Anda di halaman 1dari 20

Validation of Analytical Method

Validasi merupakan syarat utama untuk memastikan kualitas dan reliabilitas dari
hasil analisis (ICH, 2005). Metode analisis yang reliabel merupakan persyaratan
yang harus dipenuhi untuk memenuhi standar nasional dan internasional pada
semua bidang pengukuran. Laboratorium pengukuran yang diakui secara
internasional, dalam pengukurannya harus menggunakan metode tervalidasi,
memiliki prosedur kontrol kualitas internal, mengikuti program proficiency testing,
dan terakreditasi ISO/ IEC 17025 (Thompson, et al. 2002.

Pengertian

Validasi metode adalah suatu proses atau tindakan untuk memastikan apakah
prosedur analisis yang dipakai untuk pengujian sesuai dengan
spesifikasinya. Hasil dari validasi metode dapat digunakan untuk menilai
kualitas, reliabilitas dan konsistensi hasil, dimana ini merupakan bagian integral
dari praktek analisis yang baik.

Parameter

Paramete-parameter validasi metode analisis, menurut ICH dan organisasi yang


lain diringkas di Tabel 1.

1. Spesifitas/ selektivitas

Spesifitas adalah kemampuan untuk membedakan dengan tegas antara analit


dengan komponen lain yang tidak diharapkan yang mungkin ada dalam sampel.
Komponen yang tidak diharapkan termasuk didalamnya adalah ketidakmurnian,
produk degradasi, dan matrik sampel (ICH, 2005). FDA, (2001) mendefinisikan
untuk parameter ini dengan selektivitas. Selektivitas merupakan kemampuan
metode analisis untuk membedakan dan mengkuantifikasi analit yang juga
terkandung senyawa lain/ pengotor dalam sampel. Dalam prosedur kromatografi,
kromatogram yang mencukupi harus dipakai untuk menunjukkan spesifitas dan
masing-masing komponen harus dapat terpisah dengan sempurna. Spesifitas
dapat ditunjukkan dengan resolusi dari dua analit yang berdekatan (ICH, 2005).

Tabel 1. Parameter Validasi dengan sesuai dengan tujuan analisis (Ermer


and Miller, 2005)
Ya berarti parameter tersebut ditetapkan dan tidak berarti tidak perlu
dilakukan

1. Pengukuran, termasuk tes disolusi/ pelarutan, kadar zat aktif


2. Spesifitas metode yang kurang memenuhi, maka harus diganti oleh
prosedur analisis yang lain
3. Reprodusibilitas tidak diperlukan untuk pendaftaran registrasi obat
4. tidak diberikan jumlah minimal
5. diperlukan pada beberapa kasus
6. 6 kali pengukuran pada konsentrasi 100%, atau 9 kali pengukuran dengan
3 kalli pengukuran dari 3 level konsentrasi

Presisi

Presisi menggambarkan kedekatan hasil antara beberapa seri pengukuran yang


didapatkan dari beberapa sampel yang homogen didalam kondisi analisis yang
tertentu. Presisi digambarkan dengan 3 level presisi, yaitu
keberulangan/ repeatability, presisi antara, dan reproducibility. Presisi harus
diamati dengan menggunakan sampel yang homogen. Jika sampel homogen sulit
untuk didapatkan maka dapat dipakai sampel tiruan atau larutan sampel yang
dibuat. Presisi dari prosedur analisis digambarkan sebagai variansi, deviasi
standar, atau koefisien variasi dari beberapa pengukuran (FDA, 2001; ICH,2005).
Presisi didapatkan dari minimal lima kali pengukuran pada konsentrasi 100%
(FDA, 2001), atau minimal 6 kali pengukuran pada level konsentrasi 100%, atau
minimal 9 kali pengukuran yang mengkover jarak spesifik, 3 level konsentrasi
sampel dengan masing-masing replikasi 3 kali (ICH, 2005).

Keberulangan/ repeatabilitas menggambarkan presisi di bawah kondisi


operasional yang sama pada interval pengukuran yang pendek. Keberulangan
juga disebut sebagai presisi dalam hari (intra-assay precision). Level lain dari
presisi adalah presisi antara, yaitu parameter presisi yang menggambarkan
adanya variasi dalam kondisi operasional. Variasi yang bisa dilakukan adalah
perbedaan hari, analis, peralatan, daln lain-lain. Level presisi lainnya menurut ICH,
(2005) adalah reproducibility. Parameter ini untuk beberapa regulator sedikit
berbeda. Reproducibility menggambarkan presisi yang didapatkan dari
laboratorium yang berbeda. Reproducibility biasanya dilakukan untuk
membakukan suatu metode (ICH, 2005).

