Anda di halaman 1dari 130

Toto Sukarnoto, M.E.

H. Tardjono, MM

Islamic
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan hidayah-
Nya sehingga buku ajar ini dapat direalisasikan sebagai upaya untuk
melengkapi kewajiban dosen dalam pembelajaran agar lebih efektif.
Buku ini disusun berdasarkan kegiatan belajar mengajar Mata kuliah
Manajemen Risiko Bank Syariah yang wajib harus dipelajari mahasiswa
perbankan syariah pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam. Oleh sebab itu,
Buku Ajar Manajemen Risiko Bank Syariah ini merupakan buku teks penting
yang dibutuhkan oleh mahasiswa.
Buku ini memberikan penjelasan tentang kegiatan dan mekanisme
Manajemen Risiko Bank Syariah, juga dilengkapi berbagai argumentasi
berbagai aktifitas Manajemen Risiko Bank Syariah. Penulisan buku ini ingin
memberikan sumbangan pemikiran tentang Manajemen Risiko Bank Syariah
kepada masyarakat umum serta mahasiswa khususnya.
Sebagai penutup, penyusunan buku ini tentu masih banyak
kekurangannya, diharapkan masukan dan kritif konstruktif untuk perbaikan
penulisan selanjutnya. Pada akhirnya penulis ucapkkan terima kasih dan
penghargaan kepada Rektor Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon yang
telah mendorong dan memfasilitasi terbitnya buku ini

Cirebon, Mei 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
BAB I OVERVIEW MANAJEMEN RISIKO
1. Tujuan Perusahaan
2. Definisi Risiko
3. Jenis Risiko
4. Manfaat Manajemen Risiko
5. Arsitektur Perbankan Indonesia
6. Identifikasi Risiko
7. Pengukuran Risiko
8. Pemantauan Risiko
9. Pengendalian Risiko
BAB II RISK MANAGEMENT IMPLEMENTATION
1. Tata Kelola Sistem Manajemen Risiko
2. Kerangka Sistem Manajemen Risiko
3. Proses Manajemen Risiko
4. Pengendalian Intern dalam Penerapan Manajemen Risiko
5. ERM dan Value Based Strategic Planning
6. Sistem Manajemen Risiko
BAB III BANKING REGULATION AND RISK MANAGEMENT
1. Fungsi Modal Bank
2. Basel I Tahun 1988
3. Amendment Basel 1 tahun 1996
4. Basel II Tahun 2004
5. Perbandingan Basel I dan II
6. Basel 2.5
7. Introduction Basel III
8. Peraturan bank Indonesia
BAB IV CREDIT RISK
1. Kategori Kredit
2. Proses Manajemen Risiko Kredit
3. Proses Perkreditan
4. Manajemen Kredit Bermasalah
5. Perhitungan Kecukupan Modal untuk Menutup Risiko
Kredit
BAB V MARKET RISK
1. Pemahaman Risiko Pasar
2. Trading Book
3. Banking Book
BAB VI LIQUIDITY RISK
1. Risiko Likuiditas
2. Pengukuran Risiko Likuiditas
3. Pengendalian Risiko Likuiditas
BAB VII OPERATION RISK
1. Pemahaman Risiko Operasional
2. Pengukuran Risiko Operasional
3. Pengendalian Risiko Operasional
4. Perhitungan Kebutuhan Modal Risiko Operasional
BAB VIII LEGAL RISK PROFILE
1. Faktor Litigasi
2. Faktor Kelemahan Pengikatan
3. Faktor Sistem Perundangan Tidak Tersedia atau Terjadi
Perubahan
4. Referensi Risiko Inheren Hukum yang Dinilai Rendah
BAB IX STRATEGIC RISK PROFILE
1. Kesesuaian Strategi dengan Kondisi Lingkungan Bisnis
2. Strategi Berisiko Tinggi dan Strategi Berisiko Rendah
3. Posisi Bisnis Bank
4. Pencapaian Rencana Bisnis Bank (RBB) dan Referensi
Risiko Inheren Strategik yang Dinilai Rendah
BAB X REPUTATION AND COMPLIANCE RISK PROFILE
1. Kepatuhan pada Peraturan yang Berlaku
2. Penilaian Risiko Inheren-Risiko Kepatuhan
3. Risiko Reputasi
BAB XI RETURN AND INVESTMENT RISK PROFILE
1. Risiko Imbal Hasil
2. Risiko Investasi
BAB XII ASSESMENT OF THE QUALITY OF RISK MANAGEMENT SYSTEM
IMPLEMENTATION
1. Tata Kelola Risiko
2. Kerangka Manajemen Risiko
3. Proses Manajemen Risiko, SDM dan Sistem Informasi
Manajemen
4. Kecukupan Sistem Pengendalian Risiko
5. Penilaian Kualitas Penerapan Manajemen Risiko
6. Penilaian Profil Risiko Komposit (Net-Risk Rating)
BAB XIII GOOD CORPORATE GOVERNANCE
1. Ruang Lingkup Good Corporate Governance
2. Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance
3. Tahap-Tahap Penerapan Good Corporate Governance
4. Pelaksanaan Good Corporate Governance
5. Dasar Hukum Good Corporate Governance
BAB XIV RENTABILITAS (EARNING)
1. Gross Profit Margin
2. Net Profit Margin
3. Return on Equity
4. Return on Asset
5. Rasio Efisiensi Kegiatan Operasional (REO)
6. Income of Gross Asset
7. Deverifikasi Pendapatan (DP)
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
OVERVIEW MANAJEMEN RISIKO

1. TUJUAN PERUSAHAAN
Perusahaan, termasuk bank, didirikan dengan berbagai macam tujuan
seperti menjadi agen pembangunan, memberikan pelayanan yang baik pada
masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi dan memenuhi harapan para
pemangku kepentingan termasuk pemerintah, regulator, pegawai, masyarakat,
dan lain sebagainya. Namun, tujuan pokok dari perusahaan termasuk bank
adalah memberikan nilai tambah dan meningkatkan kekayaan pemegang
saham. Pemilik modal mempunyai pilihan bagaimana cara menempatkan uang
mereka dan mengharapkan imbal hasil atas modal sesuai risiko yang
ditanggung. Untuk menilai kinerja dari manajemen dalam upaya menghasilkan
imbal hasil bagi pemegang saham digunakan berbagai ukuran kinerja. Ukuran
kinerja operasional bank yang banyak digunakan selama ini antara lain
perolehan laba bersih, pertumbuhan aset, Return On Asset (ROA), Return On
Equity (ROE), belum sepenuhnya mempertimbangkan risiko yang dihadapi
atas produk atau transaksi bank, khususnya untuk masa yang akan datang.
Sebagai contoh, laba bersih pada perkiraan rugi laba, sudah memperhitungkan
cadangan piutang macet, namun belum memperhitungkan biaya risiko atau
modal yang diperlukan untuk melakukan aktivitas bank.
Dalam upaya mencapai tujuan menciptakan nilai tambah bagi bank, paling
tidak diperlukan empat komponen utama yang harus dikelola bank, yaitu:
a. Meningkatkan inovasi produk dan jasa bank, seperti fitur electronic
banking delivery channels untuk menangkap segmen pasar yang belum
tergarap, atau memperluas pasar yang sudah ada. Produk yang inovatif
diperlukan agar bank senantiasa dapat eksis, memenangkan persaingan
dan meningkatkan pertumbuhan usaha dari waktu ke waktu.
b. Kelompok pemasaran yang agresif untuk meningkatkan penjualan dan
market share, baik dengan membuka pasar baru, atau intensifikasi pasar
yang sudah ada. Pemasaran perlu dilakukan secara horizontal dengan
memperluas pasar dan melakukan cross sell dengan unit kerja lain di bank,
ataupun secara vertikal dengan meningkatkan penetrasi dari pasar yang
sudah dikuasai.
c. Tersedia kebijakan dan prosedur yang lengkap dan isinya sesuai praktik
terbaik untuk dijadikan alat melaksanakan prinsip kehati-hatian,
khususnya dalam upaya meningkatkan pertumbuhan aktiva produktif yang
dilakukan kelompok bisnis, serta memastikan seluruh jajaran memahami
keseluruhan kebijakan dan standar prosedur bank, dan mematuhi
keseluruhan aturan yang berlaku, dan melakukan proses kontrol internal
untuk memastikan bahwa seluruh organ kerja bank sudah melakukan
fungsi masing-masing sesuai ketentuan yang berlaku.
d. Sistem manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) yang andal dan bersaing
untuk memastikan kecukupan jumlah serta kualitas SDM yang diperlukan
untuk melaksanakan fungsi aktivitas perbankan, memiliki sistem jenjang
karier yang jelas, sistem remunerasi yang bersaing, lingkungan kerja yang
menyenangkan, dan program suksesi untuk menjaga kesinambungan
kebutuhan SDM.
e. Mempunyai infrastruktur yang lengkap, termasuk manajemen data sistem
informasi manajemen yang dapat memberikan informasi berupa laporan
yang konsisten dan relevan untuk pihak eksternal maupun internal secara
tepat waktu dan akurat.

Berdasarkan hal tersebut bahwa manajemen risiko merupakan bagian dari


strategi keseluruhan bank dalam mencapai tujuan bank menciptakan nilai
tambah, bekerja sama dengan unit bisnis. Keempat elemen yaitu unit bisnis,
manajemen risiko, unit kepatuhan, dan unit audit mempunyai peran
masing-masing, dan sama penting dalam pencapaian tujuan. Kalau unit bisnis
berada di garda depan maka unit risk management merupakan pertahanan
lapis kedua dan unit kepatuhan serta internal control merupakan pertahanan
lapis ketiga untuk menjaga agar risiko dapat dikendalikan dengan baik.

Strategi operasional bank juga dapat dilihat dari upaya mencapai


keseimbangan antara:
a. Pertumbuhan bisnis dan pencapaian market share.
b. Meningkatkan efisiensi operasional perbankan.
c. Implementasi risk management yang berorientasi bisnis.

Upaya meningkatkan pertumbuhan bisnis, bank perlu meningkatkan


inovasi produk dan jasa untuk dapat mendorong pemasaran produk dan jasa
tersebut pada berbagai segmen sesuai dengan rencana kerjanya.
Efisiensi menyangkut upaya menurunkan biaya operasional. Dalam
menjalankan usaha, bank memerlukan berbagai biaya, antara lain biaya bunga
dan biaya overhead. Biaya bunga yang dibayarkan bank kepada para nasabah
atau kreditur sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga yang berlaku di
pasar. Sementara, biaya overhead pada umumnya berupa biaya administrasi
dan umum, dapat dikendalikan oleh bank. Berdasarkan hal itu maka bank
harus mencari berbagai alternatif untuk mengendalikan atau meningkatkan
efisiensi biaya overhead agar bank dapat beroperasi secara efisien sehingga
dapat meningkatkan daya saing berkompetisi di pasar.
Tujuan meningkatkan pertumbuhan bisnis, meningkatkan efisiensi dan
pengelolaan risiko pada umumnya tidak sejalan. Sebagai contoh, agar volume
kredit lebih cepat tumbuh maka proses kredit harus dipercepat atau standar
prudential pemberian kredit dilonggarkan sehingga hal ini cenderung
meningkatkan risiko kredit. Apabila jumlah analisis kredit ditambah maka
biaya proses pemberian kredit menjadi lebih mahal dan efisiensi menurun.
Sebaliknya, apabila bank terlalu pruden dalam proses kredit maka risiko kredit
dapat terjaga, namun proses kredit cenderung menjadi lama dan nasabah
dapat berpindah ke bank lain sehingga target pertumbuhan bisnis terganggu.
Untuk mencapai tujuan usaha, bank perlu mencari keseimbangan yang
optimal antara bisnis, operasional, dan manajemen risiko. Bank perlu
mempunyai unit bisnis yang berorientasi risiko dan mempunyai unit
manajemen risiko yang berorientasi bisnis. Pengelolaan risiko penting agar
bank tidak terperangkap pada berbagai bisnis yang secara teoritis atau secara
historis dapat memberikan keuntungan atau marjin yang tinggi, namun risiko
terkait juga tinggi. Bank seringkali tidak menyadari bahwa keuntungan besar
yang diperoleh di masa lampau memiliki risiko tinggi, namun secara kebetulan
kondisi yang terjadi di pasar sesuai dengan yang diharapkan bank sehingga
risiko tersebut tidak menjadi kenyataan.

2. DEFINISI RISIKO
Menurut Bank Indonesia, risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya
suatu peristiwa (events) tertentu. Risiko dalam konteks perbankan merupakan
suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (expected) maupun
yang tidak dapat diperkirakan (unexpected) yang berdampak negatif terhadap
pendapatan dan permodalan bank.
Risiko yang sudah diperkirakan atau expected loss sudah diperhitungkan
sebagai bagian dari biaya untuk menjalankan bisnis. Yang disebut risiko yang
memerlukan modal untuk menutup risiko tersebut adalah apabila kerugian
yang terjadi melebihi atau menyimpang ekspektasi tersebut, yaitu risiko yang
tidak dapat diperkirakan (unexpected loss).
Risiko juga dapat dianggap sebagai kendala/penghambat pencapaian suatu
tujuan. Dengan kata lain, risiko adalah kemungkinan yang berpotensi
memberikan dampak negatif kepada sasaran yang ingin dicapai. Dalam upaya
menerapkan manajemen risiko, bank harus dapat meng identifikasi risiko dan
memahami seluruh risiko yang melekat (inherent risks), termasuk risiko yang
bersumber dari aktivitas cabang-cabang dan perusahaan anak.
3. JENIS RISIKO
Mengacu pada ketentuan Bank Indonesia PBI No. 5/8/PBI/2003 dan
perubahannya No. 11/25/PBI/2009 tentang penerapan manajemen risiko bagi
bank umum, terdapat delapan risiko yang harus dikelola bank. Kedelapan jenis
risiko tersebut adalah risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko
likuiditas, risiko kepatuhan, risiko hukum, risiko reputasi, dan risiko strategis.
Setiap aktivitas atau produk bank paling tidak mengandung satu jenis
risiko atau lebih. Oleh karena itu, untuk menghindarkan potensi kerugian, bank
perlu melakukan pengelolaan atas risiko tersebut.
Manajemen risiko pada hakikatnya merupakan serangkaian metodologi
dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, melakukan
mitigasi, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh
kegiatan usaha bank. Manajemen risiko merupakan upaya untuk mengelola
risiko agar peluang mendapatkan keuntungan dapat diwujudkan secara
berkesinambungan (sustainable) karena risiko terhadap aktivitas bank sudah
diperhitungkan.
Bank Indonesia menyatakan bahwa esensi dari penerapan manajemen
risiko adalah kecukupan prosedur dan metodologi pengelolaan risiko sehingga
kegiatan usaha bank tetap dapat terkendali (manageable) pada batas/limit
yang dapat diterima, serta memberikan keuntungan bagi bank sesuai dengan
tingkat risiko yang dapat diterima.
Mengingat perbedaan kondisi pasar, struktur, ukuran, serta kompleksitas
usaha bank maka tidak terdapat satu sistem manajemen risiko yang universal
untuk seluruh bank. Dengan demikian, setiap bank harus membangun sistem
manajemen risiko sesuai dengan fungsi dan kompleksitas bank, dan
menyediakan sistem organisasi manajemen risiko pada bank sesuai dengan
kebutuhan.
Berikut adalah penjelasan berbagai risiko sesuai definisi Bank Indonesia:
a. Risiko kredit
Risiko kredit adalah risiko kerugian akibat kegagalan pihak lawan
(counterparty) untuk memenuhi kewajibannya. Risiko kredit mencakup risiko
kredit akibat kegagalan debitur membayar kewajiban pada bank, risiko kredit
akibat kegagalan pihak lawan (counterparty credit risk) untuk memenuhi
kewajiban misalnya dalam perjanjian kontrak derivatif, dan risiko kredit akibat
kegagalan proses pembayaran (settlement risk) misalnya dalam perjanjian jual
beli valuta asing. Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas
fungsional bank, seperti aktivitas perkreditan dan aktivitas treasury. Pada
aktivitas treasury, misalnya bank membeli obligasi korporasi, melakukan
investasi dengan membeli surat berharga, melakukan pembiayaan
perdagangan (trade finance), baik yang tercatat dalam banking book maupun
dalam trading book.
Sebagai contoh, risiko kredit dapat timbul apabila: (1) bank memberikan
kredit pada nasabah; (2) bank menempatkan dana pada bank lain sebagai
penempatan antar bank (lihat artikel bank Indover pada box berikut; (3) bank
melakukan transaksi derivatif seperti kontrak berjangka forward atau swap
dengan nasabah atau dengan bank lain; (4) bank membeli surat berharga
korporasi.
b. Risiko Pasar
Risiko Pasar adalah risiko perubahan harga pasar pada posisi portofolio
dan rekening administratif, termasuk transaksi derivatif. Perubahan harga
terjadi akibat perubahan dari faktor pasar, termasuk risiko perubahan harga
option. Yang dimaksud dengan faktor pasar adalah nilai tukar, suku bunga,
harga saham, dan harga komoditas.
Sebagai contoh, risiko pasar dapat timbul apabila (1) bank membeli
obligasi negara dengan kupon tetap, ketika harga pasar obligasi akan turun
apabila suku bunga pasar meningkat; (2) bank membeli valuta USD, yang nilai
dalam valuta Rupiah akan menurun apabila nilai tukar USD melemah terhadap
Rupiah; (3) bank melakukan transaksi derivatif interest rate swap yang dapat
menimbulkan kewajiban derivatif bagi pihak counterparty; (4) bank
melakukan aktivitas trading atau jual beli surat berharga.
c. Risiko Likuiditas
Risiko Likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan bank memenuhi
kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari
aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu
aktivitas dan kondisi keuangan bank.
Risiko likuiditas dapat melekat pada aktivitas fungsional perkreditan
(penyediaan dana), aktivitas treasury dan investasi, dan kegiatan hubungan
koresponden dengan bank lain.
Sebagai contoh, (1) bank tidak mampu memenuhi penarikan kredit oleh
nasabah karena dana yang tersedia tidak mencukupi. (2) bank mengalami
kalah kliring dan tidak dapat memenuhi kekurangan dana di Bank Indonesia.
(3) bank tidak dapat memenuhi permintaan penarikan dana masyarakat yang
terjadi secara tiba-tiba. (4) bank tidak dapat memperoleh pinjaman dari bank
lain pada saat bank memerlukan likuiditas.
d. Risiko Operasional
Risiko operasional adalah risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak
berfungsinya proses internal akibat tidak adanya atau tidak berfungsinya
prosedur kerja, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya
kejadian-kejadian eksternal yang memengaruhi operasional Bank.
Risiko operasional dapat menimbulkan kerugian keuangan secara langsung
maupun tidak langsung dan menimbulkan potensi kesempatan yang hilang
untuk memperoleh keuntungan.
Sebagai contoh: (1) pemalsuan bilyet deposito oleh karyawan bank yang
kemudian dijadikan agunan kredit; (2) kesalahan posting uang masuk karena
pegawai yang ditunjuk kurang berpengalaman; (3) terjadi bencana alam
berupa banjir besar sehingga bank tidak dapat beroperasi secara normal; (4)
kejahatan keuangan seperti fraud yang sering dilakukan pihak luar
bekerjasama dengan pegawai bank
e. Risiko Hukum’
Risiko Hukum adalah risiko akibat kelalaian bank yang dapat menimbulkan
kelemahan dari aspek yuridis, dalam menghadapi tuntutan hukum dari pihak
lain. Penyebab risiko hukum antara lain, peraturan perundang-undangan yang
mendukung tidak tersedia, kelalaian bank dalam proses pengikatan agunan
sehingga perikatan seperti syarat keabsahan kontrak tidak kuat, pengikatan
agunan kredit yang tidak sempurna.
Sebagai contoh: (1) bank tidak dapat melakukan eksekusi agunan kredit
macet karena agunan tersebut tidak diikat secara sempurna, dan pemilik
agunan menolak upaya bank menjual agunan tersebut; (2) bank kesulitan
menagih kewajiban kredit nasabah, karena perjanjian kredit ditandatangani
oleh pejabat yang tidak berhak sesuai anggaran dasar perusahaan, dan
nasabah menggunakan kelemahan ini untuk tidak membayar kewajibannya
pada bank; (3) nasabah menuntut bank karena nasabah merasa membeli
produk bank yang tidak transparan, mengingat bank dinilai tidak menjelaskan
risiko dari produk tersebut
f. Risiko Reputasi
Risiko Reputasi adalah risiko suatu kejadian yang menimbulkan persepsi
negatif terhadap Bank, yang dapat mengakibatkan tingkat kepercayaan
stakeholder pada bank menurun.
Sebagai contoh: (1) penagihan kartu kredit bank dilakukan oleh pihak
ketiga yang tidak memperhatikan etika cara penagihan sehingga menurunkan
reputasi bank secara umum di mata masyarakat; (2) terjadi kerugian besar
pada bank akibat perbuatan fraud oleh pegawai bank sehingga nasabah
meragukan keamanan menyimpan dana di bank tersebut; (3) produk kartu
kredit banyak menjadi sasaran kejahatan keuangan sehingga reputasi bank
sebagai bank yang aman menjadi menurun, dan berpotensi memberikan
dampak menurunnya bisnis kartu kredit.
g. Risiko Strategik
Risiko strategik adalah risiko yang terjadi akibat ketidaktepatan dalam
pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik, serta kegagalan
dalam menyesuaikan dengan perubahan lingkungan bisnis.
Sebagai contoh: (1) bank mengikuti arus mengembangkan bisnis mikro,
padahal bank tersebut belum berpengalaman dalam bidang tersebut sehingga
bank mengalami banyak permasalahan; (2) bank memutuskan bersaing
dengan bank asing dengan meluncurkan bisnis produk terstruktur yang
kompleks, padahal bank belum memiliki infrastruktur yang memadai sehingga
bank mengalami kerugian; (3) bank memutuskan melakukan bisnis tertentu
yang ternyata kemudian mendatangkan kerugian besar pada bank.
h. Risiko Kepatuhan
Risiko kepatuhan adalah risiko yang terjadi akibat bank tidak mematuhi
dan/atau tidak melaksanakan ketentuan internal dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, seperti ketentuan Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum (KPMM), penilaian Kualitas Aktiva Produktif, Pembentukan
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN), Batas Maksimum Pemberian
Kredit (BMPK), ketentuan Posisi Devisa Neto (PDN), risiko strategik terkait
dengan ketentuan Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) bank, dan risiko
lain yang terkait dengan ketentuan tertentu.
Sebagai contoh: (1) bank tidak mengirimkan laporan harian wajib kepada
Bank Indonesia sehingga harus membayar denda; (2) bank melanggar
ketentuan limit posisi devisa netto dan mendapat teguran dan denda dari
regulator; (3) akibat terkena persaingan, bank tidak secara utuh mengikuti
prosedur seperti yang ditetapkan oleh regulator.

4. MANFAAT MANAJEMEN RISIKO


Sejalan dengan prinsip enam pilar API, khususnya pilar 4, penerapan
manajemen risiko pada perbankan menjadi sangat penting dalam menciptakan
industri perbankan yang sehat dan terintegrasi. Peranan manajemen risiko
sebagai partner dari unit bisnis dalam mencapai target usaha bank menjadi
semakin penting, dimana bisnis bank dijalankan dalam koridor risiko yang
tetap terkendali. Penerapan manajemen risiko yang tertib pada setiap bank
pada akhirnya akan membantu proses penciptaan industri perbankan yang
semakin sehat.
Lingkungan internal dan eksternal perbankan yang berkembang dengan
pesat disertai dengan risiko kegiatan usaha bank yang semakin kompleks,
menuntut bank menerapkan manajemen risiko secara disiplin dan konsisten.
Penerapan manajemen risiko pada bank berperan besar dalam upaya
meningkatkan share holder value melalui penerapan strategi bisnis berbasis
risiko. Manajemen risiko memberikan gambaran kepada pengelola bank
mengenai potensi kerugian di masa mendatang, serta memberikan informasi
untuk membuat keputusan yang tepat sehingga dapat membantu pengelola
bank untuk meningkatkan daya saing.
Bagi Bank Indonesia selaku otoritas pengawas bank, penerapan
manajemen risiko, akan mempermudah penilaian terhadap kemungkinan
kerugian yang dihadapi bank, yang selanjutnya dapat memengaruhi
permodalan bank. Modal merupakan faktor penting bagi bank untuk
melindungi kepentingan deposan, dan menjaga kepercayaan masyarakat
terhadap industri perbankan.

5. ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA


Perbankan Indonesia telah mengalami berbagai siklus ekonomi, baik yang
mendorong maupun yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Krisis
keuangan yang terjadi di Asia pada 1998 dan krisis global dengan di Eropa dan
Amerika yang terjadi pada 2011, merupakan suatu pengalaman yang sangat
berharga untuk memperbaiki industri perbankan agar lebih mempunyai daya
tahan pada kondisi krisis.
Bank Indonesia pada 9 Januari 2004 telah meluncurkan API sebagai suatu
kerangka menyeluruh arah kebijakan pengembangan industri perbankan
Indonesia ke depan. Peluncuran API tersebut tidak terlepas dari upaya
Pemerintah dan Bank Indonesia untuk membangun kembali perekonomian
Indonesia. API menetapkan 6 pilar sebagai program untuk menciptakan \
industri yang sehat. Enam pilar tersebut adalah (lihat diagram di bawah):
a. Menciptakan struktur perbankan yang sehat yang mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang
berkesinambungan. Program ini bertujuan memperkuat permodalan bank
umum (konvensional dan syariah) dalam rangka meningkatkan kemampuan
bank mengelola usaha maupun risiko, mengembangkan teknologi informasi,
maupun meningkatkan skala usaha untuk mendukung peningkatan kapasitas
pertumbuhan kredit. Implementasi program penguatan permodalan bank
dilaksanakan secara bertahap dengan membuat business plan yang
menjelaskan mengenai target waktu, cara dan tahap pencapaian yang
dilakukan melalui:
1) Penambahan modal baru baik dari pemegang saham lama mau pun
investor baru;
2) Merger dengan bank lain untuk mencapai persyaratan modal minimum
(KPMM);
3) Penerbitan saham baru atau right issue di pasar modal;
4) Penerbitan obligasi subordinasi sesuai ketentuan mengenai pengakuan
instrumen tersebut sebagai modal bank.
b. Menciptakan sistem pengaturan yang efektif dan mengacu pada standar
internasional.
Program ini bertujuan meningkatkan efektivitas pengaturan serta
memenuhi standar pengaturan yang mengacu pada international best practices.
Program tersebut dapat dicapai dengan penyempurnaan proses penyusunan
kebijakan perbankan secara bertahap dan menyeluruh. Ke depan diharapkan
regulator telah sejajar dengan negara-negara lain dalam penerapan
international best practices termasuk 25 Basel Core Principles for Effective
Banking Supervision. Dari sisi proses penyusunan kebijakan perbankan
regulator telah memiliki sistem penyusunan kebijakan perbankan yang efektif
yang telah melibatkan pihak-pihak terkait dalam proses penyusunannya.
c. Melaksanakan sistem pengawasan bank yang independen dan efektif guna
menjaga industri perbankan dari risiko sistemik.
Program ini bertujuan meningkatkan independensi dan efektivitas
pengawasan perbankan yang dilakukan oleh regulator. Hal ini dicapai dengan
peningkatan kompetensi pemeriksa bank, peningkatan koordinasi antar
lembaga pengawas, pengembangan pengawasan berbasis risiko, peningkatan
efektivitas enforcement, dan konsolidasi organisasi sektor perbankan di OJK.
Ke depan diharapkan fungsi pengawasan bank yang dilakukan oleh OJK akan
lebih efektif dan sejajar dengan pengawasan yang dilakukan oleh otoritas
pengawas di negara lain.
d. Menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang
tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko, dengan cara
menciptakan Good Corporate Governance dalam rangka memperkuat kondisi
internal perbankan nasional.
Program ini bertujuan meningkatkan Good Corporate Governance (GCG),
kualitas manajemen risiko dan kemampuan operasional manajemen. Standar
GCG yang tinggi dan didukung oleh kemampuan operasional (termasuk
manajemen risiko) yang andal diharapkan dapat meningkatkan kinerja
operasional perbankan, yang akan memperkuat kondisi internal perbankan
nasional.
e. Mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya
industri perbankan yang sehat.
Program ini bertujuan mengembangkan sarana pendukung operasional
perbankan yang efektif seperti biro kredit, lembaga pemeringkat kredit
domestik, dan pengembangan skim penjaminan kredit. Pengembangan biro
kredit akan membantu perbankan dalam meningkatkan kualitas keputusan
kreditnya. Penggunaan lembaga pemeringkat kredit dalam perdagangan
obligasi miliki bank akan meningkatkan transparansi dan efektivitas
manajemen keuangan perbankan. Sementara, pengembangan skim penjaminan
kredit akan meningkatkan akses kredit bagi masyarakat.
f. Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan
Program ini bertujuan memberdayakan nasabah melalui penetapan
standar penyusunan mekanisme pengaduan nasabah, pendirian lembaga
mediasi independen, peningkatan transparansi informasi produk perbankan
dan edukasi bagi nasabah. Program-program tersebut dapat meningkatkan
kepercayaan nasabah pada sistem perbankan.
Krisis finansial dunia yang terjadi mulai 2008 semakin menegaskan
perlunya penerapan manajemen risiko secara konsisten. Dibandingkan dengan
krisis finansial pada 1998, dalam menghadapi krisis tahun 2008 perbankan
Indonesia dinilai sudah lebih siap. Hal tersebut didukung oleh berbagai
perubahan regulasi dan pengawasan Bank Indonesia. Di samping itu,
kesadaran masyarakat semakin baik, tidak mudah panik dan tidak terpengaruh
oleh rumor sehingga kondisi perbankan semakin baik. Hal ini membuktikan
bahwa penerapan pilar-pilar API secara konsisten dan berkesinambungan
akan membuat perbankan menjadi lebih tangguh.

