Anda di halaman 1dari 6

Analisis Penggunaan Madu Sebagai Obat

Komplementer pada Pharyngitis

Meutia Filzan Kamilah


Prodi Kedokteran, Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
meutiafilzan@gmail.com

Abstract. Every disease needs its own medication to make a recovery. Besides the utilization
of chemical medicine in this age, there is natural medicine produces by bees, namely honey.
Since ancient times, honey has been known and used as food and medicine because of its
content and nutrients. Honey has many therapeutic effects because of its complex chemical
composition, such as anti oxidant, anti-bacterial, anti-inflammatory and many more. Because
of these therapeutic effect of honey, people uses honey as a complementary medicine on
many diseases. One of the diseases that will be discussed here is the inflammation of the
throat or Pharyngitis caused by viruses or bacteria. And in this journal, some people have
been observed how they get education from doctors and how doctors educated their patients
about honey as a complementary medicine in pharyngitis

Keyword. Honey, Bee, Pharyngitis

1. PENDAHULUAN
Madu diproduksi oleh lebah yang mengumpulkan nektar dari tumbuhan atau sekresi dari
aphids (serangga yang mengisap tanaman) yang dipekatkan melalui proses dehidrasi di sarang lebah.
Madu memiliki komposisi kimia yang kompleks dimana kandungannya bisa bervariasi tergantung
pada sumber tanaman yang diambilnya, wilayah geografis, musim serta pemrosesan yang dilakukan
setelah panen. Ada sekitar 320 jenis madu yang berasal dari berbagai macam tanaman. Ada yang
berwarna coklat muda hingga coklat tua. Rasa, warna dan harum dari madu bergantung juga pada
sumbernya dimana madu yang dihasilkan lebah tersebut dipengaruhi oleh lingkungan sekitar tanaman
yang diambilnya seperti suhu, musim dan perubahan iklim. (Meo, Al-Asiri, Mahesar, & Ansari, 2017)

Karena khasiatnya, madu sudah digunakan sebagai makanan dan obat alternatif yang alami
sejak zaman dahulu. Seperti Bangsa Mesir Kuno, Asyur, Cina, Yunani dan Romawi yang
menggunakan madu untuk luka dan penyakit usus dikarenakan madu memiliki aktivitas bakterisidal
terhadap banyak organisme.(Eteraf-Oskouei & Najafi, 2013)

Madu mengandung gula dan nilai gizi yang tinggi. Selain gula, komponen lainnya juga
terkandung di dalam madu. Seperti, mineral, polifenol, vitamin, asama amino, karotenoid, enzim,
asam organik, dan senyawa yang mudah menguap. (Pasupuleti, Sammugam, Ramesh, & Gan, 2017)

Madu telah dipelajari terhadap berbagai penyakit pada manusia dan menunjukkan spectrum
yang luas pada sifat terapeutik seperti efek anti-inflammatory, anti bakteri, antimutagenic, antiviral,
antidiabetic, antifungal, antitumoural dan mempercepat penyembuhan luka. (Nanda, Mittal, & Gupta,
2017) Salah satu khasiat madu dalam anti-bacterial ada pada penyembuhan Pharyngitis atau radang
tenggorokan.

Pharyngitis adalah peradangan selaput lendir orofaring. Penyebabnya bisa bermacam-macam,


seperti: bakteri, virus, alergi, trauma, kanker, refluks, dan karena racun tertentu. Namun, dalam
kebanyakan kasus, Pharyngitis disebabkan oleh bakteri dan virus. Sekitar 50% hingga 80% dari
Pharyngitis, atau sakit tenggorokan, gejalanya berasal dari virus dan termasuk berbagai patogen virus.
Patogen ini sebagian besar adalah rhinovirus, influenza, adenovirus, coronavirus, dan parainfluenza.
Infeksi bakteri yang paling umum adalah Streptococcus, yang menyebabkan 5% hingga 36% kasus
Pharyngitis akut. Alergi lingkungan dan paparan bahan kimia juga dapat menyebabkan Pharyngitis
akut. (N. Ahmed, Sutcliffe, & Tipper, 2013)

