Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

FISIOLOGI DAN TEKNOLOGI PASCA PANEN


“Penanangan Pasca Panen Coating”

OLEH :
1. Bayu Ardiansyah (2019C1A004)
2. Nur Amalia Rahmah (2019C1A001)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM
MATARAM, 2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penanganan pasca panen perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya penurunan
mutu dari bahan pangan. Kualitas dan kenampakan yang baik menentukan tingkat
penerimaan buah di pasaran (Siburian, 2015). Masyarakat lebih banyak mengkonsumsi
buah-buahan dalam bentuk segar tanpa proses pengolahan terlebih dahulu, salah satunya
adalah tomat. Buah ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat karena memiliki
kandungan polifenol, karotenoid yang dapat bertindak sebagai antioksidan (Eveline dkk.,
2014). Salah satu senyawa fitokimia yang banyak terdapat pada buah tomat adalah
likopen. Likopen akan semakin terakumulasi saat proses pematangan ditunjukkan
dengan perubahan warna yang semakin merah. Buah tomat termasuk dalam golongan
buah klimakterik karena masih mengalami lonjakan respirasi dan terjadi aktifitas
metabolisme setelah pemanenan sehingga buah tomat rentan mengalami perubahan
kualitas selama penyimpanan. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan
faktorfaktor yang dapat berperan untuk memperbaiki kualitas dan umur simpan
(Normasari dkk., 2002 dalam Siburian, 2015).
Salah satu cara untuk meminimalkan terjadinya perubahan kualitas buah tomat adalah
menggunakan metode pelapisan. Coating merupakan pemberian lapisan tipis pada
permukaan buah untuk menghambat terjadinya pertukaran gas, uap air, sehingga
perubahan kematangan dapat dihambat serta memberikan perlindungan terhadap
kerusakan mekanis buah (Kusuma, 2008 dalam Chrisy, 2014). Adanya pelapisan pada
tomat dapat berperan sebagai barrier untuk menghalangi terjadinya proses transpirasi,
sehingga penyusutan dan perubahan aktivitas antioksidan dalam tomat dapat
diminimalkan. Pelapisan dengan edible coating mulai banyak dikenal sebagai usaha
untuk meminimalkan terjadinya kerusakan pada produk, diantaranya bersumber dari
Aloe vera. Menurut penelitian Serrano et al. (2006) menunjukkan bahwa penggunaan
Aloe vera sebagai edible coating dapat menghambat perubahan aktivitas antioksidan
selama penyimpannan.
Aloe vera adalah tanaman yang berasal dari Afrika, namun tanaman ini dapat tumbuh
subur di Indonesia, khususnya di Kota Pontianak. Menurut BPS (Badan Pusat Statistik)
produksi Aloe vera pada tahun 2013 mengalami peningkatan dari 9.812.622 ton menjadi
10.599.502 ton. Pemanfaatan Aloe vera di Indonesia masih terbatas untuk produk
kecantikan, obat, makanan, dan minuman. Hal tersebut mendorong pemanfaatan Aloe
vera secara lebih luas. Adanya komponen-komponen aktif yang terkandung didalamnya
menjadikan Aloe vera dapat diaplikasikan sebagai pelapis alami untuk mempertahankan
kualitas tomat. Menurut Senan (2014) komponen kimia aktif yang terkandung di dalam
Aloe vera yaitu vitamin, mineral, polisakarida, lignin, saponin, asam salisilat dan asam
amino. Bahan pelapis pangan yang sering digunakan adalah lilin atau wax. Penggunaan
bahan untuk pelapisan tidak hanya terbatas dari wax yang berasal dari senyawa lipid
namun juga dapat dari komponen polisakarida yang dibuat dari gel Aloe vera.
Penggunaan gel Aloe vera lebih baik dibandingkan bahan pelapisan yang lainnya, karena
alami dan aman untuk produk pangan. Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu
dilakukan kajian lebih lanjut terhadap pengaruh penggunaan Aloe vera sebagai edible
coating pada buah tomat selama penyimpanan terhadap perubahan aktivitas antioksidan.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh edible coating Aloe Vera terhadap aktivitas antioksidan buah
tomat selama penyimpanan?
1.3. Tujuan
Mengetahui pengaruh edible coating Aloe vera terhadap aktivitas antioksidan dari
buah tomat selama penyimpanan.
1.4. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberi informasi tentang aktivitas antioksidan pada
buah tomat selama penyimpanan yang diberi coating gel Aloe vera, serta dapat
bermanfaat untuk mempertahankan kualitas buah tomat.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi, Jenis, dan Fungsi Edible Coating