6. IDENTIFIKASI RISIKO
Proses identifikasi risiko dilakukan dengan menganalisis sumber risiko
dari seluruh aktivitas bank, minimal dilakukan terhadap risiko produk dan
aktivitas bank, serta memastikan bahwa risiko dari produk dan aktivitas baru
telah melalui proses manajemen risiko yang layak sebelum diperkenalkan atau
dijalankan.
Sebagai contoh, apabila bank memberikan kredit, risiko yang dapat terjadi
adalah kredit menjadi macet (risiko kredit). Apabila bank membeli surat
berharga berupa obligasi pemerintah maka harga obligasi dapat menurun
apabila suku bunga pasar meningkat (risiko suku bunga). Pegawai bank dapat
saja melakukan fraud (risiko operasional).
7. PENGUKURAN RISIKO
Pengukuran risiko digunakan untuk mengukur eksposur risiko bank
sebagai acuan untuk memutuskan apakah perlu dilakukan proses
pengendalian. Sistem pengukuran risiko minimal harus dapat mengukur:
a. Eksposur risiko secara keseluruhan maupun per risiko. Sebagai contoh,
total baki debet kredit, total posisi obligasi yang ada pada portofolio bank.
b. Seluruh risiko yang melekat pada seluruh transaksi serta produk
perbankan, termasuk produk dan aktivitas baru. Sebagai contoh, risiko kredit,
risiko suku bunga, risiko nilai tukar dsb.
c. Sensitivitas produk/aktivitas terhadap perubahan faktor-faktor risiko
yang memengaruhinya, baik dalam kondisi normal maupun tidak normal.
Sebagai contoh, berapa besar penurunan obligasi milik bank apabila suku
bunga pasar meningkat satu persen.
d. Kecenderungan perubahan faktor-faktor dimaksud berdasarkan fluktuasi
yang terjadi di masa lalu dengan memperhitungkan faktor korelasi (volatilitas).
Sebagai contoh, volatilitas nilai tukar Rupiah terhadap USD.
Metode pengukuran risiko dapat dilakukan secara kuantitatif dan/atau
kualitatif. Metode pengukuran tersebut harus dipahami secara jelas oleh
pegawai terkait dalam pengendalian risiko, antara lain manajer treasury, chief
dealer, komite manajemen risiko, satuan kerja manajemen risiko, dan Direktur
bidang terkait.
8. PEMANTAUAN RISIKO
Pemantauan risiko dilakukan terhadap besarnya eksposur risiko, toleransi
risiko, kepatuhan limit internal, dan hasil stress testing maupun konsistensi
pelaksanaan dengan kebijakan dan prosedur yang ditetapkan.
Pemantauan dilakukan baik oleh unit pelaksana maupun oleh satuan
kerja manajemen risiko. Hasil pemantauan disajikan dalam laporan berkala
terkait manajemen risiko yang disampaikan kepada manajemen dalam rangka
mempertimbangkan melakukan upaya mitigasi risiko dan tindakan yang
diperlukan.
9. PENGENDALIAN RISIKO
Pengendalian risiko adalah upaya untuk mengurangi atau menghilangkan
risiko, disesuaikan dengan eksposur risiko dan tingkat risiko yangakan diambil
dan toleransi risiko bank. Pengendalian risiko dapat dilakukan antara lain
dengan cara mekanisme lindung nilai, meminta garansi, melakukan
sekuritisasi aset, menggunakan credit derivatives, serta penambahan modal
bank untuk menyerap potensi kerugian.
BAB II
RISK MANAGEMENT IMPLEMENTATION, ERM AND RISK MANAGMENT SYSTEM

Penerapkan manajemen risiko secara efektif, baik untuk bank secara


individual maupun untuk bank secara konsolidasi dengan perusahaan anak,
bank melakukan minimal mencakup empat pilar, yaitu:
 Melaksanakan tata kelola manajemen risiko bank sesuai praktik terbaik.
 Menyediakan kerangka manajemen risiko bank yang memadai.
 Mengupayakan kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan,
dan pengendalian risiko serta menyediakan sistem informasi manajemen
risiko secara memadai, dan menyediakan sumber daya manusia yang
dibutuhkan baik secara kuantitas maupun kualifikasi sesuai kebutuhan.
 Melaksanakan sistem pengendalian intern secara menyeluruh.
1. TATA KELOLA SISTEM MANAJEMEN RISIKO
Prinsip tata kelola perusahaan bagi bank adalah seperangkat ketentuan
mengenai hubungan antara Dewan Komisaris, Dewan Direksi, seluruh pihak
yang memiliki kepentingan secara langsung atau tidak langsung terhadap
kegiatan usaha bank (stakeholders) dan pemegang saham perusahaan.
Dalam pelaksanaan tata kelola perusahaan, bank harus menerapkan
prinsip-prinsip keterbukaan, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi
dan kewajaran (PBI No.8/4/PBI/2006 dan penyempurnaan pada PBI
No.8/14/PBI/2006).
Tata kelola sistem manajemen risiko akan berjalan baik apabila bank
sudah menerapkan batas risiko yang direncanakan diambil (risk appetite) dan
toleransi risiko (risk tolerance), dan menerapkan pengawasan aktif dari Dewan
Komisaris, Dewan Direksi dan manajemen senior bank lainnya.
a. Struktur tata kelola Perusahaan
Struktur tata kelola perusahaan di bank dapat bervariasi bergantung pada
kebiasaan yang berlaku, batasan hukum dan perkembangan sejarah, dan
pengalaman tiap-tiap bank.
Meskipun tidak terdapat satu struktur yang ideal, terdapat isu-isu penting
yang harus diterapkan dalam rangka memastikan kecukupan checks and
balances yang terbangun dalam struktur, antara lain meliputi:
 Penetapan risk appetite dan toleransi risiko.
 Pengawasan aktif oleh Dewan Komisaris dan Direksi.
 Pengawasan oleh pihak yang tidak terlibat dalam menjalankan
operasional bisnis.
 Pengawasan langsung terhadap setiap aktivitas bisnis yang dilaksanakan
bank.
 Menyediakan fungsi manajemen risiko dan fungsi audit yang independen
terhadap fungsi bisnis.
 Melakukan proses ‘fit and proper’ terhadap personal kunci sesuai bidang
pekerjaannya.
 Membuat laporan berkala mengenai pelaksanaan GCG.
1) Risk Appetite dan Risk Tolerance
Tingkat risiko yang direncanakan akan diambil bank merupakan tingkat
dan jenis risiko yang bersedia diambil oleh bank dalam rangka mencapai
tujuan dan sasaran bank. Tingkat risiko yang akan diambil tercermin pada
strategi dan sasaran bisnis bank.
Toleransi risiko yang ditetapkan bank merupakan tingkat dan jenis risiko
yang maksimum dapat dikelola oleh bank. Toleransi risiko merupakan
penjabaran dari tingkat risiko yang akan diambil (risk appetite). Dalam
menyusun kebijakan manajemen risiko, Direksi harus memberikan arahan
yang jelas mengenai tingkat risiko yang akan diambil bank, dan besar dari
toleransi risiko bank.
Tingkat risiko yang akan diambil dan toleransi risiko harus diperhatikan
dalam penyusunan kebijakan manajemen risiko, termasuk dalam
penetapan limit. Dalam menetapkan toleransi risiko, bank perlu mem-
pertimbangkan strategi dan tujuan bisnis bank serta kemampuan bank
dalam mengambil risiko (risk bearing capacity), yang ditentukan oleh
jumlah modal yang dimiliki bank.
2) Pengawasan Aktif atas Implementasi Manajemen Risiko Dewan Komisaris
dan Direksi bertanggungjawab atas efektivitas penerapan manajemen
risiko di bank. Untuk itu Dewan Komisaris dan Direksi harus:
 Memahami risiko-risiko yang dihadapi bank.
 Memberikan arahan yang jelas atas rencana bisnis bank.
 Melakukan pengawasan dan mitigasi risiko secara aktif.
 Mengembangkan budaya manajemen risiko di bank.
 Memastikan tersedianya struktur organisasi yang memadai.
 Menetapkan tugas dan tanggung jawab yang jelas pada
masing-masing unit kerja.
 Memastikan kecukupan kuantitas dan kualitas SDM untuk
mendukung penerapan manajemen risiko secara efektif.
2. KERANGKA SISTEM MANAJEMEN RISIKO
Kerangka sistem manajemen risiko meliputi strategi pelaksanaan
manajemen risiko, sistem organisasi manajemen risiko, kecukupan kebijakan
dan prosedur khususnya terkait manajemen risiko, dan penetapan limit
dengan memerhatikan tingkat risk appetite.
a. Penetepan Tujuan Strategis dan Nilai-Nilai Perusahaan
Bank perlu menetapkan tujuan strategis dan kode etik perusahaan yang
jelas, dan mengomunikasikan kebijakan tersebut kepada seluruh jajaran
organisasi di bank, dan memastikan bahwa seluruh jajaran organisasi sudah
memahami tujuan yang ingin dicapai bank, dan mendukung rencana tersebut.
Bank yang tidak memiliki tujuan strategis akan menemui kesulitan dalam
mengelola aktivitas secara baik akibat adanya penggunaan sumber daya yang
tidak fokus.
Dengan menetapkan dan menerapkan kode etik perusahaan, bank akan
mampu menjalankan bisnis sesuai dengan nilai yang sudah ditetapkan secara
jelas. Nilai-nilai perusahaan harus diterapkan di seluruh unit yang ada di bank
termasuk Direksi. Sebagai contoh, larangan melakukan korupsi dan praktik
suap baik dalam lingkungan internal maupun eksternal. Nilai-nilai tersebut
harus mendorong terciptanya pelaporan permasalahan secara tepat waktu.
Nilai-nilai itu harus ditunjang oleh kebijakan untuk mencegah situasi yang
dapat memengaruhi keberhasilan pelaksanaan tata kelola perusahaan yang
baik.
Kebijakan yang jelas akan memperkuat nilai-nilai bank dalam mengatasi
situasi seperti ini. Direksi harus memastikan bahwa perusahaan memiliki
sistem dan proses untuk memonitor dan melaporkan kepatuhan terhadap
kebijakan tersebut.
b. Strategi Manajemen Risiko
Sistem kebijakan dan prosedur disusun untuk memastikan bahwa
eksposur risiko bank dapat dikendalikan dengan baik sesuai kebijakan dan
prosedur intern bank, serta mematuhi peraturan perundang-undangan dan
ketentuan lain yang berlaku
c. Wewenang dan Tanggung Jawab yang jelas
Agar pemantauan dan pengendalian aktivitas bank berjalan efektif, Direksi
harus menetapkan garis wewenang dan tanggung jawab yang jelas untuk
seluruh jajaran organisasi, termasuk juga tugas dan tanggung jawab Direksi
sendiri. Seluruh area aktivitas bisnis harus memiliki akuntabilitas yang jelas
untuk memastikan bahwa setiap masalah mendapat perhatian yang fokus dari
manajemen.
Apabila bank memiliki aturan tingkat kewenangan yang jelas, garis
akuntabilitas yang jelas, bank dapat menciptakan kondisi lingkungan yang
stabil untuk pengelolaan operasional bank sehari-hari, dan memungkinkan
melakukan proses pengambilan keputusan secara efektif dan efisien.
d. Organisasi Manajemen Risiko
Organisasi manajemen risiko wajib dibentuk pada level direksi dan pada
level komisaris yang disesuaikan dengan kompleksitas masing-masing bank
1) Organisasi Manajemen Risiko di bawah Dewan Komisaris
Organisasi manajemen risiko untuk membantu fungsi pengawasan dari
Komisaris minimal sebagai berikut:
a) Komite Pemantau Risiko
Komite Pemantau Risiko bertugas membantu Komisaris untuk
memantau seluruh proses manajemen risiko, meliputi proses
identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko pada
bank, serta memberikan saran perbaikan pada Direksi.
b) Komite Audit
Komite Audit mengawasi kualitas kerja audit internal dan eksternal,
serta memastikan bahwa manajemen bank telah mengambil tindakan
perbaikan secara disiplin dan tepat waktu untuk memperbaiki
kelemahan pengendalian, ketidakpatuhan terhadap kebijakan, hukum
dan regulasi yang berlaku.
c) Komite Remunerasi
Komite remunerasi mengawasi pengaturan pemberian insentif dan
kompensasi bagi direksi, komisaris, dan pejabat eksekutif. Selain itu,
komite remunerasi juga wajib mengupayakan agar sistem remunerasi
tidak mendorong perilaku pegawai untuk mengabaikan risiko.
2) Organisasi Manajemen Risiko di bawah Dewan Direksi
Organisasi di bawah Dewan Direksi dibentuk untuk membantu
pelaksanaan tugas Direksi sesuai kompleksitas bank, dan minimal sebagai
berikut:
a) Komite Manajemen Risiko
Komite Manajemen Risiko adalah organisasi manajemen risiko
tertinggi di suatu bank, yang bertugas membahas dan memutuskan
segala kegiatan terkait dengan manajemen risiko antara lain
kebijakan, prosedur, limit, dan risk appetite. Keanggotaan Komite
Manajemen Risiko dapat bersifat keanggotaan tetap dan tidak tetap
sesuai dengan kebutuhan bank;
Di bawah Komite Manajemen Risiko, bank dapat membentuk
sub-komite sesuai kebutuhan, seperti Komite Pengelolaan Aktiva
Pasiva (ALCO), Komite Risiko Kredit, Komite Risiko Operasional dsb.
Keanggotaan Komite Manajemen Risiko sekurang-kurangnya terdiri
dari mayoritas Direksi dan pejabat eksekutif terkait.
b) Satuan Kerja Manajemen Risiko (SKMR)
Struktur organisasi SKMR disesuaikan dengan ukuran dan
kompleksitas usaha bank. Setiap bank dapat menentukan struktur
organisasi yang sesuai dengan kondisi, termasuk kemampuan
keuangan dan sumber daya manusia.
Bagi bank yang relatif besar dari sisi total aset dan memi- liki tingkat
kompleksitas usaha yang tinggi, struktur organisasi SKMR harus
mencerminkan karakteristik usaha bank dimaksud. Bagi bank yang
relatif kecil dari sisi total aset dan memiliki tingkat kompleksitas
usaha yang rendah, bank dapat menunjuk sekelompok petugas dalam
suatu unit/grup yang melaksanakan fungsi SKMR.
Sesuai dengan ukuran dan kompleksitas usaha bank maka posisi
pejabat yang memimpin SKMR dapat setingkat atau tidak setingkat
dengan posisi pimpinan satuan kerja operasional. Namun, yang
bersangkutan tetap bertanggung jawab langsung kepada Direktur
Utama atau Direktur yang ditugaskan khusus membidangi
manajemen risiko.
Satuan Kerja Manajemen Risiko (SKMR) harus independen terhadap
satuan kerja operasional (risk-taking unit) seperti unit pemasaran
kredit, unit treasury dan investasi, unit pendanaan, akunting, dan
terhadap satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian intern
(satuan kerja audit intern/SKAI).
3) Satuan Kerja Operasional
Satuan Kerja Operasional adalah satuan kerja yang menjalankan aktivitas
bisnis dan operasional, di luar satuan kerja manajemen risiko, kepatuhan
dan fungsi pengendalian internal. Sebagai contoh, unit kerja kantor
cabang, kantor wilayah, unit kerja pemasaran kredit dan sebagainya.
4) Satuan Kerja Audit Intern
Satuan Kerja Audit Intern adalah satuan kerja yang menjalankan fungsi
pengendalian internal, dan memastikan bahwa manajemen risiko telah
diterapkan sesuai dengan ketentuan dan regulasi yang ada. Satuan Kerja
Audit Internal harus independen terhadap Satuan Kerja Manajemen Risiko
dan Satuan Kerja Operasional bank.
5) Satuan Kerja Kepatuhan (Compliance)
Satuan Kerja Kepatuhan bertanggung jawab mendorong seluruh jajaran
organisasi mematuhi kebijakan dan prosedur yang sudah ditetapkan oleh
manajemen, dan mematuhi ketentuan ekstern seperti Peraturan Bank
Indonesia, undang-undang dan sebagainya.
e. Kecukupan Kebijakan, Prosedur dan Penerpana Limit
Kebijakan dan prosedur yang dimiliki bank harus didasarkan pada strategi
manajemen risiko, dan dilengkapi dengan toleransi risiko dan limit risiko.
Penetapan toleransi risiko dan limit risiko dilakukan dengan memperhatikan
tingkat risiko yang akan diambil, dan strategi bank secara keseluruhan
3. PROSES MANAJEMEN RISIKO
Bank harus mampu melaksanakan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian risiko sesuai dengan praktik terbaik. Untuk
maksud tersebut bank memerlukan dukungan infrastruktur antara lain Sistem
Informasi Manajemen (SIM) yang baik dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
cukup baik dari sisi jumlah dan kualifikasi pegawai
a. Sistem Informasi Manajemen Risiko
Sebagai bagian dari proses manajemen risiko, sistem informasi mana-
jemen risiko bank digunakan untuk mendukung pelaksanaan proses
identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko.
Untuk melaksanakan hal tersebut, diperlukan dukungan sistem informasi
manajemen yang dapat mendukung pembuatan laporan yang akurat,
informatif, relevan, lengkap, konsisten dan tepat waktu mengenai kondisi
keuangan bank, kinerja aktivitas fungsional dan eksposur risiko bank.
b. Sumber Daya Manusia
Direksi memastikan kecukupan kuantitas dan kualitas SDM yang ada di
bank, dan memastikan SDM dimaksud memahami tugas dan tanggung
jawabnya. Pejabat dan staf yang ditempatkan pada masing-masing satuan kerja
tersebut memiliki pemahaman mengenai risiko yang melekat pada setiap
produk/aktivitas bank; paham mengenai faktor-faktor risiko yang relevan dan
kondisi pasar yang memengaruhi produk/aktivitas bank, serta mampu
mengestimasi dampak dari perubahan faktor-faktor tersebut terhadap
kelangsungan usaha bank.
Direksi memastikan agar seluruh SDM memahami strategi, tingkat risiko
yang akan diambil dan toleransi risiko, dan kerangka manajemen risiko yang
telah ditetapkan Direksi dan disetujui oleh Dewan Komisaris serta
mengimplementasikan secara konsisten dalam aktivitas yang ditangani.
4. PENGENDALIAN INTERN DALAM PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO
Dalam pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik, selain peran aktif
dari Dewan Komisaris dan Direksi, bank juga memerlukan peran auditor
internal dan eksternal. Untuk memastikan seluruh jajaran organisasi
melaksanakan kebijakan manajemen risiko yang sudah digariskan, bank
memerlukan suatu sistem pengendalian intern, yang dapat secara efektif
mengawasi pelaksanaan kegiatan usaha dan operasional pada seluruh jenjang
organisasi bank. Pelaksanaan sistem pengendalian intern mampu secara tepat
waktu mendeteksi kelemahan dan penyimpangan yang terjadi.
Fungsi utama dari auditor internal dan eksternal memastikan bahwa
seluruh aktivitas bank sudah dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip tata
kelola perusahaan.
Agar peran auditor internal dan eksternal dapat berfungsi secara optimal,
Direksi harus memahami tugas mereka, dan menempatkan mereka sebagai
agen penting bagi bank. Proses yang dapat dikembangkan oleh Direksi dalam
melakukan hal tersebut antara lain:
 Memahami pentingnya proses audit dan mengkomunikasikan kepada
seluruh jajaran bank untuk mendukung proses audit tersebut.
 Menetapkan ukuran kinerja petugas audit, dengan tujuan untuk
meningkatkan independensi dan status auditor.
 Memanfaatkan temuan audit dengan efektif dan tepat waktu dengan
melakukan tindak lanjut, disertai penentuan pihak pelaksana, dengan
batas waktu yang jelas untuk perbaikan yang harus dilakukan manajemen
atas permasalahan yang sudah diidentifikasi oleh auditor.
 Memastikan independensi kepala audit melalui garis pelaporan langsung
kepada Direktur Utama dan/atau Komite Audit.
 Melibatkan auditor eksternal untuk menilai efektivitas pengendalian audit
internal yang ada.
 Sistem pengendalian intern dalam penerapan manajemen risiko pada
aktivitas bank minimal mencakup:
 Kesesuaian antara sistem pengendalian intern dengan jenis dan tingkat
risiko yang melekat pada kegiatan usaha bank;
 Penetapan wewenang dan tanggung jawab untuk pemantauan kepatuhan
kebijakan, prosedur dan limit;
 Penetapan jalur pelaporan dan pemisahan fungsi yang jelas dari satuan
kerja operasional kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi
pengendalian;
 Struktur organisasi yang menggambarkan secara jelas kegiatan usaha
bank, wewenang dan tanggung jawab.
 Pelaporan masalah kondisi keuangan serta kegiatan operasional bank
yang akurat dan tepat waktu;
 Kecukupan kebijakan dan prosedur untuk memastikan kepatuhan bank
terhadap ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku;
 Proses kaji ulang yang efektif, independen dan objektif terhadap prosedur
penilaian kegiatan operasional bank;
 Pengujian dan proses kaji ulang yang memadai terhadap sistem informasi
manajemen;
 Dokumentasi secara lengkap dan memadai terhadap cakupan, prosedur
operasional, temuan audit, serta tanggapan pengurus bank berdasarkan
hasil audit;
 Verifikasi dan review secara berkala dan berkesinambungan terhadap
penanganan kelemahan-kelemahan bank yang bersifat material dan
tindakan pengurus bank untuk memperbaiki penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi.
Agar dapat menghasilkan nilai tambah, bank perlu tumbuh dan
menghasilkan keuntungan sesuai target. Untuk itu, unit bisnis bersama unit
manajemen risiko, kepatuhan dan unit audit secara bersama melakukan tugas
masing-masing sehingga secara keseluruhan bank dapat tumbuh secara sehat.
Kegiatan ketika unit manajemen risiko bekerja sama dengan bisnis dan audit
menciptakan sistem bank yang sehat disebut dengan ERM.
ERM menjadi dasar untuk mengukur kinerja bank sesuai risiko yang
diambil. Ukuran penilaian kinerja bank secara tradisional menggunakan
pencapaian laba bank atau ROE (Return on Equity). Dalam rangka ERM,
penilaian kinerja yang sering digunakan adalah Return on Risk Adjusted Capital
(RORAC) dan/atau Economic Value Added (EVA). Kedua metriks tersebut
memerlukan nilai modal atau risk capital, yang dapat menggunakan regulatory
capital (modal sesuai perhitungan formula yang ditetapkan oleh regulator)
ataupun economic capital (jumlah modal yang dihitung sesuai formula yang
dikembangkan oleh bank sendiri).
Konsep dasar dari ERM adalah bahwa unit kerja dalam melakukan bisnis
mengandung risiko. Semakin besar risiko, peluang laba akan semakin besar,
namun modal yang diperlukan untuk menutup risiko semakin besar. Apabila
modal yang dibutuhkan semakin besar, maka unit kerja tersebut memerlukan
penghasilan yang lebih besar agar dapat menghasilkan RORAC atau EVA yang
sesuai harapan pemegang saham, yaitu nilai RORAC lebih besar dari hurdle
rate sesuai kebijakan bank, atau memperoleh nilai EVA yang positif. Bank juga
dinilai sudah menciptakan nilai apabila nilai RORAC atau EVA membaik
dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Oleh karena itu, untuk menghasilkan nilai tambah, bank memerlukan
kombinasi dari strategi bisnis yang baik, dan pengendalian risiko yang pruden,
sehingga menghasilkan nilai perusahaan yang sustainable.
5. ERM DAN VALUE BASED STRATEGIC PLANNING
Dengan nilai RORAC atau EVA, bank dapat mengetahui unit bisnis yang
paling memberikan nilai tambah bagi bank. Selain itu, apabila ditelusuri lebih
jauh, bank juga dapat mengidentifikasi produk atau jasa mana yang paling
banyak memberikan nilai tambah bagi bank. Selanjutnya bank juga dapat
merinci, daerah kerja mana yang memberikan nilai tambah paling besar bagi
bank.
Dengan informasi seperti ini, bank dapat lebih fokus mengarahkan
strategi untuk mempercepat pertumbuhan bisnis atau produk yang
6. SISTEM MANAJEMEN RISIKO
Keseluruhan pengelolaan risiko seperti diuraikan pada bagian
sebelumnya diuraikan secara lengkap pada Peraturan Bank Indonesia
No.5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
sebagaimana telah diubah dengan No. 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
Uraian rinci dari PBI tersebut diatas terdapat pada SEBI No. 13/23/DPNP
tanggal 25 Oktober 2011 Perihal Perubahan atas Surat Edaran No. 5/21/DPNP
perihal Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
BAB III
BANKING REGULATION AND RISK MANAGEMENT

1. FUNGSI MODAL BANK


Aktivitas utama bank adalah mengumpulkan dana masyarakat, kemudian
menyalurkan dana tersebut pada pihak yang membutuhkan dana antara lain
pengusaha yang ingin membangun fasilitas usaha. Oleh karena itu, penting bagi
regulator memelihara kepercayaan masyarakat pada industri perbankan,
karena tanpa dana masyarakat, industri perbankan sulit untuk tumbuh secara
baik dan sehat.
Dalam menyalurkan dana masyarakat menjadi kredit, bank dapat saja
mengalami kerugian. Untuk menutup potensi kerugian akibat risiko kredit,
bank menetapkan cadangan kredit macet yang disebut dengan CKPN
(Cadangan Kerugian Penurunan Nilai). Kerugian pada perkreditan akan
mengurangi modal bank. Apabila kerugian bank cukup besar sehingga modal
bank tidak mencukupi menutup kerugian, maka dana masyarakat berpotensi
tidak dapat dikembalikan bank. Apabila dana masyarakat tidak dikembalikan,
maka masyarakat tidak akan lagi percaya lagi bahwa perbankan akan
melindungi uang yang disimpan pada bank.
Sebagai contoh, bank memiliki aset berupa kredit dengan nilai buku Rp.100
miliar; dana masyarakat (DPK) dengan nilai Rp.90 miliar, dan modal bank
Rp10 miliar. Apabila sebagian kredit bank mengalami permasalahan misalnya
menyebabkan kerugian bank sebesar 5 miliar, maka aktiva dan modal bank
akan berkurang Rp.5 miliar, sehingga modal bank menjadi Rp.5 miliar, dan
dana masyarakat belum terganggu. Apabila kredit bank yang macet bertambah
lagi sehingga bank mengalami kerugian lagi sebesar Rp.7 miliar, maka modal
bank yang sebesar Rp.5 miliar tidak akan mencukupi untuk menutup kerugian,
sehingga dana masyarakat yang tidak dapat dibayar bank sebesar Rp.2 miliar
Untuk melindungi dana masyarakat, regulator mengatur bahwa bank harus
menjaga tingkat modal minimum sebesar minimal 8% dari ATMR (Aktiva
Tertimbang Menurut Risiko) dan tambahan modal “add on” sesuai kebijakan
regulasi yang berlaku. Regulator dapat melakukan penutupan bank apabila
tingkat modal yang dimiliki bank berada di bawah tingkat minimum yang
ditetapkan agar penyimpan dana dapat terlindungi.
2. BASEL I TAHUN 1988
Agar regulator di setiap negara tidak membuat aturan sendiri-sendiri maka
regulator di berbagai negara membentuk kerja sama antarbank sentral dunia,
dibentuk pada 1930, yang menjadi embrio terbentuknya The Bank for
International Settlement (BIS), yang berkantor di Kota Basel, negara Swiss.
Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) yang dibentuk pada 1974
oleh para Gubernur bank sentral dari negara-negara yang tergabung dalam
Group of Ten (G 10) bertujuan menyusun dan menetapkan berbagai standar
aturan bagi industri perbankan, agar perbankan yang beroperasi secara
internasional mempunyai aturan yang seragam.
Keanggotaan Basel Committee pada awalnya terdiri dari sepuluh negara
G-10 ditambah dengan Spanyol dan Luxemburg. Selanjutnya, negara-negara
anggota Basel Committee tersebut terus bertambah, dan saat ini jumlah
anggota komite terdiri atas 25 negara meliputi Argentina, Australia, Belgia,
Brazil, China, Perancis, Hong Kong SAR, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea,
Luxemburg, Meksiko, Belanda, Rusia, Saudi Arabia, Singapura, Afrika Selatan,
Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris dan Amerika Serikat. Keanggotaan
negara-negara tersebut direpresentasikan dengan kehadiran bank sentral dan
pengawas bank pada negara anggota pada acara rapat berkala komite.
Dua tujuan fundamental dari ketentuan Basel I tahun 1988 yang ditetapkan
oleh Basel Committee adalah sebagai berikut:
 Memperkuat kerangka dasar dan stabilitas atas sistem perbankan
internasional.
 Menciptakan kerangka dasar yang konsisten dan tidak memihak bagi
bank-bank di berbagai negara dengan sumber daya berbeda, yang aktif
menjalankan kegiatan operasional perbankan secara internasional.
Kerangka dasar tersebut diharapkan dapat menjadi acuan dalam mengurangi
kesenjangan daya saing antar bank-bank yang menjalankan kegiatan secara
internasional.
Pada 1988 BCBS mengeluarkan suatu ketentuan permodalan yang lebih
dikenal dengan the 1988 Accord (Basel I). Basel I mengatur bahwa bank harus
menyediakan modal untuk menutup risiko kredit dengan mensyaratkan
standar modal minimum 8% dari aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR).
Eksposur kepada nasabah dengan segmen yang sama (seperti eksposur kepada
semua nasabah komersial) akan memiliki persyaratan modal yang sama, tanpa
memerhatikan perbedaan pada besar kredit, kemampuan pembayaran kredit
ataupun risiko yang dimiliki oleh masing-masing individu nasabah.
3. AMENDMENT BASEL 1 TAHUN 1996
Sejalan dengan perkembangan instrumen keuangan dan usaha bank yang
semakin kompleks, aktivitas bank dapat terekspos terhadap risiko pasar.
Untuk itu, diperlukan penyediaan modal yang cukup untuk menutupi potensi
kerugian akibat risiko pasar.
Pada 1996, BCBS melakukan amandemen terhadap Basel I, yang disebut
juga dengan Basel 1.5, yang selain risiko kredit, sekarang bank juga perlu
menyediakan modal untuk menutup risiko pasar posisi trading book, yaitu
posisi bank yang dimaksudkan untuk tujuan diperdagangkan untuk
memperoleh laba. Di samping itu, Basel 1.5 juga menambahkan komponen
neraca yang dapat dimasukkan sebagai modal bank, yaitu modal pelengkap
tambahan (Tier 3) yang dapat digunakan hanya untuk menutup risiko pasar.
Perhitungan risiko pasar dalam kebutuhan permodalan bank dapat
dilakukan dengan metode standar (standard method), atau menggunakan
model internal (internal model).
4. BASEL II TAHUN 2004
Setelah terjadi krisis keuangan Asia pada 1998, BCBS menyempurnakan
kerangka permodalan pada Basel I, dan mengeluarkan konsep perhitungan
kebutuhan modal yang lebih dikenal dengan Basel II. Basel II dibuat
berdasarkan struktur dasar Basel I, namun memberikan kerangka perhitungan
modal yang bersifat lebih sensitif terhadap risiko. Selain itu, Basel II juga
memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen
risiko di bank.
Apabila pada Basel I, bank harus menyediakan kecukupan modal untuk
menutup risiko kredit dan risiko pasar, maka pada Basel II, kebutuhan modal
ditambah dengan kebutuhan modal untuk menutup risiko operasional. Selain
itu, Basel II juga memperkenalkan konsep baru yang disebut dengan sistem 3
Pilar, yaitu (1) kecukupan penyediaan modal minimum; (2) proses
pengawasan implementasi manajemen risiko bank; dan (3) disiplin pasar atau
ketentuan mengenai keterbukaan informasi.
a. Pilar 1
Pilar 1 Basel II merupakan pengembangan dari Basel I tahun 1988, yang
mengatur tentang perhitungan modal minimum untuk menutup risiko kredit,
risiko pasar, dan risiko operasional. Perhitungan modal untuk menutup risiko
operasional merupakan tambahan yang sebelumnya tidak dibahas dalam Basel
I. Perhitungan kecukupan modal untuk menutup risiko pasar hanya mencakup
portofolio trading book, dengan cara perhitungan tetap sama dengan Basel I
Market Risk Amendment tahun 1996 (Basel 1.5).
b. Pilar 2
Pilar 2 dari Basel II berisi proses review dari pengawas bank atau regulator
atas metode pengukuran internal yang dilaksanakan oleh bank, untuk
menentukan kecukupan modal bank menutup risiko kredit, pasar, dan
operasional. Di samping itu, Pilar 2 juga mengatur risiko dan kebutuhan modal
yang tidak termasuk dalam pilar 1 seperti risiko suku bunga pada portofolio
banking book, risiko konsentrasi kredit, implementasi manajemen risiko bank
atas pengelolaan risiko likuiditas, risiko reputasi dan risiko lainnya, serta
ketentuan mengenai pelaksanaan stress test agar bank mempersiapkan diri
untuk menghadapi kondisi krisis. Review dari pengawas bank tersebut
dimaksudkan agar bank lebih fokus pada kebutuhan modal di atas kebutuhan
minimal yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan Basel I, serta agar bank
melakukan tindakan awal yang diperlukan untuk mencegah agar modal bank
tidak jatuh di bawah kebutuhan minimal.
c. Pilar 3
Pilar 3 merupakan ketentuan keterbukaan bank dalam menguraikan
mekanisme governance internal dan eksternal. Pilar 3 mencakup kebutuhan
atas public disclosure yang harus dilaksanakan bank. Hal tersebut disusun
untuk membantu pemegang saham, analisis pasar dan masyarakat dalam
menilai praktik implementasi manajemen risiko pada bank, dan meningkatkan
transparansi khususnya dalam hal kualitas portofolio aset bank, dan kondisi
profil risiko bank.
5. PERBANDINGAN BASEL I DAN II
Perbandingan antara Basel I dan Basel II adalah sebagai berikut.
a. Basel I
 Fokus pada pengukuran risiko kredit dan risiko pasar trading book.
 Pendekatan perhitungan kebutuhan modal untuk menutup risiko
kredit relatif sederhana, dan dinilai kurang sensitif terhadap risiko.
Seagai contoh, bobot risiko untuk semua kredit komersial akan sama
walaupun mempunyai eksposur berbeda, dan mempunyai kualitas
kredit yang berbeda.
 Menggunakan satu ukuran untuk semua risiko yang dihadapi bank, dan
kebutuhan modal yang sama digunakan untuk berbagai jenis dan
ukuran bank.
b. Basel II
 Fokus diperluas menjadi risiko kredit, risiko pasar, dan risiko
operasional.
 Fokus pada metode internal pada pengukuran risiko, walaupun tetap
menyediakan metode perhitungan dengan metode standar.
 Pendekatan internal memang lebih kompleks, namun memiliki tingkat
sensitivitas yang lebih tinggi terhadap risiko.
 Penggunaan metode internal bersifat fleksibel dan dilakukan sesuai
dengan kebutuhan bank.
6. BASEL 2.5
Setelah terjadi krisis global pada 2008-2009 yang disebabkan terutama
oleh produk sub-prime mortgage dan turunannya, BCBS menilai bahwa modal
yang dipersyaratkan pada Basel II perlu diperbarui. BCBS menetapkan
perubahan atas metode menghitung ATMR untuk risiko pasar sehingga lebih
mencerminkan potensi risiko pasar pada saat terjadi krisis keuangan global.
Selain itu, Basel juga menilai stress testing yang dilakukan bank selama ini
dipandang belum memadai sehingga banyak bank mengalami permasalahan
dalam menghadapi kondisi krisis. Oleh karena itu, BCBS memutuskan untuk
memperbarui Basel II dalam sejumlah ketentuan baru yang disebut dengan
Basel II.5.
7. INTRODUCTION BASEL III
Pada Basel III, sistem tiga pilar pada Basel II tetap berlaku, ditambah
dengan sejumlah peraturan baru yang pada umumnya untuk menghadapi
kondisi krisis.
Sebagai langkah perbaikan setelah terjadi krisis keuangan global tahun
2008, Basel III diterbitkan dengan fokus pada:
a. Perubahan pada permodalan, yaitu:
 Perubahan definisi modal yang lebih fokus pada modal inti (core
capital);
 Kewajiban menyediakan tambahan modal inti sebagai buffer atau
cadangan modal;
 Ketentuan baru mengenai Leverage Ratio;
b. Memperluas cakupan risiko pasar, yaitu mengubah/menambahkan metode
perhitungan kebutuhan modal untuk menutup risiko pasar trading book
secara internal, dan
c. Ketentuan mengenai pengendalian risiko likuiditas bank, yaitu Liquidity
Coverage Ratio (LCR) dan Net Stable Funding Ratio(NSFR).
Sebagai anggota G20, Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank
Indonesia No. 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum Bank Umum tanggal 12 Desember 2013, mencakup sebagian dari
ketentuan Basel III, yaitu definisi modal, dan kewajiban menyediakan
tambahan modal sebagai buffer atau cadangan modal bank. Selanjutnya, OJK
akan menerbitkan ketentuan mengenai ketentuan Basel III lainnya seperti
leverage ratio, LCR dan NSFR.
a. Definisi modal
Pada Basel II, yang dapat diperhitungkan sebagai modal bank pada
perhitungan KPMM adalah modal Tier 1, modal Tier 2 dan modal Tier 3,
dimana modal Tier 2 dapat digunakan maksimum 50% dari total modal Tier 1
dan Tier 2. Pada Basel 3, Tier 3 tidak lagi diakui sebagai komponen modal, dan
modal Tier 2 menjadi maksimum 25% dari total modal Tier 1 dan Tier 2.
Dengan peraturan baru ini maka jumlah modal yang dapat digunakan pada
umumnya lebih kecil apabila dibandingkan dengan jumlah modal yang dapat
digunakan pada Basel II.
b. Perhitungan ATMR Risiko Pasar
Basel III dikeluarkan sebagai reaksi atas permasalahan yang terjadi pada
industri perbankan yang memiliki banyak posisi derivatif dengan aset dasar
sub-prime mortgage, ketika bank harus menambah ATMR un tuk risiko pasar
sehingga memerlukan modal yang lebih besar apabila dibandingkan dengan
modal yang diperlukan sesuai dengan regulasi pada Basel II.
c. KPMM Lebih Besar dari 8%
Pada Basel II, Kebutuhan modal minimum adalah 8% dari ATMR. Pada
Basel III, bank diwajibkan menambah modal dengan modal Tier 1 yang disebut
dengan capital conservation buffer sebesar 2.5%, sehingga total modal
minimum menjadi 10.5%. Buffer ini diperlukan agar pada saat terjadi krisis,
bank diharapkan dapat bertahan sekitar 3 bulan. Sesuai ketentuan Bank
Indonesia, ketentuan ini hanya diberlakukan bagi bank dengan modal diatas
Rp.5 triliun.
Selain itu, pada saat kondisi ekonomi sedang dalam keadaan baik dan
kredit tumbuh pesat, bank diwajibkan menambah modal yang disebut: counter
cyclical buffer dari modal tier 1 sebesar 0% - 2.5% untuk digunakan pada saat
ekonomi sedang dalam kondisi buruk. Sesuai ketentuan Bank Indonesia,
ketentuan ini diberlakukan bagi semua bank.
Sebagai tambahan, untuk bank yang ditetapkan sebagai bank sistemik
(D-SIB: Domestic systemic Important banks), maka bank harus menambah
modal tier 1 sebesar 1% -2.5%.
d. Laverage Ratio
Leverage Ratio merupakan rasio yang baru pada Basel III. Untuk
menentukan Leverage Ratio, bank membagi modal Tier 1 dengan Jumlah total
aset bank baik on balance sheet maupun off balance sheet (tidak diberikan
bobot risiko). Leverage Ratio ditetapkan minimal 3%.
e. Liquidity Ratio
Liquidity ratio yang terdiri dari LCR (Liquidity Coverage Ratio), atau rasio
jangka pendek; dan NSFR (Net stable funding ratio) yang merupakan cadangan
likuiditas Jangka panjang. Kedua rasio tersebut minimal 100%.
LCR adalah jumlah aset likuid dibagi dengan net cash out flow selama 30
hari pada saat terjadi krisis. NSFR adalah jumlah dana yang dinilai stabil dibagi
dengan kebutuhan dana stabil. Basel III memberikan secara rinci definisi dari
parameter yang digunakan pada formula LCR dan NSFR.
8. PERATURAN BANK INDONESIA
Implementasi manajemen risiko diatur dngan PBI No. 15/12/13 tanggal 12
Desember 2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, dan SEBI
14/37/DPNP tanggal 27 Desember 2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) sesuai profil risiko dan pemenuhan Capital Equivalency
Maintained Assets (CEMA).
KPMM bank tergantung nilai rating profil risiko (net risk rating) sebagai
berikut:

Net Risk Rating Minimum CAR


1. 08%
2. 09% - <10%
3. 10% - <11%
4. 11% - <14%
5. >14%

KPMM adalah jumlah modal dibagi dengan ATMR (Aktiva Tertimbang


Menurut Risiko). Definisi modal bank adalah: modal inti (Tier 1), modal
pelengkap (Tier 2), dan modal pelengkap tambahan (Tier 3).
ATMR adalah untuk menutup risiko kredit, risiko pasar, dan risiko
operasional. Kebutuhan modal untuk menutup risiko kredit dapat
menggunakan model standar, atau Internal Rating Based (IRB) dengan
persetujuan Bank Indonesia. Kebutuhan modal untuk risiko operasional dapat
menggunakan metode Pendekatan Indikator Dasar atau Basic Indicator
Approach (BIA). Bank juga dapat menggunakan metode Standardized Approach
(SA), atau Advance Measurement Approach (AMA) dengan persetujuan Bank
Indonesia. Untuk kebutuhan modal untuk risiko pasar, bank dapat
menggunakan model standar. Apabila bank menggunakan model internal maka
harus memperoleh persetujuan Bank Indonesia terlebih dahulu.
Bank harus menyusun laporan ICAAP (Internal Capital Adequacy
Assessment Process) secara self-assessment, minimal mencakup (1) pengawasan
aktif Dewan Komisaris dan Direksi; (2) penilaian kecukupan modal; (3)
pemantauan dan pelaporan; dan (4) pengendalian internal.
Kebutuhan Capital Conservation Buffer seperti diatur pada Basel III hanya
diperuntukkan bagi bank pada kelompok BUKU 3 dan BUKU 4. Yaitu bank,
dengan modal di atas Rp.5 triliun. Kebutuhan Counter Cyclical Buffer berlaku
bagi semua kategori bank. Kebutuhan modal untuk bank sistemik (D-SIB:
Domestic systemic Important banks) ditetapkan bagi bank yang dinilai sistemik
oleh regulator sebesar 1%–2.5%.
Dengan demikian, KPMM bank akan menjadi 10,5%, dan dapat menjadi
minimum 13% untuk bank BUKU 3 dan BUKU 4 pada saat pertumbuhan kredit
tinggi (pada saat ekonomi membaik), dan sebesar 15,5% untuk bank yang
tergolong sistemik (D-SIB).
BAB IV
CREDIT RISK

Risiko kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain
dalam memenuhi kewajiban melunasi kredit pada bank. Pada aktivitas
pemberian kredit, baik kredit komersial maupun kredit konsumsi, terdapat
kemungkinan debitur tidak dapat memenuhi kewajiban kepada bank karena
berbagai alasan, seperti kegagalan bisnis, karena karakter dari debitur yang
tidak mempunyai iktikad baik untuk memenuhi kewajiban kepada bank, atau
memang terdapat kesalahan dari pihak bank dalam proses persetujuan kredit.
Risiko kredit juga terdapat pada aktivitas treasury. Risiko kredit pada
aktivitas treasury antara lain terdapat pada aktivitas penempatan dana
kepada bank lain. Pada umumnya, limit penempatan kepada bank lain bersifat
clean, artinya tidak mensyaratkan penyerahan agunan dari bank yang
menerima penyimpanan dana. Dengan demikian, terdapat risiko kredit apabila
bank penerima dana tidak dapat memenuhi kewajiban kepada bank pemberi
dana, yaitu mengembalikan dana tersebut pada saat jatuh tempo.
Penentuan besarnya risiko kredit atau lebih dikenal dengan pengukuran
risiko kredit baik pada kredit komersial maupun kredit konsumsi dilakukan
dengan pendekatan berbeda. Pendekatan pengukuran individual
(transaksional) lebih umum dilakukan pada kredit korporasi dan komersial,
antara lain dengan menggunakan sistem rating. Sementara, pada kredit
konsumsi, untuk mengukur besarnya risiko kredit pada umumnya dilakukan
pendekatan portofolio.
Pada saat ini aktiva produktif perbankan nasional lebih didominasi oleh
kredit yang diberikan, sementara sumber dana bank terutama berasal dari
dana pihak ketiga. Apabila terjadi peningkatan risiko kredit yang signifikan
terhadap bank maka bank tersebut dapat mengalami gangguan kemampuan
membayar kepada sumber dana. Apabila ini terjadi, maka kepercayaan
masyarakat untuk menyimpan dana mereka di bank dapat berkurang.
1. KATEGORI KREDIT
Identifikasi risiko kredit dimulai dari proses untuk melakukan aktivitas
kredit, kemudian mengidentifikasi faktor yang dapat memicu terjadinya
potensi risiko kredit. Oleh sebab itu, untuk dapat melakukan identifikasi risiko
kredit, terlebih dahulu perlu diketahui berbagai jenis produk perkreditan yang
umum diberikan oleh perbankan.
Jenis kredit yang dapat diberikan bank mempunyai beraneka ragam
bentuk. Secara umum, jenis kredit bank dapat diklasifikasikan menurut:
 Jenis Aktiva,
 Kegunaan kredit tersebut dalam usaha debitur,
 Tujuan kredit,
 Jangka waktu,
 Jenis dana yang diberikan (tunai atau non-tunai),
 Jenis valuta kredit.
a. Berdasarkan Jenis Aktiva
Pertimbangan utama dalam penentuan struktur kredit adalah jenis aktiva
yang dibiayai (aktiva lancar atau aktiva tetap). Aktiva suatu perusahaan secara
umum dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
Aktiva tetap adalah aktiva yang tidak habis dipakai dalam satu siklus
produksi. Aktiva tetap adalah investasi jangka panjang yang dapat dibiayai
dengan modal sendiri, atau dengan digabungkan dengan pinjaman jangka
panjang.
Aktiva lancar permanen adalah sejumlah aktiva lancar yang harus tetap
dipelihara agar operasi bisnis normal dapat berjalan lancar. Aktiva ini harus
dibiayai dengan dana jangka panjang. Salah satu contoh aktiva lancar
permanen adalah kebutuhan modal kerja berupa persediaan minimum yang
harus dipelihara agar proses produksi dapat berjalan dengan lancar.
Aktiva lancar yang bersifat fluktuatif adalah aktiva lancar dengan
kebutuhan yang naik turun sesuai dengan perkembangan permintaan. Karena
sifatnya yang fluktuatif dan bersifat jangka pendek, pembiayaan dapat
dilakukan dengan pinjaman jangka pendek misalnya pinjaman rekening koran
atau pembiayaan atas piutang.
Dalam memberikan pinjaman berdasarkan jenis aset dapat dilakukan
dengan berbagai cara, antara lain:
1) Asset Conversion Lending (Kredit Musiman)
Digunakan untuk membiayai kebutuhan jangka pendek yang bersifat
temporer. Di dalam asset conversion lending bank merencanakan agar
seluruh pokok pinjaman dapat dilunasi pada akhir periode pinjaman.
Sumber pengembalian (source of payment) pinjaman berasal dari siklus
konversi dari bahan baku atau barang dagangan, sampai siklus dinyatakan
selesai, yaitu terjual pada konsumen dan sudah lunas. Pinjaman jenis ini
bersifat self-liquidating base, artinya pinjaman yang akan dilunasi oleh
debitur pada saat siklus usaha telah selesai.
Sebagai contoh, dalam menghadapi lebaran, debitur akan meningkatkan
produksi pakaian muslim. Kredit diperlukan untuk membeli tambahan
bahan baku yang diperlukan untuk meningkatkan produksi, dan juga untuk
membiayai piutang dagang. Setelah lebaran usai, hasil penjualan digunakan
untuk melunasi kredit musiman tersebut.
2) Asset Protection Lending
Pemberian kredit atas dasar asset protection lending bersifat jangka
panjang, tidak direncanakan untuk melunasi pokok pinjaman pada akhir
periode produksi, melainkan pinjaman mengikuti prinsip going concern,
artinya suatu bisnis yang akan terus berlangsung tanpa jangka waktu yang
ditentukan sebelumnya. Aset protection lending sesuai untuk membiayai
modal kerja permanen (permanent current assets), seperti kebutuhan
modal kerja minimum agar produksi dapat berjalan lancar. Sebagai contoh,
modal kerja untuk membiayai persediaan dan piutang pada suatu usaha
toko besi, yang kreditnya digunakan untuk membiayai persediaan besi dan
bahan bangunan, dan membiayai piutang dengan tingkat perputaran yang
wajar.
Sumber pengembalian pinjaman berasal dari tingkat penurunan komponen
pinjaman dari permanent current assets yang berasal dari laba kumulatif
yang diperoleh perusahaan dalam menjalankan usahanya. Sumber
pelunasan lain yang dapat digunakan untuk menurunkan tingkat pinjaman
adalah yang berasal dari fresh money dari pemilik usaha, misalnya dengan
tambahan penyetoran modal.
3) Cash Flow Lending
Cash flow lending adalah pinjaman jangka panjang yang digunakan antara
lain untuk membiayai pembelian aktiva tetap atau investasi. Dengan cash
flow lending diharapkan seluruh pinjaman pokok dilunasi pada akhir
periode pinjaman, sesuai dengan jadual pelunasan pokok pinjaman yang
sudah ditetapkan sebelumnya.
Sebagai contoh, kredit untuk membiayai pembangunan pabrik pembuatan
keramik lantai. Investasi diperlukan untuk membeli tanah dan bangunan,
mesin dan peralatan dan biaya lainnya. Pelunasan kredit diharapkan dari
operasional pabrik yang menghasilkan arus kas bersih setelah pabrik
selesai dan mulai melakukan produksi.
b. Berdasarkan kegunaan
1) Kredit Investasi
Kredit investasi merupakan kredit jangka panjang yang digunakan untuk
keperluan investasi. Sebagai contoh, kredit ini digunakan untuk
pembangunan gedung kantor, gudang, jalan dan lain-lain. Kredit investasi
dapat pula digunakan untuk pembelian barang-barang modal untuk
keperluan produksi atau usaha. Contoh: kredit pembelian tanah untuk
perkebunan, kredit pembangunan gedung pabrik atau kredit pembelian
mesin produksi.
Pelunasan Kredit Investasi diharapkan berasal dari kinerja operasional
yang menghasilkan cash flow yang memadai untuk dapat melunasi
kewajiban debitur pada bank
2) Kredit Modal Kerja
Kredit modal kerja merupakan kredit yang digunakan untuk kebutuhan
modal kerja operasional perusahaan. Kriteria dari modal kerja yaitu
kebutuhan modal yang habis dalam satu siklus usaha. Contoh: kredit
ekspor, kredit untuk pengadaan bahan baku, kredit untuk membeli pupuk
dan kredit untuk kontraktor bangunan yang memperoleh proyek.
Kredit modal kerja untuk pembiayaan persediaan dan piutang akan terus
tertanam pada perusahaan, paling sesuai diberikan dalam bentuk kredit
modal kerja permanen yang bersifat jangka panjang.
c. Berdasarkan Tujuan Kredit
1) Kredit Produktif
Kredit yang digunakan untuk meningkatkan volume usaha (penjualan)
atau produksi, dan menghasilkan arus kas untuk keuntungan pemilik
usaha, dan untuk membayar kewajiban kredit. Contoh: Kredit untuk
membuka usaha salon, kredit untuk usaha restoran dsb.
2) Kredit Konsumtif
Kredit yang digunakan untuk konsumsi dan tidak bersifat produktif.
Sebagai contoh, kredit pembelian mobil, kredit pegawai, kredit untuk
membeli barang elektronik, kredit kepemilikan rumah, dsb.
d. Berdasarkan Jangka Waktu
1) Kredit Jangka Pendek
Merupakan kredit yang memiliki jangka waktu paling lama 1 tahun.
Sebagai contoh, kredit modal kerja musiman atau kredit insidentil.
2) Kredit Jangka Menengah
Merupakan kredit yang memiliki jangka waktu kredit antara 1–3 tahun,
misalnya kredit pembelian mobil, kredit kepemilikan rumah atau kredit
modal kerja tertentu.
3) Kredit Jangka Panjang
Merupakan kredit dengan jangka waktu pengembalian di atas 3 tahun,
pada umumnya merupakan kredit investasi. Contoh, kredit untuk
membuka perkebunan kelapa sawit atau kredit untuk membangun pabrik
baja. Selain kredit investasi, modal kerja untuk pembiayaan persediaan
dan piutang juga dapat dipertimbangkan diberikan kredit modal kerja
permanen yang mempunyai jangka lebih panjang.
e. Berdasarkan Jenis Dana Yang Diberikan
1) Cash Loan (Kredit Tunai)
Adalah kredit dengan dana langsung dicairkan kepada nasabah. Contoh,
kredit modal kerja, kredit investasi atau kredit konsumsi.
2) Non-Cash Loan
Adalah kredit yang tidak secara langsung ditarik dalam bentuk tunai, tetapi
di dalamnya telah terkandung adanya suatu kesanggupan untuk
melakukan pembayaran di kemudian hari. Contoh, fasilitas bank garansi
(bid bond, performance bond), fasilitas pembukaan letter of credit (L/C)
impor atau fasilitas L/C dalam negeri (SKBDN).
f. Berdasarkan Jenis Valuta
1) Kredit Valuta Rupiah
Pinjaman yang diberikan dalam mata uang Rupiah, yang secara umum
diberikan perbankan untuk para debitur yang mengajukan permohonan
kredit.
2) Kredit Valuta Asing
Pinjaman yang diberikan dalam mata uang asing (pada umumnya dalam
valuta USD). Hal yang perlu diperhatikan dalam pinjaman valuta asing
adalah risiko nilai tukar, yaitu kerugian yang timbul akibat perubahan nilai
mata uang asing terhadap Rupiah.
Misalnya, apabila nilai tukar Rupiah melemah maka posisi kredit dalam
valuta asing dihitung dalam valuta Rupiah akan menjadi lebih besar dan
dapat menimbulkan risiko kredit apabila agunan debitur yang dihitung
dalam valuta Rupiah menjadi tidak cukup untuk menutup besar baki debet
kredit.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian untuk mitigasi risiko kredit adalah
proceed atau hasil penjualan perusahaan harus sebagian besar dalam
bentuk valuta asing yang sama. Apabila penghasilan debitur dalam valuta
Rupiah, apabila Rupiah melemah maka kewajiban debitur dalam valuta
asing akan meningkat, dan meningkatkan risiko kemampuan membayar
dari debitur.
2. PROSES MANAJEMEN RISIKO KREDIT
Identifikasi risiko kredit merupakan langkah awal dalam mengelola risiko.
Sesudah risiko diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah mengukur besarnya
risiko tersebut. Dari hasil pengukuran tersebut, bank menentukan langkah
mitigasi melalui proses pengendalian risiko sampai level sesuai risk appetite
bank, dan menentukan besarnya modal untuk menutup risiko yang bersedia
diambil bank.
a. Identifikasi Risiko Kredit
Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas fungsional bank
seperti aktivitas perkreditan, aktivitas treasury, dan aktivitas investasi,
pembiayaan perdagangan (trade finance). Pada umumnya, proses perkreditan
dapat dibagi dalam empat bagian: (1) mencari calon nasabah atau debitur; (2)
proses analisis kelayakan kredit dan membuat keputusan kredit; (3) realisasi
kredit berupa penarikan sesuai persyaratan yang diperjanjikan; (4) penagihan
kewajiban oleh bank dan pembayaran kewajiban oleh debitur.
1) Unit Bisnis-Relationship Manager
Unit bisnis bertugas mencari nasabah yang ditargetkan, melakukan analisis
kredit, dan menilai apakah permohonan debitur dapat diproses lebih lanjut
atau ditolak.
Untuk kredit yang sudah ada dalam portofolio bank, harus dijaga agar
debitur sejauh mungkin tetap dalam kondisi baik sehingga mampu
membayar kewajibannya. Kunjungan secara rutin pada nasabah dan
analisis kondisi usaha perlu dilakukan secara teratur, dan permasalahan
perlu dideteksi secara dini agar lebih mudah mengatasi permasalahan dan
dapat mencegah agar bank tidak terlalu besar mengalami kerugian.
Pada proses mencari calon nasabah, risiko dapat saja terjadi apabila officer
atau pejabat kredit yang diberi tanggung jawab melakukan fraud, misalnya
dengan memberikan informasi yang tidak benar. Officer kredit dapat
memperbesar nilai pasar agunan yang diberikan, melebihi nilai pasar yang
sebenarnya. Kemungkinan lain, pejabat tersebut tidak berpengalaman
sehingga tidak dapat menilai dengan benar informasi yang diberikan oleh
calon debitur.
2) Unit Manajemen Risiko Kredit
Satuan Kerja Manajemen Risiko atau SKMR bertugas membantu unit bisnis
dalam menyediakan infrastruktur perkreditan seperti kebijakan dan
prosedur, sistem kewenangan memutus kredit, sistem pemutusanan kredit
secara bersama antara unit bisnis dan risk management, tata cara
penarikan kredit dan sistem administrasi kredit, dan alat analisis seperti
sistem rating dan scoring, prosedur baku analisis kredit dan analisis early
warning signal (EWS).
SKMR memelihara portofolio kredit agar senantiasa terkendali dari risiko
konsentrasi pada sektor industri tertentu maupun konsentrasi secara
geografis, dan memantau perkembangan kualitas kredit dalam portofolio
sehingga dapat diambil langkah strategi perkreditan yang diperlukan
apabila terjadi permasalahan dalam kualitas kredit.
Analis kredit melakukan proses analisis kelayakan kredit, dengan
menggunakan data yang sudah dikumpulkan oleh bagian unit bisnis. Pada
proses menganalisis kelayakan kredit berdasarkan informasi yang sudah
diperoleh, kesalahan dapat terjadi apabila analisis kredit tidak
berpengalaman dalam melakukan analisis kredit secara baik, atau
melakukan fraud, bekerja sama dengan calon debitur agar dapat
meloloskan kredit dengan kualitas yang kurang baik. Dalam hal proses
menggunakan sistem rating internal, apabila model rating dibuat dengan
sumber data yang tidak akurat, maka keputusan berdasarkan sistem rating
tersebut juga menjadi tidak akurat.
b. Pengukuran Risiko Kredit
Risiko kredit diukur dengan mengukur risiko inheren, yaitu risiko yang
melekat pada aktivitas perkreditan. Pengukuran risiko inheren kredit
dilakukan dengan menetapkan potensi kerugian akibat risiko kredit, yaitu
mengukur berapa besar kemungkinan terjadinya kesalahan dalam proses
kredit, selanjutnya menetapkan dampak yang dapat ditimbulkan apabila
potensi risiko tersebut menjadi kenyataan.
Sebagai contoh, risiko kredit akan besar apabila bank menyalurkan kredit
pada daerah yang bank belum mengenal karakteristik daerah pemasaran
daerah tersebut. Hal ini karena pada daerah yang belum dikenal, kemungkinan
membuat kesalahan (probability of default) akan lebih besar, dan apabila
terjadi kesalahan, akan menimbulkan dampak (loss given default) yang besar.
Potensi kerugian ini dikenal dengan istilah expected loss atau EL, yaitu
perkalian antara probability of default (PD) dengan loss given default (LGD).
Risiko kredit diukur dengan menggunakan parameter UL (Unexpected
Loss), yang merupakan penyimpangan dari EL, artinya potensi perkiraan EL
meleset dari perkiraan semula. Sebagai contoh, apabila semula diperkirakan
bahwa kemungkinan jumlah kredit dalam kategori bermasalah adalah 1% (PD
= 1%), dengan jumlah kerugian apabila terjadi masalah rata-rata sebesar 50%
dari baki debet (LGD = 50%), maka EL adalah 1% dikalikan 50% atau = 0.5%.
Risiko kredit adalah apabila ternyata jumlah kredit bermasalah meleset
menjadi 2%, dan LGD juga meleset dari perkiraan semula yaitu lebih besar dari
50%.PD (Probability of Default) dihitung dari sistem rating dari internal bank.
 Rating-Scoring
Credit risk rating atau sistem rating perkreditan adalah alat untuk
mengukur klasifikasi kualitas debitur dilihat dari sisi risiko kredit. Sistem
credit risk rating atau pemeringkatan dapat didasarkan pada analisis
kualitatif dan kuantitatif. Hasil akhir dari proses pemeringkatan ini
merupakan peringkat rating yang dihasilkan dari pengolahan beberapa
parameter yang telah diberikan bobot tertentu. Rating dari nasabah
merupakan indikasi kualitas dari nasabah tersebut.
Permasalahan utama yang dihadapi oleh bank adalah ketersediaan data
sebagai bahan yang diperlukan untuk melakukan analisis pemilihan
parameter rating, dan bobot dari parameter tersebut. Data keuangan akan
lebih mudah diperoleh apabila perusahaan-perusahaan sudah terdaftar di
bursa, yakni ketika perusahaan yang terdaftar di bursa wajib secara
periodik menyampaikan laporan keuangan secara terbuka.
Sesuai dengan ketentuan Basel, bank wajib memiliki minimal 8 peringkat
risiko rating kredit, yang terdiri dari minimal tujuh peringkat debitur
untuk debitur non-default, dan satu peringkat rating bagi debitur yang
default. Bank sendiri harus menetapkan kriteria suatu kredit dinyatakan
default.
Yang perlu diwaspadai dalam sistem rating perkreditan yang berpotensi
menimbulkan risiko kredit, adalah (1) sistem rating dibangun tidak atas
dasar data yang lengkap, akurat, konsisten dan relevan; (2) sistem rating
tidak dibangun sesuai dengan praktik terbaik (best practices); (3) system
rating belum sepenuhnya dikomunikasikan pada jajaran organisasi yang
akan menggunakan sistem tersebut; dan (4) sistem mudah disalahgunakan
oleh pengguna.
Rating kredit memberikan informasi mengenai kualitas kredit debitur dan
cukup untuk mengambil keputusan kredit untuk kredit konsumer, kartu
kredit , atau kredit mikro. Untuk kredit komersial, yang perlu menentukan
limit kredit yang akan diberikan, bank masih perlu melakukan analisis
kredit, antara lain melihat proyeksi arus kas untuk mengukur kemampuan
debitur membayar kewajiban.
c. Pengelolaan Risiko Kredit
Pengelolaan atau mitigasi risiko kredit dilakukan agar risiko kredit tidak
melewati tingkat limit yang sudah ditetapkan sesuai dengan risk appetite bank.
Mitigasi risiko dilaksanakan dengan mengacu pada kebijakan perkreditan,
sebagai dasar bank melakukan pengelolaan kredit.
Analisis kredit dilakukan untuk mengidentifikasi seluruh aspek risiko yang
melekat pada setiap aktivitas fungsional yang berpotensi merugikan bank.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan analisis kredit antara lain:
 Bersifat proaktif (anticipative) dan bukan reaktif.
 Mencakup seluruh aktivitas fungsional (kegiatan operasional).
 Menggabungkan dan menganalisis informasi risiko dari seluruh sumber
informasi yang tersedia.
 Menganalisis probabilitas timbulnya risiko serta konsekuensi atas risiko
tersebut.
Untuk kegiatan perkreditan, penilaian risiko kredit perlu memerhatikan
beberapa hal, antara lain (1) kondisi keuangan debitur, khususnya kemampuan
membayar secara tepat waktu, (2) jaminan atau agunan yang diberikan
sebagai pagar terakhir kalau terjadi gagal bayar. Gagal bayar dapat disebabkan
berbagai faktor. Penilaian debitur berupaya mengidentifikasi faktor tersebut,
mencakup analisis lingkungan debitur, karakteristik mitra usaha dari debitur,
kualitas pemegang saham dan pengelola usaha, kondisi laporan keuangan
beberapa tahun terakhir, kualitas strategi usaha dan proyeksi keuangan, dan
dokumen lainnya yang dapat digunakan untuk mendukung analisis yang
menyeluruh terhadap kondisi dan kredibilitas debitur.
 Kebijakan dan Prosedur Perkreditan
Kebijakan dan Prosedur Perkreditan merupakan pedoman kerja di bidang
perkreditan yang memuat rangkaian peraturan dan prosedur untuk menjamin
kegiatan perkreditan dapat berjalan dengan baik.
Beberapa unsur yang perlu diperhatikan dalam menetapkan kebijakan
perkreditan yaitu:
 Asas likuiditas, bank harus dapat menjaga tingkat likuiditas bank termasuk
dalam upaya memenuhi permintaan penarikan kredit nasabah.
 Asas solvabilitas, bank dapat melakukan pertumbuhan perkreditan sesuai
dengan kemampuan mengumpulkan dana pihak ketiga, dan sejauh
mungkin menghindari risiko kegagalan kredit.
 Asas rentabilitas, bank harus memperoleh laba secara optimal sesuai
risiko yang diambil dan modal yang dipergunakan.
 Yang perlu diwaspadai dalam kebijakan perkreditan yang berpotensi
menimbulkan risiko kredit, adalah bahwa:
 Kebijakan perkreditan bank tidak lengkap;
 Isinya tidak sesuai dengan praktik terbaik (best practices);
 Belum sepenuhnya dikomunikasikan pada jajaran organisasi yang perlu
menguasai kebijakan tersebut, sehingga mereka dapat memahami isi dari
kebijakan tersebut.
3. PROSES PERKREDITAN
a. Inisiasi
Kualitas kredit dapat dijaga apabila pada tahapan awal proses inisiasi
hingga pemutusan kredit dilaksanakan dengan teliti dan melaksanakan prinsip
kehati-hatian.
Penentuan nasabah yang akan diakuisisi dari bank lain agar dilakukan
dengan pendekatan target market, artinya relationship manager secara aktif
mencari nasabah prospek. Dalam membidik nasabah yang menjadi target, bank
perlu melakukan pre-screening dengan menggunakan kriteria yang berlaku,
misalnya Risk Acceptance Criteria (RAC).
Untuk memastikan calon nasabah mempunyai sejarah yang baik, analisis
perlu melakukan trade checking dan BI checking terhadap debitur untuk
meyakini karakter dan kualitas debitur. Dalam proses analisis kredit, analisis
perlu memahami pola usaha dan kebutuhan debitur, sehingga bank dapat
menetapkan struktur kredit sesuai dengan kebutuhan debitur.
1) Target Market
Pemasaran kredit pada masa ini lebih baik dilakukan atas dasar target
nasabah, tidak hanya menunggu walk-in customer meminta kredit ke bank.
Kelebihan sistem target nasabah adalah membuat upaya pemasaran
produk kredit menjadi lebih terstruktur, dan dapat berpeluang
mendapatkan calon debitur yang lebih berkualitas. Selain itu, risiko kredit
akan lebih mudah dilakukan mitigasi, potensi di wilayah kerja bank dapat
lebih tergarap dengan baik, dan bank dapat fokus pada sektor usaha yang
lebih menguntungkan bagi bank.
Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam penetapan target
market di masing-masing wilayah, antara lain kondisi wilayah setempat
dengan karakteristik masing-masing dan kondisi persaingan.
2) Negative List
Dalam mengupayakan nasabah baru, bank juga mengacu pada daftar usaha
yang pada saat tertentu tidak menjadi prioritas bank, atau disebut dengan
negative list. Sebagai contoh, bank tidak berniat membiayai kredit pada
sektor pertambangan karena sektor tersebut sekarang sedang mengalami
tekanan harga jual yang rendah.
b. Analisis Kredit
Pada proses analisis kredit, analisis memperhatikan faktor internal debitur,
artinya faktor yang inheren ada pada debitur yang bersangkutan. Selain
itu, analisis juga memerhatikan faktor eksternal yang dapat memengaruhi
kelayakan debitur.
1) Faktor Awal Penilaian Kelayakan Kredit
a) Faktor Internal Debitur
 Tujuan kredit dan sumber pembayaran.
Bank harus memastikan, kredit akan digunakan untuk tujuan yang
dapat diterima sesuai dengan kebijakan kredit bank. Tujuan kredit
penting dianalisis agar kredit yang diberikan tidak digunakan untuk
maksud lain yang tidak disetujui oleh bank. Penggunaan kredit yang
menyimpang dari tujuan semula sering menjadi akar penyebab
terjadinya kredit bermasalah.
 Karakter debitur.
 Kualitas manajemen, pengalaman, pendidikan.
 Profil risiko terkini dari debitur.
Profil risiko harus sesuai kebijakan bank yang menetapkan profil risiko
tertentu yang dapat diterima bank.
 Aspek legal dan agunan.
Untuk menentukan persyaratan kredit, misalnya untuk membatasi
perubahan eksposur risiko debitur di waktu yang akan datang.
b) Kinerja Historis, Analisis Rasio Keuangan
Penilaian kinerja historis dapat dilakukan dengan analisis keuangan
berdasarkan beberapa teknik analisis keuangan sebagai berikut.
 Analisis Rasio Keuangan
Rasio Likuiditas
Adalah rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajiban jangka pendek (termasuk bagian dari kewajiban jangka panjang
yang telah berubah menjadi kewajiban jangka pendek).
Rasio yang biasa digunakan dalam mengukur likuiditas perusahaan adalah
Current Ratio, Cash Ratio dan Quick Ratio.
Current Ratio yang baik akan lebih besar dari 100%, dengan trend
membaik, dan sejalan dengan rasio industri pada bidang usaha yang sama.
Cash Ratio dan Quick Ratio menilai kualitas dari komponen aktiva lancar,
yang dapat digunakan untuk membayar kewajiban. Semakin besar rasio
tersebut, kondisi debitur akan semakin baik.
Rasio Leverage
Adalah rasio yang menunjukkan sejauh mana perusahaan menggunakan
utang sebagai sumber modal (dana pihak luar). Rasio ini juga menunjukkan
indikasi tingkat keamanan dari bank sebagai kreditor. Bagi bank, semakin
kecil Debt Equity Ratio (DER), kondisi perusahaan semakin baik dengan
risiko yang lebih kecil.
Rasio Aktivitas
Adalah rasio yang menunjukkan kemampuan dan efektivitas manajemen
dalam mengelola sumber-sumber yang dimilikinya.
Penilaian perputaran dilakukan dengan menilai trend, dan perbandingan
dengan industri sejenis. Perputaran yang semakin tinggi (atau jumlah hari
yang lebih kecil) akan semakin baik bagi perusahaan. Sebaliknya,
perputaran piutang atau persediaan yang melambat menandakan terdapat
sesuatu masalah yang perlu dikonfirmasikan pada calon debitur.
Rasio Profitabilitas
Adalah rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan mencetak laba.
Untuk pemegang saham, rasio ini menunjukkan tingkat penghasilan yang
menentukan tingkat pengembalian modal yang ditanamkan pemegang
saham dalam melakukan investasi.
Penilaian rasio profitabilitas dilakukan dengan melihat trend dan
perbandingan dengan industri sejenis.
Analisis Vertikal
Analisis ini juga dikenal dengan istilah Common Size Analysis yaitu analisis
laporan keuangan dalam satu periode tertentu dengan cara
membanding-bandingkan pos yang satu dengan pos yang lainnya.
Perbandingan tersebut dilakukan dengan menggunakan persentase
dimana salah satu pos ditetapkan dengan patokan 100%.
Pada neraca, analisis vertikal sering dikaitkan sebagai prosentase dari total
aset. Pada rugi laba, komponen laba dan biaya dibandingkan dengan nilai
penjualan.
Analisis Horisontal
Analisis ini dilakukan dengan membandingkan pos-pos laporan keuangan
untuk dua periode atau lebih. Tujuan perbandingan ini adalah untuk
mengetahui perubahan dan tren dari waktu ke waktu. Selain itu, analisis
ini juga melihat tren perkembangan masing-masing pos selama jangka
waktu tertentu.
c) Faktor Eksternal Debitur
Faktor eksternal debitur antara lain kondisi ekonomi dan industri tempat
calon debitur menjalankan usaha.
Faktor eksternal merupakan faktor yang berada di luar kendali perusahaan
debitur. Dalam hal ini analisis perlu menilai kemampuan bisnis debitur dan
kondisi sektor ekonomi/usaha debitur serta posisi debitur dalam industri.
2) Prinsip 5C
Dalam melakukan analisis kelayakan debitur, metode yang sering
dilakukan analisis antara lain metode 5C. Pada analisis dengan metode 5C,
kelayakan debitur dilihat dari lima faktor utama, yaitu (1) character,
menilai karakter nasabah, kemauan untuk membayar kewajiban pada
bank; (2) capacity, menilai kemampuan membayar kewajiban dari debitur;
(3) capital, menilai besar modal yang dimiliki dibandingkan dengan jumlah
utang; (4) conditions, menilai kondisi ekonomi dimana debitur
menjalankan usaha; dan (5) collateral, menilai ketersediaan agunan
sebagai cara lain untuk pelunasan agunan.
a) Character
Character atau watak calon debitur merupakan faktor penting. Bank secara
rasional hanya ingin membina hubungan dengan debitur yang dapat
dipercaya. Sifat dan watak calon debitur dapat dilihat dari latar belakang
pekerjaan maupun pribadi, seperti gaya hidup dan keadaan keluarga. Bank
juga dapat memperoleh informasi terkait karakter debitur dari pusat
informasi debitur Bank Indonesia. Sifat dan watak ini dapat
menggambarkan kemauan debitur untuk membayar.
Parameter yang dapat menentukan karakter debitur antara lain
 Usia debitur, secara umum usia produktif adalah antara 30-50 tahun,
memperoleh rating tertinggi.
 Pendidikan, secara umum tingkat pendidikan yang semakin tinggi
mempunyai rating karakter yang lebih baik.
 Pengalaman yang semakin banyak cenderung memberikan rating
karakter yang lebih baik.
 Keuletan yang tinggi mengurangi tingkat kegagalan usaha.
 Kreativitas yang tinggi dan inovatif akan membantu kemajuan usaha.
 Ketegasan dan fleksibilitas dalam bisnis untuk menghadapi berbagai
perubahan situasi lingkungan usaha.
 Kejujuran merupakan faktor karakter yang penting untuk dinilai.

