Bab 2
Bab 2
Insidensi bervariasi sedikit selama periode 16 tahun penelitian (Gambar 2.2), meskipun
terdapat sedikit peningkatan persentasi tahunan, namun peningkatan ini bersifat signifikan yakni
sebesar 1.6% (95% CI 1.1– 2.2%; P < 0.001). Pada 2015, angka insidensi ditemukan tertinggi
pada wanita berusia 25-39 tahun, khususnya pada kelompok pasien usia 25-29 dan 35-39 tahun.
Gambar 2.1
Gambar 2.
2.3 Patogenesis Endometriosis
2.3.1 Imunologi Endometriosis4
Salah satu penyebab endometriosis yang mungkin adalah perubahan reaksi imun. Pada
teori ini, sel endometrium yang tumbuh di rongga pelvis harus dihancurkan oleh reaksi dan sel
imun, namun pada endometriosis sel-sel ini dibiarkan melakukan penetrasi dan proliferasi. Pada
rongga peritoneal, sel imun dapat “kewalahan” (akibat banyaknya jumlah jarinigan endometrium
yang berpindah) atau mengalami disfungsional, yang pada akhirnya menyebabkan jaringan ini
berproliferasi dan membentuk lesi. Perubahan pada imunitas dimediasi sel dan imunitas humoral
berkontribusi terhadap patogenesis endometriosis. Dasar fungsi immunologis, khususnya
imunitas non spesifik, biasanya tidak mengalami perubahan pada pasien endometriosis. Di sisi
lain, bagian lain reaksi imun mengalami perubahan. Selain itu, kerusakan langsung sistem imun
oleh iradiasi mengakibatkan peningkatan prevalensi dan keparahan endometriosis. Hal ini
mengusulkan bahwa sistem imun normal berperan signifikan dalam penghambatan
perkembangan endometriosis. Sel-sel pada rongga peritoneum dapat menginisiasi respon
inflamasi, membantu vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Inflamasi
alami yang persisten dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan endometrium pada awal-awal
perkembangan penyakit, namun akhirnya menyebabkan masalah lain; hal ini termsauk masalah
endokrin, autoimun, alergi, irritable bowel syndrome.
Makrofag
Makrofag menggambarkan sel pertahanan tumbuh primer pada tumbuh manusia. Ketika
makrofag menetap di rongga peritoneum, peran pertahanan imunnya berupa fagositosis debris sel
dan mendukung sekresi sitokin. Fagositosis diregulasi oleh aktivasi matrix metalloproteinase dan
ekspresi reseptor CD36. Ekspresi komponen ini mengalami penurunan pada endometriosis, yang
terutama disebabkan oleh perubahan kadar prostaglandin E2. Perekrutan makrofag dapat menjadi
mekanisme dasar patogenesis endometriosis. Karena CD36 dan matrix metalloproteinases sangat
terlibat dalam pembersihan debris sel, penurunan kadar keduanya berpengaruh secara signifikan
terhadap perkembangan endometriosis.
Makrofag merupakan sel imun primer yang ada di dalam rongga peritoneum, tidak heran
jika pasien dengan endometriosis mengalami peningkatan jumlah dan produknya. Peningkatan
ini diakibatkan oleh tinggnya influx karena aktivitasnya dihambat dan tidak distimulasi. Di sisi
lain, beberapa penelitian menemukan fase aktivasi monosit dan makrofag. Pada onset inflamasi
akut yang diinisiasi oleh makrofag, mediator inflamasi disekresi dan bertanggung jawab terhadap
perubahan aliran darah dan untuk transfer sel dari pembuluh darah ke jaringan.
Limfosit
Saat ini, perhatian lebih diarahkan ke peran sel T anti inflamasi yang disebut Treg. Dalam
pertumbuhan endometriosis mungkin terdapat gangguan pada rasio Th17 dan populasi Treg.
Khususnya pada keadaan kadar estradiol yang tinggi, seperti dalam keadaan endometriosis, dapat
menyebabkan ekspansi dan aktivasi Treg dan menyebabkan penurunan pertahanan imun lokal.
Penelitian menunjukkan bahwa Treg konsentrasi lebih tinggi ditemukan pada cairan peritoneum
dan lesi endometrial. Namun, tidak ditemukan apakah terdapat keterlibatan Treg. Melimpahnya
jumlah Treg dapat menggambarkan penurunan fenotip endometrium responsive progesterone
yang berkaitan dengan endometriosis. Beberapa penulis mengusulkan peran reaksi imun
dominasi Th2 dan Treg pada perkembangan endometriosis. Lagi-lagi, hal ini kekurangan bukti.
