Anda di halaman 1dari 47

Alinyemen

Horinsontal
Nika Devi P.W., S.T., M.T
Sub Pokok Bahasan
Pengertian Alinyemen
01 Horinsontal

02 Gaya-gaya berpengaruh

03 Superelevasi

Distribusi nilai superelevasi


04 dan koefisien gesekan
melintang
Pengertian Alinyemen
Horinsontal
 Alinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada
bidang horizontal.

 Alinyemen horizontal dikenal juga dengan nama “situasi


jalan” atau “trase jalan”.

 Garis lengkung tersebut dapat terdiri dari busur lingkaran


ditambah busur peralihan, busur peralihan saja ataupun
busur lingkaran saja.
Gaya Sentrifugal
 Gaya sentrifugal mendorong kendaraan secara radial keluar
dari lajur jalannya, berarah tegak lurus terhadap gaya
kecepatan V.
 Gaya ini menimbulkan rasa tidak nyaman pada si pengemudi.
 Gaya yang mengimbangi gaya sentrifugal tersebut dapat
berasal dari:
a) Gaya gesekan melintang antara ban kendaraan dengan
permukaan jalan.
b) Komponen berat kendaraan akibat kemiringan melintang
permukaan jalan.
Gaya sentrifugal (F) yang terjadi
F=m.a
Dimana :
m = massa = G/g
G = berat kendaraan
g = gaya gravitasi bumi
a = percepatan sentrifugal
= V2/R
V = kecepatan kendaraan
R = jari-jari leng lintasan
Dengan demikian
besarnya gaya sentrifugal
sebagai berikut:

2
GV
F
gR
Gaya gesekan melintang (Fs) antara ban
kendaraan dan permukaan jalan

 Gaya gekesan melintang (Fs) adalah besarnya gesekan yang


timbul antara ban dan permukaan jalan dalam arah melintang
jalan yang berfungsi untuk mengimbangi gaya sentrifugal.

 Besarnya koefisien gesekan melintang dipengaruhi oleh


beberapa faktor seperti jenis dan kondisi ban, tekanan ban,
kekasaran permukaan perkerasan, kecepatan kendaraan, dan
keadaan cuaca.
Korelasi antara koefisien gesekan melintang
maksimum dan kecepatan rencana (TEH’92)

Sumber : Traffic Engineering Handbook”, 1992,


4th Edition, Institute of Transportation
Engineers, Prentice Hall, Inc
Koefisien gesekan melintang maksimum
untuk desain (berdasarkan TEH’92 dalam
satuan SI).

Untuk kecepatan rencana < 80 km/jam berlaku f = -0,00065 V +


0,192 dan untuk kecepatan rencana antara 80 – 112 km/jam berlaku
f = -0,00125 V + 0,24
B.Komponen Berat Akibat Kemiringan
melintang permukaan pada lengkung
horizontal (superelevasi)

 Komponen berat kendaraan untuk mengimbangi gaya


sentrifugal diperoleh dengan membuat kemiringan
melintang jalan.
 Kemiringan melintang jalan pada lengkung horizontal
yang bertujuan untuk memperoleh komponen berat
kendaraan guna mengimbangi gaya sentrifugal
biasanya disebut superelevasi.
Superelevasi (lanjutan)
 Untuk daerah yang licin akibat sering turun hujan atau kabut sebaiknya
e maksimum 8%, dan di daerah perkotaan di mana sering kali terjadi
kemacetan dianjurkan menggunakan e maksimum 4-6%.
 Pada daerah persimpangan tempat pertemuan beberapa jalur jalan, e
maksimum yang dipergunakan sebaiknya rendah, bahkan dapat tanpa
superelevasi.
 AASHTO menganjurkan pemakaian beberapa nilai superelevasi
maksimum yaitu 0,04, 0,06, 0,08, 0,10 dan 0,12. Indonesia pada saat
ini umumnya mengambil nilai 0,08 dan 0,10.
 Bina Marga (luar kota) menganjurkan superelevasi maksimum 10%
untuk kecepatan rencana > 30 km/jam dan 8% untuk kecepatan
rencana 30 km/jam, sedangkan untuk jalan di dalam kota dapat
dipergunakan superelevasi maksimum 6%.
Rumus umum lengkung
horizontal
 Gaya-gaya yang bekerja digambarkan seperti pada gambar
berikut, yaitu gaya sentrifugal F, berat kendaraan G, dan
gaya gesekan antara ban dan permukaan jalan Fs.
Keterangan Perhitungan Gaya-gaya yang
bekerja pada lengkung horizontal