Yang perlu diwaspadai dalam penilaian karakter debitur adalah


pengalaman analisis yang minim sehingga tidak mampu melakukan
analisis karakter secara memadai. Semakin lama pengalaman analisis, akan
semakin baik kualitas analisis dalam menilai karakter debitur.
b) Capacity
Analisis capacity bertujuan menilai kemampuan calon debitur dalam
membayar kewajiban. Kemampuan debitur tercermin dari kemampuan
menghasilkan arus kas dari usaha atau operating cash flow. Usaha yang
berhasil memenangkan persaingan akan mempunyai peluang lebih baik
untuk dapat menghasilkan arus kas yang lebih besar.
Yang perlu diwaspadai dalam penilaian kemampuan membayar debitur
adalah pengalaman analisis dalam menentukan asumsi proyeksi keuangan,
baik asumsi pendapatan maupun asumsi biaya-biaya. Asumsi yang tidak
cermat akan menghasilkan angka arus kas yang tidak akurat sehingga bank
dapat salah dalam menilai kemampuan debitur melunasi kewajiban
pembayaran bunga maupun pokok pinjaman. Semakin lama pengalaman
analisis, akan semakin baik kualitas analisis dalam menilai kemampuan
membayar kewajiban dari debitur.
c) Capital
Analisis capital melihat aspek kecukupan permodalan debitur. Kondisi
keuangan akan sehat apabila jumlah modal dinilai cukup memadai
dibandingkan dengan jumlah pinjaman. Analisis capital harus menganalisis
persentase modal sendiri yang digunakan untuk membiayai proyek. Bagi
bank, semakin besar porsi modal, maka kondisi keuangan nasabah akan
semakin baik.
Yang perlu diwaspadai dalam penilaian kecukupan modal usaha debitur
adalah pengalaman analisis dalam menentukan asumsi proyeksi keuangan,
baik asumsi pendapatan maupun asumsi biaya-biaya. Asumsi yang tidak
cermat akan menghasilkan laba operasional yang tidak akurat sehingga
bank dapat salah dalam menilai peningkatan modal yang berasal dari laba,
dan kebijakan debitur dalam menggunakan laba untuk ditanamkan
kembali dalam usaha, atau ditarik dalam bentuk dividen. Semakin lama
pengalaman analisis, akan semakin baik kualitas analisis dalam menilai
kemampuan debitur dalam meningkatkan kemampuan permodalan.
d) Condition
Penilaian kredit juga dinilai berdasarkan kondisi ekonomi, sosial, dan
politik yang ada saat ini dan prediksi di masa mendatang. Kondisi ekonomi
dalam keadaan resesi kurang baik untuk usaha yang memproduksi barang
mewah, tapi relatif tidak menjadi masalah serius bagi usaha yang
memproduksi kebutuhan pokok seperti farmasi, bahan makanan, dsb.
Yang perlu diwaspadai dalam penilaian kondisi ekonomi adalah
pengalaman analisis dalam menentukan kondisi ekonomi di masa
mendatang, khususnya untuk produk nasabah yang rentan terhadap
perubahan faktor ekonomi. Asumsi kondisi ekonomi yang tidak cermat
akan menghasilkan perhitungan arus kas yang tidak akurat sehingga bank
dapat salah dalam menilai kemampuan debitur dalam upaya melunasi
kewajiban pembayaran bunga dan pokok pinjaman. Semakin lama
pengalaman analisis, akan semakin baik kualitas analisis dalam menilai
kemampuan debitur dalam meningkatkan kemampuan melakukan prediksi
kinerja usaha dalam berbagai situasi perekonomian
e) Collateral
Collateral atau agunan kredit merupakan jaminan yang diberikan calon
debitur baik berbentuk agunan di dalam proyek maupun agunan di luar
proyek. Agunan juga dapat berupa jaminan pelunasan dari misalnya induk
perusahaan.
Jaminan seharusnya melebihi jumlah kredit yang diberikan serta harus
diteliti aspek keabsahan dan dapat diikat secara legal.
Yang perlu diwaspadai dalam penilaian agunan adalah pengalaman analisis
dalam menentukan nilai agunan. Penilaian nilai agunan yang tidak cermat
akan menyebabkan kredit bank tidak terlindungi apabila suatu waktu
terjadi permasalahan. Selain itu, perlu diwaspadai juga potensi terjadi
kolusi antara analisis dan debitur dalam melakukan manipulasi nilai
agunan yang sebenarnya. Semakin lama pengalaman analisis, dan semakin
tinggi integritas analisis, maka kualitas penilaian agunan akan semakin
baik.
3) Sumber Pelunasan
Sumber pelunasan kredit yang utama adalah arus kas atau cash flow dari
aktivitas usaha. Bank juga berkepentingan melihat adanya sumber
pelunasan lain sebagai cadangan atau sumber kedua apabila sumber
pelunasan utama kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Sumber
pelunasan lainnya: refinancing dari bank lain, atau melalui upaya likuidasi
usaha debitur.
 Operating cash flow
Sumber pelunasan yang berasal dari arus kas operasional akan bersifat
on going karena bersumber dari hasil usaha, dan bersifat sustainable
sebagai sumber pelunasan kredit.
 Refinancing
Sumber pelunasan kredit refinancing dapat dilakukan melalui dua
variasi, yaitu pembiayaan dari lembaga keuangan lain, dimana kredit
dari bank asal dilunasi dengan sumber dana dari kredit baru yang
diberikan oleh lembaga keuangan tersebut.
Pada beberapa kasus, akuisisi menjadi pemicu dilakukannya
pengambilalihan pembiayaan oleh bank perusahaan yang melakukan
akuisisi, yang menyebabkan hubungan antara nasabah dengan bank
asal berakhir.
Refinancing juga dapat dilakukan dengan penerbitan surat berharga.
Hasil dari IPO equity atau surat utang yang diterbitkan digunakan
untuk melunasi utang.
 Likuidasi usaha, yang umumnya terjadi apabila tujuan investasi suatu
perusahaan telah tercapai. Sebagai contoh, kredit untuk membiayai
pembangunan jembatan, akan selesai apabila proyek jembatan
tersebut sudah selesai.
4) Aspek Keuangan
Sumber informasi keuangan yang digunakan untuk melakukan analisis
keuangan adalah hasil dari analisis kebutuhan investasi dan modal kerja,
hasil dari analisis pemasaran dan analisis aspek teknis.
Dari biaya investasi dan modal kerja yang diperlukan untuk menjalankan
usaha, kebijakan bank antara lain mengatur berapa bagian dari jumlah
pembiayaan harus dibiayai oleh debitur sendiri dari modal, dan berapa
bagian akan dibiayai dari kredit bank.
Semakin besar porsi kredit, untuk bank semakin mempunyai risiko yang
lebih tinggi. Seluruh biaya investasi dan modal kerja merupakan
pengeluaran awal yang direncanakan menghasilkan arus kas pada
tahun-tahun berikutnya. Analisis keuangan akan melihat apakah rencana
penghasilan arus kas cukup untuk menutup biaya investasi dan modal
kerja yang harus dikeluarkan.
Analisis aspek pemasaran menghasilkan asumsi pendapatan, dan analisi
aspek teknis memberikan asumsi biaya produksi dan biaya umum. Dari
asumsi proyeksi keuangan tersebut, bank dapat menghitung proyeksi
neraca, proyeksi rugi laba dan proyeksi cash flow, serta dapat menentukan
parameter aspek keuangan penting untuk menentukan kelayakan usaha
seperti berbagai rasio keuangan terutama debt service ratio (DSC), sebagai
parameter pengukuran kemampuan debitur membayar kewajiban pada
bank.
5) Aspek Yuridis/Hukum dan Agunan
Hubungan kredit dengan debitur dapat menimbulkan permasalahan
apabila faktor legal lemah. Aspek hukum menilai masalah legalitas badan
usaha serta izin-izin yang dimiliki perusahaan yang mengajukan kredit.
Penilaian dimulai dengan meneliti keabsahan dan kesempurnaan akte
pendirian perusahaan dan dokumen serta surat-surat penting lainnya. Hal
ini perlu dilakukan agar bank tidak berhubungan dengan perusahaan yang
rentan terhadap masalah hukum di kemudian hari.
Agunan yang biasa diberikan debitur beraneka-ragam sesuai dengan jeni
kredit yang diminta, beberapa di antaranya tanah dan bangunan,
mesin-mesin, kapal, kendaraan bermotor, persediaan barang, deposito,
tagihan (piutang) atau anjak piutang (factoring). Pengikatan aguna
kebendaan tergantung dari jenis agunan, diantaranya:
a) Hak Tanggungan
Beberapa unsur pokok hak tanggungan, yaitu hak jaminan untuk
pelunasan utang. Obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah sesuai
UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). Hak tanggungan dapat
dibebankan atas tanah saja atau berikut benda-benda yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu.
Hipotik merupakan hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak,
untuk dijadikan sebagai pengganti bagi pelunasan suatu perikatan
seperti perjanjian kredit. Saat ini sudah digantikan menjadi hak
tanggungan.
b) Gadai
Gadai merupakan hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu
benda bergerak yang diserahkan oleh debitur, dan memberi kekuasaan
kepada kreditur untuk mengambil benda tersebut, dan menjual sebagai
upaya pelunasan dari kewajiban debitur.
c) Fidusia
Fidusia merupakan bentuk lain bagi jaminan atas benda bergerak
selain gadai. Jaminan fidusia memberikan jaminan bagi penerima
fidusia (kreditur) apabila suatu saat debitur tidak dapat melaksanakan
semua kewajibannya maka kreditur mempunyai hak langsung untuk
menyita dan mengeksekusi obyek yang dijadikan agunan (parate
eksekusi).
Untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditur, akta jaminan fidusia
harus dilakukan secara notarial. Setelah itu, permohonan diajukan
secara tertulis dalam Bahasa Indonesia oleh penerima fidusia, kuasa
atau wakilnya kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia melalui kantor pendaftaran fidusia di tempat kedudukan
pemberi fidusia (debitur).
d) Cassie Piutang
Pada dasarnya cessie bukan merupakan lembaga jaminan. Dalam
praktik perbankan cessie digunakan untuk memperjanjikan pengalihan
suatu piutang atau tagihan yang dijadikan jaminan suatu kredit.
6) Persetujuan Kredit
Apabila permohonan kredit dari nasabah sudah diterima, bank
mempersiapkan perjanjian kredit dengan nasabah.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perjanjian kredit adalah:
 Perjanjian kredit harus sesuai dengan tujuan penggunaan dana kredit.
 Pada perjanjian kredit telah ditentukan bahwa pengembalian uang
pinjaman itu disertai pembayaran bunga sesuai yang diperjanjikan atau
pembagian hasil.
 Sebagai penjagaan apabila debitur tidak membayar kewajiban, bank
pada umumnya mensyaratkan penyerahan agunan yang harus diikat
sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
c. Penetapan Suku Bunga (Loan Pricing)
Penetapan suku bunga kredit (loan pricing) secara praktik terbaik
dilakukan dengan berdasarkan risiko (risk based pricing/RBP). Penetapan
bunga kredit atas dasar RBP mempertimbangkan unsur: (1) biaya dana
masyarakat; (2) biaya regulasi (GWM, LPS, OJK); (3) biaya overhead baik untuk
maksud penghimpunan dana maupun biaya proses kredit; (4) biaya premi
risiko; (5) biaya modal; dan (6) marjin keuntungan bank.
1) Bunga Tetap (fixed rate) vs bunga mengambang (floating rate)
Terdapat dua jenis suku bunga kredit yang umumnya dapat diberikan
kepada nasabah berdasarkan ketentuan tarif yang diberikan, yaitu:
a) Fixed rate atau suku bunga tetap
Pada sistem fixed rate, suku bunga kredit ditentukan tetap sampai
kredit tersebut lunas. Pinjaman dengan bunga tetap akan mengandung
risiko suku bunga bagi bank.
Apabila selama masa kredit tingkat bunga pasar naik maka biaya bunga
bank akan meningkat, sedangkan pendapatan dari bunga kredit tetap
sehingga pendapatan bunga bersih bank menurun. Hal ini karena
komposisi dana pihak ketiga (DPK) pada umumnya bersifat jangka
pendek (short-term).
Dengan memberikan bunga secara fixed rate, berarti bank sudah
mengambil alih risiko perubahan suku bunga pasar. Pada umumnya
bunga secara fixed rate akan lebih tinggi dibandingkan dengan bunga
kredit floating rate.
b) Floating rate atau suku bunga mengambang
Pada sistem bunga floating rate, suku bunga kredit dibuat
mengambang sesuai dengan fluktuasi bunga pasar referensi, sebagai
contoh, suku bunga yang ditetapkan atas dasar JIBOR, SIBOR, atau
LIBOR ditambah suatu persentase tertentu sebagai marjin.
Pinjaman dengan suku bunga mengambang secara efektif mengalihkan
risiko suku bunga dari bank kepada debitur. Di lain pihak, apabila
kenaikan suku bunga terjadi terus menerus, pada akhirnya hal ini
dapat meningkatkan risiko kredit. Kenaikan suku bunga kredit akan
menyebabkan kenaikan biaya pinjaman debitur, yang apabila kenaikan
tersebut tidak disertai oleh kenaikan cash flow dari operasional usaha
debitur, dapat menyebabkan kemampuan debitur untuk memenuhi
kewajibannya kepada bank terganggu atau bahkan tidak dapat
memenuhi kewajibannya sama sekali.
4. MANAJEMEN KREDIT BERMASALAH
Aktivitas perkreditan pada umumnya akan menghasilkan sebagian kredit
yang bermasalah, yaitu yang tidak membayar kewajiban pada bank sesuai
dengan yang diperjanjikan. Pengelolaan kredit bermasalah dimaksudkan untuk
meminimalkan tingkat kerugian bank melalui restrukturisasi atau likuidasi
perusahaan.
a. Penggolongan Kualitas Pembiayaan
Berdasarkan PBI No.13/13/PBI/2011, penilaian kualitas pembiayaan
digolongkan menjadi 5 (lima) jenis kolektibilitas: (1) lancar, (2) dalam
perhatian khusus, (3) kurang lancar, (4) diragukan, dan (5) macet. Penetapan
kolektibilitas kredit ditetapkan berdasarkan tiga kriteria:
1) Prospek usaha;
2) Kinerja (performance) nasabah; dan
3) Kemampuan membayar.

Penilaian terhadap prospek usaha meliputi penilaian terhadap


komponen-komponen sebagai berikut:
 Potensi pertumbuhan usaha;
 Kondisi pasar dan posisi nasabah dalam persaingan;
 Kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja;
 Dukungan dari grup atau afiliasi; dan
 Upaya yang dilakukan nasabah dalam rangka memelihara lingkungan
hidup

Penilaian terhadap kinerja nasabah meliputi penilaian terhadap


komponen-komponen sebagai berikut.
 Perolehan laba;
 Struktur permodalan;
 Arus kas; dan
 Sensitivitas terhadap risiko pasar.

Penilaian terhadap kemampuan membayar meliputi penilaian terhadap


komponen-komponen sebagai berikut:
 Ketepatan pembayaran pokok dan marjin/bagi hasil/fee;
 Ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan nasabah;
 Kelengkapan dokumen pembiayaan;
 Kepatuhan terhadap perjanjian pembiayaan;
 Kesesuaian penggunaan dana; dan
 Kewajaran sumber pembayaran kewajiban

b. Penyebab Kegagalan dalam Pemberian Kredit


Kegagalan dalam suatu transaksi pemberian kredit dapat disebabkan oleh
berbagai macam kejadian, antara lain:
 Self-dealing (aktivitas yang dilaksanakan untuk kepentingan diri sendiri),
yaitu adanya keterlibatan pegawai bank dalam kegiatan usaha nasabah
karena adanya kepentingan pribadi atas pemberian kredit tersebut.)
 Anxiety for Income (haus akan laba), namun kurang mengupayakan sumber
pengembalian, yaitu arus kas.
 Kompromi terhadap prinsip pemberian kredit yang sehat.
 Tidak tersedia kebijakan dan prosedur perkreditan yang memenuhi syarat
suatu proses pengelolaan kredit yang baik.
 Informasi kredit untuk pengambilan keputusan tidak lengkap.
 Lambat dalam mengambil tindakan likuidasi sesuai perjanjian.
 Menggampangkan permasalahan yang terjadi.
 Tidak terdapat pengawasan kredit yang konsisten.
 Kurang memiliki kemampuan teknis.
 Ketidakmampuan melakukan seleksi atas risiko.
 Pemberian kredit yang melampaui batas.
 Tekanan persaingan usaha.

c. Penagihan (Collection)
Peran seorang penagih atau collector sangat penting dalam menentukan
tingkat keberhasilan perusahaan dalam penagihan sehingga dibutuhkan
keahlian dan teknik-teknik yang tepat dalam proses penagihan.
Petugas penagihan harus memahami peran serta fungsi bagian penagihan
kredit, mengetahui proses tindakan penagihan dan menentukan kapan dan
bagaimana caranya melakukan penagihan. Selain itu, bagian penagihan juga
perlu memahami bagaimana posisi dan peran bagian penagihan terhadap
bisnis secara keseluruhan.
Petugas penagihan harus menggunakan strategi penagihan yang sesuai
dengan kondisi debitur, memahami cara-cara mengelola kredit yang macet
berdasarkan tingkat risiko kredit tersebut serta menentukan prioritas
tindakan yang harus dilakukan pada setiap tingkat tunggakan kredit.
Teknik penagihan perlu memelajari cara komunikasi selama melakukan
penagihan, dan menentukan cara perilaku untuk mengatasi
hambatan-hambatan yang terjadi selama negosiasi berlangsung dengan tipe
debitur yang berbeda sehingga mendapatkan hasil yang memuaskan bagi
semua pihak sesuai dengan kebijakan bank yang berlaku.
Petugas penagihan harus mengenal berbagai macam laporan yang
digunakan di bagian penagihan seperti produktivitas dan portofolio MIS, cara
membaca dan cara menafsirkan artinya. Dari hasil MIS tersebut juga bisa
diketahui bahwa strategi penagihan yang digunakan berhasil atau tidak.
d. Pengeloaan Kredit Bermasalah
Penanganan kredit bermasalah dapat dilakukan dengan berbagai pilihan
seperti:
1) Rescheduling
Suatu tindakan untuk memperpanjang jadwal cicilan pokok kredit.
Penjadwalan kembali dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu
kredit atau jangka waktu angsuran kredit.
2) Reconditioning
Reconditioning merupakan metode penyehatan kredit, yaitu bank
melakukan perubahan beberapa persyaratan yang berlaku seperti
tercantum pada perjanjian kredit seperti:
 Kapitalisasi bunga, yaitu kewajiban dan tunggakan bunga dijadikan
utang pokok.
 Penundaan pembayaran bunga sampai jangka waktu tertentu.
 Penurunan suku bunga kredit.
 Pembebasan tunggakan bunga dsb.
3) Restructuring
Merupakan tindakan bank kepada nasabah, antara lain dengan cara
memberikan kredit tambahan pada nasabah, dengan pertimbangan
misalnya nasabah memang membutuhkan tambahan dana agar dapat
mengatasi permasalahan, dan usaha yang dibiayai masih dinilai layak
untuk dilanjutkan.
4) Kombinasi
Merupakan kombinasi dari upaya rescheduling, reconditioning, dan
restructuring
5) Likuidasi Agunan
Penyitaan jaminan merupakan jalan terakhir apabila nasabah sudah
benar-benar tidak mempunyai iktikad baik ataupun sudah tidak mampu
lagi untuk membayar semua kewa jibannya.
Alternatif penyelamatan kredit dipilih yang paling memberikan kerugian
minimal bagi bank. Dengan kata lain yang memberikan NPV maksimum
bagi bank.

5. PERHITUNGAN KECUKUPAN MODAL UNTUK MENUTUP RISIKO KREDIT


Basel Committee melalui BCBS dan Bank Indonesia menentukan tiga
pendekatan yang dapat digunakan oleh setiap bank dalam menghitung
kebutuhan modal untuk menutup risiko kredit, yaitu:
 Standardized Approach (Pendekatan Standar)
 Internal Rating Based Approach (Pendekatan Internal), dibagi atas:
(1) Internal Rating Based-Foundation (IRB-F) dan (2) Internal Rating Based
Approach Advanced (IRB-A).
Sampai saat ini (Agustus 2014), Bank Indonesia baru mengeluarkan PBI
mengenai perhitungan kecukupan modal untuk menutup risiko kredit
menggunakan Pendekatan Standar, yaitu melalui SEBI No.13/6/DPNP
tanggal 18 Februari 2011. Peraturan menggunakan Pendekatan Internal
belum dikeluarkan.
a. Standardized Approach (Pendekatan Standar)
Dalam Pendekatan Standar, peringkat kredit ditetapkan oleh lembaga
pemeringkat eksternal yang sudah diakui oleh Bank Indonesia. Bank dapat
menggunakan peringkat yang ditetapkan oleh lembaga pemeringkat dimaksud
untuk menetapkan bobot risiko untuk tujuan kecukupan modal.
Kebutuhan modal dengan menggunakan Pendekatan Standar adalah
minimal 8% dikalikan eksposur atau ATMR (Aktiva Tertimbang Menurut
Risiko).
Untuk menentukan ATMR dengan Pendekatan Standar pada Basel II pilar
1, aset bank dibagi ke dalam kategori aset tertentu, kemudian masing-masing
kategori aset tersebut diberi bobot risiko sesuai dengan tingkat risiko. Pada
pendekatan ini, rating dari perusahaan debitur akan menentukan besarnya
bobot risiko.
ATMR risiko kredit Pendekatan Standar merupakan hasil perkalian antara
tagihan bersih dengan bobot risiko.
Sesuai SEBI No. 13/6/DPNP tanggal 18 Februari 2011, penetapan bobot
risiko eksposur dilakukan berdasarkan kategori portfolio sebagai berikut:
 Tagihan Kepada Pemerintah.
 Tagihan Kepada entitas sektor publik.
 Tagihan Kepada bank pembangunan multilateral dan lembaga
internasional.
 Tagihan Kepada bank.
 Tagihan kepada korporasi.
 Surat berharga yang memiliki peringkat jangka Pendek.
 Tagihan yang tidak didasarkan pada peringkat.
Tagihan bersih eksposur aset dalam neraca adalah nilai tercatat aset
ditambah dengan tagihan bunga yang belum diterima (jika ada) setelah
dikurangi dengan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN).
1) Penilaian Kredit oleh Pihak Eksternal
Hasil penilaian dalam bentuk rating harus dilakukan oleh lembaga rating
eksternal yang diakui oleh Bank Indonesia. Kriteria yang harus dipenuhi
oleh lembaga rating eksternal adalah sebagai berikut:
 Objektivitas
 Independen
 Transparansi
 Sumber daya yang mencukupi
 Kredibilitas
2) Mitigasi Risiko Kredit
Untuk transaksi dengan agunan, nilai agunan diperkenankan untuk
mengurangi eksposur risiko terhadap suatu counterparty ketika
memperhitungkan kebutuhan modal. Jenis agunan keuangan yang diakui
yaitu:
 Kas dan emas termasuk deposito yang diterbitkan oleh bank kreditur.
 Surat utang yang diperingkat oleh lembaga pemeringkat eksternal yang
diakui dengan peringkat tertentu, minimal dengan rating BBB- (atau
BB- apabila diterbitkan oleh pemerintah).
 Surat utang yang tidak diperingkat oleh lembaga pemeringkat
eksternal yang diakui dan memenuhi persyaratan tertentu.
 Ekuitas (termasuk obligasi konversi) yang termasuk dalam indeks
utama bursa efek.
 Investasi kolektif pada efek yang dapat ditransfer dan reksadana yang
memenuhi persyaratan tertentu.
 Khusus untuk debitur non-lancar, mitigasi risiko kredit dapat
memperhitungkan agunan berupa aktiva tetap seperti tanah dan
bangunan.

b. Internal Rating Based Approach (Pendekatan Internal),


Pendekatan Internal Rating Based (IRB) mengukur risiko berdasarkan
internal rating yang telah dimiliki oleh bank. Jika bank memilih untuk
menggunakan pendekatan IRB, bank harus memenuhi ketentuan-ketentuan
persyaratan minimum, dan mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia
sebagai pengawas.
Parameter
Komponen risiko pada pendekatan ini adalah:
1) Probability of Default(PD)
Probability of Default (PD) adalah besarnya kemungkinan/probabilitas
debitur mengalami wanprestasi atau tidak mampu mengembalikan
kewajibannya baik pokok maupun bunga pinjaman. PD merupakan
estimasi ke depan dan biasanya dengan time horizon 1 tahun.
2) Loss Given Default (LGD)
Loss Given Default (LGD) adalah estimasi potensi kerugian bank jika terjadi
wanprestasi. Besar LGD adalah (1-recovery rate), yaitu recovery rate
adalah tingkat pengembalian pinjaman, setelah bank melakukan upaya
penagihan dan atau penjualan agunan atas kredit macet.
3) Exposure at Default (EAD)
Exposure at Default (EAD) adalah estimasi besarnya eksposur kredit pada
saat terjadi wanprestasi.
4) Effective Maturity(M)
Maturity (M) adalah sisa jangka waktu kredit/instrumen kredit. Komponen
risiko ini diterapkan hanya untuk tagihan kepada pemerintah, korporasi,
dan bank.
IRB approach dibagi menjadi 2 (dua) yaitu sebagai berikut:
 Foundation IRB
 Advanced IRB
Perbedaaan di antara keduannya adalah sebagai berikut:
Komponen Risiko F-IRB A-IRB
PD Interval Internal
LGD Supervisor Internal
EAD Supervisor Internal
Data Yang Dibutuhkan 5 Tahun 7 Tahun

Dengan formula yang ditetapkan oleh BCBS atau regulator maka


kebutuhan modal dapat ditentukan
BAB V
MARKET RISK

1. PEMAHAMAN RISIKO PASAR


Risiko pasar adalah risiko perubahan harga pada posisi neraca dan
rekening administratif termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara
keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan harga option.
Risiko pasar antara lain terdapat pada aktivitas fungsional bank seperti
kegiatan treasury (trading book) dan aktivitas investasi dalam bentuk surat
berharga, termasuk perkreditan (banking book). Risiko pasar pada bank terjadi
karena bank memiliki posisi, baik posisi trading book maupun posisi banking
book, dan faktor pasar berubah, yang mengakibatkan nilai pasar dari posisi
bank berubah.
a. Cakupan Portofolio yang Diperhitungkan
Posisi yang diperhitungkan dalam pengukuran risiko pasar mencakup
portofolio dalam kategori sebagai berikut.
 Untuk instrumen yang terekspos suku bunga, perhitungan risiko pasar
hanya mencakup portofolio trading book.
 Untuk instrumen yang terekspos nilai tukar, perhitungan risiko pasar
mencakup portofolio trading book dan banking book.
b. Faktor Risiko Pasar
Secara umum, jenis risiko pasar dapat dibagi menjadi empat kategori risiko
pasar atau disebut juga dengan risiko pasar umum (general market risk), yaitu:
1) Risiko Suku Bunga (Interest Rate Risk)
Adalah potensi kerugian pada posisi neraca bank yang timbul akibat
pergerakan suku bunga di pasar yang berlawanan dengan posisi, sehingga
harga pasar dari posisi bank menjadi turun nilainya, atau risiko pada
transaksi bank yang mengandung risiko suku bunga.
2) Risiko Nilai Tukar (Foreign Exchange Risk)
Adalah potensi kerugian pada posisi valuta asing milik bank, yang nilai
dalam valuta domestik menurun akibat terjadi fluktuasi nilai tukar. Risiko
nilai tukar biasanya timbul akibat bank memiliki posisi terbuka (FX gap)
valuta asing, dan terjadi perubahan nilai tukar yang menyebabkan nilai
yang dinyatakan dalam valuta domestik menjadi turun. Untuk bank yang
harus melakukan konsolidasi risiko dengan anak perusahaan yang
bergerak di bidang sekuritas, jenis risiko ditambah dengan:
3) Risiko Harga Ekuitas atau Saham (Equity Risk)
Adalah potensi kerugian pada nilai pasar posisi bank dalam bentuk saham,
akibat fluktuasi harga saham di pasar. Risiko ekuitas dapat terjadi karena
adanya perubahan harga saham atas portofolio saham yang dimiliki bank.
Oleh karena perbankan Indonesia tidak diperkenankan mempunyai posisi
saham maka risiko ekuitas hanya ada pada bank yang memiliki perusahaan
anak yang bergerak pada bidang sekuritas.
4) Risiko Harga Komoditas (Commodity Risk)
Adalah potensi kerugian pada posisi komoditas yang dimiliki bank, akibat
fluktuasi harga komoditas. Risiko komoditas dapat terjadi pada posisi
komoditas termasuk posisi derivatif komoditas. Untuk bank di Indonesia,
karena sesuai regulasi tidak dapat melakukan transaksi atau melakukan
investasi terkait dengan komoditas maka risiko komoditas hanya ada pada
bank yang memiliki perusahaan anak yang bergerak pada bidang sekuritas.
c. Posisi yang Diperhitungkan dalam Risiko Pasar
Pada saat bank melakukan transaksi membeli surat berharga seperti
obligasi dan sejenisnya, pembukuan yang dilakukan bank atas transaksi
tersebut tergantung dari maksud bank melakukan pembelian tersebut.
1) Apabila bank melakukan pembelian, dengan niat untuk dijual kembali
dalam jangka pendek dengan menikmati keuntungan kenaikan harga surat
berharga maka posisi pembelian surat berharga tersebut dilakukan pada
akun trading atau trading account (TA).
2) Apabila bank melakukan pembelian dengan niat untuk dijual kembali pada
saat bank membutuhkan tambahan likuiditas maka posisi pembelian surat
berharga tersebut dilakukan pada akun Available for Sale (AFS);
3) Apabila bank melakukan pembelian dengan niat untuk disimpan sampai
jatuh tempo dengan menikmati kupon atau bunga dari surat berharga
tersebut maka posisi pembelian surat berharga tersebut dilakukan pada
akun Held to Maturity (HTM).
Setiap posisi bank yang berpotensi menimbulkan laba atau rugi akibat
perubahan faktor pasar, akan mengandung risiko pasar. Dalam kaitan dengan
pengelolaan risiko pasar, portofolio bank dikelompokkan menjadi portofolio
trading book dan banking book.

