Anda di halaman 1dari 9

Tugas Pengganti Kuliah Hukum Tata Negara

Artikel 1: Menyoal Tujuan dan Fungsi Partai Politik Di Indonesia

Partai Politik di Indonesia, menurut dasar hukumnya memiliki banyak tujuan terutama menuju
membentuk negara yang lebih baik bagi seluruh lapisan masyarakat. Baik untuk Pendidikan
demokrasi masyarakat dan anggota partai, tujuan UU Parpol memang belum dirasa tercapai secara
maksimal. Maka Partai Politik harus membenahi diri agar dapat tertantang untuk mencapai
tujuannya masing-masing.

Artikel 2: Menyoal Keberadaan Partai Politik di Indonesia

Masyarakat masih mempertanyakan keberadaan dan fungsi Partai Politik di dunia pemerintahan.
Bahkan dirasa tidak memiliki pengaruh yang signifikan dala kehidupan masyarakat dan hanya
sekedar sebagai outlet bagi individu untuk naik ke bangku pemerintahan. Terutama mendekati masa
Pemilu, ketika parpol mulai membagi-bagikan sembako atau bahkan sogokan kecil agar masyarakat
simpatis dan condong pada suatu kandidat, menjadikan masyarakat semakin apatis terhadap
keberadaan parpol. Parpol harus memperbaiki pendirian dan kinerjanya agar masyarakat dapat lebih
mempercayai dan mendukung keberadaan suatu parpol.

Artikel 3: Menyoal Kegaduhan Partai Politik

Mengenai kegaduhan partai politik, masyarakat merasa hal tersebut menjadi suatu tontonan yang
menarik, dan hak tersebut dapat merendahkan citra partai. Masyarakat menjadi merasa bahwa
parpol tidak memiliki manfaat apapun bagi kelangsungan hidup masyarakat. Parpol harus kembali
pada inti dari tujuannya yaitu menjadi suara bagi masyarakat mayoritas.

Artikel 4: Menyoal Wacana Reshuffle Kabinet

Beberapa waktu sebelumnya muncul rumor reshuffle cabinet pada masa pemerintahan Presiden
Joko Widodo. Terdapat dua kementerian yang disetujui oleh DPR, yaitu pembentukan Kementerian
Investasi dan penggabungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Wacana
reshuffle berarti akan terjadi banyak perubahan pada pejabat yang saat ini menjabat dan hal itu
menimbulkan ketidaknyamanan. Masyarakat juga banyak angkat suara mengenai Menteri mana saja
yang harus diganti dan digantikan oleh siapa. Seharusnya Para pejabat maupun masyarakat umum
tidak perlu terlalu mendorongkan calon terganti ataupun pengganti pembantu Presiden karena
Presiden sebagai kepala negara pastinya memahami apa yang dibutuhkan untuk masa
pemerintahannya.

Artikel 5: Menyoal “Utak-Atik” Masa Jabatan Presiden

Selama masa pemerintahan Presiden yang menjabat dua kali berturut-turut terdapat beberapa
rumor bahwa akan terdapat penjabatan yang ketiga bagi Presiden tersebut. Pasal 7 UUD 1945
sebelum perubahan berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa
lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.” Akan tetapi seharusnya Presiden tidak terpilih
lagi untuk ketiga kalinya karena hal tersebut bertentangan dengan konstitusi negara. Hal ini kerap
diungkit oleh beberapa pihak yang berkepentingan dengan menjabatnya kembali presiden tersebut.
Artikel 6: Menyoal Kegaduhan Pilpres 2024 (Bagian Pertama)

Pilpres berikutnya akan terjadi sekitar kurang dari dua tahun sejak saat ini akan tetapi sudah terjadi
banyak kegaduhan dan argument mengenai calon yang akan maju. Sudah banyak partai yang
mensosialisasikan para kandidat yang kemungkinan akan mewakili. Akan tetapi sosialiasi ataupun
kampanye seharusnya tidak mengalihkan seluruh pejabat dari kepentingan masyarakat. Sebab
pejabat negara pada intinya ada untuk kepentingan masyarakat luas.

