Anda di halaman 1dari 23

BAB 2

RUJUKAN SUMBER LAINNYA

2.1. Definisi Endometriosis2


Endometriosis didefinisikan sebagai penyakit dimana adanya lesi seperti kelenjar dan
stroma endometrium di luar uterus. Lesi ini dapat berupa lesi peritoneum, implan superfisial atau
kista di ovarium, atau deep infiltrating disease. Meskipun tidak terdapat eitologi definitif
penyebab endometriosis, terdapat beberapa hipotesis terkait bagaimana lesi endometriotik
berkembang. Salah satu mekanisme yang paling mungkin adalah menstruasi retrograde, yakni
gambaran siklus menstruasi pada wanita dan primata non manusia, yang merupakan aliran balik
dinding endometrium melalui tuba falopi yang paten menuju rongga pelvis. Aliran balik ini,
bersamaan dengan potensi sirkulasi hematogen atau limfatik, menyebabkan tumbuhnya jaringan
endometrium di lokasi ektopik. Namun, menstruasi retrograde ini umum terjadi (mungkin pada
semua wanita yang mengalami menstruasi) sedangkan kejadian endometriosis lebih sedikit.
Maka dari itu, mungkin faktor lain, seperti hormonal, inflamasi, atau imunologi menentukan
apakah lesi yang terdeposit di rongga pelvis dapat menjadi implan dan menjadi persisten. Teori
lain mengatakan bahwa lesi endometriosis dapat muncul dari sisa Mullerian yang tidak
berdiferensiasi atau migrasi secara sempurna seama perkembangan fetus atau dari sel darah yang
bersirkulasi dan mengalami transdifferensiasi menjadi endometriosis. Sama halnya, karakteristik
lingkungan lokal dapat juga mempengaruhi lesi endometriotik ini. Ketika mempertimbangkan
hipotesis etiologi, penting juga untuk mengetahui bahwa lesi endometriotk secara antigenik sama
dengan endometrium eutopik namun tidak serta merta merupakan endometrium.
2.2 Epidemiologi Endometriosis3
Dalam studi epidemiologi prevalensi endometriosis dijumpai sebesar 10.8 tiap 1000
individu (95% CI 10.5–11.0). Wanita berusia 40-44 tahun memiliki angka prevalensi tertinggi
yakni 18,6 tiap 1000 individu (95% CI 17.7–19.5).(Gambar 2.1) Nilai mean IMT adalah
24,1±6.4kg/m2, dimana lebih dari 50% pasien memiliki IMT normal. Infertilitas juga ditemukan
pada 36,9% pasien. Ditemukan angka rerata insidensi tahunan pada wanita yang baru didiagnosis
endometriosis adalah 7.2 (95% CI 6.5–8.0) tiap 10 000 wanita yang berusia 15–55 tahun (nilai
mean usia saat diagnosis adalah : 34.0 ± 8.1 years).

Insidensi bervariasi sedikit selama periode 16 tahun penelitian (Gambar 2.2), meskipun
terdapat sedikit peningkatan persentasi tahunan, namun peningkatan ini bersifat signifikan yakni
sebesar 1.6% (95% CI 1.1– 2.2%; P < 0.001). Pada 2015, angka insidensi ditemukan tertinggi
pada wanita berusia 25-39 tahun, khususnya pada kelompok pasien usia 25-29 dan 35-39 tahun.

Gambar 2.1
Gambar 2.
2.3 Patogenesis Endometriosis
2.3.1 Imunologi Endometriosis4
Salah satu penyebab endometriosis yang mungkin adalah perubahan reaksi imun. Pada
teori ini, sel endometrium yang tumbuh di rongga pelvis harus dihancurkan oleh reaksi dan sel
imun, namun pada endometriosis sel-sel ini dibiarkan melakukan penetrasi dan proliferasi. Pada
rongga peritoneal, sel imun dapat “kewalahan” (akibat banyaknya jumlah jarinigan endometrium
yang berpindah) atau mengalami disfungsional, yang pada akhirnya menyebabkan jaringan ini
berproliferasi dan membentuk lesi. Perubahan pada imunitas dimediasi sel dan imunitas humoral
berkontribusi terhadap patogenesis endometriosis. Dasar fungsi immunologis, khususnya
imunitas non spesifik, biasanya tidak mengalami perubahan pada pasien endometriosis. Di sisi
lain, bagian lain reaksi imun mengalami perubahan. Selain itu, kerusakan langsung sistem imun
oleh iradiasi mengakibatkan peningkatan prevalensi dan keparahan endometriosis. Hal ini
mengusulkan bahwa sistem imun normal berperan signifikan dalam penghambatan
perkembangan endometriosis. Sel-sel pada rongga peritoneum dapat menginisiasi respon
inflamasi, membantu vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Inflamasi
alami yang persisten dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan endometrium pada awal-awal
perkembangan penyakit, namun akhirnya menyebabkan masalah lain; hal ini termsauk masalah
endokrin, autoimun, alergi, irritable bowel syndrome.

Makrofag
Makrofag menggambarkan sel pertahanan tumbuh primer pada tumbuh manusia. Ketika
makrofag menetap di rongga peritoneum, peran pertahanan imunnya berupa fagositosis debris sel
dan mendukung sekresi sitokin. Fagositosis diregulasi oleh aktivasi matrix metalloproteinase dan
ekspresi reseptor CD36. Ekspresi komponen ini mengalami penurunan pada endometriosis, yang
terutama disebabkan oleh perubahan kadar prostaglandin E2. Perekrutan makrofag dapat menjadi
mekanisme dasar patogenesis endometriosis. Karena CD36 dan matrix metalloproteinases sangat
terlibat dalam pembersihan debris sel, penurunan kadar keduanya berpengaruh secara signifikan
terhadap perkembangan endometriosis.

Makrofag merupakan sel imun primer yang ada di dalam rongga peritoneum, tidak heran
jika pasien dengan endometriosis mengalami peningkatan jumlah dan produknya. Peningkatan
ini diakibatkan oleh tinggnya influx karena aktivitasnya dihambat dan tidak distimulasi. Di sisi
lain, beberapa penelitian menemukan fase aktivasi monosit dan makrofag. Pada onset inflamasi
akut yang diinisiasi oleh makrofag, mediator inflamasi disekresi dan bertanggung jawab terhadap
perubahan aliran darah dan untuk transfer sel dari pembuluh darah ke jaringan.