G V2
G sin   Fs  cos 
g R

 G V2  G V2
G sin   f  G cos   sin    cos 
 g R  g R
G V2
G sin   f G cos   cos  - f sin  
g R
sin  G V2
G f G 1 - f tg  
cos  g R
e  tg 
G V2
G ( e  f)  1 - ef 
g R
e  f V2

1 - ef g R
Rumus umum lengkung
horizontal (lanjutan)

 Karena nilai ef itu kecil, maka dapat


diabaikan, dengan demikian diperoleh
rumus umum untuk lengkung horizontal
sebagai berikut:
V2
e f 
gR
 Jika V dinyatakan dalam km/jam, g = 9,81
m/det2, dan R dalam m, maka dipeorleh :

V2
D

e f 
D

127 R
D
Rumus umum lengkung
horizontal (lanjutan)

 Derajat lengkung adalah besarnya sudut lengkung yang


menghasilkan panjang busur 25 m
 Semakin besar R semakin kecil D dan semakin tumpul
lengkung horizontal rencana.
 Sebaliknya semakin kecil R, semakin besar D dan
semakin tajam lengkung horizontal yang direncanakan.
Dengan demikian berarti :

25
D x360 0
2R

1432.39
D
R
Radius minimum atau derajat
lengkung maksimum
 Dari persamaan e + f = V2/127R terlihat bahwa besarnya
radius lengkung horizontal dipengaruhi oleh nilai e dan f
serta nilai kecepatan rencana yang ditetapkan.
 Berdasarkan pertimbangan peningkatan jalan dikemudian
hari sebaiknya dihindarkan merencanakan alinyemen
horizontal jalan dengan mempergunakan radius minimum
yang menghasilkan lengkung tertajam, karena menimbulkan
rasa tidak nyaman pada pengemudi yang bergerak dengan
kecepatan lebih tinggi dari kecepatan rencana.
Radius minimum atau derajat
lengkung maksimum (lanjutan)
 R minimum dapat ditentukan dengan
mempergunakan rumus tersebut di bawah ini:
V2
Rmin 
127(e maks  f maks)

Atau

181913,53(e maks  f maks)


Dmaks 
V2
Besarnya R minimum dan D maksimum untuk
beberapa kecepatan rencana dengan
mempergunakan persamaan R Minimum dan D
maksimum diatas
Kecepatan
e maks Rmin (perhitungan) Rmin desain D maks desain
Rencana f maks
m/m` m m (o)
km/jam

40 0,10 0,166 47,363 47 30,48


0,08 51,213 51 28,09
50 0,10 0,160 75,858 76 18,85
0,08 82,192 82 17,47
60 0,10 0,153 112,041 112 12,79
0,08 121,659 122 11,74
70 0,10 0,147 156,522 157 9,12
0,08 170,343 170 8,43
80 0,10 0,140 209,974 210 6,82
0,08 229,062 229 6,25
90 0,10 0,128 280,350 280 5,12
0,08 307,371 307 4,67
100 0,10 0,115 366,233 366 3,91
0,08 403,796 404 3,55
110 0,10 0,103 470,497 470 3,05
0,08 522,058 522 2,74
120 0,10 0,090 596,768 597 2,40
0,08 666,975 667 2,15
Hubungan antara nilai (e + f), kecepatan rencana,
radius lengkung, dan derajat lengkung
Hubungan antara nilai (e + f), kecepatan rencana,
radius lengkung, dan derajat lengkung