Artikel 7: Menyoal Kegaduhan Pilpres 2024 (Bagian Kedua)

Kegaduhan Pilpres 2024 juga ditandai dengan pemasangan baliho ataupun media lain mengenai
calon yang kemungkinan akan maju sebagai kandidat. Akan tetapi hal tersebut tidak menjadikan
masyarakat lebih simpatis pada para kandidat, akan tetapi merasa kesal karena focus para pejabat
menjadi pada pilpres 2024. Terutama dengan Pandemi Covid 19, hal tersebut seakan-akan
mengalihkan focus pejabat dari pandemic yang mempengaruhi kualitas hidup masyarakat luas.
Meski sosialiasi tidak dilarang, akan tetapi harus terdapat konsiderasi terhadap keadaan masyarakat
saat ini.

Artikel 8: Menyoal Kegaduhan Pilpres 2024 (Bagian Ketiga)

Sosialisasi kandidat untuk Pilpres 2024 memiliki pengaruh baik dan buruk. Pengaruh baik yang
terjadi ialah masyarakat menjadi lebih mengetahui akan sepak terjang kandidat yang akan maju
serta kemungkinan tidak akan bingung nantinya saat memilih. Pengaruh buruk yang dapat terjadi
ialah segala kekurangan dari kandidat tersebut juga akan diketahui oleh masyarakat, baik kesalahan
yang pernah dilakukan atau kurangnya prestasi suatu kandidat. Maka sosialisasi harus dilakukan
dengan batas tertentu agar tidak membentuk opini negative masyarakat terhadap para kandidat
Pilpres 2024.

Artikel 9: Menyoal Kegaduhan Pilpres 2024 (Bagian Keempat)

Dengan banyaknya promosi kandidat calon Pilpres 2024, masyarakat harus bijak memilih informasi
yang akan menjadi tumpuan untuk memilih nantinya. Masyarakat dapat bertanya pada Parpol
mengenai detail informasi rekam jejak suatu kandidat, dan Parpol harus memperbolehkan tindakan
tesebut. Penolakan rakyat atas informasi kandidat Pilpres 2024 dapat dipandang sebagai arogansi
dan ketertutupan. Masyarakat dapat bereaksi dalam banyak tingkatan mulai dari complain public
ataupun demonstrasi dengan vandalisme media partai.

Artikel 10: Menyoal Kegaduhan Pilpres 2024 (Bagian Kelima)

Dengan partai memperlihatkan diri kepada masyarakat, harus dengan pertimbangan yang matang.
Partai yang memiliki kontribusi yang signifikan pada masyarakat boleh menyodorkan calon yang
pantas untuk maju Pilpres 2024. Jangan sampai terjadi kandidat yang maju untuk Pilpres hanya
melakukannya untuk uji nyali atau percobaan keberuntungan. Terutama karena masyarakat memiliki
harapan yang tinggi bahwa calon tersebut akan memimpin negara dan membawa negara serta
masyarakatnya pada masa depan yang lebih baik.
Artikel 11: Menyoal Kegaduhan Pilpres 2024 (Bagian Keenam)

Pemimpin Parpol yang mensosialisasikan partainya pihak yang maju sebagai kandidat Pilpres 2024
harus memandang apakah pantas menjadi calon pemimpin negara. Maka selain memasang baliho
atau mempromosikan kandidat melalui media lainnya, kandidat dan partai harus menunjukkan
kinerja yang baik dalam hal kenegaraan agar dapat menjadi sosok yang pantas untuk dipilih dalam
Pilpres. Akan tetapi memperlihatkan semua hal pada rakyatnya pastinya sulit dilakukan karena aspek
tersebut diatur oleh para pemimpin.