Akurasi

Akurasi dari prosedur analisis menggambarkan kedekatan hasil pengukuran


dengan nilai sebenarnya (True value) atau nilai refensi standar (FDA, 2001; ICH,
2005). Dalam Thompson, et al. (2002) menamakannya dengan Trueness.
Parameter akurasi memberikan gambaran terjadi bias dalam penelitian. Bias ini
dapat terjadi pada beberapa level, yaitu bias pengukuran, bias laboratorium, dan
bias metode (Thompson, 2002).

Thompson, et al. (2002) dan ICH, (2005) memberikan beberapa metode untuk
mendapatkan parameter akurasi, yaitu :

1. Aplikasi prosedur analisis pada CRMs (Certified Reference Materials),


atau reference material.
2. Membandingkan prosedur analisis baku dengan prosedur analisis yang
diajukan
3. Metode adisi standar, menambahkan standar yang diketahui kadarnya
pada sampel dengan 3 level konsentrasi penambahan.
4. Metode spiking, menambahkan standar yang diketahui kadarnya pada
matrik tiruan dengan 3 level konsentrasi penambahan.

Akurasi harus dinilai dengan menggunakan minimal 9 pengukuran dengan


meliputi 3 level konsentrasi berbeda yang diulang masing-masing 3 kali. Akurasi
dilaporkan sebagai perolehan kembali dari standar yang ditambahkan pada
sampel, atau matrik tiruan, atau CRMs. Keberterimaan (tabel 3) dari parameter
akurasi adalah prosentase perolehan kembali dan koefisien variasi.
ICH merekomendasikan penetapan akurasi dengan menggunakan minimal
sembilan titik pengukuran dari minimal tiga tingkat konsentrasi yang meliputi
kisaran tertentu (misalnya, tiga konsentrasi / tiga bereplikasi masing-masing).

Linieritas

Linieritas dari prosedur analisis adalah kemampuan metode (dalam


rentang yang diberikan) untuk mendapatkan proporsi yang linier antara
konsentrasi analit dalam sampel dengan respon metode. Linieritas juga dapat
dilakukan langsung pada senyawa standar dengan cara membuat seri kadar dari
senyawa standar. Data proporsi kadar analit dengan respon metode diolah secara
statistic untuk medapatkan koefisien korelasi, intersep, dan kemiringan (ICH,
2005).

Beberapa prosedur analisis seperti immunoassays, tidak menunjukkan linieritas


setelah mengalami beberapa transformasi. Dalam kasus tersebut, maka respon
metode harus digambarkan dengan fungsi yang tepat dari konsentrasi dari analit
dalam sampel. Linieritas didapatkan dengan melakukan pengukuran pada 5 level
konsentrasi (ICH, 2005). Kriteria keberterimaan dari parameter linieritas adalah
koefisien korelasi > 0,98 untuk pengukuran sampel dan > 0,99 untuk pengukuran
standar (Ermer and Miller, 2005).

Preparasi Sampel

Alasan mendasar kenapa melakukan ekstraksi sebelum dilakukan analisis adalah


untuk menghilangkan bahan yang mungkin menganggu analisis. Hal ini sangat
penting jika analisis tidak dilakukan dengan metode kromatografi atau
metodenya kurang spesifik. Bahkan ketika teknik kromatografi dipakai dalam
analisis, ekstraksi tetap diperlukan untuk memisahkan bahan-bahan yang tidak
larut dalam pelarut yang dipakai. Pada media biologis, seperti plasma, darah, urin,
dan sel. Preparasi sampel sangat penting karena beberapa jurnal mengatakan
bahwa tahap ini berkontribusi sekitar 75% dari kesalahan.

Metode-Metode Ekstraksi

Ekstraksi cair-cair.

Prinsip teknik ekstraksi cair-cair adalah adanya perbedaan kelarutan analit dalam
dua pelarut yang tidak saling campur. Ekstaksi cair-cair tidak hanya dipakai untuk
ekstraksi suatu senyawa organic tapi juga untuk senyawa-senyawa logam.
Campuran dua pelarut bisa menghasilkan campuran azeotrop. Dalam ekstraksi
cair-cair campuran ini perlu dihindari karena campuran ini tidak memisah. Teknik
ini memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah perlu waktu yang lebih
lama, sulitnya untuk diatomatisasi dan memerlukan volume pelarut yang murni
dalam jumlah besar.

Faktor yang mempengaruhi ekstraksi:

(a) efek suhu dan solute yang inert,

(b) efek pH terhadap ekstraksi,

(c) efek dari pembentukan pasangan ion, dan

(d) efek sinergi dari ekstraksi.

