H. Tardjono, MM
Islamic
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan hidayah-
Nya sehingga buku ajar ini dapat direalisasikan sebagai upaya untuk
melengkapi kewajiban dosen dalam pembelajaran agar lebih efektif.
Buku ini disusun berdasarkan kegiatan belajar mengajar Mata kuliah
Manajemen Risiko Bank Syariah yang wajib harus dipelajari mahasiswa
perbankan syariah pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam. Oleh sebab itu,
Buku Ajar Manajemen Risiko Bank Syariah ini merupakan buku teks penting
yang dibutuhkan oleh mahasiswa.
Buku ini memberikan penjelasan tentang kegiatan dan mekanisme
Manajemen Risiko Bank Syariah, juga dilengkapi berbagai argumentasi
berbagai aktifitas Manajemen Risiko Bank Syariah. Penulisan buku ini ingin
memberikan sumbangan pemikiran tentang Manajemen Risiko Bank Syariah
kepada masyarakat umum serta mahasiswa khususnya.
Sebagai penutup, penyusunan buku ini tentu masih banyak
kekurangannya, diharapkan masukan dan kritif konstruktif untuk perbaikan
penulisan selanjutnya. Pada akhirnya penulis ucapkkan terima kasih dan
penghargaan kepada Rektor Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon yang
telah mendorong dan memfasilitasi terbitnya buku ini
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
BAB I OVERVIEW MANAJEMEN RISIKO
1. Tujuan Perusahaan
2. Definisi Risiko
3. Jenis Risiko
4. Manfaat Manajemen Risiko
5. Arsitektur Perbankan Indonesia
6. Identifikasi Risiko
7. Pengukuran Risiko
8. Pemantauan Risiko
9. Pengendalian Risiko
BAB II RISK MANAGEMENT IMPLEMENTATION
1. Tata Kelola Sistem Manajemen Risiko
2. Kerangka Sistem Manajemen Risiko
3. Proses Manajemen Risiko
4. Pengendalian Intern dalam Penerapan Manajemen Risiko
5. ERM dan Value Based Strategic Planning
6. Sistem Manajemen Risiko
BAB III BANKING REGULATION AND RISK MANAGEMENT
1. Fungsi Modal Bank
2. Basel I Tahun 1988
3. Amendment Basel 1 tahun 1996
4. Basel II Tahun 2004
5. Perbandingan Basel I dan II
6. Basel 2.5
7. Introduction Basel III
8. Peraturan bank Indonesia
BAB IV CREDIT RISK
1. Kategori Kredit
2. Proses Manajemen Risiko Kredit
3. Proses Perkreditan
4. Manajemen Kredit Bermasalah
5. Perhitungan Kecukupan Modal untuk Menutup Risiko
Kredit
BAB V MARKET RISK
1. Pemahaman Risiko Pasar
2. Trading Book
3. Banking Book
BAB VI LIQUIDITY RISK
1. Risiko Likuiditas
2. Pengukuran Risiko Likuiditas
3. Pengendalian Risiko Likuiditas
BAB VII OPERATION RISK
1. Pemahaman Risiko Operasional
2. Pengukuran Risiko Operasional
3. Pengendalian Risiko Operasional
4. Perhitungan Kebutuhan Modal Risiko Operasional
BAB VIII LEGAL RISK PROFILE
1. Faktor Litigasi
2. Faktor Kelemahan Pengikatan
3. Faktor Sistem Perundangan Tidak Tersedia atau Terjadi
Perubahan
4. Referensi Risiko Inheren Hukum yang Dinilai Rendah
BAB IX STRATEGIC RISK PROFILE
1. Kesesuaian Strategi dengan Kondisi Lingkungan Bisnis
2. Strategi Berisiko Tinggi dan Strategi Berisiko Rendah
3. Posisi Bisnis Bank
4. Pencapaian Rencana Bisnis Bank (RBB) dan Referensi
Risiko Inheren Strategik yang Dinilai Rendah
BAB X REPUTATION AND COMPLIANCE RISK PROFILE
1. Kepatuhan pada Peraturan yang Berlaku
2. Penilaian Risiko Inheren-Risiko Kepatuhan
3. Risiko Reputasi
BAB XI RETURN AND INVESTMENT RISK PROFILE
1. Risiko Imbal Hasil
2. Risiko Investasi
BAB XII ASSESMENT OF THE QUALITY OF RISK MANAGEMENT SYSTEM
IMPLEMENTATION
1. Tata Kelola Risiko
2. Kerangka Manajemen Risiko
3. Proses Manajemen Risiko, SDM dan Sistem Informasi
Manajemen
4. Kecukupan Sistem Pengendalian Risiko
5. Penilaian Kualitas Penerapan Manajemen Risiko
6. Penilaian Profil Risiko Komposit (Net-Risk Rating)
BAB XIII GOOD CORPORATE GOVERNANCE
1. Ruang Lingkup Good Corporate Governance
2. Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance
3. Tahap-Tahap Penerapan Good Corporate Governance
4. Pelaksanaan Good Corporate Governance
5. Dasar Hukum Good Corporate Governance
BAB XIV RENTABILITAS (EARNING)
1. Gross Profit Margin
2. Net Profit Margin
3. Return on Equity
4. Return on Asset
5. Rasio Efisiensi Kegiatan Operasional (REO)
6. Income of Gross Asset
7. Deverifikasi Pendapatan (DP)
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
OVERVIEW MANAJEMEN RISIKO
1. TUJUAN PERUSAHAAN
Perusahaan, termasuk bank, didirikan dengan berbagai macam tujuan
seperti menjadi agen pembangunan, memberikan pelayanan yang baik pada
masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi dan memenuhi harapan para
pemangku kepentingan termasuk pemerintah, regulator, pegawai, masyarakat,
dan lain sebagainya. Namun, tujuan pokok dari perusahaan termasuk bank
adalah memberikan nilai tambah dan meningkatkan kekayaan pemegang
saham. Pemilik modal mempunyai pilihan bagaimana cara menempatkan uang
mereka dan mengharapkan imbal hasil atas modal sesuai risiko yang
ditanggung. Untuk menilai kinerja dari manajemen dalam upaya menghasilkan
imbal hasil bagi pemegang saham digunakan berbagai ukuran kinerja. Ukuran
kinerja operasional bank yang banyak digunakan selama ini antara lain
perolehan laba bersih, pertumbuhan aset, Return On Asset (ROA), Return On
Equity (ROE), belum sepenuhnya mempertimbangkan risiko yang dihadapi
atas produk atau transaksi bank, khususnya untuk masa yang akan datang.
Sebagai contoh, laba bersih pada perkiraan rugi laba, sudah memperhitungkan
cadangan piutang macet, namun belum memperhitungkan biaya risiko atau
modal yang diperlukan untuk melakukan aktivitas bank.
Dalam upaya mencapai tujuan menciptakan nilai tambah bagi bank, paling
tidak diperlukan empat komponen utama yang harus dikelola bank, yaitu:
a. Meningkatkan inovasi produk dan jasa bank, seperti fitur electronic
banking delivery channels untuk menangkap segmen pasar yang belum
tergarap, atau memperluas pasar yang sudah ada. Produk yang inovatif
diperlukan agar bank senantiasa dapat eksis, memenangkan persaingan
dan meningkatkan pertumbuhan usaha dari waktu ke waktu.
b. Kelompok pemasaran yang agresif untuk meningkatkan penjualan dan
market share, baik dengan membuka pasar baru, atau intensifikasi pasar
yang sudah ada. Pemasaran perlu dilakukan secara horizontal dengan
memperluas pasar dan melakukan cross sell dengan unit kerja lain di bank,
ataupun secara vertikal dengan meningkatkan penetrasi dari pasar yang
sudah dikuasai.
c. Tersedia kebijakan dan prosedur yang lengkap dan isinya sesuai praktik
terbaik untuk dijadikan alat melaksanakan prinsip kehati-hatian,
khususnya dalam upaya meningkatkan pertumbuhan aktiva produktif yang
dilakukan kelompok bisnis, serta memastikan seluruh jajaran memahami
keseluruhan kebijakan dan standar prosedur bank, dan mematuhi
keseluruhan aturan yang berlaku, dan melakukan proses kontrol internal
untuk memastikan bahwa seluruh organ kerja bank sudah melakukan
fungsi masing-masing sesuai ketentuan yang berlaku.
d. Sistem manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) yang andal dan bersaing
untuk memastikan kecukupan jumlah serta kualitas SDM yang diperlukan
untuk melaksanakan fungsi aktivitas perbankan, memiliki sistem jenjang
karier yang jelas, sistem remunerasi yang bersaing, lingkungan kerja yang
menyenangkan, dan program suksesi untuk menjaga kesinambungan
kebutuhan SDM.
e. Mempunyai infrastruktur yang lengkap, termasuk manajemen data sistem
informasi manajemen yang dapat memberikan informasi berupa laporan
yang konsisten dan relevan untuk pihak eksternal maupun internal secara
tepat waktu dan akurat.
2. DEFINISI RISIKO
Menurut Bank Indonesia, risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya
suatu peristiwa (events) tertentu. Risiko dalam konteks perbankan merupakan
suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (expected) maupun
yang tidak dapat diperkirakan (unexpected) yang berdampak negatif terhadap
pendapatan dan permodalan bank.
Risiko yang sudah diperkirakan atau expected loss sudah diperhitungkan
sebagai bagian dari biaya untuk menjalankan bisnis. Yang disebut risiko yang
memerlukan modal untuk menutup risiko tersebut adalah apabila kerugian
yang terjadi melebihi atau menyimpang ekspektasi tersebut, yaitu risiko yang
tidak dapat diperkirakan (unexpected loss).
Risiko juga dapat dianggap sebagai kendala/penghambat pencapaian suatu
tujuan. Dengan kata lain, risiko adalah kemungkinan yang berpotensi
memberikan dampak negatif kepada sasaran yang ingin dicapai. Dalam upaya
menerapkan manajemen risiko, bank harus dapat meng identifikasi risiko dan
memahami seluruh risiko yang melekat (inherent risks), termasuk risiko yang
bersumber dari aktivitas cabang-cabang dan perusahaan anak.
3. JENIS RISIKO
Mengacu pada ketentuan Bank Indonesia PBI No. 5/8/PBI/2003 dan
perubahannya No. 11/25/PBI/2009 tentang penerapan manajemen risiko bagi
bank umum, terdapat delapan risiko yang harus dikelola bank. Kedelapan jenis
risiko tersebut adalah risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko
likuiditas, risiko kepatuhan, risiko hukum, risiko reputasi, dan risiko strategis.
Setiap aktivitas atau produk bank paling tidak mengandung satu jenis
risiko atau lebih. Oleh karena itu, untuk menghindarkan potensi kerugian, bank
perlu melakukan pengelolaan atas risiko tersebut.
Manajemen risiko pada hakikatnya merupakan serangkaian metodologi
dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, melakukan
mitigasi, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh
kegiatan usaha bank. Manajemen risiko merupakan upaya untuk mengelola
risiko agar peluang mendapatkan keuntungan dapat diwujudkan secara
berkesinambungan (sustainable) karena risiko terhadap aktivitas bank sudah
diperhitungkan.
Bank Indonesia menyatakan bahwa esensi dari penerapan manajemen
risiko adalah kecukupan prosedur dan metodologi pengelolaan risiko sehingga
kegiatan usaha bank tetap dapat terkendali (manageable) pada batas/limit
yang dapat diterima, serta memberikan keuntungan bagi bank sesuai dengan
tingkat risiko yang dapat diterima.
Mengingat perbedaan kondisi pasar, struktur, ukuran, serta kompleksitas
usaha bank maka tidak terdapat satu sistem manajemen risiko yang universal
untuk seluruh bank. Dengan demikian, setiap bank harus membangun sistem
manajemen risiko sesuai dengan fungsi dan kompleksitas bank, dan
menyediakan sistem organisasi manajemen risiko pada bank sesuai dengan
kebutuhan.