Artikel 12: Menyoal Gaji Versus Kinerja Anggota DPR (Bagian Pertama)

Dewan Perwakilan Rakyat mengakui bahwa gaji anggotanya mencapai ratusan juta. Akan tetapi
dalam sepak terjangnya banyak terkuak perlakuan buruk serta kinerja yang kurang dari para anggota
DPR. Terdapat kemungkinan penilaian buruk tersebut tidak mencakup seluruh anggota dewan.
Namun dapat terlihat bahwa fungsi DPR sebagai pengawas dinilai kurang berkontribusi terhadap
perkembangan negara dan bahkan terkadang dirasa menghalangi Undang-undang yang dibutuhkan
untuk dapat disahkan.

Artikel 13: Menyoal Gaji Versus Kinerja Anggota DPR (Bagian Kedua)

Masyarakat merasa DPR tidak melaksanakan fungsinya sebagai perwakilan suara rakyat. Beberapa
hal yang menjadi penyebab adalah pendapat masyarakat terasa tidak diperhatikan dalam proses
pembentukan Undang-undang. Terutama ketika DPR diketahui tidak melaksanakan tugasnya dalam
melihat tampungan pendapat masyarakat. Hal ini berakibat citra buruk bagi DPR terutama ketika
melihat gaji yang diterima bukan dalam jumlah sedikit.

Artikel 14: Menyoal Gaji Versus Kinerja Anggota DPR (Bagian Ketiga)

Gaji DPR yang besar bertujuan agar dapat mendukung kegiatannya sebagai penampung aspirasi
masyarakat. Akan tetapi anggota DPR mendapatkan gaji tersebut dari masyarakat, dan sudah
seharusnya jabatan mereka digunakan untuk menjadi suara masyarakat. Namun sering terlihat DPR
tidak menjalankan tugas dan malah mengambil profesi sampingan lain seperti host televisi atau artis.
Hal tersebut menjadikan citra DPR dan penilaian masyarakat menjadi memburuk setiap periode.

Artikel 15: Menyoal Gaji Versus Kinerja Anggota DPR (Bagian Keempat)

Penilaian masyarakat terhadap pejabat Negara dilakukan melalui hal-hal yang dapat dilihat atau
kasat mata saja. Jika suatu bagian pemerintahan tidak terlihat aktif melakukan kinerja yang
memuaskan, terutama jika terkenal akan hal-hal buruk, tentunya akan mendapat penilaian yang
rendah dari pandangan masyarakat. Terutama melalui fungsi DPR untuk mensahkan Undang-
undang, mungkin dapat terjadi ketidakpuasan atas apa yang disahkan dikarenakan pada
pembuatannya opini masyarakat tidak menjadi pertimbangan.
Artikel 16: Menyoal Gaji Versus Kinerja Anggota DPR (Bagian Kelima)

Karena DPR sebagai fungsi penyampai aspirasi masyarakat, akan selalu menjadi sorotan publik
terutama terkait kinerjanya. Pastinya rakyat akan mengapresiasi jika aspirasinya tersampaikan dan
terwujud menjadi nyata. Maka DPR seharusnya tidak mempersoalkan gaji sebab mereka ada untuk
melayani masyarakat. Jika DPR menjalankan tugasnya dengan baik pastinya akan mendapatkan
penghormatan yang sepadan dengan kontribusinya.

Artikel 17: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Pertama)

Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) akan menjadi dasar pembangunan IKN di
Kalimantan Timur. Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, pembangunan
IKN yang mengusung “Kota Dunia untuk Semua” tersebut menjadi awal peradaban baru bagi
Indonesia. “Dengan nama Nusantara, Ibu Kota Negara Republik Indonesia merepresentasikan
konsep kesatuan yang mengakomodasi kekayaan kemajemukan Indonesia. Realitas kekayaan
kemajemukan Indonesia itu menjadi modal sosial untuk memajukan kesejahteraan rakyat, untuk
Indonesia maju, tangguh, dan berkelanjutan,” ujar Menteri Suharso.

