Anda di halaman 1dari 5

Afkar Menggapai Puasa Paripurna

DAFTAR ISI

14 Sajian Utama

IKHTIYAR MENJAGA KUALITAS IMAN SETELAH DITINGGAL PERGI RAMADAN

19 Sajian Utama

MENGGAPAI PUASA PARIPURNA, MERAIH MUTIARA BERKAH

25 Ijtihad

DEMI PUASA SIASATI DATANG BULAN, SILAHKAN!

30 Ijtihad

NU DAN MUHAMMADIYAH ; MUNGKINKAH SATU JAMAAH DALAM TARAWIH?

36 Ijtihad

HALAL BI HALAL BERMASALAH

40 Ensiklopedi

MERETAS HIKMAH DI BALIK PERSYARIATAN IKTIKAF

44 Ensiklopedi

MENILIK ZAKAT FITRAH DI ERA MODERN

49 Ensiklopedi

MENYIKAPI PERBEDAAN SALAT TARAWIH

53 Ensiklopedi

SALAT IED SEBAGAI SYIAR ISLAM YANG HARUS

60 Khotbah

MOMENT KEMENANGAN ; MENGUKUHKAN MORAL, SOSIAL DAN JIHAD FI

65 Qawaid

MELUPAKAN MEREKA YANG PAPA


FATAWA

ZAKAT KEPADA TOKOH MASYARAKAT

Sudah menjadi fakta di bumi garuda merah-putih tercinta ini, acap kali pada bulan suci Ramadan
masyarakat muslim memberikan zakat fitrahnya kepada tokoh masyarakat yang mereka pandang
sebagai suri teladan, seperti kiai, guru ngaji, ustaz dan lain-lain. Kata mereka, “memberikan zakat fitrah
kepada orang alim, yang salat fardu dan sunahnya terjaga, yang tidak pernah meninggalkan puasa
Ramadan dan sunah, yang berjuang untuk mendakwahkan syariat Islam lebih baik dari pada dibagikan
kepada mereka yang tidak menjaga kewajibannya sebagai muslim (salat dan puasa)”. Padahal,
jangankan untuk menegakkan rukun Islam yang kedua (salat), berdiri untuk hidup-pun mereka tidak
mampu sebab keroncong gua garbanya (perut) yang selalu meronta-ronta, miskin-papa.

Setelah beras atau uang fitrah diterima oleh mereka yang disebut-sebut sebagai alim-ulama,
harta tersebut ada yang hanya dimonopoli untuk keperluan mereka dan keluarganya sendiri. Ada yang
juga sempat disisihkan kepada kaum fakir-miskin yang berada disekitarnya, menjadi kepanjangan tangan
dari para muzakki (orang yang berkewajiban masyarakat) untuk menyerahkan kepada mustahiqqin
(orang yang berhak menerima zakat). Ada juga yang tidak digunakan untuk keperluan dirinya dan
keluarganya semata, melainkan juga untuk kebutuhan pangan santri-santrinya yang mayoritas tidak
mampu.

Lantas, bagaimana fikih menyikapi fenomena ini? Bolehkah memberikan zakat fitrah kepada
tokoh masyarakat tersebut? Apakah dia tergolong amil zakat sehingga berhak mengatur pendistribusian
zakat sekaligus menerimanya? Apakah santri juga berhak menerima zakat? Jika berhak, apakah tindakan
para kiai dibenarkan secara syariat terkait dengan zakat fitrah yang hanya dilokasikan kepada santri-
santrinya yang mayoritas tidak mampu?

Mukadimah

Alquran

……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

“Sesungguhnya seluruh harta zakat hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, budak (budak mukatab atau yang
membayar cicilan untuk memerdekakan dirinya), orang-orang yang berhutang, di distribusikan di jalan
Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah,
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [Q.S. al-Taubah: 60]

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….

“Dan infakkanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berbuat baik.” [Q.S. al-Baqarah: 195]
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hokum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Q.S. al-Nisa: 58]

Hadis

……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….