Ditemukan bahwa makrofag yang mengekspresikan Tie-2 menginfiltrasi area di


sekeliling pembuluh darah endometriotik yang baru terbentuk. Karena makrofag ini terlibat
dalam induksi angiogenesis dan pertumbuhan tumor, mungkin saja saat sel-sel ini menurun, sel
endotel tidak dapat teroganisir secara efektif dan malah mengembangkan struktur kelenjar dan
stroma. Kemungkinan ini membuat subset makrofag sebagai target untuk tatalaksana
endometriosis.

Limfosit

Limfosit terlokalisir di dalam jaringan ektopik dan secara signifikan berkontribusi


terhadap pertumbuhan lesi, yang sebagian besar memiliki rasio sel Th1/Th2 yang rendah. Rasio
Th1/Th2 bergantung pada stadium penyakit. Ketika fokus endometriotik telah terbentuk,
interaksi ketat antara sel endometriotik dan sel imun mengarah ke prevalensi sitokin Th1 pada
cairan peritoneum di stadium minimal dan ringan, sedangkan lebih mengarah ke Th2 pada
stadium yang lebih lanjut. Penentuan subpopulasi berbagai limfosit T dan B di darah dan cairan
peritoneum tidak menemukan perbedaan antara kelompok kontrol dan pasien.

Saat ini, perhatian lebih diarahkan ke peran sel T anti inflamasi yang disebut Treg. Dalam
pertumbuhan endometriosis mungkin terdapat gangguan pada rasio Th17 dan populasi Treg.
Khususnya pada keadaan kadar estradiol yang tinggi, seperti dalam keadaan endometriosis, dapat
menyebabkan ekspansi dan aktivasi Treg dan menyebabkan penurunan pertahanan imun lokal.
Penelitian menunjukkan bahwa Treg konsentrasi lebih tinggi ditemukan pada cairan peritoneum
dan lesi endometrial. Namun, tidak ditemukan apakah terdapat keterlibatan Treg. Melimpahnya
jumlah Treg dapat menggambarkan penurunan fenotip endometrium responsive progesterone
yang berkaitan dengan endometriosis. Beberapa penulis mengusulkan peran reaksi imun
dominasi Th2 dan Treg pada perkembangan endometriosis. Lagi-lagi, hal ini kekurangan bukti.
Penelitian terakhir menemukan kemungkinan keterlibatan aksis estrogen-IDO1-MRC2 dalam
diferensiasi dan fungsi Treg.
Observasi dilakukan dan terfokus pada mekanisme yang berpotensi memungkinkan
fragmen endometrium menghindari sistem imun. Observasi ini menemukan bahwa ada
kemungkinan keterlibatan jalur LFA- 1-ICAM-1. Pada wanita sehat, limfosit LFA-1-positif
melekat pada sel endometrium ICAM-1+ dan menawarkan sel NK sebagai target. Pada wanita
dengan endometriosis, ICAM-1 terlarut yang disekresi dari lesi endometriosis berkompetisi
dengan LFA-1 dan selanjutnya memblokir jalur penghancuran dimediasi sel NK. Subset lain
yang berpotensi adalah sel Th17, yang baru-baru ini ditemukan terlibat dalam endometriosis.
Sebuah penelitian menunjukkan adanya sel Th2 dan sel Th17 pada jaringan endometriotik dan
menemukan berbagai efek IL-4 dan IL-17A, yakni sitokin yang dihasilkan dari sel Th. IL-17A
juga meningkatkan sekresi CCL20, sebuah kemokin sel Th17 dari sel endometrium. Hal ini
terlihat dapat menginduksi migrasi sel Th17 ke jaringan endometriotik dan selanjutnya
meningkatkan efek IL-17A. TNF-α bersamaan dengan IL-17A secara sinergis meningkatkan
sekresi IL-8 dan CCL-20. Hal ini mengusulkan adanya kerja sama inflamasi dan respon imun
Th17.

Kepentingan sel Th17 selanjutnya ditunjukkan oleh temuan bahwa adanya peningkatan
persentase sel ini di cairan peritoneum yang kadarnya berhubungan dengan keparahan
endometriosis. Sehingga menargetkan sel ini dapat dijadikan metode baru yang mempengaruhi
proliferasi jaringan ektopik atau manifestasi klinis endometriosis. Selanjutnya, sel Th17 juga
memproduksi respon inflamasi yang menghambat IL-10 (penting untuk endometriosis) karena
sel penghasil IL-10 meningkat bersamaan dengan peningkatan kadar IL-27, IL-6, dan TGF-β.
Mungkin bahwa produksi IL-10 oleh sel Th17 dipengaruhi oleh makrofag dan sel stroma
endometrium penghasil IL-27. Jika terkonfirmasi, IL-27 dapat menjadi target terapeutik di masa
depan.

Selain itu, limfosit T CD8+ sitotoksik juga terlibat. Penelitian klinis menunjukkan adanya
peningkatan kadar sel ini pada dan endometriosis, khususnya pada fase luteal. Peneliti percaya
bahwa perubahan ini diakibatkan oleh perubahan respon imun.

Sel NK

Sel NK merupakan limfosit granular besar yang menggambarkan sekitar 10% limfosit
darah perifer dan merupakan komponen imun bawaah penting. Sel endometrium memiliki
kemiriapn dengan sel kanker terkait kemampuannya melekat, menginfiltrasi dan berproliferasi
pada lokasi ektopik; karenanya sel NK sering diusulkan terlibat. Peningkatan sel NK KIR+ pada
darah perifer menggambarkan faktor risiko endometriosis. Peningkatan jumlah dan aktivasi
makrofag peritoneum, dan penurunan sel T serta penurunan efek sitotoksik sel NK diamati dalam
endometriosis; hal ini menggambarkan adanya perubahan dalam imunitas seluler. Perubahan ini
dapat menyebabkan penghancuran sel endometrium ektopik yang inadekuat dari rongga
peritoneum. Sel NK juga diusulkan sebagai pemeran utama dalam endometriosis. Sel NK
teraktivasi dapat migrasi dan menginfiltrasi lesi endometriotik, mengusulkan penggunannya
dalam terapi ini.

Perubahan akivitas sel NK masih menjadi teka-teki. Beberapa mengusulkan adanya


peningkatan reseptor inhibitor killer cell pada sel NK pasien dengan endometriosis stadium
lanjut. Sel NK pada peritoneum mengalami penurunan aktivitas penghancurannya, mungkin
karena adanya perubahan faktor sitokin dan inhibitori.

