Anda di halaman 1dari 24

Bagian Mba Anja

BAB 8
KRISIS, SITUASI PENUH TEKANAN, TRANSISI, DAN TRAUMA

Ada 2 pertanyaan mendasar yang dibahas pada bab ini: apakah klien ini perlu segera diberi
intervensi aktif untuk mencegahnya menyakiti diri sendiri atau orang lain, atau apakah
terapinya dapat diberikan sesuai dengan jadwal seperti biasa?

ada 5 hipotesis dalam rangka menguji permasalahan, yaitu:

CS 1 Emergency Klien memerlukan Contoh: membahayakan diri


penanganan sesegera dan orang lain, percobaan
mungkin bunuh diri, child/elder abuse,
medical illness, brain trauma.

CS 2 Situational Permasalahan dihasilkan


stressors oleh situasi yang penuh
tekanan dan sudah
teridentifikasi

CS 3 Developmental Klien dalam tahap peralihan Ada 4 fase dalam


transition tugas perkembangan perkembangan krisis:
1. peningkatan tensi dan
rasa tidak nyaman
2. unsuccessful coping
yang diikuti dengan
peningkatan stress dan
rasa tidak nyaman
3. peningkatan hal-hal
yang menyebabkan
emergensi, yang jika
tidak berhasil diatasi
akan mengakibatkan:
4. disorganisasi.
CS 4 Loss and Klien mengalami kehilangan CS4 dapat mengakibatkan
bereavement dan memerlukan bantuan munculnya hipotesis CS2
selama masa berduka atau dan CS3. Kematian pasangan
penyesuaian masa mengakibatkan klien
kehilangan. memasuki fase janda/duda.
Kematian anak menyebabkan
perubahan dalam keluarga.

CS 5 Trauma Klien mengalami trauma 1. trauma tidak sama dengan


stress.
2. trauma dapat
mengakibatkan PTSD.
3. trauma memiliki
spesifikasi sendiri,
sehingga penanganannya
juga beda.

CS 1 (EMERGENCY)

Definisi:
Klien menunjukkan suatu situasi emergensi: diperlukan tindakan segera.

Penjelasan:
Hipotesis ini harus selalu dipertimbangkan di sesi pertama karena konsekuensi negatif yang
parah untuk tidak mengambil tindakan. Ini berlaku untuk situasi ketika pasien harus dirawat di
rumah sakit, ketika dicurigai ada kondisi medis yang parah, atau ketika ada persyaratan hukum
untuk melaporkan pelecehan atau kekerasan. Ini juga cocok ketika klien akan mengambil
tindakan yang tidak dapat dibatalkan (irrevocable consequences).

Contoh area permasalahan:


resiko bunuh diri, perlu segera adanya evaluasi medis, perlu laporan ke pihak berwajib
(child/elder abuse), tidak mampu memenuhi kebutuhan atau perawatan pokok, mengarah pada
tindakan yang tidak bisa dibatalkan (irrevocable consequences).

Contoh ide treatment:


Pengambilan keputusan management emergency, mengambil tindakan yang berkaitan dengan
hukum dan etika, konsultasi, melibatkan anggota keluarga, menyediakan pelayanan RS jika
diperlukan, membuat rencana pemulihan.
Hipotesis emergency mengarahkan psikolog untuk mengambil tindakan cepat dengan
menggunakan model situasi krisis dan bukan pendekatan terapi pada umumnya dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. isu hukum dan etika
Praktisi psikolog harus memahami hukum yang berlaku di negaranya sehingga dapat
mengambil keputusan berkaitan dengan hukum tanpa mengesampingkan kerahasiaan dan
melewati batas kompetensinya.

b. konsultasi
jika situasi tampak sulit, segera konsultasi dengan pihak yang lebih ahli di bidangnya.

c. kapan hipotesis ini diberlakukan?


- ketika bahaya bagi diri sendiri
- bahaya bagi orang lain
- tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar
Oleh karena itu, lakukan hal berikut:
- asesmen kemungkinan bunuh diri:
o Sumber (internal : self-esteem, coping skill, physical and mental skill, dll,
eksternal: teman & keluarga, kondisi keuangan, tempat tinggal, religiusitas,
treatmen dengan terapis)
o riwayat rencana bunuh diri
o riwayat percobaan bunuh diri
o symptom (depresi, isolasi diri, self-esteem rendah, penggunaan obat
terlarang)
o stressor (kehilangan makna hidup dan kemampuan coping)
o gender (lelaki lebih sering mati daripada wanita yang hanya melakukan
percobaan)
o usia (wanita resiko tinggi usia 50an, lelaki 20an)
- resiko menyakiti orang lain
- screening kemungkinan kekerasan dilakukan orang dekat/keluarga
- small emergencies: biarkan klien tenang dulu, sebelum dia menentukan atau
mengambil keputusan.

d. rencana treatment
- management emergency
Psikolog memiliki 3 tugas: menyelenggarakan assessment hingga selesai, mengurangi
resiko klien dipindah ke bagian yang lebih emergensi seperti ke RSJ, menyediakan
perawatan yang bersifat berkelanjutan.
- use of judgement
“The right thing to do” tidak selamanya bersifat jelas, sesuai dengan hukum, aturan, dan
buku panduan. Banyak area abu-abu yang membutuhkan bahwa waktu dan tenaga.
Pengambilan keputusan mungkin berarti mengorbankan kenyamanan psikolog dan
hal-hal lain.
- jaga hubungan terapeutik
- kelola kemarahan klien
- kenali lingkungan anda
- mobile psychiatric emergency services
- penentuan dimasukkan ke RS

e. model pemulihan (recovery model)


Semua terapis harus memiliki pengetahuan tentang "Model Pemulihan," kadang-kadang
disebut "Perencanaan Kesehatan dan Pemulihan" (lihat situs web SAMHSA
www.samhsa.gov). Berikut adalah ide untuk agar klien tidak menjadi lebih parah dan masuk
kategori emergensi (Jacobson & Greenley, 2001):
- Pemberdayaan pasien: Meningkatkan pengetahuan, kepercayaan diri, ketersediaan
pilihan yang bermakna, dan kesadaran akan hak dan tanggung jawab.
- Pendekatan kolaboratif untuk pengambilan keputusan: Pengembangan rencana
pemulihan dan pengobatan; membantu pasien mengembangkan tujuan untuk
menemukan peran yang memuaskan di dunia; memiliki rencana jika mengalami
kambuh dan krisis.
- Menjamin akses dan koordinasi berbagai layanan: Klien mungkin memerlukan layanan
untuk meredakan gejala, pelatihan kerja, perumahan yang didukung, program
ketenagakerjaan, intervensi krisis, manajemen kasus, rehabilitasi, integrasi masyarakat,
sumber daya seni spiritual dan kreatif, dan pendidikan hak konsumen.
- Menantang stigma dan diskriminasi: Membantu mengembangkan identitas positif;
menghilangkan rasa malu dan menyalahkan dari diagnosis psikiatri; terhubung dengan
komunitas dan orang-orang dengan diagnosis yang sama yang telah mencapai
pemulihan.

f. klien bunuh diri


- Beritahu keluarga dan orang penting lainnya tentang ide bunuh diri. Minta mereka
untuk membentuk pengawasan bunuh diri 24 jam sampai krisis mereda.
- Bantu klien dalam mengembangkan kesadaran akan pesan kognitifnya yang
memperkuat keputusasaan dan ketidakberdayaan.
- Buat kontrak dengan klien yang mengidentifikasi apa yang akan dia lakukan ketika
mengalami pikiran atau dorongan untuk bunuh diri.
- Bantu klien menemukan hal-hal positif dan penuh harapan dalam hidupnya saat ini.
- Bantu klien dalam mengembangkan strategi koping untuk ide bunuh diri (misalnya,
lebih banyak latihan fisik, kurang fokus internal, peningkatan keterlibatan sosial, dan
lebih banyak ekspresi perasaan).
- Ketika ide bunuh diri dikaitkan dengan rasa bersalah yang selamat, terapkan "ritual
penyesalan".
- Bantu klien untuk menyadari faktor-faktor kehidupan yang merupakan prekursor
signifikan terhadap ide bunuh diri.

g. rencana penyelamatan bagi korban kekerasan


- cari tempat aman bagi korban (Shelter).