Tablet dan Kapsul

Tablet dan kapsul terdiri dari zat aktif dan bahan pengisi. Mayoritas bahan dalam
sediaan ini adalah bahan pengisi, bahan pelican, bahan penghancur dan lain-lain,
terlebih jika dosis zat aktif kecil. Bahan-bahan tersebut ada yang menyerap energi
sinar UV, ada juga juga yang tidak menyerap. Jika zat aktif tidak larut secara
sempurna dalam air, maka alternatif untuk melakukan ekstraksi adalah dengan
metanol atau etanol.

Dalam tablet salut gula, bahan pelapisnya yang berupa gula modifikasi seperti
hidroksipropilmetilselulosa. Kandungan pelapisnya dalam tablet tersebut adalah
sekitar 3% dan bahan tersebut tidak mempengaruhi pembacaan pada daerah UV.
Pewarna dalam tablet mempunyai potensi mengganggu analisis, karena warna
dapat mengabsorpsi radiasi UV/visible. Pewarna biasanya merupakan golongan
dye organometilik atau metil oksida yang larut dalam beberapa pelarut tertentu.
Oleh karena itu warna harus bisa dihilangkan sebelum analisis dengan
menambahkan clarifying agent.

Suspensi dan Larutan

Pada suspensi dan larutan, dye (merupakan salah satu golongan pewarna) yang
digunakan adalah yang larut dalam air, seperti klorofil, karotenoid dan antosian.
SPE (Solid Phase Extraction) dengan resin penukar ion merupakan salah satu teknik
yang efektif untuk mengatasi masalah anionik dan kationik dyes. Sediaan itu juga
mengandung pengawet dan antioksidan, seperti senyawa fenol dan
benzalkonium klorida. Bahan tersebut sangat kuat mengabsropsi sinar UV.
Suspensi mengandung surfaktan seperti PEG, CMC Na, tidak terlalu mengganggu
absorpsi sinar UV, hanya saja menimbulkan masalah pada prosedur ekstraksi
cair-cair (LLE).

Krim dan Salep

Garam asam lemak natrium atau kalium, surfaktan kationik dan non ionic
biasanya digunakan dalam sediaan krim dan salep. Seperti diuraikan di atas,
bahan-bahan tersebut tidak mengganggu absorpsi sinar UV karena sifat
krommofornya yang sangat lemah. Namun asam lemak akan mengganggu sistem
kromatografi dengan mengkontaminasi kolom RP HPLC, jika tidak dihilangkan.
Kream dan salep mengandung banyak minyak trigliserida yang harus dihilangkan
sebelum analisis. Ekstraksi kream dengan methanol dapat menghilangkan sedikit
interferensi tersebut.

Contoh bagan pemisahan metode LLE dengan perubahan asam basa


Derivatisasi untuk ekstraksi

Derivatisasi dilakukan agar mendapatkan senyawa dengan sifat yang berbeda


dari senyawa asal sehingga mudah dilakukan ekstraksi terhadapnya. Contoh,
derivatisasi adrenalin dalam sediaan injeksi dengan reagen asetat anhidrat.
Reaksi berjalan dalam media natrium bikarbonat. Hasil reaksinya merupakan
adrenalin yang mengendap sehingga akhirnya dapat ditetapkan dengan metode
gravimetrik (gambar 3).

Supercritical Fluid Extraction

Ekstraksi dengan metode supercritical fluid telah banyak dikembangkan baik


untuk kepentingan analisis maupun ekstraksi. Luasnya penggunaan metode ini
disebabkan keuntungan yang dimiliki, yaitu:
1. Pelarut yang digunakan berada dalam titik kritis dimana pelarut tersebut
memiliki dua keuntungan yaitu dalam kemampuan pelarutan menyerupai
larutan dan kecepatan transfer massanya yang menyerupai sifat gas.
Hasilnya adalah kecepatan ekstraksi yang optimal.
2. Kekuatan pelarut dalam supercritical fluid dapat dimanipulasi dengan
cara mengatur tekanan pada drum tempat ekstraksinya.
3. Karbon dioksida yang merupakan pelarut umum digunakan dalam
metode ini mempunyai keunggulan tidak beracun, tidak mudah terbakar
dan suhu kritiknya pada 31,10C sehingga aman untuk ekstraksi senyawa-
senyawa termolabil.