Penelitian terakhir menemukan kemungkinan keterlibatan aksis estrogen-IDO1-MRC2 dalam
diferensiasi dan fungsi Treg.
Observasi dilakukan dan terfokus pada mekanisme yang berpotensi memungkinkan
fragmen endometrium menghindari sistem imun. Observasi ini menemukan bahwa ada
kemungkinan keterlibatan jalur LFA- 1-ICAM-1. Pada wanita sehat, limfosit LFA-1-positif
melekat pada sel endometrium ICAM-1+ dan menawarkan sel NK sebagai target. Pada wanita
dengan endometriosis, ICAM-1 terlarut yang disekresi dari lesi endometriosis berkompetisi
dengan LFA-1 dan selanjutnya memblokir jalur penghancuran dimediasi sel NK. Subset lain
yang berpotensi adalah sel Th17, yang baru-baru ini ditemukan terlibat dalam endometriosis.
Sebuah penelitian menunjukkan adanya sel Th2 dan sel Th17 pada jaringan endometriotik dan
menemukan berbagai efek IL-4 dan IL-17A, yakni sitokin yang dihasilkan dari sel Th. IL-17A
juga meningkatkan sekresi CCL20, sebuah kemokin sel Th17 dari sel endometrium. Hal ini
terlihat dapat menginduksi migrasi sel Th17 ke jaringan endometriotik dan selanjutnya
meningkatkan efek IL-17A. TNF-α bersamaan dengan IL-17A secara sinergis meningkatkan
sekresi IL-8 dan CCL-20. Hal ini mengusulkan adanya kerja sama inflamasi dan respon imun
Th17.
Kepentingan sel Th17 selanjutnya ditunjukkan oleh temuan bahwa adanya peningkatan
persentase sel ini di cairan peritoneum yang kadarnya berhubungan dengan keparahan
endometriosis. Sehingga menargetkan sel ini dapat dijadikan metode baru yang mempengaruhi
proliferasi jaringan ektopik atau manifestasi klinis endometriosis. Selanjutnya, sel Th17 juga
memproduksi respon inflamasi yang menghambat IL-10 (penting untuk endometriosis) karena
sel penghasil IL-10 meningkat bersamaan dengan peningkatan kadar IL-27, IL-6, dan TGF-β.
Mungkin bahwa produksi IL-10 oleh sel Th17 dipengaruhi oleh makrofag dan sel stroma
endometrium penghasil IL-27. Jika terkonfirmasi, IL-27 dapat menjadi target terapeutik di masa
depan.
Selain itu, limfosit T CD8+ sitotoksik juga terlibat. Penelitian klinis menunjukkan adanya
peningkatan kadar sel ini pada dan endometriosis, khususnya pada fase luteal. Peneliti percaya
bahwa perubahan ini diakibatkan oleh perubahan respon imun.
Sel NK
Sel NK merupakan limfosit granular besar yang menggambarkan sekitar 10% limfosit
darah perifer dan merupakan komponen imun bawaah penting. Sel endometrium memiliki
kemiriapn dengan sel kanker terkait kemampuannya melekat, menginfiltrasi dan berproliferasi
pada lokasi ektopik; karenanya sel NK sering diusulkan terlibat. Peningkatan sel NK KIR+ pada
darah perifer menggambarkan faktor risiko endometriosis. Peningkatan jumlah dan aktivasi
makrofag peritoneum, dan penurunan sel T serta penurunan efek sitotoksik sel NK diamati dalam
endometriosis; hal ini menggambarkan adanya perubahan dalam imunitas seluler. Perubahan ini
dapat menyebabkan penghancuran sel endometrium ektopik yang inadekuat dari rongga
peritoneum. Sel NK juga diusulkan sebagai pemeran utama dalam endometriosis. Sel NK
teraktivasi dapat migrasi dan menginfiltrasi lesi endometriotik, mengusulkan penggunannya
dalam terapi ini.
