Anda di halaman 1dari 62

WmiQl iffii

ryryffirffiiWj
DiQtat

Program Keagamaan
w MAN Kotawaringin Timur 2O2O / 2021
IM
@ Disusun oleh: AQo $tuatdt,9Ae.
ffiq
Berdasarkan KMA No. 183 Tahtlrl^ 2Ol9

wr-tmr wJ Htl
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR
II'ADRASAH ALIYAH NEGERI KOTAWARINGIN TIIIIUR
Alamat: Jln. H.M. Arsyad. No. 68 Telp. 0531-21597 Sampit - 74323

Disetujui Kotawaringin

Nama
NIP

Kotawaringin

Kepala Kantor Kementerian Agama


Kab. Kotawaringin Timur, 6-Y!!
**/ ,1i**

H. Samsudin ""tuB

Ushul Fikih Xll Prog. Keagamaan MA IMAN Kotdworingin limur] i


KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah Pemilik alam semesta dan Penguasa llmu. Semoga Shalawat
dan Salam selalu tercurah kepada junjungan mulia Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi
wa Sallam beserta para sahabat dan keluarga Beliau, serta pengikut-pengikut beliau
hingga akhir zaman.
Dengan senantiasa mengharap berkah dan hidayah Allah Ajja wa Jalla, dapatlah
tersusun diktat sederhana ini. Tulisan ini diberi judul Diktat Ushul Fikih kelas Xll Program
Keagamaan dengan landasan materi diambil dari Perubahan KMA Nomor 183 tahun
2019 tentang Kurikulum Madrasah Aliyah mata pelajaran Pendidikan Agama lslam dan
Bahasa Arab. Diktai ini merupakan edisi revisi yang ke Lima. Sejak penerbitan pertama
Aguslus 201.1. Bahan yang dijadikan tulisan ini sebagian besar dihimpun dari berbagai
artikel, buku, diktat, web dan bahan lain yang relevan hingga terjilid menjadi satu diktat
ini.
Oleh karena itu, diktat ini diharapkan dapat bermanfaat bagi siswa-siswi Madrasah
Aliyah, khususnya bagi Program Keagamaan di Madrasah Aliyah Negeri (MAN)
Kotawaringin Tinrur maupun siswa-siswi Madrasah Aliyah lain secara umum: Salah safu
faktor pendorong hingga disusunnya diktat ini adalah sulitnya menemukan buku-buku
pelajaran Agama untuk Madrasah Aliyah, dan khusus bagi Program Keagamaan. Maka
harapan saya dengan adanya diktat ini akan dapat menambah bahan dan referensi untuk
mendalami materi Keagamaan dalam jurusan dimaksud.
Saya menyadari bahwa diktat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
masukkan dan saran amat diharapkan dari berbagai pihak, agar diktat ini dan tulisan-
tulisan saya berikutnya selain ini semakin baik lagi. Akhirnya atas bantuan dari berlcagai
pihak, untuk terselesaikannya diktat ini, tak lupa penulis haturkan ribuan terima kasih.

Wabillahifta:ufiq wal h idayah.

2 Dzulhidzah 1441 H
Sampit,
23 Juli 2020 M

IPenulis]

EKO SUWANDI, S.As.

Ushul Fikih Xu Proq. Keogamoon MA IMAN Kotoworingin Timur] ii


DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan I

Kata Pengantar ii
Daftar iii

BAB I MEMAHAMI KONSEP HUKUM SYAR'I DALAM ISLAM


Pengertian, Fungsi dan Kedudukan al Hakim dalam Hukum lslam 01
Pengertian, Fungsi, Kedudukan dan Pembagian al Hukm dalam Hukum lslam 05
Pengertian, Syarat dan Kedudukan al Mahkum Fih dalam Hukum lslam. 09
Pengertian, Syarat dan Kedudukan al Mahkum 'Alaihi dalam Hukum Islam 10
Ahliyah Wujub dan Ahliyah Adaa 11
Uji Kompetensi 13

BAB II KEDUDUKAN IJTIHAD DALAM HUKUM ISLAM


Pengertian ljtihad 15
Syarat-Syarat ljtihad 15
Objek ljtihad dan Hal-Hal yang Tidak Boleh Menjadi Objek ljtihad 16
Hukum Berijtihad 17
Kedudukan Hukum Hasil tjtihad 17
Metode ljtihad 18
Kedudukan ljtihad bagi Nabi Shallallahu'alaihl wa Sallam 19
Tingkatan Mujtahid 19
Kedudukan ljtihad Saat Ini 21
Uji Kompetensi l5

BAB III MEMAHAMI KEDUDUKAN NASIKH DAN MANSUKH


Pengertian Nasakh 24
Hikmah Nasakh zo
Syarat Nasakh 26
Cara Mengetahui Nasakh dan Manasukh 26
Pendapat Ulama Tentang Nasakh dan Mansukh 26
Macam-macam Nasakh dan Contohnya 27
Golongan yang Menerima dan Menolak Nasakh dan Mansukh ,)o
Pengertian Mansukh dan Contohnya 30
Uji Kompetensi 32

BAB IV TA'ARUDL AL AD'LIAH DAN KETENTUANNYA


Pengertian Ta'arudl dan Dalil yang Ta'arudl 34
Syarat Ta'arudl 35
Penyelesaian Dalil Ta'arudl 35
Uji Kompetentsi ,lo

BABV TARJIH DAN KETENTUANNYA


Pengertian Tarjih 40
Syarat Tarjih 41
Metode Tarjih 41
Uji Kompetensi 44

Ushul Fikih Xll Prog. Keagamodn MA IMAN Kotowaringin Timur] i


BAB VI ITTIBA'DAN HUKUMNYA
Pengertian lttiba' 45
Syarat lttiba' 46
Hukum lttiba'dan Pendapat Ulama 46
Uji Kompetensi 47

BAB VII MEMAHAMI KETENTUAN TAQLID


Pengertian Taqlid 48
Syarat Taqlid dan Pembagiannya 49
Hukum Taqlid dan Pendapat Ulama 49
Pendapat lmam Mazhab Tentang Taolid 51
Uji Kompetensi 52

BAB TALFIQ T}AN. KETENTIJANNYA


VIII.
Definisi Talfiq 53
Pendapat-pendapat Tentang Talfiq 53
Ruang Lingkup Talfiq 53
Hukum Talfiq E'

Uji Kompetensi 56

Daftar Pustaka 57

Ushul Fikih xll Prog. Keogomoan MA IMAN Kotaworingin nmur] ii


BAB I
MEiIA}iAMI KONSEP HUKI.IU SYAR'I T}AI-Aii ISLAITII

Kompetensi Dasar:
3.1. Memahami konsep: al hakim, al hukm, al mahkum fih dan al mahkum'alaih dan
kedudukannya

lndikator Pembelajaran :
1. Menjelaskan pengertian, fungsi dan kedudukan al hakim,'
2. Menjelaskan pengertian, fungsi kedudukan, dan pembagian al hukm;
3. Menlelaskan pengertian, syarat dan kedudukan al makhurn fih;
4. Menjelaskan pengertian, syarat, kedudukan al mahkum'alaihi;
5. Menjelaskan ahliyah, macam-macamnya dan halangannya;

Pengertian, Fungsi dan Kedudukan al-Hakim dalam Hukum lslam


1. Pengertian al-Hakim
Hakim mempunyai 2 (dua) pongertian, yaitu :
a. Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.
b. Yang menemukan, menjelaskan, rnernperkenalkan, den yang rnenyirqrlepkan
hukum.
Hakim (syari') merupakan persoalan mendasar dalam pembahasan ushul
fiqih, karena berkaitan dengan siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syari'at
lslam, siapa yang menentukan hukum syar€l' yang mendatangkan pahala bagi
pelakunya dan dova bagi pelangrgamya selain wahyu, apakah alral'setelum
datangnya wahyu mampu menentukan baik buruknya sesuatu.
Menurut ulama ushul, hakim adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia adalah
sang pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada
seluruh manusia yang mukallaf. Oleh sebab itu, tidak ada syari'at dalam lslam
kscuafl dari'AtHlSabffitu wo f'dara, taik'yang Mtaifatr dengan l"rukumlaldifi
maupun hukum wadh'i.
Jadi dapat dijelaskan bahwa hakim (pembuat hukum) dalam pengertian lslam
adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia yang menciptakan manusia di atas bumi
ini dan dia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik
ffiam hubungannya dengan tepentingan fiidup dunia rmupun uftut kepentlngran
hidup di akhirat, baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah,
maupun hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya.
Dari uraian di atas dapat pula dipahami bahwa hakim (pembuat hukum) satu-
satunya Bagi umat lslam adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana
ditqasl€n dalamfnnan Allah :

",Xrvr{- v
"Sesungguhnya tidak ada hukum kecuali bagi Allah'.

Ushul Fikih Xll Prog. Keogomoon MA IMAN Kotowaringin Timuq 2020]


Tentang kedudukan Allah Subhanahu wa la'ala sebagai satu-satunya
pembuat hukum dalam pandangan lslam tidak ada perbedaan pendapat
dikalangan umat lslam. Masalahnya adalah apakah manusia sendiri secara pribadi
dapat mengenal hukum Allah itu atau hanya dapat mengenal-Nya melalui
peranErayakni Rasut
Mengenai pendapat ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama:
a. Pendapat mayoritas ulama' ahlussunnah mengatakan bahwa satu-satunya
yang dapat mengenalkan hukum Allah kepada manusia adalah Rasul atau
utusan Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui wahyu yang diturunkan Allah pada
rasuf-Nya.
b. Sebagai kelanjutan dari pendapat ini adalah bahwa bila tidak ada rasul yang
membawa wahyu maka tidak akan ada hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala,
dan manusiapun tidak akan ada yang mengetahuinya. Menurut paham ini
seorang manusia dapat dianggap patuh atau ingkar kepada Allah, mendapat
pahala atau mendapatdosabilateHr ffiang msul yang rnembawa wahyu.
c. Kalangan ulama' kaum mu'tazilah yang berpendapat bahwa memang
Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam adalah manusia satu-satunya yang
berhak meng enalkan hukum Allah kepada manusia. Meski demikian,
seandainya Rasul belum datang mengenalkan hukum .Allah itu kepada
rnatusia, ia rnenpurryai kenrampuarrnengerd tnrktnn Alfdt itu:
Kedua pendapat ini sepakat dalam menempatkan Rasulullah sebagai
pembawa hukum Allah dan Rasul sebagai orang yang berhak mengenalkan
hukum Allah kepada manusia, Dengan datangnya Rasul pembawa hukum itu,
maka berlakulah taklif.
Adryun piM< yangr berwenang rnenegaklen trulrunt dalam ldarn' affidr
khalifah atau orang yang telah diberi wewenang oleh khalifah yaitu qadhi (hakim).
Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam. memutuskan sendiri berbagai perkara
hukum yang terjadi di masanya. Di samping itu beliau juga mengangkat sejumlah
sahabat untuk menjadi qadhi di sejumlah wilayah dan daerah sepe(i penunjukan
Ali sebagai qadri di Yarnan fur Mua*zbin J*al di Janad:
Para qadhi tersebut diangkat dan diberhentikan oleh khalifah atau orang yang
telah diberikan kewenangan untuk mengatur lembaga peradilan yaitu qadhi
qudhat.
Jika kita berbicara tentang sistem hukum atau pengadilan di masa kejayaan
Kekhiffiian lslam mata akan didapratkan keaditan benar-benar ditegrarkkan
Pengadilan tidak membedakan antara keluarga pejabat pemerintah atau Khilafah
dan rakyat jelata, antara bangsawan dan rakyat biasa, antara si kaya dan si
miskin, bahkan Amirul Mukminin atau khaffah pun bisa kalah di pengadilan ketika
berhadapan dengan rakyat yang dipimpinnya. Para Qadhi atau hakim lebih takut
kepada Allah Sufharahu wa Ia bla daipada kepada penguasa.
Pengertian dari qadhi adalah orang yang diangkat oleh negara untuk menjadi
hakim dalam menyelesaikan suatu perl(ara berdasarkan hukum Allah Subhenehu
we Te'ele.

Ushul Fikih X Prog. Keogomoon MA IMAN Kotoworingin Timur; 2020] 2


Qadhi (uga dikenal sebagai Qadhi, qaadee, kadi, Kazi atau kadr) (Qadhil
adalah putusan hakim sesuai dengan hukum agama lslam (syan'ah) yang ditunjuk
oleh penguasa sebuah negara Muslim . Karena lslam tidak membedakan antara
domain agama dan sekuler, qadi tradisional memiliki yurisdiksi atas semua
masalah hukum yang melibd<an muslim. Penghd<iman dafi qadi harus didasarkan
pada ijma' , konsensus yang berlaku dari cendekiawan lslam (u/ama).
Pengertian hakim secara terminologi adalah sebagai berikut:
Hakim merupakan persoalan mendasar dan penting dalam ushul fiqih, karena
berkaitan dengan, "Siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syariat lslam", "Siapa
memberkan pahala dan dosa".
Semua Hukum tersebut bersumber dari Allah Subhanahu wa la'ala, melalui
Nabi Shallallahu'alaihi wa sa/lam, maupun ijtihad para mujtahid yang didasarkan
pada metode istinbath, seperti qiyas, ijma', dan metode istinbath lainnya. Kaedah
Ustrut. ail $ ,(> | lriaa* ada hukum kecuati bersumber dai Ailah).

Hakim adalah Allah, Dia-lah Pembuat hukum dan satu-satunya sumber


hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf, baik berkaitan dengan hukum
taklify (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), maupun hukum wadh'iy (sebab,
syarat, mani', sah, bataUfasid, azimah dan rukhshah)

2. Fungsi al Hakim
Dalam lslam hanya mengenal satu pengadilan, jika Qadhi atau hakim telah
memutuskan perkara maka keputusan itu bersifat tetap dan tidak akan bisa diubah
oleh pengadilan lain, bahkan oleh Khalifah sekalipun. Kecuali, ada bukti-buKi atau
kesaksian baru yang berbeda dad sebelumnya.
Fungsi qadhi adalah menyampaikan hukum terhadap suatu perkara yang
bersifat mengikat pihak yang berperkara. Dengan demikian ia berbeda dengan
fatwa yang kedudukannya tidak mengikat seseorang.
Qadhi yang diangkat oleh khalifah atau qadhi qudhat disyaratkan muslim,
merdeka, baligh, berakal, ahli fiqih dan mampu menetapkan hukum tefiadap
realitas. Selain itu kekuatan ruhiyyah juga menjadi penting bagi seorang qadhi
memiliki integritas yang tinggi sehingga tidak menyalahi hukum syara' dalam
memutuskan perlara.
Sebagaimana diketahui keputusan hukum yang bertentangan dengan syariat
lslam merupakan kepufusan yang batil dan qadhirrya atau hakimnya akan diganjar
oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan siksa neraka. Sebagaimana keterangan
dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh lmam Abu Daud, Rasulullah
Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
" Hakim ada tiga: satu masuk surga dan dua masuk'neraka. hakim yang

masuk surga adalah hakim yang mengetahui kebenaran dan nemutuskan


dengannya; sementera hakim yang mengetahui kebenaran lalu ia
menyimpang dainya ketika memutuskan pe*ara maka ia di nenka; demikian
pule hekim yang memutuskan pel*<an dengan jahil maka ia pun masuk
neraka."

Ushul Fikih Xll Proq. Kedqamddn MA IMAN Kotowartngin Timur; 2020] 3


3. Kedudukan al Hakim
Seorang qadhi atau hakim telah dijamin kebutuhan hidupnya oleh negara.
Oleh karena itu, seorang hakim tidak diperkenankan untuk mengambil apapun dari
manapun selain dari apa yang diberikan oleh negara padanya. Hal ini sesuai
dengaft s#aRasulutlah SH/allafiu'alaihi wa wflamriwayatlbnu'Klruzairnah :
"Barangsiapa yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan lalu kami
membeikan rezeki kepadanya maka apa yang ia ambil selain itu merupakan
hafta yang tidak sah (ghulul).

Meskipun tanggung jawab utama dari Qadhi adalah satu yudisial, ia


umumnya dibebankan dengan tanggung jawab non-yudisial tertentu serta, seperti
administrasi sumbangan keagamaan (waqaf), legitimasi dari aksesi atau deposisi
dari penguasa, pelaksanaan surat wasiat, akreditasi dari saksi, perwalian atas
anak yatim dan orang lain yang membutuhkan perlindungan, dan pengawasan
penegakan moral publik (rttsbah).

4. Cara Mengetahui Hukum Allah


Sedangkan cara untuk mengetahui dan memahami hukum-hukum Allah, tidak
ada lain caranya dengan mempelajari ushul fiqih. Seorang ulama mengatakan:
"Tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah kecuali dengan ilmu ushul
fqrhj (Al Amidi)
Para ulama berbeda pendapat tentang masalah penting yang berhubungan
dengan metode mengetahui hukum-hukum Allah, yaitu apakah hukum-hukum
Allah hanya diketahui dengan peruntaraan rasul-rasul-Nya dan kitab-kitab-Nya
atau mungkinkah akal mampu mengetahui-nya tanpa perantaraan para rasul dan
kitd-kitd-Nya?
a. Mazhab Asy'ariyah
Golongan asy'ariyah (Abu Hasan al Asy'ari) berpendapat bahwa hukum-
hukum Allah tentang perbuatan orang mukalaf tidak mungkin diketahui, kecuali
dengan perantaraan para rasul dan kitab-kitab-Nya. Akal jelas membeda-
bedd<arr perbudan, affi<alarrya rnenilai b.aik suatu perbuatm dar adatakarya
menilai buruk suatu perbuatan.
b. Mazhab Mu'tazilah
Golongan mu'tazilah (Washil bin Atha') berpendapat bahwa hukum-hukum
Allah tentang perbuatan orang mukalaf dapat diketahui dengan akal tanpa
puantmar trara rasut dan kitab-kitab-Nya. Sebab, ddam setiap peilruffirt
orang mukalaf terdapat sifat dan mengaruh yang berbahaya atau bennanfaat
sehingga akal mampu menjelaskan sifat-sifat perbuatan dan pengaruhnya yang
baik atau buruk. Hukum Allah atas perbuatanperbuatan itu menurut penemuan
akal, baik dad segi manfaat maupun bahayanya.

Pendapat yang terkuat adalah golongan Asy'ariah bahwa hukum Allah hanya
dapat diketahui dengan perantaraan para rasul dan kitab-kitab-Nya. Hal ini juga
telah disinggung dalam al Quran surat al lsra' ayat 15 berikut:
$y::.* ,k e:#g\& crt:$";g\3yi,
Ushul Fikih X Prog. Keogomoon MA [MAN Kotoworingin Timur; 2020] 4
"Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi Kami
tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang Rasul.'