CS2 (SITUATIONAL STRESSORS)

Defini:
Masalah dihasilkan dari Stresor Situasional baru-baru ini yang dapat diidentifikasi.

Penjelasan:
Penting untuk mengevaluasi apakah gejala dan gangguan klien sebanding dengan tingkat stres.
Anda perlu menentukan penyebab stres eksternal, dan memiliki cara obyektif untuk mengukur
tingkat keparahannya. Teknik intervensi krisis dapat mencegah reaksi krisis berkembang menjadi
gangguan jangka panjang.

Contoh area permasalahan:


Mengatasi stresor utama (lebih ringan dari trauma).

Contoh ide treatment:


Model intervensi krisis: mengurangi tekanan berbahaya pada individu atau keluarga,
memperkuat keterampilan mengatasi, dan mengumpulkan dukungan lingkungan dan sosial.
Ajarkan alat untuk mengelola emosi negatif dan memecahkan masalah; hindari mengambil alih
fungsi yang mampu ditangani klien.

Diagnosis gangguan penyesuaian tepat ketika gejala yang signifikan secara klinis berkembang
dalam waktu 3 bulan sejak timbulnya stresor dan diselesaikan dalam waktu 6 bulan setelah
stresor terjadi.

Keparahan Stresor
Adalah berguna untuk memiliki penilaian objektif dari tingkat keparahan stresor untuk
mengenali apakah reaksi seseorang adalah respons yang khas dan tepat terhadap stresor
situasional atau apakah berlebihan dibandingkan dengan orang lain dalam situasi yang sama.
Peristiwa positif maupun peristiwa negatif berfungsi sebagai stresor karena memerlukan individu
untuk mengatasi perubahan. Holmes dan Rahe (1967) mengembangkan skala peristiwa stres dan
memberi skor numerik untuk menunjukkan intensitasnya. Item dengan peringkat tertinggi adalah
"kematian pasangan" (100 poin); penahanan di penjara adalah 63 poin; pernikahan adalah 50
poin; pindah ke sekolah baru adalah 20 poin. R. Lazarus dan Folkman (1984) mencatat bahwa
akumulasi kerepotan (interaksi negatif sehari-hari yang biasa-biasa saja dengan lingkungan)
dapat mengakibatkan gangguan fungsi.

Faktor resiko dan protektif


Ada banyak variasi dalam cara orang menghadapi peristiwa stres yang sama. Konsep risiko dan
faktor protektif mengacu pada variabel seperti warisan biologis dan riwayat keluarga yang
meningkatkan atau menurunkan kerentanan terhadap efek buruk—kerentanan dan kelemahan di
satu sisi dan ketangguhan dan ketahanan di sisi lain. Sumber internal resiliensi meliputi
temperamen yang mudah, kompetensi sosial, kemampuan memecahkan masalah, optimisme,
pengarahan diri sendiri, selera humor, kecerdasan, dan kemampuan beradaptasi emosional dan
perilaku (Katz & Pandya, 2004). Pada anak-anak, faktor protektif yang penting adalah kapasitas
internal untuk regulasi emosi, penggunaan sistem sosial yang efektif untuk dukungan, dan
pengaruh protektif dari orang dewasa yang peduli dan kompeten (Koplewicz, Cloitre, Reyes, &
Kessler, 2004).

Factor budaya
Perhatikan factor budaya seperti cara berbicara dan pola komunikasi.

Community-wide stressor
Stresor yang mempengaruhi seluruh komunitas mungkin berasal dari masalah sosial. Misalnya,
ketika ekonomi berada dalam resesi dan tingkat pengangguran tinggi, kesulitan proses pencarian
kerja jauh lebih besar daripada ketika ekonomi berjalan dengan baik. Ketika ada penyebab sosial,
rencana yang paling efektif adalah rencana yang menguntungkan seluruh kelompok, seperti
bergabung dalam tuntutan hukum atau membuat kelompok pengawas lingkungan. Dampak dari
peristiwa stres diperparah oleh ketidakadilan dalam sistem sosial ekonomi kita. Hipotesis Social
Problem is a Cause (SC5) perlu diintegrasikan dalam keadaan ini.

Kapan hipotesis ini diberlakukan?


Selama proses pengambilan data, Anda perlu mengajukan pertanyaan tentang stresor situasional
yang mungkin berperan sebagai faktor pencetus dalam perkembangan masalah yang muncul.
Tidak adanya stresor semacam itu akan memungkinkan Anda untuk mengesampingkan hipotesis
ini.

- Tingkat keparahan sebagai akibat dari stress


Reaksi terhadap stress dibagi ke dalam 3 kategori (somatic, kognitif & emosional, tingkah
laku)
- Burnout yang berkaitan dengan pekerjaan
Burnout meliputi perasaan kelelahan emosional, kehilangan minat, apatis, keluhan fisik,
dan sindrom depresi, termasuk pengurangan nilai-nilai kemanusiaan, self compassion,
dedikasi, idealism yang disertai dengan perasaan tidak suka dan ingin melepaskan diri.
Faktor pribadi yang berkontribusi terhadap burnout termasuk kurangnya minat, kurangnya
rasa terikat dengan pekerjaan. Burnout berkaitan dengan penyalahgunaan zat terlarang,
bunuh diri, dan perilaku tidak profesional serta masalah hukum. Faktor risiko di
lingkungan kerja termasuk kurangnya kesempatan untuk berbagi masalah dan mendapatkan
dukungan dari rekan kerja, kekurangan staf, dan aturan dan prosedur birokrasi yang
merusak penyampaian layanan yang efektif. Saat ini istilah burnout digunakan untuk
semua jenis pekerjaan (Leiter & Maslach, 2005)

Rencana Treatmen
Wilkinson dan Vera (1989) merangkum lima konsep intervensi krisis:
1. Keterampilan koping klien yang bersifat sementara untuk klien yang overwhelmed.
2. Bantuan cepat dan spesifik dari orang lain dapat mengembalikan orang tersebut ke tingkat
seperti sebelum krisis.
3. Hanya fungsi-fungsi yang tidak dapat ditangani oleh orang tersebut yang harus ditangani oleh
orang lain.
4. Bantuan yang ditawarkan harus sesuai dengan gaya koping yang biasa dilakukan orang
tersebut..
5. Bantuan harus dihentikan sesegera mungkin.

Aguilera (1998) menjelaskan dua pendekatan untuk intervensi krisis:


1. Pendekatan umum: Berfokus pada perjalanan karakteristik jenis krisis tertentu dan bukan pada
karakteristik unik dari setiap individu dalam krisis. Ini dapat dilakukan oleh orang yang bukan
profesional kesehatan mental.
2. Pendekatan individu: Menekankan penilaian yang dilakukan oleh petugas kesahatan mental
professional tentang proses interpersonal dan intrapsikis di masa krisis.