Berikut adalah penjelasan berbagai risiko sesuai definisi Bank Indonesia:
a. Risiko kredit
Risiko kredit adalah risiko kerugian akibat kegagalan pihak lawan
(counterparty) untuk memenuhi kewajibannya. Risiko kredit mencakup risiko
kredit akibat kegagalan debitur membayar kewajiban pada bank, risiko kredit
akibat kegagalan pihak lawan (counterparty credit risk) untuk memenuhi
kewajiban misalnya dalam perjanjian kontrak derivatif, dan risiko kredit akibat
kegagalan proses pembayaran (settlement risk) misalnya dalam perjanjian jual
beli valuta asing. Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas
fungsional bank, seperti aktivitas perkreditan dan aktivitas treasury. Pada
aktivitas treasury, misalnya bank membeli obligasi korporasi, melakukan
investasi dengan membeli surat berharga, melakukan pembiayaan
perdagangan (trade finance), baik yang tercatat dalam banking book maupun
dalam trading book.
Sebagai contoh, risiko kredit dapat timbul apabila: (1) bank memberikan
kredit pada nasabah; (2) bank menempatkan dana pada bank lain sebagai
penempatan antar bank (lihat artikel bank Indover pada box berikut; (3) bank
melakukan transaksi derivatif seperti kontrak berjangka forward atau swap
dengan nasabah atau dengan bank lain; (4) bank membeli surat berharga
korporasi.
b. Risiko Pasar
Risiko Pasar adalah risiko perubahan harga pasar pada posisi portofolio
dan rekening administratif, termasuk transaksi derivatif. Perubahan harga
terjadi akibat perubahan dari faktor pasar, termasuk risiko perubahan harga
option. Yang dimaksud dengan faktor pasar adalah nilai tukar, suku bunga,
harga saham, dan harga komoditas.
Sebagai contoh, risiko pasar dapat timbul apabila (1) bank membeli
obligasi negara dengan kupon tetap, ketika harga pasar obligasi akan turun
apabila suku bunga pasar meningkat; (2) bank membeli valuta USD, yang nilai
dalam valuta Rupiah akan menurun apabila nilai tukar USD melemah terhadap
Rupiah; (3) bank melakukan transaksi derivatif interest rate swap yang dapat
menimbulkan kewajiban derivatif bagi pihak counterparty; (4) bank
melakukan aktivitas trading atau jual beli surat berharga.
c. Risiko Likuiditas
Risiko Likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan bank memenuhi
kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari
aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu
aktivitas dan kondisi keuangan bank.
Risiko likuiditas dapat melekat pada aktivitas fungsional perkreditan
(penyediaan dana), aktivitas treasury dan investasi, dan kegiatan hubungan
koresponden dengan bank lain.
Sebagai contoh, (1) bank tidak mampu memenuhi penarikan kredit oleh
nasabah karena dana yang tersedia tidak mencukupi. (2) bank mengalami
kalah kliring dan tidak dapat memenuhi kekurangan dana di Bank Indonesia.
(3) bank tidak dapat memenuhi permintaan penarikan dana masyarakat yang
terjadi secara tiba-tiba. (4) bank tidak dapat memperoleh pinjaman dari bank
lain pada saat bank memerlukan likuiditas.
d. Risiko Operasional
Risiko operasional adalah risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak
berfungsinya proses internal akibat tidak adanya atau tidak berfungsinya
prosedur kerja, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya
kejadian-kejadian eksternal yang memengaruhi operasional Bank.
Risiko operasional dapat menimbulkan kerugian keuangan secara langsung
maupun tidak langsung dan menimbulkan potensi kesempatan yang hilang
untuk memperoleh keuntungan.
Sebagai contoh: (1) pemalsuan bilyet deposito oleh karyawan bank yang
kemudian dijadikan agunan kredit; (2) kesalahan posting uang masuk karena
pegawai yang ditunjuk kurang berpengalaman; (3) terjadi bencana alam
berupa banjir besar sehingga bank tidak dapat beroperasi secara normal; (4)
kejahatan keuangan seperti fraud yang sering dilakukan pihak luar
bekerjasama dengan pegawai bank
e. Risiko Hukum’
Risiko Hukum adalah risiko akibat kelalaian bank yang dapat menimbulkan
kelemahan dari aspek yuridis, dalam menghadapi tuntutan hukum dari pihak
lain. Penyebab risiko hukum antara lain, peraturan perundang-undangan yang
mendukung tidak tersedia, kelalaian bank dalam proses pengikatan agunan
sehingga perikatan seperti syarat keabsahan kontrak tidak kuat, pengikatan
agunan kredit yang tidak sempurna.
Sebagai contoh: (1) bank tidak dapat melakukan eksekusi agunan kredit
macet karena agunan tersebut tidak diikat secara sempurna, dan pemilik
agunan menolak upaya bank menjual agunan tersebut; (2) bank kesulitan
menagih kewajiban kredit nasabah, karena perjanjian kredit ditandatangani
oleh pejabat yang tidak berhak sesuai anggaran dasar perusahaan, dan
nasabah menggunakan kelemahan ini untuk tidak membayar kewajibannya
pada bank; (3) nasabah menuntut bank karena nasabah merasa membeli
produk bank yang tidak transparan, mengingat bank dinilai tidak menjelaskan
risiko dari produk tersebut
f. Risiko Reputasi
Risiko Reputasi adalah risiko suatu kejadian yang menimbulkan persepsi
negatif terhadap Bank, yang dapat mengakibatkan tingkat kepercayaan
stakeholder pada bank menurun.
Sebagai contoh: (1) penagihan kartu kredit bank dilakukan oleh pihak
ketiga yang tidak memperhatikan etika cara penagihan sehingga menurunkan
reputasi bank secara umum di mata masyarakat; (2) terjadi kerugian besar
pada bank akibat perbuatan fraud oleh pegawai bank sehingga nasabah
meragukan keamanan menyimpan dana di bank tersebut; (3) produk kartu
kredit banyak menjadi sasaran kejahatan keuangan sehingga reputasi bank
sebagai bank yang aman menjadi menurun, dan berpotensi memberikan
dampak menurunnya bisnis kartu kredit.
g. Risiko Strategik
Risiko strategik adalah risiko yang terjadi akibat ketidaktepatan dalam
pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik, serta kegagalan
dalam menyesuaikan dengan perubahan lingkungan bisnis.
Sebagai contoh: (1) bank mengikuti arus mengembangkan bisnis mikro,
padahal bank tersebut belum berpengalaman dalam bidang tersebut sehingga
bank mengalami banyak permasalahan; (2) bank memutuskan bersaing
dengan bank asing dengan meluncurkan bisnis produk terstruktur yang
kompleks, padahal bank belum memiliki infrastruktur yang memadai sehingga
bank mengalami kerugian; (3) bank memutuskan melakukan bisnis tertentu
yang ternyata kemudian mendatangkan kerugian besar pada bank.
h. Risiko Kepatuhan
Risiko kepatuhan adalah risiko yang terjadi akibat bank tidak mematuhi
dan/atau tidak melaksanakan ketentuan internal dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, seperti ketentuan Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum (KPMM), penilaian Kualitas Aktiva Produktif, Pembentukan
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN), Batas Maksimum Pemberian
Kredit (BMPK), ketentuan Posisi Devisa Neto (PDN), risiko strategik terkait
dengan ketentuan Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) bank, dan risiko
lain yang terkait dengan ketentuan tertentu.
Sebagai contoh: (1) bank tidak mengirimkan laporan harian wajib kepada
Bank Indonesia sehingga harus membayar denda; (2) bank melanggar
ketentuan limit posisi devisa netto dan mendapat teguran dan denda dari
regulator; (3) akibat terkena persaingan, bank tidak secara utuh mengikuti
prosedur seperti yang ditetapkan oleh regulator.
6. IDENTIFIKASI RISIKO
Proses identifikasi risiko dilakukan dengan menganalisis sumber risiko
dari seluruh aktivitas bank, minimal dilakukan terhadap risiko produk dan
aktivitas bank, serta memastikan bahwa risiko dari produk dan aktivitas baru
telah melalui proses manajemen risiko yang layak sebelum diperkenalkan atau
dijalankan.
Sebagai contoh, apabila bank memberikan kredit, risiko yang dapat terjadi
adalah kredit menjadi macet (risiko kredit). Apabila bank membeli surat
berharga berupa obligasi pemerintah maka harga obligasi dapat menurun
apabila suku bunga pasar meningkat (risiko suku bunga). Pegawai bank dapat
saja melakukan fraud (risiko operasional).
7. PENGUKURAN RISIKO
Pengukuran risiko digunakan untuk mengukur eksposur risiko bank
sebagai acuan untuk memutuskan apakah perlu dilakukan proses
pengendalian. Sistem pengukuran risiko minimal harus dapat mengukur:
a. Eksposur risiko secara keseluruhan maupun per risiko. Sebagai contoh,
total baki debet kredit, total posisi obligasi yang ada pada portofolio bank.
b. Seluruh risiko yang melekat pada seluruh transaksi serta produk
perbankan, termasuk produk dan aktivitas baru. Sebagai contoh, risiko kredit,
risiko suku bunga, risiko nilai tukar dsb.
c. Sensitivitas produk/aktivitas terhadap perubahan faktor-faktor risiko
yang memengaruhinya, baik dalam kondisi normal maupun tidak normal.
Sebagai contoh, berapa besar penurunan obligasi milik bank apabila suku
bunga pasar meningkat satu persen.
d. Kecenderungan perubahan faktor-faktor dimaksud berdasarkan fluktuasi
yang terjadi di masa lalu dengan memperhitungkan faktor korelasi (volatilitas).
Sebagai contoh, volatilitas nilai tukar Rupiah terhadap USD.
Metode pengukuran risiko dapat dilakukan secara kuantitatif dan/atau
kualitatif. Metode pengukuran tersebut harus dipahami secara jelas oleh
pegawai terkait dalam pengendalian risiko, antara lain manajer treasury, chief
dealer, komite manajemen risiko, satuan kerja manajemen risiko, dan Direktur
bidang terkait.
8. PEMANTAUAN RISIKO
Pemantauan risiko dilakukan terhadap besarnya eksposur risiko, toleransi
risiko, kepatuhan limit internal, dan hasil stress testing maupun konsistensi
pelaksanaan dengan kebijakan dan prosedur yang ditetapkan.
Pemantauan dilakukan baik oleh unit pelaksana maupun oleh satuan
kerja manajemen risiko. Hasil pemantauan disajikan dalam laporan berkala
terkait manajemen risiko yang disampaikan kepada manajemen dalam rangka
mempertimbangkan melakukan upaya mitigasi risiko dan tindakan yang
diperlukan.
9. PENGENDALIAN RISIKO
Pengendalian risiko adalah upaya untuk mengurangi atau menghilangkan
risiko, disesuaikan dengan eksposur risiko dan tingkat risiko yangakan diambil
dan toleransi risiko bank. Pengendalian risiko dapat dilakukan antara lain
dengan cara mekanisme lindung nilai, meminta garansi, melakukan
sekuritisasi aset, menggunakan credit derivatives, serta penambahan modal
bank untuk menyerap potensi kerugian.
BAB II
RISK MANAGEMENT IMPLEMENTATION, ERM AND RISK MANAGMENT SYSTEM
Risiko kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain
dalam memenuhi kewajiban melunasi kredit pada bank. Pada aktivitas
pemberian kredit, baik kredit komersial maupun kredit konsumsi, terdapat
kemungkinan debitur tidak dapat memenuhi kewajiban kepada bank karena
berbagai alasan, seperti kegagalan bisnis, karena karakter dari debitur yang
tidak mempunyai iktikad baik untuk memenuhi kewajiban kepada bank, atau
memang terdapat kesalahan dari pihak bank dalam proses persetujuan kredit.
Risiko kredit juga terdapat pada aktivitas treasury. Risiko kredit pada
aktivitas treasury antara lain terdapat pada aktivitas penempatan dana
kepada bank lain. Pada umumnya, limit penempatan kepada bank lain bersifat
clean, artinya tidak mensyaratkan penyerahan agunan dari bank yang
menerima penyimpanan dana. Dengan demikian, terdapat risiko kredit apabila
bank penerima dana tidak dapat memenuhi kewajiban kepada bank pemberi
dana, yaitu mengembalikan dana tersebut pada saat jatuh tempo.
