keterampilan dasar yang terintegrasi dalam semua mata
pelajaran. Thomas menjawab bahwa keterampilan berhitung
diurus, dan mereka terus menggulir ke atas dan ke bawah untuk mendeteksi potensi
ketidakkonsistenan atau kelalaian. Melalui sementara “pembekuan,” hubungan antara bagian
kecil dari rencana dan konstruksi lain (di sini, berhitung sebagai keterampilan dasar), mereka
menciptakan objek perantara sebagai landasan bersama untuk menjaga konsistensi. Ketika ini
terjadi, objek perantara batas-batas yang ditentukan dari proses perwujudan lebih lanjut, seperti
ketika Thomas menunjuk ke garis-garis di mana rencana itu harus diubah (baris 5), dan Jessica
menambahkan beberapa kata ke rencana (baris 6). Ini menutup masalah dan mendorong
pekerjaan mereka selangkah lebih maju dengan menstabilkan hubungan antara isi pelajaran dan
membaca sebagai keterampilan dasar (baris 12). Bagaimanapun, kerangka untuk keterampilan
dasar adalah konstruksi yang harus spesifik fi ed dan diselesaikan secara material. Ketika
berbagai konstruksi ini diterjemahkan ke dalam bentuk tertulis, mereka berubah menjadi
instansiasi baru yang membentuk cara objek itu terbentuk.

Kedua, meninjau dan memeriksa ulang seluruh rencana juga menyiratkan eksplorasi perbedaan
antara apa yang sebenarnya tertulis dalam rencana dan apa yang dilakukan dalam praktik.
Misalnya, selama interaksi, Thomas secara lisan menguraikan apa yang telah mereka lakukan
sebelumnya dengan mengacu pada berbagai strategi pembelajaran (baris 12 e 13). Pernyataan
seperti “kami melakukannya sedikit seperti Flipped Classroom … ”dan“ Saya sendiri saat
membuat Structured Mindmap ”membawa praktik pengajaran transgresif dan penataan ulang
konten dan metode mata pelajaran. Spesifikasi detail tentang bagaimana ini digunakan,
bagaimanapun, tidak ada dalam rencana, meskipun, seperti yang dijelaskan oleh Thomas, mereka
dilakukan secara berurutan dalam prakteknya. Sebaliknya, pengguliran memanjang dan
menyamping yang cermat selama interaksi, diikuti dengan ucapan seperti “Maka itu harus
muncul dalam rencana !, ” Seperti yang dikatakan Oliver, menjadi pengingat bagi tim bahwa
pekerjaan konstruksi tidak hanya tentang mewujudkan pengalaman atau ide baru tetapi juga
tentang merinci apa yang perlu dilakukan kapan, oleh siapa, dan dalam urutan apa. Dengan
demikian, objek perantara pada tahap ini memediasi konstruksi kurikulum yang lebih sistematis,
menata proses dan apa yang sedang dibangun. Ini terlihat melalui spesifikasi upaya yang, pada
gilirannya, meminta mereka untuk mempertimbangkan proses konstruksi mereka sendiri.

Ketiga, maksud keseluruhan dengan kerja kurikulum lokal adalah untuk mengembangkan
kurikulum mata pelajaran yang juga akan berlaku untuk guru dan siswa di masa depan. Dalam
episode ini, pekerjaan berpusat pada memastikan konsistensi untuk mengamankan kesamaan,
mengikat versi objek yang terstandarisasi secara efisien untuk digunakan di masa mendatang.
Salah satu guru menjelaskan dalam sebuah wawancara: “ Sejauh mana kurikulum mata pelajaran
harus diukir di atas batu, itulah diskusi yang langgeng. Namun, yang penting adalah bahwa
rencana ini membantu karyawan baru mengetahui apa yang harus dilakukan, sebagai kerangka
kerja panduan. ”Dalam membawa masa depan ke dalam pekerjaan mereka saat ini, mereka
menciptakan objek perantara yang memediasi ruang untuk mengeksplorasi skenario jangka
panjang dan pekerjaan yang lebih sistematis, daripada pengajaran ad hoc dan upaya langsung.
Melalui interaksi dengan objek pengetahuan, kami juga mengamati bahwa tanggung jawab
kolektif untuk sekolah yang lebih luas muncul.

Singkatnya, episode ini menggambarkan bagaimana pengembangan kurikulum juga melibatkan


tanggung jawab epistemik untuk membangun koherensi dan kontinuitas. Saat mengerjakan
beberapa koneksi potensial yang melekat dalam objek pengetahuan, pekerjaan yang lebih
berorientasi masa depan dimungkinkan. Selanjutnya, episode tersebut menunjukkan upaya
stabilisasi berkelanjutan melalui contoh yang menyediakan platform atau batu loncatan yang
selalu baru untuk konstruksi lebih lanjut dari objek pengetahuan.