2. METODE

Metode yang digunakan dalam pengamatan ini adalah metode kualitatif. Dimana metode
kualitatif memiliki tujuan untuk memahami fenomena dan gejala sosial yang ada dengan lebih
menitikberatkan gambaran lengkap terhadap fenomena yang dikaji daripada memisahkannya menjadi
variabel-variabel yang saling terkait. Dalam pengamatan ini, dilibatkan 25 responden dan 2 orang
dokter umum untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang edukasi mereka terhadap pemberian
madu sebagai obat komplementer pada Pharyngitis.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

32%

68%

Mengonsumsi madu saat pharyngitis Tidak mengonsumsi


3rd Qtr 4th Qtr

Pada pengamatan ini, diberikan form pertanyaan kepada 25 responden terkait dengan
penggunaan madu sebagai obat komplementer ketika responden mengalami Pharyngitis. Umur rata-
rata responden adalah 23 tahun dengan kisaran umur 18 tahun hingga 48 tahun.

Pada pertanyaan yang diberikan kepada 25 responden, 64% diantaranya sering mengkonsumsi
madu dalam kehidupan sehari-hari semenjak kecil. Dan 68% diantaranya mengkonsumsi madu
sebagai obat komplementer ketika sedang mengalami Pharyngitis. Para responden mengakui bahwa
pemulihan pada Pharyngitis terasa lebih cepat jika dibersamai dengan konsumsi madu disamping obat
kimia. Dan responden yang mengkonsumsi madu pada kehidupan sehari-hari juga mengakui bahwa
mereka merasakan tubuh yang lebih sehat dan bugar. Dengan umur yang berbeda-beda, responden
mengonsumsi madu dengan dosis yang sama, yaitu 1 sendok setiap harinya dan mengkonsumsi lebih
banyak ketika sedang sakit. Dari hasil pengamatan ini terlihat bahwa keefektifan madu tidak
bergantung pada umur dimana dosis yang digunakan sama dan tidak terlihat adanya efek samping.

Para responden mendapatkan edukasi bahwa madu memiliki banyak khasiat dan merupakan
obat alami yang tidak memiliki efek samping. Disamping itu, para responden juga menyukai rasa
manis pada madu yang membuatnya lebih lezat untuk dikonsumsi.

Selain 25 responden, dilibatkan juga 2 orang dokter umum untuk dilakukan wawancara.
Dokter tersebut mengatakan bahwa Pharyngitis termasuk salah satu alasan tersering pasien datang ke
rumah sakit. Pasien yang datang bermacam-macam umurnya, mulai dari anak kecil hingga dewasa.
Dokter sering mengedukasi pasien untuk meminum banyak air putih karena jika mukosa faring kering
maka akan terasa lebih sakit dan pemulihannya akan lebih lama. Selain itu, edukasi dokter kepada
pasien adalah dengan membiasakan pola hidup sehat agar daya tahan tubuh meningkat dengan
olahraga teratur dan mengindari makanan berminyak, minuman dingin atau bersoda, dan makanan dan
minuman yang berpengawet. Seringkali juga dokter mengedukasi pasien untuk meminum vitamin dan
madu karena madu mengurangi lendir dengan kandungan anti virus dan anti bakterinya. Selain itu
madu juga meningkatkan daya tahan tubuh. Dokter menyarankan pasien untuk meminum madu
dengan mencampurnya dengan air agar khasiatnya lebih cepat dirasakan.Madu juga mengandung zat
dextromethorphan yang bisa meredakan batuk dan menenangkan ketika tidur di malam hari. Dokter
meyakinkan pasien bahwa pengguanaan obat herbal lebih aman daripada obat kimia kecuali jika
terdapat indikasi. Karena obat kimia dapat menimbulkan banyak efek samping. Selain itu, sudah
banyak pasien yang mengaku merasakan manfaat dengan mengkonsumsi obat-obatan alami.