Pada wanita dengan endometriosis, enzim aromatase ditemukan baik pada jaringan
endometriotik dan endometrium eutopik. Selain itu, pada endometriosis aksi protektif 17β-
hydroxysteroid dehydrogenase (17β-HSD) type 2 hilang akibat defisiensi enzimatik. 17β-HSD
menurunkan kadar 17β-estradiol, mengubahnya menjadi estrone yang lebih lemah, sehingga
memodulasi paparan aksi estrogen. Produksi lokal estrogen dan hilangnya mekanisme protektif
ini menentukan kadar estradiol yang lebih tinggi mengkarakterisasi endometriosis dan
endometrium eutopik – yang ditampilkan oleh tingginya kadar estradiol pada menstruasi wanita
dengan endometriosis dibandingkan kontrol. Selain itu, peningkatan produksi estrogen pada lesi
endometriotik dan endometrium eutopik menentukan umpan balik positif yang menyebabkan
produksi estrogen lebih tinggi melalui induksi enzim COX-2. Selanjutnya peningkatan kadar
prostaglandin E2 menstimulasi aktivitasi aromatase.
Produksi lokal estrogen dilaporkan berasal dari aktivasi mekanisme tissue injury and
repair (TIAR) yang diinduksi oleh mikrotrauma pada level lapisan endometrium basal. Lapisan
endometrium basal memiliki karakteristik stem cell dan menunjukkan potensi dislokasi dan
proliferasi, yang dilaporkan meningkat pada wanita dengan endometriosis. Fragmen basal
endometrium terdislokasi ke rongga peritoneum sehingga dapta menginduksi inflamasi kronis
dan mekanisme TIAR, mengaktivasi produksi lokal estrogen, proliferasi dan pertumbuhan
infiltratif yang menghasilkan endometriosis. Lingkungan mikro estrogenik dilaporkan dapat
mengaktivasi makrofag ke dalam peritoneum dengan sekresi sitokin proinflamatori seperti TNF-
α dan IL-1β yang menstimulasi aktivasi NFkB. Selain itu, mekanisme ini menginduksi ekspresi
vascular endothelial growth factor (VEGF), aktivasi siklus sel, dan aktivasi gen anti apoptotik
Bcl-2 (Gambar 2.1).
Gambar 2.1.
Ringkasan mekanisme yang mendasari peran kunci estrogen dalam patogenesis endometriosis.
Tissue injury and repair (TIAR); Tumor necrosis factor (TNF); Interleukins (IL); Vascular
endothelial growth factor (VEGF); Antiapoptotic protein B cell lymphoma 2 (Bcl-2); 17β-
hydroxysteroid dehydrogenase (17β-HSD).
Mekanisme sinergis dari produksi estrogen dan ekspresi ER yang berlebihan ini adalah
munculnya resistensi progesteron pada jaringan endometriotik, yang menghambat modulasi gen
terlibat dalam desidualisasi, regulasi siklus sel, dan inhibisi respon estrogen. Resistensi
progesteron merupakan karakteristik jaringan endometriotik. Mekanisme utama yang terlibat
adalah adanya penurunan reseptor progesteron pada jaringan ektopik. Terdapat banyak jalur yang
berpotensi menyebabkan supresi PR. Konsentrasi sitokin pro inflamasi, seperti TNF-α dan IL-1β
terlibat dalam inflamasi kronik dan mekanisme TIAR, dan dilaporkan secara langsung
berkorelasi dengan ekspresi PR. Aktivasi jalur NFkB oleh pensinyalan inflamasi menentukan
interaksi langsung dengan PR melalui efek antagonis. Fosforilasi AKT yang persisten akibat
inflamasi juga terlibat dalam inhibisi ekspresi PR.
Implan endometrium biasanya dikelilingi oleh serabut saraf yang dilingkupi oleh
pembuluh darah baru. Luasnya sensitisisai ini dimodulasi secara dinamik oleh estradiol dan
sitokin. Sitokin, interleukin, dan faktor pertumbuhan mengalami peningkatan pda cairan
peritoneum wanita dengan endometriosis (NGF, VEGF, BDNF). Molekul ini menurunkan
ambang dan mengeksitasi serabut saraf sensori terminal, sehingga menimbulkan stimulsu nyeri.
Serabut saraf implan endometriotik dapat mencapai spinal cord dan masuk pada dorsal root
ganglion (DRG) yang sama dari organ pelvis lain. Sensitisasi silang ini yang juga dapat terjadi di
perifer dapat menjelaskan adanya komorbiditas endometriosis dengan penyakit lain, seperti
irritable bowel syndrome. Selain itu, aktivasi mikroglia spinal dapat menjaga stimulus nyeri.