Penentuan besarnya risiko kredit atau lebih dikenal dengan pengukuran
risiko kredit baik pada kredit komersial maupun kredit konsumsi dilakukan
dengan pendekatan berbeda. Pendekatan pengukuran individual
(transaksional) lebih umum dilakukan pada kredit korporasi dan komersial,
antara lain dengan menggunakan sistem rating. Sementara, pada kredit
konsumsi, untuk mengukur besarnya risiko kredit pada umumnya dilakukan
pendekatan portofolio.
Pada saat ini aktiva produktif perbankan nasional lebih didominasi oleh
kredit yang diberikan, sementara sumber dana bank terutama berasal dari
dana pihak ketiga. Apabila terjadi peningkatan risiko kredit yang signifikan
terhadap bank maka bank tersebut dapat mengalami gangguan kemampuan
membayar kepada sumber dana. Apabila ini terjadi, maka kepercayaan
masyarakat untuk menyimpan dana mereka di bank dapat berkurang.
1. KATEGORI KREDIT
Identifikasi risiko kredit dimulai dari proses untuk melakukan aktivitas
kredit, kemudian mengidentifikasi faktor yang dapat memicu terjadinya
potensi risiko kredit. Oleh sebab itu, untuk dapat melakukan identifikasi risiko
kredit, terlebih dahulu perlu diketahui berbagai jenis produk perkreditan yang
umum diberikan oleh perbankan.
Jenis kredit yang dapat diberikan bank mempunyai beraneka ragam
bentuk. Secara umum, jenis kredit bank dapat diklasifikasikan menurut:
Jenis Aktiva,
Kegunaan kredit tersebut dalam usaha debitur,
Tujuan kredit,
Jangka waktu,
Jenis dana yang diberikan (tunai atau non-tunai),
Jenis valuta kredit.
a. Berdasarkan Jenis Aktiva
Pertimbangan utama dalam penentuan struktur kredit adalah jenis aktiva
yang dibiayai (aktiva lancar atau aktiva tetap). Aktiva suatu perusahaan secara
umum dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
Aktiva tetap adalah aktiva yang tidak habis dipakai dalam satu siklus
produksi. Aktiva tetap adalah investasi jangka panjang yang dapat dibiayai
dengan modal sendiri, atau dengan digabungkan dengan pinjaman jangka
panjang.
Aktiva lancar permanen adalah sejumlah aktiva lancar yang harus tetap
dipelihara agar operasi bisnis normal dapat berjalan lancar. Aktiva ini harus
dibiayai dengan dana jangka panjang. Salah satu contoh aktiva lancar
permanen adalah kebutuhan modal kerja berupa persediaan minimum yang
harus dipelihara agar proses produksi dapat berjalan dengan lancar.
Aktiva lancar yang bersifat fluktuatif adalah aktiva lancar dengan
kebutuhan yang naik turun sesuai dengan perkembangan permintaan. Karena
sifatnya yang fluktuatif dan bersifat jangka pendek, pembiayaan dapat
dilakukan dengan pinjaman jangka pendek misalnya pinjaman rekening koran
atau pembiayaan atas piutang.
Dalam memberikan pinjaman berdasarkan jenis aset dapat dilakukan
dengan berbagai cara, antara lain:
1) Asset Conversion Lending (Kredit Musiman)
Digunakan untuk membiayai kebutuhan jangka pendek yang bersifat
temporer. Di dalam asset conversion lending bank merencanakan agar
seluruh pokok pinjaman dapat dilunasi pada akhir periode pinjaman.
Sumber pengembalian (source of payment) pinjaman berasal dari siklus
konversi dari bahan baku atau barang dagangan, sampai siklus dinyatakan
selesai, yaitu terjual pada konsumen dan sudah lunas. Pinjaman jenis ini
bersifat self-liquidating base, artinya pinjaman yang akan dilunasi oleh
debitur pada saat siklus usaha telah selesai.
Sebagai contoh, dalam menghadapi lebaran, debitur akan meningkatkan
produksi pakaian muslim. Kredit diperlukan untuk membeli tambahan
bahan baku yang diperlukan untuk meningkatkan produksi, dan juga untuk
membiayai piutang dagang. Setelah lebaran usai, hasil penjualan digunakan
untuk melunasi kredit musiman tersebut.
2) Asset Protection Lending
Pemberian kredit atas dasar asset protection lending bersifat jangka
panjang, tidak direncanakan untuk melunasi pokok pinjaman pada akhir
periode produksi, melainkan pinjaman mengikuti prinsip going concern,
artinya suatu bisnis yang akan terus berlangsung tanpa jangka waktu yang
ditentukan sebelumnya. Aset protection lending sesuai untuk membiayai
modal kerja permanen (permanent current assets), seperti kebutuhan
modal kerja minimum agar produksi dapat berjalan lancar. Sebagai contoh,
modal kerja untuk membiayai persediaan dan piutang pada suatu usaha
toko besi, yang kreditnya digunakan untuk membiayai persediaan besi dan
bahan bangunan, dan membiayai piutang dengan tingkat perputaran yang
wajar.
Sumber pengembalian pinjaman berasal dari tingkat penurunan komponen
pinjaman dari permanent current assets yang berasal dari laba kumulatif
yang diperoleh perusahaan dalam menjalankan usahanya. Sumber
pelunasan lain yang dapat digunakan untuk menurunkan tingkat pinjaman
adalah yang berasal dari fresh money dari pemilik usaha, misalnya dengan
tambahan penyetoran modal.
3) Cash Flow Lending
Cash flow lending adalah pinjaman jangka panjang yang digunakan antara
lain untuk membiayai pembelian aktiva tetap atau investasi. Dengan cash
flow lending diharapkan seluruh pinjaman pokok dilunasi pada akhir
periode pinjaman, sesuai dengan jadual pelunasan pokok pinjaman yang
sudah ditetapkan sebelumnya.
Sebagai contoh, kredit untuk membiayai pembangunan pabrik pembuatan
keramik lantai. Investasi diperlukan untuk membeli tanah dan bangunan,
mesin dan peralatan dan biaya lainnya. Pelunasan kredit diharapkan dari
operasional pabrik yang menghasilkan arus kas bersih setelah pabrik
selesai dan mulai melakukan produksi.
b. Berdasarkan kegunaan
1) Kredit Investasi
Kredit investasi merupakan kredit jangka panjang yang digunakan untuk
keperluan investasi. Sebagai contoh, kredit ini digunakan untuk
pembangunan gedung kantor, gudang, jalan dan lain-lain. Kredit investasi
dapat pula digunakan untuk pembelian barang-barang modal untuk
keperluan produksi atau usaha. Contoh: kredit pembelian tanah untuk
perkebunan, kredit pembangunan gedung pabrik atau kredit pembelian
mesin produksi.
Pelunasan Kredit Investasi diharapkan berasal dari kinerja operasional
yang menghasilkan cash flow yang memadai untuk dapat melunasi
kewajiban debitur pada bank
2) Kredit Modal Kerja
Kredit modal kerja merupakan kredit yang digunakan untuk kebutuhan
modal kerja operasional perusahaan. Kriteria dari modal kerja yaitu
kebutuhan modal yang habis dalam satu siklus usaha. Contoh: kredit
ekspor, kredit untuk pengadaan bahan baku, kredit untuk membeli pupuk
dan kredit untuk kontraktor bangunan yang memperoleh proyek.
Kredit modal kerja untuk pembiayaan persediaan dan piutang akan terus
tertanam pada perusahaan, paling sesuai diberikan dalam bentuk kredit
modal kerja permanen yang bersifat jangka panjang.
c. Berdasarkan Tujuan Kredit
1) Kredit Produktif
Kredit yang digunakan untuk meningkatkan volume usaha (penjualan)
atau produksi, dan menghasilkan arus kas untuk keuntungan pemilik
usaha, dan untuk membayar kewajiban kredit. Contoh: Kredit untuk
membuka usaha salon, kredit untuk usaha restoran dsb.
2) Kredit Konsumtif
Kredit yang digunakan untuk konsumsi dan tidak bersifat produktif.
Sebagai contoh, kredit pembelian mobil, kredit pegawai, kredit untuk
membeli barang elektronik, kredit kepemilikan rumah, dsb.
d. Berdasarkan Jangka Waktu
1) Kredit Jangka Pendek
Merupakan kredit yang memiliki jangka waktu paling lama 1 tahun.
Sebagai contoh, kredit modal kerja musiman atau kredit insidentil.
2) Kredit Jangka Menengah
Merupakan kredit yang memiliki jangka waktu kredit antara 1–3 tahun,
misalnya kredit pembelian mobil, kredit kepemilikan rumah atau kredit
modal kerja tertentu.
3) Kredit Jangka Panjang
Merupakan kredit dengan jangka waktu pengembalian di atas 3 tahun,
pada umumnya merupakan kredit investasi. Contoh, kredit untuk
membuka perkebunan kelapa sawit atau kredit untuk membangun pabrik
baja. Selain kredit investasi, modal kerja untuk pembiayaan persediaan
dan piutang juga dapat dipertimbangkan diberikan kredit modal kerja
permanen yang mempunyai jangka lebih panjang.
e. Berdasarkan Jenis Dana Yang Diberikan
1) Cash Loan (Kredit Tunai)
Adalah kredit dengan dana langsung dicairkan kepada nasabah. Contoh,
kredit modal kerja, kredit investasi atau kredit konsumsi.
2) Non-Cash Loan
Adalah kredit yang tidak secara langsung ditarik dalam bentuk tunai, tetapi
di dalamnya telah terkandung adanya suatu kesanggupan untuk
melakukan pembayaran di kemudian hari. Contoh, fasilitas bank garansi
(bid bond, performance bond), fasilitas pembukaan letter of credit (L/C)
impor atau fasilitas L/C dalam negeri (SKBDN).
f. Berdasarkan Jenis Valuta
1) Kredit Valuta Rupiah
Pinjaman yang diberikan dalam mata uang Rupiah, yang secara umum
diberikan perbankan untuk para debitur yang mengajukan permohonan
kredit.
2) Kredit Valuta Asing
Pinjaman yang diberikan dalam mata uang asing (pada umumnya dalam
valuta USD). Hal yang perlu diperhatikan dalam pinjaman valuta asing
adalah risiko nilai tukar, yaitu kerugian yang timbul akibat perubahan nilai
mata uang asing terhadap Rupiah.
Misalnya, apabila nilai tukar Rupiah melemah maka posisi kredit dalam
valuta asing dihitung dalam valuta Rupiah akan menjadi lebih besar dan
dapat menimbulkan risiko kredit apabila agunan debitur yang dihitung
dalam valuta Rupiah menjadi tidak cukup untuk menutup besar baki debet
kredit.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian untuk mitigasi risiko kredit adalah
proceed atau hasil penjualan perusahaan harus sebagian besar dalam
bentuk valuta asing yang sama. Apabila penghasilan debitur dalam valuta
Rupiah, apabila Rupiah melemah maka kewajiban debitur dalam valuta
asing akan meningkat, dan meningkatkan risiko kemampuan membayar
dari debitur.
2. PROSES MANAJEMEN RISIKO KREDIT
Identifikasi risiko kredit merupakan langkah awal dalam mengelola risiko.
Sesudah risiko diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah mengukur besarnya
risiko tersebut. Dari hasil pengukuran tersebut, bank menentukan langkah
mitigasi melalui proses pengendalian risiko sampai level sesuai risk appetite
bank, dan menentukan besarnya modal untuk menutup risiko yang bersedia
diambil bank.
a. Identifikasi Risiko Kredit
Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas fungsional bank
seperti aktivitas perkreditan, aktivitas treasury, dan aktivitas investasi,
pembiayaan perdagangan (trade finance). Pada umumnya, proses perkreditan
dapat dibagi dalam empat bagian: (1) mencari calon nasabah atau debitur; (2)
proses analisis kelayakan kredit dan membuat keputusan kredit; (3) realisasi
kredit berupa penarikan sesuai persyaratan yang diperjanjikan; (4) penagihan
kewajiban oleh bank dan pembayaran kewajiban oleh debitur.