Pengertian, Fungsi, Kedudukan dan Pembagian al Hukm dalam Hukum lslam


1. Pengertian al Hukm
Pengertian hukum menurut ushul fiqih adalah titah Allah yang perkaitan
dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan maupun wadh'i .
Syaikh Taqiyuddin an Nabhani ra,himahullah, dalam kitab beliau asy Syakhshiah
al-lslamiyah Juz 3, menyebutkan al hukm syali adalah seruan asy Sya/i yang
berhubungan dengan aKivitas hamba, berupa tuntutan, pemberian pilihan atau
penetapan.
Syaikh Atha Abu ar Rasytah hafizhahullah, dalam kltab beliau Taysir al
Wushul ila al Ushul, menyebutkan at frukn syafi addatt seruan asy Sfafi yang
berhubungan dengan aktivitas hamba, berupa tuntutan, penetapan atau pemberian
pilihan.
Syaikh Abdul Wahab Khallaf rahimahullah, dalam kitab beliau 'llm Ushul al
Figh, menyebul al hukm syar'i artinya seruan syadat yang berhubungan dengan
aktivifas rrukallat berupatunfutan, perntmian pilltren, atau penetapm:
Pengertian al hukm sendiri menurut jumhur sebagaimana yang dimaksud oleh
al Amidy, bahwa hukum secara terminologi adalah, khitab (titah) Allah yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang berbentuk tuntutan atau kebolehan
memilih (antara mengerjakan atau meninggalkan), atau berupa "ketetapan".
Yang menjadi tata kunci padateminologi hukum rya-i di das affi*rHnva
hukum itu sebagai khitab (titah) Allah. Sebagai sumber utama dari hukum lslam
adalah syari'ah, karena syariah tersebut merupakan kitabullah yang berisikan teks-
teks suci dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa
sallam melalui Jibril.
Secara garis besamya, stafus trukurft *a ffiam tiga hal, setagaimaim
tergambar dalam skema berikut:

Ushul Fikih xlt Prog. Keogamoon MA IMAN Kotowofingin Tlmur; 2O2O] 5


t-"^.*-l
t " ,r'I
t--.*, I
t-,ff]
f;", ,1
RUKHSHAH

2. Hukum Taklifi
Secara pengertian hukum taklifi adalah hukum yang menjelaskan tentang
perintah, larangan dan pilihan untuk menjalankan atau meninggalkan suatu
kegiatan/pekerjaan. Untuk contoh yang sederhana adalah shalat, membayar zakat,
tidak boleh mencuri, tidak boleh membenci orang, dan sebagainya.
3. Syarat-syarat taklif:
Orang ifu telah mampu mernahami kiffi syafi yang terkandung dalam al
Qulan dan sunnah, baik secara langsung atau melalui orang lain.
Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqih disebut
ahliyah. (Syafe'i, 2007: 336-338).
Mayoritas ulama ushul fiqih_membagi hukum taklifi menjadi lima macam:
a. /7bb: tunfutan yang harus dan pasti dari syari' pada nukallaf untuk mengerjakan
sesuatu. Akibat yang ditimbulkan oleh pekerjaan mukallaf itu dinamakan wujub
dan pekerjaannya dinamakan wajib.
b. Nadb: tuntutan yang bukan keharusan dan hanya bersifat anjuran (tarjih) dari
syari' pada mukallaf untuk mengerjakan sesuatu. Akibat yang ditimbulkan oleh
pekerjaan mukallaf ifu juga dinamakan nadb sedangkan pekerjaannya
dinamakan mandub.
c. Tahrim: tuntutan yang harus dan pasti dari syari' pada mukallaf untuk
meninggalkan sesuatu. Akibat yang ditimbulkan oleh pekedaan mukallaf itu
dinamakan hurmah dan pekerjaannya dinamakan haram atau muharram.

Ushul Fikih x Prog. Kedgomoan MA IMAN Kotdwoingin Timun 2020] 5


d. Kamhah: tuntutan yang bukan keharusan dan hanya besifat anjuran dari syari'
pada mukallaf untuk meninggalkan sesuatu. Akibat yang ditimbulkan oleh
pekerjaan multe,llat itu juga dinamakan karahah sedangkan pekerjaannya
dinamakan makruh.
e. lbahah pitihan dari syari' pada mukallaf antara mengerjakan atau
meninggalkan, tidak ada anjuran untuk memillih salah satu keduanya. Akibat
yang ditimbulkan oleh pekerjaan mukallaf itu juga dinamakan ibahah
sedangkan perbuatannya dinamakan mubah.

Menurut imam Syafi'i, hukum taklifr dapat dibagi dalam penggolongan


(didasarkan pada sanksinya) terdiri:
a. Wajib
Perbuatan atas dasar suruhan yang apabila dikerjakan akan mendapatkan
pahala kalau ditinggalkan akan berdosa. Hukum wajib dapat dibedakan
rnenjadi:
1) Ditinjau dari segi waktu untuk melaksanakannya
a) Wajib muilak yaiilui perintah yang tidak ditentukkan waldu tertentu untuk
melaksanakannya, misalnya ibadah haji bagi yang sudah mampu.
b) Wajib muaqqat yaitu; perintah yang ditentukkan waktu untuk melaksa-
nakannya, misalnya puasa ramadhan.
2) Ditinjau dari segi siapa yang wajib melaksanakan
a) Wajib 'arhi yaitu perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap orang yang
sudah dewasa.
b) Wajib kifayahyaitu perbuatan yang dapat dilaksanakan secara kolektif.
3) Ditinjau dari segi kuantitasnya
a) Wajib muhaddad yaitu kewajiban yang ditentukkan batas kadamya
(umlahnya).
b) Wajib qhairu muhaddad yattu kewajiban yang tidak ditentukan batas
kadamya.
4) Ditinjau dari segi kandungan perintah
a) Wajib mu'awan yaitu suatu kewajiban yang objeknya adalah tertentu
tanpa ada pilihan lain.
b) Wajib mukhayyar yaitu kewajiban yang objeknya dapat dipitih dari
aftematif yang ada.
b. Sunnah
Perbuatan aias dasar suruhan atau anjuran yang apabila dikerjakan akan
mendapatkan pahala sedang jika ditinggalkan tidak berdosa. Sunnah dapat
dibagi menjadi beberapa macam:
1) Sunnah 'amiyah yaitu perbuatan yang diajurtan untuk dilakukan oleh setiap
muslim.
2) Sunnah kifayah yailu perbuatan yang diajurkan untuk dilakukan cukup
seorang saja.
3) Sunnah mu'akkadah yaitu perbuatan tidak wajib yang selalu dikerjakan oleh
Rasul.

Ushul Fikih X Prog. Keogamoan MA IMAN Kotowoingin nmur; 2020] 7


4) Sunnah ghairu mu'akkadah yailu segala perbuatan tidak wajib kadang-
kadang dikerjakan oleh rasul, kadang-kadang saja ditinggalkan.
5) Sunnah al-Zawaid yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasul sebagai
manusia.
c. Mubah
Yaitu kebolehan artinya boleh dikerjakan atau ditinggalkan. Mubah dapat
dibagi menjadi 3 macam :
't) Dinyatakan dalam syara' tidak berdosa untuk melakukannya.
2) Tidak ada dalil yang mengharamkan.
3) Dinyatakan dalam syara'boleh memilih dilakukan atau tidak.
4) Makruh
5) Lawan dari sunnah, yaitu suatu perbuatan jika dikerjakan tidak berdosa
sedang jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Makruh dibedakan
menjadi :
6) Makruh tanzih ialah perbuatan yang terlarang bila ditinggalkan akan diberi
pahala tetapi bila dilakukan tidak berdosa dan tidak dikenakan siksa.
7) Makruh tahim ialah perbuatan yang dilakukan namun dasar hukumnya
tidak pasti.
8) Makruh tafuul aula ialah meniggalkan perbuatan-perbuatan yang amat
dianjurkan.
d. Haram
Sebagai lawan dari wajib, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan berdosa
sedang jika ditinggalkan akan mendapatlan pahala.

4. Hukum Wadh'i
Selain hukum taklifi dalam syariat juga ada hukum wadh'i yakni hukum yang
mengandung sebab, syarat dan halangan tefiadinya hukum dan hubungan hukum.
Sebab ialah sesuatu yang tampak yang dUadikan tanda adanya hukum. Misalnya
kematian menjadi sebab adanya kewarisan, akad nikah menjadi sebab halalnya
hubungan suami istri.
Syarat adalah seauatu yang kepadannya tergantung suatu hukum. Misalnya
syarat mengeluarkan zakat ialah jika telah mencapai nishab (umlah tertentu) dan
haul (waKu tertentrr), syarat shalat sempuma menghadap khlat Halangan aEu
mani' adalah sesuatu yang dapat menghalangi hubungan hukum. Misalnya
pembunuhan menghalangi hubungan kewarisan, keadaan gila menghalangi untuk
melakukan perbuatan atau tindakan hukum. Mani' adalah sesuatu yang ditetapkan
sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu
sebab.
a. Hukum wadhT ada 7 macam, yaitu :
1) Sebab: Sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi sebab
tedadinya hukum taklifi. Bila sebab itu ada, berlangsunglah hukum taklifi,
seandainya sebab itu tidak ada maka hukum taklifi dianggap tidak ada.
2\ $yamt Sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi syarat
terdapatnya hukum taklifi. Bila syarat itu belum terpenuhi, maka kewajiban
belum ada atau perbuatan itu belum dianggap ada.

Ushul Fikih Xll Prog, Keogomoon MA IMAN Kotaworingin Timur; 2020] E


3) Mani': Sesuatu yang dijadikan pembuat hukum sebagai penghalang
berlangsungnya hukum taklifi .

4) Shah: Akibat hukum dari suatu peduatan taklifi yang sudah berlaku
padanya sebab, sudah terpenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan telah
terhindar dari segala mani'.
5) Bathal: Akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi sebab atau
syarat; atau terpenuhi keduanya tetapi terdapat padanya mani'.
6) 'Azimah: Pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil umum tanpa
memandang kepada keadaan mukallaf yang melaksanakannya.
7) Rukhshah: Pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil yang khusus
sebagai pengecualian dari dalil umum karena keadaan tertentu.

B Pengertian, Syaratdan Kedudukan al-Mahkum Fih dalam Hukum lslam


1. Pengertian Mahkum Fiih
Mahkum llh yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah
Syan' (Allah dan Rasulnya) yang bersifat tuntutan mengerjakan suatu perbuatan,
tuntutan meninggalkan suatu perbuatan, memilih suatu perbuatan dan yang bersifat
syarat, sebab, halangan, azimah, rukhshah, sah dan batal. Contoh:

;1t5t! i$le
Diikan kamulah shalat
Kewajiban melaksanakan shalat dalam ayat tersebut berkaitan dengan perbuatan
mukallaf.
...e ,tKu # ,yJ j *rfi6rsritg;\a+rrHU
"Wahai orangerang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang
untuk waku yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya..."

Dalam ayat tersebut (al Baqarah ayal 282), ada tuntutan (anjuran) yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yaitu mencatat utang-piutang (kredit)

@V { :twr ;r2 ;p.v\3$ar trrUr\ Air


"Wahai orang-orang yang beriman! Beftal<walah Repada Allah dan tinggalkan
4t
srba niba (yang belum dipungut) jika kamu onng beriman " (es. al Baqarah:
278)

Pada ayat tersebut ada larangan mengambil riba. Larangan ini terkait dengan
perbuatan mukallaf
2. SyaratMahkum Fih
Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, tentang rukun, syarat
dan tata caranya.
a. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, yailu Allah. Suatu perintah shalat
misalnya, adalah perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala.
b. Perbuatan itu dapat dilaksanakan, jika sulit dilaksanakan, maka terjadi
pergeseran hukum asal, dari azimah kepada rukhshah.

Ushul Flklh Xlt Prog. Keogomoan MA IMAN Kotaworlngin nmur; 2O2O] 9


3. Macam-Macam Mahkum Fih
Ditinjau dari keberadaannya secara material dan syara':
a. Perbuatan yang secErra matenal ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang
terkait dengan syara'. Seperti makan dan minum.
b. Perbuatan yang sec.rrEi rnaterial ada dan menjadi sebab adanya hukum syara',
seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.
c. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara' serta mengakibatkan
hukum syara'yang lain, sepedi nikah, jual beli, dan sewa-menyewa.
Sedangkan dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, mahkum
fth dibagi dalam empat bentu( yaitu:
a. Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan
dan kemaslahatan umum tanpa kecuali.
b. Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti
rugi harta seseorang yang dirusak.
c. Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih
dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain
berbuat zina).
d. Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba didalamnya lebih
dominan, seperti dalam masalah qishas (Syafe'i: 2007: 331)

0. Pengertian, Syarat Kedudukan a! Mahkum'Alaihi dalam Hukum Islam


1. Pengertian al Mahkum Alaihi
Yang dimaksud dengan mahkum 'alaih adahh mukallaf yang menjadi obyek
tuntunan hukum syara' (Syukur, 1990: 138). Menurut ulama ushul fiqih telah
sepakat bahwa mahkum 'alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab
Allah, yang disebut mukallaf (Syafe'i, 2007: 334). Sedangkan keterangan lain
menyebutkan bahwa mahkum 'alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah
untuk berbuat dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan
tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999: 103). Jadi, secara singkat dapat disimpulkan
bahwa mahkum 'alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya
tempat berlakunya hukum Allah.
Seluruh tindakan mukalaf harus dipertanggung jawabkan. Apabila ia
mengerjakan perintah Allah, maka ia mendapatkan imbalan pahala dan
kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka
ia mendapatkan resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.

2. Dasar Taklif
Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia
cakap untuk bertindak hukum. Untuk iN, para ulama ushul fiqih mengemukakan
bahwa dasar pembebanan hukum tersebut adalah akal dan pemahaman.
Maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat
memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian orang
yang tidak atau belum berakal seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan
taklif. Karena mereka tidak atau belum berakal, maka mereka dianggap tidak bisa

Ushul Fikih Xll Prq. Keogomdon MA IMAN Kotowaringin Timut; 2O2O]


memahami taklif dari syara'. Termasuk kedalam hal ini adalah orang yang dalam
keadaan tidur, mabuk dan lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan luPa tidak dikenai
taklil karena ia dalam keadaan tidak sadar (hilang akal). Hal ini sejalan dengan
sabda Rasulullah:
Diangkatkan pembebanan hukum dai tiga jenis orang yaitu onng tidur sampai
bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai sembuh. (Hr.
Bukhari-Muslim)

Dalam hadis lain dikatakan :

Umaku tidak dibebani hukum apabila mercka terlupa, tercalah, dan dalam
keadaan terpaksa. (Hr. lbnu Majah dan ath Thabrani)

3. Syarat al-Mahkum Alaih


a. Orang tersebut telah mampu memahami titah syadi (tuntutan syara') yang
terkandung dalam al Qu/an dan Sunnah. Paham dan tahu itu sangat berkaitan
dengan akal, karena akal tersebut adalah alat untuk mengetahui dan
memahami. Akal pada diri manusia tumbuh dan berkembang sesuai dengan
partumbuhan fisiknya dan baru berlaku atasnya taklif bila akal telah mencapai
tingkat yang sempurna. Karena perkembangan akal manusia tidak dapat
diketahui dari luar, maka perkembangan tersebut dapat tercermin dari
pertumbuhan fisiknya. Seseorang akan rnencapai tingkat kesempurnaan
akalnya bila mencapai batas dewasa atau baligh, kecuali jika mengalami
kelainan yang menyebabkan ia terhalang dari taklif.
Dai uraian diatas dapat disimpulkan bahwa syarat subjek hukum
(mukallaf) yang pertama yaitu baligh dan berakal. Orang yang tidak memenuhi
persyaratan ini tidak bedaku padanya tuntutan hukum atau taklif. lmplikasi dari
syarat pertama ini adalah anak kecil, orang gila, orang lupa, orang tidur tidak
dikenakan taklif, karena dalam keadaan atau status mereka masing-masing
tidak atau belum mampu memahami dalil syara'.
b. Seseorang harus cakap bertindak hukum yang dalam ushul fiqih disebut
dengan ahliyyah. Artinya apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak
hukum maka seluruh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu anak kecil yang belum baligh belum
cakap bertindak hukum dan tidak dikenakan tuntutan syam'. Orang gih jugp
tidak dibebani hukum karena kecakapan bertindak hukumnya hilang. Demikian
juga orang pailit dan juga orang yang berada dibawah pengampuan, dalam
masalah harta dianggap tidak cakap bertindak hukum karena kecakapan
bertindak hukum mereka dalam masalah harta dianggap hilang.

6. Ahtiyatu! Wujub dan Ahliyatul Adaa


Secara harfiah (etimologi) ahliyah berarti kecakapan menangani suatu urusan,
misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang maka ia dianggap ahli
untuK menanganl bldang tersebut. Adapun secara terminologi menurut para ahli ushul
fiqih ahliyah adalah suatu sifat yang dimiliki seseorang yarq dijadikan ukuran oleh
syara' untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai funtutan syara'.'

Ushul Fikih Xll Prog. Keagamoon MA [MAN Kotoworingin Timur; 2O2O] 11


Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ahliyah adalah sifat yang
menunjukkan bahwa seseorang telah sempuma jasmani dan akalnya, sehingga
seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara' (Syafe'i, 2OO7:339).
1. Pembagian Ahliyah

Pembagian Ahliyah

Ahliyatul Wujub Ahliyahtul 'Ada

Naqishah Kamilah

Menurut para ulama' ushul fiqih, ahliyah (kepantasan) itu ada dua macam
yaitu:
a. Ahliyatul Wujub (keakapan untuk dikenai hukum) yaitu kepantasan seorang
untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini
berlaku bagi setiap rnarnrsia, semenjak ia lahir sarnpai meninggal dalam segala
sifat, kondisi, dan keadaannya.
Keadaan-keadaan manusia dalam ahliyatul wujub berada dalam 2 posisi
yaitu:
1) Adakalanya manusia ahliyatul wujubnya berkurang. Contoh anak yang
berada dalam kandungan ibu dia punyaM( yaitu hak waris, wasiat; waqat
tetapi dia tidak punya kewajiban dia hanya punya hak-hak terbatas.
Keadaan ini bisa disebut ahliyatul wujub al naqishah.
2) Adakalanya manusia ahliyatul wujubnya sempurna ini dimiliki semenjak
dilahirkan dalam keadaan hidup sampai meninggal. Keadaan ini bisa
di*&t ahliyatul wujub al al kamilah.
b. Ahliatul Ada' (kecakapan untuk menjalankan hukum) yaitu kepantasan
seseorang untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Hal ini
berarti bahwa segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan
telah mempunyai akibat hukum (Sutrisno, 1999: 106-109)
Keadaan rnanusia dalam ahliyaful berada dalam tiga keadaan:
1) Adakalanya manusia secara asli tidak punya kecakapan untuk melakukan.
Contoh orang gila atau anak kecil.
2) Adakalanya manusia belum sempuma kecakapannya. Contoh anak yang
masih dalam masa pertumbuhan menuju famyL sebelum baligh.
3) Adakalanya rnarnrsia sempurna kecakapannya. Conto,h seorang yang
sudah baligh dan berakal.