2.3.2 Genetik Endometriosis5


Bukti kontribusi genetik terhadap perkembangan endometriosis datang dari penelitian
epidemiologi yang melaporkan bahwa agregasi familial penyakit ini ditemukan pada manusia
dan primata. Baik penelitian berbasis rumah sakit dan populuasi melaporkan angka
endometriosis yang lebih tinggi di antara keluarga wanita dengan endometriosis dibandingkan
kontrol sehat. Penelitian yang melibatkan saudara kandung, kembar, dan keluarga wanita dengan
endometriosis melaporkan bahwa terdapat risiko rekurensi relatif yang lebih tinggi 2,3 kali lipat
dibandingkan risiko pada populasi umum, meskipun sulit melakukan estimasi yang akurat karena
prevalensi populasi umum tidak diketahui. Latar belakang genetik endometriosis selanjutnya
didukung oleh bukti bahwa kembar monozigot menunjukkan kecocokan klinis endometriosis
dibandingkan kembar dizigotik. Data ini menunjukkan bahwa faktor genetik mempengaruhi
separuh risiko perkembangan endometriosis dan memperkirakan kemungkinan diturunkannya
sebesar 51%. Bukti lain didapatkan dari model hewan rhesus macaque, yang melaporkan bahwa
agregasi familian endometriosis spontan mengalami peningkatan signifikan yang kooefisien
terhadap risiko rekurensi pada saudara kandung (0,75) dibandingkan dengan saudara maternal
(0.26) dan saudara paternal(0.18).
2.3.3 Peran Hormonal5
Patogenesis yang mendasari adanya pertumbuhan endometrium ektopik menjadi
endometriosis mengawali penelitian peran estrogen dan reseptor estrogen(ER), fisiologis
tergantung estrogen dan perubahan molekular, kadar estrogen lokal, peran estrogen dalam
interaksi makrofag-saraf, efek toksikan lingkungan terhadap pensinyalan estrogen, dan produksi
estrogen intrasel terkait aktivitas aromatase. Selain itu, kontrol ekstrogen dan progesteron siklik
normal memerlukan aktivasi dan hubungan cAMP dengan jalur pensinyalan dimediasi
progesteron.

Produksi estrogen intrasel memiliki peran kunci dalam patogenesis endometriosis,


khususnya pada wanita post menopause. Aromatase P450 mengkatalisis konversi androgen
menjadi estrogen dan secara fisiologi diekspresikan pada jaringan manusia yang berbeda,
termasuk jaringan ovarium dan adiposa, namun tidak biasanya pada endometrium.

Pada wanita dengan endometriosis, enzim aromatase ditemukan baik pada jaringan
endometriotik dan endometrium eutopik. Selain itu, pada endometriosis aksi protektif 17β-
hydroxysteroid dehydrogenase (17β-HSD) type 2 hilang akibat defisiensi enzimatik. 17β-HSD
menurunkan kadar 17β-estradiol, mengubahnya menjadi estrone yang lebih lemah, sehingga
memodulasi paparan aksi estrogen. Produksi lokal estrogen dan hilangnya mekanisme protektif
ini menentukan kadar estradiol yang lebih tinggi mengkarakterisasi endometriosis dan
endometrium eutopik – yang ditampilkan oleh tingginya kadar estradiol pada menstruasi wanita
dengan endometriosis dibandingkan kontrol. Selain itu, peningkatan produksi estrogen pada lesi
endometriotik dan endometrium eutopik menentukan umpan balik positif yang menyebabkan
produksi estrogen lebih tinggi melalui induksi enzim COX-2. Selanjutnya peningkatan kadar
prostaglandin E2 menstimulasi aktivitasi aromatase.

Produksi lokal estrogen dilaporkan berasal dari aktivasi mekanisme tissue injury and
repair (TIAR) yang diinduksi oleh mikrotrauma pada level lapisan endometrium basal. Lapisan
endometrium basal memiliki karakteristik stem cell dan menunjukkan potensi dislokasi dan
proliferasi, yang dilaporkan meningkat pada wanita dengan endometriosis. Fragmen basal
endometrium terdislokasi ke rongga peritoneum sehingga dapta menginduksi inflamasi kronis
dan mekanisme TIAR, mengaktivasi produksi lokal estrogen, proliferasi dan pertumbuhan
infiltratif yang menghasilkan endometriosis. Lingkungan mikro estrogenik dilaporkan dapat
mengaktivasi makrofag ke dalam peritoneum dengan sekresi sitokin proinflamatori seperti TNF-
α dan IL-1β yang menstimulasi aktivasi NFkB. Selain itu, mekanisme ini menginduksi ekspresi
vascular endothelial growth factor (VEGF), aktivasi siklus sel, dan aktivasi gen anti apoptotik
Bcl-2 (Gambar 2.1).

Gambar 2.1.
Ringkasan mekanisme yang mendasari peran kunci estrogen dalam patogenesis endometriosis.
Tissue injury and repair (TIAR); Tumor necrosis factor (TNF); Interleukins (IL); Vascular
endothelial growth factor (VEGF); Antiapoptotic protein B cell lymphoma 2 (Bcl-2); 17β-
hydroxysteroid dehydrogenase (17β-HSD).

Peran kunci estrogen dalam pertahanan dan perkembangan jaringan endometriotik


dimediasi oleh ER. Perkembangan jaringan endometriotik dilaporkan mengalami supresi oleh
modulator selektif ER yang menghambat reseptor estrogen alfa (ERα) atau beta (ERβ), serta
implan ektopik tidak berkembang pada tikus yang mengekspresi ERα- atau Erβ secara normal.
ER memiliki afinitas kuat untuk estrogen dan merupakan faktor transkripsi untuk subset gen
yang mirip. Meskipun ERα ditemukan meningkat pada uterus dan diperkirakan bahwa ERβ
memiliki efek inhibitorin pada endometrium eutopik, pada jaringan endometriotik ERα
dilaporkan memiliki kadar normal seperti endometrium normal. Sebaliknya, ERβ dilaporkan
mengalami peningkatan pada jaringan endometriotik. Dengan dasar tersebut, diperkirakan bahwa
konsentrasi estrogen yang tinggi dan ekspresi berlebihan ERβ terlibat dalam kelangsungan dan
perkembangan jaringan ektopik berbasis estrogen. Pada level sitoplasmik, ERβ dilaporkan
terlibat dalam inhibisi dan gangguan pensinyalan apoptosis diinduksi TNF-α. Pada level nukleus,
ERβ teridentifikasi terlibat dalam aktivasi langsung jalur NFkB dan sistem detoksifikasi spesies
oksigen radikal yang mampu meningkatkan pertahanan hidup sel dan menghindari dari sistem
imun. Pada waktu yang sama, ERβ berhubungan dengan peningkatan sinyal diinduksi hipoksia,
sinyal transisi epitelial mesenkim, dan komponen sitoskeleton, yang semuanya terlibat dalam
invasi dan progresi implan endometriotik.

