Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PRAKTIKUM PROSES PRODUKSI

MODUL IV
MESIN CNC TU2A

Disusun oleh:

Arulloh Sonja
20/456208/TK/50338

LABORATORIUM PROSES DAN SISTEM PRODUKSI


LABORATORIUM TEKNOLOGI MEKANIK
DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN INDUSTRI
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2022
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1.Proses Pembuatan Benda Kerja pada Mesin TU2A


Bentuk awal dari benda kerja yang dikerjakan oleh praktikan adalah
alumunium silinder seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.1. Dengan mesin CNC
TU2A, praktikan diharuskan untuk memakan alumunium silinder tersebut menjadi
bentuk bidak catur seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.2. Berikut ini adalah
langkah-langkah pengerjaan benda kerja dari awal hingga akhir.

Gambar 4.1 Bentuk Awal Benda Kerja

Gambar 4.2 Bentuk Akhir Benda Kerja

4.1.1. Menginput Program Dry Run


Sebelum proses pemakanan dilakukan pada benda kerja, proses dry run
harus dilakukan terlebih dahulu untuk memastikan program yang diinputkan akan
menghasilkan bentuk benda kerja sesuai yang diinginkan. Pada prosedur dry run,
mesin menggambarkan area pada benda kerja yang akan termakan oleh alat iris.
Program yang diinputkan pada dry run sama seperti yang ada pada SOP (yang telah
diperbaiki), namun dengan feed rate yang lebih tinggi yaitu 300 mm/menit agar
proses dry run berjalan lebih cepat.
Untuk menginputkan program, langkah-langkah yang harus dilakukan oleh
praktikan adalah sebagai berikut
a. Menekan tombol H/C
Tombol H/C ditekan untuk mengubah mode pelayanan
mesin dari pelayanan manual menjadi pelayanan komputer.

Gambar 4.3 Mode Pelayanan Mesin CNC

b. Memasukkan program dry run


Untuk memasukkan program, praktikan dapat menekan tombol
angka pelayanan mesin. Program yang diinputkan sama persis seperti
yang terdapat pada SOP, dengan nilai X pada kode G92 dan nilai X
pada kode G00 diakhir program sebesar 2900 (25 mm diameter benda
kerja +4 mm clearance). Sementara itu, nilai feed rate disetting sebesar
300 mm/menit untuk mempercepat proses dry run.

Gambar 4.4 Program Dry Run


c. Mengecek kebenaran logika program
Setelah program dimasukkan, maka proses selanjutnya adalah
mengecek kebenaran logika program dengan menekan dan menahan
tombol M. Apabila terjadi error pada program, maka akan muncul
peringatan. Praktikan dapat menghilangkan error dengan menuju baris
error lalu merevisi program.

Gambar 4.5 Mengecek Kebenaran Logika Program

4.1.2. Run Program Dry Run


Setelah program dry run selesai diinput, langkah selanjutnya adalah
melakukan eksekusi terhadap program tersebut. Berikut ini adalah tahapan eksekusi
program dry run yang dilakukan praktikan
a. Memasang Kertas
Media yang digunakan untuk melakukan dry run adalah kertas
putih. Kertas putih dipasang pada tempatnya lalu dikencangkan dengan
alat penjepit yang tersedia.

Gambar 4.6 Kertas Media Dry Run


b. Memasang Alat Gambar
Alat gambar akan mengarsir kertas putih sehingga akan
menghasilkan arsiran bagian dari benda kerja yang akan dimakan oleh
alat iris. Untuk memastikan alat tulis yang terpasang tepat menyentuh
kertas, maka posisi rumah pahat dapat sedikit digeser. Apabila alat tulis
menghasilkan goresan pada kertas maka posisi alat tulis sudah tepat.
Penempatan posisi alat iris juga harus diperhatikan, tidak boleh
terlalu berada pada posisi pinggir kiri maupun kanan dari kertas agar
semua program dapat tergambarkan pada kertas.

Gambar 4.7 Pemasangan Alat Tulis


c. Menjalankan Program
Setelah kertas dan alat tulis terpasang, langkah selanjutnya
adalah menjalankan program dry run dengan cara menekan tombol
start. Setelah dry run selesai dilakukan, praktikan melakukan evaluasi
terhadap hasilnya. Apabila gambar yang dihasilkan tidak sesuai
dengan yang diharapkan, maka program harus direvisi.

Gambar 4.8 Hasil Dry Run


4.1.3. Memasang Alat iris
Alat iris yang digunakan untuk membentuk benda kerja adalah mata pahat
rata kanan. Alat iris harus dipastikan agar sejajar dengan ujung tailstock agar jarak
pemakanan benar-benar mengacu pada titik tengah benda kerja sehingga tidak
menyisakan bagian tengah benda kerja yang tidak termakan. Pada praktikum ini,
praktikan tidak melakukan setting alat iris. Alat iris sudah terpasang dan siap untuk
digunakan.

4.1.4. Menentukan Titik Nol Sumbu X dan Z


Langkah selanjutnya adalah penentuan titik nol sumbu X dan Z. Titik nol
sumbu X dan Z awal (sebelum dipindahkan dengan program G92) ditunjukkan pada
gambar 4.9.