Banyak faktor mempengaruhi bagaimana otak memproses nyeri (psikologis, kortisol,dll)
sehingga nyeri yang dirasakan berbeda-beda tiap individu. Penelitian terbaru pada neuroimaging
menunjukkan bahwa modifikasi pada regio sistem saraf pusat tertentu, yakni Q5 dan PAG secara
signifikan berhubungan dengan nyeri endometriosis.
Gambar 1.2 Ilustrasi berbagai faktor berbeda yang penting dalam timbulnya nyeri endometriosis,
baik pada level sistemik maupun perifer.
Inflamasi kronik yang terjadi pada endometriosis dapat mengganggu fertilitas dengan
beberapa jalur. Peningkatan konsentrasi interleukin (IL-1b, IL-8, IL-10) dan tumor necrosis
factor-a pada folikel yang berdekatan dengan endometrioma berhubungan dengan penurunan
respon ovarium. Kadar IL-6 pada cairan peritoneum wanita dengan endometriosis mengalami
peningkatan dan sitokin ini dapat menghambat motiltias sperma, dan mediator inflamasi cairan
peritoneum juga dapat berkontribusi terhadap kerusakan DNA sperma. Selain itui, stres oksidatif,
prostaglandin, dan sitokin dapat merusak interaksi oosit-sperma, mengganggu perkembangan
embrio, dan menghalangi implantasi.
Sekresi progesteron normal dan responsivitas endometrium selama fase luteal penting
untuk transisi endometrium dari fase proliferatif menuju sekretori dan fase penerimaan. Pada
endometriosis, adanya penurunan ekspresi reseptor progesteron dalam endometrium dapat
menyebabkan resistensi progesteron. Selanjutnya, progesterone memicu ekspresi 17b-
hydroxysteroid dehydrogenase type 2 (HSD17B2), yang memetabolisme estradiol poten menjadi
estrone yang kurang poten. Pada wanita dengan endometriosis dan resistensi progesteron, fungsi
endometrium dapat terganggu akibat peningkatan bioaktivitas estrogen akibat hilangnya aktivitas
HSD17B2. Sehingga peningkatan milieu estrogenik dapat memicu respon inflamasi pada
jaringan endometriotik, yang ditandai dengan tingginya kadar sitokin inflamasi.
Penelitian terbaru melaporkan bahwa donasi oosit pada pasien yang menerima oosit dari
donor dengan endometriosis mengalami implantasi dan angka kehamilan yang lebih rendah,
sedangkan status resepien tidak mempengaruhi luaran klinis terapi. Hal ini mengusulkan bahwa
potensi penurunan fertilitas pada wanita dengan endometriosis mungkin dikarenakan adanya
penurunan kualitas oosit dan bukan karena ada defek endometrium. Meski demikina, kadar
antibodi anti endometrium juga meningkat di serum wanita dengan endometriosis, dan
pengikatan antibodi ini terhadap antigen endometrium dapat menyebabkan kegagalan implantasi.
2.4 Diagnosis Endometriosis
Diagnosis pasien yang dicurigai endometriosis adalah berdasarkan anamnesis riwayat
gejala, pemeriksaan klinis, dan teknik pencitraan. Diagnosis definitif endometriosis hanya dapat
ditentukan melalui histologi lesi yang diambil saat bedah; namun temuan histologi negatif juga
tidak mengekslusi diagnosis.