Ushul Fikih Xll Prog. Keogomaan MA IMAN Kotoworingin Timur; 2O2O] t2


2. Halangan Ahliyah
Ulama ushul fiqih menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang
bisa berubah disebabkan hal-hal berikut:
a. Awaridh as samawiyah, yaitu halangan yang datangnya Allah disebabkan
perbuatan marnrsia.
b. Awaridh al muWasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan
manusia. (Syafe'i, 2OO7 : 340)

Uji Kompetensi

A. Jawablah pertanyaan berikut dengan memberi tanda silang (X) pada altematif
yang paling benar:
1. Secara kebahasaan, kata al Quran adalah bentuk isim masdar dari kata \; , Vane
berarti . .. .

A. membaca C. membuat E. mengeja


B. meningkatkan D. mengulang
2. Dalam memperkenalkan hukum kepada umatnya, Rasulullah selalu bersifat....
A. keras C. kaffah E. tegas
B. murni D. bertahaP
3. Khitab syar'i yang berhubungan dengan perbuatan orang mukalaf, baik bersifat
tuntutan, takhyir (memilih), maupun wadh'i (menelapkan) adalah pengertian dari....
A. hukum syar'i C. hukum wadh'iE. hukum taklifi
B. hukum muamalah D. hukurn bagi orang lslam
4. Menetapkan suatu hukum karena adanya sebab, syarat, atau penghalang bagi yang
lain disebut hukum ....
A. takhyiri C. wad'i E. taklifi
B. syar'i D. mu'allafati
5. Perbr.ratan orang mukallal yang berhubungan dengan hukum sya/i adalah
pengertian dari .,,.
hakim
A. al mahkumC. fih E. al hukmu
B. mahkum'alaih D.
mahkum mukallaf
6. Hukum sya/i menurut ulama ushul fikih dibagi dua macam, yaitu ....
A. hukum wajib dan sunah D. hukum taklifi dan hukum'amali
B. hukum taklifi dan hukum wadh'i E. hukum qufani dan hukum fi'liyah
C. hukum karahah dan hukum ibadah
7. Berikut adalah pemyataan dari pengertian dari al-mahkum alaih yaitu ....
A. orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat
B. Rasul yang diutus oleh Allah
C. makhluk yang diciptakan Allah
D. sahabat sebagai penerus Rasulullah
E. tabi'in sebagai penerus sahabat

Ushul Fikih Xll Prog. Keogamadn MA IMAN Kotdwdringin Timur; 2020] 13


8. Hukum lslam tidak pemah kaku dalam setiap pelaksanaannya, terbuki dalam ha-
dits Rasul disebutkan ada beberapa orang yang tidak memiliki kewajiban
menjalankan hukum, yaitu....
A. Orang kafir, orang murtad dan orang mabuk
B. Orang khilaf, mumayis dan wanita haid
C. Orang sudah tua, anak kecil dan orang gila
D. Orang hilang ingatan dan orang tidur
E. Orang tidur, anak kecil, dan orang gila.
9. Mukalaf harus mengetahui perbuatan yang akan dilakukan sehingga tujuan dapat
ditangkap dengan jelas dan dapat dilaksanakan adatah . .. .
A. tujuan mahkum bih D. pengertian mahkum bih
B. syarat mahkum bih E. hikmah mahkum bih
C. syanat mahkum bih
10. Perbuatan manusia yang berhubungan dengan hukum syara'disebut ....
A. rnahkum C. mahkum alaih E. mahkum fih
B. muhkam D. hakim

B. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut secara benar dan 11elas!


1. Berikan dua contoh hukum sya/i!
2. Apa pengertian mahkum fih dan mahkum'alaih?
3. Bagaimana pendapat golongan mu'tazilah tentang hukum sya/i?
4. Sebutkan dan jelaskan macam-macam hukum sya/i!
5. Tuliskan 1 perbedaan ahliyatul wudub dengan ahliyatul 'ada!

G. KerJakan tugas berikut secare kelompokl


Bagilah kelasmu menjadi beberapa kelompok, tiap kelompok maksimum 4 orang.
Masing-masing kelompok berdiskusi tentang manfaat hukum Allah sebagai pedoman
hidup orang muslim serta non-muslim. Paparkan rumusan hasil diskusi masing-masing
kelompok di depan kelas! Kumpulkan hasil diskusi masing-masing kolompok untuk
diserahkan kepada gurumul

Ushul Fikih Xll Prog, Keagdmoon MA IMAN Kotoworingin Timur; 2O2O] L4


BAB II
KEDUDUI(AN IJTIHAD DALAM HUKUM ISLAM

Kompetensi Dasar:
3.2. Memahami ijtihad sebagai suatu metode pengambilan hukum lslam
lndikator Pembelajaran:
1. Mengemukakan pengertian ijtihad;
2. Menguraikan syarat-syarat ijtihad;
3. Menjelaskan objek ijtihad yang boleh dan tidak boleh;
4. Menjelaskan hukum berijtihad;
5. Menjelaskan kedudukan hukum hasil ijtihad;
6. Menjelaskan metode ijtihad
7. Menjelaskan kedudukan ijtihad dimasa Rasulullah;
8. Menielaskan kedudukan ijtihad dimasa sekarang,

A. Pengertian ljtihad
Kata ijtihad (al-ijtihad) berakar dari kata al-Juhd yang berarti al-taqhah (daya,
kemampuan, kekuasaan) atau dari kala al-Jahd yang berarli al masyqqah (kesulitan,
kesukaran). Dari ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna "badal al wus"
wal mahud" (pengerahan daya kemampuan), atau pengerahan segala daya
kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang sukar dan berat.
Dari pengertian kebahasaan terlihat dua unsur pokok dalam ijtihad, daya atau
kernampuan 2 objek yang sulit dan berat. Daya dan kemampuan disni dapat
diklasifikasikan secara umum, yang meliputi daya, fisik-material, mental-spiritual dan
intelektual. ljtihad sebagai terminology keilmuan dalam lslam juga tidak terlepas dari
unsur-unsur tersebut. Akan tetapi karena kegiatan keilmuan lebih banyak bertumpu
pada kegiatan intelektual, maka pengertian ijtihad lebih banyak mengarah pada
pengerahan kemampuan intelektual dalam memecahkan berbagai bentuk kesulitan
yang dihadapi, baik yang dihadapi individu maupun umat manusia secara menyeluruh.
Dalam rumusan definisi ijtihad yang dikemukakan lbnu Hazm berbunyi;
" ljtihad dalam syaiat ialah pencurahan kemampuan dalam mendapatkan hukum

suafu kasus dimana hukum itu tidak dapat diperoleh" .

Syarat-syarat ljtihad
Ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad atau
syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad).
Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid dapat
disimpulkan sebagai berikut;
1. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam al-Qur'an,
baik menurut bahasa maupun syariah. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus
menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya saja, sehingga

Ushul Fikih xll Prog. Keogomoon MA IMAN Kotoworingin Timur; 2020]


memudahkan baginya apabila ia membutuhkan. lmam Ghazali, lbnu Arabi, dan ar-
Razi membatasi ayat-ayat hukum tersebut sebanyak lima ratus ayat.
2. Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa
maupun syariat. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghapalnya, melainkan
cukup mengetahui leiak-letaknya secara pasti, untuk memudah-kannya jika ia
membutuhkannya. lbnu Hambal dasar ilmu yang berkaitan dengan hadis Nabi
berjumlah sekitar 1.200 hadis. Oleh karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak
tepat karena hadis-hadis hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang berbeda-
beda
Menurut asy-Syaukani, seorErng mujtahid harus mengetahui kitab-kitab yang
menghimpun hadis dan bisa membukanya dengan cepat, misblnya dengan
menggunakan kamus hadis. Selain itu, ia pun harus mengetahui persambungan sanad
dalarn hadis (asy-Syaukani :22)
Sedangkan menurut at Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi dari kitab-
kitab yang sudah masyhur kesahihannya, seperti Bukhari Muslim, Bagl'rawi, dan lain-
lain
1. Mengetahui nasakh dan mansukh dari al-Qur'an dan sunnah, supaya tidak salah
dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghapalnya. Di
antara kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam naskah dan mansukh adalah
kitab karangan lbrn: Kfujaimah, Abi JaTar an Nuhas, lbrru Jauzi, lbnu Hajm dan
lain-lain
2. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma' ulama, sehingga
ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma'. Kitab yang bisa di)adikan rujukan
diantaranya kitab maratiba al-ijma' (ibn Hajm).
3. Mengetahui qiyas dan berbagai persyaraiannya serta meng-instimbat-nya, karena
qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
4. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa,
serta berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena al-Qur'an dan as sunnah
ditulis dengan bahasa Arab. Namun, tidak disyaratkan untuk betul-betul
menguasainya atau rnenjadi ahlinya, melainkan sekurang-kurangnya merrgetahui
maksud yang dikandung dari al-Quian atau al-hadis
5. Mengetahui ilmu fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan, menurut
F akhru ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam berijtihad adalah ilmu ushul fiqih
6. Mengetahui maqashidu asy-syariah (tujuan syariat) secara umum, karena
bagaimanapun juga syariat itu berkaitan dengan maqashidu a:sy-syariah sebagai
standarnya
Maksud dari maqashidu al-syariah antara lain menjaga kemaslahatan
manusia dan menjatuhkan dari kemadharatan- Namun, standamya adalah
syara', bukan kehendak manusia, karena manusia tidak jarang menganggap
yang hak menjadi tidak hak dan sebaliknya.
C. Objek ljtihad dan Hal-hal yang Tidak Boleh Menjadi Objek ljtihad
Menurut al-Ghazali, objek 'ltihad adalah setiap hukum syara' yang tidak memiliki
dalil yang qethi. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalah-an yeng tidak bisa
dijadikan objek ijtihad.

Ushul Fikih Xll Prog. Keogomaon MA IMAN Kotoworingin Timur; 2O2O]


Dengan demikian, syariat lslam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam
dua bagian:
1. Syariat yang tidak boleh dijadikan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi
sebagai landasan pokok lslam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi',
seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji atau haramnya
melakukan zina, mencuri dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di
dalam al-Quian dan as sunnah.
Kewajiban shalat dan zakat berdasarkan lirman Allah swt:
. . .1f1\'{5';e\A)\\eS)3
"Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zaka(. (al Baqarah: 4)
Ayat tersebut tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad untuk mengetahui. maksud
shalat.
2. Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada
dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun
eksistensinya (subut), serta hukum-hukum yang belum ada nashnya dan ijma para
ulama.
Apabila ada nash yang berkeadaannya masih zhanni, hadis ahad misalnya,
maka yang menjadi lapangan ijtihad diantaranya adalah meneliiti bagaimana
sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain.
Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan
ijtihad, antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut misalrrya dengran
memakai kaidah 'am, khas, mutlaq muqayyad, dan lain-lain.
Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nashnya, maka yang menjadi
lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari
akal, seperti qiyas, istihsan, mashalah murshalah, dan lain-lain. Namun permasalahan
ini banyak diperdebatkan dikalangan para ulama.
D. Hukum Berijtihad
ljtihad bisa dipandang sebagai salah atau metode untuk menggali sumber hukum
lslam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui
pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya:
Adanya keterangan dari sunnah yang membolehkan berijtihad diantaranya ffiis
yang diriwayatkan oleh Umar:
Jika seorang haKm menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua dan
bila salah maka ia mendapat satu pahala.
Kedudukan Hukum Hasil ljtihad
Ijtihad dlberlakukan dalarn berbagai bidang, yakni rnencakup dkidah, mu'amalah
(fiqih), dan falsafat. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan di sini adalah mengenai
kedudukan hasil ijtihad. Persoalan tersebut berawal dari pandangan mereka tentang
ruang lingkup qath'i tidaknya suatu dalil. Ulama ushul memandang dalil-dalil yang
berkaitan dengan akidah termasuk dalil qath'i, sehingga dibidang ini tidak dilakukan
ijtihad. Mereka mengatakan bahwa kebenaran mujtahid di bidang ilmu kalam hanya
satu. Sebaliknya, golongan mutakalimin memandang bahwa di bidang ilmu kalam itu

Ushul Fikih xll Prog. Keogomoon MA IMAN Kotowdringin Timur; 2020] 17


terdapat hal-hal yang zhaniyat, karena ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan
persoalan tersebut adalah ayat-ayat mutasyabihat. Oleh karena itu, dalam
rnenyelesaikan persoalan tersebut diperlukan ijtihad. Bahkan, mereka menyatakan
bahwa setiap mujtahid itu benar; kalaupun melakukan kekeliruan, ia tetap
mendapatkan pahala. Namun, pendapat tersebut ditolak oleh ulama ushul. Sekalipun
sama-sama menyatakan bahwa setiap mujtahid itu benar, namun kebenaran disini
terbatas dalam bidang fiqih.
Menurut Harun Nasution, arti ijtihad seperti yang telah dikemukakan di atas
adalah ijtihad dalam arti sempit. Dalam arti luas menurutnya, ijtihad juga berlaku pada
bidang politik, akidah, tasawuf, dan falsafah.
Telah kita ketahui bahwa ijtihad telah berkembang sejak zaman Rasul. Sepanjang
fiqih mengandung "pengertian tentang hukum syara' yang berkaitan dengan perbuatan
mukallaf , maka ijtihad akan terus berkembang. Perkernbangan itu berkaitan dengan
perlcuatan manusia yang selalu berubah-ubah, baik bentuk maupun macamnya. Dalam
hubungan inilah, asy-Syahrastani mengatakan bahwa kejadian-kejadian, dan kasus-
kasus dalam peribadatan dan muamalah (tindakan manusia) termasuk yang tidak
dapat dihitung. Secara pasti dapat diketahui bahwa tidak setiap kasus ada nashnya.
Apabila nashnya sudah berakhir, sedangkan kejadian-kejadiannya berlangsung terus
tanpa terbatas; dan tatkala sesuatu yang terbatas tidak mungkin dapat mengikuti
sesuatu yang tidak terbatas, maka qiyas wajib dipakai sehingga setiap kasus ada
ijtihad mengenainya.
Dalam masalah fiqih, rjtihad bi ar-rayu telah ada sejak zaman Rasulullah
Shalallahu 'alahi wa Sallam. Beliau sendiri memberi izin kepada Mu'adz ibnu Jabal
untuk berijtihad ketika Muadz diutus ke Yaman. Umar ibnu al Khatthab sering
menggunakan ijtihad bi al ra'yu apabila ia tidak menemukan ketentuan hukum dalam
al-Qur'an dan as sunnah. Demikian pula para sahabat lainnya dan para tabi'in
sehingga pada perkembangan selanjutnya muncul dua golongan yang dikenal dengan
golongan ahl ar-ra'W sebagai bandingan golongan ahli hadis. Umar lbnu Khatthab
dipandang sebagai pemuka ahl ra-ra'yu.
Setelah Rasulullah wafat dan meninggalkan risalah Islamiyyah yang sempurna,
kewajiban berdakwah berpindah pada sahabat. Mereka melaksa-nakan kewajiban itu
dengan memperluas wilayah kekuasaan lslam dengan berbagai peperangan. Mereka
berhasil menaklukan Persia, Syam, Mesir, dan Afrika Utara. Akibat perluasan wilayah
itu, terjadilah akulturasi bangsa dan kebudayaan sehingga muncul berbagai masalah
baru yang memerlukan pemecahan. Keadaan seperti itu mendorong pemuka sahabat
untuk berijtihad
F. Metode ljtihad
Seseorang yang hendak berijtihad haruslah memperhatikan urutan urutan di
bawah ini. Apabila ia tidak mendapatkan sesuatu dalil yang lebih tinggi tingkatannya,
barulah ia boleh menggunakan dalil-dalil berikutnya. Urutan tersobut adalah sebagai
berikut:
1. Dalil dalam bentuk :
a. Nash-nash al-Quran
b. Hadits mutawattir

Ushul Fikih Kl Prog. Keogomoon MA IMAN Kotaworingin Timur; 2020]


c. Hadits Ahad
d. Zhahir al-Quran
e. Zhahir Hadits
2. Dalil mafhum
a. Mafhum al-Quran
b. Mafhum Hadits
3. Perbuatan dan taqrir Nabi
4. Qiyas
5. Bara'ah ashaliyah, menurut lbn al-Qayyim disebut bar'at al-adam al-ashliyyah,
seperti terlepasnya tanggung jawab dari segala taklif sampai ada bukti yang
menetapakan taklifnya.
Kalau ia menghadapi dalil-dalil yang berlawanan, hendaknya ditempuh beberapa
alternatif berikut :
1. Memadukan/mengompromikan dalildalil tersebut;
2. Mentarjihkan (menguatkan salah saiunya);
3. Menasahkan yaitu dicari mana yang lebih dulu dan mana yang kemudian, yang
lebih dahulu itulah yang dinasahkan (tidak berlaku lagi);
4. T awaqquf, yakni membiarkan alau tidak menggunakan dalil dalil yang berlentangan
tersebut;
5. Menggunakan dalil yang lebih rendah tingkatannya;
G. Kedudukan ljtihad bagi Nabi Shalallahu'alahiw wa Sallam
Para Ulama sepakat bahwa Nabi boleh berijtihad dalam masalah masalah yang
berhubungan dmgan soal dunia seperti dalam soal peperangan, perdamaian,
menentukan startegi dan lain-lain. Adapun ijtihad Nabi dalam hukum-hukum syari'ah,
maka para ulama berbeda pendapai. Menurut golongan Asy'ari Nabi tidak berijtihad
sebab ia terhindar dari kemungkinan salah, mengapa Nabi boleh berijtihad padahal
Nabi terjamin dari kesalahan. Menurut golongan yang lain, Nabi boleh berijtihad, dan
kalaupun salah maka Allah akan memperbaiki kekeliruannya.
Adapun mengenai kebolehan para sahabat untuk berijtihad para ulama pun
berbeda pendapatnya. Pendapat yang kuat membolehkan para sahabrai berijtihad baik
dikala berdekatan dengan Nabi maupun dikala berjauhan dengan beliau. Nabi pernah
berkata kepada 'Amr Bin Ash: putuskan beberapa perkara. Amr bin Ash berkata :
apakah saya boleh berijtihad sedang anda masih ada? Jawab Nabj ; Ya, apabila tidak
benar kamu mendapat satu pahala.

H. Tingkatan Mujtahid
Syaikh Wahbah az Zuhaili dalam Fiqh Al lslami wa Adilatuhu menyebutkan 6
ttngkatan mujtahid fiqih yang ada, lambahan 1 peringkat oleh lbnu Abidjn:
1. Mujtahid Muthlaq Mustaqil (Mujtahid lndependen).
Seorang mujtahid mu@ rnemiliki kemarrpuan untuk membuat kaidah-kaidah
fikih berdasarkan kesimpulan terhadap perenungan dalil al Quran dan Sunah.
Selanjutnya, kaidah-kaidah ini digunakan sebagai landasan dalam membangun
pendapatnya. Di antara ulama yang telah mencapai derajat mujtahid
mustaqil adalah para imam mazhab yang empat.