Artikel 18: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kedua)

Ibu Kota Nusantara telah disepakati dalam bentuk satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
setingkat provinsi yang wilayahnya menjadi tempat kedudukan Ibu Kota Negara. Sebutan Otorita IKN
sebagai pemerintah daerah khusus Ibu Kota Nusantara diberikan untuk merespons perkembangan
era digital saat ini dalam memudahkan pelaksanaan segala urusan pembangunan IKN. Staf Ahli
Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan Diani Sadia Wati mengungkapkan, tata kelola
pemerintahan IKN dipastikan tidak akan keluar dari konstitusi. Dengan demikian, kehadiran suatu
undang-undang, termasuk UU IKN, tidak serta-merta berakhir dengan selesainya kelima tahapan
dalam pembentukan undang-undang. Setelah itu, masih ada tahapan yang harus dilakukan agar
kehadiran undang-undang tidak hanya baik di atas kertas, tetapi benar-benar dilaksanakan dalam
praktik.

Artikel 19: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Ketiga)

Pasal 38 UU IKN menekankan mengenai pemantauan dan peninjauan terhadap pelaksanaan UU IKN
yang hanya menyebutkan dilakukan oleh DPR tanpa ikut campur DPD dan Presiden. Maka DPR
sebagai legislasi memantau secara langsung proses penjalanan UU IKN dalam pemindahan Ibu Kota
Negara. Pengawasan oleh DPR ini menjadi bagian yang berpengaruh dalam pelaksanaan UU IKN,
gagal ataupun berhasil sector ini memiliki andil bagian.

Artikel 20: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Keempat)

Keberadaan Otorita berbeda dengan pemerintahan di Ibu Kota Negara. Pemerintahan Daerah
Khusus Ibu Kota Nusantara adalah pemerintahan daerah yang bersifat khusus yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di Ibu Kota Nusantara, sedangkan Otorita Ibu Kota
Nusantara adalah pelaksana kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara,
serta penyelenggara Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. Kedudukan Otorita IKN
setingkat dengan Menteri akan tetapi hanya dalam urusan Ibu Kota Negara. IKN tidak merupakan
daerah otonom seperti Jakarta karena para pejabatnya dipilih secara langsung oleh Presiden.

Artikel 21: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kelima)

Dalam UU IKN tidak dirincikan perbedaan DKI Jakarta dan DKI Nusantara secara konkret, namun
dibedakan secara substantif terutama ketika keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Pembedaan
tersebut dilakukan atas dasar pembeda antara daerah khusus atau daerah istimewa. Perbedaan
antara keduanya dalam UU IKN adalah:

Pasal 12 ayat (1) dan (2) UU IKN terdapat 2 (dua) perbedaan antara DKI Nusantara dengan DKI
Jakarta termasuk dengan daerah lainnya.

Pasal 5 ayat (2) berbunyi sebagai berikut: “Sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus, Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan sebagaimana ditetapkan dan diatur dengan Undang-Undang ini.”

Pasal 5 ayat (4) berbunyi sebagai berikut: “Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara merupakan kepala
Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara yang berkedudukan setingkat menteri, ditunjuk,
diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR.”

Pasal 5 ayat (6) berbunyi sebagai berikut: “Otorita Ibu Kota Nusantara berhak menetapkan peraturan
untuk menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara dan/atau melaksanakan
kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara.”

Artikel 22: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Keenam)

Kekhususan DKI Nusantara terdapat 3 yaitu: Ibukota Nusantara diselenggarakan tanpa keberadaan
DPR, kepala daerah IKN dipilih dan diberhentikan presiden dengan sebelumnya berkonsultasi
dengan DPR, Otorita lbu Kota Nusantara memiliki kewenangan menetapkan sendiri peraturan dalam
rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara kecuali yang
membutuhkan persetujuan DPR. Operasional dari jalannya pemerintahan IKN tidak berdasarkan
DPRD karena tidak ada, sehingga melapor langsung pada DPR (pusat).

