Zakat Fitrah
1. Pengertian
Makna zakat fitrah secara etimologi, yaitu zakat yang sebab diwajibkannya
adalah karena futur (berbuka puasa) pada bulan Ramadhan. Adapun secara
terminologi, yaitu zakat yang dikeluarkan berdasarkan jumlah atau anggota
keluarga, perempuan dan laki-laki, kecil maupun dewasa wajib mengeluarkan
zakat fitrah pada bulan Ramadhan1. Kata “Fitrah” merujuk pada keadaan manusia
saat baru diciptakan sehingga dengan mengeluarkan zakat ini manusia dengan izin
Allah akan kembali fitrah (suci).
1
Yusuf al-Qardawi, Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an
dan Hadis (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2011), h. 920.
2
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhul al-Islamy Wa Adillatuhu (Jilid 3; Jakarta: Gema Insani Press, 2011), h. 345.
Satu sha’ sama dengan 1/6 liter Mesir, yaitu 11/3 wadah Mesir,
sebagaimana dinyatakan dalam Syarah Dardir, dann yang lain, ia sama dengan
2167 gram (hal itu berdasarkan timbangan dengan gandum). 3 Apabila di suatu
daerah makanan utamanya (makanan pokok) lebih berat daripada gandum seperti
beras, maka wajib untuk menambah dari ukuran tersebut, sebagai timbangan dari
adanya perbedaan itu. Jika kita genapkan untuk kehati-hatian (± 2.5 kg), bagi yang
berbuat lebih terhadap kebajikan, maka akan lebih baik baginya.
Dengan mengumpulkan segala hadits yang berkaitan dengan hal ini kita
mendapat ketentuan, bahwa orang Islam yang wajib mengeluarkan zakat fitrah
adalah orang Islam yang mempunyai kelebihan (makanan atau nilai dalam uang)
dari keperluannya pada malam hari raya. Ini adalah salah satu dari syarat wajib
mengeluarkan zakat fitrah yang penting. Penerapan syarat ini di istinbath dari
hadits “Perkayakanlah mereka pada hari ini”.4
1) Islam.
Orang yang tidak beragama Islam tidak wajib membayar zakat fitrah.
2) Lahir sebelum terbenam matahari pada hari penghabisan bulan
Ramadhan.
Anak yang lahir setelah terbenam matahari tidak wajib fitrah. Orang yang
nikah sesudah terbenam matahari tidak wajib membayarkan fitrah istrinya
yang baru dinikahinya.
3) Dia mempunyai kelebihan harta dari keperluan makanan untuk
dirinya sendiri dan untuk yang wajib dinafkahinya, baik manusia
maupun binatang, pada malam hari raya dan siang harinya.
Orang yang tidak mempunyai kelebihan harta tidak wajib membayar zakat
fitrah karena takut tidak dapat memenuhi keluarganya sendiri.5
3
Yusuf al-Qardawi, Hukum Zakat, h. 948.
4
Teungku Muhammad Hasbi, Pedoman Zakat (Cet. I; Edisi Ketiga, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 223.
5
Qodariah Barkah dkk., Fikih Zakat, Sedekah, dan Wakaf (Cet. 1; Jakarta: Kencana, 2020), h. 54.
3. Waktu Membayar Zakat Fitrah
Waktu untuk menunaikan zakat fitrah menurut Imam Syafi’I adalah boleh
dari permulaan awal Ramadhan, karena sebab dari zakat fitrah itu adalah berpuasa
di bulan Ramadhan dan berbuka puasa dan bukan daripadanya. Apabila terdapat
salah satu sebabnya, maka boleh mempercepatnya seperti halnya zakat harta
setelah memiliki nisab dan belum berlalu satu tahun (haul).6 Pendapat ini tentu
akan lebih memudahkan amil untuk mengumpulkan dan menyalurkannya kepada
para mustahik yang membutuhkan, sehingga jika matahari hari raya telah bersinar
dan zakat fitrah telah sampai kepada orang-orang yang berhak, mereka akan
merasa bahagia dengan kebahagiaan hari raya dan keagungannya, sebagaimana
dirasakan oleh orang lain.
Ulama sepakat bahwa zakat fitrah tidak gugur kewajibannya jika ditunda
pembayarannya melebihi waktu yang diwajibkan. Namun ia masih menjadi
hutang dan tanggungan yang harus dibayar, meskipun harus dilakukan di akhir
hayat, jumhur ulama sepakat, tidak mengakhirkan zakat fitrah melewati shalat hari
raya.7
6
Muwafiquddin Ibnu Qudamah al-Maqdusi, Al-Mughni (Cet. 1; Jilid 3, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 86.