Ushul Fikih Xll Prog. Keagdmaan MA IMAN Kotoworingin Timur; 2O2O]


Menurut Ustadz Ahmad Sarwat, level mujtahid seperti ini amat jarang kita
temukan. Sepanjang sejarah, jumlah mereka kurang lebih hanya sekitar 10-an
orang saja. Dan sayangnya, tidak semua mazhab mereka kekal di atas bumi ini.
Kebanyakannya mati dan hilang begitu saja ditelan sejarah. lbnu Abidin
menamakan iingkatan ini dengan, tingkatan Mujtahid dari segi Syari'at.
2 Mujtahid Mutlaq Ghaiu Mustaqil (Mujtahid Muthlaq yang Tidak Berijtihad Sendiri)
Mereka adalah orang yang telah memenuhi persyaratan dalam berijtihad
secara independen, namun mereka belum membangun kaidah sendiri tetapi hanya
mengikuti metode imam mazhab dalam berijtihad. Mereka memiliki kemampuan
meneiapkan hukum dari beberapa dalil sesuai dengan kaidah yang ditetapkan
pemimpin mazhab. Bisa jadi, mereka berselisih pendapat dalam beberapa masalah
yang terperinci dibidang fiqih, namun secara prinsip, mereka mengikuti imam
mazhab.
Contohnya, para murid imam mazhab, seperti Abu Yusuf dan Muhammad bin
Hasan asy Syaibani, yang keduanya adalah murid senior lmam Abu Hanifah.
Kemudian lbnul Qasim, al Asyhab, dan lbnul Majisyun, yang merupakan ulama
mujtahid dalam Mazhab Maliki. Sedangkan mujtahid mutlaq dari Mazhab Syafii
misalnya al Muzanni dan Yusuf bin Yahya al Buwaithi. Sementara, mujtahid
mutlaq dari Mazhab Hambali misalnya lmam Abu Bakr al Atsram dan al Marudzi.
lnilah yang lbnu Abidin namakan, tingkatan Mujtahid dalam Madzhab. Dua
tingkatan mujtahid di atas sudah tidak ada pada zaman sekarang.
3. Mujtahid Muqayyad (Mujtahid Terikat).
Mereka adalah kelompok ulama mujtahid yang memiliki kemampuan unluk
mengqiaskan keterangan-keterangan yang disampaikan oleh imam mazhab, untuk
memecahkan permasalahan baru yang tidak terdapai dalam keterangan-
keterangan ulama mazhab. Pendapat hasil ijtihad ulama pada tingkatan ini disebut
dengan " al wajh" . Terkadang, dalam satu mazhab, para ulama dalam mazhab
tersebut berbeda pendapat, sehingga sering dijumpai dalam penjeiasan di buku
fiqih, pada suatu permasalahan terdapat sekian wajh. Artinya, dalam permasalahan
iiu terdapat sekian pendapat dalam mazhab tersebut-
Di antara ulama yang berada di tingkatan ini adalah adalah lmam ath Thahawi,
al Kurkhi, dan as Sarkhasi, yang semuanya merupakan ulama dari Mazhab Hanafi.
Sementara mujtahid muqayyad dari Mazhab Maliki di antaranya adalah al Abhari
dan lbnu AbiZaid AI Qairuwani. Sedangkan mujtahid dari kalangan Mazhab Syafi'i
adalah Abu lshaq asy Syirazi, lbnu Khuzaimah, dan Muhamrnad bin Jarir. Adapun
dari kalangan Mazhab Hambali, di antaranya adalah al Qadhi Abu Ya'la dan al
Qadhi Abu Ali bin Abu Musa rahimahumullah.
Mereka semua disebut para lmam al Wujuh, karena mereka dapat
meyimpulkan suatu hukum yang tidak ada nashnya dalam kitab madzhab mereka,
dinamakan Wajhan dalam madzhab (satu segi dalam madzhab) atau satu pendapat
dalam madzhab, mereka berpegang kepada madzhab bukan kepada lmamnya
(gurunya), hal ini tersebar dalam dua madzhab yaitu, asy Syafi'iyah dan al
Hanabalah. Demikian dikutip dari Seri Fiqih dan Kehidupan.

ushul Fikih xll Prog, Keagqmaan MA IMAN Kotaworingin Timur; 2O2O]


4. Mujtahid Takhrij
Jumhur ulama tidak membedakan antara mujtahid muqayyad dengan mujtahid
takhrij, sedangkan lbnu Abidin meletakkan thabaqat mujtahid takhrij di tempat
keempat setelah mujtahid muqayyad dengan memberi contoh ar Razi al Jashash
(meninggal 370 H) dan yang seiingkat dengannya.
Mereka adalah deretan ulama yang men-takhrij beberapa pendapat dalam
mazhab. Kemampuan mereka dalam menguasai prinsip dan pengetahuan mereka
dalam memahami landasan mazhab telah menjadi bekal bagt mereka untuk
menguatkan salah satu pendapat.
5. Mujtahid Tarjih
Mereka adalah kelompok mujtahid yang memiliki kemampuan memilih
pendapat yang lebih benar dan lebih kuat, ketika terdapat perbedaan pendapat,
baik perbedaan antara imam mazhab atau perbedaan antara irnam dengan
muridnya dalam satu mazhab.
Di antara ulama yang mencapai jenjang ini adalah lmam al Marghinani dan
Abul Hasan al Qaduri dari Mazhab Hanafi, lmam Khalil bin lshaq al Jundi dari
Mazhab Maliki, ar Rafi'i dan an Nawawi dari Mazhab Syafi'i, serta lmam al Mardawi
dari kalangan Mazhab Hambali.
6. Mujtahid Fatwa
Mereka adalah para ulama yang memahami pendapat mazhab, serta
menguasai segala penjelasan dan permasalahan dalam mazhab, sehingga mereka
mampu memenentukan mana pendapat yang paling kuat, agak kuat, dan lemah.
Namun, mereka belum memiliki kepiawaian dalam menentukan landasan kias dari
mazhab.
Di antara ulama yang menduduki derajat ini adalah para penulis kitab matan
fikih, seperti lmam an Nasafi (penulis kilab Kanzu Ad Daqaiq), lmam al Hasfaki
(penulis kitab ad Durrul Mukhtar), dan Syekh Zadah (penulis kilab Majma' al Anhar),
yang kesemuanya berasal dari kalangan Mazhab Hanati. Contoh yang lain adalah
lmam ar Ramli dan al Hafizh lbnu Hajar dari kalangan Mazhab Syafi'i.
7. Thabaqat Muqallid (Orang Yang Taklid).
Al muqallidin adalah orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk membuai
perbedaan antara pendapat yang lemah dan yang kuat, serta tidak dapat
membedakan antara yang ralih dan yang marjuh.

l. Kedrrdukan ljtihad Saat lni


ljtihad pada masa sekarang ini jauh lebih diperlukan dibandingkan dengan masa-
masa lampau. Berbagai persoalan kontemporer telah muncul ke permukaan dan
menuntui kita menyeles aikannya. Persoalan-persoalan tersebut meliputi berbagai
bidang kehidupan, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, sampai pada masalah-masalah
rekayasa geneiika dalam bidang kedol(eran. Dalam bidang ekonomi, kita menjumpai
beberapa kegiatan atau lembaga yang dahulu tidak ada. Lembaga perbankan dengan
segala kaitannya. Lembaga asuransi dengan segala mac€lmnya, merupakan masalah
yang harus dilihat hukumnya dalam lelam.

Ushul Fikih Xll Prog. Kedgdmaan MA IMAN Kotowaringin Timur; 2020]


Dalam bidang kedokteran dan rekayasa genetika manusia kita menjumpai
tindakantindakan medis yang sangat menakjubkan. Pencangkokan jaringan atau
organ manusia, bayi tabung dan lain)ainnya perlu juga mendapatkan jawaban hukum
agar hukum lslam nampak dinamis seperti masa-masa dahulu.
Berdasarkan dengan keadaan seperti di atas, maka ijtil'rad pada masa sekarang
ini dapat dilakukan melalui dua cara yaitu ijtihad intiqa'i atau ijtihad tarjih dan ijtihad
insya'i alau ijtihad ittida'i.
Yang dimaksud dengan ijtihad intiqa'i atau ijtihad tarjih adalah ijtihad yang
dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk memilih pendapat para ahli hukum
terdahulu mengenai masalah-masalah tertentu, sebagaimana tertulis dalam berbagai
kitab hukum lslam, kemudian menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya dan lebih
relevan dengan kondisi masyarakat.
ljtihad insya'i adalah usaha untuk menetapkan kesimpulan hukum mengenai
peristiwa-peristiwa baru yang belum diselesaikan oleh para ahli hukum terdahulu.
Menurut al-Qardawi kegiatan ffihad insya'i mutlak harus kembali diakiifkan guna
mencari solusi-solusi baru terhadap permasalahan yang baru muncul serta demi
pengembangan hukum lslam, sebab setiap masa memiliki problem yang berbeda,
demikian pula halnya dengan masa sekarang, problemnya tidak serupa dengan masa
dahulu. Kriterianya sangat keras dialamatkan kepada sebagian ulama yang
rnenganggap bairwa pintu ijtihad telah tertutup.

Ushul Fikih xll Prog. Keagomaon MA IMAN Kotaworingin Timur; 2020] 22


Uji Kompetensi

A. Berilah jawaban dengan mernberi tanda silang (Xi atau lingkarang pada huruf B
jika pemyataan benar dan pada huruf S jika pemyataan salahl
1. B - S: t$had merupakan kebiaeaan seorang ulama yang diikuti oleh umat da-
lam beribadah.
2. B - S : Berdasarkan jumhur ulama, bahwa ketentuan tentang shalat fardhu me-
rupakan perkara yang tidak boleh diijtihadi.
3. B - S: Jika umat bingung akan ketentuan suatu hukum dan pada saat itu belum
terdapat nash hukumnya, maka seorang multahid dapat memutuskan
dengan ijtihadnya.
4. B - S: Dengan adanya ijtihad maka segenap ketentuan hukum syar'i dapat di-
tinjau ulang jika dipandang kurang sesuai dengan kondisi zaman.
5. B - S: Mernahami asbabun nuzul ayat dan asbabul wurud hadits merupakan hal
yang diharuskan untuk dimiliki seorang muitahid.
6. B - S: Kemampuan memperhatikan dalil mafhum merupakan salah satu metode
ijiihad yang mesti dimiliki ulama mujtahid.
7. B - S: Kemampuan membuat kaidah sendiri tanpa terikat dengan metode istim-
bat ulama lain adalah salah satu sifat dari mujtahid rnurajih.
L B- S: Datitdatil yang berkaitan dengan aqidah menurut utama ushul bukantah
objek yang boleh diijtihadi.
9. B - S: Pada masa sahabat tidak pernah terjadi ijtihad, karena mereka masih hi-
dup sejaman dengan Rasulullah.
10. B - S: Pada masa sekarang ijtihad masih sangat diperlukan dan dapat dilaku-
kan dengan dua cara yaitu iitihad intiqa'i dan iitihad insya'i.

B. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jawaban yang benar dan jelas!


1. Apa yang dimaksud dengan mujtahid mutlak ghairu mustaqif?
2. Berikan contoh perkara yang boleh diijtihadi dan contoh perkara yang tidak boteh
diijtihadi!
3. Berikan penjelasan tentang siapa yang disebut Thabaqat muqallid ilu?
4. Bagaimana pendapat para ulama tentang ijtihad pada masa sekarang?
5. Berikan pendapat kalian terhadap orang yang tidak mau menerima ketentuan
ijtihad ulama, dan bagaimana pendapat kalian terhadap omng yang tertalu longgar
mengui,ihadi suatu perkara hukum?

Ushul Fikih Xll Prog. Keagomaan MA IMAN Kotoworingin Timut 2020] 23


BAB III
MEMAHAMI KEDUDUKAN NASIKH DAN MANSUKH

Kompetensi Dasar:
3.3. Memahami nasikh Mansukh dan ketentuannya
lndikator :
1. Menjelaskan pengertian nasakh berikut contohnya;
2. Mengungkapkan sebab-sebab atau proses terjadinya nasakh dan hikmahnya;
3. Menerangkan objek dan syarat nasakh;
4. Mengungkapkan cara mengetahui nasakh dan macam-macamnya;
5. Mengungkapkan golongan yang menerima dan menotak nasakh

A. Pengertian Nasakh
Secara etimologi nasakh dapat diartikan menghapus, menghilangkan, yang
memindahkan, menyalin, mengubah dan menggganti. Selatan derqan pervgertian
tersebut Ahmad Syadali mengartikan nasakh dengan 2 macam yaitu : pertama il;V :

yang berarti hilangkan, hapuskan. Definisi ini meru.iuk pada dialek orang Arab yang
sering berkata J."-i .J...*iJ1 ,i-LJl lOanaya Matahari menghilangkan bayang-

bayang). Kedua Ji &--:Jl Jl 5;3*, Vaitu memindahkan sesuatu dari satu


tempat ke tempat yang lainnya. Definjsi ini juga metujuk pada Surat alJazyah ayat 29:
L-^ l-..,-;
L - U5 f_:l:JL-
"-i+ -.--1"+
L-j=J
'i-----:a

1;::, 1 i.-.,' -r-*;


. ::. i
(Attah ber'firman): "lnilah kitab (catatan) Kami yang
';3-r+r-r 'L:l-!il
menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami ielah menyuruh
mencatat apa yary telah kamu kerjakan "

Sedangkan secara istilah nasakh dapat didefinisikan dengan beberapa pengertian


antara lain.
Hukum syara' atau dalil syara' yang menghapuskan dalil syara' terdahulu dan
menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya. Contohnya pada surat

l.i r - -
-
;-l! l-.:r--
ISl -o--41, .'JlJ i t i \111
- J L,'"

i'

Ushul Fikih Xl Prog. Keogamoon MA IMAN Kotaworingin limur; 2020]


"Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan
Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum
pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu
tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang".

Yang dinasakh oleh ayat 13:


,..
vEr l+L; ! i!".+ ,6i"" -(r,-i;;*i:J I-#j;-:;,t ;Ji;-ri;
:.L j-J1j il),iri i3-,)2,
".t .., r,,j; rii;f :.r
t Ij iP it3 JJ--"dr . ..' ;C-L;J]
.., i.. r''i,'J.Ju ,
a.l ..

I"

.Apakah
kamu takut akan (rnenjadi miskin)
,:';.:..!1,
'r:= -,-i; G- 5----; iJG
karcna kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan
Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat
lrepadamu maka diikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan".

Tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.

Nasakh adalah Allah, artinya oioriias menghapus dan menggantikan hukum


syara' hakikatnya adalah Allah. Definisi ini didasarkan pada surat al-Anam ayat 5:

't 'tl \ .i.. - ..:


.P+ I q+JJ -:r--:9

), o,r \qt
'Sesungguhnya mereka telah mendustakan yang haq
(Al-Quran) tatkala sampai kepada mereka, maka kelak akan sampai kepada
mereka (kenyataan dari) berita-berita yang selalu merefta perolok-olokkan".

'-.,."-
'1i:gli ;*rd :.1- 1L5 -li
"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Xaii iadil<an (manisia) tupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa
afas sega/a sesuatu?"

Mengangkatkan hukum syara' dengan perintah atau khitab Allah yang datang
kemudlan dafl padanya.

Ushul Fikih Xll ProE. KedEomddn MA IMAN Kotowo ngin Timw: 2020]
Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya nasakh tidak lain
sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam al-Qur'an. Selain
itu kedatangen ayal yang menghapus mutlak adanya setelah ayat yang dihapus.

B. Hikmah Nasakh
Hikmah yang dapat kita petik atas keberadaan jenis nasakh ini adalah :

I . Bahwa al-Qur'an sebagai Kalamullah, ia bukan hanya untuk diketahui dan


djarnaJkan hukumnya, narnun ia juge untuk dibaca untuk mendapatkan pahala.
2. Sebagai pengingat manusia atas segala nikmat Allah, sebab nasakh pada dasarnya
untuk meringankan.
3. Nasakh tilawah sedangkan hukum tetap. Keberadaan nasakh jenis ini merujuk pada
hadis dari Umar bin Khatab dan Ubay bin Ka'ab. Yang menyatakan :
'Termasuk dari ayat al-Qur'an yang diturunkan ialah ayat (Yang aftinya) "orang
tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina, maka rajamlah
(dihukum lempar batu sampai mati ) seka/rgus sebagai balasan da(i Allah"

Ketentuan hukum rajam dari hadis di atas apabila kita mencari lafalnya dalam
Mushaf Usmani (al-Qur'an) tentu kita tidak akan menemukannnya, sebab ayat
tersebut sudah dimansukh- Narnun ketentuan hukumnya (rajam bagi orang tua)
masih tetap berlaku. Menurut sebagian ahli ilmu jenis nasakh ini tidak dapat
diterima, sebab kabarnya adalah kabar ahad. Padahal tidak dibenarkan
memastikan turunnya al-Qur'an dan nasakhnya dengan kabar ahad.

C. Syarat.syarat Nasakh
Namun untuk bisa dibenarkan adanya nasakh, maka ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi:
1. Bahwa hukum perkara yang dinasakh adalah hukum syar'i.
2. Bahwa hukum yang menasakh datangnya lebih akhir dari yang dinasakh.
D. Cara Mengetahui Nasakh dan Mansukh
Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara
sebagai berikut:
1. Keterangan tegas dan nabi atau sahabat;
2. Kesepakatan umat teniang menentukan bahwa ayat mi nasakh dan ayat itu
mansukh.
3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian tununnya dalam perspektif
seiarah.

E. Pendapat Ulamatentang Nasakh dan Mansukh


Ada tidaknya nasakh mansukh dafam al-Quran sejak dahulu diperdebatkan para
ulama. Adapun sumber perbedaan pendapat tersebut adalah berawal dan
pemahaman mereka tentang ayat:

Ushul Fikih Xll Prog. Keogomoon MA IMAN Kotoworingin rimur; 2020] 26


Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau ,+="
1 /ir .'t
t--
r . -
_..C
!-' J" -
kiranya al Quran itu bukan dai sisi Allah, tentulah mereka
meadapat pertentangan yang banyak di dalamaya. (Qs. an-Nisaa':82).

Kesfmpufan dan ayat di atas mengandung prfnsfp yang diyakini kebenarannya


oleh setiap muslim namun mereka berbeda pendapat dalam menghadapi ayat-ayai al-
Quran yang secara zahir menunlukkan kontradiksi.
Ada dua pendapat ulama tentang nasakh dan mansukh yaitu :
1. Nasakh secara logika
2. Nasakh Secara logika dan Syara'
F. Macam-nracam Nasakh dan Contohnya
Para ulama membagi al-Nasakh wa al-Mansukh menjadi 4 bagian :
1 . Nasakh al-Qur'an dengan al-Qur'an.