 Untuk satu kecepatan rencana


hubungan antara (e+f) dari radius
lengkung berupa garis lurus.
 Garis putus-putus menunjukkan batasan
untuk sebuah superelevasi maksimum,
tidak terdapat lagi lengkung horizontal
dengan radius lebih kecil dari batasan
tersebut.
Distribusi nilai superelevasi dan
koefisien gesekan melintang
(lanjutan)

Berarti :
 e+f= 0 -------------> jalan lurus, R tak
berhingga
 e + f = (e + f)maks, ---------> jalan pada
lengkung dengan R = Rmin
 Di antara kedua harga ekstrim itu nilai
superelevasi(e) dan koefisien gesekan (f)
terdistribusi menurut beberapa metode.
AASHTO’90 memberikan 5 metode distribusi
nilai e dan f

 Metode pertama
 Superelevasi berbanding lurus dengan derajat
lengkung, sehingga hubungan antara superelevasi
dan derajat lengkung berbentuk garis lurus( Gambar
1(a)).
 Karena rumus umum lengkung horizontal adalah e+f
= V2/127R, maka hubungan antara koefisien gesekan
melintang dan derajat lengkungpun akan berbentuk
garis lurus
 Bentuk hubungan garis lurus juga berlaku jika
peninjauan dilakukan untuk kecepatan jalan rata-rata
yang biasanya lebih rendah dari kecepatan rencana
(V jalan = + 80% - 90% kecepatan rencana) (Gambar
1 ©)
(a)

Gambar 1

Metode pendistribusion nilai e dan f


berdasarkan AASHTO’90 (contoh untuk
(b) kecepatan rencana 60 km/jam dan
emaks = 10%).

(c)
Metode Pertama
(a)

 Sebagai contoh diambil kecepatan


rencana 60 km/jam dan superelevasi
maksimum 10%. diperoleh f
maksimum = 0,153.
(b)  Titik A1 dan A2 diperoleh dengan
mempergunakan rumus sebagai
berikut:
V2
e maks  f maks 
127 R min
(c)
Metode Pertama (Contoh
(a)
Kasus)

 Diperoleh nilai R minimum = 115 m. Ini berarti


untuk kecepatan rencana 60 km/jam dan
superelevasi maksimum 10% lengkung
tertajam yang diperkenankan adalah lengkung
dengan radius = 115 m atau Dmaks = 12,780.
(b)  Jadi :
 A1 menunjukkan kondisi untuk e maks
= 0,10
• D maks = 12,780
 A2 menunjukkan kondisi untuk f maks
= 0,153
• D maks = 12,780
(c)  A1 diperoleh dengan mempergunakan
kecepatan rata-rata
Metode Pertama (Contoh
(a)
Kasus)

 V jalan (Vj) diambil = 54 km/jam, jadi


pada keadaan lengkung dengan R =
Rmin = 115 m, dan
 e = emaks = 0,10; f yang dibutuhkan
menjadi:
(b)  --------------> f = 0,10
 Berarti titik A3 menunjukkan kondisi
dengan
 e = e maks = 0,10
 D = D maks =12,780
 F = 0,10

(c)
Metode Pertama (Contoh
(a)
Kasus)
 Jika direncanakan lengkung horizontal dengan :
 Radius R = 239 m (D = 5,990), maka berdasarkan
metode pertama diperoleh superelevasi yang
dibutuhkan = (5,99/12,78). 0,10 = 0,047.
 Jadi untuk R = 239 m dibutuhkan e = 4,7% dan f =
0,072, jika kendaraan bergerak dengan kecepatan
(b) rencana dan e = 4,7% dan f = 0,049, jika
kendaraan bergerak pada kecepatan jalan.
 Radius R = 143 m (D = 100), maka berdasarkan
metode pertama dari Gambar (a) diperoleh
superelevasi yang dibutuhkan = (10/12,78). 0,10 =
0,078.
 Jadi untuk R = 143 m dibutuhkan e = 7,8% dan f =
0,120, jika kendaraan bergerak dengan kecepatan
rencana, dan e = 7,8% dan f = 0,083, jika
(c) kendaraan bergerak pada kecepatan jalan.
Metode Pertama