6.4. Ringkasan fi temuan

Analisis menunjukkan bagaimana para guru harus mengeksplorasi dan secara material
menyelesaikan beberapa rangkaian masalah yang tertanam dalam objek pengetahuan yang lebih
besar untuk melanjutkan pengembangan rencana mereka. Dengan membangun serangkaian objek
perantara, sebagian aspek dan himpunan relasi dipanggil melalui mana rencana itu berkembang.
Analisis dari tiga episode menunjukkan bagaimana aspek-aspek tersebut berkaitan dengan
hubungan antara rencana sebagai dasar bersama untuk pekerjaan dan praktik mengajar yang
dibayangkan, hubungan antara materi pelajaran, dan hubungan antara peraturan umum untuk
pekerjaan dengan siswa dan bentuk prinsip-prinsip tersebut, dalam konteks pendidikan. Tiga
aspek parsial identitas dalam episode ini membutuhkan tanggung jawab yang berupa

mengontekstualisasikan prinsip-prinsip umum, memvalidasi dengan memeriksa aspek parsial,


dan menciptakan koherensi dengan menggabungkan elemen. Tabel 4 menggambarkan
keterlibatan epistemik yang diperlukan dalam proses ini dan tanggung jawab tambahan yang
tersirat. Ini juga menggambarkan upaya koordinasi yang tersirat dalam waktu dan ruang antara
objek perantara dan kerangka kurikulum yang lebih luas.
Tidak ada bentuk konstruksi objek yang langsung. Sebaliknya, mereka semua membutuhkan
serangkaian tindakan epistemik lanjutan dari para guru dalam arti menghasilkan ide,
bereksperimen dengan dan menguji skenario, dan menyelaraskan praktik pembelajaran yang ada
dan yang dibayangkan dengan standar dan kerangka peraturan dari berbagai jenis. Tindakan
tersebut diperlukan untuk mewujudkan proses desain dalam pengembangan rencana. Pada saat
yang sama, melalui konstruksi objek perantara, guru dapat membingkai masalah dan de fi jalan
lain untuk eksplorasi lebih lanjut.

Analisis juga mengungkapkan bagaimana rangkaian hubungan yang lebih luas digunakan dalam
proses tersebut, seperti hubungan dengan pekerjaan perencanaan tim guru lain, hubungan dengan
lingkungan epistemik dan sosial sekolah yang lebih luas, dan hubungan dengan lintasan
pendidikan siswa. Jenis hubungan yang dikerjakan, bagaimanapun, tergantung pada bagaimana
objek perantara dibentuk dalam pekerjaan guru. Dalam dua episode pertama, hubungan antara
plan-in-making dan konteks pendidikan yang lebih luas dipakai sebagai masalah yang harus
diselesaikan, sedangkan konstruksi objek pada episode terakhir berlangsung dalam kerangka
rencana dan beberapa komponen internalnya. Dalam proses desain yang kami ikuti sebagai
keseluruhan, guru berpindah di antara konstelasi objek tersebut. Para guru juga kembali ke
masalah yang telah diselesaikan sebelumnya dan membukanya kembali untuk eksplorasi lebih
lanjut saat bagian lain dari rencana tersebut berkembang. Hubungan, duniawi, dan persyaratan
yang berbeda diubah dalam dan melalui rencana seiring berkembangnya waktu.

7. Diskusi

Studi ini telah menunjukkan bagaimana pengembangan kurikulum merupakan proses multifaset
yang terus bergerak maju mundur dalam ruang dan waktu, karena guru mengerjakan berbagai
aspek dan masalah parsial dari objek pengetahuan. Sebagaimana juga dicatat oleh Voogt dkk.
(2011), proses tersebut melibatkan konstruksi, adaptasi, dan desain ulang materi kurikulum yang
berbeda.
Selanjutnya, guru terlibat dengan praktik masa lalu d seperti pada contoh pemodelan di atas d
dan dengan skenario masa depan dalam upaya mereka untuk menyandingkan berbagai aspek.
Temuan ini sejalan dengan studi guru sebelumnya ' kerja kurikulum kolaboratif yang
menunjukkan bagaimana pekerjaan tersebut melibatkan negosiasi dan rekonstruksi hubungan
dengan praktik di tempat dan waktu lain (Hermansen & Nerland, 2014; Baker-Doyle &
Gustavson, 2016; Priestley dkk., 2012). Pada saat yang sama, penelitian ini menggarisbawahi
bagaimana proses desain memiliki banyak segi, namun sekuensial, organisasi di mana fase-fase
yang sering digambarkan dalam istilah pengembangan dan implementasi sebenarnya
berkembang bersama melalui proses dalam interaksi yang kompleks antara guru dan objek
material mereka. Proses yang kami amati bersifat berulang, di mana pembuatan, pengujian
imajiner, dan validasi ide penting untuk mendorong proses ke depan. Untuk lebih memahami
mekanisme di mana proses ini berkembang, sekarang kita beralih ke kontribusi masing-masing
objek dan guru.