Artikel 23: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Ketujuh)

IKN masih menjadi fenomena yang tidak biasa keberadaannya oleh karena pengaturannya dalam
Undang-Undang. Mengenai pemberian insentif fiskal/non fiskal juga tidak dijelaskan secara rinci
selain diajukan kepada Pemerintah Pusat. Perijinan dan administrasi ekonomi dijelaskan sebagai
kewenangan daripada IKN. Pada intinya kewenangan IKN tetap tunduk pada UUD 1945 meski
berbeda dari pemerintahan daerah lainnya.

Artikel 24: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kedelapan)

Permasalahan IKN: Pertama, status Ibu Kota Negara sebagai daerah khusus. Kedua, pengelola Ibu
Kota Negara yang disebut otorita. Ketiga, kepala otorita berkedudukan setingkat menteri. Keempat,
Otorita Ibu Kota Negara berwenang mengeluarkan peraturan. Kelima, kewenangan yang besar dari
Otorita IKN. Keberadaan IKN tidak melanggar konstitusi, hanya saja satuan khusus atau istimewa
diberikan pada atuan pemerintahan daerah yang disebut dengan Provinsi, Kabupaten, atau Kota.

Artikel 25: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kesembilan)

Akibat dari satuan pemerintahan sebagai pemerintahan daerah akan memiliki kewenangan,
kedudukan, maupun komposisi pemerintahan yang berbeda dari yang bukan pemerintahan daerah.
Akan tetapi hanya daerah otonom yang memiliki kewenangan untuk mengatur urusan rumah tangga
atau pemerintahannya sendiri. Ciri lain yang menonjol dari daerah otonom adalah komposisi
pemerintahan daerah akan memiliki lembaga perwakilan rakyat daerah yang disebut Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Apabila sebuah satuan pemerintahan tidak memiliki DPRD,
artinya ia bukan merupakan daerah yang bersifat otonom, tetapi hanya bersifat wilayah
administratif. Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945, pemerintahan selain dilaksanakan oleh pemerintah
daerah juga dilakukan oleh Pemerintah Pusat.

Artikel 26: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kesepuluh)

Pemerintahan Daerah Ibu Kota Negara baru tersebut tidak disebutkan berbentuk pemerintahan
daerah provinsi, daerah kabupaten, atau kota seperti ketentuan UUD 1945. Maka dibandingkan
dengan daerah khusus ataupun istimewa lainnya, otorita seperti tidak termasuk dalam kategori yang
sama. Mengacu pada UU Pemda, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Hal tersebut tidak dapat dikesampingkan begitu saja dalam konteks IKN. 4

Artikel 27: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kesebelas)

Berdasarkan UU Pemda terdapat 6 aspek dalam Pemerintahan Daerah: Pertama, Pemerintahan


Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan Kedua, penyelenggaranya adalah pemerintah
daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah. Ketiga, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Keempat, menjalankan prinsip otonomi seluas-luasnya. Kelima, penyelenggaraannya dalam sistem
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keenam, sesuai dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Semua ketentuan ini menjadi panduan dalam jalannya
Pemerintahan Daerah.

Artikel 28: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kedua Belas)

Suatu daerah yang tidak memiliki otonomi daerah dapat berupa wilayah administrative lainnya.
Suatu daerah harus memenuhi beberapa aspek untuk dapat dikategorikan sebagai Pemerintah
Daerah. Maka terdapat beberapa argumentasi mengenai otorita IKN sebagai Pemda atau tidak.
Otorita bukan merupakan satuan pemerintahan daerah tetapi “hanya” merupakan kawasan khusus.
Artikel 29 : Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Ketiga Belas)

Pasal 1 angka 42 UU Pemda berbunyi sebagai berikut: “Kawasan Khusus adalah bagian wilayah
dalam Daerah provinsi dan/atau Daerah kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional yang
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.” Maka apakah Otorita dikategorikan
sebagai Kawasan khusus, jawabannya adalah benar, sebagai kawasan/daerah khusus, dan tidak
dapat disebutkan sebagai pemerintah daerah khusus.