2. TRADING BOOK
Trading book adalah seluruh posisi perdagangan bank (proprietary
position) pada instrumen keuangan dalam neraca (on balance sheet) dan atau
rekening administratif (off balance sheet) serta transaksi derivative yang
dicatat sebagai trading account (TA). Transaksi tersebut dimaksudkan untuk
dimiliki dan dijual kembali guna memeroleh keuntungan dalam jangka pendek
dari perubahan harga.
Posisi trading book terjadi antara lain dari kegiatan perantaraan
(brokering), pembentukan pasar (market making), atau transaksi lindung nilai
(hedging) atas portofolio bank lainnya yang diklasifikasikan sebagai trading
book. Pada transaksi brokering murni, sebenarnya bank tidak memegang
posisi, namun dalam praktik, untuk dapat memberikan pelayanan pada
nasabah, bank sering melakukan transaksi brokering dengan memegang posisi
untuk sementara waktu, sebelum dijual pada pihak lain yang bermaksud
membeli surat berharga tersebut.
Contoh portofolio trading book, misalnya bank membeli surat hutang
(obligasi) dengan tujuan akan dijual kembali dalam jangka pendek, tanpa
menunggu obligasi tersebut jatuh tempo.
Contoh lainnya, bank melakukan transaksi jual dan beli valuta asing, baik
yang bersifat sederhana (plain vanilla) maupun dalam bentuk derivatif, dengan
memelihara posisi valuta asing agar dapat memperlancar aktivitas
perdagangan valuta asing tersebut.
Terhadap Posisi trading account, bank perlu melakukan proses penentuan
harga pasar atau marked to market setiap hari. Dengan proses tersebut maka
akan terdapat laba atau rugi yang selanjutnya dibukukan langsung pada posisi
rugi laba bank. Bagi bank yang memiliki portofolio trading account dalam
jumlah besar maka laporan laba/rugi bank akan berfluktuasi sebagai akibat
proses marked to market tersebut.
Portofolio trading account, pada umumnya merupakan portofolio unit
bisnis treasury sebagai unit operasional atau front office. Metode perhitungan
nilai pasar (marked to market) ditentukan oleh unit manajemen risiko yang
independen (middle office). Sementara itu, pelaksanaan perhitungan marked to
market harian dilakukan oleh bagian administrasi atau back office. Pembagian
fungsi ini dilakukan untuk menghindarkan adanya benturan kepentingan oleh
pihak front office dalam penentuan harga pasar.
Pada umumnya posisi trading book dapat dibagi menjadi posisi instrument
tunai (cash instrument) dan posisi derivatif (derivatif instrument).
a. Posisi Instrumen Tunai (Cash Instrumnet)
Posisi tunai terdiri dari surat berharga jangka pendek dan jangka panjang
1) Surat Berharga Jangka Pendek
Yang tergolong sebagai surat berharga jangka pendek adalah:
 Sertifikat Bank Indonesia (SBI): surat berharga dalam mata uang IDR
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang dengan
jangka waktu pendek (sampai dengan 12 bulan).
 Fasilitas Bank Indonesia (Fasbi): penempatan dana yang dilakukan
kepada Bank Indonesia dengan jangka waktu sesuai yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
 Repurchase agreement (Repo): SBI dan Surat Bendahara Negara (SBN);
transaksi penjualan dengan jaminan Surat Berharga (SBI dan SBN)
dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka
waktu yang disepakati.
 Reverse Repo SBI/SBN: transaksi pembelian surat berharga (SBI dan
SBN) dengan kewajiban melakukan penjualan kembali sesuai dengan
harga dan jangka waktu yang disepakati.
 Fine Tune Operation (FTO): transaksi dalam rangka operasi pasar
terbuka (OPT) yang dilakukan sewaktu-waktu oleh BI apabila
diperlukan untuk memengaruhi likuiditas perbankan jangka pendek
pada waktu, jumlah dan harga transaksi yang ditetapkan oleh BI. FTO
terdiri atas:
 Fine Tune Ekspansi (FTE); dalam rangka penambahan likuiditas
perbankan secara jangka pendek.
 Fine Tune Kontraksi (FTK); dalam rangka penyerapan likuiditas
perbankan secara jangka pendek.
 SBN dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun dan Surat
Perbendaharaan Negara (SPN).
SPN adalah surat utang negara yang berjangka waktu sampai dengan
12 bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto, dengan maksimal
sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun.
2) Surat Berharga Jangka Panjang
Surat berharga jangka panjang atau sekuritas adalah surat pengakuan
utang, wesel, obligasi, sekuritas kredit dan setiap derivatif terkait, atau
suatu kewajiban dari penerbit dalam bentuk yang lazim diperdagangkan di
pasar modal dan pasar uang.
Jenis Surat Berharga dapat dibagi dalam:
 Surat Berharga Pemerintah
 Surat berharga yang diterbitkan oleh suatu pemerintah negara
tertentu, misalnya surat berharga negara (SBN) Republik Indonesia,
U.S. Treasury , Republic of Philippines Bonds, dan sebagainya.
 Surat Berharga Korporasi.
 Surat berharga yang diterbitkan oleh perusahaan termasuk bank, baik
milik pemerintah maupun swasta di dalam maupun luar negeri.
b. Produk Derivative (Derivative Instrument)
Produk derivatif adalah suatu produk dengan nilai tergantung dari produk
atau transaksi yang mendasari (underlying transactions). Kontrak derivatif
merupakan kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilai dari derivatif
tersebut merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti
suku bunga, nilai tukar, commodity, equity, dan indeks. Berdasarkan jenis
underlying, transaksi derivatif dibedakan antara lain atas transaksi terkait
nilai tukar valuta asing, suku bunga, surat berharga, equity dan commodities
1) Produk Derivatif terkait Nilai Tukar Valuta Asing
Produk derivatif yang terkait dengan nilai tukar valuta asing (foreign
exchange) diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bank maupun nasabah,
antara lain:
 Transaksi Currency Forward dengan berbagai variasi
yaitu kontrak pembelian atau penjualan valuta asing terhadap valuta
Rupiah atau valuta asing lainnya pada tanggal valuta di masa yang akan
datang, dengan harga yang ditentukan pada tanggal kontrak.
 Transaksi Currency Swap
yaitu kontrak pembelian atau penjualan valuta asing terhadap Rupiah
atau valuta asing lainnya pada tanggal valuta tertentu, sekaligus dengan
perjanjian untuk menjual atau membeli kembali pada tanggal valuta
yang berbeda dengan harga yang ditentukan pada tanggal kontrak
ditutup.
 Transaksi Currency Option
yaitu kontrak pembelian atau penjualan hak untuk membeli (call)
ataumenjual (put) atas sejumlah valuta asing tertentu terhadap Rupiah
atau valuta asing lainnya pada harga yang telah ditentukan (strike
price) untuk suatu periode tertentu dengan membayar (bagi pembeli
option) atau menerima (bagi penjual option) sejumlah premi tertentu.
2) Produk Derivatif terkait Suku Bunga
Produk derivatif yang terkait dengan suku bunga (interest rate) untuk
memenuhi kebutuhan bank maupun nasabah yang dapat dilaksanakan oleh
bank, antara lain:
 Forward Rate Agreement (FRA)
Suatu kontrak antara dua pihak untuk menetapkan suatu suku bunga
masa depan pada tingkat yang ditentukan untuk jangka waktu yang
sudah disepakati lebih dulu.
 Interest Rate Swap (IRS)
Kontrak pertukaran dua pembayaran suku bunga yang memiliki
karakteristik berbeda. Perbedaan karakteristik tersebut antara lain
sifat bunga (fixed & floating) atau indeks yang digunakan. Kontrak IRS
tidak melakukan penyerahan pokok, nilai pokok hanya sebagai patokan
notional amount.
 Interest Rate Option
Kontrak yang memberikan perlindungan kepada pembeli dari
kenaikan/penurunan suku bunga pada level tertentu (interest rate
cap/floor) dengan membayar fee. Kontrak ini tidak melakukan
penyerahan pokok valuta.
3) Produk Derivatif terkait Surat Berharga
Produk derivatif terkait dengan surat berharga (securities) digunakan
untuk memenuhi kebutuhan bank maupun nasabah, antara lain Bond
Option, yaitu Kontrak pembelian atau penjualan hak untuk membeli (call)
atau menjual (put) surat berharga pada harga yang telah ditentukan (strike
price) untuk suatu periode tertentu dengan membayar (bagi pembeli
option) atau menerima (bagi penjual option) sejumlah premi tertentu.
c. Pengukuran Risiko Pasar Trading Book
Untuk mengukur besar risiko pasar trading book, perlu ditetapkan terlebih
dahulu:
 Nilai pasar dari posisi portofolio trading.
 Sensitivitas dari nilai pasar portofolio trading terhadap perubahan faktor
pasar.
 Volatilitas dari nilai pasar yang dapat mempengaruhi nilai pasar dari
portofolio trading.
1) Komponen Risiko Pasar
Secara umum komponen risiko pasar terdiri dari:
a) Risiko Spesifik (Specific Risk)
Adalah risiko perubahan nilai pasar sekuritas akibat faktor risiko
kredit penerbit (issuer) sekuritas. Contoh, harga sekuritas turun
akibat dari memburuknya kinerja penerbit surat berharga seperti
penurunan rating. Dampak penurunan harga hanya terjadi pada
sekuritas yang diterbitkan issuer tersebut, dan tidak memberikan
dampak pada harga sekuritas secara umum.
b) Risiko Pasar secara umum (General Market Risk)
Adalah risiko terjadinya potensi kerugian secara umum akibat
perubahan variabel pasar. Risiko pasar tersebut timbul sebagai
akibat dari perubahan variabel pasar sehingga memengaruhi harga
pasar kelompok instrumen yang terkait. Faktor pasar yang
menyebabkan harga pasar sekuritas turun misalnya tingkat bunga
atau yield pada kelompok jenis instrumen tertentu. Sebagai contoh,
kenaikan suku bunga BI rate (yang merupakan benchmark pasar)
dapat menyebabkan harga pasar surat berharga (bond) turun.
2) Valuasi Niali Pasar dari Posisi Trading
Pengukuran risiko pasar dimulai dengan menghitung besarnya eksposur
atau nilai pasar untuk masing-masing instrumen pada portofolio, yaitu
dengan melakukan proses valuasi. Untuk memastikan bahwa bank sudah
melakukan valuasi secara konsisten, bank menggunakan data harga pasar
untuk melakukan proses valuasi setiap instrumen, yang dianggap reliable
dan tepat waktu.
Apabila data harga pasar suatu instrumen tidak tersedia, bank dapat
menggunakan suatu model yang dapat mencerminkan harga pasar
instrumen tersebut. Dalam hal ini bank disebut melakukan mark to model.
Untuk mengukur risiko pasar pada bank secara keseluruhan, terlebih
dahulu perlu ditentukan risiko pasar dari masing-masing instrumen,
kemudian menentukan risiko portofolio dengan memperhitungkan
korelasi diantara berbagai faktor pasar.
3) Sensitivitas dari Posisi Trading Book
Sensitivitas dari posisi trading book adalah perubahan harga pasar dari
posisi trading book akibat perubahan satu satuan perubahan faktor pasar.
Faktor pasar dari posisi valuta asing adalah nilai tukar yang berlaku di
pasar. Faktor pasar dari posisi obligasi adalah suku bunga pasar.
Sebagai contoh, apabila bank membeli valuta asing USD sebesar USD 10
juta dengan nilai tukar Rp10.000 per USD = Rp100 miliar. Apabila nilai
tukar USD melemah 1%, artinya nilai tukar USD/IDR sekarang menjadi
Rp.9.900/USD atau Rp99 miliar maka kerugian posisi tersebut adalah
sebesar 1% atau Rp.1 miliar. Jadi, apabila bank membeli USD senilai Rp.1
miliar, apabila nilai tukar USD melemah 1% maka kerugian bank adalah
1% x Rp100 miliar = Rp1 miliar.
Untuk posisi obligasi, penurunan harga obligasi akibat penurunan suku
bunga tidak dapat dihitung secara langsung seperti di atas, melainkan
dengan menggunakan Modified Duration (MD). Apabila MD dari suatu
posisi obligasi = 5; apabila suku bunga naik sebesar 1 bp atau basis point
(1% = 100 bp) maka nilai pasar obligasi akan turun sebesar 5 bp. Sebagai
contoh, suatu obligasi mempunyai nilai pasar Rp100 mi liar; obligasi
tersebut mempunyai MD = 5. Apabila suku bunga pasar naik sebesar 1 bp
maka nilai pasar obligasi akan turun sebesar 5 bp atau turun sebesar Rp.10
juta.
4) Volatilitas Faktor Pasar
Volatilitas faktor pasar merupakan ukuran perubahan faktor pasar pada
satu periode tertentu (misalnya dalam satu hari) dengan tingkat keyakinan
atau confident level tertentu (misalnya 99%). Volatilitas faktor pasar
merupakan salah satu faktor yang akan memengaruhi nilai aset yang pada
gilirannya menimbulkan potensi kerugian akibat risiko pasar.
Pengukuran volatilitas faktor pasar dilaksanakan atas dasar distribusi
statistik, menggunakan data pasar yang pada umumnya merupakan data
harian, kemudian menetapkan tingkat volatilitas dengan confident level
tertentu. Volatilitas suatu faktor pasar adalah volatilitas dengan periode
waktu tertentu dan dengan tingkat confident level atau probability
tertentu. Sebagai contoh, dari data suku bunga harian, diperoleh volatilitas
suku bunga dengan periode satu hari dan dengan confident level 99%
adalah 2.5%, artinya dalam periode waktu satu hari, suku bunga pasar
biasanya berubah sebesar 2.5% dengan tingkat keyakinan 99%.
5) Value at Risk (VAR)
VaR merupakan suatu angka atau jumlah yang menggambarkan perkiraan
besarnya kerugian portofolio bank akibat penurunan harga pasar karena
perubahan faktor pasar pada periode waktu tertentu dan dengan tingkat
confident level atau probability tertentu. Dengan kata lain, VaR merupakan
representasi dari potensi kerugian finansial yang mungkin terjadi di masa
mendatang atas posisi yang dimiliki bank dalam suatu periode tertentu
dengan tingkat keyakinan tertentu (confidence level).
Pada umumnya, portofolio suatu bank terdiri dari berbagai instrumen
(bonds, swaps, options dll.) yang perlu diketahui besar risiko pasar atas
posisi tersebut. Nilai VaR diperoleh dengan mengalikan posisi portofolio
dengan sensitivitas dan volatilitas faktor pasar yang relevan.
Salah satu kendala dalam mengukur risiko pasar adalah pada masa lalu
tidak ada satu ukuran yang seragam untuk mengukur risiko pasar untuk
masing-masing instrumen. VaR merupakan suatu pendekatan dalam
mengukur volatilitas dari nilai pasar aset bank. VaR dapat dinyatakan
dalam nilai absolut atau persentase dari nilai pasar. Sebagai contoh, VaR
sebesar Rp.10 miliar atau VaR sebesar 2,5% dari portofolio.
d. Pengendalian Risiko Pasar
Salah satu pendekatan dalam mengendalikan risiko pasar adalah dengan
menggunakan sistem limit. Dengan pendekatan ini, bank menetapkan
limit-limit dengan jumlah tertentu agar risiko pasar tetap terkendali sekaligus
dapat mengakomodasi kebutuhan bisnis unit dalam melakukan aktivitas
bisnis.
Pada prinsipnya limit tidak boleh dilanggar, namun demikian pada kondisi
tertentu pelanggaran limit tidak bisa dihindarkan. Apabila limit yang telah
ditetapkan tersebut dilanggar maka bank segera menyusun action plan untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Namun, apabila limit yang ditetapkan cukup
sering dilanggar maka bank perlu melakukan review besarnya limit agar sesuai
dengan perkembangan kebutuhan bisnis bank dan pasar.
1) Pengelolaan Limit
Seluruh aktivitas dan posisi trading book yang mengandung risiko pasar
dikendalikan dengan sistem limit. Limit risiko merupakan batasan untuk
mengendalikan risiko atas transaksi trading. Limit mencerminkan risk
appetite atau besarnya toleransi risiko pasar yang dapat diterima bank.
Jenis-Jenis Limit:
Jenis-jenis limit risiko yang terkait dengan pengelolaan trading book
mencakup tidak hanya limit risiko pasar, tetapi juga mencakup limit atas
risiko kredit yang timbul dalam aktivitas treasury. Jenis dan ukuran limit
ditetapkan sesuai dengan kompleksitas transaksi, volume transaksi, jenis
dan tingkat risiko yang dihadapi.
Beberapa limit risiko pasar yang umum digunakan bank, antara lain:
a) Limit Value at Risk (Limit VaR)
Limit VaR merupakan batasan potensi kerugian dari eksposur yang
dimiliki bank apabila ada sebagai posisi selama periode tertentu dan
tingkat keyakinan tertentu.
Limit VaR termasuk limit strategis karena menjadi dasar penetapan
limit-limit lain yang terkait dengan transaksi Treasury dalam kategori
Trading Book.
b) Limit Nominal (Limit dealer, limit Net Open Position/NOP)
Limit nominal ditujukan untuk membatasi jumlah posisi terbuka yang
diperbolehkan untuk dimiliki dalam periode waktu tertentu
c) Limit Cut Loss atau Limit Stop Loss
Limit Cut Loss adalah harga terendah (kerugian maksimum) yang
dapat diterima bank untuk setiap posisi terbuka yang dimiliki dalam
kategori trading book, yaitu dealer harus menutup posisi rugi tersebut.
Limit Cut Loss merupakan peringatan dini yang menunjukkan bank
telah menderita kerugian melampaui batas yang dapat diterima.
d) Limit Transaksi (Single Transaction Limit)
Limit transaksi adalah batas maksimum nominal per transaksi yang
boleh dilakukan oleh dealer.
e) Limit Periode Kepemilikan (Holding Period Limit)
Limit Periode Kepemilikan adalah batas maksimum kepemilikan atas
suatu instrumen keuangan yang termasuk dalam trading book.
f) Limit Jangka Waktu (Tenor Limit)
Limit Jangka Waktu atau Tenor Limit suatu transaksi instrumen
treasury pada umumnya tidak dibatasi, namun harus memerhatikan
tingkat likuiditas dari instrumen dimaksud.
g) Limit Stress Test
Limit Stress Test adalah batasan potensi kerugian atas eksposur yang
dimiliki bank berdasarkan skenario perubahan faktor pasar secara
ekstrim
2) Monitoring Pelaporan
Penggunaan limit yang telah ditetapkan harus dimonitor secara periodik
(harian, mingguan, bulanan dll.) tergantung kebutuhan. Aktivitas
memonitor limit akan berguna apakah terjadi pelanggaran limit atau limit
yang ditetapkan tidak dipergunakan secara optimal.
Dalam hal terjadi pelampauan limit maka bank harus segera melakukan
penyesuaian dan menutup pelampauan tersebut sehingga tidak
memengaruhi jumlah alokasi modal atas risiko yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Setiap pelampauan limit harus dapat diidentifikasi dengan segera dan
ditindaklanjuti dengan langkah yang tepat agar risiko dapat dikendalikan.

e. Perhitungan Beban Modal (Capital Charge)


Bank wajib menyediakan modal dalam jumlah tertentu untuk menutup
risiko pasar atas portofolio yang dimiliki. Perhitungan kecukupan modal bank
sebesar minimum 8% merupakan persyaratan utama yang harus dipenuhi
bank dalam menjalankan aktivitas bisnis. Bank dalam menghitung kecukupan
modal tersebut dapat mempergunakan metode standar atau metode internal
Pendekatan yang paling sederhana dalam pengukuran modal yang
diperlukan untuk menutup risiko pasar adalah seperti yang diatur dalam PBI
No. 5/23/PBI/2003 yang kemudian diubah oleh PBI No.9/13/PBI/2007 yaitu
pendekatan metode standar. Pendekatan lain yang dapat dilakukan bank
disebut metode model internal. Penerapan metode model internal memerlukan
berbagai persyaratan kuantitatif maupun kualitatif untuk menjamin
keakuratan model yang dipergunakan.
1) Metode Standar
Bank Indonesia mewajibkan bank yang memenuhi kriteria tertentu untuk
melakukan perhitungan risiko pasar dengan menggunakan Metode Standar
sejak tahun 2003. Tujuan perhitungan risiko pasar dengan metode standar
adalah untuk memenuhi ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) sebesar 8% dengan memperhitungkan faktor risiko pasar.
Metode Standar pada perhitungan kebutuhan modal untuk menutup risiko
pasar adalah pendekatan perhitungan yang dibuat secara standar dan
ditetapkan oleh Bank Indonesia. Di samping relatif sederhana, standarisasi
tersebut dapat mengurangi beban pelaporan oleh bank, serta memberikan
acuan bagi pengawas dalam melakukan verifikasi.
Perhitungan beban modal untuk risiko suku bunga meliputi:
a) Risiko spesifik atau risiko penerbit surat berharga dari setiap efek atau
instrumen keuangan, tanpa memerhatikan posisi long atau posisi short.
b) Risiko umum dari keseluruhan portofolio, yaitu posisi long atau posisi
short dalam efek atau instrumen keuangan yang berbeda dapat
dilakukan saling hapus.
Setelah diperoleh modal yang diperlukan, dapat ditentukan ATMR untuk
risiko pasar dengan cara mengonversikan jumlah beban modal untuk
seluruh jenis risiko pasar menjadi ekuivalen dengan ATMR (dikalikan
dengan angka 12,5, yaitu 100/8). Selanjutnya, perhitungan KPMM dengan
memperhitungkan risiko kredit dan risiko pasar dilakukan dengan formula
sebagai berikut:

( )
( )

 Menjumlahkan ATMR untuk risiko kredit dengan eksposur tertimbang


menurut risiko pasar.
 Menghitung modal bank yang terdiri atas modal Inti (Tier 1), modal
pelengkap (Tier 2), dan modal pelengkap tambahan (Tier 3) yang
dialokasikan untuk menutup risiko pasar setelah dikurangi penyertaan.
 Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi, penyertaan yang
menjadi pengurang modal adalah penyertaan bank kepada perusahaan
anak yang tidak wajib dikonsolidasikan sesuai ketentuan yang berlaku.
 Membagi total modal dengan jumlah ATMR dan eksposur tertimbang
yang hasilnya dinyatakan dalam persentase.
Modal pelengkap tambahan (Tier 3) yang digunakan dalam
perhitungan rasio KPMM adalah sebesar modal yang dibutuhkan untuk
menutup risiko pasar trading book. Modal pelengkap tambahan (Tier
3) yang memenuhi persyaratan namun tidak digunakan dalam
perhitungan rasio KPMM, dihitung sebagai rasio kelebihan modal
pelengkap tambahan (excess Tier 3 capital ratio)
2) Metode Model Internal (Internal Model)
Internal Model merupakan model yang dikembangkan oleh bank untuk
mengukur risiko pasar dengan menggunakan Value at Risk (VaR). VaR
merupakan alat analisis dan kontrol bagi manajemen agar dapat
mewaspadai potensi kerugian pada posisi trading book apabila melebihi
toleransi atau limit yang sudah ditetapkan bank.
Sebelum bank dapat menggunakan model internal dalam perhitungan
KPMM, bank harus memenuhi persyaratan umum, persyaratan kualitatif,
dan persyaratan kuantitatif seperti yang dipersyaratkan oleh regulator.
Bank juga wajib memeroleh persetujuan kembali dari Bank Indonesia
apabila akan melakukan modifikasi atas penggunaan model internal yang
mencakup perhitungan beban modal (capital charge) harian, model
internal yang digunakan bank harus dapat menghitung beban modal untuk
risiko pasar setiap hari.

3. BANKING BOOK
Banking book adalah posisi atau portofolio bank yang tidak termasuk
kategori trading book, yaitu posisi AFS dan posisi HTM. Sebagai contoh, posisi
pembiayaan, posisi dana pihak ketiga, posisi portofolio yang dibeli dengan
maksud disimpan sampai jatuh tempo. Terhadap posisi AFS, bank perlu
melakukan proses penentuan harga pasar atau marked to market setiap hari.
Dengan proses tersebut maka akan terdapat laba atau rugi yang selanjutnya
dibukukan tidak pada posisi rugi laba bank, melainkan dibukukan langsung
pada akun ekuitas. Bagi bank yang memiliki portofolio AFS dalam jumlah
besar, laporan ekuitas bank akan berfluktuasi sebagai akibat proses marked to
market tersebut. Terhadap posisi HTM, bank mencatat pada harga pembelian,
dan tidak perlu melakukan proses penentuan harga pasar atau marked to
market. Sebagai lembaga intermediary, bank mengumpulkan dana masyarakat
dan menyalurkan kredit maupun menginvestasikan dalam bentuk aset
keuangan seperti SUN, obligasi korporasi, SBI dan lainnya. Aktivitas yang
dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan fungsi intermediary keuangan
tersebut disebut aktivitas banking book. Posisi banking book mengakibatkan
bank memiliki eksposur kepada risiko suku bunga, risiko nilai tukar, maupun
risiko lain seperti risiko likuiditas, risiko kredit dan risiko operasional.
Pengelolaan risiko dan bisnis dalam aktivitas banking book dikenal sebagai
ALM (Assets & Liability Management).
Neraca sebuah bank memperlihatkan aset yang dimiliki dan kewajiban
bank serta kepemilikan/ekuitas dengan hubungan sebagai berikut:

ASET = KEWAJIBAN + EKUITAS

 Aset bank dapat dibagi menjadi 4 kategori sebagai berikut.


 Kas dan setara kas; seperti dana tunai di kas kantor cabang, ATM,
GWM, penempatan di bank lain, dan FTK.
 Penyaluran dana dalam bentuk kredit seperti KPR, kredit modal kerja,
dan KUK.
 Aset Investasi; seperti SBI, SUN, obligasi korporasi, dan produk
investasi lain.
• Aset lain seperti kantor tanah dan bangunan.
 Kewajiban dan ekuitas bank dapat dibagi menjadi 4 kategori sebagai
berikut.
 Dana masyarakat: seperti tabungan, giro dan deposito.
 Utang antarbank/ jangka pendek: FTE.
 Utang jangka panjang (lebih dari 1 tahun); seperti obligasi yang
diterbitkan.
 Modal: obligasi subordinasi yang diterbitkan, laba, saham, dan
cadangan.
a. Identifikasi Risiko Suku Bunga pada Banking Book
Pendapatan utama dari bank adalah dari bisnis perkreditan. Pendapatan
bunga dikurangi dengan biaya bunga disebut dengan pendapatan bunga bersih
atau Net Interest Income (NII). NII dibagi dengan baki debet kredit disebut
dengan Net Interest Margin (NIM).
Laporan laba/rugi sebuah bank akan memperlihatkan bahwa pendapatan
bunga (Interest Income) dari kredit dan aset produktif lainnya, dan biaya bunga
dari dana masyarakat, merupakan bagian utama dari struktur pendapatan dan
biaya bank secara keseluruhan. Selisih dari pendapatan dan biaya bunga
disebut sebagai pendapatan bunga bersih atau Net Interest Income (NII).

Net Interest Income = Interest Income – Interest Expense

Modal bank dapat dilihat pada neraca dan dicatat pada nilai buku sebagai
nilai Aset dikurangi dengan liabilities. Nilai pasar dari modal disebut dengan
Economic Value of Equity (EVE), biasanya berbeda dengan nilai buku.
Perbedaan nilai buku dari modal dan nilai pasarnya dapat dilihat dari PBV
(Price to Book Value). Suatu bank (yang sudah tercatat pada pasar modal)
dengan PBV = 2, artinya mempunyai nilai pasar dua kali nilai bukunya.
Risiko pasar pada posisi banking book adalah potensi kerugian dari posisi
banking book terutama akibat:
 Perubahan suku bunga pasar menimbulkan potensi risiko penurunan
pendapatan bunga bersih dan penurunan nilai ekonomis dari modal.
Perubahan nilai tukar dapat memicu potensi kerugian akibat bank
memiliki posisi terbuka dalam valuta asing, baik posisi long atau posisi
short.
 Risiko suku bunga adalah potensi penurunan pendapatan bunga bersih
(NII), atau potensi penurunan nilai ekonomi dari modal
sua tu bank (EVE), karena pengaruh perubahan tingkat suku bunga pasar.

Analisis terhadap hubungan, karakter dan sensitivitas neraca dan laba/rugi


bank terhadap perubahan faktor risiko pasar merupakan langkah identifikasi
risiko pasar pada banking book.
Penurunan NII terjadi akibat terdapat perbedaan (mismatch) maturity atau
repricing date antara posisi aktiva RSA dan pasiva RSL, baik pada neraca
maupun pada rekening administratif (off balance sheet).
Penurunan EVE terjadi akibat terdapat perbedaan (mismatch) duration
antara posisi aktiva RSA dan pasiva RSL, baik pada neraca maupun pada
rekening administratif (off balance sheet).
Dalam jangka pendek, bank harus menjaga agar NII bank tidak mengalami
penurunan, dan dalam jangka panjang bank harus berupaya agar tidak terjadi
penurunan nilai ekonomis dari modal akibat perubahan suku bunga pasar.
Untuk mengelola risiko penurunan NII, bank menggunakan repricing gap,
sedangkan untuk mengelola potensi penurunan nilai ekonomis dari modal,
bank menggunakan duration gap.

b. Pengukuran Risiko Pasar Banking Book


Salah satu pendekatan untuk mengukur risiko suku bunga pada banking
book adalah repricing gap. Repricing gap merupakan metode dasar dan
sederhana untuk menghitung perubahan pendapatan bunga bersih. (net
interest income-NII) terhadap perubahan suku bunga pasar. NII dapat berubah
karena pada neraca terdapat komponen aktiva yang sensitif terhadap
perubahan suku bunga pasar (Rate Sensitive Assets = RSA); dan terdapat
komponen pasiva yang sensitif terhadap perubahan suku bunga pasar (Rate
Sensitive Liabilities = RSL).
 Rate Sensitive Assets (RSA)
RSA adalah aset produktif dengan nilai dipengaruhi pergerakan suku
bunga, baik pada saat jatuh tempo, atau pada saat posisi tersebut perlu
ditetapkan kembali tingkat bunganya (repriced) dalam periode waktu
tertentu.
Sebagai contoh, kredit komersial dengan suku bunga mengambang
(floating rate) dengan benchmark SBI 6 bulan, maka suku bunga dapat
berubah sesuai perkembangan bunga pasar bunga SBI 6 bulan yang
ditetapkan setiap enam bulan sekali. Tingkat bunga SUN VR (Surat Utang
Negara variable rate) dapat berubah sesuai dengan benchmark rate yang
digunakan. Bunga pada posisi penempatan antar bank dengan jangka
waktu 1 minggu akan berubah pada saat diperpanjang setiap minggu
 Rate Sensitivite Liabilities (RSL)
RSL adalah kewajiban bank ketika bunga yang harus dibayar tergantung
suku bunga pasar. Posisi liabilities dapat berbentuk simpanan masyarakat
dengan bunga tetap sampai jatuh tempo, atau posisi dimana bunga
ditetapkan kembali pada periode tertentu (repriced). Sebagai contoh,
bunga giro dapat berubah setiap saat atau bunga deposito satu bulan dapat
berubah setelah jatuh tempo satu bulan kemudian. Utang obligasi dengan
suku bunga floating atas dasar SBI 3 bulan mempunyai suku bunga yang
dapat berubah setiap tiga bulan.
1) Repricing Gap
Repricing gap adalah selisih antara jumlah RSA dan RSL yang jatuh tempo,
atau bunga dapat berubah (reprice), dalam periode tertentu.

Repricing GAP = RSA – RSL

Gap positif berarti RSA lebih besar dari RSL pada periode repricing
tersebut, atau aset lebih cepat dilakukan reprice dibandingkan dengan
liabilities. Gap negatif berarti RSL lebih besar dari RSA, atau aset lebih
lambat dilakukan reprice dibandingkan dengan liabilities. Gap kumulatif.
adalah akumulasi nilai gap pada periode tersebut dan periode sebelumnya.
Gap yang dihasilkan dari perhitungan di atas apabila dikalikan dengan
perubahan suku bunga yang diasumsikan, menghasilkan nilai estimasi
perubahan pendapatan suku bunga bersih, NII (net interest income).
Dampak dari risiko suku bunga terhadap aktivitas banking book
diukur dari penurunan pendapatan suku bunga bersih, NII.

GAP * ∆ suku bunga = ∆ NII


Sebagai contoh sederhana, bank hanya memiliki satu aset KPR bunga tetap
selama 5 tahun dengan baki debet Rp.100 miliar, dengan bunga 9%, satu
posisi sumber dana pada sisi pasiva berupa dana pihak ketiga sebesar
Rp.90 miliar dengan rata-rata biaya bunga = 6%, dan modal bank sebesar
Rp 10 miliar sebagai berikut:

Assets Liabilities
KPR Fixed rate 5 tahun @9% 100 DPK biaya bunga 6% 90
Modal 10
Total 100 100

Net Interest Margin (NIM) awal = 9% - 6% = 3%

Pada contoh ini, apabila bunga pasar naik 1% maka bunga pada posisi KPR
tidak dapat disesuaikan karena sifat bunga tetap selama 5 tahun. Namun
demikian, dana pihak ketiga karena bersifat floating, perlu disesuaikan
sesuai harga pasar, misalnya menjadi 7%.
Dengan demikian, NIM baru menjadi 9% - 7% = 2%
Terlihat bahwa karena bank mempunyai repricing gap negatif maka
apabila bunga pasar naik, NIM akan menurun dari 3% menjadi 2%.
2) Duration Gap
Pada unsur neraca dapat dihitung satu atribut yang disebut dengan
modified duration (MD). MD merupakan sensitivitas dari nilai pasar posisi
aktiva pasiva terhadap perubahan satu satuan suku bunga pasar. Sebagai
contoh, apabila posisi KPR mempunyai MD = 5 maka apabila bunga pasar
naik 1%, nilai pasar dari KPR akan turun kurang lebih sebesar 5%. Apabila
posisi dana pihak ketiga mempunyai MD = 2 maka apabila bunga pasar
naik 1%, nilai pasar dari KPR akan turun kurang lebih sebesar 2%.
Dengan demikian, apabila suku bunga pasar naik 1%, maka nilai pasar KPR
akan turun 5% atau Rp 5 miliar sehingga nilai pasar KPR menjadi Rp.95
miliar. Demikian juga nilai DPK akan turun 2% atau Rp.1,8 miliar sehingga
nilai pasar KPR menjadi Rp88,2 miliar.
Neraca bank akan menjadi sebagai berikut:

Assets Liabilities
KPR Fixed rate 5 tahun @9% 95 DPK biaya bunga 6% 88,2
Modal 6,8
Total 95 95,0
Dengan demikian, terlihat bahwa karena bank mempunyai duration gap
positif maka apabila bunga pasar naik, nilai pasar modal akan menurun
dari Rp.10 miliar menjadi Rp6,8 miliar.

c. Pengendalian Risiko Suku Bunga


Untuk mencapai tujuan strategis, manajemen dapat melakukan langkah
sebagai berikut.
 Menentukan ekspektasi perubahan suku bunga dalam periode yang telah
ditentukan.
 Menganalisis gap pada struktur neraca dan laba/rugi bank, menentukan
keselarasan gap dengan estimasi perubahan bunga.
 Apabila diperlukan, dapat diambil langkah untuk mencapai tujuan strategis
yang telah ditentukan dengan cara antara lain:
o Strategi aktiva (assets)
o Strategi pasiva (funding)
o Strategi off balance sheet atau derivatif
Berikut ini beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh bank untuk
mengurangi risiko.
1) Strategi Aktiva
a) Suku Bunga Diperkirakan Naik
Dengan kenaikan suku bunga maka bank mengupayakan agar repricing
gap menjadi berkurang, atau berubah menjadi positif. Salah satu cara
adalah dengan meningkatkan exposure RSA. RSA dapat meningkat
antara lain dengan metode:
 Menjual surat berharga jangka panjang (existing) atau jangka
menengah.
 Melakukan lebih banyak ekspansi kredit yang berbunga floating.
 Meningkatkan adjustable-rate loan.
 Melakukan investasi dengan bunga berdasarkan base-rate (indeks)
yang cepat berubah, misal LIBOR jangka pendek
b) Suku Bunga Diperkirakan Turun:
Dengan penurunan suku bunga, bank harus mengupayakan repricing
gap menjadi negatif karena posisi ini akan dapat memberikan
keuntungan bagi bank dari kenaikan NII. Metode yang dapat digunakan
antara lain mengurangi exposure RSA dengan cara:
 Menjual sekuritas jangka pendek yang berbunga mengambang
(floating).
 Membeli sekuritas jangka panjang dan menengah dengan bunga
tetap (fixed rate).
 Dari sisi kredit, bank dapat:
 Memperbanyak kredit dengan bunga fixed.
 Mengurangi adjustable-rate loan.
 Investasi obligasi dengan bunga tetap (fixed rate).
2) Strategi dari Sisi Pasiva
a) Suku Bunga Diperkirakan Naik
Dengan kenaikan suku bunga, repricing gap diupayakan positif. Bank
harus mengurangi eksposur untuk menghindari kerugian akibat
kenaikan suku bunga dengan menurunkan RSL atau interest bearing
liabilities dengan cara menerbitkan surat utang jangka menengah dan
jangka panjang dengan bunga tetap, promosi deposito jangka panjang
dengan bunga yang lebih menarik dibandingkan dengan deposito
jangka pendek, atau mempromosikan tabungan yang dibekukan dalam
jangka waktu tertentu dengan memberikan hadiah, dsb.
b) Suku Bunga Diperkirakan Turun
Dengan penurunan suku bunga, bank harus mengupayakan
mengurangi eksposur untuk menghindari kerugian akibat penurunan
suku bunga dengan meningkatkan interest bearing liabilities, yaitu
menerbitkan obligasi dengan bunga mengambang, mempromosikan
produk dana jangka pendek dengan bunga mengambang, dsb.
3) Hedging
Hedging atau proses lindung nilai adalah proses melakukan suatu transaksi
yang bertujuan mengurangi risiko. Esensi dari hedging adalah bahwa untuk
mengurangi risiko suatu transaksi dapat dilakukan dengan melakukan
transaksi lain yang berlawanan untuk meng-offset risiko. Proses hedging
memerlukan hubungan yang sangat dekat antara jumlah dan perubahan
nilai dari instrumen yang dilakukan hedging dan instrumen hedging.
Beberapa instrumen derivatif yang digunakan untuk pengelolaan risiko
suku bunga, yaitu forwards, futures, options dan swaps.
BAB VI
LIQUIDITY RISK

1. RISIKO LIKUIDITAS
Risiko likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan bank untuk
memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas,
dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa
mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
Risiko likuiditas disebabkan oleh adanya transaksi finansial atau
komitmen. Oleh sebab itu, bank harus mengidentifikasi setiap transaksi
finansial yang mempunyai implikasi terhadap likuiditas bank dan mengelola
kondisi likuiditas secara hati-hati.
Pengelolaan risiko likuiditas merupakan salah satu aktivitas terpenting
yang dilaksanakan bank. Kekurangan likuiditas pada satu bank selain
berdampak pada bank tersebut dapat pula menimbulkan efek lebih luas pada
sistem perbankan secara keseluruhan. Oleh sebab itu, dalam pengelolaan risiko
likuiditas diperlukan penerapan strategi yang tepat dan pengawasan yang
efektif yang diimplementasikan melalui proses-proses yang sudah dilakukan
validasi dalam pengukuran risiko likuiditas.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan timbulnya kebutuhan li kuiditas
secara tak terduga antara lain seperti penurunan reputasi atau rating bank dan
kondisi ekonomi yang menurun.
2. PENGUKURAN RISIKO LIKUIDITAS
Metode pengukuran Risiko Likuiditas dibagi menjadi beberapa kategori
sebagai berikut:
a. Pengukuran berdasarkan ukuran nominal (Stock Based)
Metode pengukuran stock based menggunakan berbagai macam rasio
keuangan sebagai indikator tingkat risiko likuiditas, antara lain:

Rasio ini mengukur besar aset likuid dibandingkan dengan total asset
bank.
Aset likuid primer adalah aset sangat likuid yang terdiri dari kas, surat
berharga Bank Indonesia, obligasi pemerintah jangka pendek dan likuid.
Aset likuid sekunder adalah aset yang kurang likuid seperti:
 Obligasi pemerintah kategori AFS jangka panjang 1–5 tahun dan likuid,
atau kategori HTM jangka pendek dibawah satu tahun.
 Obligasi pemerintah kategori trading dengan jangka waktu lebih dari 5
tahun, dengan haircut 25%.