Aguilera (1998) mengidentifikasi tiga faktor penyeimbang yang menentukan respons terhadap
situasi stres dan penyelesaian masalah yang berhasil: persepsi, dukungan, dan mekanisme
koping.

Membuat Rujukan
Membantu seseorang dalam krisis seringkali membutuhkan rujukan ke sumber daya lain.
Misalnya, rujukan ke psikiater untuk evaluasi pengobatan (Intervensi Medis [B2]).
Langkah-langkah dalam intervensi krisis.

Tujuan Tindakan terapis

Memperbaiki Menanamkan harapan, dan memberikan kepastian kepada klien.


emosional-state. Gunakan pesan nonverbal dan verbal untuk menurunkan tingkat
emosi. Normalisasikan pengalaman untuk melawan rasa takut
bahwa adanya gejala berarti kelemahan atau "menjadi gila."
Mengintegrasikan hipotesis Koneksi Pikiran-Tubuh (BE3).

Tetapkan tujuan/arah Bertanggung jawab saat wawancara, berikan struktur, dan tampilkan
diri Anda sebagai ahli pemecahan masalah. Sertakan anggota
keluarga atau anggota jejaring sosial lainnya, jika tersedia.

Assess the crisis Gunakan teknik pemfokusan aktif untuk mendapatkan penilaian
akurat dari peristiwa pencetus. Kaji persepsi kejadian, dukungan
sosial, dan mekanisme koping yang telah digunakan atau, jika tidak
ada, tanyakan tentang pengalaman koping yang berhasil di masa lalu
untuk mengidentifikasi sumber daya. Menilai makna realistis dan
simbolis dari peristiwa krisis. Temukan seberapa besar krisis telah
mengganggu kehidupan klien dan efek dari gangguan ini pada orang
lain.

Amati tingkat Evaluasi apakah klien membahayakan diri sendiri atau orang lain,
emergensi dan perlunya rawat inap. (Lihat hipotesis Darurat [CS1] dalam bab
ini.)

Bantu klien untuk Jelaskan koneksi antara stressor dan intensitas reaksi emosi.
memahami krisis Jelaskan teori krisi, menggunakan konsep equilibrium dan
disequilibrium, dan bahwa krisi ini bersifat sementara.

Fasilitasi ekspresi Dorong klien untuk mengungkapkan perasaan (mis., kaget, bingung,
emosi marah, kewalahan, bersalah). Bantu klien mengakses perasaan yang
mungkin ditekan, seperti kemarahan terhadap orang yang dicintai.
Kesempatan untuk berulang kali mengungkapkan pengalaman
dalam kata-kata dapat membantu mencegah avoidan yang menjadi
ciri PTSD. (Lihat hipotesis Fokus Emosional [BE4] di Bab 9.)
Gunakan Teknik restrukturisasi kognitif dapat mengubah penilaian stresor dan
restrukturisasi kemampuan klien untuk mengatasinya. Klien mungkin memiliki
kognisi asumsi yang salah bahwa peristiwa tertentu dapat diprediksi dan
dicegah jika mereka bertindak berbeda sehingga menyalahkan diri
sendiri secara tidak tepat. (Lihat hipotesis kognitif di Bab 10.)

Develop action plan Model keterampilan memecahkan masalah. Buat daftar alternatif
dan bantu klien untuk mengevaluasi pro dan kontra: Pastikan bahwa
rencana tersebut konsisten dengan nilai pribadi dan budaya klien.
Pecahkan rencana menjadi langkah-langkah yang sederhana,
konkret, realistis, dan sesuai untuk tingkat fungsional klien. Jika ada
instansi lain yang terlibat, pastikan ada koordinasi yang baik. Kaji
keterampilan klien (hipotesis Defisit Keterampilan [BL3]).

Develop stress Pertimbangkan hal-hal berikut: teknik relaksasi, olahraga, yoga,


management strategy menikmati hobi atau olahraga, menonton TV, berbicara dengan
teman, musik, membaca, mandi air panas, pijat, humor, doa.

Manfaatkan social Dukungan sosial dapat berasal dari jaringan sosial individu,
support. penderita lain yang mengalami krisis yang sama, dan organisasi
masyarakat. Jika memungkinkan, sertakan anggota keluarga dalam
proses pengobatan. (Lihat hipotesis Dukungan Sosial [SC3].)

Monitor progres Saat perubahan positif terjadi, rangkum kemajuan dan bantu klien
memahami strategi koping mana yang paling efektif, berikan
penguatan dan dorongan. Gunakan keterampilan pemecahan
masalah untuk menangani rintangan yang tidak terduga.

Perencanaan Setelah krisis saat ini dikelola, bantu klien mengembangkan


antisipatif wawasan dan keterampilan untuk mencegah situasi krisis di masa
depan dan untuk mengatasinya dengan lebih baik jika memang
terjadi.

Terminate Hentikan intervensi krisis ketika klien sudah kembali ke


keseimbangan sebelumnya dan dapat menangani masalah secara
efektif. Jika bantuan lebih lanjut diperlukan, buat rujukan yang
sesuai atau diskusikan kontrak psikoterapi untuk masalah yang
teridentifikasi.
Bagian Donna
DEVELOPMENTAL TRANSITION

Case Study 3
Definisi: Klien berada pada transisi perkembangan.
Penjelasan: Setiap 5 sampai 10 tahun transisi perkembangan tidak dapat dihindari karena
interaksi antara kematangan biologis, pertumbuhan kepribadian, dan harapan peran
masyarakat untuk orang-orang dari berbagai usia. Hipotesis ini menormalkan
gangguan dramatis dan mengarahkan pada intervensi yang mencegah krisis
kematangan dari menjadi gangguan jangka panjang. Individu membutuhkan
dukungan untuk membuat pilihan pribadi dan menyelesaikan tugas perkembangan
pada jangka waktu mereka sendiri.
Contoh: 1. Henry (45 tahun) baru saja mengirim anak keduanya ke perguruan tinggi dan
mendapati dirinya bertanya-tanya mengenai makna jalan hidupnya. Dia
menggambarkan masalahnya sebagai krisis paruh baya. Dia berfantasi secara
dramatis dengan mengubah gaya hidupnya, dengan kabur bersama pelatih pribadinya
yang berusia 23 tahun. Ketika ditanya tentang istrinya, ia berkata, “Kami baru saja
memutuskan untuk berbeda arah”.
2. Tara (17 tahun) adalah senior di sebuah SMA. Semua teman-temannya mendaftar
kuliah, namun ia merasa cemas dan bingung “Aku tidak tahu apa yang aku inginkan
dengan hidupku”. Ia bosan dengan sekolah dan kesulitan dalam berkonsentrasi. Ia
juga merasa cemburu dan marah pada sahabatnya yang telah mendapatkan pacar dan
mengabaikannya.
3. Edward (62 tahun) sangat senang ketika menerima paket pensiun lebih awal dari
perusahaan. Namun, setelah beberapa bulan, ia tenggelam dalam depresi,
menggunakan piyama sepanjang hari. Ia tidak memiliki hobi, dan teman-temannya
masih bekerja. Ia juga marah pada istrinya karena tidak meninggalkan pekerjaannya
untuk bepergian dengannya, yang telah mereka rencanakan, sedangkan istrinya
berusia 10 tahun lebih muda dan mencintai pekerjaan sosialnya.
Sample Problem Area: Kecemasan dan depresi, kesulitan dalam pengambilan keputusan,
ketidakmampuan untuk mengatasi perubahan, transisi hubungan dan
keluarga, penderitaan menyimpang dari norma budaya untuk transisi
perkembangan.
Sample Treatment Idea: Psikoedukasi dan Normalizing, Model Intervensi Krisis, Intervensi
Keluarga bila diperlukan, Terapi Kelompok, Konseling Karir,
Pelatihan Keterampilan, menggunakan sumber daya masyarakat
seperti Support Group, Biblioterapi.