Edible coating merupakan lapisan tipis yang terbuat dari bahan yang dapat
dikonsumsi, yang diaplikasikan pada produk pangan secara langsung (permukaan
produk) yang memiliki fungsi sebagai penahan (barrier) dari perpindahan massa
seperti: uap air, O2, dan CO2. Edible coating dan edible film tidak mempunyai
perbedaan yang cukup jelas. Namun, perbedaanya yaitu pada edible coating dapat
langsung dibentuk pada permukaan produk, sedangkan pada edible film perlu
dibentuk terpisah, yang kemudian digunakan untuk membungkus produk (Krochta
dkk., 1994).
Fungsi dari edible coating sendiri adalah untuk membantu mempertahankan
integritas struktural dan mencegah hilangnya senyawasenyawa volatil penyebab
aroma khas pada bahan pangan tertentu. Edible coating berbahan dasar polisakarida
biasa diaplikasikan pada buah dan sayuran, dikarenakan edible coating mampu
bertindak sebagai membran permeabel selektif pada pertukaran gas O 2 dan CO2.
Kemampuan tersebut dapat memperpanjang masa simpan dari produk, dikarenakan
respirasi buah dan sayuran dapat berkurang (Krochta dkk., 1994).
Menurut Ghasemzadeh dkk. (2008), penggunaan edible coating memberikan 4
keuntungan, yaitu:
 Tepat digunakan pada bahan atau produk pangan
 Mengurangi pencemaran lingkungan
 Berpengaruh besar terhadap komponen rasa
 Nilai gizi bertambah
Menurut Ghasemzadeh dkk. (2008) aplikasi edible coating atau edible film
dikelompokkan menjadi:
1) Kemasan primer dari produk pangan
Contoh penggunaannya pada: permen, sayuran, buah- buahan, sosis,
produk daging, dan produk hasil laut.
2) Penahan (barrier)
Contoh penggunaan edible film adalah sebagai berikut: Edible coating
yang terbuat dari zein (protein jagung) terdiri dari zein, minyak sayuran,
BHA, BHT, dan etil alkohol digunakan untuk produk-produk konfeksioneri,
seperti permen dan cokelat. Fry shield terdiri dari pektin, remahan roti, dan
kalsium, dapat digunakan untuk mengurangi lemak pada saat penggorengan,
seperti pada penggorengan french fries.
3) Pengikat (Binding)
Edible film dapat diaplikasikan pada produk snack atau crackers yang
diberi bumbu sebagai pengikat atau adesif bumbu agar bumbu dapat lebih
merekat pada produk. Pelapisan ini berguna untuk mengurangi lemak pada
bahan yang diberi penambahan dengan bumbu.
4) Pelapis (Glaze)
Edible film digunakan sebagai pelapis untuk meningkatkan
kenampakan dari produk-produk bakery, contohnya dengan mengganti
pelapis telur. Keuntungan dari pelapis ini yaitu dapat menghindari
kontaminasi mikrobia yang dapat terjadi karena pelapis menggunakan telur.
Edible coating juga banyak digunakan pada produk pangan sebelum dilakukan
perlakuan digoreng. Menurut Ghasemzadeh dkk. (2008), edible coating yang
digunakan dapat bermanfaat untuk melindungi nutrisi pada produk pangan, terkhusus
pada sayur dan buah, sehingga dapat memperpanjang daya tahan dari produk pangan.
Penggunaan edible coating sebelumnya digunakan sebagai komponen pelapis yang
digunakan sebagai pelindung sayur dan buah terhadap hilangnya air, O2, dan
komponen lain yang ada pada bahan pangan.
Bahan dasar pembentuk edible coating sangat mempengaruhi sifatsifatnya.
Edible coating dari hidrokoloid dapat bertahan terhadap gas O2 dan CO2,
meningkatkan kekuatan fisik, tetapi memiliki ketahanan terhadap uap air yang rendah
karena sifat hidrofiliknya (Wong dkk., 1994). Menurut Baldwin (1994) edible coating
yang berasal dari polisakarida lebih unggul dalam menahan perpindahan gas
dibandingkan dengan uap air.