 Metode pertama ini logis dan sederhana, tetapi


sangat tergantung dari kemampuan pengemudi
dalam mempertahankan kecepatan yang
konstan baik di tikungan tajam, tidak begitu
tajam maupun di jalan lurus.
 Pada jalan-jalan dengan volume rendah
pengemudi cenderung memilih kecepatan lebih
besar di jalan lurus atau pada lengkung tumpul
dengan radius besar (D kecil), dan memilih
kecepatan lebih rendah di daerah lengkung
yang tajam dengan radius lebih kecil (D besar).
Metode Kedua
(a)

 Titik B1 dan B2 diperoleh dengan


mempergunakan rumus:
 f maks = V2/127 R dan e = 0
 Untuk contoh seperti pada metode
(b) pertama yaitu V rencana = 60
km/jam :
 f maks = 0,153, e = 0
(60) 2
R  185,27 m
127 . 0,153
D  7,730
(c)
Metode Kedua
(a)
 Berarti dari D = 00 sampai D = 7,730 superelevasi e = 0
dan f berubah dari f = 0 sampai f = fmaks, dan dari D =
7,73+ sampai D = 12,780, f = f maks dan e berubah dari e
= 0 sampai e = e maksimum.
 Jika kendaraan bergerak dengan kecepatan jalan rata-rata
yang lebih kecil dari kecepatan rencana (V jalan = 54
km/jam), maka akan diperoleh letak titik B3.
 Berarti:
(b)  B1, menunjukkan kondisi e = 0;
• D = 7,730
 B2, menunjukkan kondisi f = f maks = 0,153;
• D = Dmaks = 7,730
 B3, menunjukkan kondisi f = 0,124;

• D = 7,730
 B4, menunjukkan kondisi f = f maks = 0,153;
• D = 9,530
(c)
 B5, menunjukkan kondisi f = f maks = 0,153;
• D = Dmaks = 12,780
Metode Kedua
(a)

 Jika direncanakan lengkung horizontal dengan :


 Radius R = 239 m (D = 5,990), maka berdasarkan metode
kedua dari gambar (a) diperoleh superelevasi yang
dibutuhkan = 0%. Jadi untuk R = 239 m dibutuhkan e = 0%
dan f = 0,119 (Gambar (a) dan (b)), jika kendaraan bergerak
dengan kecepatan rencana e = 0% dan f = 0,096 (Gambar (a)
dan (c)), jika kendaraan bergerak pada kecepatan jalan.
 Radius R = 143 m (D = 100), maka berdasarkan metode
(b) kedua dari gambar (a) diperoleh superelevasi yang
dibutuhkan = (10-7,73)/(12/78-7,73) = e/0,10
 e = 0,045.
 Jadi untuk R = 143 m dibutuhkan e = 4,5% dan f = 0,153
(gambar 4.7a dan 4.7b), jika kendaraan bergerak dengan
kecepatan rencana dan e = 4,5% dan f = 0,153 (Gambar (a)
dan (c)), jika kendaraan bergerak pada kecepatan jalan.
 Untuk jalan-jalan di perkotaan di mana kecepatan rata-rata
lebih rendah, dan pembuatan superelevasi dibatasi oleh
kondisi lingkungan, maka metode kedua ini baik untuk
(c) dipergunakan.
Metode Ketiga
(a)

 Titik C1 dan C2 pada


gambar a dan b diperoleh
dengan e  V
maks
dan f = 0
2

127 R

 untuk contoh dengan V


(b)
rencana = 60 km/jam :
 e maks = 0,10 dan f = 0
 R = 283,46 m  D=
5,050

(c)
Metode Ketiga
(a)

 Berarti dari D = 00 sampai D =


5,050, koefisien gesek (f) = 0,
dan dari D = 5,050 sampai D =
12,780 nilai e = e maks dan f
bervariasi dari 0 sampai f = f
maks.
(b)
 Jika kendaraan bergerak
dengan kecepatan jalan rata-
rata, maka untuk kondisi titik C1
di mana telah direncanakan e =
e maks dan D = 5,050), akan
timbul f negatif.
 Dari contoh di atas :

e f 
2
(c) V
127 R
Metode Ketiga
(a)