1) Unit Bisnis-Relationship Manager
Unit bisnis bertugas mencari nasabah yang ditargetkan, melakukan analisis
kredit, dan menilai apakah permohonan debitur dapat diproses lebih lanjut
atau ditolak.
Untuk kredit yang sudah ada dalam portofolio bank, harus dijaga agar
debitur sejauh mungkin tetap dalam kondisi baik sehingga mampu
membayar kewajibannya. Kunjungan secara rutin pada nasabah dan
analisis kondisi usaha perlu dilakukan secara teratur, dan permasalahan
perlu dideteksi secara dini agar lebih mudah mengatasi permasalahan dan
dapat mencegah agar bank tidak terlalu besar mengalami kerugian.
Pada proses mencari calon nasabah, risiko dapat saja terjadi apabila officer
atau pejabat kredit yang diberi tanggung jawab melakukan fraud, misalnya
dengan memberikan informasi yang tidak benar. Officer kredit dapat
memperbesar nilai pasar agunan yang diberikan, melebihi nilai pasar yang
sebenarnya. Kemungkinan lain, pejabat tersebut tidak berpengalaman
sehingga tidak dapat menilai dengan benar informasi yang diberikan oleh
calon debitur.
2) Unit Manajemen Risiko Kredit
Satuan Kerja Manajemen Risiko atau SKMR bertugas membantu unit bisnis
dalam menyediakan infrastruktur perkreditan seperti kebijakan dan
prosedur, sistem kewenangan memutus kredit, sistem pemutusanan kredit
secara bersama antara unit bisnis dan risk management, tata cara
penarikan kredit dan sistem administrasi kredit, dan alat analisis seperti
sistem rating dan scoring, prosedur baku analisis kredit dan analisis early
warning signal (EWS).
SKMR memelihara portofolio kredit agar senantiasa terkendali dari risiko
konsentrasi pada sektor industri tertentu maupun konsentrasi secara
geografis, dan memantau perkembangan kualitas kredit dalam portofolio
sehingga dapat diambil langkah strategi perkreditan yang diperlukan
apabila terjadi permasalahan dalam kualitas kredit.
Analis kredit melakukan proses analisis kelayakan kredit, dengan
menggunakan data yang sudah dikumpulkan oleh bagian unit bisnis. Pada
proses menganalisis kelayakan kredit berdasarkan informasi yang sudah
diperoleh, kesalahan dapat terjadi apabila analisis kredit tidak
berpengalaman dalam melakukan analisis kredit secara baik, atau
melakukan fraud, bekerja sama dengan calon debitur agar dapat
meloloskan kredit dengan kualitas yang kurang baik. Dalam hal proses
menggunakan sistem rating internal, apabila model rating dibuat dengan
sumber data yang tidak akurat, maka keputusan berdasarkan sistem rating
tersebut juga menjadi tidak akurat.
b. Pengukuran Risiko Kredit
Risiko kredit diukur dengan mengukur risiko inheren, yaitu risiko yang
melekat pada aktivitas perkreditan. Pengukuran risiko inheren kredit
dilakukan dengan menetapkan potensi kerugian akibat risiko kredit, yaitu
mengukur berapa besar kemungkinan terjadinya kesalahan dalam proses
kredit, selanjutnya menetapkan dampak yang dapat ditimbulkan apabila
potensi risiko tersebut menjadi kenyataan.
Sebagai contoh, risiko kredit akan besar apabila bank menyalurkan kredit
pada daerah yang bank belum mengenal karakteristik daerah pemasaran
daerah tersebut. Hal ini karena pada daerah yang belum dikenal, kemungkinan
membuat kesalahan (probability of default) akan lebih besar, dan apabila
terjadi kesalahan, akan menimbulkan dampak (loss given default) yang besar.
Potensi kerugian ini dikenal dengan istilah expected loss atau EL, yaitu
perkalian antara probability of default (PD) dengan loss given default (LGD).
Risiko kredit diukur dengan menggunakan parameter UL (Unexpected
Loss), yang merupakan penyimpangan dari EL, artinya potensi perkiraan EL
meleset dari perkiraan semula. Sebagai contoh, apabila semula diperkirakan
bahwa kemungkinan jumlah kredit dalam kategori bermasalah adalah 1% (PD
= 1%), dengan jumlah kerugian apabila terjadi masalah rata-rata sebesar 50%
dari baki debet (LGD = 50%), maka EL adalah 1% dikalikan 50% atau = 0.5%.
Risiko kredit adalah apabila ternyata jumlah kredit bermasalah meleset
menjadi 2%, dan LGD juga meleset dari perkiraan semula yaitu lebih besar dari
50%.PD (Probability of Default) dihitung dari sistem rating dari internal bank.
Rating-Scoring
Credit risk rating atau sistem rating perkreditan adalah alat untuk
mengukur klasifikasi kualitas debitur dilihat dari sisi risiko kredit. Sistem
credit risk rating atau pemeringkatan dapat didasarkan pada analisis
kualitatif dan kuantitatif. Hasil akhir dari proses pemeringkatan ini
merupakan peringkat rating yang dihasilkan dari pengolahan beberapa
parameter yang telah diberikan bobot tertentu. Rating dari nasabah
merupakan indikasi kualitas dari nasabah tersebut.
Permasalahan utama yang dihadapi oleh bank adalah ketersediaan data
sebagai bahan yang diperlukan untuk melakukan analisis pemilihan
parameter rating, dan bobot dari parameter tersebut. Data keuangan akan
lebih mudah diperoleh apabila perusahaan-perusahaan sudah terdaftar di
bursa, yakni ketika perusahaan yang terdaftar di bursa wajib secara
periodik menyampaikan laporan keuangan secara terbuka.
Sesuai dengan ketentuan Basel, bank wajib memiliki minimal 8 peringkat
risiko rating kredit, yang terdiri dari minimal tujuh peringkat debitur
untuk debitur non-default, dan satu peringkat rating bagi debitur yang
default. Bank sendiri harus menetapkan kriteria suatu kredit dinyatakan
default.
Yang perlu diwaspadai dalam sistem rating perkreditan yang berpotensi
menimbulkan risiko kredit, adalah (1) sistem rating dibangun tidak atas
dasar data yang lengkap, akurat, konsisten dan relevan; (2) sistem rating
tidak dibangun sesuai dengan praktik terbaik (best practices); (3) system
rating belum sepenuhnya dikomunikasikan pada jajaran organisasi yang
akan menggunakan sistem tersebut; dan (4) sistem mudah disalahgunakan
oleh pengguna.
Rating kredit memberikan informasi mengenai kualitas kredit debitur dan
cukup untuk mengambil keputusan kredit untuk kredit konsumer, kartu
kredit , atau kredit mikro. Untuk kredit komersial, yang perlu menentukan
limit kredit yang akan diberikan, bank masih perlu melakukan analisis
kredit, antara lain melihat proyeksi arus kas untuk mengukur kemampuan
debitur membayar kewajiban.
c. Pengelolaan Risiko Kredit
Pengelolaan atau mitigasi risiko kredit dilakukan agar risiko kredit tidak
melewati tingkat limit yang sudah ditetapkan sesuai dengan risk appetite bank.
Mitigasi risiko dilaksanakan dengan mengacu pada kebijakan perkreditan,
sebagai dasar bank melakukan pengelolaan kredit.
Analisis kredit dilakukan untuk mengidentifikasi seluruh aspek risiko yang
melekat pada setiap aktivitas fungsional yang berpotensi merugikan bank.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan analisis kredit antara lain:
Bersifat proaktif (anticipative) dan bukan reaktif.
Mencakup seluruh aktivitas fungsional (kegiatan operasional).
Menggabungkan dan menganalisis informasi risiko dari seluruh sumber
informasi yang tersedia.
Menganalisis probabilitas timbulnya risiko serta konsekuensi atas risiko
tersebut.
Untuk kegiatan perkreditan, penilaian risiko kredit perlu memerhatikan
beberapa hal, antara lain (1) kondisi keuangan debitur, khususnya kemampuan
membayar secara tepat waktu, (2) jaminan atau agunan yang diberikan
sebagai pagar terakhir kalau terjadi gagal bayar. Gagal bayar dapat disebabkan
berbagai faktor. Penilaian debitur berupaya mengidentifikasi faktor tersebut,
mencakup analisis lingkungan debitur, karakteristik mitra usaha dari debitur,
kualitas pemegang saham dan pengelola usaha, kondisi laporan keuangan
beberapa tahun terakhir, kualitas strategi usaha dan proyeksi keuangan, dan
dokumen lainnya yang dapat digunakan untuk mendukung analisis yang
menyeluruh terhadap kondisi dan kredibilitas debitur.
Kebijakan dan Prosedur Perkreditan
Kebijakan dan Prosedur Perkreditan merupakan pedoman kerja di bidang
perkreditan yang memuat rangkaian peraturan dan prosedur untuk menjamin
kegiatan perkreditan dapat berjalan dengan baik.
Beberapa unsur yang perlu diperhatikan dalam menetapkan kebijakan
perkreditan yaitu:
Asas likuiditas, bank harus dapat menjaga tingkat likuiditas bank termasuk
dalam upaya memenuhi permintaan penarikan kredit nasabah.
Asas solvabilitas, bank dapat melakukan pertumbuhan perkreditan sesuai
dengan kemampuan mengumpulkan dana pihak ketiga, dan sejauh
mungkin menghindari risiko kegagalan kredit.
Asas rentabilitas, bank harus memperoleh laba secara optimal sesuai
risiko yang diambil dan modal yang dipergunakan.
Yang perlu diwaspadai dalam kebijakan perkreditan yang berpotensi
menimbulkan risiko kredit, adalah bahwa:
Kebijakan perkreditan bank tidak lengkap;
Isinya tidak sesuai dengan praktik terbaik (best practices);
Belum sepenuhnya dikomunikasikan pada jajaran organisasi yang perlu
menguasai kebijakan tersebut, sehingga mereka dapat memahami isi dari
kebijakan tersebut.
3. PROSES PERKREDITAN
a. Inisiasi
Kualitas kredit dapat dijaga apabila pada tahapan awal proses inisiasi
hingga pemutusan kredit dilaksanakan dengan teliti dan melaksanakan prinsip
kehati-hatian.
Penentuan nasabah yang akan diakuisisi dari bank lain agar dilakukan
dengan pendekatan target market, artinya relationship manager secara aktif
mencari nasabah prospek. Dalam membidik nasabah yang menjadi target, bank
perlu melakukan pre-screening dengan menggunakan kriteria yang berlaku,
misalnya Risk Acceptance Criteria (RAC).
Untuk memastikan calon nasabah mempunyai sejarah yang baik, analisis
perlu melakukan trade checking dan BI checking terhadap debitur untuk
meyakini karakter dan kualitas debitur. Dalam proses analisis kredit, analisis
perlu memahami pola usaha dan kebutuhan debitur, sehingga bank dapat
menetapkan struktur kredit sesuai dengan kebutuhan debitur.
1) Target Market
Pemasaran kredit pada masa ini lebih baik dilakukan atas dasar target
nasabah, tidak hanya menunggu walk-in customer meminta kredit ke bank.
Kelebihan sistem target nasabah adalah membuat upaya pemasaran
produk kredit menjadi lebih terstruktur, dan dapat berpeluang
mendapatkan calon debitur yang lebih berkualitas. Selain itu, risiko kredit
akan lebih mudah dilakukan mitigasi, potensi di wilayah kerja bank dapat
lebih tergarap dengan baik, dan bank dapat fokus pada sektor usaha yang
lebih menguntungkan bagi bank.
Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam penetapan target
market di masing-masing wilayah, antara lain kondisi wilayah setempat
dengan karakteristik masing-masing dan kondisi persaingan.