2.2. Bahan – Bahan Pembuatan Edible


2.2.1. Karakteristik Pati Jagung
Jagung dapat digolongkan menjadi empat jenis berdasarkan sifat patinya yaitu
pati jagung normal mengandung 74-76% amilopektin dan 24-26% amilosa, jenis
pulut (waxy) mengandung 99% amilopektin, sedangkan jenis jagung amilomaize
hanya mengandung 20% amilopektin dan 80% amilosa dan jagung manis
mengandung sukrosa disamping pati (Nur, 2006).
Menurut Winarno (1980) pati terdiri atas dua fraksi yang dapat dipisahkan
oleh air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut
amilopektin.. Baik amilosa maupun amilopektin disusun oleh monomer α-D-glukosa
yang berikatan satu sama lain melalui ikatan glikosidik. Perbedaan antara amilosa
dan amilopektin terletak pada pembentukan percabangan pada struktur linearnya,
ukuran derajat polimerisasi, ukuran molekul dan pengaturan posisi pada granula pati.
Amilosa dan amilopektin berperan dalam menentukan karakteristik fisik, kimia dan
fungsional pati. Amilosa berkontribusi terhadap karakteristik gel karena kehadiran
amilosa berpengaruh terhadap pembentukan gel (Parker, 2003).
Pati jagung terdiri atas dua jenis polimer glukosa, yaitu amilosa dan
amilopektin. Amilosa merupakan rantai unit-unit D-glukosa yang panjang dan tidak
bercabang, digabungkan oleh ikatan α(1→4), sedangkan amilopektin strukturnya
bercabang. Ikatan glikosidik yang menggabungkan residu glukosa yang berdekatan
dalam rantai amilopektin adalah ikatan α(1→4), tetapi titik percabangan amilopektin
merupakan ikatan α(1→6). (Anonim, 2008). Kandungan amilosa dan amilopektin
dari berbagai sumber pati dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan amilosa dan amilopektin dari berbagai jenis pati.

Amilopektin
Sumber Pati Amilosa(%)
(%)
Sagu 27 73
Jagung 28 72
Beras 17 83
Kentang 21 79
Gandum 28 82
Ubi Kayu 17 83
Sumber: Herlina dalam Noerdin (2004)

Pati jagung mempunyai ukuran granula yang cukup besar dan tidak homogen
yaitu 1-7 µm untuk yang kecil dan 15-20 µm untuk yang besar. Granula besar
berbentuk oval polihedral dengan diameter 6-30 µm. Granula pati yang lebih 11 kecil
akan memperlihatkan ketahanan yang lebih kecil terhadap perlakuan panas dan air
dibanding granula yang besar (Singh et al, 2005). Proses pembuatan pati meliputi
pemipilan biji, pencucian dan penyaringan kulit luar, penggilingan (diblender),
perendaman, penyaringan, pengendapan filtrat, dan pengeringan pati.