“Diriwayatkan dari ibnu Abbas r.huma., beliau berkata, Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah
sebagai penyuci orang yang berpuasa (Ramadan, red) dari segala kekeliruan, sebagai makanan untuk
kaum fakir-miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum salat (idul fitri, red) dilaksanakan maka
zakat fitrahnya diterima. Barangsiapa yang menunaikannya setelah salat (idul fitri, red) maka harta
tersebut masih sah dianggap sebagai zakat fitri (namun hukumnya haram, red).” [H.R. Abu dawud dan
ibnu majah]

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.huma., beliau berkata, Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah
seukuran satu sak (2,75 kg, red) kurma atau gandum (makanan pokok di daerah arab pada zaman
lampau, red). Zakat fitrah diwajibkan kepada seluruh orang muslim yang berstatus budak, orang yang
merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil (belum balig, red), orang yang sudah dewasa (balig, red).
Beliau juga memerintah kepada umatnya untuk mengeluarkannya sebelum masyarakat keluar menuju
masjid dalam melaksanakan salat (salat idul fitri, red). [H.R. Bukhari dan Muslim]

Kaidah Usul fikih

……………………………………………………………………………………………

“Yang diperhitungkan adalah keumuman redaksi bukan kekhususan sebab (realita yang terjadi
pada saat nas diturunkan, red).”

Jawaban

Zakat fitrah termasuk dari bagian salah satu harta zakat yang wajib ditunaikan bagi setiap
muslim yang sudah memenuhi syarat (menjumpai satu hari di bulan Ramadan dan satu hari di bulan
bulan Syawal, serta hartanya lebih dari kebutuhan dirinya dan orang yang di nafkahinya) baik atas nama
dirinya dan orang yang dinafkahinya berdasarkan ALquran dan Hadis serta ijmak seluruh ulama. Adapun
golongan yang berhak menerima zakat (baik zakat fitrah maupun mal) berjumlah delapan golongan
sebagaimana yang telah disebutkan dalam surah al-Taubah ayat 60 di atas. Salah satunya adalah
golongan fi sabilillah.

Menurut mayoritas ulama fikih dan pakar imu tafsir, makna dari kata fi sabilillah (……………..)
pada surah al-Taubah ayat 60 di atas adalah orang yang berperang guna menegakkan nama Allah
(Islam). Sehingga, mereka yang berjihad (perang) di jalan Allah berhak menerima harta zakat dalam
rangka mempersiapkan peralatan-perlatan perang yang dibutuhkan.

Beda halnya menurut salah satu filsuf terkemuka, Imam Fakhruddin al-Razi, penulis tafsir
mafatih al-ghaib mengatakan makna dari kata fi sabilillah (………..) tidak hanya tertentu pada mereka
yang berperang atas nama Allah swt. (al-ghuzan fi sabilillah) melainkan juga mencakup kepada seluruh
bentuk kebaikan. Beliau juga mengutip pendapat Imam al-Qaffal yang menukil pendapat sebagian ulama
fikih bahwa harta zakat boleh didistribusikan dalam bentuk apapun yang bernuansa kebaikan, seperti
mengkafani jenazah, mendirikan benteng, mendirikan masjid, karena makna kata fi sabilillah (………….)
dalam ayat tersebut mencakup kepada seluruh ruang perilaku yang berdimensi kebaikan. Pendapat ini
juga didukung oleh sebagian ulama Mazhab Hanafi.

Begitu pula makna yang dipahami al-Razi pada kata fi sabilillah (………) dalam surah al-baqarah
ayat 195, kendatipun ayatnya turun untuk menjelaskan kewajiban memberi nafkah sebagai bekal umrah
dan jihad (perang) akan tetapi menurutnya, ayat tersebut tidak hanya terbatas kepada realita yang
sudah terjadi pada saat itu melainkan juga mencakup kepada menginfakkan harta zakat dalam bentuk
kebaikan, seperti pembangunan masjid.

Oleh karena itu, budaya masyarakat yang memberikan zakat fitrahnya kepada tokoh masyarakat
seperti kiai, ustaz, guru ngaji dan lain-lain dapat dibenarkan secara syariat karena hal ini termasuk
memberikan harta zakat dalam jalan kebaikan.

Di dalam literatul klasik, ulama sepakat bahwa seseorang yang bisa menyandang status amil
zakat harus mendapat legalitas resmi dari pemerintah, seperti BAZNAZ (Badan Amil Zakat Nasional) dan
LAZIS (Lembaga Amil Zakat Infak dan Shodaqoh). Sehingga, tokoh masyarakat yang dipercayai oleh
masyarakat untuk mengelola zakat fitrah statusnya bukanlah sebagai amil zakat melainkan wakil dari
orang yang meyerahkan beras atau uang sebagai zakat fitrahnya. Lantaran demikian, maka tokoh
masyarakat harus amanah dalam mengemban tugasnya, yaitu mendistribusikan zakat fitrah kepada
mereka yang berhak, bukan malah memamahnya sendiri serta digunakan untuk kepentingan sanak
keluarganya semata.