Rasio ini mengukur jumlah aset likuid dibandingkan dengan sumber dana
jangka pendek. Rasio di atas 100% dinilai memadai. Pendanaan jangka
pendek adalah DPK jangka waktu di bawah setahun, giro, dan tabungan.

Pendanaan non inti adalah pendanaan yang dinilai tidak stabil seperti:
dana relatif besar di atas Rp.2 miliar, transaksi antarbank, dan pinjaman
dari bank lain.

Pendanaan non inti jangka pendek adalah yang mempunyai jangka waktu
di bawah satu tahun

Total pendanaan adalah seluruh dana pihak ketiga dan pinjaman dari pihak
lain

Digunakan untuk menilai ketergantungan bank dari dana non-inti

b. Pengukuran berdasarkan arus kas (Flow Based)


Pengukuran risiko likuiditas berdasarkan pada neraca bank pada tanggal
tertentu menurut maturity profile pos-pos on dan off balance sheet ditambah
dengan perkiraan arus kas akibat adanya berbagai rencana kegiatan usaha
berdasarkan proyeksi dari unit bisnis.
Metode pengukuran flow based menggunakan liquidity gap analysis. Dalam
analisis gap likuiditas, gap yang dimaksud adalah selisih antara jumlah aset
dan kewajiban yang jatuh tempo pada periode tertentu. Distribusi komponen
neraca ke dalam bucket interval waktu sesuai dengan perkiraan arus kas.
Data yang digunakan adalah komponen relevan dari pos aset, Liabilities
maupun off balance sheet. Sumber data untuk liquidity gap diperoleh dari
beberapa sumber, yaitu neraca akunting, data proyeksi likuiditas dari unit
bisnis berikut perkiraan pendapatan, dan biaya bunga.
Liquidity gap positif berarti jumlah aset lebih besar dari kewajiban pada
periode maturity tersebut. Liquidity gap negatif berarti kewajiban lebih besar
dari aset pada periode maturity tersebut. Gap negatif adalah keadaan yang
menimbulkan risiko bagi bank dan membutuhkan pengelolaan lebih lanjut.
Gap kumulatif adalah akumulasi nilai gap pada periode tersebut dan
periode sebelumnya.
Contoh: Tabel Liquidity Gap Bank BBC (daam milyar rupiah)
Dari tabel di atas terlihat terjadi risiko likuiditas yang sangat besar pada
periode 0-3 bulan ke depan, sebesar Rp1,15 triliun.

3. PENGENDALIAN RISIKO LIKUIDITAS


Apabila bank telah mengetahui posisi likuiditas dan adanya kemungkinan
timbulnya masalah likuiditas, bank dapat melakukan modifikasi posisi dengan
berbagai tindakan, antara lain sebagai berikut.
 Mengupayakan sumber dana berupa long-term funding dari pasar uang
atau menerbitkan obligasi, kemudian menggunakan dana untuk membeli
aset likuid yang dapat dijual kembali.
 Mendapatkan contingent standby credit lines dari bank lain yang
memberikan jaminan akan memberikan pinjaman dana pada saat krisis.
 Membatasi jumlah penempatan dana pada aset berjangka waktu panjang.
 Mengurangi jumlah liabilities berjangka pendek, misalnya dengan
meningkatkan simpanan berjangka panjang.
BAB VII
OPERATION RISK

1. PEMAHAMAN RISIKO OPERASIONAL


Risiko operasional dapat menimbulkan kerugian keuangan secara langsung
maupun tidak langsung, serta kerugian potensial berupa kesempatan yang
hilang untuk memeroleh keuntungan. Di samping itu, risiko operasional juga
dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat atau sulit dihitung secara
kuantitatif, seperti nama baik atau reputasi bank, yang dampak kerugian
terkait dengan reputasi pada akhirnya dapat berakibat pada kerugian finansial.
Sebagai contoh, reputasi bank yang terganggu dapat mengakibatkan para
nasabah deposan maupun debitur memindahkan aktivitas perbankan mereka
kepada bank lain.
Kerugian yang timbul akibat risiko operasional yang sudah diperkirakan
(expected loss), seharusnya dibebankan dalam komponen pricing dari aset,
sedangkan kerugian operasional yang belum diperhitungkan (unexpected loss)
harus diantisipasi dengan modal. Basel II menetapkan beberapa cara yang
dapat dipergunakan bank dalam menghitung kebutuhan modal untuk menutup
risiko operasional.
Berbagai risiko seperti kecelakaan kerja, bencana alam, masalah karena
tuntutan hukum, kerugian usaha karena kesalahan proses, akibat kecurangan
manusia, ketidakjelasan dan ketidakcukupan ketentuan kerja, hanya
merupakan sekadar contoh dari risiko yang melekat pada aktivitas yang
dilakukan bank sejak lama. Risiko-risiko ini termasuk dalam kategori risiko
operasional.
Sulit untuk benar-benar dapat mengeliminasi setiap potensi risiko
operasional, dan memang tidak mungkin dilakukan dan memang tidak perlu.
Namun demikian, pengelolaan risiko operasional yang dilakukan secara
proaktif dan memadai, dapat dimanfaatkan untuk melakukan mitigasi risiko
atas risiko operasional.
Dibandingkan dengan risiko-risiko lainnya seperti risiko kredit dan risiko
pasar, pemahaman risiko operasional masih relatif baru. Namun, saat ini
bank-bank telah mulai memberi perhatian terhadap risiko operasional, sama
pentingnya dengan pemberian perhatian terhadap rsiko-risiko lainnya. Hal ini
antara lain ditunjukkan oleh beberapa kecenderungan seperti:
 Peningkatan perhatian dan kesadaran para kepala unit kerja terhadap
berbagai isu risiko operasional.
 Bank sudah mengembangkan berbagai pendekatan untuk mitigasi risiko
operasional.
 Perhatian bank yang semakin besar untuk mengarahkan kemampuan
mitigasi profil risiko bank sebagai upaya peningkatan daya saing.
 Tekanan regulasi agar bank mengalokasikan sebagian modal untuk
menutup kerugian risiko operasional. Tekanan ini mendorong bank untuk
mengalokasikan sumber daya yang ada secara efisien dan efektif.

Beberapa alasan yang relevan bahwa bank saat ini sudah menerapkan
manajemen risiko yang lebih komprehensif antara lain adalah:
 Bank dituntut menerapkan manajemen risiko operasional yang lebih
sensitif terhadap risiko. Dengan demikian, bank mampu secara dini
mendeteksi berbagai risiko operasional yang berpotensi menimbulkan
kerugian.
 Regulator menuntut bank mengelola risiko operasional bank dari waktu ke
waktu secara proaktif.
 Para pemegang saham bank berekspektasi agar bank mampu
meningkatkan nilai secara kontinyu. Untuk ini, bank dituntut mampu
mengelola risiko operasional dengan baik.

Beberapa alasan utama mengapa risiko operasional perlu menjadi


perhatian pimpinan unit kerja di bank adalah:
 Bank lebih sering menerapkan program alih daya atau outsourcing.
Peningkatan popularitas outsourcing dan penggunaan teknik-teknik
keuangan yang mampu mengurangi risiko kredit dan risiko pasar, di sisi
lain meningkatkan kemungkinan kerugian risiko operasional.
 Saat ini sudah berlangsung proses deregulasi dan globalisasi. Meskipun
globalisasi memiliki beberapa manfaat bagi banyak pihak, di balik itu
globalisasi menambah kompleksitas dan diversitas budaya, manajemen
dan staf.
 Regulasi perbankan yang semakin ketat, aktivitas akuisisi, merger, aliansi
skala besar dan juga konsolidasi yang memerlukan kapabilitas sistem baru
yang terintegrasi, proses yang lebih rumit dan kebutuhan sumber daya
manusia yang lebih berkualitas.
 Penggunaan e-commerce yang semakin intensif, berbagai macam inovasi
teknologi semakin berkembang menguji kemampuan sistem yang
terintegrasi. Pertumbuhan teknologi keuangan yang semakin canggih
mengakibatkan aktivitas bank dan profil risiko menjadi lebih kompleks
dengan beroperasi di pasar-pasar yang berbeda, yang menggunakan
operasional dan sistem yang berbeda, serta hukum yang berbeda pula.
 Bank semakin rentan terhadap potensi serangan teroris dan bencana alam,
dan perlu melakukan mitigasi agar operasional bank tidak terganggu.

Semua fenomena di atas akan menghadapkan bank pada risiko operasional


yang baru.
a. Identifikasi Risiko Operasional
Risiko operasional pada umumnya terjadi di unit kerja yang memiliki
volume transaksi tinggi, perputaran transaksi yang tinggi, perubahan
struktural yang tinggi dan menggunakan sistem yang kompleks. Kejadian
risiko operasional hampir terjadi setiap hari di bank.
Berdasarkan kemungkinan dan dampak yang terjadi, risiko operasional
yang perlu mendapatkan perhatian adalah: (1) risiko operasional yang sering
terjadi, namun dampak yang terjadi dinilai rendah atau high frequency-low
impact; (2) kejadian terkait risiko operasional dengan frekuensi rendah atau
jarang terjadi, namun dampak kerugian dari risiko operasional tersebut tinggi
atau yang sering disebut risiko operasional kategori low frequency-high impact.
Kelompok high frequency–high impact untuk bank-wide tidak mungkin terjadi,
karena tidak ada bank yang akan bertahan apabila sering mengalami kejadian
terkait risiko operasional, dan memberikan dampak yang besar. Adapun untuk
risiko operasional yang jarang terjadi dan berdampak rendah, biaya
pengelolaan akan lebih tinggi dibandingkan dengan penghematan yang akan
dihasilkan.
Identifikasi risiko operasional perlu dilakukan untuk setiap produk,
aktivitas, proses, dan sistem yang ada dan akan digunakan bank.
 Identifikasi dimulai dari memahami bagaimana proses bisnis dilakukan,
berdasarkan proses pemetaan proses operasional utama dari bisnis
tersebut (mapping process).
 Selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap faktor penyebab timbulnya
risiko operasional yang melekat pada seluruh aktivitas fungsional, produk,
proses dan sistem informasi yang berdampak negatif terhadap pencapaian
sasaran organisasi bank.
 Manajemen dan kontrol proses operasional yang tepat di setiap proses
utama tersebut akan dapat mengendalikan dan mengurangi terjadinya
risiko operasional.

Hasil identifikasi tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk:


 Memperbaiki kualitas proses kerja.
 Mengurangi kerugian karena kegagalan proses.
 Mengubah budaya kerja peduli risiko.
 Menyediakan sistem peringatan dini terhadap gangguan suatu sistem atau
manajemen.

Hal utama yang diperlukan dalam melakukan identifikasi risiko operasional


adalah:
 Ada kejadian (events)
 Terdapat penyebab timbulnya kejadian (cause)
 Terdapat dampak (impact) kerugian (loss) baik dalam bentuk keuangan
maupun non-keuangan
 Dapat diprediksi terjadinya kejadian di kemudian hari (frequency/
probability)

b. Definisi dan Penyebab Risiko Operasional


Sesuai definisi BCBS, risiko operasional adalah risiko yang terjadi akibat
kesalahan faktor manusia, kegagalan atau tidak berfungsinya sistem, kesalahan
dalam prosedur kerja, dan akibat faktor eksternal, yang semuanya merupakan
penyebab terjadinya event risiko operasional.
Dalam dunia perbankan, risiko operasional melekat di setiap aktivitas
bank, antara lain melekat pada aktivitas perkreditan, treasury dan investasi,
operasional dan jasa, pembiayaan perda gangan, pendanaan dan instrumen
utang, teknologi sistem informasi dan sistem informasi manajemen, serta
pengelolaan sumber daya manusia. Risiko operasional yang dapat
menyebabkan kerugian bank dapat berasal dari berbagai faktor yang secara
garis besar dapat dikelompokkan menjadi: (1) kegagalan proses internal, (2)
akibat faktor manusia, (3) kegagalan sistem, dan (4) akibat kejadian eksternal
 Penyebab Risiko Operasional
1) Kegagalan Proses Internal
Bank menggunakan berbagai proses internal yang diperlukan untuk
menjual produk dan jasa kepada nasabah. Dalam setiap langkah proses
internal, dapat terjadi potensi risiko operasional. Sebagai contoh, salah
kirim dokumen kepada nasabah yang tidak berhak, kesalahan proses
pembukaan rekening dan transaksi nasabah, terlambat melakukan
penyesuaian terhadap perubahan kebijakan, kenaikan volume transaksi
yang tidak terduga mengakibatkan kesalahan dalam penanganan transaksi
dan bisnis, produk yang beragam dan atau aktivitas baru yang diluncurkan
namun gagal, atau sebaliknya permintaan nasabah yang luar biasa
meningkat, dan tidak bisa ditangani oleh sistem yang dimiliki bank.
Selain itu, dampak persaingan usaha yang meningkat dapat
mengakibatkan para pekerja bank melakukan berbagai kompromi untuk
mempercepat pelayanan, kompromi untuk melakukan kontrol kualitas
yang tidak memadai, kompromi dalam pemenuhan persyaratan utama
proses internal dan sebagainya.
Sumber risiko yang bisa mengakibatkan terjadinya hal-hal dalam contoh
di atas, bisa berkaitan dengan risiko-risiko kesalahan pembuatan model
atau metodologi, kesalahan rancangan dan urut-urutan kerja dengan
tahapan proses yang tidak jelas.
Sumber risiko yang lain adalah kelemahan dalam proses internal seperti
ketidakpatuhan terhadap ketentuan internal maupun eksternal, kesalahan
dalam produk, atau kesalahan dalam berhubungan dengan nasabah,
proses dokumentasi yang buruk dan lain=lain.
2) Akibat Faktor Manusia
Kontrol internal seringkali dijadikan kambing hitam atas kegagalan suatu
proses operasional bank. Namun, apabila ditelusuri, ternyata seringkali
penyebab utama dari kerugian operasional bank adalah akibat kesalahan
manusia.
Kerugian risiko operasional dapat terjadi karena tuntutan kompensasi
pekerja, pelanggaran terhadap ketentuan jaminan kesehatan dan
keamanan, pemogokan, dan tuntutan karena perlakuan diskriminasi.
Risiko operasional yang disebabkan oleh faktor manusia juga bisa
disebabkan oleh pelatihan dan manajemen yang tidak memadai, kesalahan
manusia, pemisahan tugas atau wewenang yang tidak jelas,
ketergantungan terhadap orang-orang penting tertentu, integritas dan
kejujuran yang rendah.
Risiko-risiko operasional di atas bisa lebih diperburuk oleh kualitas
pelatihan yang tidak memadai, kontrol yang tidak memadai dan kualitas
sumber staf yang buruk atau faktor-faktor lainnya.
Contoh-contoh risiko operasional berikut ini, baik yang dilakukan secara
sengaja ataupun tidak disengaja oleh faktor manusia dapat menyebabkan
kerugian bank:
 Kesalahan manusia seperti kesalahan melaksanakan transaksi dan
prosedur.
 Penyelewengan pekerja, seperti fraud dan trading yang tidak sah atau
di luar kewenangan.
 Hal-hal lain yang terkait dengan pekerja, seperti perselisihan
ketenagakerjaan, kekurangan pekerja, perekrutan pekerja dan
pemutusan hubungan kerja, kecelakaan kerja dan lain-lain
3) Kegagalan Sistem dan Teknologi
Semakin meningkatnya ketergantungan bank terhadap teknologi
informasi merupakan salah satu sumber utama risiko operasional.
Kerusakan data bank, baik karena sengaja maupun tidak sengaja,
merupakan penyebab umum kesalahan operasional bank yang
mengakibatkan kerugian yang harus ditanggung bank.
Contoh kasus risiko operasional adalah sebagai berikut.
 Salah satu bank yang baru mengganti teknologi informasi dengan
teknologi baru dan belum berjalan lancar mengakibatkan transfer
keluar dibukukan dua kali sehingga bank yang bersangkutan
mengalami kerugian.
 Perencanaan infrastruktur teknologi informasi yang tidak dikelola
dengan baik mengakibatkan transaksi bank terganggu karena terjadi
off line yang cukup lama. Hal ini mengakibatkan timbulnya risiko
reputasi dan potensi kerugian yang sulit diperkirakan besarnya akibat
nasabah bank pindah ke bank pesaing.
 Pembayaran bank kepada nasabah kelebihan ratusan miliar hanya
karena program komputer yang berkaitan dengan perubahan angka
desimal telah ditemukan sebagai akibat kesalahan testing.

Berbagai contoh sumber risiko operasional terkait dengan penggunaan


teknologi informasi antara lain:
 Permasalahan umum teknologi, seperti kesalahan operasional terkait
dengan teknologi, penggunaan teknologi oleh orang yang tidak
berwenang dan penyalahgunaan teknologi.
 Permasalahan hardware, seperti kegagalan perlengkapan,
ketidakcukupan atau ketidaktersediaan hardware yang diperlukan.
 Permasalahan pengamanan atau security, seperti pembobolan
(hacking), kegagalan firewall dan gangguan eksternal.
 Permasalahan software, seperti virus komputer dan bugs dalam
programming. Permasalahan sistem, seperti kegagalan sistem dan
pemeliharaan sistem.
 Permasalahan telekomunikasi, seperti jaringan telepon, faksimili dan
e-mail.
4) Kejadian Eksternal
Meskipun bank cenderung memiliki kontrol yang kecil atau bahkan tidak
mampu mengontrol sama sekali terhadap kejadian eksternal, kejadian
eksternal tetap perlu dikelola.
Risiko operasional yang disebabkan oleh faktor eksternal dapat terjadi
karena perubahan perundang-undangan yang tidak terduga, seperti perubahan
undang-undang hak konsumen. Contoh lain adanya ancaman-ancaman fisik,
seperti perampokan bank, serangan teroris, dan bencana alam. Contoh, efek
serangan teroris 11 September 2001 yang menimpa Bank of New York.
Kejadian eksternal lainnya yang menyebabkan risiko operasional dengan
dampak luar biasa adalah kejadian tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004
dan gempa bumi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya di Bantul
dan sekitarnya pada 27 Mei 2006.
Mengingat bank memiliki kemampuan kecil untuk mengelola kejadian
eksternal atau bahkan sama sekali tidak mampu mengelola kejadian eksternal
tersebut maka satu-satunya tindakan yang dapat dilakukan bank adalah
dengan memperkuat infrastruktur dan kesiapan sumber daya manusia yang
dimiliki untuk meminimalisasi dampak kerugian risiko operasional. Untuk ini
bank perlu mengembangkan Manajemen Kelangsungan Usaha (Business
Continuity Management).

2. PENGUKURAN RISIKO OPERASIONAL


Risiko operasional diukur berdasarkan dua faktor, yaitu risiko yang
melekat pada suatu aktivitas (inherent risk) dan sistem pengendalian risiko
(risk control system).
a. Inherent Risk
Penilaian terhadap risiko inheren didasari pada pengamatan terhadap
kejadian risiko operasional, terutama frekuensi dan dampak dari kejadian
tersebut. Frekuensi adalah seberapa sering suatu kejadian risiko operasional
terjadi di masa lalu, dan estimasi trend frekuensi di masa depan. Sedangkan
dampak adalah seberapa besar kerugian yang diderita (severity) ketika
kejadian risiko operasional tersebut terjadi di masa lalu, atau estimasi besar
kerugian tersebut di masa depan. Bank perlu menetapkan definisi dari
frekuensi kejadian dan besar dampak (baik dampak finansial maupun dampak
non-finansial seperti reputasi) sesuai kebijakan bank. Sebagai contoh, tabel
frekuensi kejadian suatu bank sebagai berikut.
Berdasarkan kedua faktor penilaian tersebut, akan didapat klasifikasi
kejadian risiko operasional sebagai berikut.
 Low Frequency/Low Impact
 High Frequency/High Impact
 Low Frequency/High Impact
 High Frequency/Low Impact

Prioritas mengatasi risiko atas risiko di atas dapat dilihat pada heat map
sebagai berikut (warna hijau [garis horizontal] adalah daerah aman, warna
merah [garis vertical] daerah prioritas):

Pelaksanaan sistem pengendalian risiko yang memadai akan


memengaruhi tingkat risiko yang melekat sehingga akan diperoleh nilai risiko
residual yang minimal. Di samping melakukan penilaian seperti di atas, bank
juga mengumpulkan data kerugian operasional yang akan digunakan dalam
proses mengukur kerugian operasional. Selanjutnya data tersebut akan
digunakan sebagai dasar untuk menghitung kebutuhan modal bank untuk
menutup risiko operasional.
b. Kualitas Kontrol
Basel II Accord menegaskan bahwa prinsip dasar pelaksanaan manajemen
risiko operasional selain pelaksanaan proses manajemen risiko, juga
mencakup penetapan strategi yang jelas dan terdokumentasi, pengawasan
aktif oleh Direksi dan Komisaris, implementasi budaya risiko operasional
(operational risk culture) yang terinternalisasi di organisasi dan penerapan
sistem pengendalian internal, misalnya terdapat pemisahan fungsi dan
tanggung jawab yang jelas, serta proses eskalasi permasalahan internal yang
efektif, sistem pelaporan dan perencanaan kontinjensi (contingency planning).
Bank mempunyai kewajiban untuk melakukan pengelolaan risiko operasional
terhadap setiap produk, aktivitas, proses dan sistem yang digunakan bank.
Bahkan untuk produk, aktivitas, proses dan sistem yang akan digunakan bank,
bank harus meyakini telah melalui prosedur identifikasi dan pengukuran risiko
inheren yang memadai.
c. Residual Risk (Heat Map)
Besar risiko inheren akan berkurang dengan adanya kontrol eksisting pada
bank. Selanjutnya, bank dapat membuat peta risiko atau heat map baik
sebelum maupun sesudah adanya kontrol eksisting misalnya sebagai berikut.

Pada gambar terlihat bahwa sebelum memperhitungkan kontrol, risiko


operasional ada pada frekuensi skala 4 dan impact skala 5; setelah
memperhitungkan kontrol eksisting, maka skala risiko operasional membaik
menjadi frekuensi skala 3 dan impact skala 4;karena posisi risiko masih berada
pada daerah merah (garis vertikal), bank masih perlu meningkatkan kualitas
kontrol untuk risiko operasional sampai posisi risiko dapat diterima oleh bank.

3. PENGENDALIAN RISIKO OPERASIONAL


Pengendalian risiko operasional dicantumkan di dalam kebijakan
manajemen risiko operasional. Alternatif rencana aksi yang dapat dilakukan
bank adalah: (1) menghindarkan risiko (risk avoidance); (2) menerima risiko
(risk acceptance); (3) mengalihkan risiko pada pihak lain (risk transfer); dan
(4) mitigasi risiko melalui peningkatan kualitas kontrol.
a. Menghindarkan risiko (Risk Avoidance)
Risk avoidance dilakukan untuk mencegah bank mengalami suatu risiko
operasional yang tidak dapat diterima (unacceptable), atau mencegah
melakukan aktivitas lain yang mungkin dapat menambah eksposur risiko
operasional sebelumnya. Tindakan ini tentu saja dapat mengurangi tingkat
aktivitas bisnis atau malah menghentikan bisnis sama sekali.
Umumnya risk avoidance dipilih apabila potensi keuntungan dari suatu
aktivitas bisnis tidak sesuai dengan eksposur risiko operasional.
b. Menerima risiko (Risk Acceptance)
Beberapa jenis risiko operasional secara proses memang tidak
memungkinkan untuk dilakukan intervensi untuk pencegahan atau perbaikan
situasi. Dengan demikian, potensi risiko yang ada memang harus diterima
sebagai konsekuensi bank dalam memanfaatkan kesempatan bisnis. Namun,
bukan berarti risk acceptance adalah strategi “do nothing”. Kontrol yang ketat
harus dijalankan apabila risk acceptance akan diterapkan.
Sebagai contoh, suatu bank menempatkan server sistem informasi di
basement dengan alasan efisiensi ruangan. Dengan kebijakan ini, risiko banjir
atau over heating tidak dapat dihindari. Dalam hal ini, kontrol terhadap suhu
ruangan dan antisipasi kemungkinan terjadinya banjir harus dilaksanakan
dengan ketat.
c. Mengalihkan risiko pada Pihak Lain (risk transfer)
Tidak seperti risk avoidance yang mengeliminir risiko operasional, pada
strategi risk transfer, risiko operasional masih melekat pada aktivitas bisnis
tersebut, namun ada pihak lain yang akan mengambil alih risiko tersebut. Bank
biasa menggunakan asuransi dan perusahaan jasa outsourcing dalam
melaksanakan risk transfer.
d. Peningkatan kualitas kontrol
Kontrol terhadap potensi terjadinya risiko operasional merupakan upaya
mitigasi risiko, yang dimaksudkan untuk memperkecil potensi kerugian yang
dipicu oleh potensi risiko baik yang berasal dari faktor eksternal, maupun
bersumber dari internal bank.
Sebagai contoh, terhadap kerugian akibat gangguan listrik atau kegagalan
telekomunikasi, dapat dilakukan mitigasi berupa menyediakan fasilitas back
up, seperti genset atau alternatif operator jaringan telekomunikasi

4. PERHITUNGAN KEBUTUHAN MODAL RISIKO OPERASIONAL


Metode perhitungan kebutuhan modal minimum untuk risiko operasional
yang ditetapkan oleh Komite Basel terdiri dari:
 Basic Indicator Approach (BIA).
 Standardized Approach (TSA)
 Advanced Measurement Approach (AMA).

a. Basic Indicator Approach (BIA) atau Pendekatan indikator dasar (PID)


Pendekatan Indikator Dasar atau PID merupakan pendekatan yang paling
sederhana dan tidak sensitif terhadap risiko sehingga akan menghasilkan
beban modal yang cenderung besar. Prosedur perhitungan kebutuhan modal
dengan metode PID diatur pada SEBI nomor 11/3/DPNP tanggal 27 Januari
2009 mengenai perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk
risiko operasional dengan menggunakan Pendekatan Indikator Dasar (PID).
PID cocok digunakan oleh bank-bank yang lebih kecil dengan aktivitas
bisnis yang sederhana. Untuk bank-bank yang aktif secara internasional, dan
bank-bank yang memiliki risiko operasional tinggi didorong untuk
menggunakan pendekatan yang lebih mendekati risiko sebenarnya.
PID dapat diaplikasikan oleh seluruh bank tanpa memandang kompleksitas
dan kecanggihan suatu bank. Namun, bank perlu mematuhi pedoman yang
diatur dalam “Sound Practice for Management and Supervision of Operational
Risk”.
Perhitungan ATMR untuk risiko operasional dalam perhitungan KPMM
dengan menggunakan PID dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
ATMR untuk risiko operasional = 12,5 x beban modal risiko
operasional
.
Yang dimaksud dengan beban modal risiko operasional adalah rata-rata
dari penjumlahan pendapatan bruto (gross income) tahunan yang mempunyai
nilai positif pada tiga tahun terakhir, dikalikan faktor alpha 15% (lima belas
persen).
Perhitungan beban modal risiko operasional dilakukan dengan rumus
sebagai berikut:
GI = Gross Income yang positif selama 3 (tiga) tahun terakhir.
N = Jumlah tahun yang memiliki gross income yang positif.
α = 15% (ditetapkan oleh Basel sesuai kebutuhan modal pada skala
industri).
KPID = beban modal risiko operasional menggunakan PID.

Pendapatan Kotor atau gross income atau pendapatan bruto adalah


pendapatan bunga bersih ditambah pendapatan non-bunga bersih.
Pendapatan bruto dihitung secara kumulatif dari periode awal Januari sampai
dengan akhir Desember setiap tahun selama tiga tahun terakhir.
Pendapatan bunga bersih atau NII (Net Interest Income) adalah
pendapatan bunga dikurangi dengan beban bunga. Pendapatan non-bunga
bersih adalah pendapatan non-bunga dikurangi dengan beban non bunga.
Yang termasuk pendapatan non bunga adalah:
 Pendapatan dividen, komisi/provisi/fee
 Keuntungan transaksi spot dan derivatif
 Peningkatan nilai wajar (MTM) kredit yang diberikan
 Peningkatan nilai wajar (MTM) aset keuangan lainnya
 Keuntungan dari penjualan surat berharga dalam trading book -
diperdagangkan
 Keuntungan dari penjualan aset keuangan lainnya dalam trading book -
diperdagangkan
 Pendapatan non bunga lainnya.

Yang termasuk kategori beban non-bunga adalah:


 Komisi/provisi /fee
 Kerugian transaksi spot dan derivatif
 Penurunan nilai wajar (MTM) surat berharga
 Penurunan nilai wajar (MTM) kredit yang diberikan
 Penurunan nilai wajar (MTM) aset keuangan lainnya
 Kerugian dari penjualan surat berharga dalam trading book -
diperdagangkan
 Kerugian dari penjualan kredit dalam trading book - diperdagangkan
 Kerugian dari penjualan aset keuangan lainnya dalam trading book -
diperdagangkan.
Berdasarkan data di atas maka pendapatan bruto dalam rangka menghitung
ATMR untuk risiko operasional posisi tahun 2011 adalah sebagai berikut:

ATMR risiko operasional = 12,5 x beban modal risiko operasional


= 12,5 x [15%x{(750+3.000+2.250)/3}]
= Rp.3.750 juta

Perhitungan pendapatan bruto dilakukan dengan memerhatikan hal-hal


sebagai berikut.
 Pendapatan bruto adalah pendapatan bunga bersih ditambah pendapatan
operasional non-bunga tertentu lainnya bersih yang dihitung secara
kumulatif dari periode awal Januari sampai dengan akhir Desember setiap
tahun.
 Untuk bank yang memiliki unit usaha syariah, perhitungan pendapatan
bruto memperhitungkan pula pendapatan bruto dari unit usaha syariah
setelah dikonversi sesuai dengan karakteristik usaha bank dan prinsip
syariah.
 Apabila berdasarkan hasil laporan keuangan yang telah diaudit oleh kantor
akuntan publik (KAP) terdapat koreksi atas besarnya pendapatan bruto
maka bank harus melakukan koreksi atas perhitungan ATMR untuk risiko
operasional pada bulan berikutnya setelah laporan keuangan yang diaudit
disampaikan oleh KAP kepada bank.

b. Standardized Approach (SA) atau pendekatan standar (PSA)


Pendekatan PSA memberikan hasil yang lebih detail dari pada PID.
Regulator menentukan delapan standar lini bisnis. Gross Income dibagi sesuai
delapan lini bisnis tersebut. Kebutuhan modal minimum harus dihitung
berdasarkan suatu persentase tetap dari gross income setiap lini bisnis.
Persentase tersebut ditentukan oleh Basel (regulator) dan berbeda bagi lini
bisnis tergantung dari eksposur risiko operasional suatu lini bisnis. Basel
Committee menyebut persentase setiap lini bisnis sebagai faktor Beta (β) yang
berkisar dari 12% sampai 18%.
c. Advanced Maesurement Approach (AMA)
Advanced Measurement Approach (AMA), bank-bank diberi kesempatan
untuk menggunakan hasil dari sistem pengukuran risiko operasional yang
mereka miliki, namun tergantung pada standar umum, standar kualitatif, dan
standar kuantitatif yang ditetapkan oleh regulator, untuk menghitung
kebutuhan modal minimum.
AMA merupakan pendekatan yang lebih kompleks dibandingkan dengan
dua pendekatan sebelumnya sehingga lebih mencerminkan kondisi risiko yang
sebenarnya. Dengan demikian, perhitungan kebutuhan modal untuk menutup
risiko operasional lebih sesuai.
Urutan penggunaan dari yang paling sederhana sampai dengan yang paling
kompleks adalah sebagai berikut.