Solid Phase Extraction (SPE)/ Ekstraksi Fase Padat

Prinsip ekstraksi fase padat adalah analit yang disimpan dalam cartridge
kemudian diberikan pelarut dengan kekuatan elusi yang lemah sebanyak
beberapa kali elusi dan kemudian terakhir dielusi dengan pelarut dengan
kekuatan elusi yang kuat. Pelarut dengan kekuatan elusi yang kuat didasarkan
kepada interkasinya dengan analit yang akan diekstraksi. Secara umum tahap
aplikasi SPE dalam analisis ada 4 atau 5 tahap, dimana tujuan dan perlakuan
setiap tahap berbeda (gambar 6). Teknik ekstraksi fase padat ini sangat berguna
untuk memisahkan analit dari matriksnya dengan selektifitas yang besar.
Modifikasi mekanisme pemisahan dalam ekstraksi fase padat dapat dilakukan
dengan mengganti komposisi dan jenis pelarut yang dipakai untuk elusi. Teknik
ini sangat luas dipakai dalam analisis sampel biologis dan sampel lingkungan.

Keuntungan teknik ekstraksi fase padat dibandingkan dengan ekstraksi cair-cair


adalah

1. Fase padat dari teknik ini tidak campur/ larut dengan pelarut dan setelah
sampel diaplikasikan ke dalam cartridge, analit dapat dicuci dari
interferensinya dengan cara melewatkan/ mencuci cartridge dengan
pelarut tertentu yang kekuatan elusinya dapat dimodifikasi.
2. Senyawa kimia dari fase padat dapat divariasikan sehingga akan
didapatkan karakter pemisahan yang berbeda dan ini dapat dioptimasi.
3. Tidak akan terjadi emulsi seperti halnya pencampuran dua pelarut dalam
ekstraksi cair-cair
4. Sampel dengan volume besar dapat ditampung dalam cartridge dan
kemudian dapat dilakukan prekonsentrasi
5. Hanya memerlukan sedikit pelarut untuk melakukan elusi
6. Ekstraksi dapat dilakukan dengan sistem batch atau dengan cara simultan
memakai banyak cartridge
Analisis Obat Asma (Turunan Ksantin, Salbutamol dan Ketotifen)

Obat-obat yang dipakai untuk menangani asma adalah beta agonis,


bronkodilator/ anti muskarinik, teofilin, kortikosteroid, kromoglikat dan
nedocromil, dan antagonis reseptor leukotrien. Obat golongan beta agonis
selektif seperti salbutamol dan terbutalin efektif sebagai obat asma dengan
durasi pendek (BNF 57, 2009).

Salbutamol

Metode-metode yang pernah dilaporkan untuk penetapan kadar salbutamol


adalah spektrofotometri UV, titrasi potensiometri pada media non air (European
Pharmacopoea, 2006), titrimetri, microtitrinmetri, conductometri, TLC, HPLC, Gas
chromatography, masss-spectrometry, dan fluorometri (Yilmaz et al., 1998; Jain et
al., 2011).

Penetapan kadar salbutamol dengan voltametri menggunakan elektroda pasta


karbon, mekanisme penetapannya melalui dua tahap elektrooksidasi. Oksidasi
pertama adalah oksidasi gugus hidroksi pada cincin aromatic, dan kedua adalah
oksidasi gugus amino pada suasana asam (Yilmaz, et al., 1998).

Metode HPLC dikembangkan oleh Jain, et al. (2011) untuk penetapan kadar
salbutamol dengan doksifilin dalam sediaan tablet. Sistem kromatografi yang
dipakai adalah ODS (5µm, 150 mm x 4,6 mm) dan asetnitril/dapar KH2PO4 (40:60,
v/v, pH 3 dengan OPA= o-ptalaldehid), dan kecepatan fase gerak 0,5 mL/ menit
dengan deteksi pada lamda 225 nm. Waktu retensi (tR) untuk salbutamol dan
doksifilin berturut-turut adalah 3,14 ± 0,015 menit dan 5,73 ± 0,06 menit.
Shaik et al (2010) metode enzimatik, berdasarkan oksidasi salbutamol oleh
enzim Horse radish peroxide (HRP) dan kemudian decoupling oleh reagen
pengomplek. Ada 3 reagen yang digunakan yaitu 3-Methylbenzothiazoline-2-one
hydrazone/ MBTH (metode 1), Aniline (metode 2) dan 4 – Aminoantipyrine
(metode 3). Hasil reaksi kompleks menghasilkan serapan maksimum pada
panjang gelombang 450 nm, 480 nm dan 490 nm. Oksidasi menghasilkan
senyawa elektrofolik dari reagen coupling, sehingga terjadi subtitusi elektrofilik
pada salbutamol membentuk komplek warna yang stabil.
Ketotifen

Metode-metode penetapan kadar ketotifen fumarate


adalah spektrofotometri serapan atom indirect, spektrofotometri vis,
kromatografi (HPLC UV, LCMS) dan elektroanalisis.