Kemudian, tentang persoalan apakah santri (thalib al-‘ilm al-syar’iy) termasuk dari bagian
kelompok orang yang berhak menerima zakat atau tidak, jawabannya adalah iya. Ulama fikih sepakat
bahwa harta zakat boleh diberikan kepada kaum pencari ilmu syariat, termasuk santri. Namun, Mazhab
Syafii dan Hambali hanya memberlakukan hukum ini kepada mereka yang tidak mungkin untuk bekerja
karena sibuk menuntut ilmu. Jika masih mungkin untuk bekerja maka tidak berhak menerima harta
zakat. Beda halnya menurut Mazhab Hanafi yang melegalkan pencari ilmu untuk menerima zakat
sekalipun kaya karena dia termasuk golongan fi sabilillah.

Jika dilihat dari alasan masing-masing ulama di atas maka sejatinya pendapat mereka tidak
bertentangan dan bisa dikompromikan menjadi satu pendapat yang utuh, yaitu seseorang yang
merelakan dirinya untuk sibuk mencari ilmu berhak menerima zakat karena tergolong fi sabilillah,
apalagi mereka yang strata ekonominya rendah guna membantu dan mencukupi kebutuhan dalam
proses memperoleh ilmu syariat Allah swt. dan Nabi Muhammad saw.
Namun, yang perlu diketahui oleh tokoh masyarakat adalah hikmah dibalik dilegislasikannya
kewajiban membayar zakat fitrah, yakni menghapus sekat strata sosial antara yang makmur dan yang
sumber penghidupannya tidak subur di hari idul fitri. Mereka yang fakir bisa juga ikut berbahagia
bersama mereka yang bakir dengan sama-sama melahap secuil rezeki yang didapatkan di hari
kemenangan umat muslim. Oleh karena itu, meskipun dia dan santrinya berhak menerima zakat fitrah,
akan tetapi jangan sembari melupakan kaum fakir-miskin yang berada di sekitarnya. Dalam hal ini
mereka juga punya hak kepada harta zakat fitrah tersebut. Lagi pula, pada umumnya para santri ketika
dikumandangkannya Allahu Akbar wa li Allah al-hamd di hari idul fitri berkumpul dengan keluarganya di
kampong masing-masing, sehingga mereka baru bisa menerima zakat fitrah tersebut ketika sudah waktu
kembali ke tanah penjara suci (pesantren).

Walhasil, tokoh masyarakat seperti kiai, guru ngaji, ustaz serta santrinya juga termasuk orang
yang berhak menerima zakat fitrah karena termasuk fi sabilillah, lebih-lebih yang tidak memiliki gaji dari
pemerintah dan miskin. Di samping tokoh masyarakat tersebut tergolong para mustahiqqin (orang yang
berhak menerima zakat fitrah), juga sebagai wakil dari muzakki (orang yang berkewajiban zakat fitrah)
untuk menyampaikan harta tersebut kepada para penerimanya.

Oleh karena itu, seseorang yang memiliki santri tersebut tidak hanya melibatkan dirinya,
keluarganya serta santrinya untuk menikmati rezeki yang diberikan oleh Tuhan tersebut (zakat fitrah)
melainkan wajib mendahulukan fakir-miskin yang berada di sekitarnya, terutama yang belum
mendapatkan bagian harta zakat fitrah sama sekali. Setelah dialokasikan kepada kaum daif disekitarnya,
sisa harta zakat fitrah bisa dinikmati oleh dia sendiri, keluarganya, serta santrinya. Adapun santri yang
menetap di pesantren, jika dia mempunyai rezeki yang dapat memenuhi kebutuhannya di hari id maka
disamakan seperti yang berlibur ke kampung halaman. Jika ia tergolong orang yang miskin maka dia juga
berhak menerima harta zakat seperti kaum fakir-miskin (non-santri) di sekitarnya. (ZLV)

Referensi

Sahih Bukhari: 130/II, Sahih Muslim: 677/II, Sunan Ibnu Majah: 558/I, Sunan Abi Dawud: 25/II, Bulug al-
Maram min Adillah al-Ahkam: 172, Mafatih al-Ghaib: 76/VIII, 151/III, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh:
93, Bidayah al-Mujtahid: 269/I, Mughni al-Muhtaj: 402/II, al-Muhazzab: 163/I, al-Mughni: 3/LV, Kassyaf
al-Qina’: 287/II, al-Dur al-Mukhtar wa Rad al-Mukhtar: 107-108/I, al-Qawanin al-Fiqhiyyah: 112,
Hasyiyah al-Baijuri: 291/I, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh: 375, 336, 387, 388/III, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah
al-Kuwaitiyyah: 336/XXVIII, 168/XXIV.

Anda mungkin juga menyukai