7
Sulaiman Ahmad Yahya al-Faifi, Ringkasan Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), h.
226.
8
Qodariah Barkah dkk., Fikih Zakat, Sedekah, dan Wakaf, h. 54.
4. Mustahik Zakat Fitrah
ِإَّنَم ا ٱلَّص َد َٰق ُت ِلْلُفَقَر ٓاِء َو ٱْلَم َٰس ِكيِن َو ٱْلَٰع ِمِليَن َع َلْيَها َو ٱْلُم َؤ َّلَفِة ُقُلوُبُهْم َو ِفى ٱلِّر َقاِب
َو ٱْلَٰغ ِرِم يَن َو ِفى َس ِبيِل ٱِهَّلل َو ٱْبِن ٱلَّس ِبيِل ۖ َفِريَض ًة ِّم َن ٱِهَّللۗ َو ٱُهَّلل َع ِليٌم َح ِكيٌم
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-
orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan budak), orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. at-Taubah [9]:
60)
Ayat ini menunjukkan bahwa zakat itu wajib diberikan kepada asnaf
yang delapan yaitu orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, para
mualaf yang dibujuk hatinya, hamba sahaya, orang yang berutang di jalan Allah,
sabilillah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dalam hal ini ada tiga
pendapat tentang kepada siapa zakat fitrah diberikan, yaitu:
1) Pendapat yang diwajibkan dibagikannya pada asnaf yang delapan, dengan rata, ini
adalah pendapat yang masyhur dari golongan Syafi’i.
2) Pendapat yang memperkenankan membagikan zakat kepada asnaf yang dedlapan
dan mengkhususkannya kepada golongan fakir, ini adalah pendapat jumhur,
karena zakat fitrah adalah zakat juga sehingga masuk pada keumuman ayat 60 dari
Surah at-Taubah.
3) Pendapat yang mewajibkan mengkhususkan kepada orang-orang fakir saja, ini
adalah pendapat golongan Maliki, salah satu pendapat Imam Ahmad, diperkuat
oleh Ibnu Qayyim dan gurunya Ibnu Taimiah, dimana mereka mengatakan bahwa
zakat fitrah itu hanyalah diberikan kepada fakir miskin saja, tidak kepada yang
lainnya dari asnaf yang delapan.9
1) Fakir, yaitu orang yang tidak berharta dan tidak pula mempunyai pekerjaan
atau usaha tetap guna mencukupi kebutuhan hidupnya (nafkah), sedang orang
yang menanggungnya (menjamin hidupnya) tidak ada.
2) Miskin, yaitu orang-orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya,
meskipun ia mempunyai pekerjaan atau usaha tetap, tetapi hasil usahanya itu
belum mencukupi kebutuhannya, dan orang yang menanggungnya tidak ada.
3) Amil, yaitu mereka (panitia atau organisasi) yang melaksanakan segala
kegiatan urusan zakat, baik mengumpulkan, membagikan (kepada para
mustahiq), maupun mengelolanya.
4) Muallaf, yaitu orang yang masih lemah imannya karena baru memeluk agama
Islam atau orang yang ada keinginan untuk masuk Islam tetapi masih ragu-
ragu. Dengan dibagikannya zakat, dapat memantapkan hatinya di dalam Islam.
5) Riqab, yaitu asal katanya berarti budak belian yang harus dimerdekakan. Jadi,
riqab adalah hamba sahaya yang perlu diberikan bagian zakat agar mereka
dapat melepaskan diri dari belenggu perbudakan.
6) Gharim, yaitu orang yang punya utang karena sesuatu kepentingan yang
bukan untuk perbuatan maksiat dan ia tidak mampu untuk membayar atau
melunasinya. Pertama, orang-orang yang berutang untuk memenuhi kebutuhan
hidup pribadi atau keluarganya. Kedua, orang-orang yang berutang untuk
kepentingan atau kemaslahatan umum, seperti orang yang berutang untuk
menyantuni anak-anak yatim, dan pendidikan anak Islam.
7) Sabilillah, yaitu usaha-usaha yang tujuannya untuk meningkatkan atau
meninggikan syiar Islam, seperti membela atau mempertahankan agama,
mendirikan tempat ibadah, pendidikan, dan rumah sakit.