 Kecepatan jalan rata-rata = 80 – 90%


V rencana (ambil 54 km/jam)
54 2
0,10  f 
127(283,46)
f  0,019
(b)

 C1 menunjukkan kondisi e=e


maks = 0,10
• D = 5,050
 C2 menunjukkan kondisi f=0
• D = 5,050
 C3 menunjukkan kondisi f=-
(c) 0,019
• D = 5,050
Metode Ketiga
(a)

 Jika direncanakan lengkung horizontal dengan :


 Radius R = 239 m (D = 5,990), maka berdasarkan
metode ketiga dari Gambar (a) diperoleh
superelevasi yang dibutuhkan = 10%.
 Jadi untuk R = 239 m dibutuhkan e = 10% dan f =
0,019 (gambar (a) dan (b)), jika kendaraan bergerak
dengan kecepatan rencana, dan e = 10% dan f = -
(b) 0,004 (Gambar (a) dan (c)), jika kendaraan
bergerak pada kecepatan jalan.
 Radius R = 143 m (D = 100), maka berdasarkan
metode ketiga dari gambar (a) diperoleh
superelevasi yang dibutuhkan = 10%.
 Jadi untuk R = 143 m dibutuhkan e = 10% dan f =
0,098 (Gambar (a) dan (b)), jika kendaraan
bergerak dengan kecepatan rencana, dan e = 10%
dan f = 0,060 (Gambar (a) dan (c)), jika kendaraan
bergerak pada kecepatan jalan.
(c)
Metode Ketiga

 Kendaraan bergerak dengan kecepatan rencana


maka gaya sentrifugal diimbangi langsung oleh
komponen berat kendaraan akibat superelevasi
sampai mencapai superelevasi maksimum. Ini
mengakibatkan tidak dibutuhkannya gaya gesek
(koefisien gesekan = 0).
 Tetapi jika kendaraan bergerak dengan kecepatan
jalan rata-rata, superelevasi yang telah ditetapkan
untuk keadaan kecepatan rencana akan
menghasilkan koefisien gesekan negatif pada
lengkung yang sangat tumpul (D = 00) sampai
lengkung dengan derajat kira-kira setengah derajat
lengkung maksimum.
Metode Keempat
(a)
 Metode keempat mengurangi
kelemahan-kelemahan dari metode
ketiga.
 Untuk contoh dengan V rencana = 60
km/jam :
 V jalan rata-rata = 54 km/jam (diambil
(b) ± 90% V rencana)
• F=0
V jalan rata  rata
emaks 
127 R

54 2
0,10 
127 R
(c)
Metode Keempat
(a)

 Jika kendaraan bergerak dengan


kecepatan rencana, maka:
60 2
0,10  f 
127  229,61
 f = 0,024
(b)  D1 menunjukkan kondisi e = e maks =
0,10
• D = 6,240
 D2 menunjukkan kondisi f = 0,024
• D = 6,240
 D3 menunjukkan kondisi e = e maks
= 0,10
• f=0
(c) • D = 6,240
Metode Keempat
(a)
 Jika direncakan lengkung horizontal dengan :
 Radius R = 239 m (D = 5,990), maka
berdasarkan metode keempat dari Gambar (a)
diperoleh superelevasi yang dibutuhkan =
(5,99/6,24). 0,10 = 0,096.
 Jadi untuk R = 239 m dibutuhkan e = 9,6% dan f
= 0,023 (Gambar (a) dan (b)), jika kendaraan
(b)
bergerak dengan kecepatan rencana, dan e =
9,6% dan f = 0 (Gambar (a) dan (c)), jika
kendaraan bergerak pada kecepatan jalan.
 Radius R = 143 m (D = 100), maka berdasarkan
metode keempat dari Gambar (a) diperoleh
superelevasi yang dibutuhkan = 10%.
 Jadi untuk R = 143 m dibutuhkan e = 10% dan f
= 0,098 (Gambar (a) dan (b)), jika kendaraan
(c) bergerak dengan kecepatan rencana, dan e =
10% dan f = 0,061 (Gambar (a) dan (c)), jika
kendaraan bergerak pada kecepatan jalan.
Metode Kelima
 Metode kelima merupakan metode antara metode
pertama dan keempat yang diperlihatkan sebagai garis
lengkung parabola tidak simetris.
 Bentuk parabola ini berlaku jika dipergunakan kecepatan
rencana maupun kecepatan jalan rata-rata.
 Metode ini paling umum dipergunakan, dan Indonesia
juga menggunakannya.