2) Negative List
Dalam mengupayakan nasabah baru, bank juga mengacu pada daftar usaha
yang pada saat tertentu tidak menjadi prioritas bank, atau disebut dengan
negative list. Sebagai contoh, bank tidak berniat membiayai kredit pada
sektor pertambangan karena sektor tersebut sekarang sedang mengalami
tekanan harga jual yang rendah.
b. Analisis Kredit
Pada proses analisis kredit, analisis memperhatikan faktor internal debitur,
artinya faktor yang inheren ada pada debitur yang bersangkutan. Selain
itu, analisis juga memerhatikan faktor eksternal yang dapat memengaruhi
kelayakan debitur.
1) Faktor Awal Penilaian Kelayakan Kredit
a) Faktor Internal Debitur
Tujuan kredit dan sumber pembayaran.
Bank harus memastikan, kredit akan digunakan untuk tujuan yang
dapat diterima sesuai dengan kebijakan kredit bank. Tujuan kredit
penting dianalisis agar kredit yang diberikan tidak digunakan untuk
maksud lain yang tidak disetujui oleh bank. Penggunaan kredit yang
menyimpang dari tujuan semula sering menjadi akar penyebab
terjadinya kredit bermasalah.
Karakter debitur.
Kualitas manajemen, pengalaman, pendidikan.
Profil risiko terkini dari debitur.
Profil risiko harus sesuai kebijakan bank yang menetapkan profil risiko
tertentu yang dapat diterima bank.
Aspek legal dan agunan.
Untuk menentukan persyaratan kredit, misalnya untuk membatasi
perubahan eksposur risiko debitur di waktu yang akan datang.
b) Kinerja Historis, Analisis Rasio Keuangan
Penilaian kinerja historis dapat dilakukan dengan analisis keuangan
berdasarkan beberapa teknik analisis keuangan sebagai berikut.
Analisis Rasio Keuangan
Rasio Likuiditas
Adalah rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajiban jangka pendek (termasuk bagian dari kewajiban jangka panjang
yang telah berubah menjadi kewajiban jangka pendek).
Rasio yang biasa digunakan dalam mengukur likuiditas perusahaan adalah
Current Ratio, Cash Ratio dan Quick Ratio.
Current Ratio yang baik akan lebih besar dari 100%, dengan trend
membaik, dan sejalan dengan rasio industri pada bidang usaha yang sama.
Cash Ratio dan Quick Ratio menilai kualitas dari komponen aktiva lancar,
yang dapat digunakan untuk membayar kewajiban. Semakin besar rasio
tersebut, kondisi debitur akan semakin baik.
Rasio Leverage
Adalah rasio yang menunjukkan sejauh mana perusahaan menggunakan
utang sebagai sumber modal (dana pihak luar). Rasio ini juga menunjukkan
indikasi tingkat keamanan dari bank sebagai kreditor. Bagi bank, semakin
kecil Debt Equity Ratio (DER), kondisi perusahaan semakin baik dengan
risiko yang lebih kecil.
Rasio Aktivitas
Adalah rasio yang menunjukkan kemampuan dan efektivitas manajemen
dalam mengelola sumber-sumber yang dimilikinya.
Penilaian perputaran dilakukan dengan menilai trend, dan perbandingan
dengan industri sejenis. Perputaran yang semakin tinggi (atau jumlah hari
yang lebih kecil) akan semakin baik bagi perusahaan. Sebaliknya,
perputaran piutang atau persediaan yang melambat menandakan terdapat
sesuatu masalah yang perlu dikonfirmasikan pada calon debitur.
Rasio Profitabilitas
Adalah rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan mencetak laba.
Untuk pemegang saham, rasio ini menunjukkan tingkat penghasilan yang
menentukan tingkat pengembalian modal yang ditanamkan pemegang
saham dalam melakukan investasi.
Penilaian rasio profitabilitas dilakukan dengan melihat trend dan
perbandingan dengan industri sejenis.
Analisis Vertikal
Analisis ini juga dikenal dengan istilah Common Size Analysis yaitu analisis
laporan keuangan dalam satu periode tertentu dengan cara
membanding-bandingkan pos yang satu dengan pos yang lainnya.
Perbandingan tersebut dilakukan dengan menggunakan persentase
dimana salah satu pos ditetapkan dengan patokan 100%.
Pada neraca, analisis vertikal sering dikaitkan sebagai prosentase dari total
aset. Pada rugi laba, komponen laba dan biaya dibandingkan dengan nilai
penjualan.
Analisis Horisontal
Analisis ini dilakukan dengan membandingkan pos-pos laporan keuangan
untuk dua periode atau lebih. Tujuan perbandingan ini adalah untuk
mengetahui perubahan dan tren dari waktu ke waktu. Selain itu, analisis
ini juga melihat tren perkembangan masing-masing pos selama jangka
waktu tertentu.
c) Faktor Eksternal Debitur
Faktor eksternal debitur antara lain kondisi ekonomi dan industri tempat
calon debitur menjalankan usaha.
Faktor eksternal merupakan faktor yang berada di luar kendali perusahaan
debitur. Dalam hal ini analisis perlu menilai kemampuan bisnis debitur dan
kondisi sektor ekonomi/usaha debitur serta posisi debitur dalam industri.
2) Prinsip 5C
Dalam melakukan analisis kelayakan debitur, metode yang sering
dilakukan analisis antara lain metode 5C. Pada analisis dengan metode 5C,
kelayakan debitur dilihat dari lima faktor utama, yaitu (1) character,
menilai karakter nasabah, kemauan untuk membayar kewajiban pada
bank; (2) capacity, menilai kemampuan membayar kewajiban dari debitur;
(3) capital, menilai besar modal yang dimiliki dibandingkan dengan jumlah
utang; (4) conditions, menilai kondisi ekonomi dimana debitur
menjalankan usaha; dan (5) collateral, menilai ketersediaan agunan
sebagai cara lain untuk pelunasan agunan.
a) Character
Character atau watak calon debitur merupakan faktor penting. Bank secara
rasional hanya ingin membina hubungan dengan debitur yang dapat
dipercaya. Sifat dan watak calon debitur dapat dilihat dari latar belakang
pekerjaan maupun pribadi, seperti gaya hidup dan keadaan keluarga. Bank
juga dapat memperoleh informasi terkait karakter debitur dari pusat
informasi debitur Bank Indonesia. Sifat dan watak ini dapat
menggambarkan kemauan debitur untuk membayar.
Parameter yang dapat menentukan karakter debitur antara lain
Usia debitur, secara umum usia produktif adalah antara 30-50 tahun,
memperoleh rating tertinggi.
Pendidikan, secara umum tingkat pendidikan yang semakin tinggi
mempunyai rating karakter yang lebih baik.
Pengalaman yang semakin banyak cenderung memberikan rating
karakter yang lebih baik.
Keuletan yang tinggi mengurangi tingkat kegagalan usaha.
Kreativitas yang tinggi dan inovatif akan membantu kemajuan usaha.
Ketegasan dan fleksibilitas dalam bisnis untuk menghadapi berbagai
perubahan situasi lingkungan usaha.
Kejujuran merupakan faktor karakter yang penting untuk dinilai.
c. Penagihan (Collection)
Peran seorang penagih atau collector sangat penting dalam menentukan
tingkat keberhasilan perusahaan dalam penagihan sehingga dibutuhkan
keahlian dan teknik-teknik yang tepat dalam proses penagihan.
Petugas penagihan harus memahami peran serta fungsi bagian penagihan
kredit, mengetahui proses tindakan penagihan dan menentukan kapan dan
bagaimana caranya melakukan penagihan. Selain itu, bagian penagihan juga
perlu memahami bagaimana posisi dan peran bagian penagihan terhadap
bisnis secara keseluruhan.
Petugas penagihan harus menggunakan strategi penagihan yang sesuai
dengan kondisi debitur, memahami cara-cara mengelola kredit yang macet
berdasarkan tingkat risiko kredit tersebut serta menentukan prioritas
tindakan yang harus dilakukan pada setiap tingkat tunggakan kredit.
Teknik penagihan perlu memelajari cara komunikasi selama melakukan
penagihan, dan menentukan cara perilaku untuk mengatasi
hambatan-hambatan yang terjadi selama negosiasi berlangsung dengan tipe
debitur yang berbeda sehingga mendapatkan hasil yang memuaskan bagi
semua pihak sesuai dengan kebijakan bank yang berlaku.
Petugas penagihan harus mengenal berbagai macam laporan yang
digunakan di bagian penagihan seperti produktivitas dan portofolio MIS, cara
membaca dan cara menafsirkan artinya. Dari hasil MIS tersebut juga bisa
diketahui bahwa strategi penagihan yang digunakan berhasil atau tidak.
d. Pengeloaan Kredit Bermasalah
Penanganan kredit bermasalah dapat dilakukan dengan berbagai pilihan
seperti:
1) Rescheduling
Suatu tindakan untuk memperpanjang jadwal cicilan pokok kredit.
Penjadwalan kembali dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu
kredit atau jangka waktu angsuran kredit.
2) Reconditioning
Reconditioning merupakan metode penyehatan kredit, yaitu bank
melakukan perubahan beberapa persyaratan yang berlaku seperti
tercantum pada perjanjian kredit seperti:
Kapitalisasi bunga, yaitu kewajiban dan tunggakan bunga dijadikan
utang pokok.
Penundaan pembayaran bunga sampai jangka waktu tertentu.
Penurunan suku bunga kredit.
Pembebasan tunggakan bunga dsb.
3) Restructuring
Merupakan tindakan bank kepada nasabah, antara lain dengan cara
memberikan kredit tambahan pada nasabah, dengan pertimbangan
misalnya nasabah memang membutuhkan tambahan dana agar dapat
mengatasi permasalahan, dan usaha yang dibiayai masih dinilai layak
untuk dilanjutkan.
4) Kombinasi
Merupakan kombinasi dari upaya rescheduling, reconditioning, dan
restructuring
5) Likuidasi Agunan
Penyitaan jaminan merupakan jalan terakhir apabila nasabah sudah
benar-benar tidak mempunyai iktikad baik ataupun sudah tidak mampu
lagi untuk membayar semua kewa jibannya.
Alternatif penyelamatan kredit dipilih yang paling memberikan kerugian
minimal bagi bank. Dengan kata lain yang memberikan NPV maksimum
bagi bank.
2. TRADING BOOK
Trading book adalah seluruh posisi perdagangan bank (proprietary
position) pada instrumen keuangan dalam neraca (on balance sheet) dan atau
rekening administratif (off balance sheet) serta transaksi derivative yang
dicatat sebagai trading account (TA). Transaksi tersebut dimaksudkan untuk
dimiliki dan dijual kembali guna memeroleh keuntungan dalam jangka pendek
dari perubahan harga.
Posisi trading book terjadi antara lain dari kegiatan perantaraan
(brokering), pembentukan pasar (market making), atau transaksi lindung nilai
(hedging) atas portofolio bank lainnya yang diklasifikasikan sebagai trading
book. Pada transaksi brokering murni, sebenarnya bank tidak memegang
posisi, namun dalam praktik, untuk dapat memberikan pelayanan pada
nasabah, bank sering melakukan transaksi brokering dengan memegang posisi
untuk sementara waktu, sebelum dijual pada pihak lain yang bermaksud
membeli surat berharga tersebut.
Contoh portofolio trading book, misalnya bank membeli surat hutang
(obligasi) dengan tujuan akan dijual kembali dalam jangka pendek, tanpa
menunggu obligasi tersebut jatuh tempo.
Contoh lainnya, bank melakukan transaksi jual dan beli valuta asing, baik
yang bersifat sederhana (plain vanilla) maupun dalam bentuk derivatif, dengan
memelihara posisi valuta asing agar dapat memperlancar aktivitas
perdagangan valuta asing tersebut.
Terhadap Posisi trading account, bank perlu melakukan proses penentuan
harga pasar atau marked to market setiap hari. Dengan proses tersebut maka
akan terdapat laba atau rugi yang selanjutnya dibukukan langsung pada posisi
rugi laba bank. Bagi bank yang memiliki portofolio trading account dalam
jumlah besar maka laporan laba/rugi bank akan berfluktuasi sebagai akibat
proses marked to market tersebut.