Bentuk dan ukuran granula pati jagung dipengaruhi oleh sifat biokimia
darikhloroplas atau amyloplasnya. Sifat birefringenceadalah sifat granula patiyang
Gambar 1. Granula pati jagung dan pati umbi lainnya (wordpress, 2011) 10 dapat
merefleksi cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskoppolarisasi membentuk
bidang berwarna biru dan kuning.French (1984) menyatakan, warna biru dan kuning
pada permukaangranula pati disebabkan oleh adanya perbedaan indeks refraktif yang
dipengaruhi oleh struktur molekuler amilosa dalam pati. Bentuk heliks dariamilosa
dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati.Bentuk granula
merupakan ciri khas dari masing-masing pati.

Juliano dan Kongseree (1968) mengemukakan bahwa tidak ada hubungan yang
nyata antara gelatinisasi dengan ukuran granula pati, tetapi suhu gelatinisasi
mempunyai hubungan dengan kekompakan granula, kadar amilosa, dan amilopektin.
Granulapati yang lebih kecil akan memperlihatkan ketahanan yang lebih kecil
terhadap perlakuan panas dan air dibanding granula yang besar.Pengamatan dengan
DSC (Differential Scanning Calorimeter) pada berbagai ukuran granula memperlihat
kannilai entalpi dan kisaran suhu gelatinisasi yang lebih rendah dari ukurangranula
yang lebih besar (Singh et al. 2005).