Jenis nasakh ini memperoleh kesepakatan para ulama atas kebolehan


hukumnya. Dengan kata lain jenis nasakh ini bisa di terima. Contoh : Penghapusan
kewaliban bersedekah ketika akan menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat
dalam surat al-Mujadalah: '12 yang dinasakh ayat'13 di atas.
2. Nasakh Qur'an dengan Sunah
Nasakh jenis ini terbagi menjadi 2 macam yaitu :
a. Nasakh Qudan dengan Hadis Ahad.
Menurut Jumhur ulama ienis nasakh ini tidak diperbolehkan, sebab Qur'an
adalah mutawatir dan bersifat Qot'i sedangkan hadis ahad adalah bersifat zanni
(dugaan).
b. Nasakh Qur'an dengan Hadis Mutawatir.
Jumhur ulama', lmam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad, nasakh menurut jenis ini
diperbolehkan, sebab keduanya adalah berangkat dari wahyu. Hal ini didukung
dengan firman Allah yang terdapat dalam surat al-Najm ayat 3 dan 4:
i
,4\ , - -{ $, - \ll - r,l - ! t - i --
i, : _,i - ---> qJ --->q.jl q3.'rl
'a a-Cl.'.i L J"
vJv .'d,-.i2ir
,.
\) v'

dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa


nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang dwahyukan
{kepadanya).
Namun demikian, bagi al-Syaf i dan ahli zahir menolak jenis nasakh ini, sebab
hadis tidaklah lebih baik atau sebanding dengan Qu/an. Haf ini di dukung firman
Allah yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 106 di atas.

3- Sunah dengan Qur'an


Bagi jumhur ulama', nasakh jenis ini bisa diterima. Hal ini didasarkan atas
keberadaan riweyet Bukhari-Muslirn tentang kewajiban puasa pada bulan as-Syura.

Ushul Fikih Xll Prog. Keogomaon MA IMAN Kotoworingin Tihur; 2020]


Dai Aisyah beliau berkata : "Hari as-Syura itu adalah wajib berpuasa, ketika
diturunkan (kewajiban Puasa) bulan Ramadhan, maka ada yang mau berpuasa
dan ada pula yang tidak berpuasa.

Sunah ini dinasakh oleh firman Allah yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat
185:
.- ..i

a* J;;i
:

.-r-r+r'i ;J {:-.ii;+J ..*iIr-' .jt'rs 3t"'tdt .g-'Jl ;.L.}.,- ) ig,


- i- .,i,,. ,; .'l.o q l.4-c--.eJ-9
,. i: -.., -i.'
,-*- .,Ji- qr l,-4-.,
'-. .'!t.i 'i.'-
,U;.1,i-C-- J4-j: '..*9 '.G"Jl"i' "
i.

;S.I;J.
.lJ

"(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan


yang di dalannya diturunkan (Wrmulaan) Al Quran sebagai
pelunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjeJasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir {di negei tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaktah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiilah baginya berpuasa), sebanyak yang hai
ditinggalkannya itu, pada hari-hai yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.'

Walaupun demikian menurut as-Syafi'i, nasakh jenis ini tidak dapat diterima,
sebab antara Qur'an dengan sunah harus berjalan beriringan dan tidak boleh
bertentangan. Dengan kata lain bagi as-Syati'i adalah tidak mungkin manakala ada
hadis yang bertentangan dengan Qur'an. Selain itu, pandangan ini .iuga
mengisyaratkan bahwa adanya nasakh menunjukkan adanya ketidaktepatan dalam
hadis, padahal sebagaimana yang kita ketahui keberadaan hadis pada dasamya
sebagai penjelasan atas Qufan.
4. Nasakh Sunah dengan Sunah.
Jenis Nasakh ini terdapat 4 macam, yaitu :
a. Mutawatir dengan Mutawatir
b. Ahad dengan Ahad
c. Ahad dengan Mutawatir
d. Mutawatir dengan Ahad.
Bagi Jumhur ulama' dari keempat nasakh tersebut tidak menjadi masalah menjadi
bagian dari nasakh dengan kata lain dapat diterima kecuali jenis yang ke empat yaitu
mutawatir dengan ahad. Argumentasinya tentu tidak terlepas dari tingkat nilai
kebenaran yang terkandung didalamnya.

Ushul Fikih xll Prog- Keogomaon MA IMAN Kotoworingin limur; 2O2O]


G. Golongan yang Menerima dan Menolak Adanya Nasakh Besefta Alasannya
1. Mereka yang Menentang Adanya Nasakh
i4ereka yang rnenentang adanya nasakh dalam ayat-ayat AJlah adalah
kalangan Yahudi, dimana mereka dahulu pun pernah menerima kitab dad Allah.
Dasar pertimbangan mereka adalah semata-mata logika, yaitu bila Allah mengganti
hukumnya, maka hal itu menunjukkan bahwa Allah itu tidak Mengetahui apa-apa
yang akan terjadi. Dan hal itu mustahil terjadi pada Allah.
Padahal di dalam Taurat mercka pun ada juga kasus nasakh yang Wda
dasarnya sudah mereka terima tanpa sadar. Misalnya Taurat mengakui bahwa
dahulu Allah membolehkan kepada umat nabi Adam as untuk menikah dengan
saudara kandung, lalu pada syariat mereka hal itu dirubah dan dihapuskan. Juga
diharamkannya banyak jenis binatang dalam syariat mereka setelah sebelumnya
dihalalkan.
2. Berlebihan dalam Menerapkan Nasakh
Dan berseberangan dengan Yahudi ada kelompok Rawafidh yang merupakan
pecahan dari kelompok Syiah, yang justru berlebihan dalam mengaplikasikan
nasakh, hingga sampai batas menerima logika bahwa Allah itu tidak mengerti dan
tidak tahu apa yang akan teriadi.
3. Yang Menerima Adanya Nasakh dengan Terbatas
Para ulama dari kalangan jumhur sepakat bahwa dalam wahyu Allah adalah
nasakh dan mansukh. Keberadaannya adalah kehendak Allah dan sama sekali
bukan mencerminkan ketidak-tahuan Allah atas apa yang akan terjadi. Dan
merupkan hak Allah untuk rnengubah perintah-Nya sendiri, membatalkannya atau
menambahkannya kepada hamba-Nya. Justru adanya nasakh dan mansukh itu
menunjukkan kekuasan-Nya dan Kemahakuasaan-Nya. Sama sekali tidak ada
yang kurang dan hina dari apa yang Dia lakukan.
Selain itu, adanya perubahan atas ayat Allah dan perubahan hukumnya
memang telah ditegaskan di dalam al-Quran al-Karim:
__c
;.Jjli,i:li
r' I liI --' ii li.:;
U!* :-; *:rj L-* Jr" :-.;-.j
;i';-,i; v-\_ US

atau i='' ,,,rli


- ,";l v E
"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan,
u_-r., _,i
J - G t-'
,,
Kami jadikan lupa kepadanya, Kami datangkan
yang lebih baik daripadanw atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu
mengetahui bahwa sesungguhnya Ailah Maha Kuasa atas sega/a sesuafu. " (al-
Baqarah: 106)
,t- i -2,, - ;;-, i-'rr1''r.,-" r- . i,l-"i,i- ]. -,- -,'-.,..i. -r- i-i.- ,r,.-
-l* -Jj:,t,o JJI t4rl lyui,J*J
;t- - !f", {LJlg4-rlrULJ\;4rk LIJJJ lJi.g
* .t"--l-J "a
"Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat .'' 6;l-il ! '\s"5'/'a i
\JJ"IJ
ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah
lebih mengefahui apa yang drturunkan-Nya, mereka be*ata, Sesunggahnya
kamu adalah orang yang mengada-adakan saja. Bahkan kebanyakan mereka
tiada mengetahui." (an-Nahl: 101)

Ushul Fikih Xll Prog, Keagamaan MA IMAN Kotawaringin Timur; 2O2O]


Adatagi orang yang menerima nasakh tapi dengan membedakan rinciannya. yaitu
Abu iilustim al-Ashfahani, seorang mufassir al-Quran al-Karim dan juga pefiganut
paham Mu'tazilah. Dia mengatakan bahwa nasakh itu secara logjka brsa d)terlma tapi
secara syariat tidak bisa.
Namun yang paling kuat dan paling rajih adalah pendapat dari jumhur ulama
bahwa nasakh itu memang ada dan sama sekali tidak mengurangi Keagungan Allah.
Namun untuk bisa menetapkan sebuah ayat atau hadits itu dinasakh atau tidak, harus
ada dalil landasan dan keterangan yang kuat.

H. Pengertian Mansukh dan Contohnya


Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah
dan disalin/ dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan dengan pt
rL ,;;r--tt,
hukum yang diangkat. Contoh surat an-Nisa ayat 11:

!e
Jr
,; t*;";ls p;ii
_

d-:,ti:;HJll i-6I; ;i-o-'3 ;-315 .,1J ru ,C-ej

"i ;J;,G
,'.-(i
v v:: il je ,*J il*5 ,l :J-,: [* Ir;i+ f3;L<J
+"iu:;lr :u ir-r.F ":*il:i*it, ilili rL::_s il, .J
-,eii 'J ,if ;ti:i3 { iLt;i;. ;i E.,r* ,+ j,o l+ J--;lt

"Nlah menswi'atkan bagimu tentang {pn@;uan pusaka untuk) anak+,qakrrrt.


yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan [dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dai dua [Maka bagi
mereka dua perttga dari hafta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, Maka ia memperoleh sefengaf, harta. dan untuk dua orcng ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; 1lka orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepeftiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfeetnye begimu. lil adeleh ketetepan dan Allah. Sesungguhnya Attah Maha
mengetahui lagi Maha Bija4sana."

Menasakh surat al-Baqarah ayat 180 tentang wasiat;

ushul Fikihx Ptog- KeogaDraan MA IMAN Kotawa ngin TimuD 2O2OJ


"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tandaianda)
maut, jika ia meninggalkan hada yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya secara ma'ruf {ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
beftakwa.'
Sedangkan secara istilah mansukh adalah hukum syara' yang diambil dari dalil
syara' yang pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum
dari dalil syara' baru yang datang kemudian.
Dengan demikian, mengacu pada definisi al-nasakh wa al-mansukh di atas baik
secara bahasa maupun istilah pada dasarnya secara eksplisit al-nasakh wa al-
mansukh mensyaratkan beberapa hat antara latn :
'1 . Hukum yang di mansukh adalah hukum syara'. Artinya hukum tersebut bukan

hukum akal atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum syara' adalah
hukum yang tertuang dalam al-Qulan dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan
mukalaf baik berupa perintah (wajib, mubah) larangan (haram, makruh) ataupun
aniuran (sunah).
2. Dalil yang menghapus hukum syara' juga harus berupa dalil syara'. Hal ini
sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah dalam surat an-Nisa' ayat 59:
| - . ij ".. 4.. i:{ --

t.'i- t . ?t I r ti-- t t r lit- {.-t.- - lr r '-i.i-.-


.? STSJS-*rJl lj-ri:+?l 3a-.lJl t3-r--bt t3-:itt in#l+U+

"Hai orang4rang yang beriman, taatilah Atlah datn taatilah Rasut (Nya), dan utit
ami dr antara kamu. Kemudtan lika kamu berlainan pendapat tentang sesrafcrl
maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Ailah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

3. Dalil/ayat yang dimansukh harus datang setelah dalil yang dihapus.


4. Terdapat kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua
sehingga tidak bisa dikompromikan.

Ushul Fikih Xll Prog. Keagamaan MA IMAN Kotoworingin fimur; 2O2O]


UjiKompetensi

A. Berilah jawaban dengan memberi tanda silang (X) atau lingkaran pada altemarif
jawaban yang paling benar!
1. Sebuah ta{adz atau katimat yang diartikan sebagai menghapus, menghilangkan,
yang memindahkan, menyalin, menggubah dan mengganti adalah pengertian dari

e. nasafn C. mansukh E. ghayah


B. takwil D. qiyas
2. Berikut adatah syarat-syarat berlakunya nasakh dan mansukh, kecuati ....
A. Dalil yang menghapus hukum syarajuga berupa hukum syara.
B. Hukum yang dihapus sederajat dengan dalil yang menghapus.
C. Dalil yang dimansukh harus datang setelah dalil yang dihapus.
D. Hukum yang dimansukh adalah hukum syara.
E. Terdapat kontradiksi antara dalil pertama dengan dalil kedua.
3. Nasakh yang terjadi antara sunah dengan sunah tidak dapat dianggap sah
(berlaku) jika ... .
A. nasakh hadis mutawatir dengan hadis gharib
B. nasakh hadis ahad dengan hadis mutawatir
C. nasakh hadis ahad dengan ahad
D. nasakh hadis mutawatir dengan hadis ahad
E. nasakh hadis mutawatir dengan mutawatir
4. Di bawah ini adalah cara untuk mengetahui adanya nasakh dan mansukh yang
terjadi pada suatu nash ayat atau nash hadis ....
A. Adanya keterangan tegas dari Rasulultah Saw atau sahabat;
B. Adanya ijtihad tentang sebuah dalil;
C. Mengetahui dalil yang paling utama untuk diamalkan;
D. Memahami perbandingan mazhab dan ilmu ushul;
E. Berijtihad dengan bersandar pada ayat atau hadis sahih;
5. Berikut ini adalah syarat-syarat yang bisa teriadinya nasakh, yaitu ....
A. derajad hukum keduanya minimal sama
B. terdapat kontradiksi nyata dalil pertama dan dalil kedua
C. dalil yang masnukh bisa dari hadats, sedang 1,ang dinasakh bisa al Quran
D. masukh hanya terjadi dengan pertimbangan (ijtihad) para ulama
E. hukum yang dinasakh menyangkut perkara muamalah
6. Dalam riwayat Bukhari-Muslim, terdapat satu riwayat dari Aisyah ra tentang
kewajiban berpuasa pada hari as- Syura'. Namun beberapa saat kewajiban tersebut
digenti dengan kewajiban berpuasa pada bubn Ramadhan sebagaimana
disebutkan dalam surat al Baqarah ayat 185.
Pergeseran hukum semacam ini adalah satu contoh nasakh ..._
A. nasakh Qu/an dengan hadis ahad;
B. nasakh Qur'an dengan hadis mutawatir;
C. nasakh suneh dengen sunah;

Ushul Fikih Xtt Prog. Keagsmoon MA IMAN Kotoworingin nmur; 2g29l 32


D. nasakh sunah dengan ijma'
E. nasakh sunah dengan Quran;
Z Seitap alal atau hacfu.s yz151g ada da,larn lslarn rnerniJrkr berbagat kebaka'r baglt
orang-orang yang mau mempelajarinya, termasuk pada dalil yang dinasikh dan
mansukh. Berikut yang bukan merupakan hikmah dari adanya nasikh dan mansukh
pada ayat al Quran atau pada hadis ... .
A. Menunjukkan adanya kemurahan dari Allah bahwa hukum atau perintah pada
sualL' L{ry}ai, ,ernyara dr.brggtarkan ateu €fuhapus pada urnat selelarur;,a,
B. Memberi keuntungan bagi orang-orang yang enggan dalam beribadah, karena
adanya perubahan yang lebih enteng;
C. Untuk memotivasi setiap umat agar tidak kehilangan jiwa kritis pada dalil-dalil
yang dijadikan hujjah;
D. Brrkti bahwa daIJ {al Suran atau iradis) yarg dinasakh dan rnansukh sehagaj
kedewasaan umat antar generasi ke generasi berikutnya;
E. Mengajak manusia uniuk toleran dan berupaya memperbaiki kualitas
peribadatan dengan nasikh mansukh tersebut;
8. Ketentuan berikut ini menjadikan nasakh dinyatakan tak berlaku, yaitu bila ....
A. ke falid-an hukum keduanya mesti sama
B. hukum yang dinasakh menyangkut perkara syariat
C. hukum yang menasakh datang lebih akhir dari yang dinasakh
D. dalit yang menasakh bisa dari hadits, sedang yang dinasakh bisa al Quran
E. nasakh terjadi dengan pertimbangan (ijtihad) para ulama
9. Suatu dalil yang dihapuskan atau dipindah adalah pengertian dari . .. .
A. mutlaq revrsi
C. E. Mansukh
B. nasikh D. mafhum
10. Ayat tentang larangan shalat dalam keadaan mabuk dinasakh oleh ayat perintah
untuk meniauhi minuman keras secara total. Hal ini termasuk dalam nasakh jenis... .

A. al Quran dengan al Quran D. al Quran dengan giyas


B. hadits dengan al Quran E. hadits dengan ijma' sahabat
C. al Quran dengan hadits

B. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jawaban yang benar dan jelas!


1. Jelaskan pengertian nasakh secara bahasa dan istilahl
2. Berikan 2 pendapat para ulama tenteng nasakh?
3. Tuliskan satu perbedaan antara nasakh dengan mansukh!
4. Mungkinkan dalil yang dinasakh dipakai untuk suatu dalil atas suatu perbuatan?
5. Bagaimana pendapatmu tentang kajian yang mengulas masihkah nasakh mansukh
diperlukan dimasa kita saat ini?

Ushul Fikih xll Prog. Keagomodn MA IMAN Kotdworingin nmuD 2020] 33


BAB IV
TA'ARUDL AL ADTLLAH DAN KETENTUANNYA

Kompetensi Dasar:
3.4. Memahami ta'arudul adil{ah dan keientuannya
lndikator Pembelajaran :
1. Menielaskan pengertian ta'arudl dan contoh dalil (nash) yang ta'arudl;
2, Me4ieiaskan syaral-sy arat ta'arudl;
3. Menjelaskan cara menyelesaikan dalil ta'arudl;

A. Pengertian Ta'arudl dan Dalil (Nash) yang Ta'arudl


Secara bahasa, kata ta'arudh berarti pertentangan antara satu dengan yang |ain.
Wahbah alZuhaili irrCak selulu terhadap pendapat sebeguan kalangran yang
menyamakan antara ta'arudh dan tanaqudh. Menurut Wahbah antara kedua istilah ini
terdapat perbedaan. Dengan mengutip para pendapat para ahli ushul fiqih, Wahbah
menjelaskan bahwa tanaqudh membawa impikasi batalnya satu dari dua dalil.
Sedangkan ta'arudh hanya menghalangi berlaku hukum yang dimaksud suatu dalil
tanpa menggl,|gwkan keberadaan da#J iersebut.
Definisi ta'arudh yang dikemukakan Khudhari Beik, sejalan dengan definisi yang
dirumuskan Ali Hasbalah, yaitu ta'arudh merupakan dua dalil yang sama tingkatannya
menunjukkan suatu hukum yang bertentangan dengan hukum yang dikandung dalll
yang lain dalam kasus yang sama.
Da{i dua de#njsi rtu diketahui bahwa peftentangen antara dua da}il terladi da}am
bentuk lahimya dari segi penilaian mujtahid yang mengamatinya. Misalnya, satu dalil
yang secara lahir menunjukkan hukum wajib dan dalil yang lain dalam kasus yang
sama menunjukkan hukum haram.
Contoh-contoh ta'arud sebagai berikut:
1. Ta'arud dali] zahir dengan dalil nash seperli Flrman AlJah: an Nisa: 4124 dan an
Nisa: 4/3, maka yang dikuatkan adalah dalil nash yaitu surat an Nisa ayai 3 dari
pada dalil dzahir (an Nisa: 24).
2. Ta'arud dalil nash dengan dalil mufassar seperti sabda Nabi Shalallahu 'alahiw wa
Sallam'. bahwa wanita yang bertistihadhah itu berwudhu untuk setiap melaksanakan
shalat Sedangkan di dahm riwayal yang lain Nabi ShalalJahu ?lahiw wa Sallam
bersabda kepada Fatimah binti Hubais: berwudhulah kamu untuk waktu setiap mau
mengerjakan shalat. Hadis pertama (dalil nash) itu memberi faidah wajibnya
berwudhu bagi wanita yang istihadhah untuk setiap mau melakukan shalat
walaupun didalam satu waktu. Sedangkan dalil yang kedua (dalil mufassar)
rnenjelasken bahwasanya hadls ientang wajibnya wudhu untuk wakiu setiap mau
melekukEn itu tidak mungkin bisa dita'wil sekalipun itu lebih banyak dari shalat.
Maka yang lebih kuat disini adalah dalil mufassar.
3. Ta'arud dalil mufassar dengan muhkam, menurut para muhaqiq itu tidak didapati
contohnya, akan tetapi sebagian mengatakan ada, seperti firman Allah tentang

ushul rikih xll Prog, Keagomoan MA IMAN Kotawaringin Timur; 2O2O]


masalah saksi: Qs. ath Thalaq: 6512 dan firman Allah tentang hukurnan bagi orang
yang menuduh zina: Qs. an Nur: 4124 , maka yang dirajihkan dalil muhkam yaitu
Qs. an Nur: 4124.
4. Ta'arud dalil Muhkam dengan dalil nash. Sebagai mana firman Allah Qs. an Nisa:
4124. dan Qs. al Ahzab: 33/53 tentang istri Rasulullah Shalallahu'alahiw wa Sallam.
Maka yang didahulukan adalah dalil muhkam (Qs.al Ahzab:33/53) karena lebih kuat
dari pada dalil nash.
E Ta'arud rnuhkam dengan dalil zahir seperti firman Allah Qs. al Ahzab: 3353. dan

Qs. an Nisa: 413, maka yang didahulukan dalil muhkam (Qs. al Ahzab33/53, karena
lebih kuat dari dalil dzahir).