Portofolio trading account, pada umumnya merupakan portofolio unit
bisnis treasury sebagai unit operasional atau front office. Metode perhitungan
nilai pasar (marked to market) ditentukan oleh unit manajemen risiko yang
independen (middle office). Sementara itu, pelaksanaan perhitungan marked to
market harian dilakukan oleh bagian administrasi atau back office. Pembagian
fungsi ini dilakukan untuk menghindarkan adanya benturan kepentingan oleh
pihak front office dalam penentuan harga pasar.
Pada umumnya posisi trading book dapat dibagi menjadi posisi instrument
tunai (cash instrument) dan posisi derivatif (derivatif instrument).
a. Posisi Instrumen Tunai (Cash Instrumnet)
Posisi tunai terdiri dari surat berharga jangka pendek dan jangka panjang
1) Surat Berharga Jangka Pendek
Yang tergolong sebagai surat berharga jangka pendek adalah:
Sertifikat Bank Indonesia (SBI): surat berharga dalam mata uang IDR
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang dengan
jangka waktu pendek (sampai dengan 12 bulan).
Fasilitas Bank Indonesia (Fasbi): penempatan dana yang dilakukan
kepada Bank Indonesia dengan jangka waktu sesuai yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
Repurchase agreement (Repo): SBI dan Surat Bendahara Negara (SBN);
transaksi penjualan dengan jaminan Surat Berharga (SBI dan SBN)
dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka
waktu yang disepakati.
Reverse Repo SBI/SBN: transaksi pembelian surat berharga (SBI dan
SBN) dengan kewajiban melakukan penjualan kembali sesuai dengan
harga dan jangka waktu yang disepakati.
Fine Tune Operation (FTO): transaksi dalam rangka operasi pasar
terbuka (OPT) yang dilakukan sewaktu-waktu oleh BI apabila
diperlukan untuk memengaruhi likuiditas perbankan jangka pendek
pada waktu, jumlah dan harga transaksi yang ditetapkan oleh BI. FTO
terdiri atas:
Fine Tune Ekspansi (FTE); dalam rangka penambahan likuiditas
perbankan secara jangka pendek.
Fine Tune Kontraksi (FTK); dalam rangka penyerapan likuiditas
perbankan secara jangka pendek.
SBN dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun dan Surat
Perbendaharaan Negara (SPN).
SPN adalah surat utang negara yang berjangka waktu sampai dengan
12 bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto, dengan maksimal
sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun.
2) Surat Berharga Jangka Panjang
Surat berharga jangka panjang atau sekuritas adalah surat pengakuan
utang, wesel, obligasi, sekuritas kredit dan setiap derivatif terkait, atau
suatu kewajiban dari penerbit dalam bentuk yang lazim diperdagangkan di
pasar modal dan pasar uang.
Jenis Surat Berharga dapat dibagi dalam:
Surat Berharga Pemerintah
Surat berharga yang diterbitkan oleh suatu pemerintah negara
tertentu, misalnya surat berharga negara (SBN) Republik Indonesia,
U.S. Treasury , Republic of Philippines Bonds, dan sebagainya.
Surat Berharga Korporasi.
Surat berharga yang diterbitkan oleh perusahaan termasuk bank, baik
milik pemerintah maupun swasta di dalam maupun luar negeri.
b. Produk Derivative (Derivative Instrument)
Produk derivatif adalah suatu produk dengan nilai tergantung dari produk
atau transaksi yang mendasari (underlying transactions). Kontrak derivatif
merupakan kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilai dari derivatif
tersebut merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti
suku bunga, nilai tukar, commodity, equity, dan indeks. Berdasarkan jenis
underlying, transaksi derivatif dibedakan antara lain atas transaksi terkait
nilai tukar valuta asing, suku bunga, surat berharga, equity dan commodities
1) Produk Derivatif terkait Nilai Tukar Valuta Asing
Produk derivatif yang terkait dengan nilai tukar valuta asing (foreign
exchange) diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bank maupun nasabah,
antara lain:
Transaksi Currency Forward dengan berbagai variasi
yaitu kontrak pembelian atau penjualan valuta asing terhadap valuta
Rupiah atau valuta asing lainnya pada tanggal valuta di masa yang akan
datang, dengan harga yang ditentukan pada tanggal kontrak.
Transaksi Currency Swap
yaitu kontrak pembelian atau penjualan valuta asing terhadap Rupiah
atau valuta asing lainnya pada tanggal valuta tertentu, sekaligus dengan
perjanjian untuk menjual atau membeli kembali pada tanggal valuta
yang berbeda dengan harga yang ditentukan pada tanggal kontrak
ditutup.
Transaksi Currency Option
yaitu kontrak pembelian atau penjualan hak untuk membeli (call)
ataumenjual (put) atas sejumlah valuta asing tertentu terhadap Rupiah
atau valuta asing lainnya pada harga yang telah ditentukan (strike
price) untuk suatu periode tertentu dengan membayar (bagi pembeli
option) atau menerima (bagi penjual option) sejumlah premi tertentu.
2) Produk Derivatif terkait Suku Bunga
Produk derivatif yang terkait dengan suku bunga (interest rate) untuk
memenuhi kebutuhan bank maupun nasabah yang dapat dilaksanakan oleh
bank, antara lain:
Forward Rate Agreement (FRA)
Suatu kontrak antara dua pihak untuk menetapkan suatu suku bunga
masa depan pada tingkat yang ditentukan untuk jangka waktu yang
sudah disepakati lebih dulu.
Interest Rate Swap (IRS)
Kontrak pertukaran dua pembayaran suku bunga yang memiliki
karakteristik berbeda. Perbedaan karakteristik tersebut antara lain
sifat bunga (fixed & floating) atau indeks yang digunakan. Kontrak IRS
tidak melakukan penyerahan pokok, nilai pokok hanya sebagai patokan
notional amount.
Interest Rate Option
Kontrak yang memberikan perlindungan kepada pembeli dari
kenaikan/penurunan suku bunga pada level tertentu (interest rate
cap/floor) dengan membayar fee. Kontrak ini tidak melakukan
penyerahan pokok valuta.
3) Produk Derivatif terkait Surat Berharga
Produk derivatif terkait dengan surat berharga (securities) digunakan
untuk memenuhi kebutuhan bank maupun nasabah, antara lain Bond
Option, yaitu Kontrak pembelian atau penjualan hak untuk membeli (call)
atau menjual (put) surat berharga pada harga yang telah ditentukan (strike
price) untuk suatu periode tertentu dengan membayar (bagi pembeli
option) atau menerima (bagi penjual option) sejumlah premi tertentu.
c. Pengukuran Risiko Pasar Trading Book
Untuk mengukur besar risiko pasar trading book, perlu ditetapkan terlebih
dahulu:
Nilai pasar dari posisi portofolio trading.
Sensitivitas dari nilai pasar portofolio trading terhadap perubahan faktor
pasar.
Volatilitas dari nilai pasar yang dapat mempengaruhi nilai pasar dari
portofolio trading.
1) Komponen Risiko Pasar
Secara umum komponen risiko pasar terdiri dari:
a) Risiko Spesifik (Specific Risk)
Adalah risiko perubahan nilai pasar sekuritas akibat faktor risiko
kredit penerbit (issuer) sekuritas. Contoh, harga sekuritas turun
akibat dari memburuknya kinerja penerbit surat berharga seperti
penurunan rating. Dampak penurunan harga hanya terjadi pada
sekuritas yang diterbitkan issuer tersebut, dan tidak memberikan
dampak pada harga sekuritas secara umum.
b) Risiko Pasar secara umum (General Market Risk)
Adalah risiko terjadinya potensi kerugian secara umum akibat
perubahan variabel pasar. Risiko pasar tersebut timbul sebagai
akibat dari perubahan variabel pasar sehingga memengaruhi harga
pasar kelompok instrumen yang terkait. Faktor pasar yang
menyebabkan harga pasar sekuritas turun misalnya tingkat bunga
atau yield pada kelompok jenis instrumen tertentu. Sebagai contoh,
kenaikan suku bunga BI rate (yang merupakan benchmark pasar)
dapat menyebabkan harga pasar surat berharga (bond) turun.
2) Valuasi Niali Pasar dari Posisi Trading
Pengukuran risiko pasar dimulai dengan menghitung besarnya eksposur
atau nilai pasar untuk masing-masing instrumen pada portofolio, yaitu
dengan melakukan proses valuasi. Untuk memastikan bahwa bank sudah
melakukan valuasi secara konsisten, bank menggunakan data harga pasar
untuk melakukan proses valuasi setiap instrumen, yang dianggap reliable
dan tepat waktu.
Apabila data harga pasar suatu instrumen tidak tersedia, bank dapat
menggunakan suatu model yang dapat mencerminkan harga pasar
instrumen tersebut. Dalam hal ini bank disebut melakukan mark to model.
Untuk mengukur risiko pasar pada bank secara keseluruhan, terlebih
dahulu perlu ditentukan risiko pasar dari masing-masing instrumen,
kemudian menentukan risiko portofolio dengan memperhitungkan
korelasi diantara berbagai faktor pasar.
3) Sensitivitas dari Posisi Trading Book
Sensitivitas dari posisi trading book adalah perubahan harga pasar dari
posisi trading book akibat perubahan satu satuan perubahan faktor pasar.
Faktor pasar dari posisi valuta asing adalah nilai tukar yang berlaku di
pasar. Faktor pasar dari posisi obligasi adalah suku bunga pasar.
Sebagai contoh, apabila bank membeli valuta asing USD sebesar USD 10
juta dengan nilai tukar Rp10.000 per USD = Rp100 miliar. Apabila nilai
tukar USD melemah 1%, artinya nilai tukar USD/IDR sekarang menjadi
Rp.9.900/USD atau Rp99 miliar maka kerugian posisi tersebut adalah
sebesar 1% atau Rp.1 miliar. Jadi, apabila bank membeli USD senilai Rp.1
miliar, apabila nilai tukar USD melemah 1% maka kerugian bank adalah
1% x Rp100 miliar = Rp1 miliar.
Untuk posisi obligasi, penurunan harga obligasi akibat penurunan suku
bunga tidak dapat dihitung secara langsung seperti di atas, melainkan
dengan menggunakan Modified Duration (MD). Apabila MD dari suatu
posisi obligasi = 5; apabila suku bunga naik sebesar 1 bp atau basis point
(1% = 100 bp) maka nilai pasar obligasi akan turun sebesar 5 bp. Sebagai
contoh, suatu obligasi mempunyai nilai pasar Rp100 mi liar; obligasi
tersebut mempunyai MD = 5. Apabila suku bunga pasar naik sebesar 1 bp
maka nilai pasar obligasi akan turun sebesar 5 bp atau turun sebesar Rp.10
juta.
4) Volatilitas Faktor Pasar
Volatilitas faktor pasar merupakan ukuran perubahan faktor pasar pada
satu periode tertentu (misalnya dalam satu hari) dengan tingkat keyakinan
atau confident level tertentu (misalnya 99%). Volatilitas faktor pasar
merupakan salah satu faktor yang akan memengaruhi nilai aset yang pada
gilirannya menimbulkan potensi kerugian akibat risiko pasar.
Pengukuran volatilitas faktor pasar dilaksanakan atas dasar distribusi
statistik, menggunakan data pasar yang pada umumnya merupakan data
harian, kemudian menetapkan tingkat volatilitas dengan confident level
tertentu. Volatilitas suatu faktor pasar adalah volatilitas dengan periode
waktu tertentu dan dengan tingkat confident level atau probability
tertentu. Sebagai contoh, dari data suku bunga harian, diperoleh volatilitas
suku bunga dengan periode satu hari dan dengan confident level 99%
adalah 2.5%, artinya dalam periode waktu satu hari, suku bunga pasar
biasanya berubah sebesar 2.5% dengan tingkat keyakinan 99%.
5) Value at Risk (VAR)
VaR merupakan suatu angka atau jumlah yang menggambarkan perkiraan
besarnya kerugian portofolio bank akibat penurunan harga pasar karena
perubahan faktor pasar pada periode waktu tertentu dan dengan tingkat
confident level atau probability tertentu. Dengan kata lain, VaR merupakan
representasi dari potensi kerugian finansial yang mungkin terjadi di masa
mendatang atas posisi yang dimiliki bank dalam suatu periode tertentu
dengan tingkat keyakinan tertentu (confidence level).