Mekanisme sinergis dari produksi estrogen dan ekspresi ER yang berlebihan ini adalah
munculnya resistensi progesteron pada jaringan endometriotik, yang menghambat modulasi gen
terlibat dalam desidualisasi, regulasi siklus sel, dan inhibisi respon estrogen. Resistensi
progesteron merupakan karakteristik jaringan endometriotik. Mekanisme utama yang terlibat
adalah adanya penurunan reseptor progesteron pada jaringan ektopik. Terdapat banyak jalur yang
berpotensi menyebabkan supresi PR. Konsentrasi sitokin pro inflamasi, seperti TNF-α dan IL-1β
terlibat dalam inflamasi kronik dan mekanisme TIAR, dan dilaporkan secara langsung
berkorelasi dengan ekspresi PR. Aktivasi jalur NFkB oleh pensinyalan inflamasi menentukan
interaksi langsung dengan PR melalui efek antagonis. Fosforilasi AKT yang persisten akibat
inflamasi juga terlibat dalam inhibisi ekspresi PR.

2.3.4 Perubahan Epigenetik6


Bentuk utama metilasi DNA pada sel mamalia adalah 5-methyl cytosine, yang
mengkatalisis kelompok DNA methyltransferases (DNMTs), terdiri dari DNMT1, DNMT3a, dan
DNMT3b. DNA methyltransferase-1 membawa hemi-methylated DNA sebagai substrat, yang
bertanggung jawab terhadap metilasi DNA yang mentransmisi penanda epigenetik. Meskipun
baik DNA hipometilasi dan hipermetilasi terhadap gen tertentu telah dilaporkan pada sel epitel
dan stroma endometriotik, penelitian terbaru menunjukkan bahwa genom sel stroma
endometriotik secara global mengalami hipometilasi akibat penurunan DNMT1.

Hipoksia dan inflamasi, dua kejadian penting yang menunjang perkembangan


endometriosis, memodulasi ekspresi DNMT dan bertindak bersamaan untuk mengganggu pola
metilasi DNA (Gambar 2.2). Dua laporan terbaru menunjukkan bahwa penurunan metilasi global
pada sel stroma ektopik disebabkan utamanya oleh penurunan DNMT1 akibat hipoksia. Berbeda
dengan efek supresi hipoksia pada DNMT1, penghambatan jalur prostaglandin E2 (PGE2) tidak
memiliki efek terhadap kadar DNMT1 tapi mensupresi DNMT3a, yang menyimpulkan bahwa
kadar DNMT3a dapat saja menetap atau terstimulasi oleh jalur inflamasi.
Gambar 2.2. Hiposia dan inflamasi meregulasi metilasi DNA melalui mikroRNA (miR). Dua
lingkungan mikro utama ini menyebabkan remodeling epigenetik. Hipoksia menyebabkan
hipometilasi global melalui penurunan DNMT1 (kiri). Stimulasi inflamasi menginduksi ekspresi
DNMT3a dan hipermetilasi spesifik lokus (kanan). miR-20a diinduksi hipoksia dan miR-302a
iinduksi sitokin inflamasi menurunkan dual specificity phosphatase (DUSP)2 dan chicken
ovalbumin upstream promoter (COUP)‐transcription factor (TF)II sehingga mempotensiasi
respon inflamasi dan berkontribusi terhadap modulasi metilasi DNA. COX, cyclo‐oxygenase;
E2, estradiol; IL, interleukin; PGE 2, prostaglandin E2; TGF, transforming growth factor; TNF,
tumor necrosis factor.

2.3.5. Mekanisme nyeri7


Nyeri dapat bersifat nosiseptif (akibat inflamasi), neuropatik, atau kombinasi keduanya;
dimana nyeri pada endometriosis mungkin berasal dari ketiga tipe nyeri ini. Selain itu, faktor-
faktor seperti psikologis dan stres fisik, status hormon, dan berbagai mekanisme coping diketahui
dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Namun, masuk akal jika dalam satu individu terdapat satu
mekanisme nyeri yang mendominasi, mungkin diakibatkan dari patogenesis tertentu atau entitas
tertentu dari penyakitnya sehingga gejala nyeri tersebut hanya dapat respon terhadap terapi
tertentu.

Implan endometrium biasanya dikelilingi oleh serabut saraf yang dilingkupi oleh
pembuluh darah baru. Luasnya sensitisisai ini dimodulasi secara dinamik oleh estradiol dan
sitokin. Sitokin, interleukin, dan faktor pertumbuhan mengalami peningkatan pda cairan
peritoneum wanita dengan endometriosis (NGF, VEGF, BDNF). Molekul ini menurunkan
ambang dan mengeksitasi serabut saraf sensori terminal, sehingga menimbulkan stimulsu nyeri.
Serabut saraf implan endometriotik dapat mencapai spinal cord dan masuk pada dorsal root
ganglion (DRG) yang sama dari organ pelvis lain. Sensitisasi silang ini yang juga dapat terjadi di
perifer dapat menjelaskan adanya komorbiditas endometriosis dengan penyakit lain, seperti
irritable bowel syndrome. Selain itu, aktivasi mikroglia spinal dapat menjaga stimulus nyeri.
Banyak faktor mempengaruhi bagaimana otak memproses nyeri (psikologis, kortisol,dll)
sehingga nyeri yang dirasakan berbeda-beda tiap individu. Penelitian terbaru pada neuroimaging
menunjukkan bahwa modifikasi pada regio sistem saraf pusat tertentu, yakni Q5 dan PAG secara
signifikan berhubungan dengan nyeri endometriosis.

Gambar 1.2 Ilustrasi berbagai faktor berbeda yang penting dalam timbulnya nyeri endometriosis,
baik pada level sistemik maupun perifer.

2.3.6 Mekanisme infertilitas8


Terlihat seperti adanya hubungan antara perluasan penyakit dan rendahnya angka
fertilitas spontan pada endometriosis. Di antara wanita dengan endometriosis minimal atau
ringan, sekitar 50% dapat hamil tanpa terapi, sedangkan pada wanita dengan derajat sedang,
hanya 25% yang dapat hamil spontan; dan hanya sedikit konsepsi yang terjadi dalam kasus
derajat berat. Angka kehamilan spontan sebanding antara wanita endometriosis minimal/ringan
dengan wanita yang mengalami infertilitas tidak dapat dijelaskan, sehingga mengindikasikan
bahwa endometriosis minimal/ringan memiliki efek paling ringan terhadap fertilitas. Meskipun
begitu, lesi peritoneum superfisial lebih erat kaitannya dengan infertilitas daripada endometrioma
dan deeply infiltrating endometriosis. Namun, penyakit ekstensif dengan adhesi pelvis dan
obliterasi cul-de-sac dapat menyebabkan infertilitas akibat adanya oklusi tuba ostium sehingga
mengganggu masuknya sperma.