181913,53(e  f) K(e  f)
D 2

V V2
 Dimana K = konstanta = 181913,53
Gambar 2

Penurunan persamaan lengkung


parabola untuk metode kelima (contoh
kecepatan rencana 60 km/jam dan
emaks = 10%).
Metode Kelima
 Untuk titik D2 berlaku Dp = K(emaks + h)/V²
 Untuk titik D3 berlaku Dp = K(emaks)/Vj²
 Dimana:
 V = kecepatan rencana jalan
 Vj = kecepatan jalan rata-rata
 D pada titik D2 = Dp, dan pada titik D3 = Dp,
sehingga :
K (emaks ) K (emaks  h)

Vj 2 V2

 maka :
 h = emaks (V²/Vj²) – emaks
 tg1 = h/Dp, merupakan kelandaian
garis di sebelah kiri titik D2
 tg2 = (fmaks – h) / (Dmaks – Dp),
merupakan kelandaian garis di sebelah
kanan titik D2.
Metode Kelima
 Ordinat dari Mo pada lengkung gambar
penurunan persamaan lengkung parabola
 untuk metode kelima yang merupakan
tengah-tengah antara metode pertama dan
keempat, besarnya adalah:
a.b.(tg  2  tg  1)
Mo 
2(a  b)
 dimana :
 a = DP
 b = Dmaks – Dp
 a + b = Dmaks
Dp( Dmaks  Dp)(tg  2  tg  1)
Mo 
2 Dmaks
Metode Kelima
 Persamaan umum lengkung parabola
yaitu
 x2 
y   .Mo
 L
 Untuk lengkung di sebelah kiri Dp
 D  Dp
f1  Mo Dp
D
  2
 D tg  1

 Penurunan persamaan lengkung


parabola untuk metode kelima. Contoh
untuk kecepatan rencana 60 km/jam,
dan e maks = 10%.
 Untuk lengkung sebelah kanan Dp
 D > Dp
2
 Dmaks  D 2 
f 2  Mo   h  (D - Dp). tg  2

 Dmaks  Dp 
Metode Kelima
 Dari contoh metoda keempat diperoleh :
 Dp = 6,240
 h = 0,024
 fmaks = 0,153
 Dmaks = 12,780
 tg  1 = 0,024/6,24 = 0,00385

 tg 2 = (0,153 – 0,024)/(12,78 – 6,24) =


0,01972
 Mo = 6,24 . (12,78 – 6,24)(0,01972 –
0,00385)/(12,78)(2)
 Mo = 0,02535
 Persamaan lengkung di kiri Dp
 f1 = 0,02534 (D/6,24)2+ 0,00385
 Persamaan lengkung di kanan Dp
 f2 = 0,02534 {(12,78-D)/6.54)}2 + 0,024 + 0,01972
(D-6,24)
Metode Kelima
 Contoh penentuan titik-titik pada
lengkung parabola
 Untuk D = 5,990  fi =
0,02534 (5,99/6,24)2 + 0,00385 .
5,99 = 0,046
ei = 0,072
 Untuk D = 100  f2 =
0,02534{(12.78 – 10)/6,54)}2 +
0,024 + 0.01972 . (10 – 6,24)
= 0,103
e2 = 0,095
Perbandingan nilai e dan f untuk kelima
metode pendistribusian e dan D

Anda mungkin juga menyukai