Transisi perkembangan dipicu oleh adanya pertumbuhan fisik, kematangan psikologis,


dan tekanan sosial dan ekspektasi. Selain itu, dorongan ke arah perubahan seringkali muncul dari
pandangan subjektif dari adanya stagnasi dan ketidakpuasan yang dikombinasikan dengan hasrat
pada lebih banyak kreativitas, pemenuhan dan makna. Konsep transisi perkembangan dianggap
dapat membantu membingkai masalah dengan cara yang mengarah pada strategi intervensi yang
efektif, dengan mengacu pada ‘tugas perkembangan’ dibandingkan dengan tahapan
perkembangan. Tahapan perkembangan dianggap menyiratkan urutan linier yang tetap di mana
satu tahap harus diselesaikan sebelum tahap berikutnya dimulai, sedangkan gagasan ‘tugas’
menyiratkan bahwa urutan dapat bervariasi, fase dapat tumpang tindih, dan tugas dapat ditinjau
kembali pada tahap kehidupan selanjutnya.

Normative Developmental Stages


Erik Erikson (1993): Ketidakseimbangan setiap tahap baru membawa peluang untuk mengoreksi
kekurangan yang terjadi pada tahap awal, disertai dengan stresor yang dapat
menghambat kemajuan ke tahap berikutnya. *Pandangan mengenai usia tua sangat
terbatas
Jung (1999): Di usia tua individu bahkan tumbuh menuju realisasi potensi secara penuh.
Pipher (1999): Ada tahapan perkembangan baru yang disebut dengan tahap young old, dimana
pada periode tersebut individu menjalani kehidupan yang penuh semangat dengan
minat dan aktivitas yang meluas, berbeda dengan old-old (Bernice Neugarten, 1996)
yaitu periode ketika individu menderita gangguan kesehatan dan kehilangan
kemampuannya.
Beberapa hal yang mempengaruhi life span individu dianggap “normal”:
● Cultural Contexts
Dipengaruhi oleh adanya budaya dan sejarah. Pada budaya dimana orang memiliki sedikit
pilihan, transisi dianggap lebih mudah dan tidak ada kebingungan peran. Pada suatu
budaya berbeda dalam memandang usia tua, pada suatu budaya melihat manula perlu
dihormati, budaya lain melihat manula direndahkan. Contoh lain: frekuensi perceraian,
usia berkomitmen dalam pernikahan, usia memantapkan karir, toleransi orang dewasa
muda yang tinggal bersama orang tua.
● Cohort Differences
Adanya kesamaan cohort, sehingga melewati tahap-tahap rentang kehidupan
bersama-sama yang membuat pengalaman setiap kelompok berbeda. Contoh: adanya
perubahan ekonomi, seperti resesi sehingga yang menyelesaikan kuliah selama resesi
dapat memperpanjang periode waktu yang dihabiskan untuk tinggal bersama orang tua.
● Gender Differences
Tekanan psikososial dan peluang penuaan pada laki-laki dan perempuan berbeda. Contoh:
perempuan perlu berkonsultasi dengan "jam biologis" mengenai keputusan kembali
hamil, sedangkan laki-laki dapat secara produktif secara seksual hingga usia 80-an.
Seiring bertambahnya usia, laki-laki dan perempuan cenderung menerima
kualitas-kualitas dalam diri mereka yang tidak sesuai dengan stereotipe peran seks
masyarakat.
Individualized Asessment
Dibandingkan mengevaluasi individu dengan model tahapan yang terbentuk sebelumnya,
terapis lebih perlu untuk mengumpulkan data pada garis waktu riwayat hidup klien dan meminta
klien menceritakan tentang “batu loncatan” dalam sejarah hidupnya sendiri. Ketika menggunakan
life span kita cenderung memikirkan peristiwa penanda seperti: usia memasuki prasekolah,
waktu kelulusan, pekerjaan pertama, pernikahan, kelahiran anak, pensiun, dll. Namun terdapat
juga transisi tanpa penanda, misalnya: ketergantungan psikologis pada persetujuan orang lain
pada keadaan penerimaan diri. Hipotesis transisi perkembangan (CS3) berguna untuk mengenali
peluang pada pertumbuhan positif dan tantangan terhadap kemampuan coping saat ini.
Transisi di masa dewasa dapat mengaktifkan kembali masalah yang belum terselesaikan
di tahapan masa kanak-kanak. Misalnya: menyesuaikan diri pada tahap sarang kosong akan lebih
sulit bagi individu yang memiliki masalah dengan perpisahan pada usia dini. Atau, ketika
anak-anak pindah ke tahapan baru, orang tua mungkin menemukan perasaan yang selama ini
terkubur yang merangsang sebuah konflik. Di satu sisi, proses ini memberikan peluang positif
bagi individu dewasa untuk mengatasi masalah yang belum terselesaikan, namun di sisi lain, hal
tersebut menciptakan resiko bagi anak-anak bahwa orang tua akan memperlakukan mereka
dengan tidak tepat. Misalnya, ketika memiliki seorang anak perempuan remaja cantik dan
populer, seorang ibu mungkin merasa lega dan bahagia, merasa diberi kompensasi untuk dirinya
sendiri. Namun individu dengan rasa sakit mungkin merasa cemburu dan kompetitif, seperti
ketika dia terhadap teman-temannya yang lebih sukses di saat SMA.
When Is This Hypothesis a Good Match?
Transisi perkembangan berkaitan dengan individu (kesulitan membuat keputusan karir),
pasangan (kesulitan memutuskan apakah akan bertunangan), atau keluarga (kesulitan mengatasi
kemandirian anak remaja yang meningkat). Klien dapat hadir dengan transisi sebagai fokus yang
diinginkan, atau menderita kecemasan atau depresi yang tidak diketahui asalnya, dan
membutuhkan terapis untuk menemukan keadaan pencetus.
● Major Life Decisions: adanya pergolakan emosional dari krisis kematangan yang tidak
kondusif untuk pengambilan keputusan yang rasional dan berpandangan jernih. Misalnya,
kesulitan menghadapi proses penuaan dapat menyebabkan orang bercerai atau mengubah
karir.
● Relationship Problems: Transisi dari periode bulan madu awal pada kesadaran akan
perbedaan dan munculnya konflik dapat menghasilkan pasangan yang mungkin "terlalu
takut untuk mengakhiri hubungan dan tidak cukup dewasa “untuk mengakhiri
pertempuran”. Pasangan harus dapat menoleransi keterpisahan pasangannya dan untuk
mengembangkan keterampilan menghadapi konflik. Dalam model perkembangan ini,
kebutuhan relasional diimbangi dengan pengembangan diri yang otonom.
● Distress From Deviating From Cultural Norms: Individu seringkali memiliki gagasan
kaku tentang usia yang normal untuk berada pada usia tertentu penanda perkembangan
dengan adanya penilaian negatif serta batasan yang dipaksakan yang dihasilkan dari
tidak melakukan hal-hal sesuai jadwal, misalnya: Saya harus menikah pada usia 30, atau
ada yang salah dengan saya. Saya terlalu tua untuk memulai sekolah pascasarjana pada
usia 45 tahun. Ketika individu memilih untuk menyimpang dari urutan perkembangan
yang diharapkan dari budaya mereka, mereka mungkin menjadi target tekanan untuk
menyesuaikan diri. Misalnya, pasangan yang mempertanyakan apakah akan memiliki
anak, atau yang sudah dengan tegas memutuskan untuk tetap tidak memiliki anak.