2.2.2. Gliserol sebagai Plasticizer


Plasticizer merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam bahan pembentuk
edible film. Penggunaannya dapat meningkatkan fleksibilitas, menurunkan gaya
inter molekuler sepanjang rantai polimernya, sehingga film akan lentur ketika
dibengkokkan (Garcia, et al. dalam Rodriguez, et al. 2006). Damat (2008)
mengemukakan bahwa karakteristik fisik edible film dipengaruhi oleh jenis bahan
serta jenis dan konsentrasi plasticizer. Plasticizer dari golongan polihidrik alkohol
atau poliol diantaranya adalah gliserol dan sorbitol (Harris, 2001).
Komponen penyusun edible coating mempengaruhi secara langsung bentuk
morfologi maupun karakteristik pengemas yang dihasilkan. Komponen utama
penyusun edible coating dikelompokkan menjadi tiga, yaitu hidrokoloid, lipida dan
ko mpo sit. Bahan-bahan tambahan yang sering dijumpai dalam pembuatan edible
coatingadalah antimikrobia, antioksidan, flavour dan pewarna. (Julianti dan
Nurminah, 2007).
Penambahan plasticizer dapat menurunkan kekuatan intermolekuler dan
meningkatkan fleksibilitas film dan menurunkan sifat barrier film. Gliserol dan
sorbitol merupakan plasticizer yang efektif karena memiliki kemampuan untuk
mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekuler, plasticizer
ditambahkan pada pembuatan edible film untuk mengurangi kerapuhan,
meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan film terutama jika disimpan pada suhu
rendah (Sarah, 2008).
Plasticizer adalah bahan organik dengan berat molekul rendah yang
ditambahkan dengan maksud untuk memperlemah kekakuan dari polimer, sekaligus
meningkatkan flesibilitas dan sekstensibilitas polimer. Plasticizer larut 12 dalam
tiap-tiap rantai polimer sehingga akan mempermudah gerakan molekul polimer dan
bekerja menurunkan suhu transisi gelas (Tg), suhu kristalisasi atau suhu pelelehan
dari polimer. Pada daerah diatas Tg, bahan polimer menunjukkan sifat fisik dalam
keadaan lunak (soft) seperti karet, sebaliknya dibawah Tg polimer dalam keadaan
sangat stabil seperti gelas (Paramawati, 2001). Salah satu plasticizer yang dapat
digunakan dalampembuatan edible coating adalah gliserol. Penggunaan gliserol
yang terbaik pada pembuatan edible coating yaitu 10% b/v pati (Huri, dkk, 2014).
Menurut Gontard dkk (1993) dalam Budiman (2009), gliserol efektif
digunakan sebagai plasticizer pada hidrofilik film. Penambahan gliserol akan
menghasilkan film yang lebih fleksibel dan halus. Gliserol dapat meningkatkan
permeabilitas film terhadap uap air karena sifat gliserol yang hidrofilik. Gliserol
adalah alkohol terhidrik. Nama lain gliserol adalah gliserin atau 1,2,3-propanetriol
atau CH2 OH CH OH CH2OH. Gliserol tidak berwarna, tidak berbau, rasanya
manis, bentuknya liquid sirup, meleleh pada suhu 17,8oC, mendidih pada suhu
290oC dan larut dalam air dan etanol. Sifat gliserol higroskopis, seperti menyerap air
dari udara, sifat ini yang membuat gliserol digunakan pelembab pada kosmetik.
Gliserol terdapat dalam bentuk ester (gliserida) pada semua hewan, lemak nabati dan
minyak (Anonim, 2004).
Gliserol termasuk jenis plasticizer yang bersifat hidrofilik, menambah sifat
polar dan mudah larut dalam air (Huri dan Nisa, 2014).Gliserol yang diperoleh dari
hasil penyabunan lemak atau minyak adalah suatu zat cair yang tidak berwarna dan
mempunyai rasa yang agak manis, larut dalam air dan tidak larut dalam eter
(Poedjiadi, 2006).
2.2.3. Bawang putih sebagai bahan aktip
Bawang putih (Allium sativum) adalah herba semusim berumpun yang
mempunyai ketinggian sekitar 60 cm. Tanaman ini banyak ditanam di ladangladang di
daerah pegunungan yang cukup mendapat sinar matahari. Batangnya batang semu dan
berwarna hijau. Bagian bawahnya bersiung-siung, bergabung menjadi umbi besar
berwarna putih. Tiap siung terbungkus kulit tipis dan kalau diiris baunya sangat tajam.
Daunnya berbentuk pita (pipih memanjang), tepi rata, ujung runcing, beralur, panjang
60 cm dan lebar 1,5 cm. berakar serabut. bunganya berwarna putih, bertangkai
panjang dan bentuknya payung. B.
Tanaman bawang putih dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 700 - 1000
meter di atas permukaan laut. Suhu lingkungan yang paling sesuai adalah 15 – 25oC,
namun tanaman ini masih dapat tumbuh pada suhu 27 – 30oC. Tanaman ini
merupakan tanaman semusim, berbentuk rumput dengan tunas-tunas batang berubah
bentuk menjadi umbi kecil atau umbi lapis. Umbi pada bawang putih merupakan
batang semu yang berfungsi sebagai tempat penyimpan makanan cadangan dan berada
di atas discus. Umbi bawang putih terdiri dari beberapa siung. Siung-siung ini
dibungkus selaput tipis yang berlapis dan mengumpul, sehingga umbi seolah-olah
tampak besar. Bawang putih merupakan tanaman yang tumbuh tegak dengan tinggi
dapat mencapai 30-60 m dan membentuk rumpun sebagaimana warga kelompok
monokotil, sistem perakarannyaa tidak berupa akar tunggang, melainkan akar serabut
yang tidak panjang, dengan perakaran yang demikian bawang putih tidak tahan
terhadap kekeringan. Akar bawang putih mempunyai panjang maksimum sekitar 10
cm. Daunnya panjang, pipih dan agak melipat ke dalam arah membujur. Banyaknya
daun 7 – 10 helai per tanaman. 14 Kelopak-kelopak daunnya meskipun tipis tetapi
kuat dan membungkus kelopakkelopak daun di dalamnya yang lebih muda sehingga
membentuk batang semu. 5 Bagian dasar siung/umbi pada hakikatnya adalah batang
pokok tidak sempurna/rudimeter. Dari batang ini muncul akar-akar serabut
mempunyai akar pengisap makanan semata dan bukan pencari air dalam tanah.
Bawang putih memiliki setidaknya 33 komponen sulfur, beberapa enzim, 17
asam amino dan banyak mineral, contohnya selenium. Bawang putih memiliki
komponen sulfur yang lebih tinggi dibandingkan dengan spesies Allium lainnya.
Komponen sulfur inilah yang memberikan bau khas dan berbagai efek obat dari
bawang putih (Londhe, 2011). Komposisi kimia bwang putih tersaji pada Tabel 3.