Gambar 4.9 Titik Nol Sumbu X dan Y Awal

Untuk menentukan titik nol sumbu X dan Z., langkah-langkah yang harus
dilakukan oleh praktikan adalah sebagai berikut

a. Menghidupkan Mesin Spindle


Untuk menghidupkan spindle, saklar spindle diputar ke arah
“CNC.”
b. Mengatur Kecepatan Putar Spindle
Kecepatan putar spindle diatur agar berada pada range
kecepatan 1300-an rpm dengan memutar posisi tuas kecepatan spindle.
Gambar 4.10 Mengatur Kecepatan Spindle

c. Penentuan Titik Nol Sumbu Z


Untuk menentukan titik nol sumbu Z, alat iris didekatkan pada
benda kerja dengan menggeser alat iris ke depan atau sumbu X hingga
alat iris kira kira berada pada area pemakanan benda kerja dan sumbu
Z negatif hingga alat iris menyentuh permukaan depan benda kerja.
Alat iris terus digeser pada arah sumbu Z negatif hingga terbentuk
bekas pemakanan melingkar pada benda kerja. Hal ini dilakukan untuk
memastikan semua permukaan benda kerja yang permukaannya tidak
rata termakan semua. Setelah bekas pemakanan melingkar pada benda
kerja terbentuk, tekan del untuk mengenolkan sumbu Z.

Gambar 4.11 Mengenolkan Sumbu Z

d. Penentuan Titik Nol Sumbu X


Prosedur penentuan titik nol sumbu X sedikit berbeda dengan
penentuan titik nol sumbu Z. Penentuan titik nol sumbu X dilakukan 2
kali, yaitu penentuan titik nol sumbu X pertama dan kemudian
penentuan titik nol sumbu X kedua sebesar titik nol sumbu X pertama
ditambah -20 hingga -30. Penentuan titik nol sumbu X kedua bertujuan
untuk memastikan semua permukaan benda kerja termakan, termasuk
permukaan yang paling cekung. Hal ini perlu dilakukan mengingat
permukaan benda kerja tidak 100% rata.
Pertama, alat iris digerakkan pada sumbu Z negatif. Kemudian,
alat iris dimajukan pada arah sumbu X negatif hingga mengenai benda
kerja. Titik tersebut menjadi titik nol sumbu X yang pertama. Tekan
del untuk mengenolkan sumbu X.

Gambar 4.12 Titik Nol Sumbu X Pertama

Setelah titik nol sumbu X pertama ditentukan, langkah


selanjutnya adalah menarik keluar alat iris (alat iris bergerak ke sumbu
X positif) lalu menempatkan alat iris pada posisi X0 Z0. Kemudian,
alat iris dimundurkan sebesar 0,2 hingga 0,3 mm (pada praktikum ini
alat iris dimundurkan sejauh 0,29 mm). Tombol del ditekan untuk
menjadikan titik tersebut menjadi titik nol final sumbu X. Setelah itu,
pemakanan dilakukan ke arah sumbu Z negatif hingga alat iris berada
pada daerah pemakanan yang dilakukan saat pengenalan sumbu X
pertama.

4.1.5. Mengukur Diameter Benda Kerja


Sebelum proses pemakanan benda kerja dialukan, ukuran diameter benda
kerja harus dipastikan terlebih dahulu dengan jangka sorong. Spindle dimatikan
terlebih dahulu dengan memutar saklar spindle. Diameter yang diukur adalah
diameter benda kerja setelah pemakanan pada saat proses pengenolan sumbu X
dilakukan. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan, diameter dari benda kerja
yang dikerjakan oleh kelompok shift 11 adalah sebesar 27,55 mm.

Gambar 4.13 Pengukuran Diameter Benda Kerja

4.1.6. Menggeser Alat Iris pada X200 Z200


Setelah titik nol sumbu X dan Z ditentukan, maka langkah selanjutnya
adalah menggeser alat iris pada koordinat X200 Z200 secara manual. Hal ini
bertujuan untuk memberikan jarak aman alat iris pada saat pemakanan awal.

4.1.7. Menginput Program TU2A


Untuk memasukkan program, praktikan dapat menekan tombol angka
pelayanan mesin. Program diinputkan dengan mengganti nilai X pada kode G92
dan nilai X pada kode G00 diakhir program menjadi 3154. Nilai ini didapatkan dari
27,55 mm diameter ditambah 4 mm clearance. Akan tetapi, karena nilai yang
dihasilkan ganjil, yaitu 31,55 mm maka nilai ini dikurangi 1 (31,54 mm) sehingga
nilai yang diinputkan pada program G92 adalah 3154. Selain itu, program yang
harus diubah adalah feed rate. Untuk pemakanan lurus feed rate disetting sebesar
100 mm/menit, untuk pemakanan miring 80 mm/menit, dan untuk pemakanan
melingkar 60 mm/menit. Sementara itu, untuk pemakanan finishing, nilai feed rate
dikurangi sebesar 20 mm/menit untuk setiap tipe pemakanan. Setelah program
dimasukkan, maka proses selanjutnya adalah mengecek kebenaran logika program
dengan menekan dan menahan tombol M. Apabila tidak terjadi error pada program,
maka langkah selanjutnya adalah melakukan eksekusi program dengan cara
menekan tombol start.
Selama proses pemakanan, praktikan harus memperhatikan arus pada motor
listrik. Arus listrik tidak boleh melebih 3,5 A. Jika melebihi, maka kecepatan putar
spindle dapat diturunkan. Hal ini dilakukan agar mesin tidak mati ketika program
sedang dieksekusi.

4.1.8. Pembersihan
Langkah terakhir dari proses pengerjaan benda kerja adalah pembersihan.
Setelah program selesai dijalankan, benda kerja dilepas dari spindle dengan
menggunakan bantuan kain dan kunci T. Tatal yang tersisa dibuang dengan
menggunakan kuas. Setelah itu, mesin dimatikan.