Wanita yang mendapatkan hasil laparoskopi negatif secara akurat dapat diyakinkan untuk
tidak perlu melakukan pemeriksaan tambahan. Namun, kualitas temuan laparoskopi negatif dan
positif ini sangat bergantung pada kemampuan ahli bedah melakukan laparoskopi. Pengalaman,
keterampilan dan pengetahuan ahli bedah sangat menentukan apakah endometriosis akan
didiagnosis jika ditemukan. Endometriosis terlokalisir yang berada di retroperitoneal dan vaginal
dapat dengan mudah terlewatkan khususnya jika pasien tidak dianamnesis dan dilakukan
pemeriksaan fisik preoperatif yang menyeluruh. Kualitas laparoskopi yang baik harus
menyertakan pemeriksaan sistematik berupa:10
Selain itu, harus dilakukan juga pemeriksaan spekulum dan palpasi vagina serta servix
dengan kontrol laparoskopi untuk memeriksa nodul yang seakan-akan “tenggelam”. Kualitas
laparoskopi yang baik hanya dapat dilakukan setidaknya menggunakan minimal satu port
sekunder untuk membersihkan pelvis dari obstruksi lipatan usus, atau untuk menyedot cairan
sehingga memastikan keseluruhan cavum douglas terinspeksi.10
Keterbatasan nilai histologi yang negatif juga mungkin sebagian disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan dokter atau kualitas prosedur yang buruk, sehingga menyebabkan
sampel rusak, atau berasal dari lokasi yang salah. Pemeriksaan klinis preoperatif yang sesuai
dapat mencegah dokter terlalu overlooking terhadap lesi deep endometriosis diluar rongga
peritoneum atau lesi retroperitoneal. Sehingga diusulkan untuk memeriksa ureter, kandung
kemih, atau usus hanya jika terdapat pencitraan tambahan atau kecurigaan klinis adanya lesi deep
endometriosis di lokasi tersebut.10
Terdapat bukti yang masih kurang yang mendukung penggunaan magnetic resonance
imaging (MRI) sebagai alat diagnosis endometriosis peritoneum. Namun, MRI dapat bermnafaat
untuk mengetahui perluasan penyakit pada wanita dengan deep endometriosis.9
Kadar cancer antigen (CA)-125 juga dapat meningkat pada wanita dengan endometriosis.
Namun, kadar CA-125 pada plasma, urin, atau serum tidak seharusnya digunakan untuk
menegakkan endometriosis karena memiliki potensi yang rendah dengan sensitivitas kecil (28%)
dan spesifisitas 90%. Beberapa penelitian juga telah dilakukan untuk mendapatkan biomarker
imunologis untuk endometriosis di dalam serum, plasma, urin, namun tidak membuahkan hasil.11
MiRNAs, yakni RNA non coding dengan ukuran 18-22 nukleotida, merupakan modulator
ekspresi gen. MiRNA berkontribusi terhadap patogenesis endometriosis dan infertilitas karena
berperan dalam angiogenesis dan inflamasi, diferensiasi dan invasi sel abnormal, dan sebagai
modulator ekspresi gen. Mereka menunjukkan stabilitas pada cairan biologis dan resisten
terhadap degradasi RNAse, sehingga mereka dapat bertindak sebagai pembawa pesan sel ke sel.
Kadar miRNA yang berbeda ditemukan baik itu mengalami peningkatan ataupun penurunan
pada endometriosis dibandingkan kontrol tanpa endometriosis dan mulai dijadikan sebagai
biomarker diagnosis endometriosis.12
2.5. Tatalaksana13
Dalam memilih tatalaksana endometriosis, penting untuk mempertimbangkan gejala
utama dan keinginan pasien, efek samping yang mungkin muncul, usia, lokasi dan perluasan lesi,
terapi sebelumnya, dan biaya yang dibutuhkan. Tatalaksana endometriosis (khususnya yang
melibatkan usus, kandung kemih, ureter atau struktur ekstrapelvis dan kasus-kasus dengan
keluhan nyeri yang tumpang tindih) memerlukan tim multidisiplin. Sekitar 50% wanita dengan
endometriosis mengalami rekurensi gejala dalam periode 5 tahun, tanpa memandang apapun
pendekatan terapinya.
Produksi aromatase lokal yang menghasilkan estradiol oleh lesi endometriotik telah
mengundang penggunaan inhibitor anromatase untuk wanita yang mengalami resistensi terapi
hormonal. Namun, penggunaan jangka panjang dilarang karena adanya komplikasi kehilangan
densitas tulang, efek samping vasomotor seperti flushing dan hot flashes, dan peningkatan angka
kehamilan ganda.