B. Syarat-syarat Ta'arudl
Yang dimaksud syarat di sini adalah sesuatu yang menyebabkan terjadinya
ta'arudh. Para ulama memberikan syarat-syarat ta'arudh apabila dalil yang kontradiksi
memenuhi syarat:
1. Kedua dalil yang bertentangan berbeda dalam menentukan hukum. Seperti hukum
yang terkandung dalam Qs. al Baqarah: 180 dengan Qs. an Nisa; 11, mengenai
harta peninggalan orang yang meninggal dunia.
2. Kedua dalil yang mengalami pertentangan berada dalam satu hukurn {satu
masalah). Ketika ada dalil yang tampak bertentangan akan tetapi, kedua dalil
tersebut berbeda dalam menunjukan hukum, maka tidak disebut ta'arudh
(pertentangan).
3. Antara dalil yang mengalami pertentangan harus terjadi dalam satu masa dalam
menentukan hukum. Apabila waktunya sudah berbeda dalam penunjukan hukum,
maka dalil tersebut tidak dinamakan pertentangan. Ketika terjadi ta'arudh akan
tetapi waktu penunjukan hukum ayat itu berbeda maka ayat tersebut bisa
disatukan. Seperti arak pada masa awal lslam hukumnya boleh, tetapi ketika turun
ayat yang menunjukan bahwa arak haram, secara otomatis kedua penunjukan
hukum seperti ini tidak menunjukan adanya pefientangan,
4. Kedua dalil tersebut berada dalam derajat yang sama dalam penunjukan hukum.
Tidak ada perentangan antara al Quran dengan hadis ahad, karena al Quran dalam
penunjukan hukumnya adalah sebagai dalil qathi, sedangkan hadis ahad termasuk
dalam dalil zhanni. Apabila terjadi pertentangan antara dalil qathi dan zhanni, maka
secara otornatis dalil qathi yang didahulukan.
Apabila dalil-dalil qathi' maupun zahnni terjadi pertentangan serta memenuhi
syaratnya, maka yang seperti inilah yang dinamakan ta'arudh. Dari semua syarat juga
harus dipenuhi oleh dalil yang ta'arudh, ketika dalil tersebut hanya memenuhi beberapa
syarat, dan masih ada syarat yang belum terpenuhi, tidak disebut ta'arudh

C. Penyelesaian Dalil Tdarudl


Apabila ditemukan dua dalil yang kontradiksi secara lahimya, maka harus
diadakan pembahasan uffiul( memadulGn Kecluanya dengan cara-cara memadukan
yang telah diatur dalam ushul fiqih. Dan apabila dua dalil tersebut telah diusahakan
perpaduannya, namun tetap tidak menemukan ialan keluar, maka pelaksaannya

ushul Fikih xll Prog. Keogomaan MA IMAN Kotawaringin Timur; 2O2O]


dihentikan dan mencari dalil yang lain. Para ulama ushul telah merumuskan tahapan-
tahapan penyelesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada suatu prinsip yang
tertuang dalarn kaidah sebagai berikut:
"Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik daripada meninggalkan
keduanya"

Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang


berbenturan serta carmrafiya sebagai berikut:
1. Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (al Jam'u wa al Taufiq), dapat ditempuh
dengan cara:
a. Taufiq (kompromi). Maksudnya adalah mempertemukan dan mendekatkan dalil-
dalil yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang
ditwrjuk oleh kedua dalil tersebu!, sehingga tidak terlihat bgi adanya kontradiksi.
Contoh:
.. .#-ir jlru pr;{. *i J*vtt:t b$$'& c9* e$rs
"Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri
Itendaklah berwasiat bagi istri-istri rnereka untuk bersenang -senang selama
satu tahun." (Qs. al Baqa.eh:24O)

Dengan ayat yang berbunyi:


i
Yp1,6 gl !e-,t;t, rxfi;Vt si ;$q:'& S i* <.',11.
t-rtiJt)
'Orangorang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan isti-istri
hendaklah istrilstri itu menahan dii selama empat bulan sepuluh han." (Qs. al
Baqarah: 234)

Kedua ayat di atas secara lahir memang berbenturan karena ayat yang pertama
rnenetapkan iddah selama satu tahun, sedangkan ayat yang kedua rnenetapkan
iddah selama empat bulan sepuluh hari.
Usaha kompromi dalam kasus ini adalah dengan menjelaskan bahwa yang
dimaksud bersenang-senang selama satu tahun pada ayat pertama adalah hak
mantan istri untuk tinggal di rumah mantan suaminya selama satu tahun (ika
tidak menikah lagi). Sedangkan masa iddah selama empat bulan sepuluh hari
dalam ayat yang kedua maksudnya adalah sebagai batas minimal untuk tidak
menikah lagi selama masa itu.
b. IatDsis, yaitu jika dua dalil yang secara zhahir berbenturan dan tidak mungkin
dilakukan usaha kompromi, namun satu diantara dalil tersebut bersifat umum
dan yang lain bersifat khusus, maka dalil yang khusus itulah yang diamalkan
untuk mengatur hal yang khusus. Sedangkan dalil yang umum diamalkan
menurut keumumannya sesudah dikurangi dengan ketentuan yang khusus.
Contoh firman Allah surat al Baqarah ayat 228 yang berbunyi:
t 2.,t,- - tJ , fi,- o
i ;j
e - ;iti
:4+.;'ru,isfr J;lzlg

Ushul Fikih Xll Prog. Keogomoon MA IMAN Kotawdringin Timur; 2O2Oj


'Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan dii (nenungu) tagi kali
sucL " (Qs. al Baqarah:22)

Dan pada ayat lain sebagai berikut:


"ib #.i1 &Lr Jw'ir o'.Jr!
"Perempuan-perempuan hamil (yang dicerai suami) waktu iddah mereka
adalah sampai melahirkan kandungannya-" (Qs. ath Thalaq: 4)

Perbenturan secara zahir kedua ayat di atas bahwa iddah isfi yang ditalak
suami adalah tiga kali suci, sedangkan istri yang dicerai suami dalam keadaan
mengandung, maka iddahnya adalah sampai melahirkan anaknya.
Usaha penyelesaian melalui fakhsrs dalam dua dalil di
atas yaitu
memberlakukan batas melahirkan anak, khusus bagi istri yang dicerai suaminya
dalam keadaan hamil. Dengan usaha takhsis ini ketentuan bagi istri yang hamil
dikeluarkan dari keumumannya.
2. Mengamalkan satu datil diantara dua dalit yang berbenturan
Bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat dikompromikan atau difakhsis,
maka kedua dalil tersebut iidak dapat diamalkan keduanya. Dengan demikian
hanya satu dalil yang dapat diamalkan. Usaha penyelesaian dalam bentuk ini dapat
ditempuh dengan 3 cara:
a. lVasaftfi. Maksudnya apabila dapat diketahui secara pasti bahwa satu diantara
dua dalil yang kontradiksi itu lebih dahulu turun atau lebih dahulu berlakunya,
sedangkan dalil yang satu lagi belakangan turunnya, maka dalil yang datang
belakangan itu dinyatakan berlaku untuk seterusnya, sedangkan dalil yang lebih
dulu dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku lagi.
Contoh:
"Sesungguhnya saya telah melarangmu berziarah kubur, maka sekarang
berziarahlah."
Keterangan waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash yang berbeda adalah
apabila dua dalil hukum berbenturan dan tidak mungkin diselesaikan dengan
cara apapun, tetapi dapat diketahui bahwa yang satu lebih dahulu datangnya
dari pada yang satunya, maka yang terakhir ini menasakh yang lebih dahulu
datang, sebagaimana yang terjadi pada hadis di atas, dan juga hadis di bawah
ini yang berbunyi:
.Sesungguhnya saya telah melarangmu menyimpan
daging kurban lebih dari
keFrluan tiga hari, maka *Rarang makanlah dan simpanlah."
b. Tarjih. Maksudnya adalah apabila diantara dua dalil yang diduga berbenturan
tidak diketahui mana yang belakangan hrrun atau berlakunya, sehingrga tidak
dapat diselesaikan dengan nasakh, namun ditemukan banyak petunjuk yang
menyatakan bahwa salah satu diantaranya tebih kuat dari pada yang lain, maka
cliamall(anlah clalil yang dlseftal petunjuk yang menguatkan itu, dan clalil yang
lain ditinggalkan.

Ushul Fikih Xll Prog. Keogomaon MA IMAN Kotoworingin fimur; 2OZO]


Contoh: Mendahulukan kabar dari Aisyah rahdiallahu'anhu tentang wajibnya
mandi bila terjadi persetubuhan daripada kabar Abu Hurairah yang mewajibkan
rnandi hanya apabi,la keJuar rnani.
c. Takhyir. Maksudnya bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat ditempuh
secara nasakh dan tarjih, namun kedua dalil itu masih mungkin untuk
diamalkan, maka penyelesaiannya ditempuh dengan cara memilih salah satu
diantara dua dalil itu untuk diamalkan, sedangkan yang lain tidak diamalkan.
3. Mentnggalkan dua dalil yang berbenturan
Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak mampu
diselesaikan dengan dua cara di atas, maka ditempuh dengan cara ketiga, yaitu
dengan meninggalkan dua dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua dalil
yang berbenturan itu ada dua bentuk, yaitu:
a. Tawaquf {menangguhkan) pengamalan dafl tersebut sambll menunggu
kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu diantara
keduanya.
b. Tasaquth (saling berguguran), meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari
dalil yang lain untuk diamalkan.

Ushul Fikih Xll Prog. Keoqomoon MA IMAN Kotowaringin limur; 2O2O] 38


Uji Kompetensi

A. Berilah jawaban dengan memberi tanda silang (X) atau lingkarang pada huruf B
jika pemyataan benar dan pada huruf S jika pernyataan salahl
1. - S : Kata ta'arudh berarti pertentangan antara satu dengan yang lain.
B
2. B - S : Salah satu contoh terjadinya ta'arudh adalah ta'arudh dalil nash dan ta'-
arudh dalil mufassar.
3. B - S : Kedua dalil yang mengalami pertentangan berada dalam satu hukum
(satu masalah), ini merupakan salah satu berlakunya ta'arudh.
4. B - S : Untuk mengkompromikan dalil ta'arudh dapat dilakukan dengan taufrq.
5. B - S : Jika menemukan dalil ta'arudh seseorang boleh meninggalkan kedua-
nya.

B. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jawaban yang benar dan jelas!


1. Berikan penjelasan delinisi ta'arudh secara bahasa dan istilah!
2. Tuliskan 2 syarat berlakunya ta'arudhl
3. Bagaimana cara yang bisa dilakukan pada dalil ta;arudh dengan mengamalkan
salah satu dari keduanya?

Ushul Fikih Xll Prog. Kedgomaan MA IMAN Kotowaringin Timur; 2020] 39


BAB V
TARJIH DAN KETENTUANNYA

Kompetensi Dasar:
3.5. Memahami tarjih dan ketentuannya;
lndikator Pembelajaran:
1 . Mengemukakan pengertian tarjih;
2, Menjelaskan syarat-syarat tarjih;
3. Berdiskusi tentang macam-macam tarjih berserta contohnya;

A. Pengertian Tarjih
Dalam pembahasan terdahulu dijelaskan bahwa bila terdapat perbenturan dua
dalil syar'i yang tidak mungkln dikomprornikan dengan caa aW pun, tidak rnungkin
diperlakukan ketentuan takhsis, tidak ditemukan pula cara untuk memberlakukan
nasakh, tetapi ditemukan petunjuk yang mungkin menguatkan salah satu diantara dua
dalil itu, maka digunakanlah dalil yang memiliki petunjuk yang menuatkan itu. Cara
tersebut dinamai tarji.
Secara etimologi, tarjih berartl"menguatkan". Dalam afti istilah, terdapat beberapa
definisi. Yang lebih kuat diantara definidi itu adalah yang dikemukakan Saifuddin al-
Amidi dalam bukunya Al-lhkam. Ungkapan mengenai diiringinya salah satu dari dua
dalil yang pantas menunjukkan kepada apa yang kehendaki di samping keduanya
berbenturan yang mewajibkan untuk mengamalkan satu diantaranya dan
meninggalkan yang satu lagi. Kata satu diantara dua dahl yang pantas mengandung
arti bahwa bila dua dalil itu atau satu diantara dua dalil itu tidak pantas untuk dijadikan
dalil, maka yang demikian tidaklah dinamakan tarjih. Kata disamping keduanya
berbenturan menganfung ari bahwa meskipun keduanya adalah dalil yang patut,
namun tidak berbenturan, tidak dinamakan tarjih, karena tarjih itu diperlukan waktu
menghadapi'dua dalil yang berbenturan dan tidak perlu tarjih bila tidak mendaqt
perbenturan.
Menurut ulama Hanafiyah

Je-.{ y k r Y1 & cd, hll r- Y;: lg; rl& b! ef jJl


"Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama
(sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendirf'.

Dari definisi di atas dapat diketahui hakikat tarjih dan sekaligus merupakan
persyaratan bagi tarjih, yaitu :
1. Dua dalil tersebut berbenturan dan tidak ada kemungkinan untuk mengamalkan
keduanya dengan cara aWWn. Dengan demikian, iidak dapat tariih dan dua dalil
yang qathi'i karena dua dalil aqth'i tidak mungkin saling berbenturan.
2. Kedua dalil yang berbenturan itu sama-sama pantas untuk memberi petunjuk
kepada yang dimaksud.

Ushul Fikih xll Prog. Keagomoon MA IMAN Kotowaringin Timur; 2020] 40


3. Ada petunjuk yang mewajibkan beramal dengan salah satu diantara dua dalil dan
meninggalkan dalil yang satu lagi.

B. Syarat-syarat Tarjih
Sebelum melakukan tarjih perlu mengetahui Syarat-syaratnya sebagai berikut :

1 . Yang menjadi soal itu satu masalah, tidak boleh berlainan. Misalnya soal haji
tersebut di atas maka semua riwayatnya urusan haji
2. Dalil-dafl yang berlawanan harus sarna kekr.ratan nya, sepeftu Our'an dengan
Qur'an, Qur'an dengan hadis mutawatir, dan hadir mutawatir dan hadis mutawatir.
Jiika yang bertentangan itu antara hadis mutawatir dan hadis ahad, maka tidak
perlu ada tarjih, sebab yang didahulukan ialah hadis mutawatir dan itulah yang
dipakai.
3. Harus ada persesuaian hukurn antara keduanya, baik waktunya, tempat dan
keadaaannya. Misalnya larangan jual beli sesudah Adzan Jum'at, diwaktu yang lain
jual beli diperbolehkan. Disini tidak ada pertentangan kareRa berbcda waktunya.

C. Metode Tarjih
Para ulama' ushul fiqih menegemukakan cukup banyak cara pentarjihan yang
bisa dilakukan, apabila antara dua dalil, secara zhahir, terdapat pettentangan dan tidak
mungkin dilakukan al-jam'u wa al-taufiq atau naskh.
Cara pentarjihan tersebut ada dua pengelompokan besar, yaitu:
1. Tariih bain al-Nushusn ,-e_dl U,.
ejJl
Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan. Ada
beberapa cara yang dikemuikakan para ulama' ushul fiqih:
a. Dari segi Sanad
Menurut lmam asy Syaukani, pentarjih dapat dilakukan dengan 42 carre,,
yang diantaranya dikelompokan kepada:
1) Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya.
Untuk itu, bisa dilakukan dari segi kuantitas para perawi, yaitu menguat-kan
hadits yang sanadnya sedikit, karena kemungkinan terjadinya kesalahan
dalam suatu riwayat yang diriwayatkan oleh banyak perawinya sangat kecil.
Pendapat ini dikemukakan oleh Jumhur Ulama'.
2) Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri
Yaitu hadits mutawatir dikuatkan dari hadis masyhur (hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak, tetapi tidak sampai ke tingkat
mutawatir) dan hadits masyhur lebih didahulukan dari hadis ahad. Yaitu bisa
juga dilakukan dengan cara melihat persambungan sanadnya bersambung
ke Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Sailam dari hadis yang sanadnya
terputus.
3) Pentarjihan melalui cara menerima hadis itu dari Rasulullah
Yaitu menguatkan hadis yang langsung didengar o{eh Rasulullah dari pada
hadis yang didengar melalui perantara orang lain atau tulisan. Dikuatkannya
juga riwayat yang lafal langsung dari Rasulullah yang menunjukan kata kerja,
seperti lafal naha, amara, dan adzina.

