OLEH :
1. Bayu Ardiansyah (2019C1A004)
2. Nur Amalia Rahmah (2019C1A001)
Amilopektin
Sumber Pati Amilosa(%)
(%)
Sagu 27 73
Jagung 28 72
Beras 17 83
Kentang 21 79
Gandum 28 82
Ubi Kayu 17 83
Sumber: Herlina dalam Noerdin (2004)
Pati jagung mempunyai ukuran granula yang cukup besar dan tidak homogen
yaitu 1-7 µm untuk yang kecil dan 15-20 µm untuk yang besar. Granula besar
berbentuk oval polihedral dengan diameter 6-30 µm. Granula pati yang lebih 11 kecil
akan memperlihatkan ketahanan yang lebih kecil terhadap perlakuan panas dan air
dibanding granula yang besar (Singh et al, 2005). Proses pembuatan pati meliputi
pemipilan biji, pencucian dan penyaringan kulit luar, penggilingan (diblender),
perendaman, penyaringan, pengendapan filtrat, dan pengeringan pati.
Bentuk dan ukuran granula pati jagung dipengaruhi oleh sifat biokimia
darikhloroplas atau amyloplasnya. Sifat birefringenceadalah sifat granula patiyang
Gambar 1. Granula pati jagung dan pati umbi lainnya (wordpress, 2011) 10 dapat
merefleksi cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskoppolarisasi membentuk
bidang berwarna biru dan kuning.French (1984) menyatakan, warna biru dan kuning
pada permukaangranula pati disebabkan oleh adanya perbedaan indeks refraktif yang
dipengaruhi oleh struktur molekuler amilosa dalam pati. Bentuk heliks dariamilosa
dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati.Bentuk granula
merupakan ciri khas dari masing-masing pati.
Juliano dan Kongseree (1968) mengemukakan bahwa tidak ada hubungan yang
nyata antara gelatinisasi dengan ukuran granula pati, tetapi suhu gelatinisasi
mempunyai hubungan dengan kekompakan granula, kadar amilosa, dan amilopektin.
Granulapati yang lebih kecil akan memperlihatkan ketahanan yang lebih kecil
terhadap perlakuan panas dan air dibanding granula yang besar.Pengamatan dengan
DSC (Differential Scanning Calorimeter) pada berbagai ukuran granula memperlihat
kannilai entalpi dan kisaran suhu gelatinisasi yang lebih rendah dari ukurangranula
yang lebih besar (Singh et al. 2005).
Bahan jumlah
Air 62,2 g
kalori 95,0 kkal
Protein 4,5 g
Lemak 0,2 g
Karbohidrat 23,1 g
Kalsium 26 g
Fospor 15 mg
Besi 1,4 mg
kalium 346 mg
Sumber : Syamsiah dan Tahudin, 2003
Bawang putih memiliki aktivitas melawan banyak bakteri gram negatif dan
bakteri gram positif. Beberapa bakteri yang telah diuji sensitivitasnya terhadap
bawang putih antara lain ialah Escherichia, Salmonella,Staphylococcus,
Streptococcus, Klebsiella, Proteus, Bacillus, Clostridium dan Mycobacterium
tuberculosis (Bayan, 2013).
Louis Pasteur merupakan orang pertama yang menemukan efek anti bakteri
dari jus bawang putih. Bawang putih dipercayai memiliki aktivitas antibakteri
berspektrum luas (Stavelikova, 2008). Kemampuan antibakteri ini diyakini
dikarenakan adanya zat aktif Allicin dalam bawang putih (Cai et al., 2007).
Kandungan Allicin yang terdapat pada bawang putih, bila bergabung dengan
enzim allinase akan bereaksi sebagai antibakteri. Karena kandungan ini terdapat
dalam bawang putih, telah dilaporkan bahwa bawang putih lebih efektif daripada
penisilin dan mempunyai efek yang baik etrhadap Streptococcus, Staphylococcus, dan
mikroorganisme yang berpengaruh dalam menyebabkan penyakit kolera, disentri dan
enteristis (Anonymous, 2004).
Allicin merupakan senyawa yang bersifat tidak stabil, senyawa ini dalam waktu
beberapa jam akan kembali dimetabolisme menjadi senyawa sulfur lain seperti
vinyldithiines dan Diallyl disulfide (Ajoene) yang juga memiliki daaya antibakteri
berspektrum luas, namun dengan aktivitas yang lebih kecil (Dusica, 2011).
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Edible coating merupakan lapisan tipis yang terbuat dari bahan yang dapat
dikonsumsi, yang diaplikasikan pada produk pangan secara langsung (permukaan
produk) yang memiliki fungsi sebagai penahan (barrier) dari perpindahan massa
seperti: uap air, O2, dan CO2. Edible coating dan edible film tidak mempunyai
perbedaan yang cukup jelas. Namun, perbedaanya yaitu pada edible coating dapat
langsung dibentuk pada permukaan produk, sedangkan pada edible film perlu
dibentuk terpisah, yang kemudian digunakan untuk membungkus produk (Krochta
dkk., 1994).
Fungsi dari edible coating sendiri adalah untuk membantu mempertahankan
integritas struktural dan mencegah hilangnya senyawasenyawa volatil penyebab
aroma khas pada bahan pangan tertentu. Edible coating berbahan dasar polisakarida
biasa diaplikasikan pada buah dan sayuran, dikarenakan edible coating mampu
bertindak sebagai membran permeabel selektif pada pertukaran gas O 2 dan CO2.
Kemampuan tersebut dapat memperpanjang masa simpan dari produk, dikarenakan
respirasi buah dan sayuran dapat berkurang (Krochta dkk., 1994).
DAFTAR PUSTAKA
Ansorenaa M. R., E. M. Norma, and I. R. Sara. 2011. Impact of Edible Coatings and
Mild Heat Shocks on Quality Of Minimally Processed Broccoli (Brassica oleracea
L.) During Refrigerated Storage. Postharvest Biol. and Technol. 59:53-63.
Baldwin E.A., M.O. Nisperos, X. Chen, and R.D. Hagenmaier. 1996. Improving
Storage Life of Cut Apple and Potato with Edible Coating. J. Postharvest Biol
Technol. 9:151-63.
Gennadios, A., A.H. Brandenburg, C. L. Weller, and R. F. Testin. 1990. Edible Films
and Coating from Wheat and Corn Proteins. J. Food Tech. 44(10):63.
Harris, H. 1999. Kajian Teknik Formulasi terhadap Karakteristik Edible Film dari Pati
Ubi Kayu, Aren, dan Sagu untuk Pengemas Produk Pangan Semibasah. Disertasi
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 130 Hlm.
IFST. 1999. Development and Use of Microbiological Criteria for Foods. London:
Institute of Food Science and Technology. pp. 76.
Krochta, J.M., E.A. Baldwin, and M. Nisperos-Carriedo. 2002. Edible Coatings and
Films to Improve Food Quality. CRC Press LLC. pp 379.
Santoso, B., D. Saputra, dan R. Pambayun. 2004. Kajian Teknologi Edible Coating dari
Pati dan Aplikasinya untuk Pengemas Primer Lempok Durian. J. Teknol. dan
Industri Pangan. 15(3):239-252.