8) Ibnussabil, yaitu orang kehabisan bekal dalam perjalanan dengan maksud
baik. Singkatnya orang musafir yang memerlukan bantuan.10
9
Qodariah Barkah dkk., Fikih Zakat, Sedekah, dan Wakaf, h. 55.
6. Jenis Harta yang dikeluarkan untuk Zakat Fitrah
Jenis makanan untuk zakat fitrah telah ditetapkan, yaitu kurma kering, sya’ir,
kurma basah, dan susu kering yang tidak dibuang buihnya. Sebagian riwayat
menetapkan tentang gandum, dan sebagian lagi biji-bijian. Golongan Maliki dan
Syafi’I berpendapat, bahwa jenis makanan itu bukan bersifat ta’abbudi dan tidak
dimaksudkan bendanya sendiri, sehingga wajib bagi muslim mengeluarkan zakat
fitrah dari pokok makanan negerinya. Menurut satu pendapat, dari makanan pokok
orang itu. Menurut golongan Syafi’I, sebagaimana dikemukakan dalam al-wasith
bahwa yang dipandang dalam memberikan zakat fitrah yaitu makanan pokok
penduduk pada waktu wajib zakat fitrah, bukan sepanjang tahun, ia berkata dalam
alwajis: “Yaitu makanan pokok penduduk pada waktu hari raya Fitrah.”
Terhadap perincian dan penjelasan tersebut tidak ditemukan dalil yang bisa
dijadikan sandaran, sehingga sebagian ulama menyatakan: “Apabila yang
dijadikan makanan pokok itu bukan dari jenis yang sembilan itu, maka
keluarkanlah apa yang menjadi makanan pokoknya, walaupun terdapat makanan
yang sembilan itu atau sebagiannya.” Yang dimaksudkan makanan yang
menguatkannya atau makanan pokok, yaitu makanan yang dimakan di waktu pagi
dan petang, baik pada masa subur maupun pada masa sulit, bukan yang dimakan
pada masa sulit saja. Atas dasar itu, maka para ulama memperbolehkan
mengeluarkan daging, susu maupun yang lain, selama itu menguatkan dan
10
K.N. Sofyan Hasan & Muhammad Sadi Is, Hukum Zakat dan Wakaf di Indonesia (Cet. 1; Jakarta: Kencana,
2021), h. 102-103.
dikeluarkan berdasarkan timbangan, ataupun terhadap tepung, para ulama berbeda
pendapat.11
B. Zakat Mal
1. Pengertian
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat merupakan (masdar) dari zaka yang
berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Sesuatu itu zaka, berarti tumbuh dan
berkembang, dan seseorang itu zaka, berarti orang itu baik. Zakat mal menurut syara’
adalah sejumlah harta tertentu yang diberikan kepada golongan tertentu dengan
syarat-syarat tertentu. Dinamakan zakat, karena hahrta itu akan bertambah (tumbuh)
disebabkan berkah dikeluarkan zakatnya dan doa dari orang yang menerimanya.12
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok
bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu)
atau setiap Muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
ُخ ْذ ِم ْن َأْم َٰو ِلِه ْم َص َد َقًة ُتَط ِّهُرُه ْم َو ُتَز ِّك يِه م ِبَه ا َو َص ِّل َع َلْي ِه ْم ۖ ِإَّن َص َلٰو َت َك َس َك ٌن َّلُهْم ۗ َو ٱُهَّلل َسِم يٌع
َع ِليٌم
11
Qodariah Barkah dkk., Fikih Zakat, Sedekah, dan Wakaf, h. 57.
12
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiq, Pedoman Zakat (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2006), h. 5.
13
Yusuf al-Qardawi, Hukum Zakat, h. 35.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Qur’an Surah at-Taubah [9]: 103)”
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa yang pertama, kata khudz (ambillah)
yang menunjukkan kata perintah yang maksudnya adalah wajib. Kedua, zakat
yang diambil itu merupakan harta yang penjabarannya bermacam-macam, bisa
hasil tunai hewan ternak, harta yang diperjualbelikan dan sebagainya. Ketiga,
zakat itu akan membawa beberapa keuntungan bagi yang mengeluarkannya, yaitu
terhindar dari kesalahan karena mengambil hak orang lain, kebersihan mereka dari
kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan terhadap harta benda, menyuburkan
sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan mengembangkan harta merka, serta
memperoleh doa dari orang-orang yang diberi zakat yang dapat menimbulkan
ketenteraman dan ketengan jiwa.14
14
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2002), h. 194.
yang berkembang sekalipun kecil sekali, tetapi memberi ketentuan sendiri
yaitu nisab.