Inflamasi kronik yang terjadi pada endometriosis dapat mengganggu fertilitas dengan
beberapa jalur. Peningkatan konsentrasi interleukin (IL-1b, IL-8, IL-10) dan tumor necrosis
factor-a pada folikel yang berdekatan dengan endometrioma berhubungan dengan penurunan
respon ovarium. Kadar IL-6 pada cairan peritoneum wanita dengan endometriosis mengalami
peningkatan dan sitokin ini dapat menghambat motiltias sperma, dan mediator inflamasi cairan
peritoneum juga dapat berkontribusi terhadap kerusakan DNA sperma. Selain itui, stres oksidatif,
prostaglandin, dan sitokin dapat merusak interaksi oosit-sperma, mengganggu perkembangan
embrio, dan menghalangi implantasi.

Disfungsi aksis hipotalamus-pituitari-ovarium dapat berkontribusi terhadap infertiltias


pada pasien yang mengalami fase folikular berkepanjangan, kadar estradiol serum yang rendah,
dan turunnya konsentrasi hormon LH puncak. Disfungsi pituitari pada endometriosis dapat
memprediksi gangguan folikulogenesis, penurunan kualitas oosit, dan penurunan daya
penerimaan endometrium.

Sekresi progesteron normal dan responsivitas endometrium selama fase luteal penting
untuk transisi endometrium dari fase proliferatif menuju sekretori dan fase penerimaan. Pada
endometriosis, adanya penurunan ekspresi reseptor progesteron dalam endometrium dapat
menyebabkan resistensi progesteron. Selanjutnya, progesterone memicu ekspresi 17b-
hydroxysteroid dehydrogenase type 2 (HSD17B2), yang memetabolisme estradiol poten menjadi
estrone yang kurang poten. Pada wanita dengan endometriosis dan resistensi progesteron, fungsi
endometrium dapat terganggu akibat peningkatan bioaktivitas estrogen akibat hilangnya aktivitas
HSD17B2. Sehingga peningkatan milieu estrogenik dapat memicu respon inflamasi pada
jaringan endometriotik, yang ditandai dengan tingginya kadar sitokin inflamasi.
Penelitian terbaru melaporkan bahwa donasi oosit pada pasien yang menerima oosit dari
donor dengan endometriosis mengalami implantasi dan angka kehamilan yang lebih rendah,
sedangkan status resepien tidak mempengaruhi luaran klinis terapi. Hal ini mengusulkan bahwa
potensi penurunan fertilitas pada wanita dengan endometriosis mungkin dikarenakan adanya
penurunan kualitas oosit dan bukan karena ada defek endometrium. Meski demikina, kadar
antibodi anti endometrium juga meningkat di serum wanita dengan endometriosis, dan
pengikatan antibodi ini terhadap antigen endometrium dapat menyebabkan kegagalan implantasi.
2.4 Diagnosis Endometriosis
Diagnosis pasien yang dicurigai endometriosis adalah berdasarkan anamnesis riwayat
gejala, pemeriksaan klinis, dan teknik pencitraan. Diagnosis definitif endometriosis hanya dapat
ditentukan melalui histologi lesi yang diambil saat bedah; namun temuan histologi negatif juga
tidak mengekslusi diagnosis.

Dokter harus mempertimbangkan diagnosis endometriosis jika pasien datang dengan


keluhan dismenore, nyeri pelvis non siklik, dispareunia dalam, infertiltias, kelelahan, diskezia,
disuria, hematuria, atau perdarahan rektal. Pemeriksaan klinis harus dilakukan pada semua
pasien yang dicurigai mengalami endometriosis. Nodul infiltrasi dalam paling baik terdeteksi
saat pemeriksaan fisik dilakukan selama menstruasi. Temukan adanya uterus retroversi terfiksasi,
nyeri tekan pelvis, nyeri ligamen utersakral, atau adanya massa adneksa mendukung diagnosis
endometriosis. Diagnosis endometriosis lebih jelas lagi jika nodul deeply infiltrating dapat
terpalapasi di dalam dinding rektovagina atau terlihat di fornix vagina posterior selama
pemeriksaan fisik.9

Pemeriksaan standard baku untuk mendiagnosis endometriosis adalah inspeksi visual


pelvis selama laparoskopi. Dokter harus mengonfirmasi temukan laparoskopi yang positif
dengan histologi, khususnya pada wanita yang menjalani pembedahan untuk endometrioma
ovarium atau deep infiltrating disease untuk mendiagnosis endometriosis dan mengeksklusi
keganasan.10

Sistematik review terkait akurasi laparoskopi untuk mendiagnosis endometriosis (dengan


biopsi dan histologi sebagai standard baku) menunjukkan bahwa hanya terdapat beberapa
laporan terbatas yang memiliki kualitas baik (n=4) saat menilai diagnosis endometriosis secara
visual menggunakan laparoskopi. Laparoskopi diagnostik negatif (yaitu saat tidak ada lesi
endometriosis yang teridentifikasi) tampak memiliki akurasi tinggi untuk mengeksklusi
endometriosis sehingga dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Namun, laparoskopi
positif (yaitu saat terdapat lesi endometriosis yang teridentifikasi) bersifat kurang informatif dan
memiliki nilai terbatas (jika tanpa histologi); dan nilai positive likelihood ratio (LR+) (95% CI)
adalah 4.30 (2.45–7.55), dengan nilai negative likelihood ratio (LR−) adalah 0.06 (0.01–0.47).
Dengan prevalensi 20% nilai post-test probability adalah 51.8 (38.0–65.4) jika pemeriksaan
menunjukkan hasil positif dan sebesar 1.5 (0.2–10.5) jika pemeriksaan menunjukkan hasil
negatif.10

Wanita yang mendapatkan hasil laparoskopi negatif secara akurat dapat diyakinkan untuk
tidak perlu melakukan pemeriksaan tambahan. Namun, kualitas temuan laparoskopi negatif dan
positif ini sangat bergantung pada kemampuan ahli bedah melakukan laparoskopi. Pengalaman,
keterampilan dan pengetahuan ahli bedah sangat menentukan apakah endometriosis akan
didiagnosis jika ditemukan. Endometriosis terlokalisir yang berada di retroperitoneal dan vaginal
dapat dengan mudah terlewatkan khususnya jika pasien tidak dianamnesis dan dilakukan
pemeriksaan fisik preoperatif yang menyeluruh. Kualitas laparoskopi yang baik harus
menyertakan pemeriksaan sistematik berupa:10