Artikel 30: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Keempat Belas)

Otorita bukan suatu hal baru karena sebelumnya sudah terdapat Otorita Batam. Artinya, keberadaan
kawasan otorita bukan merupakan bagian dari penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pelaksanaan
Otonomi Daerah ditujukan agar sebuah daerah dapat menjadi lebih mandiri, an karenanya dalam
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi Wilayah Adminitrasi. Demikian pula di kawasan-
kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan
pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan,
kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku
Ketentuan peraturan Daerah Otonom.

Artikel 31: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kelima Belas)

Kawasan khusus adalah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau kabupaten/kota yang ditetapkan
oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi
kepentingan nasional. Pemerintah dapat menetapkan suatu kawasan khusus untuk membantu
jalannya pemerintahan. Dalam UU Pemda yang saat ini berlaku, kawasan khusus otorita bukan
merupakan “pemerintahan daerah”, tetapi hanya merupakan bagian wilayah dari daerah provinsi,
kabupaten, atau kota. Dengan demikian, pemberian status pemerintahan daerah dan otorita
sekaligus merupakan sesuatu yang janggal. UU IKN juga mengesampingkan UU Pemda dalam perihal
status otorita sebagai Pemerintahan Daerah.

Artikel 32: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Keenam Belas)

Persoalan lain mengenai otorita adalah pemberian status pada pemerintahan daerah kepada Ibu
Kota Negara sebagai “setingkat provinsi”. Menurut Pasal 1 angka 2 UU IKN bahwa Ibu Kota Negara
bernama Nusantara dan selanjutnya disebut sebagai Ibu Kota Nusantara adalah satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus setingkat provinsi yang wilayahnya menjadi tempat
kedudukan Ibu Kota Negara sebagaimana ditetapkan dan diatur dengan Undang-Undang ini. Namun
Ibu Kota Nusantara atau IKN tidak memenuhi persyaratan sebagai satuan pemerintahan daerah yang
memiliki unsur pemerintah daerah dan DPRD. Maka tindakan tersebut seperti tidak berdasar pada
UUD 1945.
Artikel 33: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Ketujuh Belas)

Kedudukan IKN yang dijadikan setingkat provinsi menjadi tidak jelas dikarenakan hubungannya
dengan otorita yang setingkat dengan kementerian. Sehingga pemimpin daerah otorita IKN tersebut
menjadi kepala daerah yang setingkat dengan Menteri menciptakan keseimbangan. Kepala Otorita
Ibu Kota Nusantara sama dengan beberapa posisi setingkat menteri lainnya di jajaran Kabinet saat
ini. Beberapa di antaranya adalah Jaksa Agung, Sekretaris Kabinet, Kepala Staf Kepresidenan,
Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan lain-lain.
Seperti pada masa lalu, Pemimpin Otorita Batam memang dibawah presiden dan memiliki
kewenangan setingkat dengan Menteri tetapi hanya terkait daerah Batam.

Artikel 34: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kedelapan Belas)

Meski pemimpin daerah IKN memiliki jabatan setingkat Menteri, dalam pembuatan Undang-Undang
memerlukan persetujuan DPR. Produk hukum yang memerlukan persetujuan DPR adalah Rancangan
Undang-Undang (RUU) untuk menjadi undang-undang. Berbeda dengan Perpu, undang-undang
dikeluarkan dalam keadaan normal atau biasa-biasa saja, tetapi tetap harus dikeluarkan oleh
Presiden bukan oleh pihak lain.

Artikel 35: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kesembilan Belas)

Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 juga tidak mengatur jenis peraturan yang dikeluarkan oleh sebuah
entitas yang disebut dengan Otorita. Ketentuan tersebut menegaskan produk hukum yang
dikeluarkan oleh lembaga-lembaga negara utama, lembaga negara penunjang, pemerintahan
daerah, atau kepala desa. Berbeda dengan otorita yang dianggap sebagai kawasan khusus. Problema
tetap pada Peraturan Otorita yang diatur di dalam UU IKN harus mendapatkan persetujuan dari
DPR.