Prosedur bedah dapat dianggap dijadikan sebagai terapi konservatif atau definitif. Terapi
konseratif adalah terapi mempertahankan kesuburan, melibatkan ablasi atau eksisi implan
peritoneum, reseksi implan deep infiltrating dan pengangkatan endometrioma. Sedangkan terapi
bedah definitif adalah terapi histerektomi dengan atau tanpa ooforektomi, yang menghilangkan
kesuburan wanita. Karena endometriosis sendiri mengenai 5-10% wanita usia reproduktif, maka
banyak pula wanita yang menjalani terapi pembedahan. Penelitian menunjukkan bahwa
intervensi bedah untuk nyeri pelvis endometriosis secara signifikan mengurangi nyeri. Skor nyeri
dan kualitas hidup paska operatif secara signifikan membaik terkait dengan dismenore, nyeri
pelvis non menstruasi, dispareunia, dan diskezia selama waktu 5 tahun paska operasi. Meta
analisis terbaru secara signifikan mengungkapkan manfaat lebih bedah laparoskopi untuk terapi
nyeri endometriosis dibandingkan laparoskopi diagnostik tanpa terapi.
Kedalaman dan posisi invasi implan endometriotik secara besar mempengaruhi prosedur
operasi. Deeply infiltrating endometriosis (DIE) terdiri dari nodul endometriotik yang
menginvasi permukaan organ atau peritoneum sedalam lebih dari 5 mm. Tipe nyeri pelvis yang
dihasilkan berhubungan dengan lokasi DIE. Pasien dengan DIE cenderung lebih memiliki nyeri
pelvis kronik non siklik, yang mungkin paling terkait dengan infiltrasi serabut saraf
subperitoneal atau saraf viseral oleh implant. Reseksi atau ablasi sempurna lesi ini adalah hal
yang paling penting dalam terapi bedah endometriosis dan khususnya DIE. Hal yang dapat
dilakukan adalah reseksi peritoneum, ligamen uterosakral, vagina posterior, rektum anterior, dan
intestinu. Prosedur lain yang menggunakan kombinasi ablasi tradisional dan teknik reseksi
adalah laparoscopic uterine nerve ablation (LUNA) dan laparoscopic presacral neurectomy
(LPSN). Tambahan prosedur ini diperkirakan dapat meningkatkan penurunan keluhan nyeri
secara keseluruhan. LUNA didesain untuk dapat mengganggu serabut saraf eferen pada ligamen
uterosakral agar menurunkan nyeri uterus terkait dismenore. LPSN melibatkan interupsi terhadap
inervasi simpatetik terhadap uterus pada pleksus hipogastrik superior. Namun, review Cochrane
menunjukkan bahwa LUNA dan LPSN keduanya tidak mampu meningkatkan penurunan nyeri
jangka pendek dibandingkan laparoskopi konvensional. Penelitian terkontrol acak besar
membandingkan hasil bedah laparoskopi konservatif dengan bedah laparoskopi dengan LUNA
dan menemukan tidak adanya perbedaaan persentasi pasien yang mengalami rekurensi
dismenorea dalam satu dan tiga tahun paska bedah di kedua kelompok. LPSN ditemukan
memiliki beberapa manfaat pada penurunan nyeri jangka panjang hanya pada nyeri abdominal
midline. Terdapat peningkatan insidensi konstipasi paska operatif dan disfungsi urin akibat PSN.
Harus selalu dipertimbangkan juga bahwa LPSN memiliki prosedur yang lebih sulit dan risiko
perdarahan yanag lebih tinggi karena dikelilingi oleh pleksus vena, sehingga memerlukan dokter
bedah laparoskopi yang berpengalaman.
Ablasi laparoskopi atau reseksi implan endometrium harus dilakukan dengan hati-hati.
Adhesi sering muncul bersamaan dengan implan endometrium dan dapat mengganggu anatomi
normal serta visualisasi di kamar bedah. Beberapa penelitian mencoba membandingkan desikasi
atau ablasi suatu implan dibandingkan dengan reseksi laparoskopi; dua penelitian menunjukkan
tidak adanya perbedaan signifikan terkait skor nyeri paska operasi pada 6 – 12 bulan. Follow up
5 tahun membandingkan teknik eksisi versus ablasi juga tidak menemukan perbedaan signifikan
gejala dispareunia. Keputusan untuk memilih salah satu di antara teknik bergantung pada pilihan
dan kenyamanan dokter bedah. Sebelum pengangkatan atau desikasi implan, perlu mengetahui
struktur anatomi yang berdekatan dengan lesi secara menyeluruh. Jika implan berada di atas
ureter atau pembuluh darah, maka pertimbangan penggunaan ablasi harus dilakukan agar panas
tidak terlalu menyebar dalam. Jika yang digunakan adalah metode eksisi, diseksi dengan hati-hati
harus dilakukan agar jaringan sekitar yang sehat tidak terpengaruh.