1) Uterus dan adneksa


2) Peritoneum fossa ovarium, lipatan vesiko-uterus, cavum douglas dan ruang pararektal
3) Rektum dan signmoid (nodul sigmoid terisolir)
4) Appendiks dan sekum
5) Diafragma

Selain itu, harus dilakukan juga pemeriksaan spekulum dan palpasi vagina serta servix
dengan kontrol laparoskopi untuk memeriksa nodul yang seakan-akan “tenggelam”. Kualitas
laparoskopi yang baik hanya dapat dilakukan setidaknya menggunakan minimal satu port
sekunder untuk membersihkan pelvis dari obstruksi lipatan usus, atau untuk menyedot cairan
sehingga memastikan keseluruhan cavum douglas terinspeksi.10

Keterbatasan nilai histologi yang negatif juga mungkin sebagian disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan dokter atau kualitas prosedur yang buruk, sehingga menyebabkan
sampel rusak, atau berasal dari lokasi yang salah. Pemeriksaan klinis preoperatif yang sesuai
dapat mencegah dokter terlalu overlooking terhadap lesi deep endometriosis diluar rongga
peritoneum atau lesi retroperitoneal. Sehingga diusulkan untuk memeriksa ureter, kandung
kemih, atau usus hanya jika terdapat pencitraan tambahan atau kecurigaan klinis adanya lesi deep
endometriosis di lokasi tersebut.10

USG transvagina berguna untuk mendiagnosis atau mengeksklusi endometrioma


ovarium. Namun, teknik ini memiliki keterbatasan dalam mendiagnosis endometriosis
peritoneum. Pada wanita dengan tanda dan gejala endometriosis usus, USG transvagina dapat
berguna untuk identifikasi dan mengeksklusi endometriosis rektal. USG transrektal harus
dipertimbangkan dengan atau tanpa barium enema untuk memetakan perluasan keterlibatan
dinding usus pada wanita dengan deep endometriosis. Namun, tidak mungkin untuk
menyimpulkan seberapa besar akurasi diagnosis keterlibatan usus ini melalui barium enema,
USG transvagina ataupun USG transrektal pada wanita dengan deep endometriosis.9

Terdapat bukti yang masih kurang yang mendukung penggunaan magnetic resonance
imaging (MRI) sebagai alat diagnosis endometriosis peritoneum. Namun, MRI dapat bermnafaat
untuk mengetahui perluasan penyakit pada wanita dengan deep endometriosis.9

Kadar cancer antigen (CA)-125 juga dapat meningkat pada wanita dengan endometriosis.
Namun, kadar CA-125 pada plasma, urin, atau serum tidak seharusnya digunakan untuk
menegakkan endometriosis karena memiliki potensi yang rendah dengan sensitivitas kecil (28%)
dan spesifisitas 90%. Beberapa penelitian juga telah dilakukan untuk mendapatkan biomarker
imunologis untuk endometriosis di dalam serum, plasma, urin, namun tidak membuahkan hasil.11

MiRNAs, yakni RNA non coding dengan ukuran 18-22 nukleotida, merupakan modulator
ekspresi gen. MiRNA berkontribusi terhadap patogenesis endometriosis dan infertilitas karena
berperan dalam angiogenesis dan inflamasi, diferensiasi dan invasi sel abnormal, dan sebagai
modulator ekspresi gen. Mereka menunjukkan stabilitas pada cairan biologis dan resisten
terhadap degradasi RNAse, sehingga mereka dapat bertindak sebagai pembawa pesan sel ke sel.
Kadar miRNA yang berbeda ditemukan baik itu mengalami peningkatan ataupun penurunan
pada endometriosis dibandingkan kontrol tanpa endometriosis dan mulai dijadikan sebagai
biomarker diagnosis endometriosis.12
2.5. Tatalaksana13
Dalam memilih tatalaksana endometriosis, penting untuk mempertimbangkan gejala
utama dan keinginan pasien, efek samping yang mungkin muncul, usia, lokasi dan perluasan lesi,
terapi sebelumnya, dan biaya yang dibutuhkan. Tatalaksana endometriosis (khususnya yang
melibatkan usus, kandung kemih, ureter atau struktur ekstrapelvis dan kasus-kasus dengan
keluhan nyeri yang tumpang tindih) memerlukan tim multidisiplin. Sekitar 50% wanita dengan
endometriosis mengalami rekurensi gejala dalam periode 5 tahun, tanpa memandang apapun
pendekatan terapinya.

2.5.1 Terapi Farmakologi13


Terapi hormonal saat ini untuk tatalaksana nyeri endometriosis berfokus pada supresi
estrogen sistemik dan lokal serta inhibisi proliferasi jaringan dan inflamasi. Pil kontrasepsi oral,
baik kombinasi ataupun progestin only, digunakan secara luas untuk tatalaksana lini pertama
dismenorea atau nyeri pelvis kronik dengan atau tanpa adanya kecurigaan endometriosis,
khususnya dalam pelayanan primer. Progestin harian telah terbukti efektif pada beberapa wanita.

Agonist Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) merupakan tatalaksana lini kedua


yang mampu menekan kadar estrogen sistemik. Efek seperti menopause, termasuk kehilangan
mineral tulang, dapat dikurangi dengan penambahan terapi pengganti estrogen dosis rendah.
Elagolix, antagonist GnRH pertama untuk nyeri pelvis endometriosis, saat ini sudah tersedia di
Amerika Utara. Pemberian Elgaolix secara oral dapat mengikuti penyesuaian dosis individual,
dan data penelitian awal mengindikasikan adanya efek dependen dosis pada densitas mineral
tulang yang mirip dengan efek agonis GnRH (misal leuprolide, nafarelin, dan goserelin).
Antagonis GnRH oral lain (linzagolix dan relugolix) saat ini sedang diteliti pada penelitian fase 3
klinis.

Produksi aromatase lokal yang menghasilkan estradiol oleh lesi endometriotik telah
mengundang penggunaan inhibitor anromatase untuk wanita yang mengalami resistensi terapi
hormonal. Namun, penggunaan jangka panjang dilarang karena adanya komplikasi kehilangan
densitas tulang, efek samping vasomotor seperti flushing dan hot flashes, dan peningkatan angka
kehamilan ganda.

Analgesia untuk nyeri endometriosis terdiri dari kombinasi acetaminophen dan


nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID). International Association for the Study of Pain
merekomendasikan opioid untuk nyeri akut berat berdurasi pendek namun tidak untuk nyeri
kronik, dan mereka menyatakan bahwa tatalaksana nyeri kronik harus berfokus pada peningkatan
kualitas hidup, khususnya dengan mengintegrasikan terapi prilaku dan fisik.