Gambar 4.14 Pembersihan Mesin dan Benda Kerja


Gambar 4.15 Hasil Akhir dari Proses Permesinan TU2A

4.1.9. Program TU2A


Berikut ini adalah detail program TU2A yang diinputkan pada mesin untuk
membuat benda kerja berupa bidak catur.
4.1.9.1. Penetapan Titik Awal Posisi Program Absolut dan Menghidupkan Spindle
Titik nol pemakanan dipindahkan menuju titik tengah benda kerja. Pada
proses kalibrasi titik nol alat iris, titik nol berada pada pada titik merah pada gambar
4.16. Kemudian secara manual, posisi alat iris digeser pada arah sumbu X positif
dan sumbu Z positif sebesar 2 mm sebagai clearance sehingga posisi berubah
seperti yang ditunjukkan gambar 4.17. Dengan program G92, titik nol program
dipindahkan ke titik tengah benda kerja, seperti yang ditunjukkan gambar 4.18.
Karena kode yang digunakan adalah G92, maka tipe pemrograman yang diinputkan
oleh operator adalah pemrograman absolut.
Setelah titik nol dipindahkan, maka tahapan selanjutnya adalah
menghidupkan spindle dengan arah putaran searah jarum jam dengan kode M03.
Tabel 4.1 Program Baris 0 hingga 1

N G/M X Z F H
N0 G92 3154 Z200
N1 M03
X
Z
Gambar 4.16 Titik Nol

Gambar 4.17 Titik 0 ditambah clearance 2 mm

Gambar 4.18 Titik G92

4.1.9.2. Facing
Sebelum benda kerja dikerjakan, proses facing dilakukan terlebih dahulu.
Facing dilakukan pada permukaan lateral benda kerja sedalam 1,175 mm [(27,55
mm- 25,2 mm)/2] dan sejauh 70 mm dengan kode pemakanan siklus G84.
Kedalaman 1 kali makan pada kode G84 adalah sebesar 0,4 mm sehingga
pemakanan terjadi sebanyak 3 kali dengan rincian 2 kali pemakanan sedalam 0,4
mm dan pemakanan ketiga sedalam 0,375 mm. Feed rate diatur sebesar 100
mm/menit karena operasi pemakanan yang dilakukan adalah pemakanan lurus.
Tabel 4.2 Program Baris 2 hingga 3

N G/M X Z F H
N2 G00 X2800 Z200
N3 G84 X2520 Z-7000 F100 H40
4.1.9.3. Pemakanan Lurus
Langkah pemakanan selanjutnya adalah pemakanan lurus sedalam 1,1 mm
[(25,2 mm-23 mm)/2] sejauh 55 mm dengan kode pemakanan siklus G84.
Kedalaman 1 kali makan pada kode G84 adalah sebesar 0,4 mm sehingga
pemakanan terjadi sebanyak 3 kali dengan rincian 2 kali pemakanan sedalam 0,4
mm dan pemakanan ketiga sedalam 0,3 mm. Feed rate diatur sebesar 100
mm/menit karena operasi pemakanan yang dilakukan adalah pemakanan lurus.
Tabel 4.3 Program Baris 4 hingga 5

N G/M X Z F H
N4 G00 X2520 Z200
N5 G84 X2300 Z-5500 F100 H40

4.1.9.4. Pemakanan Lurus


Langkah pemakanan selanjutnya adalah pemakanan lurus sedalam 1 mm
[(23 mm-21 mm)/2] sejauh 53 mm dengan kode pemakanan siklus G84. Kedalaman
1 kali makan pada kode G84 adalah sebesar 0,4 mm sehingga pemakanan terjadi
sebanyak 3 kali dengan rincian 2 kali pemakanan sedalam 0,4 mm dan pemakanan
ketiga sedalam 0,2 mm. Feed rate diatur sebesar 100 mm/menit karena operasi
pemakanan yang dilakukan adalah pemakanan lurus.
Tabel 4.4 Program Baris 6 hingga

N G/M X Z F H
N6 G00 X2300 Z200
N7 G84 X2100 Z-5300 F100 H40

4.1.9.5. Persiapan Pemakanan Profil Miring


Profil miring tidak dapat dikerjakan dengan satu kali tahap pemakanan,
namun harus dilakukan bertahap. Pemakanan fitur miring diawali dengan membuat
profil berundak terlebih dahulu. Nantinya, bagian ini akan dimakan pada
pemakanan finishing. Feed rate diatur sebesar 100 mm/menit karena operasi
pemakanan yang dilakukan adalah pemakanan lurus. Gambar dibawah ini
menunjukkan jalannya alat iris saat melakukan pemakanan benda kerja.
Tabel 4.5 Program Baris 8 hingga 27

N G/M X Z F H
N8 G00 X2100 Z200
N9 G84 X2000 Z-4900 F100 H00
N10 G00 X2000 Z200
N11 G84 X1900 Z-4500 F100 H00
N12 G00 X1800 Z200
N13 G01 X1800 Z-4100 F100
N14 G00 X1800 Z-2050
N15 G01 X1700 Z-2050 F100
N16 G01 X1700 Z-3700 F100
N17 G01 X1800 Z-3700 F100
N18 G00 X1700 Z-2200
N19 G01 X1600 Z-2200 F100
N20 G01 X1600 Z-3300 F100
N21 G01 X1700 Z-3300 F100
N22 G00 X1600 Z-2350
N23 G01 X1500 Z-2350 F100
N24 G01 X1500 Z-2900 F100
N25 G01 X1600 Z-2900 F100
N26 G00 X1800 Z-2900
N27 G00 X1800 Z200
Gambar 4.19 Jalannya Alat Iris Pada Program Warna Merah

Gambar 4.20 Jalannya Alat Iris Pada Program Warna Biru

4.1.9.6. Pemakanan Lurus

Langkah pemakanan selanjutnya adalah pemakanan lurus sedalam 1 mm


[(18 mm-16 mm)/2] sejauh 16 mm dengan kode pemakanan siklus G84. Kedalaman
1 kali makan pada kode G84 adalah sebesar 0,4 mm sehingga pemakanan terjadi
sebanyak 3 kali dengan rincian 2 kali pemakanan sedalam 0,4 mm dan pemakanan
ketiga sedalam 0,2 mm. Feed rate diatur sebesar 100 mm/menit karena operasi
pemakanan yang dilakukan adalah pemakanan lurus.
Tabel 4.6 Program Baris 27 hingga 28