Ghoreishi, et al., (2010) metode potensiometrik dengan elektroda ion selektif.


Pada metode ini ketotifen bereaksi dengan tetrafenilborat membentuk komplek
senyawa tidak larut air.

Turunan Ksantin

Golongan dari metil ksantin adalah kafein (1, 3,7-metil ksantin), teobromin (3,7-
metil ksantin) dan teofilin (1,3-metil ksantin). Ketiga jenis ini berada di dalam
kopi, teh, mate, coklat, minuman kola. Kelarutan dari golongan metil ksantin
berbeda-beda. Kafein mudah larut dalam air panas dan kloroform, sedangkan
teobromin dan teofilin tidak larut. Teobromin lebih sedikit larut dibandingkan
kafein.
Metode-metode penetapan kadar

Analisis metil ksantin sangat penting dalam bidang nutrisi/ gizi dan klinis.
Beberapa teknik atau metode yang dapat diaplikasikan adalah spektrofotometri
UV, gravimetric, kjeldahl, KLT, kromatografi gas, HPLC, CE dan teknik lain.

Spektrofotmetri UV

Penetapan kadar metil ksantin dalam sampel makanan, harus dilakukan


ekkstraksi dulu untuk meminimalisir senyawa pengganggu agar hasil
pengukurannya tidak bias. Contoh, pada penetapan kadar kafein dalam kopi
maka melewati beberapa tahap yaitu penggilingan, ekstraksi dengan metode
digesti, penjernihan ekstrak dengan MgO, penyaringan, pengasaman filtrate
sampai pH 4, dan clean up dengan cartridge-C18 menggunakan etanol. Larutan
dibaca pada panjang gelombang 272 nm.

KLT

Contoh, penetapan kadar kafein, teobromin dan teofilin dengan menggunakan


plat silica gel dengan fase gerak kloroform: CCl4:methanol (8:5:1) dan sampel
dilarutkan dalam campuran n-butanol:asam asetat (3:1). Sampel yang matriknya
mengandung lemak maka harus dilakukan eliminasi lemak dengan ekstraksi
dengan PE. Hasil elusi kemudian dikuantifikasi dengan menggunakan
densitometer.

Kromatografi Gas

Penggunaan teknik kromatografi gas untuk analisis golongan metil ksantin tidak
memerlukan proses derivatisasi. Hal ini disebabkan karena sifat thermostabil
dari golongan metil ksantin dan sublimation point juga tidak tinggi.

Kromatografi gas digunakan untuk analisis kafein dalam sampel minuman ringan
menggunakan kolom non polar, sistem injeksi splitless dan deteksi dengan FID.
Analisis kandungan kafein dari beberapa jenis teh dengan metode ini didapatkan
bahwa teh hijau 83-128 ppm, teh oolong 40-70 ppm, teh hitam 36-51 ppm, kopi
321-493 ppm dan minuman kola 28-92 ppm.

HPLC

Scot. et al., 1984 melaporkan penetapan campuran golongan metil ksantin dalam
sampel biologi (saliva) menggunakan HPLC (C18, acetonitrile/tetrahydrofuran/50
mM acetate buffer, pH 4.0, (4:1:95, v/v) dan 280 nm). Sampel diekstraksi dengan
menggunakan campuran pelarut chloroform/isopropanol extract (85:15, v/v). Lo
Coco, et al. 2007; Thomas, et al. 2004, dan Risner 2008 dalam sampel makanan
dengan perbedaan pada komposisi fase gerak.

Bispo, et al. 2002, juga melaporkan penetapan kadar golongan metil ksantin
secara simultan dengan metode HPLC dalam sampel minuman ringan dan urin
manusia. Sistem kromatografi (C18, metanol:air:asam asetat (20:75:5, v/v/v) dan
273 nm).

CE

Aplikasi teknik ini untuk penetapan kadar metil ksantin dalam sampel makanan.
Sistem yang dipakai adalah fase diam adalah silica kapiler dapar borat 20 mM pH
9.6, tegangan 22 KV, dan deteksi λ 254 nm dengan waktu analisis 10 menit.

Jenis teknik CE yang dapat diaplikasikan untuk penetapan kadar metil ksantin
dalam sediaan biologis adalah CZE (Capillary Zone Electrophoresisi) dan MKCE
(Micellar Electrokinetics Capillary Electrophoresis). Pada metode MKCE dapar
yang dapat dipakai adalah glisin pH 10.5 dan surfaktan natrium laurel sulfat.
Waktu analisis dengan metode MKCE ini adalah 18 menit.