Treatment Planning
Tiga faktor penyeimbang yang dapat digunakan untuk perkembangan serta pada krisis
situasional: (1) persepsi, (2) dukungan, dan (3) coping mechanism. Selain itu, dalam menghadapi
krisis maturasi, terapis harus memahami tahapan perkembangan dan juga menyadari bahwa
stresor situasional berinteraksi dengan perubahan yang didorong oleh pertumbuhan biologis dan
psikologis.
● Psychoeducation & Normalizing: mengajarkan klien bahwa gejala, kesulitan, dan
gangguan yang mereka alami merupakan reaksi normal terhadap stres transisi adalah
tugas terapeutik yang penting. Pengetahuan tentang tahapan perkembangan menormalkan
disfungsi dan juga menciptakan harapan yang realistis.
● Skills Training: transisi ke tahap kehidupan yang baru dapat mengonfrontasi individu
terhadap tantangan ketika ia tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkannya. Hipotesis
Skill Deficits (BL3) dapat menjadi sebuah model pembelajaran, termasuk pembinaan dan
identifikasi peran yang kompeten. Misalnya: kelas parenting dapat membantu orang tua
mengembangkan harapan yang tepat untuk anak-anak mereka dan keterampilan untuk
menangani tantangan anak dan keluarga pindah ke tempat baru.
● Need to Modify Cognitive Map: Setiap tahap perkembangan mewakili area baru dan
kebutuhan untuk memperbarui peta kognitif, sehingga penting untuk mengintegrasikan
hipotesis Limitations of Cognitive Map (C2). Pada banyak titik selama life span,
kepercayaan dan asumsi yang ketinggalan zaman menetapkan batas dan menciptakan
stres. Orang sering memiliki harapan bahwa pindah ke tahap baru yang diinginkan,
seperti pernikahan atau pensiun, akan membawa kebahagiaan instan, sedangkan
sebaliknya hal tersebut melibatkan periode penyesuaian yang penuh tekanan.
● Using Films and Books: Film dan buku dapat digunakan untuk membantu klien
memahami transisi perkembangan. Misalnya: dari film Mother, dapat membantu individu
mendiskusikan transisi dalam hubungan antara remaja dan orang tua, buku Diary of a
Baby membantu orang tua baru membayangkan dunia batin anak mereka sejak lahir
hingga usia 4 tahun, sehingga dapat meningkatkan kemungkinan penyesuaian empatik
dan harapan yang realistis.
● Group Support: Modalitas kelompok sangat berguna bagi orang-orang yang mengalami
transisi perkembangan yang sama. Dengan mendengar orang menggambarkan perasaan
dan pengalaman yang sama dapat bermanfaat, terlebih ketika orang menerima saran dan
media yang konkret yang dapat mengembangkan jaringan yang membantu memenuhi
tujuan mereka. Contoh: kelompok pekerja paruh baya yang terlibat dalam proses
pencarian kerja, orang tua yang mengalami kesulitan dalam menghadapi perubahan pada
anak remajanya.
● Community Resources: Individu yang berjuang dengan masalah karir dapat mengambil
manfaat dari rujukan ke konseling karir atau kursus pengembangan karir di sekolah lokal.
Orang yang mempertimbangkan pensiun mungkin perlu berkonsultasi dengan perencana
keuangan.

LOSS AND BEREAVEMENT


Case Study 4
Definisi: Klien menderita karena kehilangan dan membutuhkan bantuan selama bereavement
atau dengan penyesuaian terkait kehilangan.
Penjelasan: Kehilangan dapat bersifat eksternal (misalnya: kematian, perceraian, atau bencana
alam), internal (misalnya: kehilangan kapasitas karena penyakit atau penuaan), atau
kombinasi (misalnya: kehilangan pekerjaan memicu hilangnya identitas sebagai
pencari nafkah). Kadang-kadang kehilangan dianggap sebagai penyebab pencetus
gejala emosional dimana klien tidak mengetahui koneksi tersebut.
Contoh: 1. Estela (45 tahun) terasing dari ayahnya sejak menikah 20 tahun lalu. Ia menerima
telepon dari saudara perempuannya bahwa ayahnya meninggal. Ia memberi tahu
orang lain bahwa ia tidak merasakan apa-apa karena ayahnya telah lama tidak
menjadi figur penting dalam hidupnya; meskipun demikian, dirinya
mengembangkan gejala depresi dengan menangis tak terkendali beberapa kali
seminggu.
2. Max (20 tahun), seorang mahasiswa baru yang datang ke pusat konseling 3 bulan
setelah kematian mendadak ibunya. Ia tidak bisa berkonsentrasi, menangis pada
momen yang tidak tentu dan merasa tidak tertarik pada kegiatan sosial.
3. Christine (63 tahun), seorang janda yang mengalami stroke 4 tahun yang lalu. Ia
masih belum bisa mengatakan lebih dari empat kata. Anak lelakinya yang tinggal
bersamanya terus mencari terapis bicara. Christine sering menangis ketika ia
sendirian.
Sample Problem Area: Kematian orang yang baru terjadi; kehilangan terbaru lainnya;
kehilangan simbolis; gangguan kesedihan berkepanjangan
(complicated grief).
Sample Treatment Idea: Psikoedukasi dan normalisasi; perawatan fokus ganda (kehilangan
dan restorasi); perawatan rumah sakit untuk pasien sekarat; menopang
dukungan sosial; tidak memaksakan dengan kaku model “cara berduka
yang benar”; kelompok berkabung; expressive arts.
Bereavement merupakan keadaan mengalami kehilangan, seperti kematian anggota
keluarga atau teman dekat; Grief adalah reaksi kehilangan pada komponen afektif, kognitif,
perilaku dan somatik; dan Mourning adalah istilah yang mencakup cara mengatasi berduka dan
beradaptasi, dan sering melibatkan adat, ritual budaya dan agama.

Stages of Grieving
1. First Reaction
Kaget, tidak percaya, berteriak, dan mati rasa, yang berlangsung beberapa saat. Terdapat
gejala distres somatik (sesak di tenggorokan, tersedak, sesak napas, mendesah, perasaan
kosong di perut, dan kekuatan otot berkurang) serta ada sedikit perasaan tidak nyata dan jarak
emosional dari lingkungan sekitarnya.
2. Confronting the Loss
Setelah ritual pemakaman, dukungan sosial sangat penting. Reaksi meliputi: rasa sakit dan
putus asa,
kerinduan yang terus-menerus, tangisan dan perasaan tidak berdaya, kesulitan berpikir dan
mengingat, dan kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari.
3. Resolving the Loss
Pergeseran antara penolakan dan intrusi melambat, dengan lebih sedikit waktu yang
dihabiskan untuk merasakan kehilangan. Perasaan menyakitkan yang berkurang dan tidak lagi
mengganggu keberfungsian, meskipun perasaan sedih dapat terjadi dari waktu ke waktu.