N G/M X Z F H
N27 G00 X1800 Z200
N28 G84 X1600 Z-1600 F100 H40

4.1.9.7.Persiapan Pemakanan Profil Melingkar


Sama seperti pemakanan miring, profil melingkar tidak dapat dikerjakan
dengan satu kali tahap pemakanan, namun harus dilakukan bertahap. Pemakanan
fitur melingkar diawali dengan membuat profil berundak terlebih dahulu. Nantinya,
bagian ini akan dimakan pada tahap finishing. Feed rate diatur sebesar 100
mm/menit karena operasi pemakanan yang dilakukan adalah pemakanan lurus.
Gambar dibawah ini menunjukkan jalannya alat iris saat melakukan pemakanan
benda kerja.
Tabel 4.7 Program Baris 29 hingga 40

N G/M X Z F H
N29 G00 X1600 Z200
N30 G84 X1500 Z-1345 F100 H00
N31 G00 X1500 Z200
N32 G84 X1400 Z-1236 F100 H00
N33 G00 X1400 Z200
N34 G84 X1300 Z-1157 F100 H00
N35 G00 X1300 Z200
N36 G84 X1200 Z-1095 F100 H00
N37 G00 X1200 Z200
N38 G84 X1100 Z-1043 F100 H00
N39 G00 X1100 Z200
N40 G84 X1000 Z-1000 F100 H00
Gambar 4.21 Jalannya Ala Iris pada Program Baris ke 29 hingga 40

4.1.9.8. Pemakanan Lurus


Langkah pemakanan selanjutnya adalah pemakanan lurus sedalam 1 mm
[(10 mm-8 mm)/2] sejauh 8 mm dengan kode pemakanan siklus G84. Kedalaman
1 kali makan pada kode G84 adalah sebesar 0,4 mm sehingga pemakanan terjadi
sebanyak 3 kali dengan rincian 2 kali pemakanan sedalam 0,4 mm dan pemakanan
ketiga sedalam 0,2 mm. Feed rate diatur sebesar 100 mm/menit karena operasi
pemakanan yang dilakukan adalah pemakanan lurus.
Tabel 4.8 Program Baris 41 hingga 42

N G/M X Z F H
N41 G00 X1000 Z200
N42 G84 X800 Z-800 F100 H40

4.1.9.9. Persiapan Pemakanan Profil Miring


Pemakanan fitur miring diawali dengan membuat profil berundak terlehih
dahulu. Feed rate diatur sebesar 100 mm/menit karena operasi pemakanan yang
dilakukan adalah pemakanan lurus. Gambar dibawah ini menunjukkan jalannya alat
iris saat melakukan pemakanan benda kerja.
Tabel 4.9 Programm Baris 43 hingga 56

N G/M X Z F H
N43 G00 X800 Z200
N44 G84 X700 Z-700 F100 H00
N45 G00 X700 Z200
N46 G84 X600 Z-600 F100 H00
N47 G00 X600 Z200
N48 G84 X500 Z-500 F100 H00
N49 G00 X500 Z200
N50 G84 X400 Z-400 F100 H00
N51 G00 X400 Z200
N52 G84 X300 Z-300 F100 H00
N53 G00 X300 Z200
N54 G84 X200 Z-200 F100 H00
N55 G00 X200 Z200
N56 G84 X100 Z-100 F100 H00

Gambar 4.22 Jalannya Ala Iris pada Program Baris ke 43 hingga 56

4.1.9.10. Finishing
Tahap pemakanan terakhir adalah finishing pada seluruh permukaan luar
benda kerja. Feed rate yang digunakan berbeda-beda sesuai dengan arah gerak alat
iris.
Tabel 4.10 Programm Baris 57 hingga 69

N G/M X Z F H
N57 G01 X00 Z00 F100
N58 G01 X800 Z-800 60
N59 G01 X990 Z-800 80
N60 G01 X990 Z-1000 80
N61 G03 X1598 Z-1600 40
N62 M99 I499 K625
N63 G01 X1800 Z-1600 80
N64 G01 X1800 Z-1900 80
N65 G01 X1400 Z-2500 60
N66 G01 X2100 Z-5300 60
N67 G01 X2300 Z-5300 80
N68 G01 X2300 Z-5500 80
N69 G01 X2500 Z-5500 80

4.1.9.11. Mengakhiri Program


Setelah finishing selesai dilakukan, alat iris dikembalikan ke posisi awal.
Setelah alat iris Kembali ke posisi awal, spindle dimatikan dengan kode M05. Lalu
program diakhiri dengan kode M30.
Tabel 4.10 Programm Baris 70 hingga 72