Pada umumnya, portofolio suatu bank terdiri dari berbagai instrumen
(bonds, swaps, options dll.) yang perlu diketahui besar risiko pasar atas
posisi tersebut. Nilai VaR diperoleh dengan mengalikan posisi portofolio
dengan sensitivitas dan volatilitas faktor pasar yang relevan.
Salah satu kendala dalam mengukur risiko pasar adalah pada masa lalu
tidak ada satu ukuran yang seragam untuk mengukur risiko pasar untuk
masing-masing instrumen. VaR merupakan suatu pendekatan dalam
mengukur volatilitas dari nilai pasar aset bank. VaR dapat dinyatakan
dalam nilai absolut atau persentase dari nilai pasar. Sebagai contoh, VaR
sebesar Rp.10 miliar atau VaR sebesar 2,5% dari portofolio.
d. Pengendalian Risiko Pasar
Salah satu pendekatan dalam mengendalikan risiko pasar adalah dengan
menggunakan sistem limit. Dengan pendekatan ini, bank menetapkan
limit-limit dengan jumlah tertentu agar risiko pasar tetap terkendali sekaligus
dapat mengakomodasi kebutuhan bisnis unit dalam melakukan aktivitas
bisnis.
Pada prinsipnya limit tidak boleh dilanggar, namun demikian pada kondisi
tertentu pelanggaran limit tidak bisa dihindarkan. Apabila limit yang telah
ditetapkan tersebut dilanggar maka bank segera menyusun action plan untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Namun, apabila limit yang ditetapkan cukup
sering dilanggar maka bank perlu melakukan review besarnya limit agar sesuai
dengan perkembangan kebutuhan bisnis bank dan pasar.
1) Pengelolaan Limit
Seluruh aktivitas dan posisi trading book yang mengandung risiko pasar
dikendalikan dengan sistem limit. Limit risiko merupakan batasan untuk
mengendalikan risiko atas transaksi trading. Limit mencerminkan risk
appetite atau besarnya toleransi risiko pasar yang dapat diterima bank.
Jenis-Jenis Limit:
Jenis-jenis limit risiko yang terkait dengan pengelolaan trading book
mencakup tidak hanya limit risiko pasar, tetapi juga mencakup limit atas
risiko kredit yang timbul dalam aktivitas treasury. Jenis dan ukuran limit
ditetapkan sesuai dengan kompleksitas transaksi, volume transaksi, jenis
dan tingkat risiko yang dihadapi.
Beberapa limit risiko pasar yang umum digunakan bank, antara lain:
a) Limit Value at Risk (Limit VaR)
Limit VaR merupakan batasan potensi kerugian dari eksposur yang
dimiliki bank apabila ada sebagai posisi selama periode tertentu dan
tingkat keyakinan tertentu.
Limit VaR termasuk limit strategis karena menjadi dasar penetapan
limit-limit lain yang terkait dengan transaksi Treasury dalam kategori
Trading Book.
b) Limit Nominal (Limit dealer, limit Net Open Position/NOP)
Limit nominal ditujukan untuk membatasi jumlah posisi terbuka yang
diperbolehkan untuk dimiliki dalam periode waktu tertentu
c) Limit Cut Loss atau Limit Stop Loss
Limit Cut Loss adalah harga terendah (kerugian maksimum) yang
dapat diterima bank untuk setiap posisi terbuka yang dimiliki dalam
kategori trading book, yaitu dealer harus menutup posisi rugi tersebut.
Limit Cut Loss merupakan peringatan dini yang menunjukkan bank
telah menderita kerugian melampaui batas yang dapat diterima.
d) Limit Transaksi (Single Transaction Limit)
Limit transaksi adalah batas maksimum nominal per transaksi yang
boleh dilakukan oleh dealer.
e) Limit Periode Kepemilikan (Holding Period Limit)
Limit Periode Kepemilikan adalah batas maksimum kepemilikan atas
suatu instrumen keuangan yang termasuk dalam trading book.
f) Limit Jangka Waktu (Tenor Limit)
Limit Jangka Waktu atau Tenor Limit suatu transaksi instrumen
treasury pada umumnya tidak dibatasi, namun harus memerhatikan
tingkat likuiditas dari instrumen dimaksud.
g) Limit Stress Test
Limit Stress Test adalah batasan potensi kerugian atas eksposur yang
dimiliki bank berdasarkan skenario perubahan faktor pasar secara
ekstrim
2) Monitoring Pelaporan
Penggunaan limit yang telah ditetapkan harus dimonitor secara periodik
(harian, mingguan, bulanan dll.) tergantung kebutuhan. Aktivitas
memonitor limit akan berguna apakah terjadi pelanggaran limit atau limit
yang ditetapkan tidak dipergunakan secara optimal.
Dalam hal terjadi pelampauan limit maka bank harus segera melakukan
penyesuaian dan menutup pelampauan tersebut sehingga tidak
memengaruhi jumlah alokasi modal atas risiko yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Setiap pelampauan limit harus dapat diidentifikasi dengan segera dan
ditindaklanjuti dengan langkah yang tepat agar risiko dapat dikendalikan.
( )
( )
3. BANKING BOOK
Banking book adalah posisi atau portofolio bank yang tidak termasuk
kategori trading book, yaitu posisi AFS dan posisi HTM. Sebagai contoh, posisi
pembiayaan, posisi dana pihak ketiga, posisi portofolio yang dibeli dengan
maksud disimpan sampai jatuh tempo. Terhadap posisi AFS, bank perlu
melakukan proses penentuan harga pasar atau marked to market setiap hari.
Dengan proses tersebut maka akan terdapat laba atau rugi yang selanjutnya
dibukukan tidak pada posisi rugi laba bank, melainkan dibukukan langsung
pada akun ekuitas. Bagi bank yang memiliki portofolio AFS dalam jumlah
besar, laporan ekuitas bank akan berfluktuasi sebagai akibat proses marked to
market tersebut. Terhadap posisi HTM, bank mencatat pada harga pembelian,
dan tidak perlu melakukan proses penentuan harga pasar atau marked to
market. Sebagai lembaga intermediary, bank mengumpulkan dana masyarakat
dan menyalurkan kredit maupun menginvestasikan dalam bentuk aset
keuangan seperti SUN, obligasi korporasi, SBI dan lainnya. Aktivitas yang
dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan fungsi intermediary keuangan
tersebut disebut aktivitas banking book. Posisi banking book mengakibatkan
bank memiliki eksposur kepada risiko suku bunga, risiko nilai tukar, maupun
risiko lain seperti risiko likuiditas, risiko kredit dan risiko operasional.
Pengelolaan risiko dan bisnis dalam aktivitas banking book dikenal sebagai
ALM (Assets & Liability Management).
Neraca sebuah bank memperlihatkan aset yang dimiliki dan kewajiban
bank serta kepemilikan/ekuitas dengan hubungan sebagai berikut:
Modal bank dapat dilihat pada neraca dan dicatat pada nilai buku sebagai
nilai Aset dikurangi dengan liabilities. Nilai pasar dari modal disebut dengan
Economic Value of Equity (EVE), biasanya berbeda dengan nilai buku.
Perbedaan nilai buku dari modal dan nilai pasarnya dapat dilihat dari PBV
(Price to Book Value). Suatu bank (yang sudah tercatat pada pasar modal)
dengan PBV = 2, artinya mempunyai nilai pasar dua kali nilai bukunya.
Risiko pasar pada posisi banking book adalah potensi kerugian dari posisi
banking book terutama akibat:
Perubahan suku bunga pasar menimbulkan potensi risiko penurunan
pendapatan bunga bersih dan penurunan nilai ekonomis dari modal.
Perubahan nilai tukar dapat memicu potensi kerugian akibat bank
memiliki posisi terbuka dalam valuta asing, baik posisi long atau posisi
short.
Risiko suku bunga adalah potensi penurunan pendapatan bunga bersih
(NII), atau potensi penurunan nilai ekonomi dari modal
sua tu bank (EVE), karena pengaruh perubahan tingkat suku bunga pasar.
Gap positif berarti RSA lebih besar dari RSL pada periode repricing
tersebut, atau aset lebih cepat dilakukan reprice dibandingkan dengan
liabilities. Gap negatif berarti RSL lebih besar dari RSA, atau aset lebih
lambat dilakukan reprice dibandingkan dengan liabilities. Gap kumulatif.
adalah akumulasi nilai gap pada periode tersebut dan periode sebelumnya.
Gap yang dihasilkan dari perhitungan di atas apabila dikalikan dengan
perubahan suku bunga yang diasumsikan, menghasilkan nilai estimasi
perubahan pendapatan suku bunga bersih, NII (net interest income).
Dampak dari risiko suku bunga terhadap aktivitas banking book
diukur dari penurunan pendapatan suku bunga bersih, NII.
Assets Liabilities
KPR Fixed rate 5 tahun @9% 100 DPK biaya bunga 6% 90
Modal 10
Total 100 100
Pada contoh ini, apabila bunga pasar naik 1% maka bunga pada posisi KPR
tidak dapat disesuaikan karena sifat bunga tetap selama 5 tahun. Namun
demikian, dana pihak ketiga karena bersifat floating, perlu disesuaikan
sesuai harga pasar, misalnya menjadi 7%.
Dengan demikian, NIM baru menjadi 9% - 7% = 2%
Terlihat bahwa karena bank mempunyai repricing gap negatif maka
apabila bunga pasar naik, NIM akan menurun dari 3% menjadi 2%.
2) Duration Gap
Pada unsur neraca dapat dihitung satu atribut yang disebut dengan
modified duration (MD). MD merupakan sensitivitas dari nilai pasar posisi
aktiva pasiva terhadap perubahan satu satuan suku bunga pasar. Sebagai
contoh, apabila posisi KPR mempunyai MD = 5 maka apabila bunga pasar
naik 1%, nilai pasar dari KPR akan turun kurang lebih sebesar 5%. Apabila
posisi dana pihak ketiga mempunyai MD = 2 maka apabila bunga pasar
naik 1%, nilai pasar dari KPR akan turun kurang lebih sebesar 2%.
Dengan demikian, apabila suku bunga pasar naik 1%, maka nilai pasar KPR
akan turun 5% atau Rp 5 miliar sehingga nilai pasar KPR menjadi Rp.95
miliar. Demikian juga nilai DPK akan turun 2% atau Rp.1,8 miliar sehingga
nilai pasar KPR menjadi Rp88,2 miliar.
Neraca bank akan menjadi sebagai berikut:
Assets Liabilities
KPR Fixed rate 5 tahun @9% 95 DPK biaya bunga 6% 88,2
Modal 6,8
Total 95 95,0
Dengan demikian, terlihat bahwa karena bank mempunyai duration gap
positif maka apabila bunga pasar naik, nilai pasar modal akan menurun
dari Rp.10 miliar menjadi Rp6,8 miliar.
1. RISIKO LIKUIDITAS
Risiko likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan bank untuk
memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas,
dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa
mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
Risiko likuiditas disebabkan oleh adanya transaksi finansial atau
komitmen. Oleh sebab itu, bank harus mengidentifikasi setiap transaksi
finansial yang mempunyai implikasi terhadap likuiditas bank dan mengelola
kondisi likuiditas secara hati-hati.
Pengelolaan risiko likuiditas merupakan salah satu aktivitas terpenting
yang dilaksanakan bank. Kekurangan likuiditas pada satu bank selain
berdampak pada bank tersebut dapat pula menimbulkan efek lebih luas pada
sistem perbankan secara keseluruhan. Oleh sebab itu, dalam pengelolaan risiko
likuiditas diperlukan penerapan strategi yang tepat dan pengawasan yang
efektif yang diimplementasikan melalui proses-proses yang sudah dilakukan
validasi dalam pengukuran risiko likuiditas.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan timbulnya kebutuhan li kuiditas
secara tak terduga antara lain seperti penurunan reputasi atau rating bank dan
kondisi ekonomi yang menurun.