Kandungan madu sangat bermacam-macam. Alasan madu terasa manis karena madu
mengandung kandungan gula yang sangat mendominasi. Monosakarida dalam madu cukup besar.
Seperti fruktosa terkandung sebanyak 38% dan glukosa 31%. Sedangkan kandungan Disakarida dan
trisakarida seperti sukrosa, maltose, maltotriosa dan melezitosa sekitar 10%-15%. (S. Ahmed et al.,
2018)

Selain glukosa madu juga mengandung protein sebanyak 0,5%. Protein di dalamnya ada yang
terbentuk dalam bentuk enzim seperti amilase, α-glucosidase, CAT dan glucose oxidase. Ada pula
yang masih dalam bentuk asam amino. Ada 26 macam asam amino yang terkandung di dalam madu,
diantaranya, ada proline yang berperan besar karena merupakan 50%-85% dari total asam amino.(S.
Ahmed et al., 2018)

Asam organik yang terkandung dalam madu sebesar 0,57%. Asam organik tersebut yaitu
glukonat, aspartik, butirat, sitrat, asetat, formik, fumarat, galakturonat, glukonat, glutamat, glutarik,
glioksiklik, 2-hydroxybutyric, α-hydroxyglutaric, isocitric, α-ketoglutaric, 2-oksopentanoic, laktat,
malat, malonat, metilmalonik, propionik, piruvat, quinic, shikimic, levulinic, suksinat, tartarat, oksalat,
dan asam format. Diantara banyaknya asam organik tersebut, glukonat memiliki jumlah paling
banyak. (Miguel, Antunes, & Faleiro, 2017)

Madu juga mengandung vitamin dalam jumlah kecil seperti; tiamin (B1), riboflavin (B2),
asam nikotinat (B3), asam pantotenat (B5), piridoksin (B6), biotin (B8 atau H), asam folat (B9), dan
vitamin C. Kandungan mineral pada madu sekitar 0,04%-0.2%. Diantaranya terdapat kalium
(K),magnesium (Mg), kalsium(Ca), zat besi (Fe), fosfor (P), natrium (Na), seng (Zn), dan tembaga
(Cu). Kandungan mineral yang paling banyak di madu adalah kalium. Madu juga mengandung
senyawa yang meliputi berbagai kelompok kimia, seperti monoterpen, C13-norisoprenoid,
sesquiterpenes, turunan benzene, ester, asam lemak, keton, dan aldehida.(Miguel et al., 2017)

Salah satu manfaat madu adalah sebagai anti bakteri. Madu memiliki osmolaritas tinggi, pH
rendah and mengandung hydrogen peroxida (H2O2) dan komponen non-peroxida. (Mandal & Mandal,
2011) Agen yang paling utama dalam manfaat madu sebagai anti bakteri adalah hydrogen peroxida,
yang konsentrasinya ditentukan oleh kadar relatif glukosa oksidase, disintesis oleh lebah dan katalase
yang berasal dari serbuk sari bunga. Kebanyakan tipe madu menghasilkan H 2O2 ketika diencerkan,
karena aktivasi dari enzim glucose oxidase yang mengoksidasi glukosa menjadi asam glukonat dan
H2O2 , yang dengan demikian menghubungkan aktivitas anti bakteri. (Mandal & Mandal, 2011)

Dalam sebuah tinjauan , madu yang merupakan cairan manis dapat mengobati batuk dan
memiliki banyak efek yang diamati. Hipotesis menunjukkan zat-zat manis secara alami menyebabkan
air liur refleks dan produksi lendir saluran napas yang mengarah ke efek demulen pada faring dan
laring, sehingga dapat mengurangi batuk. (N. Ahmed et al., 2013)

Selain H2O2, dimana diproduksi di dalam kebanyakan madu oleh enzim glukosa oksidase,
beberapa faktor non-peroksida dapat memengaruhi aktifitas anti bakteri dalam madu. Madu dapat
mempertahankan aktivitas anti bakteri bahkan tanpa adanaya katalase (tidak adanya enzim glukosa
oksidase), dimana madu ini dianggap sebagai "madu non-peroksida". Beberapa komponen
berkontribusi dalam aktivitas non-peroksida seperti adanya methyl syringate and methylglyoxal.
(Mandal & Mandal, 2011)