N G/M X Z F H
N70 G00 3154 Z200
N71 M05
N72 M30

4.2. Penggunaan Kode G01 Pada Baris Program 15 hingga 21


Tujuan dibuatnya program TU2A dari baris 8 hingga 27 adalah sebagai tahap
pemakanan persiapan sebelum pemakanan finishing miring dilakukan pada area
yang ditunjukkan gambar 4.24. Kode yang digunakan untuk melakukan pemakanan
persiapan pada baris 8 hingga 13 adalah G84 dan G01, sementara pada baris 14
hingga 27 menggunakan kode G01 dan G00. Secara detail pergerakan alat iris pada
program bari ke 15 hingga 21 telah dijelaskan pada subbab 4.9.1.5.
Pada program baris 14 hingga 27, sequence gerak dari alat iris adalah sebagai
berikut
a. Alat iris berada di titik awal, yaitu sumbu Z - 20,5 mm (1,5 mm
dari titik miring paling kanan) dan X 18 dengan G00 (dengan feed
rate maksimal dari mesin)
b. Alat iris bergerak pada arah sumbu X negatif sedalam 1 mm
menuju titik koordinat Z -20,5 dan X 17 dengan G01 (feed rate 100
mm/menit)
c. Bergerak ke kiri hingga menuju target akhir pemakanan persiapan
profil miring yang dapat ditentukan dengan teorema phytagoras,
yaitu Z 3700 X 17. Kode yang digunakan adalah G01 yaitu
pemakanan lurus dengan feed rate 100 mm/menit
d. Mundurkan alat iris sejauh 1 mm ke arah sumbu X positif menuju
titik koordinat Z 3700 X 18
e. Alat iris menuju titik Z -22 dan X 17. Nilai ini didapatkan dari
koordinat pada point B sumbu Z yang ditambahkan nilai -1,5 mm
f. Alat iris bergerak pada arah sumbu X negatif sedalam 1 mm
menuju titik koordinat Z -22 dan X 16 dengan G01 (feed rate 100
mm/menit)
g. Bergerak ke kiri hingga menuju target akhir pemakanan persiapan
profil miring yang dapat ditentukan dengan teorema phytagoras,
yaitu Z 3300 X 16. Kode yang digunakan adalah G01 yaitu
pemakanan lurus dengan feed rate 100 mm/menit
h. Mundurkan alat iris sejauh 1 mm ke arah sumbu X positif menuju
titik koordinat Z 3300 X 17
i. Pola ini dilanjutkan hingga selesai
Dengan melihat pola yang diatas dapat disimpulkan bahwa setelah
pemakanan sedalam 1 mm, posisi alat iris akan dipindahkan menuju titik awal
pemakanan sedalam 1 mm pada tahap selanjutnya. Posisi ini berbeda dari titik awal
dari alat iris sebelum pemakanan sedalam 1 mm dilakukan. Gerakan ini tidak
dimungkinkan dilakukan dengan kode G84. Hal ini dikarenakan, dengan kode G84
alat iris akan selalu kembali ke koordinat awal yang ditunjukkan pada baris sebelum
kode G84 ditulis. Oleh karena itu, jika posisi akhir dari alat iris yang diinginkan
setelah melakukan pemakanan berubah dari posisi awal sebelum pemakanan
dilakukan, operator harus menggunakan kombinasi kode G01 dan G00.

7 5
8
2

3 1
4

Gambar 4.23 Ilustrasi Gerakan Alat Iris pada Program Baris 14 hingga 27

Gambar 4.24 Area Pemakanan pada Program Baris 8 hingga 24

4.3. Kondisi yang Mengharuskan Untuk Menaikkan Kecepatan Putar Spindle

Kecepatan putar spindle adalah kemampuan kecepatan putar dari mesin CNC
TU2A pada saat proses pemakanan dilakukan (Direktorat Sekolah Menengah
Kejuruan, 2013). Kecepatan putar spindle biasanya dinyatakan dalam Rpm atau
rotation per minute. Berikut ini adalah formula yang digunakan untuk menentukan
kecepatan putar spindle (Direktorat Sekolah Menengah Kejuruan, 2013).
1000. 𝐶𝑠
𝑛= 𝑅𝑝𝑚
𝜋. 𝑑
𝑛 = 𝑘𝑒𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑝𝑢𝑡𝑎𝑟 𝑠𝑝𝑖𝑛𝑑𝑙𝑒 (𝑅𝑝𝑚)
𝐶𝑠 = 𝑐𝑢𝑡𝑡𝑖𝑛𝑔 𝑠𝑝𝑒𝑒𝑑(𝑚/𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡)
𝑑 = 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑏𝑒𝑛𝑑𝑎 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎 (𝑚𝑚)
Berdasarkan formula diatas, dapat disimpulkan bahwa kecepatan spindle
berbanding lurus terhadap cutting speed dan berbanding terbalik dengan diameter
benda kerja yang sedang dikerjakan. Cutting speed yang dimaksud pada formula
ini adalah panjang tatal yang mampu disayat oleh alat iris dari benda kerja. Nilai
cutting speed tergantung dari jenis alat iris yang digunakan. Secara umum terdapat
dua jenis alat pahat yaitu pahat bubut high speed steel dan carbide. Nilai cutting
speed alat potong carbide jika digunakan pada benda kerja yang sama umumnya
lebih tinggi daripada alat potong high speed steel (Direktorat Sekolah Menengah
Kejuruan, 2013).
Oleh karena itu, ketika cutting speed lebih tinggi dan diameter benda kerja
yang digunakan lebih kecil, maka kecepatan putar spindle harus diturunkan dengan
mengatur tuas kecepatan spindle.
Selain itu, operator dapat meningkatkan kecepatan putar spindle ketika
diinginkan benda kerja yang dihasilkan memiliki surface roughness yang lebih
rendah. Berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Kumar, didapatkan hasil
bahwa meningkatkan kecepatan putar spindle akan menurunkan kekasaran
permukaan dari benda kerja (Kumar et al., 2012).

Gambar 4.25 Grafik Surface Roughness VS Spindle Speed

4.4. Faktor yang Menyebabkan Pemakanan Benda Kerja Tidak Halus


Terdapat 5 parameter utama dalam proses pembubutan. Kelima parameter
tersebut adalah cutting speed, kecepatan putaran mesin bubut, feed rate, depth of
cut, dan waktu pemesinan (Direktorat Sekolah Menengah Kejuruan, 2013).
Keempat parameter tersebut dapat mempengaruhi surface roughness dari benda
kerja.
Pertama, cutting speed. Menurut Parhad (2015), peningkatan cutting speed
akan mengurangi surface roughness. Oleh karena itu dengan cutting speed yang
terlalu rendah, maka benda kerja yang dihasilkan akan semakin kasar.