Makna nisab di sini adalah ukuran atau batas terendah yang telah ditetapkan
oleh agama untuk menjadi pedoman menentukan kewajiban mengeluarkan zakat
bagi yang memilikinya, jika telah sampai ukuran tersebut. Orang yang memiliki
harta dan telah mencapai nisab atau lebih, diwajibkan mengeluarkan zakat.
Menurut pendapat Dwi Surya Atmaja dalam bukunya yang berjudul Al-
Muwatta’ Imam Malik Ibn Annas, syarat-syarat harta yang menjadi sumber atau
objek zakat adalah:
1) Milik penuh.
Harta yang dimiliki secara penuh artinya pemilik harta tersebut
memungkinkan untuk menggunakan dan mengambil manfaatnya
secara penuh. Harta tersebut juga berada di bawah kontrol dan
kekuasaannya.
2) Berkembang.
15
Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat (Yogyakarta: PT. Widya Dara, 2001), h. 504.
Harta yang berkembang artinya harta tersebut dapat bertambah atau
berkembang. Misalnya pertanian, perdagangan, ternak, emas, perak,
uang, dan lain-lain. Pengertian berkembang menurut bahasa sekarang
adalah bahwa sifat kekayaan (harta) itu dapat memberikan keuntungan
atau pendapatan lain sesuai dengan istilah ekonomi.
3) Cukup nisab.
Nisab artinya harta yang telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan
ketetapan syara’.
4) Lebih dari kebutuhan pokok.
Kebutuhan pokok itu adalah kebutuhan minimal yang diperlukan untuk
kelestarian hidup. Artinya apabila kebutuhan tersebut tidak dapat
dipenuhi, maka yang bersangkutan tidak dapat hidup dengan layak,
seperti belanja sehari-hari, pakaian, rumah, perabot rumah tangga,
kesehatan, pendidikan, transportasi, dan lain-lain.
5) Bebas dari hutang.
Orang yang mempunyai hutang sebesar atau mengurangi jumlah
senisab yang harus dibayar pada waktu mengeluarkan zakat, maka
harta tersebut terbebas dari zakat. Sebab zakat mal hanya diwajibkan
bagi orang yang memiliki kelebihan, sedang orang yang mempunyai
hutang tidaklah termasuk orang yang memiliki kelebihan, oleh karena
itu perlu menyelesaikan utang-utangnya terlebih dahulu.
6) Sudah satu tahun (haul).
Maksudnya ialah pemilikan harta tersebut sudah berlalu masanya
selama dua belas bulan Qomariyah.. Persyaratan satu tahun ini hanya
berlaku bagi ternak, uang, harta benda yang diperdagangkan, dan lain-
lain. Sedangkan hasil pertanian, buah-buahan, rikaz (barang temuan),
dan lain-lain yang sejenis tidak dipersyaratkan satu tahun.16
DAFTAR PUSTAKA
Al-Faifi, Sulaiman Ahmad Yahya. Ringkasan Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2013.
16
Dwi Surya Atmaja, Al-Muwatta’ (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 118.
Al-Maqdusi, Muwafiquddin Ibnu Qudamah. Al-Mughni. Cet. 1; Jilid 3, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007.
Al-Qardawi, Yusuf. Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat
Berdasarkan Qur’an dan Hadis. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2011.
Ash-Shiddiq, Muhammad Hasbi. Pedoman Zakat. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2006.
Atmaja, Dwi Surya. Al-Muwatta’. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
Barkah, Qodariah dkk. Fikih Zakat, Sedekah, dan Wakaf. Cet. 1; Jakarta: Kencana, 2020.
Effendy, Mochtar. Ensiklopedi Agama dan Filsafat. Yogyakarta: PT. Widya Dara, 2001.
Hasan, K.N. Sofyan dan Muhammad Sadi Is, Hukum Zakat dan Wakaf di Indonesia. Cet. 1;
Jakarta: Kencana, 2021.
Hasbi, Teungku Muhammad. Pedoman Zakat. Cet. I; Edisi III, Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2009.
Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqhul al-Islamy Wa Adillatuhu. Jilid 3; Jakarta: Gema Insani Press,
2011.