Tasks of Grieving
Worden (1991) menjelaskan terdapat empat tugas dalam berduka, yaitu:
1) menerima kenyataan akan kehilangan
2) bekerja melalui rasa sakit akan kesedihan
3) menyesuaikan diri dengan lingkungan tanpa orang atau benda yang telah tiada
4) secara emosional berpindah dari kehilangan dan melanjutkan hidup.
Stroebe dan Schut (2001) mengembangkan teori dalam berkabung:
Loss-oriented processes: Menghadapi dan menghindari kehilangan saat seseorang melewati
proses berduka.
Restoration-oriented processes: Mengatasi masalah dan tanggung jawab yang dihasilkan dari
kehilangan dan menemukan tempat seseorang di dunia tanpa almarhum.

Complications in the Grief Process


Penilaian bahwa proses berduka itu bermasalah harus didasarkan pada gejala-gejalanya dan
gangguan dari orang yang berduka dibandingkan dengan model teoritis kesedihan.
W. Stroebe, Schut dan M. S. Stroebe (2005) menjelaskan tiga jenis berduka yang rumit:
1) Chronic Type
terlalu banyak fokus pada kehilangan dan kurangnya kemajuan dalam tugas pemulihan.
2) Delayed, Inhibited or Absent Type
terlalu sedikit fokus pada kehilangan dengan fokus eksklusif pada tugas pemulihan.
3) Traumatic Type
konfrontasi yang intens dan terus-menerus dengan kehilangan yang dikombinasikan dengan
penghindaran.
Terdapat enam kategori dalam faktor resiko pada komplikasi:
1) Type of relationship with the deceased
jenis hubungan dengan almarhum sangat dekat atau rumit, ketergantungan ekstrim atau
ambivalensi, kelekatan aman atau tidak aman, tingkat rasa bersalah yang tinggi dalam sejarah
hubungan.
2) Circumstances of death
keadaan kematian mendadak daripada yang diharapkan, dianggap tidak adil, kematian yang
kejam, bunuh diri, yang membawa stigma dan rasa bersalah atau mempertanyakan diri sendiri,
keguguran, ketidakpastian kehilangan, seperti: anak-anak atau tentara yang hilang, rasa
bersalah atas peristiwa dalam periode waktu kehilangan.
3) Grieving process
proses dalam berduka: upaya untuk menghindari rasa sakit, keyakinan bahwa berkurangnya
kesedihan adalah pengkhianatan terhadap almarhum, perenungan yang sering dan
terus-menerus.
4) Individual personality and history
kepribadian dan sejarah individu: keterampilan coping yang buruk dari orang yang berduka,
adanya riwayat depresi sebelumnya, pengalaman traumatis di masa kecil. Respon terhadap
kehilangan sangat dipengaruhi oleh masalah perkembangan awal dengan ketergantungan,
pemisahan, dan keterikatan
5) Concurrent life stressors
stresor kehidupan yang bersamaan, entah disebabkan oleh kematian atau berasal dari sumber
yang berbeda.
6) Lack of adequate social support
kurangnya dukungan sosial yang memadai, termasuk kurangnya dukungan yang tersedia,
penarikan
dari hubungan sosial, respon yang buruk oleh orang-orang pada jaringan support.

When Is This Hypothesis a Good Match?


Ada dua keadaan di mana hipotesis ini adalah pilihan yang baik:
1. Distress over recent loss
Klien mengalami kerugian baru-baru ini, baik karena kematian, perceraian, cacat, atau
penyebab lain, yang berfungsi sebagai faktor pencetus distres emosional.
2. Current problems related to effects of past loss
Masalah saat ini terkait dengan efek kehilangan masa lalu, ketika reaksi individu pada
kehilangan yang intensitasnya ekstrim, dengan menghindari berduka atas kehilangan
sebelumnya, dengan tetap sibuk atau segera memulai hubungan yang baru.

Beberapa isu yang juga dapat digunakan dengan hipotesis Loss and Bereavement adalah:
Loss of a Relationship
Ketika hubungan berakhir karena pilihan orang yang dicintai, akan lebih sulit untuk
mengatasinya dibandingkan dengan dari kematian orang yang dicintai. Bahkan ketika orang yang
membuat pilihan untuk mengakhiri hubungan mungkin juga mengalami kehilangan.
Terminal Illness
Ketika seseorang menerima diagnosa mengenai penyakitnya, berduka atas kehilangan kehidupan
seseorang yang baru saja dimulai.
Aging, Illness and Disability
Perubahan fungsi yang disebabkan oleh usia dialami. Sebuah episode dengan penyakit yang
mengancam jiwa seperti kanker, bahkan jika pengobatan telah berhasil, namun merupakan
bentuk kehilangan identitas seseorang sebagai orang yang sehat.
Pregnancy Losses
Ketika seorang perempuan mengalami kegagalan dalam kehamilan akan cenderung mengalami
kehilangan yang kompleks dalam berduka.
Infertility
Ketika perempuan mengatasi infertilitas, mereka merasa berduka karena kehilangan peran wanita
hamil dan
ibu kandung.
Adopted Children
Banyak ahli percaya bahwa bahkan anak-anak yang diadopsi pada awal masa bayi dan yang tidak
pernah
tahu orang tua kandung mereka akan mengalami konsekuensi seumur hidup dari hilangnya
hubungan dengan orang tua kandung mereka.
Pet Loss
Ketika orang kehilangan hewan pendamping kesayangannya, reaksi kesedihannya seringkali
sama seperti pada kematian seseorang, tetapi rasa malu dan kurangnya pemahaman mereka akan
orang lain dapat menyebabkan penekanan perasaan.
Termination of Therapy
Ketika klien yang telah menjalani terapi jangka panjang memutuskan dengan terapis mereka
untuk mengakhiri terapi, mereka merasa cemas tentang kehilangan yang akan datang dari
hubungan yang sangat penting. Seringkali ada kekambuhan gejala sebagai cara untuk
memperpanjang pengobatan dan dengan demikian menangkal kesedihan yang diantisipasi.