Gambar 4.26 Cutting Speed Vs Surface Roughness

Kedua, kecepatan putar spindle. Seperti yang telah dijelaskan pada subbab
4.2, surface roughness berbanding terbalik terhadap kecepatan spindle. Semakin
tinggi kecepatan putar spindle, maka surface roughness akan semakin berkurang
sehingga permukaan benda kerja akan semakin halus.

Ketiga, feed rate. Feed rate adalah jarak tempuh alat iris selama satu putaran
dari spindle atau kecepatan maju alat iris terhadap benda kerja. Surface roughness
berbanding lurus terhadap feed rate (Kumar et al., 2012). Semakin tinggi feed rate,
maka surface roughness akan semakin tinggi sehingga permukaan benda kerja akan
semakin kasar.
Gambar 4.27 Grafik Surface Roughness VS Feed Rate

Keempat, depth of cut. Kedalaman pemakanan setiap 1 kali pemakanan benda


kerja pada mesin TU2A juga akan mempengaruhi kekasaran permukaan dari benda
kerja. Depth of cut berbanding lurus terhadap surface roughness, yaitu semakin
tinggi depth of cut, maka surface roughness yang dihasilkan akan semakin tinggi
(Zurita, 2018). Oleh karena itu, penggunaan depth of cut yang terlalu besar akan
meningkatkan kekasaran permukaan dari benda kerja

Gambar 4.28 Depth of Cut Vs Surface Roughness

Kelima, lama permesian. Akan tetapi, parameter ini tidak relevan pada mesin
CNC TU2A karena waktu pemesinan akan selalu konsisten sesuai dengan program
yang diinputkan. Parameter ini relevan pada mesin bubut manual karena gerakan
putar roda pemutar sumbu X atau Z untuk menggerakkan alat iris dapat bervariasi
sesuai dengan kecepatan putar tangan dari operator. Ketika benda kerja diproses
dengan durasi yang tidak sesuai dengan durasi yang diperlukan maka akan
mempengaruhi tingkat kekasaran dari benda kerja. Misalnya, durasi pemakanan
lurus dapat ditentukan melalui formula yang ditunjukkan gambar 4.29. Apabila
durasi pemakanan kurang dari durasi yang ditentukan maka benda kerja yang
dihasilkan akan kasar.

Gambar 4.29 Formulasi Durasi Pemakanan Lurus

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa permukaan benda kerja yang


dihasilkan akan memiliki surface roughness yang tinggi atau kasar jika cutting
speed yang digunakan terlalu rendah, feed rate yang terlalu tinggi, depth of cut yang
terlalu tinggi dan kecepatan putar spindle yang rendah.
Setidaknya terdapat tiga indikator pemakanan benda kerja yang aman dan
akan menghasilkan permukaan yang halus serta rata. Indikator tersebut adalah tatal
yang dihasilkan kecil atau tidak memanjang, amperemeter tidak menunjukkan nilai
lebih dari 3,5A, dan tidak ada suara keras dan janggal dari alat iris yang menyentuh
benda kerja.

4.5. Feed rate Finishing


Feed rate yang digunakan pada program mesin CNC TU2A harus disesuaikan
dengan operasi pemakanan benda kerja yang dilakukan. Berdasarkan rekomendasi
yang diberikan oleh asisten laboratorium, feed rate yang direkomendasikan untuk
pemakanan lurus adalah sebesar 100 mm/menit; feed rate yang direkomendasikan
untuk pemakanan miring adalah sebesar 80 mm/menit; dan feed rate yang
direkomendasikan untuk pemakanan melingkar adalah sebesar 60 mm/menit.
Feed rate yang telah disebutkan sebelumnya merupakan feed rate yang
digunakan untuk proses roughing atau pemakanan pada tahap awal. Untuk
pemakanan finishing, maka feed rate yang digunakan sebaiknya lebih rendah
daripada yang telah disebutkan. Hal ini berkaitan dengan pengaruh feed rate
terhadap kekasaran permukaan yang dijelaskan pada subbab 4.4 dimana semakin
tinggi feed rate yang digunakan maka surface roughness yang dihasilkan akan
semakin tinggi. Pemakanan finishing merupakan pemakanan terakhir pada benda
kerja sehingga diharapkan hasil pemakanan tersebut akan menghasilkan kekasaran
permukaan yang paling rendah sehingga hal ini memerlukan feed rate yang lebih
rendah pula.
Feed rate yang direkomendasikan untuk finishing adalah sebesar feed rate
normal dikurangi dengan 20 mm/menit. Dengan demikian, formula yang dapat
digunakan untuk menentukan feed rate finishing adalah sebagai berikut
𝐹𝑒𝑒𝑑 𝑅𝑎𝑡𝑒 𝑓𝑖𝑛𝑖𝑠ℎ𝑖𝑛𝑔 = 𝐹𝑒𝑒𝑑 𝑅𝑎𝑡𝑒 𝑓𝑖𝑛𝑖𝑠ℎ𝑖𝑛𝑔 − 20 𝑚𝑚/𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
𝐹𝑒𝑒𝑑 𝑅𝑎𝑡𝑒 𝑓𝑖𝑛𝑖𝑠ℎ𝑖𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑚𝑎𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑙𝑢𝑟𝑢𝑠 = 100 𝑚𝑚/𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 − 20 𝑚𝑚/𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = 80 𝑚𝑚/𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
𝐹𝑒𝑒𝑑 𝑅𝑎𝑡𝑒 𝑓𝑖𝑛𝑖𝑠ℎ𝑖𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑚𝑎𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑙𝑢𝑟𝑢𝑠 = 80 𝑚𝑚/𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 − 20 𝑚𝑚/𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = 60 𝑚𝑚/𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
𝐹𝑒𝑒𝑑 𝑅𝑎𝑡𝑒 𝑓𝑖𝑛𝑖𝑠ℎ𝑖𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑚𝑎𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑙𝑢𝑟𝑢𝑠 = 60 𝑚𝑚/𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 − 20 𝑚𝑚/𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 = 40 𝑚𝑚/𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡

4.6. Alasan Kode G84 Memiliki H Sedangkan Kode G01 Tidak Memiliki H
Kode H pada G84 berfungsi sebagai penunjuk kedalaman satu kali
pemakanan selama proses pemakanan siklus. Misalnya, program pada tabel 4.11.
Kode tersebut bertujuan untuk melakukan lurus secara iteratif sedalam 1 mm [(10
mm-8 mm)/2] sejauh 8 mm dengan kedalaman 1 kali makan sebesar 0,4 mm.
Dengan demikian, pemakanan terjadi sebanyak 3 kali dengan rincian 2 kali
pemakanan sedalam 0,4 mm dan pemakanan ketiga sedalam 0,2 mm. Tanpa
informasi berupa kedalaman satu kali pemakanan maka (H=0), maka kode ini akan
diartikan bahwa alat iris akan melakukan pemakanan langsung sedalam target
kedalam akhir (tidak dilakukan bertahap).
Sementara itu, pada kode G01, pemakanan hanya terjadi satu kali yaitu
sedalam perbedaan nilai koordinat X pada kode G01 dengan nilai koordinat X pada
titik awal alat iris. Oleh karena itu, kode G01 tidak memerlukan keterangan
tambahan berupa kedalaman pemakanan untuk setiap siklusnya.
Tabel 4.11 Contoh Program G84

N G/M X Z F H
N41 G00 X1000 Z200
N42 G84 X800 Z-800 F100 H40

4.7.Perbedaan Nilai H00 dan H40 pada G84 dan Nilai Maksimal H
Kode G84 dapat dilengkapi dengan nilai H tertentu atau 0. Nilai H
menunjukkan kedalaman setiap satu kali pemakan pada setiap siklusnya. Jika nilai
H disetting sebesar 0, maka kode ini akan diartikan bahwa alat iris akan melakukan
pemakanan langsung sedalam target kedalam akhir (tidak dilakukan bertahap).
Sementara itu, jika nilai H di-setting sebesar 40, maka kode ini akan diartikan
bahwa alat iris akan melakukan pemakanan sedalam 0,4 mm setiap siklusnya.
Penggunaan kode G84 ini dilakukan untuk meningkat penulisan program.
Nilai maksimum dari H adalah sebesar 1 mm. Dengan nilai H ini,
pemakanan akan dilakukan langsung sedalam 1 mm atau seperti layaknya program
G01 biasanya, namun posisi alat iris akan langsung berpindah ke posisi awal. Nilai
1 mm merupakan rule of thumb nilai maksimal dari depth of cut yang biasanya
digunakan pada mesin bubut. Akan tetapi, sebaiknya operator menggunakan depth
of cut yang lebih kecil untuk menghasilkan permukaan benda kerja yang lebih
halus. Pada praktikum ini, nilai depth of cut yang direkomendasikan pada setiap
siklus pemakanan G84 adalah 0,4 mm.

4.8. Perhitungan M99


Format penulisan kode M99 adalah pada mesin CNC TU2A ditunjukkan pada
tabel 4.12. Kode M99 didahului oleh kode G03 atau G02 yang menunjukkan target
titik akhir profil melingkar yang diinginkan. Pada kode M99, nilai I menunjukkan
jarak antara titik start pemakanan melingkar ke pusat lingkaran pada sumbu X.
Sementara itu, nilai K menunjukkan jarak antara titik start pemakanan melingkar
ke pusat lingkaran pada sumbu Z. Nilai I dan K selalu positif.
Tabel 4.12 Format Penulisan Program M99

N G/M X Z F H
XX G03/G02 X# Z# 40
XX M99 I# K#

Pada proses pembuatan profil melingkar pada benda kerja yang akan dibuat,
penentuan titik I kan K sulit dilakukan secara manual. Untuk memudahkan
prosesnya, maka aplikasi CAD seperti Fusion 360 dapat digunakan. Prosedurnya
adalah dengan membuat sketsa dari benda kerja yang akan dibuat lalu mengukur
jarak I dan K dengan menggunakan fitur distance. Gambar 4.30 menunjukkan
sketsa benda kerja yang telah dibuat praktikan dengan Fusion 360. Berdasarkan
pengukuran yang telah dilakukan, nilai I yang didapatkan adalah sebesar 4,99 mm
dan nilai K yang didapatkan adalah sebesar 6,25 mm.

Gambar 4.30 Sketsa Benda Kerja

4.9. Tahapan Penentuan Titik Nol dan Penempatan Alat Iris


Sebelum program TU2A dieksekusi, maka titik nol harus ditentukan terlebih
dahulu. Prosedur untuk menentukan titik nol sumbu X dan sumbu Z telah dijelaskan
secara detail pada subbab 4.1.4.
Secara ringkas, penentuan titik nol sumbu Z dilakukan dengan mendekatkan
alat iris pada permukaan luar benda kerja hingga benda kerja termakan oleh alat iris
dan terbentuk goresan melingkar. Hal ini dilakukan untuk memastikan seluruh
permukaan pada arah sumbu Z dapat termakan semua oleh alat iris termasuk pada
bagian yang paling cekung.
Setelah titik nol sumbu Z ditetapkan maka langkah selanjutnya adalah
menetapkan titik nol sumbu X. Berbeda dengan penetapan titik nol sumbu Z, pada
penetapan titik nol sumbu X dilakukan 2 kali. Titik nol pertama didapatkan ketika
alat iris menyentuh permukaan lateral benda kerja dan terbentuk goresan melingkar.
Setelah itu, titik alat iris dimajukan pada arah sumbu X negatif sebesar 0,2 hingga
0,3 mm. Hal ini memiliki tujuan agar seluruh permukaan lateral dari benda kerja
dapat termakan oleh alat iris termasuk pada bagian yang paling cekung.