Pertama, seperti yang disarankan oleh Vinck (2012) , benda perantara bekerja pada proses
konstruksi dalam beberapa cara: Mereka membatasi ruang untuk tindakan, mereka menengahi
landasan bersama untuk eksplorasi bersama dan pemecahan masalah, dan mereka membentuk
dinamika temporal di mana tindakan eksploratif dan konstruktif dapat terungkap. Dalam
penelitian ini, fungsi-fungsi ini menjadi terlihat sebagai konstruksi sementara guru hubungan
antara spesies elemen kurikuler sebagai ruang masalah, seperti hubungan antara bentuk penilaian
dan prinsip-prinsip umum di episode 2. Menemukan ruang masalah, mengeksplorasi berbagai
elemen dan hubungan dalam ruang ini, dan sampai pada solusi sementara yang diwujudkan
dalam rencana tertulis merupakan dinamisme kunci yang mendorong pengembangan kurikulum
ke depan. Melalui pembukaan dan penutupan masalah ini, perencanaan dalam pembuatan
mengambil bentuk objek pengetahuan yang terungkap. Seperti yang ditunjukkan oleh Knorr
Cetina (2001), setiap objek pengetahuan memiliki beberapa contoh, tetapi ini hanya dapat
diakses sebagai versi atau realisasi parsial dari objek ideasional. Ketika aspek-aspek dari objek
yang lebih besar dikerjakan, pekerjaan ini dimediasi oleh representasi material parsial objek
pengetahuan apa yang kita, menggunakan terminologi Vinck, disebut objek perantara. Benda-
benda ini memungkinkan adanya ide dan ketidakpuasan berisi peluang untuk menjadi eksternal
sebagai sesuatu yang dapat dibagikan, dieksplorasi, dan dikembangkan lebih jauh oleh guru.
Kami dapat menambahkan bahwa proses tersebut tidak berhenti di sini: Karena rencana tersebut
dibagikan kepada komunitas guru yang lebih luas dan digunakan sebagai dasar untuk
perencanaan dan pemberlakuan kegiatan kelas di tahun-tahun mendatang, rencana tersebut
kemungkinan akan mengambil fungsi yang serupa untuk kelompok aktor baru, yang juga perlu
mengeksplorasi dan membangun objek perantara dalam praktik mengajar sehari-hari mereka.
Praktik dan aktor baru kemudian akan didaftarkan dalam proses tersebut dan berkontribusi pada
kehidupan selanjutnya dari kurikulum mata pelajaran sebagai objek pengetahuan bersama dan
terbuka.

Kedua, cara objek perantara dihidupkan dan diberi bentuk sementara bersandar pada serangkaian
tindakan epistemik dari sisi guru. Dengan menganalisis proses perencanaan sebagai konstruksi
objek, kami mengidentifikasi fi Berbagai jenis keterlibatan epistemik yang diperlukan untuk
menjaga rencana tetap terbuka dan untuk membangun objek perantara. Rincian pekerjaan
tersebut belum banyak digali di guru praktek; Namun, sangat mengejutkan bagaimana proses
tersebut melibatkan jenis tindakan yang serupa seperti yang ditemukan dalam proses desain
dalam profesi lain. Misalnya, Comi dan Whyte (2017) identi imagining, testing, stabilizing, and
reifying sebagai praktik sentral yang terlibat dalam desain arsitektur, di mana penggunaan
artefak visual, seperti gambar, model, dan teks, memainkan peran kunci. Dalam profesi
keperawatan, upaya untuk mengembangkan prosedur klinis dan deskripsi kerja bersama
melibatkan eksplorasi sumber pengetahuan eksternal, penjajaran praktik yang ada dan yang
dibayangkan, dan integrasi berbagai bentuk pengetahuan, pengujian, dan validasi sebagai
langkah kunci untuk mencapai rekomendasi yang disepakati. (Nerland & Jensen, 2012). Studi ini
menunjukkan bagaimana para guru juga terlibat dalam mengembangkan dan menguji ide,
menstabilkan objek sementara, mengeksplorasi hubungan antara lokal dan universal, dan
mengamankan hubungan produktif antara berbagai elemen rencana. Selain itu, para guru harus
memvalidasi desain kurikulum mereka dengan menyelaraskan elemen dengan kerangka
kurikulum yang lebih luas. Hal ini menggarisbawahi bahwa pengembangan kurikulum adalah
aktivitas epistemik yang kompleks, yang menuntut guru untuk secara aktif terlibat dalam
mengeksplorasi, mentransformasikan, dan menjaga sumber pengetahuan untuk pekerjaan
profesional. Dengan demikian, pengembangan kurikulum membutuhkan bentuk badan baru dari
guru (Priestley dkk., 2012) dan, kami akan menambahkan, agen epistemik dalam bentuk
tanggung jawab diperpanjang yang diemban oleh guru. Dengan memahami pekerjaan tersebut
melalui lensa konstruksi objek, studi ini telah menunjukkan bagaimana kerja kolaboratif di
sekitar objek pengetahuan menghasilkan validasi kritis, elaborasi, dan pengembangan lebih
lanjut dari sumber daya profesional dan pengetahuan terkait kurikulum.