Bank dianjurkan untuk menggunakan cara yang lebih baik atas dasar profil
risiko dari bank dan kemampuan melaksanakan manajemen risiko dari bank.
BAB VIII
LEGAL RISK PROFILE

Risiko hukum adalah risiko yang timbul akibata tuntutan hukum dan/atau
kelemahan aspek yuridis. Risiko ini timbul antara lain karena adanya ketiadaan
peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan pengikatan,
seperti tidak dipenuhinya syarat sah kontrak atau agunan yang tidak memadai.
Dalam menilai risiko inheren atau risiko hukum, parameter/indikator
yang digunakan adalah:
 Faktor Litigasi
 Faktor Kelemahan Pengikatan
 Faktor Ketiadaan Peraturan Perundang-undangan

1. FAKTOR LITIGASI
Litigasi dapat terjadi karena adanya gugatan atau tuntutan dari pihak
ketiga kepada bank atau tuntutan yang diajukan pada kepada pihak ketiga
bailk melalui pengadilan maupun luar pengadilan. Gugatan dan tuntutan
tersebut pada dasarnya berpotensi menimbulkan biaya yang dapat merugikan
bank.
Faktor litigasi meliputi:
 Besar nominal gugatan yang diajukan atas estimasi kerugian yang dapat
dialami oleh bank dibandingkan dengan jumlah modal bank.
 Besar kerugian bank akibat putusan pengandilan yang sudah memiliki
kekuatan hukum yang tetap dibandingkan dengan jumlah modal bank.
 Dasar gugatan yang terjadi dan pihak yang menggugat bank serta tindakan
hukum yang diambil oleh bank.
 Kemungkinan timbulnya gugatan serupa karena bank memiliki standar
penjanjian yang seragam dan estimasi kerugian dibandingkan dengan
jumlah modal bank.

2. FAKTOR KELEMAHAN PENGIKATAN


Kelemahan perikatan yang dilakukan oleh bank merupakan sumber
terjadinya permsalahan atau sengketa di kemudian hari yang dapat
menimbulkan potensi risiko hukum bagi bank’
 Syarat keabsahan perjanjian tidak terpenuhi
 Terdapat kelemahan klausul perjanjian atau persyaratan yang sudah
disetujui bersama tidak dapat dipenuhi debitur.
 Pemahaman para pihak terkait dengan perjanjian terutama mengenai
risiko-risiko yang ada dalam suatu transaksi yang kompleks dan
menggunakan istillah yang tidak mudah dipahami atau tidak lazim bagai
masyarakat umum.
 Isi dari perjanjian tidak dapat dilaksanakan baik sebagian maupun
seluruhnya
 Keberadaan dokumen pendukung terkait dengan perjanjian bank dengan
pihak ketiga.
 Pembaruan dan review dari penggunaan standar perjanjian oleh bank atau
pihak independen.
 Penggunaan pilihan hukum Indonesia atas perjanjian yang diadakan oleh
bank dan penetapan forum tempat penyelesaian sengketa.

3. FAKTOR SISTEM PERUNDANGAN TIDAK TERSEDIA ATAU TERJADI


PERUBAHAN
Jumlah dan nominal dari total produk bank yang belum diatur oleh
peraturan perundang-undangan secara jelas dan produk tersebut cenderung
memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi, dibandingkan dengan modal yang
dimiliki bank.
Penggunaan standar perjanjian yang belum diperbarui walaupun telah ada
perubahan best practice atau peraturan perundang-undangan
Ketiadaan peraturan perundang-undangan terutam atas produk yang
dimilki bank atau transaksi yang dilakukan bank akan mengakibatkan produk
tersebut menjadi sengketa di kemudian hari harinya sehingga berpotensi
menimbulakan risiko hukum.

4. REFERENSI RISIKO INHEREN HUKUM YANG DINILAI RENDAH


 Dalam periode waktu yang panjang jarang terjadi proses litigasi pada
bank. Frekuensi rendah, reputasi bank jauh dari gangguan, dan dampak
dari risiko hukum terhadap keuangan bank dinilai rendah.
 Perjanjian yang dibuat bank dengan pihak lain dinilai memadai
 Aktivitas produk dan jasa bank dinilai sudah sesuai ketentuan yang
berlaku.
BAB IX
STRATEGIC RISK PROFILE

Risiko strategik adalah risiko akibata ketidaktepatan bank dalam


mengambil keputusan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan strategik serta
kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. Sumber risiko
strategik antara lain ditimbulkan dari kelemahan dalam proses formulasi
strategi dan ketidaktepatan dalam perumusan strategi, ketidaktepatan dalam
implementasi startegi, serta kegagalan mengantisipasi perubahan lingkungan
bisnis.
Dalam menilai risiko inheren atas risiko strategik, parameter/indikator
yang digunakan adalah:
 Startegi Bisnis Bank
 Posisi Bisnis Bank; dan
 Pencapaian Rencana Bisnis Bank

Penilaian parameter yang dapat digunakan sebagai indikator risiko


strategik sesuai ketentuan pada SEBI adalah mengukur apakah penerapan
sasaran strategi oleh Dewan Direksi yang didukung dengan kondisi eksternal
maupun internal dari bank.

1. KESESUAIAN STRATEGI DENGAN KONDISI LINGKUNGAN BISNIS


Penilaian parameter antara lain untuk mengukur apakah penetapan
tujuan strategik oleh Direksi didukung oleh kondisi internal maupun eksternal
dari lingkungan bisnis bank meliputi:
a. Faktor internal, antara lain:
 Visi, misi, dan arah bisnis yang menjadi target bank
 Kultur oraganisasi, khususnya apabila penetapan tujuan strategik
mensyaratkan perubahan struktur organisasi dsan penyesuaian
tujuan bisnis
 Faktor kemampuan organisasi yang mencakup antara lain sumber
daya manusia, infrastruktur, dan sistem teknologi manajemen
informasi.
 Tingkat toleransi risiko yaitu tingkat kemampuan keuangan bank
menyerap risiko.
b. Faktor eksternal, antara lain:
 Kondisi makro ekonomi
 Perkembangan teknologi; dan
 Tingkat persaingan usaha.
2. STRATEGI BERISIKO TINGGI DAN STRATEGI BERISIKO RENDAH
Tingkat risiko inheren ditimbulkan oleh pilihan strategi bank.
 Strategi berisiko rendah adalah strategi dimana bank melakukan
kegitan usaha pada pangsa pasar dan nasabah yang telah dikenal
sebelumnya atau menyediakan produk yang bersifat tradisional
sehingga tingkat pertimbuhan usaha cenderung stabil dan dapat
diprediksi.
 Strategi berisiko tinggi adalah strategi di mana bank berencana
masuk dalam area bisnis baru, baik pangsa pasar, produk atau jasa,
maupun nasabah baru.

3. POSISI BISNIS BANK


Dalam mengukur tingkat keberhasilan/kegagalan bank dalam mencapai
tujuan dapat dinilai berdasarkan posisi bank di pasar dan keunggulan
kompetitif yang dimiliki, baik terhadap peer group maupun industri perbankan
secara keseluruhan.
Penilaian antara lain didasarkan pada:
 Pasar dimana melaksanakan kegiatan usaha
 Pesaing dan keunggulan bersaing
 Efisiensi dalam melaksanakan kegiatan usaha
 Diversifikasi kegiatan usaha dan cakupan wilayah operasional
 Kondisi makro ekonomi dan dampaknya pada kondisi bank

4. PENCAPAIAN RENCANA BISNIS BANK DAN REFERENSI INHEREN


STRATEGIK YANG DINILAI RENDAH
Tujuan penilaian antara lain untuk mengukur seberapa besar deviasi
realisasi RBB dibandingkan dengan rencana strategik bank.
Refernsi inheren strategik yang dinilai rendah:
 Strategi bank dinilai konservatif dengan risiko rendah
 Produk dan aktivitas bank relatif sederhana, stabil, dan dinilai tidak
kompleks.
 Bank hanya melanjutkan stategi yang ada dan sudah berlangsung
dengan baik dengan tingkat kebrhasilan yang dinilai tinggi.
 Bank mempunyai keunggulan kompetitif terhadap bank lain yang
stabil, tidak ada ancaman dari pesaing lama maupun baru.
 Pencapaian rencana bisnis bank dinilai cukup memadai.
BAB X
REPUTATION AND CMPLIANCE RISK PROFILE

Risiko kepatuhan adalah risiko yang timbul akibat bank tidak mematuhi
dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan
yang berlaku. Sumber risiko kepatuhan antara lain timbul karena perilaku
hukum maupun perilaku organisasi terhadap ketentuan maupun etika bisnsi
yang berlaku.
1. KEPATUHAN PADA PERATURAN YANG BERLAKU
Kepentingan masyarakat senatiasa perlu dilindungi, bisnis perbankan
banyak dikendalikan oleh berbbagai peraturan dan regulasi, khusunya
Peraturan Bank Indonesia (BI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI), atau
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Syariah (POJK).
Peraturan perbankan termasuk mangantur siapa atau pihak manan saja
yang diperkenankan memiliki bank, siapa yang diperbolehkan menjadi
pengurus atau manajemen bank, berapa maksimum pinjaman yang daapat
diberikan pada satu nasabah atau group nasabah tertentu, berapa modal
minimum yang wajib dimiliki bank, di mana saja bank dapat membuka kantor
cabang, produk dan jasa apa yang diperkenankan dipasarkan oleh bank, dan
berbagai aspek operasional perbankan lainnya.
Direksi bank bertanggung jawab untuk menetapkan kebijakan dan
mengendalikan operasional bank sehingga bank senantiasa patuh pada
ketentuan yang berlaku, baik ketentuan internal maupun ketentuan eksternal.
Agar dapat melaksanakan hal ini, Direksi wajib memahami kerangka kebijakan
dan peraturan perbankan yang berlaku.
Selain patuh pada peraturan yang berlaku, manajemen bank harus paham
mengenai kondisi keuangan bank. Untuk menjaga risiko kerugian, bank
menetapkan berbagai sistem limit untuk menjaga agar besar kerugian tidak
melebihi sesuai toleransi risiko yang ditetapkan. Bank harus secara periodik
memeriksa kinerja keuangan untuk memastikan bahwa kebijakan yang
ditetapkan dipenuhi.
Monitoring kondisi bank dapat dilakukan melalui wawancara degan
pejabat bank, hasil audit baik internal maupun eksternal, pelaksanaan
pencapaian anggaran bank dan melalui laporan keuangan bank. Sumber data
tersebut dapat digunakan untuk menilai efektivitas kontrol internal bank,
identifikasi kelemahan di mana kualitas kontrol harus ditingkatkan, dan
menilai kualitas keuangan bank.
2. PENILAIAN RISIKO INHEREN-RISIKO KEPATUHAN
Dalam menilai risiko inheren atas risiko kepatuhan, parameter/indikator
yang digunakan adalah
a. Jenis dan Siginifikansi Pelanggaran yang Dilakukan
Cakupan pelanggaran merupakan pelanggaran terhadap ketentuan yang
berlaku dan komitmen kepada Otoritas Jasa Keuangan termasuk sanksi yang
dikenakan atas pelanggaran yang dilakukan oleh bank
Parameter yang dinilai adalah:
1) Jenis pelanggrana atau ketidakpatuhan yang dilakukan oleh bank
2) Jenis pelanggran atau ketidakpatuhan yang dilakukan oleh bank baik
berdasarkan temuan audit maupun otoritas.
3) Jumlah sanksi denda kewajiban membayar yang dikenakan kepada bank
dari otoritas

b. Frekuensi Pekanggaran atau Track Record Ketidakpatuhan Bank


Frekuensi lebih bersifat historis dengan melihat tren kepatuhan bank
selama tiga tahun terakhir untuk mengetahui apakah jenis pelanggaran yang
dilakukan berulang ataukah memang atas kesalahan tersebut tidak dilakukan
perbaikan signifikan oleh bank.
Parameter yang dinilai adalah:
 Jenis dan frekuensi pelanggaran yang sama yang ditemukan setiap
tahunnya dalm tiga tahun terakhir
 Signifikansi tindak lanjut bank atas temuan tersebut

c. Pelanggaran terhadap Ketentuan atau Standar Bisnis yang Berlaku Umum


untuk Transaksi Keuangan Tertentu.
Pelanggaran atas ketentuan pada transaksi keuangan tertentu terjadi
karena tidak sesuai dengan standar berlaku umum.
Sebagai contoh, adanya pelanggaran terhadap antara lain UCP, ICC,
ataupun standar-standar lainnya yang berlaku secara umum pada sektor
keuangan.

d. Referensi Risiko Inheren Kepatuhan yang Dinilai Rendah


 Selama periode penilaian, tidak terdapat pelanggaran peraturan dari bank
terhadap ketentuan dan regulasi yang berlaku
 Track Record kepatuhan bank terhadap peraturan yang berlaku dinilai
sangat baik
 Bank sudah menerapkan standar dan kode etik bankir.
3. RISIKO REPUTASI
Risiko reputasi adalah risiko yang terjadi akibat menurunnya tingkat
kepercayaan stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif terhadap bank.
Salah pendekatan yang digunakan dalam mengategorikan sumber risiko
reputasi bersifat tidak langsung (below the line) dan bersifat langsung (above
the line)
Dalam menilai risiko inheren atas risiko reputasi, parameter /indikator
yang digunakan adalah:
a. Pengaruh Reputasi dari Pemilik Bank dan Perusahaan Terkait
Kredibilitas dari pemilik bank, serta kerjadian terkait reputasi dari pemilik
bank dan perusahaan terlait.
b. Pelanggaran Etika Bisnis
 Melalui transparansi informasi bisnis keuangan dan kerja sama bisnis
dengan stakeholder lainnya.
 Kompleksitias produk dan kerja sama bisnis bank, jumlah dan tingkat
penggunaan nasabah atas produk bank dengan katagori kompleks, serta
jumlah dan materialitas kerja sama bank dengan mitra bisnis.
 Frekuensi, materialitas, dan eksposur pemberitaan negatif bank, serta
jenis media dan lingkup pemberitaan.
 Frekuensi dan materialitas keluhan nasabah yang diukur selama periode
penilaian.
c. Referensi Risiko Inheren Reputasi yang Dinilai Rendah
 Selama periode penilaian, tidak terdapat pengaruh reputasi negatif dari
pemilik bank dan perusahaan terkait.
 Potensi pelanggaran etika bisnis bank dinilai minim
 Produk bank relatif sederhana dan mudah dipahami nasabah sehingga
kecil kemungkinan menimbulkan risiko reputasi.
 Kerja sama dengan mitra bisnis tidak banyak sehingga kecil kemungkinan
terjadi dispute
 Frekuensi pemberitaan negatif dinilai sedikit dan tidak material, dengan
lingkup pemberitaan terbatas.
 Frekuensi keluhan nasabah di nilai rendah dan tidak material.
BAB XI
RETURN AND INVESTMENT RISK PROFILE

1. RISIKO IMBAL HASIL


a. Komposisi Dana Pihak Ketiga

Non-Core deposit adalah giro, tabungan, deposito yang tidak dijaminoleh


Lembaga Penjamin Simpanan (nominal lebih besar dari Rp.2 Milyar).
Total dana pihak ketiga adalah seluruh dana pihak ketiga bukan bank
berupa giro, tabungan dan deposito

b. Strategi dan Kinerja Bank dalam Menghasilkan Laba/Pendapatan


 Non Performing Financing

Pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan kepada pihak ketiga bukan


bank yang memiliki kualitas kurang lancar, diragukan dan macet.

 Return on Asset

Laba sebelum pajak adalah sebagaimana tercatat dalam laba-rugi banak


tahun berjalan yang disetahunkan.
Contoh: Untuk posisi bukan Juni akumulasi laba per juni dihitung dengan
cara dibagi 6 dan dikalikan dengan 12.
Rata-rata total aset adalah rata-rata total aset dalam laporan keuangan
bank.
Contoh: Untuk posisi bulan Juni dihitung dengan cara penjumlahan total
aset posisi januari sampai dengan Juni dibagi dengan 6.

c. Perilaku Nasabah Dana Pihak Ketiga


 Korelasi antara tingkat imbalan deposito mudharabah dengan tingkat
bunga deposito.
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat bunga bank konvensional
dengan imbal hasil yang diberikan bank syariah kepada nasabah untuk
deposito 1 bulan.
 Realisasi bagi hasil deposito bank sesuai dengan jangka waktu terhadap
bagi hasil deposito/bunga dari bank syariah lainnya/bank konvensional.
Membandingkan bagi hasil yang diberikan oleh bank atas deposito untuk
setiap jangka waktu terhadap bago hasil yang diberikan oleh bank syariah
lainnya atau bank konvensional atas instrumen yang sama
 Realisasi bago hasil deposito bank terhadap instrumen lainnya.
Membandingkan bagi hasil yang diberikan oleh bank atas deposito untuk
setiap jangka waktu terhadap bagi hasil yang diberikan oleh instrumen
lainnya (sukuk, reksadana, dan obligasi)

2. RISIKO INVESTASI
a. Komposisi dan Tingkat Kosentrasi Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil

Total pembiayaan berbasis bagi hasil adalah seluruh pembiayaan kepada


pihak ketiga bukan bank dengan akad bagi hasil (misalnya mudharabah
dan musyarakah) baik yang menggunakan metode profit and loss sharing
maupun revenue sharing
Total pembiayaan adalah pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank.

Pembiayaan berbasis bagi hasil per-sektor ekonomi adalah seluruh


pembiayaan kepada bank dan pihak ketiga bukan bank dengan akad bagi
hasil per-kategori sektor ekonomi.
Total pembiayaan adalah pembiayaan kepada bank dan pihak ketiga
bukan bank.

b. Kualitas Pembiayaan Berbasis Bagi hasil dan Faktor Eksternal

Pembiayaan berbasis bagi hasil berkualitas rendah adalah seluruh


pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank dengan akad bagi hasil yang
memiliki kualitas dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan dan
macet, termasuk direstrukturisasi kualitas lancar.
Total pembiayaan adalah pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank.

Pembiayaan berbasis bagi hasil bermasalah adalah seluruh pembiayaan


kepada pihak ketiga bukan bank dengan akad bagi hasil yang memiliki
kualitas kurang lancar, diragukan dan macet.
Total pembiayaan adalah pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank.

Pembiayaan berbasis bagi hasil bermasalah per-sektor ekonomi adalah


seluruh pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank dengan akad bagi
hasil yang memiliki kualitas kurang lancar, diragukan dan macet.
Pembiayaan berbasi bagi hasil per-sektor ekonomi adalah seluruh
pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank dengan akad bagi hasil per-
ketegori sektoe ekonomi.

( )

Potensi kerugian (CKPN Mudharabah dan Musyarakah) adalah CKPN yang


dibentuk atas pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank dengan akad
bagi hasil. Misalnya mudharabah dan musyarakah.
Total pembiayaan berbasis bagi hasil adalah seluruh pembiayaan
kepada pihak ketiga bukan bank dengan akad bagi hasil.

Perubahan kondisi ekonomi, perubahan teknologi, ataupun regulasi yang


mempengaruhi usaha nasabah dan berdampak pada kemampuan nasabah
untuk menghasilkan pendapatan.
BAB XII
ASSESMENT OF THE QUALITY OF RISK MANAGEMENT SYSTEM
IMPLEMENTATION

1. TATA KELOLA RISIKO


Tata kelola risiko mencakup evaluasi terhadap perumusan tingkat risiko
yang akan diambil (risk appeitite) dan risk toleransi risiko (risk tolerance),
serta kecukupan pengawasan aktif (oversight) oleh Dewan Komisaris dan
Direksi terkait pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab Dewan
Komisaris dan Direksi.
Kebijakan dan prosedur yang dimiliki bank harus didasarkan pada strategi
manajemen risiko, serta dilengkapi dengan toleransi dan limit risikodilakukan
dengan memperhatikan tingkat risiko yang akan diambil dan strategi bank
secara keseluruhan.
Sistem kebijakan dan prosedur disusun untuk memastikan bahwa
eksposur risiko bank terkendali sesuai kebijakan dan prosedur intern bank,
serta peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku.
a. Risk Appetite dan Risk Tolerance
Tingkat risiko yang akan diambil bank merupakan tingkat dan jenis risiko
yang tersedia diambil oleh bank dalam rangka mencapai sasaran kerja bank.
Tingkat risiko yang akan diambil tercermin dalam strategi dan sasaran bisnis
bank.
Toleransi risiko merupakan tingkat dan jenis risiko yang secara
maksimum ditetapkan oleh bank yang merupakan penjabaran dari tingkat
risiko yang akan diambil. Dalam menyusn kebijakan manajemen risiko, Direksi
harus memberikan arahan yang jelas mengenai tingkat risiko yang akan
diambil dan toleransi risiko bank.
Tingkat risiko yang akan diambil dan toleransi risiko harus diperhatikan
dalm menyusun kebijakan manajemen risiko, termasuk dalam penetapan limit.
Dalam menetapkan toleransi risiko, bank perlu mempertimbangkan strategi
dan tujuan bisnis bank, serta kemampuan bank dalam mengambil risiko (risk
bearing capacity).
b. Tugas dan Tanggung Jawab Direksi
Direksi bertanggung jawab atas efektivitas penerapan manajemen risiko di
bank, untuk itu Direksi harus:
1) Memahami risiko-risiko yang dihadapi bank;
2) Memberikan rahan yang jelas;
3) Melakukan pengawasn dan mitigasi secara aktif
4) Mengembangkan budaya manajemen risiko di bank
5) Memastikan struktur organisasi yang memadai;
6) Menetapkan dan tanggung jawab yang jelas pada masing-masing unit;
7) Memastikan kecukupan kuantitas dan kualitas SDM untuk mendukung
penerapan manajemen risiko secara efektif.

c. Kewenangan dan Tanggung Jawab Dewan Direksi


1) Direksi menyusun kebijakan, strategi dan kerangka manajemen risiko
termasuk limit risiko secara keseluruhan dan per jenis risiko, dengan
memperhatikan tingkat risiko yang akan diambil sesuai toleransi risiko
yang ditetapkan serta memperhitungkan dampak risiko terhadap
kecukupan permodalan.
2) Menetapkan struktur organisasi termasuk wewnang dan tanggung jawab
yang jelas pada setiap jenjang jabatan yang terkait dengan peneraoan
manajemen risiko.
3) Mengembangkan budaya manajemen risiko pada seluruh jenjang
organisasi, antara lain meliputi komunikasi yang memadai kepada seluruh
jenjang organisasi tentang pentingnya pengendalian intern yang efektif.
4) Memastikan bahwa fungsi manajemen risiko telah diterapkan secara
independen

d. Penilaian Tata Kelola Risiko


1) Perumusan risk appetite dan risk tolerance cukup memadai dan sesuai
dengan strategi bisnis bank.
2) Strategi bank sesuai dengan risk appetite
3) Direksi dan Dewan Komisaris mempunyai pemahaman yang baik
mengenai manajemen risiko.
4) Pelaksanaan tugas memadai
5) Budaya risiko sangat kuat dan dilaksanakan dengan baik

2. KERANGKA MANAJEMEN RISIKO


a. Kebijakan dan Prosedur
Kebijakan manajemen merupakan arahan tertulis dalam menerapkan
manjemen risiko, serta harus jelas dengan visi, misi, dan strategi bisnis bank.
Proses penyusunan kebijakan manajemen risiko harus dikoordinasikan
dengan fungsi atau unit kerja terkait.
Kebijakan manajemen risiko antara lain, memuat:
1) Penerapan risko yang terkait dengan produk dan transaksi perbankan
yang didasarkan atas hasil analisis bank terhadap risiko yang melekat
pada setiap produk dan transaksi perbankan, baik yang sudah ada
maupun yang akan dilakukan sesuai dengan karakteristik dan
kompleksitas kagiatan usaha bank.
2) Penetapan metode dalam melakukan identifikasi, pengukuran,
pemantauan dan pengendalian risiko, serta sistem informasi manajemen
risiko, dalam rangka menilai secara tepat eksposur risiko pada setiap
produk dan transaksi serta aktivitas bisnis bank.
3) Penetapan data yan harus dilaporkan, format laporan, dan jenis informasi
yang harus dimasukkan dalam laporan manajemen risiko.
4) Penetapan kewanangan dan besaran limit secara berjenjang, termasuk
batasan transaksi yang memerlukan persetujuan Direksi.
5) Penetaoan peringkat profil risko sebagai dasar bagi bank untuk
menentukan langkah-langkah perbaikan terhadap produk, transaksi bank,
dan area aktivitas bisnis bank tertentu.
6) Struktur organisasi yang merumuskan peran dan tanggung jawab Dewan
Komisaris, Direksi, komite-komite, satuan kerja manajemen risiko, satuan
kerja operasional, satuan kerja audit intern, dan satuan kerja pendukung
lainnya.
7) Penetapan sistem pengendalian intern dalam penerapan manajemen
risiko guna memastikan kepatuhan terhadap ketentuan eksternal dan
internal yang berlaku, efektivitas dan efisiensi kegiatan operasional bank,
efektivitas budaya risiko pada setiap jenjang organisasi bank, serta
tersedianya informasi manajemen dan keuangan yang akurat, lengkap,
tepat guna, dan tepat waktu.
8) Kebijakn rencana kelangsungan usaha (business countinuity plan) atas
kemungkinan kondisi eksternal dan internal terburuk sehingga
kelangsungan usaha bank dapat dipertahankan, termasuk rencana
pemulihan bencana (disaster recovery plan) dan renacan kontijensi
(contingency plan)

b. Limit
Dalam rangka pengendalian risiko, limit digunakan sebagai ambang batas
untuk menemukan tingkat intensitas mitigasi risiko yang akan dilaksanakan
manajemen.
Limit risiko ditentukan sesuai dengan tingkat risiko yang akan diambil ,
toleransi risiko dan strategi bank secara keseluruhan, memperhatikan
kemampuan modal bank untuk dapat menyerap eksposur risko atau kerugian
yang timbul, pengalama kerugian di masa lalu, kemampuan sumber daya
manusia, dan kepetuhan terhadap ketentuan eksternal yang berlaku.
Limit harus diapahmi setiap pihal dan dikomunikasikan dengan baik
termasuk apabila terjadi perubahan.
Penetapan limit risiko mencakup:
 Limit secara keseluruhan
 Limit per jenis risiko; dan
 Limit per aktivitas fungsionaltertentu yang memiliki eksposur risiko.

Besaran limit diusulakan oleh satuan kerja operasional terkait, yang


selanjutnya diteruskan pada Satuan Kerja Manajemen Risiko (SKMR)untuk
mendapat persetujuan Direksi atau Dewan Komisaris melalui komite
manajemn risiko, atau Direksi sesuai dengan kewenangannya masing-masing
yang diatur dalm kebijakn internal bank.

c. Organisasi Manajemen Risiko dibawah Dewan Direski


Komite yang secara umum ada pada organisasi bank, adalah:
1) Komite Manajemen Risiko
Komite Manajemen Risiko (KMR) adalah organisasi manajemen risiko
tertinggi di suatu bank yang bertugas membahas dan memutuskan segala
kegiatan yang terkait dengan manajemen risiko antara lain penentuan dan
perubahan kebijakan, prosedur, sistem limit, risk appetite, serta toleransi
risiko. Keanggitaan Komite Manajemen Risiko dapat bersifat keanggotaan
tetap atau tidak tetap sesuai dengan kebutuhan bank.
Keanggotaan Komite Manajemen Risiko sekurang-kurang terdiri atas
mayoritas Direksi dan pejabat eksekutif terkait.
Untuk bank dengan operasional yang kompleks, Komite Manajemn
Risiko dapat dibagi beberapa sub-komite sesuai dengan tugas masing-
masingseperto ALCO (Asset Liabilities Committee atau komite manajemen
aktiva dan pasiva), komite risiko kredit, komite risiko pasar, dan komite
risiko operasional.
2) Satuan Kerja Manajemen Risiko (SKMR)
Struktur organisasi SKMR disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas
usaha bank. Setiap bank dapat menentukan struktur oraganisasi SKMR
harus mencerminkan karakteristik usaha bank dimaksud. Bagi bank yang
relatif kecil dari sisi total aset dan memilki tingkat kompleksitas usaha
yang rendah, maka bank dapat menunjuk sekelompok petugas dalm
satuan unit/group yang melaksanakan fungsi SKMR.
Sesuai dengan ukuran dan kompleksitas usaha bank, maka posisi
pejabat yang memimpin SKMR dapat setingkat atau tidak setingkat
dengan posisi pimpinan satuan kerja operasional. Namun, yang
bersangkutan tetap bertanggung jawab langsung kepada Direktur Utama
atau Direktur yang ditugaskan khusus membidangi manajemen risiko.
SKMR harus independen terhadap satuan kerja operasional (risk taking
unit) seperti unit pemasaran kredit, unit treasury dan investasi, unit
pendanaan, akunting, serta terhadap satuang kerja yang melaksanakan
fungsi pengendalian intern (satuan kerja audit intern/SKAI)

d. Unit Kerja terkait Manajemen Risiko


1) Satuan Kerja Operasional
Satuan kerja operasional adalah satuan kerja yang menjalankan aktifitas
bisnis dan operasional, diluar Satuan Kerja Manajemen Risiko, unit kerja
kepatuhan, dan fungsi pengendalian internal.
2) Satuan Kerja Audit Intern (SKAI)
SKAI adalah satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian internal
dan memastikan bahwa manajemen risiko telah diterapkan sesuai dengan
ketentuan dan regulasi yang ada. SKAI harus independen terhadap satuan
kerja manajemen risko dan satuan kerja operasional bank.
3) Satuan Kerja Kepatuhan
Unit kepatuhan bertanggung jawab mendorong seluruh jajaran organisasi
mematuhi kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan oleh manajemen
dan mematuhi ketentuan ekstern.

e. Penilaian Kualitas Kerangka Manajemen Risiko


 Fungsi manajemen risiko bersifat independen, dengan tugas dan tanggung
jawab jelas, berjalan dengan baik.
 Proses delegasi wewenag berjalan dengan baik;
 Kebijakan, SOP, dan limit memadai dan tersedia, dipahami oleh seluruh
jajaran organisasi yang relevan, dan dilaksanakan dengan baik.

3. PROSES MANAJEMEN RISIKO, SDM DAN SISTEM INFORMASI


MANAJEMEN
a. Identifikasi Risiko
Proses identifikasi risiko dilakukan dengan menganalisis selurh sumber
risiko, minimal dilakukan terhadap risko dari produk dan aktifitas bank, serta
memastikan bahwa risiko dari produk dan aktivitas baru telah melalui proses
manajemen risiko yang layak sebelum dipeekenalkan atau dijalankan.
b. Pengukuran Risiko
Sistem pengukuran risiko digunakan untuk mengukur eksposur risiko bank
sebagai acuan untuk melakukan pengendalian. Sistem tersebut minimal harus
dapat mengukur :
1) Eksposur risiko secara keseluruhan maupun per-risiko
2) Seluruh risiko yang melakat pada seluruh transaksi serta produk
perbankan, termasuk produk dan akivitas baru.
3) Sensitivitas produk/aktivitas terhadap perubahan faktor-faktor risiko
yang mempengaruhinya, baik pada konsidi normal maupun tidak normal.
4) Kecenderungan perubahan faktor-faktor dimaksud berdasarkan fluktuasi
yang terjadi di masa lalu dengan memperhitungkan faktor korelasi
(volatilitas)

Metode pengukuran risiko dapat dilakukan secara kuantitatif dan/atau


kualitatif. Metode pengukuran tersebut harus dipahami secara jelas oleh
pegawai terkait dalam pengendalian risiko, antara lain manajer treasury, chief
of dealer, komite manajemen risiko, satuan kerja manajemen risiko, dan
Direktur bidang terkait.

c. Pemantauan Risiko
Pemantauan dilakukan terhadap besarnya eksposur risiko, toleransi risko,
kepatuhan limit internal, hasil stress testing, beserta konsistensi pelaksanaan
dengan kebijakan dan prosedur yang ditetapkan.
Pemantauan dilakukan baik oleh unti pelaksana maupun oleh satuan kerja
manajemen risiko. Hasil pemantauan disajikan dalam bentuk laporan berkala
yang disampaikan kepada manajemen dalam rangka mitigasi risiko dan
tindakan yang diperlukan.

d. Pengendalian Risiko
Pengendalian risiko disesuaikan dengan eksposur risiko mapun tingkat
risiko yang akan diambil dan toleransi risiko. Pengendalian risiko dapat
dilakukan antara lain dengan cara mekanisme lindung nilai, penerbitan garansi
bank, sekuritisasi aset, credit derivative, serta penambhan modal bank untuk
menyerap potensi kerugian.

e. Sisten Informasi Manajemen Risiko


Sebagai bagian dari proses manajemen risiko, sistem informasi
manajemen risiko bank digunakan untuk mendukung pelaksanaan proses
identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko.
Untuk melaksanakan hal tersebut, diperlukan dukungan sistem informasi
manajemen yang dapat mendukung pembuatan laporan yang akurat,
infromatif, dan tepat waktu mengenai kondisi keuangan bank, kinerja aktivitas
fungsional, dan eksposur risiko bank.

f. Sumber Daya Manusia


Direksi memastikan kecukupan kuantitas dan kualitas sumber daya
manusia yang ada di bank dan memastikan sumber daya manusia dimaksud
memahamai tugas dan tanggung jawabnya. Pejabat dan staf yang ditempatkan
pada masing-masing satuan kerja tersebut memiliki pemahaman mengenai
risiko yang melekat pada setiap produk/aktivitas bank, memahami faktor-
faktor risiko yang relevan dan kondisi pasar yang mempengaruhi
produk/aktivitas bank, serta mamapu melakukan estimasi besar dampak dari
perubahan faktor-faktor tersebut terhadap kelangsungan usaha bank.
Direksi memastikan agar seluruh sumber daya manusia bank memahami
strategi, tingkat risiko yang diambil dan toleransi risiko, dan kerangka
manajemen risiko yang telah ditetapkan Direksi dan disetujui oleh Dewan
Komisaris, serta mengimplementasikan secara konsisiten dalam aktivitas yang
ditangani.

g. Referansi Penilaian Kualitas Proses Manajemen Risiko


 Proses manajemen risiko dalam melakukan identifikasi, mengukur,
memantau, dan mengendalikan risiko dinilai bank.
 Proses manajemen risiko dimulai dari identifikasi sampai dengan mitigasi
risiko berjalan baik.
 Kualitas sistem manajemen risiko berjalan baik.
 Tersedia sumber daya manusia baik dari sisi kecukupan dan kualifilkasi.