Madu memiliki efek penghambatan terhadap sekitar 60 spesies bakteri. Salah satunya bakteri
penyebab Pharyngitis yaitu Streptococcus. (Eteraf-Oskouei & Najafi, 2013) Ada beberapa faktor yang
memengaruhi aktivitas anti bakteri dalam madu yaitu: kondisi geografi, cuaca dan iklim dimana
sumber tumbuhan berada, proses pemanenan dan kondisi penyimpanan. Dengan demikian, telah
ditunjukkan bahwa aktivitas anti bakteri dari madu dapat berkisar dari konsentrasi 3% hingga 50% dan
lebih tinggi. Efek bakterisida dari madu dilaporkan tergantung pada konsentrasi madu yang digunakan
dan sifat bakteri tersebut. Konsentrasi madu berdampak pada aktivitas antibakteri; semakin tinggi
konsentrasi madu, semakin besar manfaatnya sebagai agen anti bakteri.(Mandal & Mandal, 2011)

Yang berperan dalam madu sebagai agen anti bakteri adalah H 2O2 , senyawa fenolik, pH luka,
pH madu, dan tekanan osmotik yang diberikan oleh madu. Hidrogen peroksida adalah penyumbang
utama aktivitas anti bakteri dari madu, dan konsentrasi yang berbeda dari senyawa ini dalam madu
yang berbeda menghasilkan efek anti bakteri yang berbeda-beda.PH madu berkisar 3.2 dan 4.5 dimana
pH tersebut cukup rendah untuk mencegah beberapa bakteri patogen. Sifat antibakteri madu juga
berasal dari efek osmotik dari kadar gula yang tinggi dan kadar air yang rendah, bersama dengan sifat
asam asam glukonat dan sifat antiseptik H2O2.(Mandal & Mandal, 2011)

Mekanisme dari aktivitas anti bakteri madu berbeda dengan antibiotik, dimana antibiotic
merusak dinding sel bakteri atau menghambat metabolik intraseluler. Aktivitas anti bakteri madu
bergantung pada empat faktor. Pertama, madu mengeluarkan uap air dari lingkungan sehingga
mengeringkan bakteri. Komponen gula dalam madu juga cukup tinggi untuk menghambat
pertumbuhan bakteri. Kedua, pH madu berkisar 3,2 dan 4,5, dimana pH cukup rendah untuk
menghambat pertumbuhan kebanyakan mikroorganisme. Ketiga, Hydrogen peroxide yang dihasilkan
dari glukosa oksidase, dan hal ini adalah yang terpenting. Dan yang terakhir, beberapa faktor fitokimia
untuk aktivitas antibakteri telah diidentifikasi dalam madu.(Eteraf-Oskouei & Najafi, 2013)

Selain sebagai anti-bacterial, madu memiliki manfaat lain sebagai anti-inflammatory. Telah
diteliti bahwa madu memilikipemulihan yang lebih cepat dari penimbunan di orofaring. Madu
mengurangi prostaglandin E2 dan alpha 2 di darah yang menghilangkan rasa sakit. Madu juga
mengurangi aktivitas dari cyclooxygenase-1 dan cyclooxygenase-2 dimana aktifitas tersebut
menunjukkan efek peradangan. (Nanda et al., 2017)Luka yang diberikan madu juga menunjukkan
pengurangan dari bengkak dan nekrosis, infiltrasi dari granular dan mononuclear cells yang lebih
sedikit, kontraksi luka yang lebih baik, peningkatan pembuatan epitel dan konsentrasi
glycosaminoglycan dan proteoglycan yang rendah. Bahkan, madu mengurangi peradangan dan
eksudasi, memberikan kesembuhan, mengurangi ukuran luka dan menstimulasi regenerasi jaringan.
Obat-obatan yang mengobati peradangan memiliki batasan yang serius; kortikosteroid menekan
pertumbuhan jaringan dan menekan respons imun, dan obat antiinflamasi non-steroid berbahaya bagi
sel, terutama perut. (Eteraf-Oskouei & Najafi, 2013)Tetapi madu memiliki efek anti-inflammaory
yang bebas dari efek samping. Sehingga madu banyak dikonsumsi masyarakat terutama anak-anak
untuk mengurangi berbagai macam penyakit, termasuk batuk dan radang tenggorokan.