2.5.2. Terapi Add-Back14


Jika tatalaksana dengan agonis GnRH sukses, penggunaan regimen add-back dapat
menurunkan dan mengeliminasi kehilangan mineral tulang dan simptom tanpa mengurangi efek
perbaikan rasa nyeri. Regimen add-back telah digunakan untuk wanita yang menjalani terapi
jangka panjang; dapat berupa progestin, progestin dengan bifosfonat, progestin dosis rendah,
atau estrogen. The U.S Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui penggunaan
norethindrone (5 mg daily) sebagai terapi add back bersamaan dengan agonis GnRH. Pada
wanita yang tidak bisa mentoleransi dosis tinggi norethindrone, kombinasi harian estradiol
transdermal (25 mcg) dan oral medroxyprogesterone acetate (2.5 mg) dapat digunakan. Namun,
regimen ini tidak dapat sepenuhnya mencegah kehilangan mineral tulang, dan tidak disetujui
oleh FDA. Suplementasi kalsium (1,000mg perhari) telah direkomendasikan untuk wanita yang
mengonsumsi terapi add back.

2.5.3 Terapi Tambahan15


Fisiologi nyeri merupakan proses dinamik yang mempengaruhi interaksi kompleks antara
jaringan neuronal inhibitor dan akumulasi sinyal perifer dari organ pelvis dan ekstra pelvis.
Nyeri juga dipengaruhi oleh pengaruh emosional, hormonal, dan pengaruh fisik serta lingkungan
lain. Sehingga, pada wanita dengan nyeri pelvis kronik harus menerima perawatan dari tim
multisidiplin yang terdiri dari spesialis nyeri, terapis fisik, dan psikologis, sebagai tambahan
untuk ginekologis. Pilihan terapi saat ini termasuk analgesik, ansiolitik, agen antidepresan dan
membrane stabilizers, terapi fisik pelvis dan cognitive behavioral therapy.

2.5.4 Terapi Bedah16


Pada wanita yang mengalami nyeri endometriosis resisten terhadap terapi hormonal,
tatalaksana bedah harus dipertimbangkan. Pembedahan menunjukkan hasil adanya perbaikan
nyeri pada beberapa wanita, namun tidak semua. Tujuan terapi bedah adalah penghancuran dan
pengangkatan semua jaringan endometriotik dan adhesi yang ada, dimana kesuksesan terapi ini
bergantung besar pada keahlian dokter. Namun, terdapat bukti bahwa terapi bedah untuk
endometriosis superfisial jarang menyebabkan penurunan keluhan nyeri dan saat ini sedang
dalam perdebatan. Histerektomi sering dilakukan; nyeri endometriosis merupakan indikasi utama
histerektomi pada wanita berusia 30-34 tahun dan bertanggung jawab terhadap 18% histerektomi
di Amerika Serikat. Namun nyeri paska histerektomi tiga kali lebih mungkin terjadi pada wanita
dengan nyeri preoperatif dibandingkan wanita tanpa nyeri preoperatif, dan sekitar separuh dari
60% peningkatan risiko penyakit kardiovaskular terjadi pada wanita endometriosis berkaitan
dengan tingginya angka operasi menopause pada wanita ini.

Eksisi endometrioma secara buruk mempengaruhi cadangan folikel ovarium (yang


diindikasikan dengan rendahnya kadar hormon antimullerian dan penurunan jumlah folikel
antral). Pada wanita yang ingin mempertahankan kesuburannya, manfaat bedah harus
dipertimbangkan lagi dengan efek buruk yang didapat. Meskipun terapi bedah endometriosis
pada wanita tanpa faktor infertilitas yang teridentifikasi dapat meningkatkan angka kehamilan
spontan, namun apakah hal ini disebabkan karena pembedahan memungkinkan kehamilan
dengan teknologi reproduktif bantuan atau dengan fertilisasi invitro, masih belum jelas diketahui.

Prosedur bedah dapat dianggap dijadikan sebagai terapi konservatif atau definitif. Terapi
konseratif adalah terapi mempertahankan kesuburan, melibatkan ablasi atau eksisi implan
peritoneum, reseksi implan deep infiltrating dan pengangkatan endometrioma. Sedangkan terapi
bedah definitif adalah terapi histerektomi dengan atau tanpa ooforektomi, yang menghilangkan
kesuburan wanita. Karena endometriosis sendiri mengenai 5-10% wanita usia reproduktif, maka
banyak pula wanita yang menjalani terapi pembedahan. Penelitian menunjukkan bahwa
intervensi bedah untuk nyeri pelvis endometriosis secara signifikan mengurangi nyeri. Skor nyeri
dan kualitas hidup paska operatif secara signifikan membaik terkait dengan dismenore, nyeri
pelvis non menstruasi, dispareunia, dan diskezia selama waktu 5 tahun paska operasi. Meta
analisis terbaru secara signifikan mengungkapkan manfaat lebih bedah laparoskopi untuk terapi
nyeri endometriosis dibandingkan laparoskopi diagnostik tanpa terapi.

Kedalaman dan posisi invasi implan endometriotik secara besar mempengaruhi prosedur
operasi. Deeply infiltrating endometriosis (DIE) terdiri dari nodul endometriotik yang
menginvasi permukaan organ atau peritoneum sedalam lebih dari 5 mm. Tipe nyeri pelvis yang
dihasilkan berhubungan dengan lokasi DIE. Pasien dengan DIE cenderung lebih memiliki nyeri
pelvis kronik non siklik, yang mungkin paling terkait dengan infiltrasi serabut saraf
subperitoneal atau saraf viseral oleh implant. Reseksi atau ablasi sempurna lesi ini adalah hal
yang paling penting dalam terapi bedah endometriosis dan khususnya DIE. Hal yang dapat
dilakukan adalah reseksi peritoneum, ligamen uterosakral, vagina posterior, rektum anterior, dan
intestinu. Prosedur lain yang menggunakan kombinasi ablasi tradisional dan teknik reseksi
adalah laparoscopic uterine nerve ablation (LUNA) dan laparoscopic presacral neurectomy
(LPSN). Tambahan prosedur ini diperkirakan dapat meningkatkan penurunan keluhan nyeri
secara keseluruhan. LUNA didesain untuk dapat mengganggu serabut saraf eferen pada ligamen
uterosakral agar menurunkan nyeri uterus terkait dismenore. LPSN melibatkan interupsi terhadap
inervasi simpatetik terhadap uterus pada pleksus hipogastrik superior. Namun, review Cochrane
menunjukkan bahwa LUNA dan LPSN keduanya tidak mampu meningkatkan penurunan nyeri
jangka pendek dibandingkan laparoskopi konvensional. Penelitian terkontrol acak besar
membandingkan hasil bedah laparoskopi konservatif dengan bedah laparoskopi dengan LUNA
dan menemukan tidak adanya perbedaaan persentasi pasien yang mengalami rekurensi
dismenorea dalam satu dan tiga tahun paska bedah di kedua kelompok. LPSN ditemukan
memiliki beberapa manfaat pada penurunan nyeri jangka panjang hanya pada nyeri abdominal
midline. Terdapat peningkatan insidensi konstipasi paska operatif dan disfungsi urin akibat PSN.
Harus selalu dipertimbangkan juga bahwa LPSN memiliki prosedur yang lebih sulit dan risiko
perdarahan yanag lebih tinggi karena dikelilingi oleh pleksus vena, sehingga memerlukan dokter
bedah laparoskopi yang berpengalaman.