Argentometri

Metode argentometri didasarkan pada penggantian atom hidrogen oleh perak,


dimana atom hidrogen ini mudah untuk disubtitusi (yaitu yang terikat pada atom
N). Oleh karena itu maka metil ksantin yang dapat ditetapkan kadarnya dengan
argentometri adalah metil ksantin yang masih mempunyai hidrogen yang terikat
pada atom N. Penetapan kadar metil ksantin dengan metode ini dapat dilakukan
dengan titrasi langsung ataupun tidak langsung. Hal ini tergantung pada reaksi,
media titrasi, dan indicator.

Sejumlah serbuk teofilin kurang lebih 250 mg ditimbang seksama tambah 50 mL


air dan 8 mL amonia encer. Hangatkan hingga larut. Tambahkan 20 mL perak
nitrat 0,1N. Lanjutkan pemanasan 15’. Dinginkan, saring. Cuci 3 kali, tiap kali
dengan 10 mL air. Asamkan filtrat dengan asam nitrat pekat. Tambahkan 2 mL
besi (III) amonium sulfat 8%. Titrasi dengan amonium tiosianat 0,1N. Lakukan
titrasi blanko.

Iodometri
Metode iodometri untuk penetapan kadar golongan metil ksantin didasarkan
pada reaksi I2 dengan kafein dalam suasana asam membentuk C8H10O2N4.
HI.I4 senyawa tidak larut. Metode ini juga dapat diaplikasikan untuk teobromin.

Prosedur penetapan kadar dengan Iodometri adalah :

Timbang seksama sejumlah sampel setara kurang lebih 500mg kofein, larutkan
dalam air secukupnya. Encerkan dengan air sampai 100ml, saring jika perlu. Ambil
5ml larutan, tambahkan 10ml larutan iodat-iodida 0,1N dan 5ml asam klorida
3,5%, campur dan tutup. Diamkan 20’ pada tempat terlindung cahaya pada 20 °C.
sentrifuse 3-5’. Ambil 10ml larutan, titrasi dengan natrium tiosianat 0,1N dengan
indikator larutan kanji.

TBA

Metode TBA diaplikasikan pada penetapan kadar kafein karena sifat basa dari
kafein yang lemah, lebih lemah dari air. maka solven yang digunakan bukan air
(asam asetat glacial) dan titran asam perklorat.

Prosedur penetapan kadar kafein

Timbang seksama + 170mg, larutkan dalam 5ml asam asetat glasial P, hangatkan
jika perlu. Dinginkan, tambahkan 10ml anhidrida asetat P dan 20ml toluena P.
Titrasi secara potensiometri dengan asam perklorat 0,1N. (FI IV) Tiap ml asam
perklorat 0,1N setara dengan 19,42 mg kofein.
Analisis Obat Jantung (Furosemid, Captopril dan Amlodipin)

Kaptoril

Kaptopril, (2S)-1-[(2S)-2-Methyl-3-sulphanylpropanoyl]pyrrolidine-2-carboxylic
acid merupakan obat antihipertensi golongan ACE inhibitor. Derivat prolin ini
merupakan ACE inhibitor pertama yang digunakan, efeknya adalah vasodilatasi
dan berkurangnya retensi garam dan air.

Spektra UV

Spektrum UV kaptopril pada pelarut asam tidak memberikan absorbansi yang


signifikan, tetapi dalam pelarut basa E1% 1cm pada 238 nm adalah 235 (Mofat et
al., 2005).

Metode-Metode penetapan kadar Kaptopril

Iodimetri (EP, 2008) dan DDQ (el-Brashy, 1995)

Larutkan 0,150 g sampel dalam 30 mL air. Larutan dititrasi dengan I 2 0,05 M. Titik
akhir ditentukan secara potensiometrik.

1 mL I2 0,05 M setara dengan 21,73 mg C9H15NO3S.

Metode titirimetrik yang lain yaitu titrasi oksidimetri dengan menggunakan titran
2,3 dikloro-5,6-disiano-1,4-benzoquinon (DDQ) pada media asam asetat ahidrat.
Titrasi dilakukan secara potensiometrik menggunakan elektroda platinum (el-
Brashy, 1995)

Alkalimetri

Titrasi kaptopril juga dapat dilakukan dengan menggunakan titran NaOH. Hal ini
disebabkan karena adanya gugus asam karboksilat dari kaptopril. Titrasi secara
potensiometri tidak ditemukan adanya interferensi dari eksipien dalam tablet
(Ribeiro et al., 2003).