2. PENGUKURAN RISIKO LIKUIDITAS
Metode pengukuran Risiko Likuiditas dibagi menjadi beberapa kategori
sebagai berikut:
a. Pengukuran berdasarkan ukuran nominal (Stock Based)
Metode pengukuran stock based menggunakan berbagai macam rasio
keuangan sebagai indikator tingkat risiko likuiditas, antara lain:
Rasio ini mengukur besar aset likuid dibandingkan dengan total asset
bank.
Aset likuid primer adalah aset sangat likuid yang terdiri dari kas, surat
berharga Bank Indonesia, obligasi pemerintah jangka pendek dan likuid.
Aset likuid sekunder adalah aset yang kurang likuid seperti:
Obligasi pemerintah kategori AFS jangka panjang 1–5 tahun dan likuid,
atau kategori HTM jangka pendek dibawah satu tahun.
Obligasi pemerintah kategori trading dengan jangka waktu lebih dari 5
tahun, dengan haircut 25%.
Rasio ini mengukur jumlah aset likuid dibandingkan dengan sumber dana
jangka pendek. Rasio di atas 100% dinilai memadai. Pendanaan jangka
pendek adalah DPK jangka waktu di bawah setahun, giro, dan tabungan.
Pendanaan non inti adalah pendanaan yang dinilai tidak stabil seperti:
dana relatif besar di atas Rp.2 miliar, transaksi antarbank, dan pinjaman
dari bank lain.
Pendanaan non inti jangka pendek adalah yang mempunyai jangka waktu
di bawah satu tahun
Total pendanaan adalah seluruh dana pihak ketiga dan pinjaman dari pihak
lain
Beberapa alasan yang relevan bahwa bank saat ini sudah menerapkan
manajemen risiko yang lebih komprehensif antara lain adalah:
Bank dituntut menerapkan manajemen risiko operasional yang lebih
sensitif terhadap risiko. Dengan demikian, bank mampu secara dini
mendeteksi berbagai risiko operasional yang berpotensi menimbulkan
kerugian.
Regulator menuntut bank mengelola risiko operasional bank dari waktu ke
waktu secara proaktif.
Para pemegang saham bank berekspektasi agar bank mampu
meningkatkan nilai secara kontinyu. Untuk ini, bank dituntut mampu
mengelola risiko operasional dengan baik.
Prioritas mengatasi risiko atas risiko di atas dapat dilihat pada heat map
sebagai berikut (warna hijau [garis horizontal] adalah daerah aman, warna
merah [garis vertical] daerah prioritas):
Bank dianjurkan untuk menggunakan cara yang lebih baik atas dasar profil
risiko dari bank dan kemampuan melaksanakan manajemen risiko dari bank.
BAB VIII
LEGAL RISK PROFILE
Risiko hukum adalah risiko yang timbul akibata tuntutan hukum dan/atau
kelemahan aspek yuridis. Risiko ini timbul antara lain karena adanya ketiadaan
peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan pengikatan,
seperti tidak dipenuhinya syarat sah kontrak atau agunan yang tidak memadai.
Dalam menilai risiko inheren atau risiko hukum, parameter/indikator
yang digunakan adalah:
Faktor Litigasi
Faktor Kelemahan Pengikatan
Faktor Ketiadaan Peraturan Perundang-undangan
1. FAKTOR LITIGASI
Litigasi dapat terjadi karena adanya gugatan atau tuntutan dari pihak
ketiga kepada bank atau tuntutan yang diajukan pada kepada pihak ketiga
bailk melalui pengadilan maupun luar pengadilan. Gugatan dan tuntutan
tersebut pada dasarnya berpotensi menimbulkan biaya yang dapat merugikan
bank.
Faktor litigasi meliputi:
Besar nominal gugatan yang diajukan atas estimasi kerugian yang dapat
dialami oleh bank dibandingkan dengan jumlah modal bank.
Besar kerugian bank akibat putusan pengandilan yang sudah memiliki
kekuatan hukum yang tetap dibandingkan dengan jumlah modal bank.
Dasar gugatan yang terjadi dan pihak yang menggugat bank serta tindakan
hukum yang diambil oleh bank.
Kemungkinan timbulnya gugatan serupa karena bank memiliki standar
penjanjian yang seragam dan estimasi kerugian dibandingkan dengan
jumlah modal bank.
Risiko kepatuhan adalah risiko yang timbul akibat bank tidak mematuhi
dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan
yang berlaku. Sumber risiko kepatuhan antara lain timbul karena perilaku
hukum maupun perilaku organisasi terhadap ketentuan maupun etika bisnsi
yang berlaku.
1. KEPATUHAN PADA PERATURAN YANG BERLAKU
Kepentingan masyarakat senatiasa perlu dilindungi, bisnis perbankan
banyak dikendalikan oleh berbbagai peraturan dan regulasi, khusunya
Peraturan Bank Indonesia (BI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI), atau
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Syariah (POJK).
Peraturan perbankan termasuk mangantur siapa atau pihak manan saja
yang diperkenankan memiliki bank, siapa yang diperbolehkan menjadi
pengurus atau manajemen bank, berapa maksimum pinjaman yang daapat
diberikan pada satu nasabah atau group nasabah tertentu, berapa modal
minimum yang wajib dimiliki bank, di mana saja bank dapat membuka kantor
cabang, produk dan jasa apa yang diperkenankan dipasarkan oleh bank, dan
berbagai aspek operasional perbankan lainnya.
Direksi bank bertanggung jawab untuk menetapkan kebijakan dan
mengendalikan operasional bank sehingga bank senantiasa patuh pada
ketentuan yang berlaku, baik ketentuan internal maupun ketentuan eksternal.
Agar dapat melaksanakan hal ini, Direksi wajib memahami kerangka kebijakan
dan peraturan perbankan yang berlaku.
Selain patuh pada peraturan yang berlaku, manajemen bank harus paham
mengenai kondisi keuangan bank. Untuk menjaga risiko kerugian, bank
menetapkan berbagai sistem limit untuk menjaga agar besar kerugian tidak
melebihi sesuai toleransi risiko yang ditetapkan. Bank harus secara periodik
memeriksa kinerja keuangan untuk memastikan bahwa kebijakan yang
ditetapkan dipenuhi.
Monitoring kondisi bank dapat dilakukan melalui wawancara degan
pejabat bank, hasil audit baik internal maupun eksternal, pelaksanaan
pencapaian anggaran bank dan melalui laporan keuangan bank. Sumber data
tersebut dapat digunakan untuk menilai efektivitas kontrol internal bank,
identifikasi kelemahan di mana kualitas kontrol harus ditingkatkan, dan
menilai kualitas keuangan bank.
2. PENILAIAN RISIKO INHEREN-RISIKO KEPATUHAN
Dalam menilai risiko inheren atas risiko kepatuhan, parameter/indikator
yang digunakan adalah
a. Jenis dan Siginifikansi Pelanggaran yang Dilakukan
Cakupan pelanggaran merupakan pelanggaran terhadap ketentuan yang
berlaku dan komitmen kepada Otoritas Jasa Keuangan termasuk sanksi yang
dikenakan atas pelanggaran yang dilakukan oleh bank
Parameter yang dinilai adalah:
1) Jenis pelanggrana atau ketidakpatuhan yang dilakukan oleh bank
2) Jenis pelanggran atau ketidakpatuhan yang dilakukan oleh bank baik
berdasarkan temuan audit maupun otoritas.
3) Jumlah sanksi denda kewajiban membayar yang dikenakan kepada bank
dari otoritas
Return on Asset
2. RISIKO INVESTASI
a. Komposisi dan Tingkat Kosentrasi Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil
( )
b. Limit
Dalam rangka pengendalian risiko, limit digunakan sebagai ambang batas
untuk menemukan tingkat intensitas mitigasi risiko yang akan dilaksanakan
manajemen.
Limit risiko ditentukan sesuai dengan tingkat risiko yang akan diambil ,
toleransi risiko dan strategi bank secara keseluruhan, memperhatikan
kemampuan modal bank untuk dapat menyerap eksposur risko atau kerugian
yang timbul, pengalama kerugian di masa lalu, kemampuan sumber daya
manusia, dan kepetuhan terhadap ketentuan eksternal yang berlaku.
Limit harus diapahmi setiap pihal dan dikomunikasikan dengan baik
termasuk apabila terjadi perubahan.
Penetapan limit risiko mencakup:
Limit secara keseluruhan
Limit per jenis risiko; dan
Limit per aktivitas fungsionaltertentu yang memiliki eksposur risiko.
c. Pemantauan Risiko
Pemantauan dilakukan terhadap besarnya eksposur risiko, toleransi risko,
kepatuhan limit internal, hasil stress testing, beserta konsistensi pelaksanaan
dengan kebijakan dan prosedur yang ditetapkan.
Pemantauan dilakukan baik oleh unti pelaksana maupun oleh satuan kerja
manajemen risiko. Hasil pemantauan disajikan dalam bentuk laporan berkala
yang disampaikan kepada manajemen dalam rangka mitigasi risiko dan
tindakan yang diperlukan.
d. Pengendalian Risiko
Pengendalian risiko disesuaikan dengan eksposur risiko mapun tingkat
risiko yang akan diambil dan toleransi risiko. Pengendalian risiko dapat
dilakukan antara lain dengan cara mekanisme lindung nilai, penerbitan garansi
bank, sekuritisasi aset, credit derivative, serta penambhan modal bank untuk
menyerap potensi kerugian.
Sebagai contoh, apabila nilai risko inheren 3 (moderat) dan hasil penilaian
implementasi manajemen risiko adalah 2 (satisfactory), maka nilai komposit
adalah 2.
Sebagai contoh, apabila nilai rating profil risiko net adalah 2, maka kebutuhan
penyediaan modal minimum berkisar dari 9% sampai 10% tergantung dari
hasil pembulatan.
BAB XIII
GOOD CORPORATE GOVERNANCE
b. Tahap implementasi
Setelah perusahaan memiliki Good Corporate Governnace manual, langkah
selanjutnya adalah memulai implementasi di perusahaan. Tahap ini terdiri atas
3 langkah utama yaitu:
1) Sosialiasi, diperlukan untuk memperkenalkan kepada seluruh perusahaan
sebagai aspek yang terkait dengan implementasi Good Corporate
Governace khususnya mengenai pedoman penerapan Good Corporate
Governace.
2) Implementasi, yaitu kegiatan yang dilakukan sejalan dengan pedoman
Good Corporate Governace yang ada, berdasarkan roadmap yang telah
disusun.
3) Internalisasi, yaitu tahap jangka panjang dalam implementasi.
Internalisasi mencangkup upaya-upaya untuk memperkenalkan Good
Corporate Governance di dalam seluruh proses bisnis perusahaan kerja,
dan berbagai peraturan perusahaan.
c. Tahap evaluasi
Tahap evaluasi adalah tahap yang perlu dilakukan secara terartur dari
waktu kewaktu untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan Good
Corporate Governance telah dilakukan dengan meminta pihak independen
melakukan audit implementasi dan scoring atas praktik Good Corporate
Governance yang ada. Evaluasi dapat membantu perusahaan memetakan
kembali kondisi dan situasi serta capaian perusahaan dalam implementasi
Good Corporate Governance sehingga dapat mengupayakan perbaikan-
perbaikan yang perlu berdasarkan rekomendasi yang diberikan.
4. PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang
pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah disebutkan bahwa Bank wajib melaksanakan prinsip-prinsip
Good Corporate Governance dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh
tingkat atau jenjang organisasi. Pelaksanaan prinsip-prinsip Good Corporate
Governance oleh sebuah bank dibagi dalam dua golongan Yaitu Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Dalam pelaksanaan GCG bagi BUS paling kurang harus diwujudkan dalam:
1) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi;
2) Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang
menjalankan fungsi pengadilan intern Bank Umum Syariah;
3) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah;
4) Penerapan fungsi kepatuhan, audit intern dan audit ekstren;
5) Batas maksimum penyaluran dana; dan
6) Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan BUS;
( )
( )