UEhul Fikih Xll Prog- Keagdrllrrrrn MA IMAiU KotoworinE in fimur: 2O2Al 4L


b. Dari segi Maian (Teks)
Matan yang dimaksudkan di sini adalah teks ayat, hadis atau ijma'. Al Amidi
menge.rnukakan banyak cara dianiaranya:
1) Teks yang mengandung larangan lebih didahulukan dari teks yang
mengandung perintah, karena menolak segala kemundaratan lebih
didahulukan dari mengambil manfaat.
2) Teks yang mengandung perintah didahulukan dari teks yang menunjukan
keboJrahan saja, karena dengan rnelaksanakan perintah, hukum bolehnya
telah terbawa sekaligus.
3) Makna hakikat dari suatu lafal lcbih didahulukan dari makna majaznya,
karena makna hakikat tersebut tidak memerlukan indikasi yang lain uniuk
menguatkannya.
4) Dalil khusus lebih didahulukan dari dalil yang umum.
5) Teks yang yang sharih (lelas) didahulukan dari teks yang bersifat sindiran
(kinayahl.
Segi Hukum atau Kandungan Teks
Dari segi hukum atau kandungan teks, al Amidi mengemukakan sebelas
cara pentarjihan. sedangkan asy Syaukani menyederhanaknnya menjadi
sembilan, diantaranya:
1) Apabila salah satu hukum teks itu mengandung bahaya, sedangkan teks lain
menyatakan keboiehan saja, menurut jumhur yang mengandung bahaya
itulah yang harus didahulukan.
2) Apabila hukum yang dikandung suatu teks bersifat menetapkan, sedangkan
yang lain bersifat meniadakan, maka hal seperti ini terjadi perbedaan
pendapat dikalangan ulama'. Menurut Syafi'iyah teks yang bersifat
meniadakan lebih didahulukan dari teks yang bersifat menetapkan.
Sedangkan menurut jumhur teks yang sifatnya menetapkan lebih
didahulukan.
3) Apabila teks yang bertentangan itu salah satunya mengandtrng hukum
menghindarkan terpidana dari hukum, sedangkan teks yang lain
mengandung hukum mewajibkan pelaksanaan hukuman terhadap terpidana
tersebut, maka teks yang mengandung hukum menghindarkan itu lebih
didahulukan, karena dengan adanya dua kemungkinan ini hukuman tidak
dapat dilaksanakan, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wa
Sallam:
;iJt >'Il !r5c|
"Tolaklah hukuman dalam jarimah hudud apabila terdapat keragu-an". (HR
al Baihaqi)
d. Pentaflihan dengan Meng6runakan Faktor (dalil) lain di luar Nash
Al Amidi mengemukakan lima belas cara pentarjihan dengan mengguna-kan
faktor di luar nash, dan lmam Syaukani meringkasnya menjadi sepuluh cara,
diantaranya:
1) Mendahulukan selah satu dalil yang mendapatkan dukungan dari dalil lain,
haik itu al Qur'an, Sunnah, ljma', Qrlae maupun logika.
2) Mendahulukan salah satu dalil yang sesuai dengan amalan penduduk
Madinah atau yang diamalkan al Khulafa al Rasyidin hal ini dikarenakan

Ushul Fikih xu Prog. Keagomaon MA IMAN Kotoworingin limur; 2O2O]


penduduk Madinah lebih banyak mengetahui persoalan Turunnya al-Qu/an
dan penafsii'an ayat-ayat al QuCannya.
3) Djkuaikan nash yang menyehuikan illat hr,rkurnnya dari nash yang todak
menyebutkan illatnya-
4) Menguatkan dalil yang kandungannya meRurut sikap waspada daripada dalit
lainnya yang tidak demikian.
5) Mendahulukan nash yang dibarengi dengan perkataan atau perbuatan dari
perawrnya dari nash yang tidak demrkian halnya.

2. Tariih bain at-Aqyisa, t {'11iE e-ill


lmam asy Syaukani mengemukakan tujuh belas macam pentarjihan dalam
persoalan gryasyang saling bertentaRgan, namun Wahbah Zuhaily meriRgkes-Rya
menjadi dua belas, diantamya:
a. Dari segi hukum asal, yaitu dengan menguatkan qryas yang hukum asalnya
gafh'idafi giyas yang hukum asalnya bersifat zhanni, karena yang qatht tebih
kuat dari pada yang zhanni. Lalu yang selaniutnya menguatkan landasan
dalilnya adalah ijma' dari glyas yang landasan dalilnya nash, karena nash bisa
ditakhsis, dita'wil dan dinasakh. Sedanglan ijma' tidak bisa dikhususkan,
dita'wilkan dan dibatasi.
b. Dari segi hukum furu' (eabang.), yaitu dengan menguatkan hukum furu' yang
kemudian dari asalnya (gryas) yang hukum furu'nya lebih dahulu dari hukum
asalnya, kemudian juga dikuatkan hukum furu' yang illat-nya diketahui
aecara qath'i dari hukum furu' yang illat nya bersifat zhannL
c. Dari segi illat, yaitu salah satunya dengan menguatkan illat yang disebutkan
dalam nash atau illat yang disepakati dari illat yang tidak disebutkan dalam nash
atau tidak disepakati keberadaannya sebagai illat, dan lain-lain.
d. Pentarjihan q,yas melalui faktor luar, yaitu dengan menguatkan qtyas yang
didukung oleh sejumlah illat dari qiyasyang hanya didukung satu illat. Lalu yang
selanjutnya harus dikuatkan qiyas yang didukung oleh fatwa sahabat.

Ushul Fikih Xll Prog. Keogomaon MA IMAN Kotdworingin Timur; 2020] 43


UiiKompetensi

A. Berilah jawaban dengan memberi tanda silang (X) atau lingkarang pada huruf B
jika pemyataan benardan pada httruf S iika pern_vataan salah!
1. B - S : Tariih adalah keadaaR bila terdapat perbenturan ciua daiii syar'r yai'rg ir
dak mungkin dikompromikan dengan cara apa pun.
2. B - 3: Tidak mungkin dikompromikan dua clalil yang bertentangan dalam tarjih
pasti memberlakukan nasahk dan masukh.
3. B - S : Berlakunya keadaan tarjih adalah jika kedua dalil bertentangan itu mem-
bahas satu perbuatan yang sarna.
4. B - S : Bahwa mendahulukan tarjih dalil ahad dari dalil mutawatir itu dibolehkan.
5. B - S : Didalam tarjih, teks yang mengandung larangan lebih didahulukan clari
teks yang mengandung perintah

B. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut secara ielas dan benar!


1. Tuliskan dua syarat berlakunya tarjihl
2. Para ulama mengidentifikasi dua cara meniarjih. Tuliskan kedua cara tersebut!
3. Tuliskan dua cara pentariihan dari segi hukum atau kandungan teks!
4. Menurut analisa kalian, akankah kemungkinan terjadi kasus adanya tarjih dimasa
kita sekarang?

Ushul Fikih Xll Prog. Keogamoon MA [MAN Kotoworingin Timur; 2020] 44


BAB VI
ITTIBA'DAN HUKUMNYA

Kompetensi Dasar:
3.6. Memahami ittiba' dan hukum ittiba'
lndikator Pembelajaran l
1. Menjelaskan Pengertian ittiba';
2- Menjelaskan hukum ittiba' disertai pendapat para ulama;
3. Menunjukkan contoh ittiba';

A. Pengertian lftiba
Ittiba' secara bahasa berarti iqfrfa' (menelusuri je)ak), qudwah (bersuri teladan)
dan uswah {berpanutan}. lttiba' terhadap aJ Qur'an berafti meniadikan al Qur'an
sebagai imam dan mengamalkan isinya. lttiba' kepada Rasul berarti menjadikannya
scbagai panutaR yang patui diteladani elan ditelusuri langkahnya. (Mahabbatur Rasul,
hal.101-102).
Adapun seeara istilah ittiba' berarti mengikuti seseorang atau suatu ucapan
dengan hqtah dan dafiJ. lbnu Khuwaiz Mandad mengatakan: "Setiap orang yang
engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi' (lbnu
Abdilbar dalam kitab Bayanul 'llmi, 21143).
Allah memerintahkan agar semua kaum muslimin berittiba' kepada Rasulullah
Shalalla-hu 'alahiw wa Saliam, seperti Firman-Nya:
i ..o
r\J- -s xi :,g *;i
;Ui;J
;i J-
t,!..,
J'J-v
i,[J .t;Xi;'t;i.-ui,;
' J - ;J -;-,
"ui W-

"Sesungguhnya telah ada pada dii Rasulullah /:::, l, "//-ltl -,2.- (ll
ii':-..'vi'ri l'r--:D
J-
4JJI'
J
,) 3q'.->.jt
JJ
sun teiadan yang baik., (yaitu) bagi orang yatq
-

mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak
menyebut A!lah." (Qs. al Ahzab:21)

lbnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini, "ayat ini merupakan azas pokok
lagi agung dalam bersuri teladan kepada Rasulullah Shalallahu 'alahiw wa Sallam
dalam segala ucapan, perbualan dan hal lhwalnya. . . {Tafsi r lbnu Katsir, 3t475).
Seorang ulama lain dalam kitabnya al Hadis al Hujjatun bi Nafsihi pada hal. 35
menyatakan: "Ayat ini memberi pengertian bahwa Rasulullah Shalallahu 'alahi wa
Sallam adalah panutan kita dan suri teladan bagi kita dalam segala urusan agama..."
lbnu Qayyim -rahimullah - dalam kitabnya I'lamu Muwaqqi'in 21139 menukil
ucapan Abu Daud -rahimahullah-, beliau berkata: "Aku mendengar imam Ahmad bin
Hambal -rahimahullah- menyatakan: lttiba' adalah seseorang mengikuti apa yang
datang dari Rasulullah Shala ahu 'alahiw wa Sallam dan pa.a Sahabai
Radhiallahu'anhd'
Dari perkataan para imam di atas, dapat dipahami behwa yang dinamakan ittiba'
ialah rnengikuti al Qu/an dan as Sunnah yang sahih dengan pemahaman salaful

Ushul Fikih Xll Prog, Keoqdmaon MA IMAN Kotoworingin fimur; 2O2O]


ummah, karena dua perkara ini adalah hujjah yang qathiyyah sebagaimana telah
cisepekati oleh para ulama.
OJeh karena iiu Jmarn Ahrnad bin Hambal berkata: JanganJah engkau laqlid
kepadaku, kepada Malik, Sufyan ats Tsauri dan al Auza'i, tapi ambillah dari mana
mereka mengambil." llihat: A'lamul Muwaqi'in 21139j

B. Syarat lttiba'
Asy Syuhaimi (2019: 01) menuliskan tentang berlakunya kebolehan ittiba sebagai
berikuf:
Ittiba' hanya dikatakan benar apabila memenuhi tiga perkara yang diringkas
dari dalil-dalil AI-Quran dan As-Sunnah yang telah berlalu, tiga perkara
tersebut adalah:
1. Berpegang teguh kepada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu
'alaihi wa sallam.
2. Tidak berpecah belah dan berselisih dalam al Quran dan as Sunnah.
3. Hendaknya ittiba' kepada al Quran dan as Sunnah dibatasi (diikat) dengan
pemahaman para ulama, tidak dengan pemahaman selain mereka.

c. Hukum lttiba'dan Pendapat Para Ulama Tentangnya


Huktrm lftiba' kepada Allah dan Rasul-Nya adalah wajib. Sedangkan ittiba'selain
kepada Allah dan Rasul-Nya, ulama'berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan
ada pula yang tidak membolehkan seperti ittiba' kepada para ulama'.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surat Ali lmran ayat 31 sebagai
berikut:

".i tt .ii '-i.ir


q-rJ;\J "'iri "2. : r
- .'.--q 4lJl,i.}.---o...r. . f,i:tg 4lJL'r
j +ri :. :. .,
-l'ri"- q->-j;:* .) r 'r'.1
.
.'.,,1 L3
"+.!-.r i r" "" ;i 'j -,-,, ,l v:-
, ;. ,..
.Katakanlah!
Jika kamu benar-benar mencintai {fil}
\::1:
j--->", I qii
| .. .- J rJ
ilJl;J
Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu. Nlah maha pengampun )agi maha penyayang".

Surat al Araa{ ayai 3:


. ,!- -- r i-
u*rii ;u3i :4ij! .'- iJ-i*tr y! i+i j.j 4-qii J;;i k i;+i
"lkutilah apa yang diturunkan kepadamu dai Tuhanmu
dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin
sel ai n -N y a. Am at sedikitl ah ka m u m e n g a mbil pel aja ra n (d a n pad a n y a)".

Demikian juga Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan setiap muslim agar


ittiba' kepada sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah Shalallahu 'alahi wa
Sa/lam dan mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang
menyeleweng darinya.

Ushul Fikih Xll Prog. Keogomoon MA IMAN Kotoworingin nmur; 2020]


;-i :- ,:: t-; r--; l"---- J_.--:1Ji;*cL .s;*-;l

.j:i.
,j. !I,2 jj r'
j-4 J;L-g
"Dan barary srapa yang rfienefttang Rasul ssrtdah 1Elas kebenaran baginya, dan
mcngikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesafan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". (Qs. an Nisa'[4]:
115).

Imam Ahmad bin Hanbal hanya memboiehkan ittiba' kepada Rasul. Sedangkan
pendapat lain mengatakan bahwa boieh ittiba' kegada ulama yang drkategorikan
sebagai waratsatul anbiya', dengan alasan firman Allah Surah Al-Nahl 116l: 43 yang
artinya'. "Maka beftanyalah kepada orang-arang yang punya ilmu pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui."

UjiKompetensi

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini secara benar dan ielas!


1. Jelaskan pengertian ittiba' secara bahasa dan istilahi
2. Bagaimana pendapat para ulama mengenai ittiba ini?
3. Berikan l contoh lttiba'yang dibolehkan dan'1 contoh ittiba'yang dilarang!
4. Apa saja keientuan yang menjadi syarat berlakunya ittiba'?
5. Apa pendapatmu dengan adanya ketentuan ittiba' dalam hukum lslam?

Ushul Fikih Xll Proq. Keaqornddn MA IMAN Kotdwdringin Timur; 2020]


BAB VII
IiJEMAHAMI KETENruAN TAQLID

Kompetensi Dasan
1) Memahami ketentuan taqlid
lndikator Pencapaian:
1 .
Menjelaskan pengertian taqlid;
-?, Menjelaskan syxal-syarat taqlid dan pembagiannya;
3. Menjelaskan hukum taqlid disertai pendapat para ulama;

A. Pengertian Taqlid
Secara bahasa taqlid berasal dari kata lqallada) - ila guqatrdu) - ll.llb
(taqlidan\. Yang mengandung arii mengalungi, menghiasi, meniru, menyerahkan, dan
.penerimaan perkataan
mengikuti. Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid seseorang
sedangkan engkau tidak mengetahui dari mana asal kata itu'.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapai orang lain
yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum
agama lslam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat
atau mudlarat hukum itu.
Sedangkan menurut istitah taqtid adalah mengiku(t perkataan (pendapat) yang
tidak ada hujjahnya atau tidak mengetahui dari mana sumber atau dasar perkataan
(pendapat) itu. ketika seseorang menQikuti orang lein tanpa clalil yang jelas, baik dalam
hal ibadah, maupun dalam hal adat istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun
sudah mati. Baik kepada orang tua maupun nenek moyang, hal seperti itulah yang
disebut dengan taqtid buta. Sifat inilah yang disandang oleh orang-orang kafu dan
dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana mereka
menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan mengikuti
perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan argumen
sama sekali. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

rir.- . a._:r- r tr -.! 1rr 1.. 1t t { nr - {1-r


d& Lj-iJ
- I L. L'- 'J jl
r-;-.r. e'rL, l$.lLe 4-IJITJ L. IL;r-jljr-LJ.
J : I vt" l-.-s
l-:l
"' 'r c

"Dan apabila dikatakan kepada mereka {orang-orang kafir dan yang menyekutukan
Allah Subhanahu wa Ta'ala): "ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah Ailah
turunkan" Mereka menjawab: "Kami hanya mengikuti segala apa yang telah
dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami". Padahal nenek-nenek noyang mereka
itu tidak mengefti apa-apa dan tidak iuga mendapat hidayah (dari Allahl (Qs. al
Baqarah l2l 17O)

Ushul Fikih ru Prog, Keogomoan MA [MAN Kotoworingin fimur; 2020]


B. Syarat Taqlid dan Pembagiannya
1. Syarat orang yang bertaqlid
a. Orang a$€m yang tldak mengerti cata-cara m€ncari hukum syari'at Ia boleh
mengikuti pendapat orang pandai dan mengamalkannya.
b. Orang pandai yang sanggup mencari sendiri hukum-hukum syariat harus
berijtihad sendiri bila waktunya masih cukup. Tetapi bila waktunya sempit dan
dikhawatirkan akan ketinggalan waktu (dalam soal-soal ibadat) maka menurut
suatu pendapaf boJeh mengikuil pendapat orang pandai lainnya.
2. Syarat-syarat masalah yang ditaqlidi
a. Hukum akal
Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid kepada orang lain, seperti
mengetahui adanya Zat yang menjadikan alam serta sifat-sifat-Nya dan hukum
akal lainnya, karena ialan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, maka
tidak ada gunanya bertaqlid kepada orang lain.
TuhaR meneela keras taqlid dalam soal tersebut sesuai dengan firmanNya:

.u...:; ';-iil t- r n:"i-''1r,ylJ|:*lJJil


.l- l---."t1 ..r tit-r- ir.. r ,,:: i, ..j-f - tit
'-" >t-,f**i-Jir;J .-

-Cl*,--+

"Apabila dika{akan kepada mereka, ikutikh perintah yang diturunkan Tuhan


maka mereka menjawab: Tetapi kami mengikuti apa-apa yang kami peroleh
dan' orang orang tua kami. Meskipun orang-onng tua mereha tiada
memikirkan sesuatu apa dan tidak pula mendapat petunju( (Qs. al
Baqarah: 170)
b. Hukum Syara'
a. Hukum syara'dibagi menjadi dua:
a) Diketahui pasti tentang kewajiban dalam agrama. Juga tentang yang
diharamkan oleh lslam.
b)Soal-soal ibadah kecil elibolehkan taqlid.
Taqlid terbagi menjadi 2 bagian, pertama taklid Mahmud, kedua taklid Madzmum.
Yang dimaksud dengan taklid mahmud adalah seseorang taklid karena ia tidak
memenuhi syarai -syarul mujtehid. Adaptn taqlid madzmum terbagi meniadi 3 macarn :
1. Hal-hal yang bertentangan dengan apa yang diturunkan Allah
2. Taklid kepeda seseoang yang tidak diketahui kepribadiannya.
3. Taklid kepada seseorang setelah datangnya hujjah atau kebenaran yang berbeda
dengan pendapat yang ia anut.