Bahan jumlah
Air 62,2 g
kalori 95,0 kkal
Protein 4,5 g
Lemak 0,2 g
Karbohidrat 23,1 g
Kalsium 26 g
Fospor 15 mg
Besi 1,4 mg
kalium 346 mg
Sumber : Syamsiah dan Tahudin, 2003

Bawang putih memiliki aktivitas melawan banyak bakteri gram negatif dan
bakteri gram positif. Beberapa bakteri yang telah diuji sensitivitasnya terhadap
bawang putih antara lain ialah Escherichia, Salmonella,Staphylococcus,
Streptococcus, Klebsiella, Proteus, Bacillus, Clostridium dan Mycobacterium
tuberculosis (Bayan, 2013).

Louis Pasteur merupakan orang pertama yang menemukan efek anti bakteri
dari jus bawang putih. Bawang putih dipercayai memiliki aktivitas antibakteri
berspektrum luas (Stavelikova, 2008). Kemampuan antibakteri ini diyakini
dikarenakan adanya zat aktif Allicin dalam bawang putih (Cai et al., 2007).

Kemampuan bawang putih sebagai antibakteri juga didukung oleh penelitian


Yamada dan Azama (1977) yang menyatakan bahwa selain bersifat antibakteri,
bawang putih juga bersifat anti jamur. Kemampuan bawang putih ini 16 berasal dari
zat kimia yang terkandung di dalam umbi. Komponen kimia tersebut adalah Allicin.
Allicin berfungsi sebagai penghambat atau penghancur berbagai pertumbuhan jamur
dan bakteri (Anonymous, 2004).

Kandungan Allicin yang terdapat pada bawang putih, bila bergabung dengan
enzim allinase akan bereaksi sebagai antibakteri. Karena kandungan ini terdapat
dalam bawang putih, telah dilaporkan bahwa bawang putih lebih efektif daripada
penisilin dan mempunyai efek yang baik etrhadap Streptococcus, Staphylococcus, dan
mikroorganisme yang berpengaruh dalam menyebabkan penyakit kolera, disentri dan
enteristis (Anonymous, 2004).

Sivam (2001) mengemukakan pada pengujian invitro, allicin aktif menghambat


bakteri gram negatif anrtara lain E.coli, Proteus spp., Salmonella, Citrobacter,
Enterobacter,Pseudomonas, Klebsiella.. Bakteri gram positif Staphylococcus aureus,
Streptococcus pneumonie, Bacillus anthracis. Zat anti bakteri lain yang terdapat pada
bawang putih yaituflavonoid. Kegunaan flavonoid adalah sebagai antimikroba,
antivirusdan antijamur. Flavonoid mengandung senyawa fenol. Fenolmerupakan suatu
alkohol yang bersifat asam sehingga disebut jugaasam karbolat. Fenol memiliki
kemampuan untuk mendenaturasikanprotein dan merusak membran sel. Fenol
berikatan dengan proteinmelalui ikatan hidrogen sehingga mengakibatkan struktur
proteinmenjadi rusak. Sebagian besar struktur dinding sel dan membran selbakteri
mengandung protein dan lemak (Ary, 2007).

Allicin dalam menghambat pertumbuhan bakteri ialah dengan cara


menghambat secara total sintesis RNA bakteri. Walaupun sintesis DNA dan protein
juga mengalami penghambatan sebagian oleh Allicin, nampaknya RNA 17 bakteri
merupakan target utama Allicin (Deresse, 2010).