Gabungan Titrasi Iodatometri dan Spektrofotometri visibel (Rahman et al.,


2005)

Metode didasarkan pada reaksi kaptopril dengan kalium iodat dalam medium
HCl. Amaranth digunakan sebagai indikator untuk mendeteksi titik akhir dari
titrasi dalam lapisan berair. Yodium terbentuk selama titrasi diekstraksi ke dalam
CCl4 dan kemudian ditentukan secara spektrofotometri pada 510 nm.
Spektrofotometri Vis NBD-Cl (Haggag et al., 2008)

Penetapan kadar kaptopril secara kolorimetrik dengan reagen pengomplek 4-


kloro-7-nitro-2,1,3-benzoxadiazol (NBD-Cl) yang akan bereaksi dengan amin
primer dan sekunder (Tan, 1973; Saleh and Schnekenburger, 1992).

Reagen NBD-Cl dengan captopril, larutan uji yang berwarna kuning dibaca
absorbansinya pada panjang gelombang 420 nm.

Pembentukkan kompleks Fe2+ dengan Fe(CNS)63- (Rahman et al., 2006)

Metode ini menggunakan metode spektrofotometri kinetik yang didasarkan pada


reduksi Fe (III) menjadi Fe (II) oleh kaptopril. Hasil reduksi (Fe (II)) yang terbentuk
akan bereaksi dengan K3Fe(CN)6 yang membentuk komplek biru

Pembentukkan kompleks Fe2+ dengan O-fenantrolin (Antakli et al., 2010)

Penetapan kadar kaptopril dengan reagen o-fenantrolin memanfaatkan sifat


mereduksi gugus tiol kaptopril seperti metode sebelumnya. Reaksi reduski besi
(III) klorida dengan kaptopril menghasilkan ion bei (II). Kompleks jingga-merah
didapatkan dari kompleks besi (II) dengan O-fenantrolin yang dibaca pada
panjang gelombang 510 nm.
Pembentukkan kompleks Br2 dengan natrium flourescein (Moldovan, 2012)

Penetapan kadar kaptopril dengan metode ini didasarkan pada reaksi reduksi
Br2 (dari sistem campuran bromat-bromid) oleh kaptopril. Sisa Br2 yang tidak
bereaksi membentuk kompleks dengan natrium flourescein. Hasil komplek
dibaca pada panjang gelombang 436 nm.

Pembentukkan warna oleh tetrazolium biru (Gumieniczek et al., 1998)

Penetapan kadar kaptopril dengan tetrazolium blue didasarkan pada


pembentukkan warna ungu yang merupakan hasil reduksi tetrazolium blue oleh
gugus tiol pada suasana basa. Warna yang terbentuk dibaca pada panjang
gelombang 526 nm.

Pembentukkan warna oleh dichlone (Muhammed et al., 2013)

Captopril bereaksi dengan 2,3-dikloro 1,4 - naphthoquinon dalam medium netral


untuk membentuk produk berwarna kuning yang stabil memiliki serapan
maksimum pada 347 nm terhadap reagen kosong.

Spektrofluorometri (Segarra et al., 1991)

Berdasarkan reaksi kaptopril dengan reagen florogenik yaitu reduksi Ce (IV)


menjadi Ce (III) yang berfluoresen (Segarra et al., 1991). El-Didamony (2009)
memanfaatkan hasil reduksi Ce (IV) menjdai Ce (III) yang berfluoresensi dibaca
pada λex = 256 nm dan λem = 354 nm.

Gas Chromatography (Matsuki et al., 1980)


Penetapan kadar kaptopril dengan metode kromatografi gas harus melalui tahap
derivatisasi. Derivatisasi melalui reaksi esterifikasi antara kaptopril dengan N-
etilmaleimida menjadi senyawa volatil ester heksafluoroisopropil. Derivatisasi
juga bisa dilakukan dengan reaksi sililasi. Reagen yang dapat digunakan untuk
sililasi seperti BSTFA, MSTFA, dll. Reaksi derivatisasi dapat berjalan dengan syarat
senyawa yang akan diderivatisasi adalah adanya hidrogen yang terikat pada atom
yang mudah lepas, seperti H dari hidroksi, amin, tiol, dll.

HPLC dengan Derivatisasi Pre kolom (Hadjmohammadi et al., 2008)

Kaptopril mempunyai struktur dengan kromofor yang miskin oleh karena itu
perlu dilakukan derivatisasi dengan reagen untuk menambah gugus kromofor
yaitub O-Ptaladehid. Pemisahan dilakukan pada kolom ODS, air:asetonitril:TCA
(85:15:0,1) kecepatan 1 mL/ menit dan λ 345 nm. Reagen lain yang dapat
digunakan adalah p-a-dibromoacetophenone(p-BPB), derivatif dibaca pada
panjang gelombang 257 nm (Jinsong et al., 2001).