C. Hukum Taqlid dan Pendapat para Ulama Tentangnya


Dalam menghukumi taqlid menurut para ulama terdapat 3 macam hukum:
1. Taqlid yang diharamkan.
Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :

Ushul Fikih Xll Prog. Keogomoon MA IMAN Kotoworingin Timur; 2O2O]


a. Taqlid semata-mata menglkuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang
aiau oi"ang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur'an Hadls.
b. I€Cld *epaaa ararrg yarlg irdak drketahuq hahwa db panias c,rambrl
perkataannya.
c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang befta+lid
mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
2 Taqlid yang dibolehkan
Adalah taqhdnya searang yarg sudah rnengerahkan usailanya unfi.rk iifiba'
kepada aW yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hanya saja sebagian
darinya tersembunyi bagi orang tersebut sehingga dia taqlid kepada orang yang
lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tercela, dia
mendapat pahala dan tidak berdosa. Taqlid ini sifatnya sementara. Misalnya iaqlid
sebaguan rnuy'ahid kepada rnujtahid lain, karena tidak cfuternukan daljl yarg kuat
untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada
ulama.
Ulama mutaakhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok
masyarakat kedalam dua golongan:
a. Golorgran awan atau orang yang berpendjdikan wajib bertaqlid kepada salah
satu pendapat dari keempat madzhab. Golongan awam harus mengikuti
pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar pendapat itu (taqlid
dalam pengertian bahasa).
b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan
berta$ld kepada ulama-ulama.
Syaikhul lslam lbnu Taimiyah berkata, "Adapun orang yang mampu ijtihad
apakah dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang
shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah
karena dalil4alit (dan pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena
sempitnya waktu r:niuk benjfihad atau karena tidak natnpak dalil baginya"
3. Taqlid yang diwajibkan
Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar
hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu'alahi wa Sallam. Juga
apa yang dikatakan oleh lbnul Qayyim: Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah memerinbf*an aget berianya kepada ahlu zikr, den adz Akr adalah aJ Qr.ran
dan hadis yang Allah Subhanahu wa Ta'ala perintahkan agar para istri Nabi-Nya
selalu mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya:
iKrtyatr +ki b 594 C,:trs" k,it'i\j
"Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahrmt dan ayat-ayat Allah Subhanahu
wa Ta'ala dan hikmah (Sunnah Nabimu)"(Qs. al Ahzab [33]:3a)

lnilah adz zikr yang Allah Subhanahu wa Ta'ala perintahkan agar kita selalu
ittiba' (mengikuti) kepadanye, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala perintahkan orang
yang ttdak memtltkt ilmu agar befianya kepada ahlinya- lDileh yang wajib atas seiiap
orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang adz zikr yang Allah Subhanahu wa
Ta'ala turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya.

Ushul Fikih Xll Prog. Keogamoan MA IMAN Kotaworingin Timur; 2020]


Kalau dia suc,ah diberitahu tentang adz zikr ini maka tidak boleh baginya kecuali
i.4;l\^' t,^^^..1^^.,^
, rLrl..ra nEPcr\lclr rya.

D. Pendapat lmam Madzhab tentang Taqlid


1. lmam Abu Hanifah (80-150 H); Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqih. Beliau
mengharamkan orang mengikuti {at Na iika orang ilu tidak mengetahur dairl dari
fatwa itu.
2. lmam Malik bin Anas (93-179 H); Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada
seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai
kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti
lebih dahutu sebetum diamalkan.
3. lmam asy Syafi'i (150-204 H); Beliau murid lmam Malik. Beliau mengatakan bahwa
"beliau akan ffieninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa
pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi Shallallahu'alahi wa Sa/larn."
4. lmam Hambali (164-241 H); Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan
menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasat dari Nabi Shallallahu'a{ahi wa
Sa//am dan para sahabatnya.

Sedang yang berasaf dari tabi'in dan orang-orang sesudahnya agar diseltdfkr
lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.
Allah Subharahu wa Ta'ala telah mencela tiga macam taqlid ini melalui ayat-aya!
Nya diantaranya:

i,=i r-ei*;/,"a jJI,;! t 13+"i;t rJ;tt; lr-, t l lrG-l;


.-it-s !t F$;.;..4;s
-+ aJ-i L-r t'-t ;;i L; Luri--5:
- ! ':.: .r.-i i- rij. .. ",i .. i-,--i-,. iir.- - r;. i- r
sjl":i;.r+F r.!j tly$J.-1; -,"L1, l-rrry -, Gyr;;
',::i,

'"J;ij.---:-qe
';- + r
,L i'L i.'-ji ,
-a-..- 'J
-.1
t L Ll,l lljt-i
"Bahkan mereka berkata: 'Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami
menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat
petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka. Dan demikianlah, Kami tidak mengutus
sebelum kamu seorang pemberi peingatan pun dalam suatu negei, melainkan
orcng-orang yang hidup mentah di negeri ilu berkata.' "Sesungguhnya kami
mendapati bapak-bapak kemi mengenut suatu egema den sesungguhnya kami
adalah pengikut jejak-jejak mereka." (Rasul itu) berkata: 'Apakah (kamu akan
mengiRutinya juga) sekal,pun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata)
memberi petunjuk daipada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu

Ushul Fikih xll Proq. Keogomoon MA IMAN Kotowo ngin Timur; 2020]
menganutnya?" Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami mengingkai agama
yang kamu diutus untuk menyampaikannya". (Qs. az-Zukhruf l43l:22-24\

UjiKompetensi

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jelas dan benar!


1 . Apa pengertian taqlid secara bahasa dan istilah?

2. Benarkan sesearang boJeh berta{id kepada orang lajn tanpa perlu rne$hai dasar
keilmuanya? Kenapa?
3. Apa syarat/kcteRtuan dibolehkannya bertaqlid?
4. Bagaimana pandangan ulama mengenai perkara taqlid ini?
5. Apa hukum bertaqlid sebagaimana pandangan para ulama?

Ushul Fikih Xll Prog, Keagomdan MA IMAN Kotoworingin fimur; 2020] 52


BAB V]II
TALFIQ DAN KETENTUANNYA

Kompetensi Dasar:
3.8. Memahami ketentuan talfiq;
Inclikator Pembelajeran:
1 . Menjelaskan pengertian talfiq dan contohnya;
2 Meriielaskan hukum talfiq beserta alasannya;

Definisi Talfiq
Talflq berarti "manyamakan" atau "merapatkan dua tepi yang berbeda". Menurut
jsfileh, talflq,ralah mergambil atau mengikuti hukua dari suatu perjstjwa atau kelaatran
dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Contoh nikah tanpa wali dan
saksi adalah sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah
nikah tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq
itu sernata-rnata unluk melaksanaka n pendapat yang paling ber€r seielah rnenellti
dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya.
Ada talfiq yang tujuannya untuk meneari yang ringan-ringan saja, yaitu mengikuti
pendapat yang paling mudah dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq
semacam ini yang dicela para ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.

Pendapat-Pendapat tentang Talfiq


Pendapat pertama, orang awam harus mengikuti madzhab tertentu, tidak boleh
memilih suatu pendapat yang ringan karena tidak mempunyai kemampuan untuk
memilih. Karena itu mereka belum boleh melakukan talfiq.
Pendapat kedua, membolehkan talfiq dengan syarat tidak akan menimbulkan
pendapat yang bertentangan dengan salah satu madzhab yang ditalfiqan itu.
Pendapat ketiga, membolehkan talfiq tanpa syarat dengan maksud mencari yang
ringan+ingan sesuai dengan kehendak dirinya.

C- Ruang Lingkup Talfiq


Talfiq sama seperti taqlid dalam hal ruang lingkupnya, yaitu hanya pada perkara-
perkara ijtihad yang bersifat zhanniyah (perkara yang belum diketahui secara pasti
dalam agama). Adapun hat-hal yang diketahui dari agama secara pasti \ma'luumun
minaddiini bidhdharuurah), dan perkara-perkara yang telah menjadi ijma', yang mana
mengingkarinya adalah kutur, maka disitu tidak boleh ada taqlid, apalagi taffiq.

D. Hukum Talfiq
Ulame terbegi kepada dua kelompok tentang hukum talfiq. Satu kelompok
mengharamkan, dan satu kelompok lagi membotehkan. Ulama Hanafiyah mengklaim
iima' kaum muslimin atas koharaman talfiq. Sedangkan di kalangan Syati'iyah, hal itu

Ushul Fikih Xll Prog. Keogomaon MA [MAN Kotowofingin fimut 2020]


menjadi sebuah ketetapan. lbnu Hajar mengatakan: 'Pendapat yang membolehkan
iaifiq adalah menyalahi 'rima'.
1. Da*J Kdarqpak yaqg Jt{engfiararnkan lalfiq
Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan ulama ushul fiqh tentang
ijma' atas ketidakbolchan meneiptakan pendapat kctiga apabila para ulama terbagi
kepada dua kelompok teniang hukum suatu perkara. Karena menurut mayoritas
ulama, tidak boleh menciptakan pendapat ketiga yang meruntuhkan (menyalahii
sesLratu yarg teJah c sepakati. Misalnya 'rddah wanita hamll yang sr,erninya
meninggal dunia, terdapat dua pendapat, pertama: hingga melahirkan, kedua: yang
paling jauh (lama) dari dua tempo 'iddah ('iddah melahirkan dan 'iddah yang ditiggal
oleh suaminya karena kematian). Maka tidak boleh menciptakan pendapat ketiga,
misalnya dengan beberapa bulan saja.
.Akan tetapi jika ditjnjau Jebih daJam, terfihat bahwa alasan ini ,id€k bisa
dibenarkan sepenuhnya, karena meng-qiyaskan talfiq atas ihdaatsu qaul tsaalits
(mcneiptakan pcndapai ketiga) adalah merupakan qiyas aniara dua hal yang
berbeda. Hal itu dapat dilihat dari dua sisi:
a. Terciptanya pendapat ketiga terjadi apabila permasalahannya hanya satu,
sedangkan talfiq terladi dalam beberapa permasalahan. Misalnya, kefardhuan
menyapu kepala adalah sebuah permasalahan, sementara permasalahan
batalnya wudhu' karena bersentuhan dengan wanita adalah permasalahan lain.
Jadi, talfiq terjadi bukan dalam satu permasalahan, maka tidak terjadi pendapat
ketiga.
b. Berdasarkan pada pendapat yang paling kuat, dalam permasalahan talfiq tidak
terdapat suatu sisi yang disepakati oleh para ulama. Misalnya, persoalan
menyapu kepala merupakan khilaf di kalagan ulama, apakah wajib scluruhnya
ataukah sebagian saja. Demikian pula batalnya wudhu' dengan menyentuh
perempuan merupakan permasalahan yang menjadi khilaf, apakah ia memang
rnernbatalkan wudhu' alaukah tidak. Maka, dalam perkara talfiq, tidak ada sisi
yang disepakati (ijma').
Dengan demikian, pendapat yang mengharamkan talfiq telah dilandaskan pada
dasar yang salah yaitu qiyas ma'al faaiq.
Apabila ulama Hanafiyah mengklaim ijma' atas keharaman talfiq, akan tetapi realita
yang ada sangat bertenfangen. Ulama-ulama tetpercaya seperti Al Fah6rnah Al Arnir
dan Al Fadhil Al Baijuri telah menukilkan apa yang menyalahi dakwaan ulama
Hanaflyah tersebut. Maka klaim adanya ijma' adalah bathil.
Berkata AI Syafsyawani tentang penggabungan dua mazhab atau lebih dalam
sebuah masalah: "Para ahli ushul berbeda pendapat tentang hal ini" Yang benar
berdasarkan sudui p*dang adalah kebolehannya (telfiq).'
Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili berkata: "Adapun klaim ulama Hanafiyah bahwa
keharamaR talfiq merupakan ijma', maka hal itu adakala dengna i'tibar ahli mazhab
(ijma' mazhab Hanafi), atau dengan i'tibar kebanyakan. Dan adakala juga berdasarkan
pendengaran ataupun persangkaan belaka. Sebab, jika sebuah permasalahan telah
menkdi ijme', pastilah ulama mazhab yang Jain telah menetapkannya
(mengatakannya) juga...."

Ushul Fikih Xll Prog. Keagdmoan MA {MAN Kotawdringin Timur; 20201


2. Dalil Kelompok yang Membolehkan
Pai'a ulama yang membolehkan talfiq, mereka berdalil dengan beberapa alasan:
a. ,Ajasan fr.rtana
Tidak adanya nash di dalam al-Quran atau pun as-Sunnah yang melarang
talfiq ini. Setiap orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang bcrhak uhtuk
bertaqlid kepada ahli ijtihad. Dan tidak ada larangan bila kita sudah bertaqlid
kepada satu pendapat dari ahli iitihad untuk bertaqtid iuga kepada ijtihad orang
lain.
Di kalangan para shahabat Nabi Shallallahu'alaihi wa Sallam lerdapat para
shahabai yang ilmunya lebih tinggi dari yang iainnya. Banyak shahabat yang
lainnya kemudian menjadikan mereka sebagai rujukan dalam masalah hukum.
Misalnya mereka bertanya kepada Abu Bakar ra, Umar bin Al-Khattab ra,
Utsrnan ra, Ali ra, lbr"r Abbas ra, lbrw A{as"ud ra, lbnu Umar ra dan larrurya.
Seringkali pendapat mereka berbeda-beda untuk menjawab satu kasus yang
sama.
Namun tidak seorang pun dari para shahabat yang berilmu itu yang
menetapkan peraturan bahwa bila seseorang telah bertanya kepada dirinya,
rnaka unluk selamanya tidak bdeh bertanya kepada oang lain.
Dan para iman mazhab yang empat itu pun demikian juga, tak satu pun
dari mereka yang melarang orang yang telah bertaqlid kepadanya untuk
bertaqlid kepada imam selain dirinya.
Maka dari mana datangnya larangan untuk itu, kalau tidak ada di dalam
Qr.nan, sr.rnneh, perkataan pra siehabat dan luga pendapal para istam mazhab
sendiri?
b. Alasan Kedua
Pada hari ini, nyaris orang-orang sudah tidak bisa bedakan lagi, mana
pendapat Syafi"i dan mana pendapat Maliki, tidak ada lagi yang tahu siapa yang
berqndapat apa, keuali mereka yang secara khusus bela@ dt Fakultas
Syariah jurusan Perbandingan Mazhab. Dan betapa sedikitnya jumlah mereka
hari ini dibandingkan dengan jumlah umat lslam secara keseluruhan. Maka
secara pasti dan otomatis, semua orang akan melakukan talfiq, dengan disadari
atau tidak. Kalau hukum talfiq ini diharamkan, maka semua umat lslam di dunia
inr berdosa. Dan ini tenlu tidak logis dan terlalu mengada-ada.
c. Alasan Ketiga
Nabi Sha/a#ahu'alaihi wa Sa//am melalui Aisyah disebutkan:
"Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling
mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah
dosa, maka betiau adalah orang yang paling menlauhi hal tersebut ".
Adanya dua pilihan maksudnya ada dua pendapat yang masing-masing
dilandasi dalil syaai yang bcnar. NamuR salah satunya lebih ringan untuk
dikerjakan. Maka Nabi Shallallahu'alaihi wa Sallam selalu cenderung untuk
mengerjakan yang lebih ringan.

Ushul Fikih Xll ProE. Keogdmddn MA IMAN Kotdworingin Timur; 2O2Ol


Itu Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa Sallam sendiri, seorang nabi
utusan Allah Subhanahu wa -fa'ala. Lafu rnengapa harus ada orang yang main
,hrang lrdut r*elakr,*kan qpa yagr leJ,ah nahi ,hkl"d<a+?
Dan ini merupakan salah satu dasar tegaknya syariat lslam yaitu member
kdmudahan, tidak menyusahkan dan menganokat kesempitan, hal iRi sesuar
pula dengan sabda Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa Sallam:
'Sesungguhnya agama ini (lslam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang
.rr,,encaba r"rnjr"rk .meny,ufifkannlra, rnaka Ja pasii dkalahkan".
3. Diantara para ulama yang mendukung talfiq adalah:
'Al-lzz lbRu Abdisseilam meRyebuikan bahwa dibolehkaR baoi oraRg awam
mengambil rukhsah (keringanan) beberapa madzhab (talfiq), karena hal iersebut
adalah suatu yang disenangi. Dengan alasan bahwa agama Allah Subhanahu wa
Ta'aJa itu rtudah {cfru; ai-a#airi yr",sntn) serla firr,rran A'lah Subhawhu wa Ta'ala
dalam surat al-Hajj ayat 78:
"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama Suatu
kesempitan."
lmam a}-Qaraff ftlenambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia
tjdak meryehabkarr batalnya perfuratan iersebrd &etjka clikorfirrnasr terhadAp
semua pendapat imam madzhab yang diikutinya.
Demikian juga dengan para ulama kontemporer zaman sekarano, semacam Dr.
Wahbah Az-Zuhaili, menurut beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan
dlarurat, asal tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang
rnudah dan gerqpargr sarra yang sarna sekafi tldak mengrandung masiahat s),arTyal.

UjiKompetensi

Berilah jawaban kalian secara benar dan jelas atas pertanyaan-pertanyaan berikut!
1 . Jelaskan pengertian talfiq secara bahasa dan istilahi

2. Bagaimana pendapat para ulama mengenal perkara tattiq ini?


3. Apa saja ruang lingkup dari perkara talfiq?
4. Apa saja ketentuan yang menjadi syarat berlakunya talfiq?
5. Apa pendapatmu dengan adanya ketentuan talfiq dalam hukum lslam?

Ushul Fikih Xll Prog. Keagomaon MA IMAN Kotoworingin fimur; 2O2O] 56


DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum ls/arn. Pustaka Rizki Putra ,
Semarang: 1997.

Haroen, Nasrun, Ushul Figih I Cet. Il, PT. LOGOS Wacana llmu, Jakarta: '1997.

Jumantoro, Totok Dan Samsul Munir. Karnus lslam Ushul Fklih. Amzah, Jakarta: 2005.

Khatat, Abdul Wehab, {{rnu Ushu{ Figh, Rineka Cipta. Jekerta: 1394.

Koto, Afardbiir. tlmu Ushul FtQh dan Ushul Ft4h, Pf Ral'aGrafrndo , Jakarta 2077-
Rifa'i, Drs. H. Moh., Ushul Fiqh. Wicaksana. Semarang: 1984.

Sirry, Mun'im A., Sejarah Fiqh lslam, Surabaya: Risalah Gusti, Cet l, 1995.

Sutrisno. Ushul Fiqh. STAIN Press, Jernber. 1999.

Suwandi, S.Ag., Eko. Diktat Fikih/Ushul Fikih Kelas Xll MA Prog. Keagamaan. MAN
Kotawaringin Timur, Sampit: 2018.

Syafe'i, Rachmal. llmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia: Bandung: 2007.

Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir, lJshul Fiqh. Kencono. Jakarta: 2009.

Syukur, Asywaedie. llmu Fiqih dan Ushul Fiqih. PT Bina llmu: Surabaya: 1990.

Ustadz Abd Latif Muda dan Ustazah Rosmawati Ali, Pengantar Usul Fiqh, Kuala Lumpur:
Pustaka Salam, tt.

Yahya, H. Prof. Dr. Fatchurahman Mukhtar. Dasar4asar Pembinaan Hukum Fiqih lslami,
PT.AI-Ma'arif. Bandung: 1986.

Web/Situs:
https:l/www. belajar-isl am. net/syarat-sah-ittiba/
https://makatahzaki.btogspot.com/zo1 1 /O6ltariih.html
https://ahmadfuadhasan.blogspot.comi20l 1/06iijtihad-taqlid-talfiq-dan-ittiba,,23 html
https://robbinadani.blogspoi.coml2Ol5l04lmakalah-ushul-fiqh-naskh-tarjih-serta.html
https://pikirdandzikir.blogspot.enml2}l9lO?llaqlid-ittiba-talfiq-dan-ijtihad-dalam.htmt

Ushul Fikih Xll Ptog. Kedqomaan MA IMAN Kotawotingin Timur; 2020] 57

Anda mungkin juga menyukai