Allicin merupakan senyawa yang bersifat tidak stabil, senyawa ini dalam waktu
beberapa jam akan kembali dimetabolisme menjadi senyawa sulfur lain seperti
vinyldithiines dan Diallyl disulfide (Ajoene) yang juga memiliki daaya antibakteri
berspektrum luas, namun dengan aktivitas yang lebih kecil (Dusica, 2011).
BAB III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Edible coating merupakan lapisan tipis yang terbuat dari bahan yang dapat
dikonsumsi, yang diaplikasikan pada produk pangan secara langsung (permukaan
produk) yang memiliki fungsi sebagai penahan (barrier) dari perpindahan massa
seperti: uap air, O2, dan CO2. Edible coating dan edible film tidak mempunyai
perbedaan yang cukup jelas. Namun, perbedaanya yaitu pada edible coating dapat
langsung dibentuk pada permukaan produk, sedangkan pada edible film perlu
dibentuk terpisah, yang kemudian digunakan untuk membungkus produk (Krochta
dkk., 1994).
Fungsi dari edible coating sendiri adalah untuk membantu mempertahankan
integritas struktural dan mencegah hilangnya senyawasenyawa volatil penyebab
aroma khas pada bahan pangan tertentu. Edible coating berbahan dasar polisakarida
biasa diaplikasikan pada buah dan sayuran, dikarenakan edible coating mampu
bertindak sebagai membran permeabel selektif pada pertukaran gas O 2 dan CO2.
Kemampuan tersebut dapat memperpanjang masa simpan dari produk, dikarenakan
respirasi buah dan sayuran dapat berkurang (Krochta dkk., 1994).
DAFTAR PUSTAKA

Ansorenaa M. R., E. M. Norma, and I. R. Sara. 2011. Impact of Edible Coatings and
Mild Heat Shocks on Quality Of Minimally Processed Broccoli (Brassica oleracea
L.) During Refrigerated Storage. Postharvest Biol. and Technol. 59:53-63.

Baldwin E.A., M.O. Nisperos, X. Chen, and R.D. Hagenmaier. 1996. Improving
Storage Life of Cut Apple and Potato with Edible Coating. J. Postharvest Biol
Technol. 9:151-63.

Gennadios, A., A.H. Brandenburg, C. L. Weller, and R. F. Testin. 1990. Edible Films
and Coating from Wheat and Corn Proteins. J. Food Tech. 44(10):63.

Gonz´alez-Aguilar G.A., J. Celis, R.R. Sotelo-Mundo, L. de la Rosa, J. Rodrigo-Garcia,


and E. Alvarez-Parrilla. 2008. Physiological and Biochemical Changes of Different
Fresh-Cut Mango Cultivars Stored at 5ºC. Int. J. Food Sci Technol. 43:91-101.

Harris, H. 1999. Kajian Teknik Formulasi terhadap Karakteristik Edible Film dari Pati
Ubi Kayu, Aren, dan Sagu untuk Pengemas Produk Pangan Semibasah. Disertasi
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 130 Hlm.

IFST. 1999. Development and Use of Microbiological Criteria for Foods. London:
Institute of Food Science and Technology. pp. 76.

Kader, A.A. 1992. Postharvest Technology of Horticultural Crops. Second Ed.


University of California, Division of Agricultural and Natural Resources Publ. pp
296.

Krochta, J.M., E.A. Baldwin, and M. Nisperos-Carriedo. 2002. Edible Coatings and
Films to Improve Food Quality. CRC Press LLC. pp 379.
Santoso, B., D. Saputra, dan R. Pambayun. 2004. Kajian Teknologi Edible Coating dari
Pati dan Aplikasinya untuk Pengemas Primer Lempok Durian. J. Teknol. dan
Industri Pangan. 15(3):239-252.

Anda mungkin juga menyukai