Treatment Planning
Model tahapan sangat membantu ketika terapis dapat menormalkan pengalaman klien dan
membantu terapis memahami mengapa proses penyembuhan begitu lama. Namun, perlu
berhati-hati dan tidak berasumsi bahwa hanya ada satu proses berduka yang benar, terdapat
keragaman dalam cara orang meratapi kehilangan mereka dan terapis tidak boleh memaksakan
bagaimana dalam berduka.
Theraupetic Relationship
Terapis perlu mengevaluasi sifat dan intensitas kesusahan serta menilai masalah-masalah yang
mengganggu yang ditimbulkan oleh kehilangan, seperti gangguan dalam fungsi kerja,
penelantaran atau perlindungan yang berlebihan terhadap anak, masalah penyalahgunaan zat, dan
masalah praktis, hal-hal yang berkaitan dengan penanganan harta warisan. Penting juga untuk
memantau resiko bunuh diri dan perilaku merusak diri lainnya. Perlu adanya empati dan
kesabaran sambil mengizinkan individu yang berduka untuk berbicara tentang kehilangan dengan
caranya sendiri.
Psychoeducation
Terapis perlu memberikan informasi kepada individu dan anggota keluarga yang berduka tentang
kesedihan dan gejalanya, perjalanannya, dan komplikasinya.
Empirically Supported Treatments for Grief
Salah satu pendekatan yang dianggap memiliki efektifitas yang kuat adalah Complicated Grief
Treatment (CGT) yang dikembangkan untuk orang yang memiliki gejala kesedihan yang parah
selama 6 bulan setelah kehilangan. Untuk fokus pemilihan, klien menetapkan tujuan hidup dan
mengembangkan rencana konkret untuk memperoleh tujuan tersebut. Untuk kehilangan fokus,
ada dua teknik inovatif:
1. “Revisiting” Exercise
Latihan “Meninjau Kembali”, yaitu dengan terapis meminta klien untuk menutup matanya
dan memberi tahu kisah kematian sehingga dapat direkam dan kemudian didengarkan di
rumah antara sesi.
2. Promoting a sense of connection to the deceased
Terapis berperan menjadi klien, begitupun sebaliknya, dengan mata tertutup berbicara
dengan almarhum dan kemudian bertukar peran untuk menjawab. Klien juga diminta untuk
mengisi kuesioner yang difokuskan terutama pada ingatan positif.
Selain itu, Terapi Interpersonal (IPT; Klerman & Weissman, 1993) dan intervensi berbasis CBT
(Currier, Holland, & Neimeyer, 2010) juga dianggap merupakan pendekatan yang didukung
secara empiris untuk kehilangan dan berduka.
Bereavement Groups
Kelompok dianggap dapat memberikan dukungan, penanaman harapan dari bersama orang-orang
yang lebih dulu dalam proses berduka dan kesempatan untuk membantu mereka yang kurang
mampu.
Emotional Work
Gestalt Empty Chair: Klien dapat berbicara langsung dengan almarhum dan mengungkapkan
perasaan, mengatakan apa yang tidak sempat dia katakan selama hidup almarhum, dan mungkin
memaafkan atau mencari pengampunan. Tindakan mengatakan "selamat tinggal" sering
dihindari, namun hal tersebut sebenarnya penting untuk menerima kenyataan kehilangan.
Guided Imagery: Terapis dapat membimbing klien melalui serangkaian pengalaman yang dapat
mencapai puncaknya dengan berbicara kepada almarhum.
Writing letters, poetry or a journal.
Making art: Hill (2005) menjelaskan individu yang berduka memperoleh manfaat dari kegiatan
seni yaitu dapat membawa ke kesadaran perasaan yang ada di bawah permukaan, memberikan
bentuk untuk emosi yang tidak koheren, membebaskan energi untuk kehidupan sehari-hari,
pelepasan katarsis dari perasaan yang sulit diungkapkan kepada orang lain, seperti kemarahan
dan menikmati kegiatan yang menyenangkan dan aktivitas santai.
Commemoration: Klien dapat membuat lembar memo dengan huruf, foto, dan kenang-kenangan
lainnya dari kehidupan almarhum.
Healing rituals: James dan Friedman (1998) memberikan instruksi untuk menyelesaikan proses
berduka, termasuk ritual untuk mengucapkan selamat tinggal tidak hanya kepada orang tersebut
tetapi juga kepada rasa sakit karena kehilangan.
Cognitive Work
CBT dapat membantu klien fokus pada skema yang berkontribusi untuk perasaan putus asa atau
melalui narrative therapy dengan cara terapis membantu klien untuk menciptakan narasi yang
koheren mengenai kehidupan masa depan tanpa kehadiran almarhum tetapi dengan koneksi
dalam memori dan kebebasan untuk mengejar aktivitas dan hubungan baru.
Existensial and Spiritual Issues
Kematian dan kehilangan besar lainnya membuat orang mempertimbangkan kematiannya sendiri
dan mempertanyakan makna hidup.
Psychodinamic Therapy
Psikodinamika dianggap berguna untuk membantu orang dengan duka yang rumit. Ambivalensi
terhadap orang yang telah meninggal adalah penyebab umum dari kesulitan berduka, dan
mungkin berguna untuk berfokus pada bagian internal. Pada satu bagian mungkin merasa sedih,
sementara bagian lain mungkin merasa lega, terutama jika orang yang dicintai meninggal setelah
adanya sakit yang berkepanjangan.
Bibliotherapy
Memberikan rekomendasi buku dinilai akan sangat membantu, misalnya dengan menyarankan
membaca buku-buku seperti How to Survive the Loss of a Love (Colgrove et al., 1976), yang
menggabungkan puisi, informasi, dorongan, dan nasihat.
Countertransference Issues
Saat menasihati klien yang berduka, waspadai masalah kontratransferensi berkaitan dengan
kematian dan tekanan emosional yang berkepanjangan.
Bagian Farah
TRAUMA-RELATED PROBLEMS
Terapis menghadapi klien dengan keluhan trauma dalam beberapa kategori:
(1) trauma sangat baru atau masih terjadi (misalnya, bencana alam, kejahatan, pertempuran)
(2) klien menjelaskan trauma masa lalu dan efeknya yang menetap (misalnya, individu
dengan PTSD atau fobia)
(3) trauma terjadi pada anak usia dini dan secara kausal terkait dengan kesusahan dan
gangguan saat ini.

Penting untuk diingat: Semua orang yang mengalami trauma tidak berakhir dengan gangguan
kejiwaan; sebagian besar orang tidak memiliki konsekuensi negatif yang bertahan lama,
sementara beberapa orang memiliki masalah menetap yang tidak memenuhi kriteria DSM.

Posttraumatic Stress Disorder (PTSD)


Selain paparan trauma, kriteria berikut harus dipenuhi:
● Reexperiencing pengalaman trauma
● Menghindari pengingat trauma
● emotional arousal.
● gejala intrusi -> Ingatan yang tidak diinginkan
● penghindaran terus-menerus dari pengingat internal atau eksternal
● perubahan negatif dalam kognisi dan suasana hati
● perubahan dalam gairah dan reaktivitas.

Complex PTSD
Pada PTSD kompleks (Courtois & Ford, 2009), klien hadir dengan:
1. disregulasi emosi
2. disosiasi patologis, biasanya tidak memenuhi kriteria untuk gangguan identitas disosiatif
3. gangguan terkait stres dalam kesehatan tubuh.

Risk and Protective Factors


Risk Factors:
● Keparahan stresor: Besaran dan intensitas, tidak dapat diprediksi, tidak dapat dikendalikan,
viktimisasi seksual (sebagai lawan nonseksual), tanggung jawab nyata atau yang dirasakan,
dan pengkhianatan.
● Faktor kerentanan: Genetika, onset usia dini dan trauma masa kanak-kanak yang bertahan
lebih lama, dan peristiwa kehidupan yang penuh tekanan secara bersamaan.
● Tingkat ancaman subjektif: Ancaman atau bahaya yang dirasakan lebih besar, penderitaan,
teror, dan kengerian atau ketakutan.
● Kurangnya dukungan sosial: Kurangnya dukungan sosial atau lingkungan sosial yang
menghasilkan rasa malu, rasa bersalah, stigmatisasi, atau kebencian diri.
● Kurangnya akses ke sumber daya, keterampilan koping yang buruk, dan pemisahan dari
keluarga (Myers, 1989).
Protective Factors:
● Strategi koping yang baik: Tidak menghindari; memiliki keterampilan pemecahan masalah
yang baik; menggunakan tarian, musik, atau tulisan untuk melepaskan perasaan negatif atau
mengeksplorasi tema yang berkaitan dengan trauma.
● Dukungan sosial: Memiliki dukungan sosial yang tersedia; terhubung dengan keluarga dan
teman; pengungkapan diri tentang trauma kepada orang yang dicintai; bersedia mencari
bantuan. Untuk anak-anak, respon orang tua mereka memprediksi keparahan gejala
pasca-trauma
● Faktor kognitif: Memegang keyakinan bahwa ada sesuatu yang dapat Anda lakukan untuk
mengelola perasaan dan mengatasinya; menemukan makna positif dalam trauma; skema
fleksibel (sehingga peristiwa traumatis tidak menghasilkan pandangan negatif global tentang
diri dan dunia); mampu membedakan situasi aman dan berbahaya (reaksi trauma tidak
digeneralisasikan secara tidak tepat).
● Spiritualitas: Partisipasi dalam agama yang terorganisir; ideologi spiritual pribadi dan
kegiatan seperti doa.
● Pandangan positif tentang diri: Memiliki identitas sebagai penyintas sebagai lawan dari
korban; tidak terlibat dalam menyalahkan diri sendiri; memandang diri sendiri sebagai orang
yang kompeten; keyakinan efikasi diri.

Kapan hipotesis trauma dapat ditegakkan?


● Hipotesis berlaku setiap kali ada konsekuensi negatif dari paparan trauma-terlepas dari
apakah gejala klien memenuhi kriteria untuk diagnosis tertentu.
○ Trauma-Related Stress Symptoms
■ Pikiran atau mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa tersebut.
■ Mengalami kesulitan tidur atau perubahan nafsu makan.
■ Mengalami kecemasan dan ketakutan, terutama ketika dihadapkan pada
peristiwa atau situasi yang mengingatkan pada trauma.
■ Mudah terkejut atau menjadi terlalu waspada.
■ Merasa tertekan, sedih, dan memiliki energi yang rendah.
■ Mengalami masalah memori, termasuk kesulitan dalam mengingat aspek
trauma.
■ Tidak bisa fokus pada pekerjaan atau aktivitas sehari-hari.
■ Mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan.
■ Merasa mudah tersinggung, mudah gelisah, atau marah dan kesal.
■ Merasa mati rasa secara emosional, menarik diri, terputus, atau berbeda
dari orang lain.
■ Spontan menangis, merasakan rasa putus asa dan putus asa.
■ Merasa sangat protektif, atau takut akan, keselamatan orang yang dicintai.
■ Tidak mampu menghadapi aspek-aspek tertentu dari trauma; dan
menghindari aktivitas, tempat, atau bahkan orang yang mengingatkan
klien akan peristiwa tersebut.
● Terapis dapat mulai mempertimbangkan hipotesis Trauma dari gejala klien dan riwayat
trauma yang terfokus

Treatment Planning
Ada 3 kategori intervensi untuk trauma, yaitu:
1. Intervensi selama atau segera setelah trauma, seperti dalam badai atau insiden
penembakan di sekolah
Draguns (2001) mendaftar delapan komponen intervensi berikut stres traumatis yang
dapat efektif lintas budaya:
● Pemberian intervensi segera
● Mengkomunikasikan empati
● Fokus pada kesusahan saat ini
● Menggunakan teknik khusus dan direktif
● Berurusan dengan rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri
● Memperkuat rasa harga diri dan kompetensi
● Membantu klien menciptakan makna dalam konteks kehidupan dan budaya
mereka
● Mengatasi kesedihan atas kehilangan.
2. Pengobatan untuk gejala PTSD
● Education
Terapis mendidik penyintas trauma dan keluarganya bahwa PTSD adalah
gangguan yang terjadi pada individu normal yang terpapar kondisi yang sangat
stres, dan bahwa mungkin semua orang akan mengembangkan PTSD jika mereka
terlibat dalam trauma yang cukup parah.
● Medication
Obat dapat mengurangi kecemasan, depresi, dan insomnia dan dapat membantu
orang yang selamat berpartisipasi dalam terapi.
● Exposure
Klien terlibat dalam imajinasi yang hati-hati, berulang, rinci tentang trauma
(paparan) dalam konteks yang aman dan terkendali untuk menghadapi dan
mendapatkan kendali atas ketakutan dan kesusahan yang luar biasa selama
trauma. Setelah mempelajari teknik relaksasi, klien berkembang secara bertahap
ke atas hierarki rangsangan terkait trauma (desensitisasi sistematis)
● CBT
Terapis memberikan alasan bahwa PTSD sebagian disebabkan oleh cara kita
berpikir. Kita dapat mengubah cara kita berpikir (restrukturisasi kognitif) dengan
mengeksplorasi penjelasan alternatif dan menilai keakuratan pikiran kita. CBT
untuk trauma mencakup strategi untuk memproses pemikiran tentang peristiwa
tersebut dan menantang pola berpikir negatif atau tidak membantu.
● Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR)
Aktivasi alternatif meningkatkan konektivitas saraf dan integrasi memori
traumatis ke dalam proses memori yang normal dan eksplisit.
-> klien akan diminta mengingat pengalaman yang traumatis dengan cepat. Di
saat yang sama, terapis akan mengarahkan pergerakan mata. Dengan demikian,
fokus akan teralihkan dan respons psikologis pun lebih tenang.
● Relational Psychotherapy
Terapi dapat dikonseptualisasikan dalam tiga tahap: Tahap I: Membangun aliansi,
keamanan, dan stabilisasi; Tahap II: Dekondisi, berkabung, dan resolusi trauma;
dan Tahap III: Penyambungan Kembali; pengembangan diri dan relasional
(Courtois, 1996).
● Group Therapy
Pasien PTSD dapat mendiskusikan kenangan traumatis, gejala PTSD, dan
masalah lain dengan orang yang memiliki pengalaman serupa. Saat para penyintas
berdiskusi dan berbagi bagaimana mereka mengatasi rasa malu, rasa bersalah,
kemarahan, ketakutan, keraguan, dan penghukuman diri terkait trauma, mereka
mempersiapkan diri untuk fokus pada masa kini daripada masa lalu. Tugas
pemimpin kelompok adalah menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung
di mana para anggota dapat berinteraksi secara terapeutik satu sama lain.
● Coping Skills
Klien didorong untuk meningkatkan aktivitas rekreasi, artistik, atau kerja yang
membantu mengalihkan perhatian mereka dari ingatan dan reaksi, tanpa
menggunakan taktik ini sebagai pengganti terapi
● Spiritual Interventions
Beveridge dan Cheung (2004) menggambarkan kerangka spiritual untuk
pengobatan korban inses, menggunakan definisi pengampunan sebagai "tidak lagi
ingin membalas dendam pada pelaku" (hal.113), dan melawan keyakinan cacat
dengan tanggapan spiritual: "Tuhan menawarkan cinta tanpa syarat untuk semua.”
3. Treatment for complex PTSD and adult survivors of childhood trauma.
ASCA (Adult Survivors of Child Abuse) merekomendasikan kerangka pemulihan tiga
bagian:
Tahap 1: Mengingat
Penyintas mengakui kebenaran dari pelecehan fisik, seksual, atau emosional; membuat
komitmen untuk pemulihan; setuju untuk mengalami kembali kenangan saat mereka
muncul; dan menerima "bahwa saya tidak berdaya atas tindakan pelaku saya, yang
membuat mereka bertanggung jawab."
Tahap 2: Berkabung
Penyintas mengidentifikasi area masalah, menghadapi perasaan malu dan marah,
mengidentifikasi keyakinan yang salah dan persepsi yang menyimpang, mengenali
sabotase diri, menerima hak untuk membuat pilihan bebas tentang bagaimana hidup, dan
menegaskan, “Saya dapat mendukakan masa kanak-kanak saya dan berduka atas
kehilangan orang-orang yang mengecewakan saya.”
Tahap 3: Penyembuhan
Penyintas berkomitmen untuk memperkuat harga diri, meningkatkan perilaku dan
hubungan, menyelesaikan masalah dengan pelaku “sejauh yang dapat saya terima”, dan
mengubah citra diri dari penyintas menjadi “berkembang”.

Anda mungkin juga menyukai