8. Kesimpulan dan implikasi

Pekerjaan dan tanggung jawab guru berubah karena masyarakat menjadi lebih kompleks dan
harapan untuk bersekolah semakin meningkat dan meluas. Meskipun dimensi sosial dari
tanggung jawab profesional secara umum diakui, aspek epistemik kurang diperhatikan. Artikel
ini telah menunjukkan bagaimana pengembangan kurikulum lokal menyajikan kepada guru
berbagai tantangan dan peluang epistemik, yang ditangani melalui konstruksi aktif dan eksplorasi
elemen kurikuler dan cara mereka terhubung di dalam dan di luar sekolah. Kami telah
menggambarkan proses yang muncul melalui konstruksi bersama dari serangkaian objek
perantara. Apalagi dengan memandang kurikulum yang sedang dibuat sebagai objek
pengetahuan yang terungkap, kita dapat mengambil peran sumber daya material dalam proses.
Akses guru ke artefak dan alat dari berbagai jenis, dan kapasitas guru untuk menggunakan alat
ini secara produktif dalam proses desain, sangat penting untuk pengembangan kurikulum
mereka. Kasus kami menunjukkan bagaimana para guru pekerjaan pada kurikulum mata
pelajaran terkait dengan serangkaian rencana lain dan templat kurikulum, dan dengan demikian
tertanam dalam jaringan pengetahuan lokal dan yang diperluas.

Implikasi apa yang mungkin timbul dari kerumitan ini bagi sekolah dan persiapan calon guru?
Pertama, kami berpendapat bahwa ada kebutuhan untuk mengenali jenis keterlibatan epistemik
yang diungkapkan di sini sebagai hal yang penting untuk kompetensi profesional guru. Dalam
lingkungan kerja, ini berarti bahwa perencanaan pengajaran harus dilihat sebagai aktivitas
kreatif-konstruktif daripada sebagai masalah implementasi langsung. Oleh karena itu, penting
untuk mengakui pengembangan kurikulum sebagai proses desain yang berkelanjutan, dan
menyediakan tenaga pengajar pada ruang dan sumber daya yang efisien untuk mengambil
tanggung jawab kolektif untuk mengembangkan rencana dan kegiatan lokal dalam kaitannya
dengan kerangka kerja yang lebih luas. Namun, seperti yang telah kita lihat dalam kasus kami,
tanggung jawab kolektif membutuhkan kepemimpinan dan koordinasi waktu dan tugas yang
ekstensif di seluruh sekolah agar dapat direalisasikan. Pada gilirannya, ini menyiratkan
pergeseran perhatian dari otonomi profesional individu guru dan hasil ke kinerja komunitas
kolaboratif guru di sekolah. Proses yang kami analisis dalam artikel ini tidak dapat diselesaikan
oleh satu guru saja. Memahami guru bekerja melalui lensa desain dan konstruksi objek bisa
menjadi salah satu cara ke depan.

Kedua, kami menyarankan agar program pendidikan guru harus memasukkan proses desain
kurikulum sebagai kegiatan pembelajaran yang penting. Misalnya, mereka dapat mengambil
bentuk proyek kolaboratif dan terkait pekerjaan di berbagai bidang spesialisasi. Atau mereka
dapat dikembangkan dalam hubungan yang erat dengan sekolah yang menampung siswa untuk
praktikum atau magang di mana aktor dari situs yang berbeda dapat berpartisipasi pada objek
bersama, seperti yang dibahas dalam konteks pendidikan guru oleh Vestøl dan Lund (2017).
Namun, penting untuk mempertimbangkan apa yang diperlukan untuk terlibat dalam proses
konstruksi tersebut. Tim yang kami ikuti dalam artikel ini terdiri dari para guru yang sebagian
besar berpengalaman dengan keahlian profesional tingkat tinggi. Pendatang baru di profesi ini
perlu mengembangkan pemahaman mendalam tentang proses pedagogis agar dapat terlibat
dalam nada yang sama. Hubungan antara bagaimana kegiatan konstruktif dapat diatur dan
didukung dalam konteks pendidikan dan profesional akan menjadi topik yang menarik untuk
dieksplorasi dalam penelitian lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai