BAB 8
KRISIS, SITUASI PENUH TEKANAN, TRANSISI, DAN TRAUMA
Ada 2 pertanyaan mendasar yang dibahas pada bab ini: apakah klien ini perlu segera diberi
intervensi aktif untuk mencegahnya menyakiti diri sendiri atau orang lain, atau apakah
terapinya dapat diberikan sesuai dengan jadwal seperti biasa?
CS 1 (EMERGENCY)
Definisi:
Klien menunjukkan suatu situasi emergensi: diperlukan tindakan segera.
Penjelasan:
Hipotesis ini harus selalu dipertimbangkan di sesi pertama karena konsekuensi negatif yang
parah untuk tidak mengambil tindakan. Ini berlaku untuk situasi ketika pasien harus dirawat di
rumah sakit, ketika dicurigai ada kondisi medis yang parah, atau ketika ada persyaratan hukum
untuk melaporkan pelecehan atau kekerasan. Ini juga cocok ketika klien akan mengambil
tindakan yang tidak dapat dibatalkan (irrevocable consequences).
b. konsultasi
jika situasi tampak sulit, segera konsultasi dengan pihak yang lebih ahli di bidangnya.
d. rencana treatment
- management emergency
Psikolog memiliki 3 tugas: menyelenggarakan assessment hingga selesai, mengurangi
resiko klien dipindah ke bagian yang lebih emergensi seperti ke RSJ, menyediakan
perawatan yang bersifat berkelanjutan.
- use of judgement
“The right thing to do” tidak selamanya bersifat jelas, sesuai dengan hukum, aturan, dan
buku panduan. Banyak area abu-abu yang membutuhkan bahwa waktu dan tenaga.
Pengambilan keputusan mungkin berarti mengorbankan kenyamanan psikolog dan
hal-hal lain.
- jaga hubungan terapeutik
- kelola kemarahan klien
- kenali lingkungan anda
- mobile psychiatric emergency services
- penentuan dimasukkan ke RS
Defini:
Masalah dihasilkan dari Stresor Situasional baru-baru ini yang dapat diidentifikasi.
Penjelasan:
Penting untuk mengevaluasi apakah gejala dan gangguan klien sebanding dengan tingkat stres.
Anda perlu menentukan penyebab stres eksternal, dan memiliki cara obyektif untuk mengukur
tingkat keparahannya. Teknik intervensi krisis dapat mencegah reaksi krisis berkembang menjadi
gangguan jangka panjang.
Diagnosis gangguan penyesuaian tepat ketika gejala yang signifikan secara klinis berkembang
dalam waktu 3 bulan sejak timbulnya stresor dan diselesaikan dalam waktu 6 bulan setelah
stresor terjadi.
Keparahan Stresor
Adalah berguna untuk memiliki penilaian objektif dari tingkat keparahan stresor untuk
mengenali apakah reaksi seseorang adalah respons yang khas dan tepat terhadap stresor
situasional atau apakah berlebihan dibandingkan dengan orang lain dalam situasi yang sama.
Peristiwa positif maupun peristiwa negatif berfungsi sebagai stresor karena memerlukan individu
untuk mengatasi perubahan. Holmes dan Rahe (1967) mengembangkan skala peristiwa stres dan
memberi skor numerik untuk menunjukkan intensitasnya. Item dengan peringkat tertinggi adalah
"kematian pasangan" (100 poin); penahanan di penjara adalah 63 poin; pernikahan adalah 50
poin; pindah ke sekolah baru adalah 20 poin. R. Lazarus dan Folkman (1984) mencatat bahwa
akumulasi kerepotan (interaksi negatif sehari-hari yang biasa-biasa saja dengan lingkungan)
dapat mengakibatkan gangguan fungsi.
Factor budaya
Perhatikan factor budaya seperti cara berbicara dan pola komunikasi.
Community-wide stressor
Stresor yang mempengaruhi seluruh komunitas mungkin berasal dari masalah sosial. Misalnya,
ketika ekonomi berada dalam resesi dan tingkat pengangguran tinggi, kesulitan proses pencarian
kerja jauh lebih besar daripada ketika ekonomi berjalan dengan baik. Ketika ada penyebab sosial,
rencana yang paling efektif adalah rencana yang menguntungkan seluruh kelompok, seperti
bergabung dalam tuntutan hukum atau membuat kelompok pengawas lingkungan. Dampak dari
peristiwa stres diperparah oleh ketidakadilan dalam sistem sosial ekonomi kita. Hipotesis Social
Problem is a Cause (SC5) perlu diintegrasikan dalam keadaan ini.
Rencana Treatmen
Wilkinson dan Vera (1989) merangkum lima konsep intervensi krisis:
1. Keterampilan koping klien yang bersifat sementara untuk klien yang overwhelmed.
2. Bantuan cepat dan spesifik dari orang lain dapat mengembalikan orang tersebut ke tingkat
seperti sebelum krisis.
3. Hanya fungsi-fungsi yang tidak dapat ditangani oleh orang tersebut yang harus ditangani oleh
orang lain.
4. Bantuan yang ditawarkan harus sesuai dengan gaya koping yang biasa dilakukan orang
tersebut..
5. Bantuan harus dihentikan sesegera mungkin.
Aguilera (1998) mengidentifikasi tiga faktor penyeimbang yang menentukan respons terhadap
situasi stres dan penyelesaian masalah yang berhasil: persepsi, dukungan, dan mekanisme
koping.
Membuat Rujukan
Membantu seseorang dalam krisis seringkali membutuhkan rujukan ke sumber daya lain.
Misalnya, rujukan ke psikiater untuk evaluasi pengobatan (Intervensi Medis [B2]).
Langkah-langkah dalam intervensi krisis.
Tetapkan tujuan/arah Bertanggung jawab saat wawancara, berikan struktur, dan tampilkan
diri Anda sebagai ahli pemecahan masalah. Sertakan anggota
keluarga atau anggota jejaring sosial lainnya, jika tersedia.
Assess the crisis Gunakan teknik pemfokusan aktif untuk mendapatkan penilaian
akurat dari peristiwa pencetus. Kaji persepsi kejadian, dukungan
sosial, dan mekanisme koping yang telah digunakan atau, jika tidak
ada, tanyakan tentang pengalaman koping yang berhasil di masa lalu
untuk mengidentifikasi sumber daya. Menilai makna realistis dan
simbolis dari peristiwa krisis. Temukan seberapa besar krisis telah
mengganggu kehidupan klien dan efek dari gangguan ini pada orang
lain.
Amati tingkat Evaluasi apakah klien membahayakan diri sendiri atau orang lain,
emergensi dan perlunya rawat inap. (Lihat hipotesis Darurat [CS1] dalam bab
ini.)
Bantu klien untuk Jelaskan koneksi antara stressor dan intensitas reaksi emosi.
memahami krisis Jelaskan teori krisi, menggunakan konsep equilibrium dan
disequilibrium, dan bahwa krisi ini bersifat sementara.
Fasilitasi ekspresi Dorong klien untuk mengungkapkan perasaan (mis., kaget, bingung,
emosi marah, kewalahan, bersalah). Bantu klien mengakses perasaan yang
mungkin ditekan, seperti kemarahan terhadap orang yang dicintai.
Kesempatan untuk berulang kali mengungkapkan pengalaman
dalam kata-kata dapat membantu mencegah avoidan yang menjadi
ciri PTSD. (Lihat hipotesis Fokus Emosional [BE4] di Bab 9.)
Gunakan Teknik restrukturisasi kognitif dapat mengubah penilaian stresor dan
restrukturisasi kemampuan klien untuk mengatasinya. Klien mungkin memiliki
kognisi asumsi yang salah bahwa peristiwa tertentu dapat diprediksi dan
dicegah jika mereka bertindak berbeda sehingga menyalahkan diri
sendiri secara tidak tepat. (Lihat hipotesis kognitif di Bab 10.)
Develop action plan Model keterampilan memecahkan masalah. Buat daftar alternatif
dan bantu klien untuk mengevaluasi pro dan kontra: Pastikan bahwa
rencana tersebut konsisten dengan nilai pribadi dan budaya klien.
Pecahkan rencana menjadi langkah-langkah yang sederhana,
konkret, realistis, dan sesuai untuk tingkat fungsional klien. Jika ada
instansi lain yang terlibat, pastikan ada koordinasi yang baik. Kaji
keterampilan klien (hipotesis Defisit Keterampilan [BL3]).
Manfaatkan social Dukungan sosial dapat berasal dari jaringan sosial individu,
support. penderita lain yang mengalami krisis yang sama, dan organisasi
masyarakat. Jika memungkinkan, sertakan anggota keluarga dalam
proses pengobatan. (Lihat hipotesis Dukungan Sosial [SC3].)
Monitor progres Saat perubahan positif terjadi, rangkum kemajuan dan bantu klien
memahami strategi koping mana yang paling efektif, berikan
penguatan dan dorongan. Gunakan keterampilan pemecahan
masalah untuk menangani rintangan yang tidak terduga.
Case Study 3
Definisi: Klien berada pada transisi perkembangan.
Penjelasan: Setiap 5 sampai 10 tahun transisi perkembangan tidak dapat dihindari karena
interaksi antara kematangan biologis, pertumbuhan kepribadian, dan harapan peran
masyarakat untuk orang-orang dari berbagai usia. Hipotesis ini menormalkan
gangguan dramatis dan mengarahkan pada intervensi yang mencegah krisis
kematangan dari menjadi gangguan jangka panjang. Individu membutuhkan
dukungan untuk membuat pilihan pribadi dan menyelesaikan tugas perkembangan
pada jangka waktu mereka sendiri.
Contoh: 1. Henry (45 tahun) baru saja mengirim anak keduanya ke perguruan tinggi dan
mendapati dirinya bertanya-tanya mengenai makna jalan hidupnya. Dia
menggambarkan masalahnya sebagai krisis paruh baya. Dia berfantasi secara
dramatis dengan mengubah gaya hidupnya, dengan kabur bersama pelatih pribadinya
yang berusia 23 tahun. Ketika ditanya tentang istrinya, ia berkata, “Kami baru saja
memutuskan untuk berbeda arah”.
2. Tara (17 tahun) adalah senior di sebuah SMA. Semua teman-temannya mendaftar
kuliah, namun ia merasa cemas dan bingung “Aku tidak tahu apa yang aku inginkan
dengan hidupku”. Ia bosan dengan sekolah dan kesulitan dalam berkonsentrasi. Ia
juga merasa cemburu dan marah pada sahabatnya yang telah mendapatkan pacar dan
mengabaikannya.
3. Edward (62 tahun) sangat senang ketika menerima paket pensiun lebih awal dari
perusahaan. Namun, setelah beberapa bulan, ia tenggelam dalam depresi,
menggunakan piyama sepanjang hari. Ia tidak memiliki hobi, dan teman-temannya
masih bekerja. Ia juga marah pada istrinya karena tidak meninggalkan pekerjaannya
untuk bepergian dengannya, yang telah mereka rencanakan, sedangkan istrinya
berusia 10 tahun lebih muda dan mencintai pekerjaan sosialnya.
Sample Problem Area: Kecemasan dan depresi, kesulitan dalam pengambilan keputusan,
ketidakmampuan untuk mengatasi perubahan, transisi hubungan dan
keluarga, penderitaan menyimpang dari norma budaya untuk transisi
perkembangan.
Sample Treatment Idea: Psikoedukasi dan Normalizing, Model Intervensi Krisis, Intervensi
Keluarga bila diperlukan, Terapi Kelompok, Konseling Karir,
Pelatihan Keterampilan, menggunakan sumber daya masyarakat
seperti Support Group, Biblioterapi.
Treatment Planning
Tiga faktor penyeimbang yang dapat digunakan untuk perkembangan serta pada krisis
situasional: (1) persepsi, (2) dukungan, dan (3) coping mechanism. Selain itu, dalam menghadapi
krisis maturasi, terapis harus memahami tahapan perkembangan dan juga menyadari bahwa
stresor situasional berinteraksi dengan perubahan yang didorong oleh pertumbuhan biologis dan
psikologis.
● Psychoeducation & Normalizing: mengajarkan klien bahwa gejala, kesulitan, dan
gangguan yang mereka alami merupakan reaksi normal terhadap stres transisi adalah
tugas terapeutik yang penting. Pengetahuan tentang tahapan perkembangan menormalkan
disfungsi dan juga menciptakan harapan yang realistis.
● Skills Training: transisi ke tahap kehidupan yang baru dapat mengonfrontasi individu
terhadap tantangan ketika ia tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkannya. Hipotesis
Skill Deficits (BL3) dapat menjadi sebuah model pembelajaran, termasuk pembinaan dan
identifikasi peran yang kompeten. Misalnya: kelas parenting dapat membantu orang tua
mengembangkan harapan yang tepat untuk anak-anak mereka dan keterampilan untuk
menangani tantangan anak dan keluarga pindah ke tempat baru.
● Need to Modify Cognitive Map: Setiap tahap perkembangan mewakili area baru dan
kebutuhan untuk memperbarui peta kognitif, sehingga penting untuk mengintegrasikan
hipotesis Limitations of Cognitive Map (C2). Pada banyak titik selama life span,
kepercayaan dan asumsi yang ketinggalan zaman menetapkan batas dan menciptakan
stres. Orang sering memiliki harapan bahwa pindah ke tahap baru yang diinginkan,
seperti pernikahan atau pensiun, akan membawa kebahagiaan instan, sedangkan
sebaliknya hal tersebut melibatkan periode penyesuaian yang penuh tekanan.
● Using Films and Books: Film dan buku dapat digunakan untuk membantu klien
memahami transisi perkembangan. Misalnya: dari film Mother, dapat membantu individu
mendiskusikan transisi dalam hubungan antara remaja dan orang tua, buku Diary of a
Baby membantu orang tua baru membayangkan dunia batin anak mereka sejak lahir
hingga usia 4 tahun, sehingga dapat meningkatkan kemungkinan penyesuaian empatik
dan harapan yang realistis.
● Group Support: Modalitas kelompok sangat berguna bagi orang-orang yang mengalami
transisi perkembangan yang sama. Dengan mendengar orang menggambarkan perasaan
dan pengalaman yang sama dapat bermanfaat, terlebih ketika orang menerima saran dan
media yang konkret yang dapat mengembangkan jaringan yang membantu memenuhi
tujuan mereka. Contoh: kelompok pekerja paruh baya yang terlibat dalam proses
pencarian kerja, orang tua yang mengalami kesulitan dalam menghadapi perubahan pada
anak remajanya.
● Community Resources: Individu yang berjuang dengan masalah karir dapat mengambil
manfaat dari rujukan ke konseling karir atau kursus pengembangan karir di sekolah lokal.
Orang yang mempertimbangkan pensiun mungkin perlu berkonsultasi dengan perencana
keuangan.
Stages of Grieving
1. First Reaction
Kaget, tidak percaya, berteriak, dan mati rasa, yang berlangsung beberapa saat. Terdapat
gejala distres somatik (sesak di tenggorokan, tersedak, sesak napas, mendesah, perasaan
kosong di perut, dan kekuatan otot berkurang) serta ada sedikit perasaan tidak nyata dan jarak
emosional dari lingkungan sekitarnya.
2. Confronting the Loss
Setelah ritual pemakaman, dukungan sosial sangat penting. Reaksi meliputi: rasa sakit dan
putus asa,
kerinduan yang terus-menerus, tangisan dan perasaan tidak berdaya, kesulitan berpikir dan
mengingat, dan kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari.
3. Resolving the Loss
Pergeseran antara penolakan dan intrusi melambat, dengan lebih sedikit waktu yang
dihabiskan untuk merasakan kehilangan. Perasaan menyakitkan yang berkurang dan tidak lagi
mengganggu keberfungsian, meskipun perasaan sedih dapat terjadi dari waktu ke waktu.
Tasks of Grieving
Worden (1991) menjelaskan terdapat empat tugas dalam berduka, yaitu:
1) menerima kenyataan akan kehilangan
2) bekerja melalui rasa sakit akan kesedihan
3) menyesuaikan diri dengan lingkungan tanpa orang atau benda yang telah tiada
4) secara emosional berpindah dari kehilangan dan melanjutkan hidup.
Stroebe dan Schut (2001) mengembangkan teori dalam berkabung:
Loss-oriented processes: Menghadapi dan menghindari kehilangan saat seseorang melewati
proses berduka.
Restoration-oriented processes: Mengatasi masalah dan tanggung jawab yang dihasilkan dari
kehilangan dan menemukan tempat seseorang di dunia tanpa almarhum.
Beberapa isu yang juga dapat digunakan dengan hipotesis Loss and Bereavement adalah:
Loss of a Relationship
Ketika hubungan berakhir karena pilihan orang yang dicintai, akan lebih sulit untuk
mengatasinya dibandingkan dengan dari kematian orang yang dicintai. Bahkan ketika orang yang
membuat pilihan untuk mengakhiri hubungan mungkin juga mengalami kehilangan.
Terminal Illness
Ketika seseorang menerima diagnosa mengenai penyakitnya, berduka atas kehilangan kehidupan
seseorang yang baru saja dimulai.
Aging, Illness and Disability
Perubahan fungsi yang disebabkan oleh usia dialami. Sebuah episode dengan penyakit yang
mengancam jiwa seperti kanker, bahkan jika pengobatan telah berhasil, namun merupakan
bentuk kehilangan identitas seseorang sebagai orang yang sehat.
Pregnancy Losses
Ketika seorang perempuan mengalami kegagalan dalam kehamilan akan cenderung mengalami
kehilangan yang kompleks dalam berduka.
Infertility
Ketika perempuan mengatasi infertilitas, mereka merasa berduka karena kehilangan peran wanita
hamil dan
ibu kandung.
Adopted Children
Banyak ahli percaya bahwa bahkan anak-anak yang diadopsi pada awal masa bayi dan yang tidak
pernah
tahu orang tua kandung mereka akan mengalami konsekuensi seumur hidup dari hilangnya
hubungan dengan orang tua kandung mereka.
Pet Loss
Ketika orang kehilangan hewan pendamping kesayangannya, reaksi kesedihannya seringkali
sama seperti pada kematian seseorang, tetapi rasa malu dan kurangnya pemahaman mereka akan
orang lain dapat menyebabkan penekanan perasaan.
Termination of Therapy
Ketika klien yang telah menjalani terapi jangka panjang memutuskan dengan terapis mereka
untuk mengakhiri terapi, mereka merasa cemas tentang kehilangan yang akan datang dari
hubungan yang sangat penting. Seringkali ada kekambuhan gejala sebagai cara untuk
memperpanjang pengobatan dan dengan demikian menangkal kesedihan yang diantisipasi.
Treatment Planning
Model tahapan sangat membantu ketika terapis dapat menormalkan pengalaman klien dan
membantu terapis memahami mengapa proses penyembuhan begitu lama. Namun, perlu
berhati-hati dan tidak berasumsi bahwa hanya ada satu proses berduka yang benar, terdapat
keragaman dalam cara orang meratapi kehilangan mereka dan terapis tidak boleh memaksakan
bagaimana dalam berduka.
Theraupetic Relationship
Terapis perlu mengevaluasi sifat dan intensitas kesusahan serta menilai masalah-masalah yang
mengganggu yang ditimbulkan oleh kehilangan, seperti gangguan dalam fungsi kerja,
penelantaran atau perlindungan yang berlebihan terhadap anak, masalah penyalahgunaan zat, dan
masalah praktis, hal-hal yang berkaitan dengan penanganan harta warisan. Penting juga untuk
memantau resiko bunuh diri dan perilaku merusak diri lainnya. Perlu adanya empati dan
kesabaran sambil mengizinkan individu yang berduka untuk berbicara tentang kehilangan dengan
caranya sendiri.
Psychoeducation
Terapis perlu memberikan informasi kepada individu dan anggota keluarga yang berduka tentang
kesedihan dan gejalanya, perjalanannya, dan komplikasinya.
Empirically Supported Treatments for Grief
Salah satu pendekatan yang dianggap memiliki efektifitas yang kuat adalah Complicated Grief
Treatment (CGT) yang dikembangkan untuk orang yang memiliki gejala kesedihan yang parah
selama 6 bulan setelah kehilangan. Untuk fokus pemilihan, klien menetapkan tujuan hidup dan
mengembangkan rencana konkret untuk memperoleh tujuan tersebut. Untuk kehilangan fokus,
ada dua teknik inovatif:
1. “Revisiting” Exercise
Latihan “Meninjau Kembali”, yaitu dengan terapis meminta klien untuk menutup matanya
dan memberi tahu kisah kematian sehingga dapat direkam dan kemudian didengarkan di
rumah antara sesi.
2. Promoting a sense of connection to the deceased
Terapis berperan menjadi klien, begitupun sebaliknya, dengan mata tertutup berbicara
dengan almarhum dan kemudian bertukar peran untuk menjawab. Klien juga diminta untuk
mengisi kuesioner yang difokuskan terutama pada ingatan positif.
Selain itu, Terapi Interpersonal (IPT; Klerman & Weissman, 1993) dan intervensi berbasis CBT
(Currier, Holland, & Neimeyer, 2010) juga dianggap merupakan pendekatan yang didukung
secara empiris untuk kehilangan dan berduka.
Bereavement Groups
Kelompok dianggap dapat memberikan dukungan, penanaman harapan dari bersama orang-orang
yang lebih dulu dalam proses berduka dan kesempatan untuk membantu mereka yang kurang
mampu.
Emotional Work
Gestalt Empty Chair: Klien dapat berbicara langsung dengan almarhum dan mengungkapkan
perasaan, mengatakan apa yang tidak sempat dia katakan selama hidup almarhum, dan mungkin
memaafkan atau mencari pengampunan. Tindakan mengatakan "selamat tinggal" sering
dihindari, namun hal tersebut sebenarnya penting untuk menerima kenyataan kehilangan.
Guided Imagery: Terapis dapat membimbing klien melalui serangkaian pengalaman yang dapat
mencapai puncaknya dengan berbicara kepada almarhum.
Writing letters, poetry or a journal.
Making art: Hill (2005) menjelaskan individu yang berduka memperoleh manfaat dari kegiatan
seni yaitu dapat membawa ke kesadaran perasaan yang ada di bawah permukaan, memberikan
bentuk untuk emosi yang tidak koheren, membebaskan energi untuk kehidupan sehari-hari,
pelepasan katarsis dari perasaan yang sulit diungkapkan kepada orang lain, seperti kemarahan
dan menikmati kegiatan yang menyenangkan dan aktivitas santai.
Commemoration: Klien dapat membuat lembar memo dengan huruf, foto, dan kenang-kenangan
lainnya dari kehidupan almarhum.
Healing rituals: James dan Friedman (1998) memberikan instruksi untuk menyelesaikan proses
berduka, termasuk ritual untuk mengucapkan selamat tinggal tidak hanya kepada orang tersebut
tetapi juga kepada rasa sakit karena kehilangan.
Cognitive Work
CBT dapat membantu klien fokus pada skema yang berkontribusi untuk perasaan putus asa atau
melalui narrative therapy dengan cara terapis membantu klien untuk menciptakan narasi yang
koheren mengenai kehidupan masa depan tanpa kehadiran almarhum tetapi dengan koneksi
dalam memori dan kebebasan untuk mengejar aktivitas dan hubungan baru.
Existensial and Spiritual Issues
Kematian dan kehilangan besar lainnya membuat orang mempertimbangkan kematiannya sendiri
dan mempertanyakan makna hidup.
Psychodinamic Therapy
Psikodinamika dianggap berguna untuk membantu orang dengan duka yang rumit. Ambivalensi
terhadap orang yang telah meninggal adalah penyebab umum dari kesulitan berduka, dan
mungkin berguna untuk berfokus pada bagian internal. Pada satu bagian mungkin merasa sedih,
sementara bagian lain mungkin merasa lega, terutama jika orang yang dicintai meninggal setelah
adanya sakit yang berkepanjangan.
Bibliotherapy
Memberikan rekomendasi buku dinilai akan sangat membantu, misalnya dengan menyarankan
membaca buku-buku seperti How to Survive the Loss of a Love (Colgrove et al., 1976), yang
menggabungkan puisi, informasi, dorongan, dan nasihat.
Countertransference Issues
Saat menasihati klien yang berduka, waspadai masalah kontratransferensi berkaitan dengan
kematian dan tekanan emosional yang berkepanjangan.
Bagian Farah
TRAUMA-RELATED PROBLEMS
Terapis menghadapi klien dengan keluhan trauma dalam beberapa kategori:
(1) trauma sangat baru atau masih terjadi (misalnya, bencana alam, kejahatan, pertempuran)
(2) klien menjelaskan trauma masa lalu dan efeknya yang menetap (misalnya, individu
dengan PTSD atau fobia)
(3) trauma terjadi pada anak usia dini dan secara kausal terkait dengan kesusahan dan
gangguan saat ini.
Penting untuk diingat: Semua orang yang mengalami trauma tidak berakhir dengan gangguan
kejiwaan; sebagian besar orang tidak memiliki konsekuensi negatif yang bertahan lama,
sementara beberapa orang memiliki masalah menetap yang tidak memenuhi kriteria DSM.
Complex PTSD
Pada PTSD kompleks (Courtois & Ford, 2009), klien hadir dengan:
1. disregulasi emosi
2. disosiasi patologis, biasanya tidak memenuhi kriteria untuk gangguan identitas disosiatif
3. gangguan terkait stres dalam kesehatan tubuh.
Treatment Planning
Ada 3 kategori intervensi untuk trauma, yaitu:
1. Intervensi selama atau segera setelah trauma, seperti dalam badai atau insiden
penembakan di sekolah
Draguns (2001) mendaftar delapan komponen intervensi berikut stres traumatis yang
dapat efektif lintas budaya:
● Pemberian intervensi segera
● Mengkomunikasikan empati
● Fokus pada kesusahan saat ini
● Menggunakan teknik khusus dan direktif
● Berurusan dengan rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri
● Memperkuat rasa harga diri dan kompetensi
● Membantu klien menciptakan makna dalam konteks kehidupan dan budaya
mereka
● Mengatasi kesedihan atas kehilangan.
2. Pengobatan untuk gejala PTSD
● Education
Terapis mendidik penyintas trauma dan keluarganya bahwa PTSD adalah
gangguan yang terjadi pada individu normal yang terpapar kondisi yang sangat
stres, dan bahwa mungkin semua orang akan mengembangkan PTSD jika mereka
terlibat dalam trauma yang cukup parah.
● Medication
Obat dapat mengurangi kecemasan, depresi, dan insomnia dan dapat membantu
orang yang selamat berpartisipasi dalam terapi.
● Exposure
Klien terlibat dalam imajinasi yang hati-hati, berulang, rinci tentang trauma
(paparan) dalam konteks yang aman dan terkendali untuk menghadapi dan
mendapatkan kendali atas ketakutan dan kesusahan yang luar biasa selama
trauma. Setelah mempelajari teknik relaksasi, klien berkembang secara bertahap
ke atas hierarki rangsangan terkait trauma (desensitisasi sistematis)
● CBT
Terapis memberikan alasan bahwa PTSD sebagian disebabkan oleh cara kita
berpikir. Kita dapat mengubah cara kita berpikir (restrukturisasi kognitif) dengan
mengeksplorasi penjelasan alternatif dan menilai keakuratan pikiran kita. CBT
untuk trauma mencakup strategi untuk memproses pemikiran tentang peristiwa
tersebut dan menantang pola berpikir negatif atau tidak membantu.
● Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR)
Aktivasi alternatif meningkatkan konektivitas saraf dan integrasi memori
traumatis ke dalam proses memori yang normal dan eksplisit.
-> klien akan diminta mengingat pengalaman yang traumatis dengan cepat. Di
saat yang sama, terapis akan mengarahkan pergerakan mata. Dengan demikian,
fokus akan teralihkan dan respons psikologis pun lebih tenang.
● Relational Psychotherapy
Terapi dapat dikonseptualisasikan dalam tiga tahap: Tahap I: Membangun aliansi,
keamanan, dan stabilisasi; Tahap II: Dekondisi, berkabung, dan resolusi trauma;
dan Tahap III: Penyambungan Kembali; pengembangan diri dan relasional
(Courtois, 1996).
● Group Therapy
Pasien PTSD dapat mendiskusikan kenangan traumatis, gejala PTSD, dan
masalah lain dengan orang yang memiliki pengalaman serupa. Saat para penyintas
berdiskusi dan berbagi bagaimana mereka mengatasi rasa malu, rasa bersalah,
kemarahan, ketakutan, keraguan, dan penghukuman diri terkait trauma, mereka
mempersiapkan diri untuk fokus pada masa kini daripada masa lalu. Tugas
pemimpin kelompok adalah menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung
di mana para anggota dapat berinteraksi secara terapeutik satu sama lain.
● Coping Skills
Klien didorong untuk meningkatkan aktivitas rekreasi, artistik, atau kerja yang
membantu mengalihkan perhatian mereka dari ingatan dan reaksi, tanpa
menggunakan taktik ini sebagai pengganti terapi
● Spiritual Interventions
Beveridge dan Cheung (2004) menggambarkan kerangka spiritual untuk
pengobatan korban inses, menggunakan definisi pengampunan sebagai "tidak lagi
ingin membalas dendam pada pelaku" (hal.113), dan melawan keyakinan cacat
dengan tanggapan spiritual: "Tuhan menawarkan cinta tanpa syarat untuk semua.”
3. Treatment for complex PTSD and adult survivors of childhood trauma.
ASCA (Adult Survivors of Child Abuse) merekomendasikan kerangka pemulihan tiga
bagian:
Tahap 1: Mengingat
Penyintas mengakui kebenaran dari pelecehan fisik, seksual, atau emosional; membuat
komitmen untuk pemulihan; setuju untuk mengalami kembali kenangan saat mereka
muncul; dan menerima "bahwa saya tidak berdaya atas tindakan pelaku saya, yang
membuat mereka bertanggung jawab."
Tahap 2: Berkabung
Penyintas mengidentifikasi area masalah, menghadapi perasaan malu dan marah,
mengidentifikasi keyakinan yang salah dan persepsi yang menyimpang, mengenali
sabotase diri, menerima hak untuk membuat pilihan bebas tentang bagaimana hidup, dan
menegaskan, “Saya dapat mendukakan masa kanak-kanak saya dan berduka atas
kehilangan orang-orang yang mengecewakan saya.”
Tahap 3: Penyembuhan
Penyintas berkomitmen untuk memperkuat harga diri, meningkatkan perilaku dan
hubungan, menyelesaikan masalah dengan pelaku “sejauh yang dapat saya terima”, dan
mengubah citra diri dari penyintas menjadi “berkembang”.