4. SIMPULAN

Setelah dilakukan analisis ini dapat disimpulkan bahwa para responden mendapatkan edukasi dari
dokter tentang madu yang merupakan obat alami dengan banyak manfaat, mengandung zat-zat anti
bakteri dan tidak memiliki efek samping. Selain itu madu memiliki rasa yang manis. Dosis yang
digunakan para responden dari rentang umur tersebut sama, bahkan dosis tersebut masih sama
semenjak responden mengonsumsinya dari kecil. Hal ini menunjukan bahwa madu tidak memiliki
efek samping dan tidak memiliki syarat dosis tertentu terhadap umur.

Terbukti dari banyak penilitian yang dilakukan bahwa madu memang mengandung banyak gula
yang membuatnya terasa manis. Sifat anti bakteri dari madu banyak diperankan oleh hydrogen
peroksida yang dihasilkan oleh enzim glukosa oksidase pada madu. Selain itu madu juga dapat
mempercepat pulihnya pharyngitis karena mengurangi aktivitas dari cyclooxygenase-1 dan
cyclooxygenase-2. Terbukti juga bahwa madu tidak memiliki efek samping dan lebih aman digunakan
dibanding obat-obat kimia lain yang bahkan dapat berbahaya bagi sel.

5. SARAN

Pharyngitis termasuk salah satu alasan tersering pasien datang ke rumah sakit, mulai dari anak
kecil hingga dewasa. Namun, obat kimia yang diberikan dokter untuk memiliki efek samping yang
serius terutama bagi anak-anak. Karena itu, dokter lebih baik menyarankan pasien menggunakan obat
alami untuk membantu pemulihan karena madu memiliki agen sebagai anti bakteri dan anti
peradangan dan tidak memiliki efek samping agar tidak hanya bergantung pada obat kimia saja. Selain
itu, madu baik untuk dikonsumsi sehari-hari agar meningkatkan daya tahan tubuh.

6. DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, N., Sutcliffe, A., & Tipper, C. (2013). Feasibility study: honey for treatment of cough in
children. Pediatric Reports, 5(2), 8. https://doi.org/10.4081/pr.2013.e8
Ahmed, S., Sulaiman, S. A., Baig, A. A., Ibrahim, M., Liaqat, S., Fatima, S., … Othman, N. H.
(2018). Honey as a Potential Natural Antioxidant Medicine: An Insight into Its Molecular
Mechanisms of Action. Oxidative Medicine and Cellular Longevity, 2018, 1–19.
https://doi.org/10.1155/2018/8367846
Eteraf-Oskouei, T., & Najafi, M. (2013). Traditional and modern uses of natural honey in human
diseases: a review. Iranian Journal of Basic Medical Sciences, 16(6), 731–742. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23997898%0Ahttp://www.pubmedcentral.nih.gov/
articlerender.fcgi?artid=PMC3758027
Mandal, M. D., & Mandal, S. (2011). Honey: Its medicinal property and anti bakteri activity. Asian
Pacific Journal of Tropical Biomedicine, 1(2), 154–160. https://doi.org/10.1016/S2221-
1691(11)60016-6
Meo, S. A., Al-Asiri, S. A., Mahesar, A. L., & Ansari, M. J. (2017). Role of honey in modern
medicine. Saudi Journal of Biological Sciences, 24(5), 975–978.
https://doi.org/10.1016/j.sjbs.2016.12.010
Miguel, M. G., Antunes, M. D., & Faleiro, M. L. (2017). Honey as a complementary medicine.
Integrative Medicine Insights, 12, 1–15. https://doi.org/10.1177/1178633717702869
Nanda, M., Mittal, S., & Gupta, V. (2017). Role of honey as adjuvant therapy in patients with sore
throat. In National Journal of Physiology, Pharmacy and Pharmacology (Vol. 7). https://doi.org/
10.5455/njppp.2017.7.1233125122016
Pasupuleti, V. R., Sammugam, L., Ramesh, N., & Gan, S. H. (2017). Honey, Propolis, and Royal
Jelly: A Comprehensive Review of Their Biological Actions and Health Benefits. Oxidative
Medicine and Cellular Longevity, 2017, 1–21. https://doi.org/10.1155/2017/1259510

Anda mungkin juga menyukai