Meta analisis terbaru menunjukkan bahwa bedah laparoskopi berhubungan dengan


penurunan keluhan nyeri keseluruhan yang signifikan dibandingkan diagnostik laparoskopi, baik
dalam 6 bulan (odds ratio (OR) 6.58, 95% CI 3.31 - 13.10) dan 12 bulan (OR 10.00, 95% CI 3.21
- 31.17). Setelah prosedur yang sukses, masalah rekurensi penyakit dan re-eksaserbasi nyeri
dapat terjadi. Pada penelitian follow up 2-5 tahun, 33% wanita memerlukan intervensi bedah
lanjutan, dimana wanita dengan penyakit yang lebih lanjut cenderung memerlukan prosedur
berulang. Risiko reoperasi tinggi pada endometriosis di ovarium, adhesi di kantung Douglas,
tuba fallopi atau ovarium. Wanita yang menjalani bedah dengan usia kurang dari 30 tahun juga
lebih cenderung menjalani operasi ulang dibandingkan wanita > 30 tahun. Perbedaan usia ini
dapat diakibatkan karena pasien lebih tua cenderung lebih mendekati usia menopause dan
mengalami penurunan alamiah kadar estrogen sehingga meringankan gejala.

Ablasi laparoskopi atau reseksi implan endometrium harus dilakukan dengan hati-hati.
Adhesi sering muncul bersamaan dengan implan endometrium dan dapat mengganggu anatomi
normal serta visualisasi di kamar bedah. Beberapa penelitian mencoba membandingkan desikasi
atau ablasi suatu implan dibandingkan dengan reseksi laparoskopi; dua penelitian menunjukkan
tidak adanya perbedaan signifikan terkait skor nyeri paska operasi pada 6 – 12 bulan. Follow up
5 tahun membandingkan teknik eksisi versus ablasi juga tidak menemukan perbedaan signifikan
gejala dispareunia. Keputusan untuk memilih salah satu di antara teknik bergantung pada pilihan
dan kenyamanan dokter bedah. Sebelum pengangkatan atau desikasi implan, perlu mengetahui
struktur anatomi yang berdekatan dengan lesi secara menyeluruh. Jika implan berada di atas
ureter atau pembuluh darah, maka pertimbangan penggunaan ablasi harus dilakukan agar panas
tidak terlalu menyebar dalam. Jika yang digunakan adalah metode eksisi, diseksi dengan hati-hati
harus dilakukan agar jaringan sekitar yang sehat tidak terpengaruh.

Endometrioma ovarium memiliki variasi penyakit yang berbeda dan membutuhkan


pendekatan berbeda pula terkait pengangkatan lesi. Endometrioma terdiri dari debris menstruasi
terkapsulasi dalam jaringan ovarium sehingga menciptakan suatu pseudokista. Struktur seperti
kista ini tidak memiliki dinding epitel sejati yang terlihat pada kista ovarium biasa. Tidak seperti
implan endometrium yang harus didiagnosis melalui visualisasi langsung melalui laparoskopi,
endometrioma dapat divisualisasi dengan USG transabdominal dan transvaginal; dengan
sensitivitas dan spesifisitas untuk kista ovarium adalah sebesar 83% dan 89%, berturut.

Berdasarkan keparahan gejala dan ukuran endometrioima, keputusan bedah reseksi


dibuat. Endometrioma besar lebih dari 5 cm memiliki risiko lebih tinggi mengalami torsio
ovarium. Teknik bedah laparoskopi untuk endometrioma melibatkan drainase kista, eksisi
(teknik stripping), fulgurasi atau ablasi dinding kista. Drainase itu sendiri tidak lagi
direkomendasikan sebagai modalitas tatalaksana karena tingginya prevalensi rekurensi, dengan
4% rekurensi pada eksisi vs 84% rekurensi pada drainase. Dinding kista lebih dipilih untuk
dilakukan fenestrasi dan ablasi karena rendahnya risiko reoperasi dengan eksisi. Angka reoperasi
dengan ablasi adalah 57.8% sedangkan dengan eksisi adalah 23.5%. Eksisi juga menurunkan
keluhan dismenorea, dispareunia, dan nyeri pelvis non siklik paska operasi.

2.5.5. Prospek Teraupetik Di Masa Depan


Pendekatan terapi bedah dan medis untuk endometriosis tidak efektif untuk beberapa
wanita, dan jika pun efektif mungkin berkaitan dengan komplikasi dan morbiditas tertentu.
Selain itu, terapi hormonal dikontraindikasikan untuk wanita dengan endometriosis yang ingin
hamil. Sehingga pendekatan terapeutik non hormonal yang menargetkan subfenotip
endometriosis diperlukan. Saat ini, terdapat 15 penelitian klinis yang berfokus pada terapi non
hormonal.

Selanjutnya, pemahaman terkait cross-organ dan sensitisisasi sentral pada endometriosis,


serta diferensiasi klinis antara karakteristik nyeri, akan menggiring terapi menjauhi pendekatan
berbasis lesi dan menyediakan terapi spektrum luas. Penghambatan reseptor nyeri tertarget,
seperti vanilloid receptor subtypes (transient receptor potential vanilloid [TRPV]) dan N-
methyld- aspartate (NMDA) glutamate receptors, serta aktivasi cannabinoid receptors (CB1R
dan CB2R) merupakan pendekatan terbaru yang saat ini diteliti. Pilihan non-farmakotik termasuk
akupuntur, penggunaan toksin botulinum lokal, dapat menurunkan komponen muskuloskeletal
dalam nyeri pelvis. Perubahan diet dapat mempengaruhi gejala melalui efek anti inflamasi dan
berkontribusi baik terhadap mikrobioma usus. Terakhir, eksplorasi nyeri yang tumpang tindih
dengan kondisi kesehatan mental dapat menuntun tatalaksana individual yang lebih tepat.

Anda mungkin juga menyukai