Furosemid

Furosemid, Asam 4-Chloro-2-[(furan-2-ylmethyl)amino]-5-sulphamoylbenzoic,


merupakan turunan sulfonamide yang berdaya diuretik kuat dan bertitik kerja di
lengkungan Henle bagian menaik.

Metode-metode penetapan kadar furosemid

Titrasi Alkalimetri (EP, 2008)

Timbang sejumlah sampel 0,250 g. Serbuk dilarutkan dalam 20 mL


dimetilformamid. Larutan dititrasi dengan 0,1 N NaOH, tambahkan indicator
biru bromtimol. Lakukan titrasi blanko. 1 mL NaOH 0,1 N setara dengan 33,07
mg C12H11ClN2O5S. Penetapan kadar furosemid dengan titrasi alkalimetri
didasarkan adanya gugus asam karboksilat.

Titrasi Bromatometri (Basavaiah et al., 2005)

Sejumlah 10 mL larutan obat furosemid dengan kadar 2-20 mg FRU secara akurat
dimasukkan kedalam erlenmeyer 100 mL, tambahkan 10 mL 2 M HCl dan dititrasi
dengan campuran bromat-bromida (5 mM KBrO3) menggunakan 2 tetes indikator
metil orange sampai hilangnya warna indikator. Lakukan titrasi blanko. Volume
titrasi blanko dikurangi volume titran yang dibutuhkan untuk titrasi furosemid.

Spektrofotometri UV (Mofat et al., 2005)

Furosemid mempunyai spektrum pada daerah Ultraviolet, pelarut asam 235 nm


(A1 1=1333a), 274 nm (A1 1=600a), 342; pelarut basa 271 nm (A1 1=580a), 333 nm.

Pembentukkan kompleks dengan FeCl3 (Živanović et al., 200 )

Furosemid dapat bereaksi dengan FeCl3 pada rentang pH 5,2-6,2, menghasilkan


larutan berwarna merah yang dideteksi pada panjang gelombang 513 nm.

Pembentukkan kompleks dengan Anilin melalui proses diazotasi

Penetapan kadar furosemid dengan pembentukkan kompleks dengan anilin


melalui tiga tahap. Proses hidrolisis dalam suasana asam menghasilkan amin
primer aromatik dari furosemid, ini merupakan tahap awal. Proses selanjutnya
adalah pembentukkan garam diazonium dengan menggunakan reagen natrium
nitrit dalam suasana asam. Setelah terbentuk garam diazonium maka dikompleks
dengan anilin. Pembentukkan kompleks juga dapat dilakukan dengan
menggunakan beta naftol.

Pengukuran indirect

Menggunakan permanganate (Tharpa et al., 2009)

Prinsipnya pengurangan kadar permanganat dalam suasana asam oleh


furosemid. Permanganat yang tidak bereaksi dengan furosemid warnanya dibaca
pada panjang gelombang 550 nm. Reaksi dapat juga dapat dilakukan pada
suasana basa. Hasil reduksi permanganate oleh furosemid adalah MnO 2. Warna
yang dihasilkan adalah biru kehijauan yang dapat dibaca pada panjang
gelombang 610 nm.
c.2 menggunakan sistem bromate-bromida (Basavaiah et al., 2005)

Dalam metode yang diusulkan, sejumlah obat yang ditambahkan ke campuran


bromate-bromida yang berlebih dalam medium HCl dan setelah reaksi dipastikan
akan selesai, bromin sisa ditentukan dengan menambahkan sejumlah metil
orange. Warna yang terbentuk diukur absorbansinya pada 520 nm.

GC (Margalho et al., 2005)

Furosemid ditetapkan kadarnya dengan metode GLC dengan sebelumnya


dilakukan reaksi derivatsisasi dengan menggunakan trimetilanilin hidroksida.
Derivatisasi dapat dilakukan dengan reaksi esterifikasi karena memiliki gugus
asam karboksilat. Reaksi sililasi menggunakan BSTFA atau MSTFA juga dapat
diaplikasikan karena terdapat gugs amin atau hidroksida.

HPLC (Bauza et al., 1985; Patil et al., 2012)

Patil et al (2012) menggunakan sistem RP HPLC untuk pemisahan campuran


senyawa antipirin, karbamazepin, fenitoin, dan furosemid dengan fase gerak
dapar pH 3:MeOH-ACN (50:50) kecepatan alir 1 mL/menit dan panjang
gelombang, yaitu 205 nm untuk karbamazepin dan fenitoin dan 230 nm untuk
deteksi furosemid dan antipirin.

Anda mungkin juga menyukai