Artikel 36: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kedua Puluh)

Terkait kewenangan memungut pajak, khusus oleh Otorita Ibu Kota Negara diatur di dalam Pasal 24,
khususnya ayat (4), (5), dan (6) UU IKN. Pasal 24 ayat (4) UU IKN berbunyi sebagai berikut: Dalam
rangka pendanaan untuk penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otorita Ibu Kota Nusantara dapat melakukan pemungutan
pajak khusus dan/atau pungutan khusus di Ibu Kota Nusantara. Tetap dalam pelaksanaannya diatur
oleh DPR, akan tetapi tidak secara keseluruhan dari DPR, hanya memerlukan perwakilan.

Artikel 37: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kedua Puluh Satu)

Pengaturan Pajak diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 berbunyi sebagai berikut: Pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Biasanya tidak
memerlukan persetujuan dari DPR dalam melaksanakannya dan tidak dapat dilakukan semena-mena
sebab menjadi beban bagi masyarakat. Akan tetapi Otorita Ibu Kota Negara bukan Pemerintahan
Daerah Provinsi yang sesungguhnya karena hanya dianggap berkedudukan setingkat provinsi.
Meskipun UU IKN memberlakukan peraturan perundang-undangan pajak daerah berlaku secara
mutatis mutandis sebagai pajak khusus dan pungutan khusus justru dapat menimbulkan persoalan
tersendiri dalam praktiknya.
Artikel 38: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kedua Puluh Dua)

Persoalan mengenai pajak seperti di DKI ialah tingkatan yang ditentukan oleh Pemerintah. Pada
umumnya pajak ditentukan oleh peraturan provinsi. Namun demikian, Pemerintah DKI Nusantara
adalah bukan provinsi yang sesungguhnya karena tidak memiliki DPRD. Akibatnya, Pemerintah DKI
Nusantara tidak mungkin akan dapat membentuk peraturan daerah provinsi dalam rangka
menjalankan ketentuan atau perintah UU Nomor 28 Tahun 2009 tersebut. Maka pajak sebagai topik
sensitive harus diatur dengan baik untuk menghindari permasalahan.

Artikel 39: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kedua Puluh Tiga)

Persoalan lain mengenai otorita adalah kewenangan yang dimiliki, sebagai kawasan khusus yang
bukan sebagai Pemerintah Daerah Khusus tetapi memiliki pemimpin yang setingkat dengan Menteri
akan tetapi tidak memenuhi persyaratan dalam UU Pemda. Namun pengkategorian harus menjadi
lebih spesifik agar IKN tidak seperti tanah tanpa tuan dan tanpa aturan, tetapi sebagai etapi berada
di wilayah yang sudah dikuasai oleh satuan pemerintahan daerah lainnya baik provinsi maupun
kabupaten.

Artikel 40: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kedua Puluh Empat)

Potensi untuk terjadi permasalahan dalam Otorita IKN sangat besar dikarenakan posisinya yang tidak
terlalu jelas dalam hierarki perundang-undangan dan pemerintahan saat ini. Dikhawatirkan dapat
terjadi tumpeng tindih kewenangan dan pemberlakuan yang tidak adil, atau bahkan eksploitasi
keadaan. Meski nantinya daerah tersebut akan menjadi Ibu Kota, tidak dapat dikesampingkan
urgensi untuk mengatur posisi IKN saat ini.

Artikel 41: Menanti Pelaksanaan Undang-Undang Ibu Kota Negara (Bagian Kedua Puluh Lima)

UU IKN banyak mengesampingkan peraturan yang sudah ada dan sedang berlaku. Dikesampingkan
Pengecualian Apabila dari Pemerintahan DKI Nusantara juga akan memiliki wakil seperti provinsi
lainnya, artinya akan terjadi penambahan jumlah anggota DPD. Dengan demikian, jumlah provinsi
juga seakan-akan bertambah meskipun pada kenyataannya bukan provinsi yang sesungguhnya
karena hanya diberi status setingkat provinsi.terutama untuk pemilihan umum tiga lembaga negara,
yaitu Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, dan anggota DPD.

Anda mungkin juga menyukai