4.10. Kesulitan Selama Praktikum


Secara umum tidak terjadi kesulitan yang berarti selama proses praktikum
mesin CNC TU2A. Tahap praktikum yang paling sulit adalah penentuan titik nol
pada sumbu Z dan X. Hal ini memerlukan keterampilan yang tinggi. Akan tetapi,
dengan bantuan aslab proses ini dapat berjalan dengan lancar. Selain itu, praktikan
merasa kesulitan menghafalkan fungsi tombol-tombol yang terdapat pada mesin
terutama perintah fungsi-fungsi tertentu yang harus menekan beberapa tombol
secara simultan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan melalui praktikum mesin CNC TU2A ini
adalah sebagai berikut
1. Proses pembuatan benda kerja berupa bidak catur adalah sebagai berikut
a. Menginput program dry run
b. Eksekusi program dry run
c. Memasang alat iris
d. Menentukan titik nol sumbu Z dan X
e. Mengukur diameter benda kerja
f. Menggeser alat iris sejauh 2 mm pada arah sumbu Z dan X
g. Menginput program TU2A
h. Memberisakan benda kerja dan mesin dari tatal
2. Program pada Baris 15 hingga 21 menggunakan G01 karena alat iris akan
diposisikan pada titik akhir yang berbeda dengan titik awal dari alat iris
sebelum pemakanan
3. Kecepatan putar spindle harus dinaikkan ketika cutting speed lebih tinggi
dan diameter benda kerja yang digunakan lebih kecil, maka kecepatan putar
spindle
4. Penyebab permukaan benda kerja tidak halus adalah sebagai berikut:
a. Cutting speed yang terlalu rendah
b. Kecepatan putar spindle yang terlalu rendah
c. Feed rate yang terlalu tinggi
d. Depth of cut yang terlalu besar
5. Tujuan feed rate finishing disetting lebih rendah daripada proses roughing
adalah untuk mengurangi surface roughness dari benda kerja
6. H pada kode G84 berfungsi sebagai informasi kedalaman 1 kali pemakanan
pada setiap siklus pemakanan. Sementara itu, kode G01 tidak membutuhkan
H karena pemakanan tidak terjadi secara bersiklus, namun hanya 1 kali saja
yaitu sebesar target kedalaman yang ditentukan.
7. Nilai H sebesar 0 menunjukkan bahwa kedalaman pemakanan adalah
sebesar target kedalaman akhir dan siklus pemakanan hanya terjadi 1 kali
saja
8. Pada kode M99, nilai I menunjukkan jarak antara titik start pemakanan
melingkar ke pusat lingkaran pada sumbu X. Sementara itu, nilai K
menunjukkan jarak antara titik start pemakanan melingkar ke pusat
lingkaran pada sumbu Z. Nilai I dan K selalu positif. Untuk memudahkan
proses kalkulasi nilai I dan K, maka aplikasi CAD seperti Fusion 360 dapat
digunakan
9. Penetapan titik nol sumbu Z dilakukan dengan mendekatkan alat iris pada
permukaan luar benda kerja hingga benda kerja termakan oleh alat iris dan
terbentuk goresan melingkar. Hal ini dilakukan untuk memastikan seluruh
permukaan pada arah sumbu Z dapat termakan semua oleh alat iris termasuk
pada bagian yang paling cekung.
10. Penetapan titik nol sumbu X dilakukan 2 kali. Titik nol pertama didapatkan
ketika alat iris menyentuh permukaan lateral benda kerja dan terbentuk
goresan melingkar. Setelah itu, titik alat iris dimajukan pada arah sumbu X
negatif sebesar 0,2 hingga 0,3 mm. Hal ini memiliki tujuan agar seluruh
permukaan lateral dari benda kerja dapat termakan oleh alat iris termasuk
pada bagian yang paling cekung.

5.2. Saran
Saran yang dapat praktikan berikan kepada mahasiswa yang akan melakukan
praktikum yang serupa adalah sebagai berikut
1. Membaca dan memahami program TU2A yang tertera pada SOP
2. Memahami fungsi-fungsi tombol pelayanan mesin TU2A
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. (2013). Teknik Pemesinan

Bubut 1. Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan


Kumar, N. S., Shetty, A., Shetty, A., & Shetty, H. (2012). Effect of spindle speed
and feed rate on surface roughness of Carbon Steels in CNC turning.
Procedia Engineering, 38, 691 – 697. Retrieved 2022, from
https://reader.elsevier.com/reader/sd/pii/S1877705812020000?token=6F2F
B0EB431431020E1C12FB0CF06B3BABB5680C6D97F7C6017A443434
BC15F5169FB4E004CEFF9173EF8496D3200F10&originRegion=eu-
west-1&originCreation=20220527074808
Parhad, P., Ajay Likhite, Peshwe, D., & Likhite, A. (2015). The Effect of Cutting
Speed and Depth of Cut on Surface Roughness During Machining of
Austempered Ductile Iron.
https://link.springer.com/article/10.1007/s12666-014-0439-
y#:~:text=The%20increase%20in%20cutting%20speed,deteriorates%20wi
th%20decreasing%20cutting%20speed
Zurita, O., Di-Graci, V., & Capace, M. (2018). Effect of cutting parameters on
surface roughness in turning of annealed AISI-1020 steel. Revista Facultad
de Ingeniería, 27, 111-118. Retrieved 2022, from
https://revistas.uptc.edu.co/index.php/ingenieria/article/view/7928
Peer Review
1. Arulloh Sonja (98)
2. Evan Alvaro Radeva (97)
3. Adrian Prathama Djuna Putra (96)
4. Anggitha Ayu F.P (95)
5. Dhiajeng Harimbi Murti (94)

Anda mungkin juga menyukai