4. KECUKUPAN KUALITAS PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO


Kecukupan sistem pengendalian risikomencakup evaluasi terhadap
kecukupan atas sistem pengendalain intern termasuk didalamnya kaji ualang
atas kerangka dan proses manajemen risiko oleh satuan kerja yang
independen serta efektivitas pelaksanaan tugas satuan kerja audit internal dan
satuan kerja kepatuhan.
Untuk memastikan seluruh jajaran organisasi melaksanakan kebijakan
manajemen risiko yang sudah digariskan, bank memerlukan suatu sistem
pengendalian intern yang dapat secara efektif mengawasi pelaksanaan
kegiatan usaha dan operasional pada seluruh jenjang organisasi bank.
Pelaksanaan sistem pengendalian intern mampu secara tepat waktu
mendeteksi kelemahan dan penyimpangan yang terjadi.
Sistem pengendalian intern dalam penerapan manajemen risiko sekurang-
kurangnya mencakup:
 Kesesuain antara sistem pengendalian intern dengan jenis dan tingkat
risiko yang melekat pada kegiatan usaha bank.
 Penetapan kewenangan dan tanggung jawab untuk pemantauan
kepatuhan kebijakan, prosedur, dan limit.
 Penetapan jalur pelaporan dan pemisahan fungsi yang jelas dari satuna
operasional kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian.
 Struktur organisasi yang menggambarkan secara jelas kegiatan usaha
bank.
 Pelaporan keuangan dan kegiatan operasional yang akurat dan tepat
waktu.
 Kecukupan prosedur untuk memastikan kepatuhan bank terhadap
ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku.
 Proses kaji ulang yang efektif., independen dan obyektif terhadap
prosedur penilaian kegiatan operasional bank.
 Pengujian dan review yang memadai terhadap sistem informasi
manajemen.
 Dokumentasi secara lengkap dan memadai terhadap cakupan, prosedur
operasional, temuan audit, serta tanggapan pengurus bank berdasarkan
hasil audit.
 Verifikasi dan review secara berkala dan berkesinambungan terhadap
penangan kelemahan-kelemahan bank yang bersifat material dan
tindakan pengurus bank untuk memperbaiki penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi.

Referensi penilaian kualiatas kecukupan pengendalian internal:


 Sistem pengendalian intern berfungsi sangat efektif dalam mendukung
pelaksanaan manajemen risiko
 SKAI melakukan kaji ulang secara independen
 Tidak ditemukan kelemahan pada proses kaji ulang secara independen

5. PENILAIAN KUALITAS PENERAPAN MANAJEMEN RISKO


Penilaian kualitas penerapan manajemen risiko dilakukan terhadap
masing-masing 8 (delapan) jenis risiko, yaitu risiko kredit, risiko pasar, risiko
likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko startegik, risiko kepatuhan,
dan risiko reputasi (ditambah risiko imbal hasil dan risiko investasi untuk bak
syariah).
Tingkat kualitas penerapan manajemen risiko untuk masing-masing risko
dikategorikan dalam 5 (lima) peringkat, yaitu:
 Peringkat 1 (kuat/strong)
 Peringkat 2 (memuaskan/satisfaction)
 Peringkat 3 (cukup memadai/Fair)
 Peringkat 4 (kurang memadai/marginal)
 Peringkat 5 (tidak memadai/unsatisfactory)

6. PENILAIAN PROFIL RISIKO KOMPOSIT (NET-RISK TAKING)

Peringkat risiko komposit profil risiko untuk masing-masing jenis risiko


ditentukan dengan menggabungkan hasil penilaian eksposur risiko yang
melekat pada aktivitas fungsional (inherent risk) dan kecukupan sistem
pengendalian risiko (risk control system), sesuai aturan Bank Indonesia pada
tabel berikut:
Risiko Inheren Kualitas Penerapan Manajemen Risiko
Strong Satisfactory Fair Marginal Unsatisfactory
Low 1 1 2 3 3
Low to Moderat 1 2 2 3 4
Moderat 2 2 3 4 4
Moderat to High 2 3 4 4 5
High 3 3 4 5 5

Sebagai contoh, apabila nilai risko inheren 3 (moderat) dan hasil penilaian
implementasi manajemen risiko adalah 2 (satisfactory), maka nilai komposit
adalah 2.

Langkah selanjutnya adalah memberikan bobot pada delapan risiko


dan menemukan profil risiko bank secara keseluruhan, sesuai pada tabel
berikut:
No Jenis Risiko Risiko Inheren KPMR* Risiko Komposit
1. Risiko Kredit
2. Risiko Pasar
3.. Risiko Likuiditas
4. Risiko Operasional
5. Risiko Hukum
6. Risiko Startegik
7. Risiko Kepatuhan
8. Risiko Reputasi
Peringkat Profil Risiko L, LtM, M, MtH, H
Nilai rating profil risiko akan menentukan jumlah kebutuhan penyediaan
modal minimum bank sesuai tabel berikut:
Net Risk Rating Minimum CAR
1 08%
2 09% - < 10%
3 10% - < 11%
4 11% - < 14%
5 11% - < 14%

Sebagai contoh, apabila nilai rating profil risiko net adalah 2, maka kebutuhan
penyediaan modal minimum berkisar dari 9% sampai 10% tergantung dari
hasil pembulatan.
BAB XIII
GOOD CORPORATE GOVERNANCE

1. GOOD CORPORATE GOVERNANCE


Bank dunia mendefinisikan Good Corporate Governance sebagai kumpulan
hukum, peraturan, dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat
mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan untuk berfungsi secara efisien
guna menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi
para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan.
Organization for Economic Corporation and Development (OECD) dalam
mendefinisikan Good Corporate Governance sebagai sistem yang dipergunakan
untuk mengarahkan dan mengendalikan kegiatan perusahaan. Corporate
Governance mengatur pembagian tugas hak dan kewajiban mereka yang
berkepentingan terhadap kehidupan perusahaan termasuk para pemegang
saham, dewan pengurus, para manajer dan semua anggota stakeholder non
pemegang saham. Center for European Policy Study (CFPS) memformulasikan
Good Corporate Governance sebagai seluruh sistem yang dibentuk mulai dari
hak (right), proses, dan pengendalian, baik yang ada didalam maupun diluar
manajemen perusahaan.
Forum for Corporate Governance in Indonesiea (FCGI) mendefinisikan
Corporate Governance sebagai seperangkat peraturan yang mendefinisikan
hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditor, pemerintah, karyawan
dan stakeholder internal dan eksternal lainnya sehubungan hak dan tanggung
jawab, atau sistem dimana perusahaan diarahkan dan dikendalikan.
Tujuan dari Corporate Governance adalah untuk menciptakan nilai tambah
kepada para pemangku kepentingan. Berdasarkan SK Menteri BUMN
No.117/M-MBU/2002, Corporate Governance adalah suatu proses dan struktur
yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha
dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam
jangka panjang dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan
(Stakeholder) lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai
etika. Good Corporate Governance, yang selanjutnya disebut GCG, adalah suatu
tata kelola Bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan
(Transparency), akuntabilitas (Accountability), Pertanggungjawaban
(Responsibility), Kemandirian (Indepandency), dan Kewajaram (Fairness).
(Peraturan Bnak Indonesia No.11/33/PBI/2009).
Keberadaan Corporate Governance memiliki implikasi luas dan kritikal
terhadap perkembangan ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Pertama, menyediakan insentif dan ukuran penilaian kinerja didalam
mencapai kesuksesan sebuah bisnis. Kedua, menyediakan mekanisme untuk
penilaian akuntabilitas dan transparansi dalam menjain bahwa peningkatan
kesejahteraan, sebagai dampak dari peningkatan nilai perusahaan, telah
didistribusikan secara merata dan dapat dipertanggungjawabkan.
Signifikansi peranan Corporate Governance untuk kestabilan dan
kesejahteraan masyarakat. Good Corporate Governance selama ini dianalisis
secara ekstensif dalam konteks pasar perbankan konvensional. Konsep-konsep
Barat tentang Good Corporate Governance dari model Inggris Amerika yang
menggiatkan sistem nilai pemegang saham atau dari model Prancis Jerman
yang menegakan sistem nilai pemangku kepentingan telah menjadi pokok
bahasan debat berkelanjutan selama bertahun-tahun.
Pengertian Good Corporate Governance, antara lain sebagai berikut:
 Forum for Corporate Governance (FCGI) mendefinisikan corporate
governance sebagai berikut:
“seperangkat pengaturan yang mengatur hubungan antar pemegang,
pengurus pengelola perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan,
sehingga para pemegang kepentingan internal dan ekternal lainnya yang
berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain
suatu sistem yang mengendalikan perusahaan. Tujuan Corporate
Governance ialah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang
berkepentingan (stakeholders).
 Menurut donaldson and Davis, Corporate Governance adalah sbb: Struktur
di mana manajer di puncak organisasi dikendalikan melalui dewan direksi,
struktur yang terkait, program insentif dan sistem pemantauan dan
penghubung lainnya.
 Good Corporate Governance (GCG), adalah suatu tata kelola Bank yang
menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas
(accountability) Pertanggungjawaban (Responsibility), Kemandirian
(Indepandency), dan Kewajaram (Fairness).
Corporate Governance (CG) merupakan isu yang relatif baru dalam dunia
manajemen bisnis. Secara umum Corporate Governance terkait dengan sistem
dan mekanisme hubungan yang mengatur dan menciptakan insensif yang pas
di antara para pihak yang mempunyai kepentingan pada suatu perusahaan
agar perusahaan dimaksud dapat mencapai tujuan-tujuan usahannya secara
optimal.
Dalam literartur lain disebutkan bahwa Good Corporate Governance (GCG)
berarti suatu proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan
mengelola bisnis dan akuntabilitas perusahaan dengan tujuan utama
mempertinggi nilai saham dalam jangka panjang dengan memperhatikan
kepentingan stakeholders lain.
Dari pengertian tersebut, selanjutnya dapat dijelaskan bahwa GCG tidak
lain adalah permasalahan mengenai proses pengelolaan perusahaan yang
secara konseptual mencangkup diaplikasikannya prinsip-prinsip tranparancy,
accountability, Indepandency, fairness, dan responsibility.
Mengenai pengertian GCG dalam dunia perbankan merujuk dalam
ketentuan Pasal 1 angka 10 Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI/2009
Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan
Unit Usaha Syariah. Di situ disebutkan bahwa Good Corporate Governance
adalah suatu tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan
(transparancy), akuntabilitas (accoutability), pertanggung jawaban
(responsibility), profesional (profesional) dan kewajaran (fairness).
Dalam bagian penjelasan umum PBI No.11/33/PBI/2009 dikemukakan,
pertama transparansi (transparancy) diartikan sebagai keterbukaan dalam
mengemukakaan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan
dalam proses pengambilan keputusan. Kedua, akuntabilitas (accountability)
yaitu kejelasan fungsi dan pertanggungjawaban orang baik sehingga
pengelolaanya berjalan efektif. Ketiga, pertanggungjawaban (responsibility)
yaitu kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat. Keempat,
profesional (profesional) yaitu memiliki kompetensi, maupun bertindak
objektif dan bebas dari pengaruh, tekanan dari pihak manapun (independen)
serta memiliki komitmen yang tinggi untuk mengembangkan bank syariah.
Kelima, kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi
hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Governance pada lembaga keuangan,
khususnya bank memiliki keunikan tersendiri di bandingkan dengan
governance pada lembaga keuangan non-bank.
Hal ini disebabkan oleh kehadiran deposan sebagai suatu kelompok
stakeholders yang kepentingannya harus diakomodir dan dijaga. Namun,
keberadaan kelompok deposan pada perbankan konvensional tidaklah terlalu
banyak mempengaruhi struktur goverannce bank. Alasannya adalah: pertama,
secara akad bank telah menetapkan jaminan untuk membayar penuh
simpanan nasabah; kedua, penerapan skema penjaminan baik oleh lembaga
penjamin simpanan maupun pemerintah; ketiga, penerapan secara ketat
sejumlah rambu-rambu dalam bentuk ketentuan kehati-hatian perbankan oleh
otoritas pengawasan perbankan. Faktor-faktor inilah yang melindungi
kepentingan nasabah deposan terhadap kepentingan stakeholders lainnya
dalam bank, sehingga mengurangi desakan perlunya struktur goveranance
yang khusus untuk melindungi kepentingan para deposan bank.

2. PRINSIP-PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE


Menurut OECD secara umum ada empat prinsip utama dalam penerapan
corporate governance sehungga pengawasan dapat berjalan dengan baik.
Keempat prinsip tersebut adalah Fairness, yaitu perlakuan yang seimbang
antara pemegang saham, managemen, Stakholders lainnya; Transparansi,
yaitu pengungkapan informasi dan laporan keuangan, kinerja perusahaan dan
informasi-informasi lainnya mengenai perusahaan yang relevan, akurat dan
tepat waktu; Akuntabilitas, yaitu akuntabilitas manajemen terhadap
stakeholders melalui pengawasan yang efektif dan perimbangan kekuasaan
antara manajer, pemegang saham, board of directors, dan auditor;
Responsibility, yaitu tanggungjawab sosial perusahaan sebagai anggota
masyarakat terhadap masyarakat meliputi tanggung jawab kepatuhan hukum
dan pengakuan kebutuhan sosial masyarakat.
Prinsip dasar pelaksanaan GCG dalam industri perbankan syariah
berdasarkan PBI dan SEBI, mengacu pada lima prinsip dasar yaitu: Pertama,
Transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam mengungkapkan
informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam proses
pengambilan keputusan, Kedua, Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan
fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban orang bank sehingga
pengelolaanya berjalan secara efektif. Keempat, Kemandirian (Indepandency)
yaitu memiliki kompetensi, mampu bertindak obyektif dan bebas dari
pengaruh/tekanan dari pihak manapun (independen) serta memiliki
komitmen yang tinggi untuk mengembangkan bank syariah. Ketiga,
Pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian pengelolaan bank
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip
pengelolaan bank yang sehat. Kelima, Kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan
kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakholder, berdasarkan perjanjian dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance lebih ditunjukan
kepada adanya tanggung jawab publik (public accountability) berkaita dengan
kegiatan operasional bank yang diharapkan benar-benar mematuhi ketentuan-
ketentuan yang telah digariskan dalam hukum positif Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan berikut peraturan-peraturan pelaksanaannya, serta Undang-
Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Secara yuridis Bank
Syariah bertanggung jawab kepada banyak pihak (stakholders), yaitu nasabah
penabung, pemegang saham, investor obligasi, bank koresponden, regulator,
pegawai perseroan, pemasok serta masyarakat dan lingkungan. Penerapan
GCG merupakan wujud pertanggungjawaban bank syariah kepada masyarakat
bahwa suatu bank syariah dikelola dengan baik, profesional dan hati-hati
(prudent) dengan tetap berupaya meningkatkan nilai pemegang saham
(shareholder’s value) tanpa mengabaikan kepentingan stakeholders lainnya.
Dalam realitasnya ada beberapa hal yang sering kali dilakukan oleh
pemegang saham (shareholders) yang bertentangan dengan prinsip GCG
Tindakan-tindakan dari pemegang saham itu antara lain:
 Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata
untuk kepentingan pribadi.
 Pemegang saham yang bersangkutan terlihat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan.
 Pemegang saham yang bersangkutan baik secara langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang
mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi
utang perseroan.
Dengan demikian, prinsip-prinsip GCG sangat penting (urgen) untuk
diterapkan dalam operasional perusahaan. Lebih-lebih perusahaan yang
bergerak dibidang perbankan, karena dalam operasional bank pihak bankir
dituntut untuk selalu melaksanakan prinsip-prinsip kehati-hatian (prudential
principle) dalam memberikan jasa keuangan kepada masyarakat. Hal ini sangat
mungkin mengingat bank sebagai institusi yang telah diatur sedemikian
kompleksnya (the most regulated industry in the world). Bank Indonesia
sebagai pemegang otoritas perbankan harus mampu melakukan penilaian dan
penindakan terhadap pelaksanaan GCG Bank.
Prinsip dasar pelaksanaan Good Corporate Governance dalam industri
perbankan syraiah berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/33/PBI/2009 dan Angka 1 Huruf A Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
12/13DPbS tanggal 30 April 2010, mengacu pada lima prinsip dasar yaitu:
a. Transparani (Transparancy), yaitu keterbukaan dalam mengemukakan
informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam proses
pengembalian keputusan. Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan
bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan
dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan.
Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk megungkapkan tidak hanya
masalah yang disyaratkan oleh perundang-undangan, tetapi juga hal yang
penting untuk pengembalian keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan
pemangku kepentingan lainnya. Keterbukaan bagi perbankan meliputi
beberapa aspek yaitu:
1) Perusahaan harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai,
jelas, akuratdan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh
pemangku kepentingan sesuai dengan haknnya.
2) Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada,
visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi keuangan,
susunan dan kompesasi pengurus, pemegang saham pengendali,
kepemilikan saham oleh anggota Direksi dan anggota dewan Komisaris
beserta anggota keluarganya dalam perusahaan lainnya yang memiliki
benturan kepentingan, sistem manajemen risiko, sistem pengawasan dan
pengendalian internal, sistem dan pelaksanaan Good Corporate
Governance serta tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat
mempengaruhi kondisi perusahaan.
3) Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak mengurangi
kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perusahaan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak
pribadi.
4) Kebijakan perusahaan harus secara profesional dikomunikasikan kepada
pemangku kepentingan.

b. Akuntabilitas (Accountability), yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan


pertanggungjawaban organ bank sehingga pengelolaannya berjalan secara
efektif. Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar,
terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap
memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan
lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai
kinerja yang berkesinambungan. Akuntabilitas dapat dijabarkan pada bank
dalam bentuk:
1) Perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-
masing organ perusahaan dan semua karyawan secara jelas dan selaras
dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan.
2) Perusahaan harus meyakini bahwa semua organ perusahaan dan semua
karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab,
dan perannya dalam pelaksanaan Good Corporate Governance.
3) Perusahaan harus memastrikan adanya sistem pengendalian internal yang
efektif dalam pengelolaan perusahaan.
4) Perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran
perusahaaan yang konsisten dengan nilai-nilai perusahaan, sasaran utama
dan strategi perusahaan, serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi
(reward and punishment system).
5) Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, seriap organ
perusahaan dan semua karyawan harus berpegang kepada etika bisnis
dan pedoman perilaku (Code of Conduct) yang telah disepakati.

c. Pertanggungjawaban (Responsibility), yaitu kesesuaian pengelolaan bank


denganperaturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab
terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara
kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapatkan pengakuan
sebagai Good Corporate Citizen. Tanggung jawab yaitu tanggung jawab sosial
dicerminkan pada:
1) Organ perusahaan harus berpegang pada perinsip kehati-hatian
perbankan (prudential banking practices) dan meastikan peraturan
terhadap perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan perbankan
(by laws).
2) Menjadikan bank sebagai warga perusahaan yang baik (good corporate
Citizen) yang melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain
peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama
disekitar perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan
yang memadai.

d. Kemandirian (Indepandency), yaitu memiliki kompetensi, mampu


bertindak obyektif dan beban dari pengaruh/tekanan dah pihak manapun
(independen) serta memiliki komitmen yang tinggi untuk mengembangkan
bank syariah. Untuk melancarkan pelaksanaan prinsip-prinsip Good Corporate
Governance, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-
masing organ perusahaan dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
Profesional dapat dijabarkan dalam dua hal yaitu:
1) Masing-masing organ perusahaan harus menghindari terjadinnya
dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan
tertentu, bebas dari benturan kepentingan dan dari segala pengaruh atau
tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara
obyektif.
2) Masing-masing organ perusahaan harus melaksanakan fungsi dan
tugasnnya sesuai dengam anggaran dasar dan peraturan perundang-
undangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab
antara satu dengan yang lain sehingga terwujud sistem pengendalian
internal yang efektif.

e. Kewajaran (Fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi


hak-hak stakeholders, termasuk hak-hak pemegang saham minoritas dan para
pemegang saham asing, serta menjamin terlaksananya komitmen dengan para
investor berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa
memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan
lainnya berdasarkan prinsip kesetaraan dan kewajaran. Kewajaran
dilaksanakan melalui tiga aspek yaitu:
1) Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku
kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat
bagi kepentingan perusahaan serta membuka akses terhadap informasi
sesuai prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing.
2) Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada
pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang
diberikan kepada perusahaan.
3) Perusahaan harus memebrikan kesempataa yang sama dalam penerimaan
karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya.

3. TAHAP-TAHAP PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE


Dalam pelaksanaan penerapan Good Corporate Governance diperusahaan
adalah penting bagi perusahaan untuk melakukan tahapan yang cermat
berdasarkan analisis dan situasi dan kondisi perusahaan, dan/atau tingkat
kesiapannya, sehingga penerapan Good Corporate Governance dapat berjalan
lancar dan mendapatkan dukungan dari seluruh unsur didalam perusahaan.
Pada umumnya perusahaan-prusahaan yang telah berhasil dalam
menerapkan Good Corporate Governace menggunakan tahapan berikut:
a. Tahap persiapan
Tahap ini terdiri atas 3 tahap utama:
1) Awarness Building, merupakan langkah awal untuk membangun
kesadaran mengenai arti penting Good Corporate Governance dan
komitmen bersama dalam penerapannya.
2) Good Corporate Governance Assessment, merupakan upaya untuk
mengukur atau lebih tepatnya memetakan kondisi perusahaan dalam
penerapan Good Corporate Governance saat ini.
3) Good Corporate Governance manual building, adalah langkah berikut
setelah Good Corporate Governance Assessment dilakukan. Berdasarkan
hasil pemetaan tingkat kesiapaan perusahaan dalam upaya indentifikasi
prioritas penerapannya, penyusunan manual dan pedoman implementasi
Good Corporate Governance dapat disusun yang mencangkup berbagai
aspek-aspek seperti:
a) Kebijakan GCG perusahaan
b) Pedoman GCG bagi orang-orang perusahaan
c) Pedoman perilaku
d) Audit Commite Chater
e) Kebijakan disclosure dan transparansi
f) Kebijakan dan kerangka manajemen risiko
g) Roadmap implementasi

b. Tahap implementasi
Setelah perusahaan memiliki Good Corporate Governnace manual, langkah
selanjutnya adalah memulai implementasi di perusahaan. Tahap ini terdiri atas
3 langkah utama yaitu:
1) Sosialiasi, diperlukan untuk memperkenalkan kepada seluruh perusahaan
sebagai aspek yang terkait dengan implementasi Good Corporate
Governace khususnya mengenai pedoman penerapan Good Corporate
Governace.
2) Implementasi, yaitu kegiatan yang dilakukan sejalan dengan pedoman
Good Corporate Governace yang ada, berdasarkan roadmap yang telah
disusun.
3) Internalisasi, yaitu tahap jangka panjang dalam implementasi.
Internalisasi mencangkup upaya-upaya untuk memperkenalkan Good
Corporate Governance di dalam seluruh proses bisnis perusahaan kerja,
dan berbagai peraturan perusahaan.

c. Tahap evaluasi
Tahap evaluasi adalah tahap yang perlu dilakukan secara terartur dari
waktu kewaktu untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan Good
Corporate Governance telah dilakukan dengan meminta pihak independen
melakukan audit implementasi dan scoring atas praktik Good Corporate
Governance yang ada. Evaluasi dapat membantu perusahaan memetakan
kembali kondisi dan situasi serta capaian perusahaan dalam implementasi
Good Corporate Governance sehingga dapat mengupayakan perbaikan-
perbaikan yang perlu berdasarkan rekomendasi yang diberikan.
4. PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang
pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah disebutkan bahwa Bank wajib melaksanakan prinsip-prinsip
Good Corporate Governance dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh
tingkat atau jenjang organisasi. Pelaksanaan prinsip-prinsip Good Corporate
Governance oleh sebuah bank dibagi dalam dua golongan Yaitu Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Dalam pelaksanaan GCG bagi BUS paling kurang harus diwujudkan dalam:
1) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi;
2) Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang
menjalankan fungsi pengadilan intern Bank Umum Syariah;
3) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah;
4) Penerapan fungsi kepatuhan, audit intern dan audit ekstren;
5) Batas maksimum penyaluran dana; dan
6) Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan BUS;

Selanjutnya pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Unit Usaha


Syariah paling kurang harus diwujudkan dalam:
1) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direktur UUS;
2) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah;
3) Penyaluran dana kepada nasabah pembiayaan inti dan penyimpanan dana
oleh deposa inti; dan
4) Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan UUS.

Sebelum diundangkannya PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang pelaksanaan


Good Corporate Governance bagi Bnak Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah,
ada beberapa prinsip GCG yang diharapkan diterapkan di dunia Perbankan
adalah prinsip-prinsip sebagaimana yang diatur dalam PBI No.2/27/PBI/2000
tentang Bank Umum, yaitu:
1) Kepemilikan bank oleh badan hukum Indonesia setinggi-tingginya sebesar
modal sendiri bersih badan hukum yang bersangkutan, yang wajib
dipenuhi pada saat badan hukum yang bersangkutan melakukan
penyetoran modal untuk pendirian Bank atau pada saat badan hukum
yang bersangkutan melakukan penambahan modal disetor Bank.
2) Pengeang saham pengendali wajib memenuhi persayaratan bahwa yang
bersangkutan bersedia untuk mengatasi kesulitan permodalan dan
likuiditas yang dihadapi Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya
(Comfort Latter).
3) Bilamana benturan kepentingan terjadi, anggota Dewan Komisaris,
Anggota Direksi, Pejabat Eksekutif dan Pemimpin Kantor Cabang dilarang
mengambil tindakan yang dapat merugikan Bank (dalam hal ini termasuk
mengurangi keuntungan Bank) dan wajib mengungkapkan benturan
kepentingan dimaksud dalam setiap keputusan.
4) Adanya larangan merangkap jabatan bagi anggota Dewan Komisaris dan
Anggota Direksi.
5) Mayoritas Anggota Direksi wajib berpengalaman dalam operasional Bank
sekurang-kurangnya 5 (Lima) Tahun sebagai Pejabat Eksekutif pada bank,
dan dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua
termasuk bersama dengan sesama anggota Direksi atau Anggota Dewan
Komisaris; serta Direktur Utama wajib berasal dari pihak yang
Independen terhadap pemegang Saham Pengendali.
6) Anggota Direksi baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dilarang
memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari modal disetor
pada suatu perusahaan lain; dan
7) Anggota direksi dilarang memberikan kuasa umum kepada pihak lain yang
mengakibatkan pengalihan tugan dan wewenang tanpa batas.
8) Pelanggaran atas ketentuan kewajiban menyampaikan comfort latter,
benturan kepentingan, larangan perangkapan jabatan komisaris dan
larangan bagi Direksi sebagaimana tersebut diatas, Bank dapat dikenakan
sanksi administratif sesuai Pasal 52 UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998.

Corporate Governance merupakan suatu konsepsi yang secara riil


dijabarkan dalam bentuk ketentuan/peraturan yang dibuat oleh lembaga
otoritas, norma-norma dan etika yang dikembangkan oleh asosisai industri dan
diadopsi oleh pelaku industri, serta lembaga-lembaga yang terkait dengan
tugas dan peran yang jelas untuk mendorong disiplin, mengatasi dampak
moral hazard dan melaksanakan fungsi check dan balance.
Sejumlah perangkat dasar yang diperlukan untuk membentuk GCG pada
Bank syariah antara lain: (1) Sistem pengadilan intern; (2) manajemen risiko;
(3) ketentuan yang mengarah pada peningkatan keterbukaan informasi; (4)
sistem akutansi; (5) mekanisme jaminan kepatuhan syariah;(6) audit ekstern.
Perangkat tersebut di atas pada dasarnya berlaku bagi semua bank baik
Bank konvensional maupun Bank Syariah. Adapun yang membedakannya
adalah bahwa di Bank Syariah perlu adanya perangkat yang dapat menjamin
kepatuhan kepada nilai-nilai dan aturan syariah. Hal demikian tidak dijumpai
dalam sistem perbankan konvensional. Khusus untuk meningkatkan prinsip
syariah oleh bank paling tidak terdapat dua langkah penting yang perlu
ditempuh, yaitu:
1) Perlunya mengefektifkan aturan dan mekanisme pengakuan
(endorsement) dari otoritas fatwa dalam hal ini DSN-MUI dalam hal
menentukan kehalalan atau keseuaian produk dan jasa keuangan bank
dengan prinsip syariah.
2) Perlunya mengefektifkan sistem pengawasn yang memantau transaksi
keuangan bank sesuai fatwa yang dikeluarkan oleh otoritas fatwa
perbankan. Terkait dengan hal ini permasalahan yang sering muncul
adalah masih minimnya ahli yang memiliki pemahaman ilmu fiqh dan
syariah serta sekaligus memiliki pengetahuan perbankan yang memadai.

Untuk melihat pelaksanaan prinsip Good Corporate Governance di Bank


Syariah. Berdasarkan keteuntuan Pasal 2 PBI Nomor 11/33PBI//2009, Bank
Syariah baik BUS maupun UUS wajib untuk melaksnakan GCG (Good Corporate
Governance) dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau
jenjang organisasi Pelaksnaan GCG dalam setiap kegiatan usaha ini termasuk
dalam proses penyusunan visi, misi, rencana strategis, pelaksanaan kebijakan,
dan langkah-langkah pengawasan internal.
Sedangkan pelaksanan pada “seluruh tingkatan atau jenjang organisasi”
bagi BUS adalah mulai dari tingkatan tertinggi yaitu Dewan Komisaris dan
direksi sampai dengan tingkatan manajemen terendah. Adapun ppelaksanaan
pada “seluruh tingkat atau jenjang. organisasi” bagi UUS adalah mulai dari
tingkatan tertinggi yaitu Direktur UUS sampai dengan tingkatan manajemen
terendah.
Peraturan lebih lanjut terhadap perlunya GCG bagi Bank Syariah baik BUS
maupun UUS, diatur dalam peraturan Bank Indonesia No.11/33/PBI/2009
Tanggal 7 Desember 2009 tentang Pelaksnaan Good Corporate Governance bagi
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, dan Surat Edaran Bank Indonesia
No 12/13/DPBS Tanggal 30 April 2010 perihal Pelaksanaan Good Corporate
Governance Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Dengan berlakunya
Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka Surat
Edaran Bank Indonesia No.8/4/PBI/2006 Tanggal 30 Januari 2006 tentang
Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum beserta ketentuan
perubahannya menjadi dasar pelaksanaan GCG di BUS termasuk UUS
dinyatakan tidak berlaku.
Latar belakang dan alasan disusunnya PBI Good Corporate Governance
(GCG) secara khusus bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah
(UUS) ini, menurut Bank Indonesia adalah dilandasi oleh pertimbangan bahwa
pelaksanaan GCG di dalam industri perbankan syariah tetap harus memenuhi
prinsip syariah (sharia compliance), yang tercermin antara lain dengan adanya
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam
pengelolaan kegiatan usaha BUS dan UUS. Di samping itu juga merupakan
amanah dari ketentuan Pasal 34 UU No.21/2008 yang mewajibkan Bank
Indonesia untuk mengatur lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik bagi
bank syariah..

5. DASAR HUKUM GOOD CORPORATE GOVERNANCE


Secara yuridis telah ditegaskan pada Pasal 34 UU No.21/2008.
Berdasarkan Pasal 34 UU tersebut, bank syariah wajib menerapkan tata kelola
perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) yang mencangkup prinsip
transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran
dalam menjalankan kegiatan operasional bank. Dalam pelaksanaannya Bank
Syariah dan UUS diwajibkan untuk menyusun prosedur internal yang mengacu
pada prinsip-prinsip tersebut di atas (Pasal 34) pasal 34 UU No21/2008
berbunyi sbb:
1) Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik
yang mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban,
profesional, dan kewajaran dalam menjalankan kegiatan usahanya.
2) Bank Syariah danUUS wajib menyusun prosedur internal mengenai
pelaksanaan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

Dasar Hukum Good Corporate Governance Bank Syariah adalah sebagai


berikut:
1) UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 tanggal 29 Januari
2009 tentang Bank Usaha Syariah.
3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 tanggal 19 Maret 2009
tentang Unit Usaha Syariah.
4) Peraturan Bank indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 tanggal 7 Desember
2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah 9PBI No.11/33/PBI/2009);
5) Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/13/DPbS Jakarta, 30 April 2010
Perihal: Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah (SEBI No. 12/13/DPbS tanggal 30 April 2010).
BAB XIV
RENTABILITAS (EARNING)

Rentabilitas merupakan indikator penilaian terhadap profitabilitas usaha


sebuah institusi. Alat pengukuran ini digunakan tingkat efisiensi usaha dan
profitabilitas yang dicapai oleh bank. Alat pengukurannya sebagai berikut:
1. GROSS PROFIT MARGIN
Rasio ini digunakan untuk mengetahui presentasi laba dari kegiatan usaha
murni dari bank yang bersangkutan setelah dikurangi biaya-biaya. Rumus
Gross Profit Margin sebagai berikut:

2. NET PROFIT MARGIN


Net Profit Margin merupakan rasio untuk mengukur kemampuan bank
dalam menghasilkan net income dari kegiatan operasional pokoknya. Rumus
untuk mencari net profit margin sebagai berikut:

3. RETURN ON EQUITY (ROE)


Merupakan perbandingan antara laba bersih setelah pajak dengan modal
sendiri (equity) merupakan indikator yang penting bagi para pemegang saham
dan calon investor untuk mengukur kemampuan bank dalam memperoleh laba
bersih yang dikaitkan dengan pembayaran deviden. Semakin besar rasio ini
menujukkan kemampuan modal disetor bank dalam menghasilkan laba
pemegang saham semakin besar, diperoleh dari rumus sebagai berikut:

4. RETURN ON TOTAL ASSET (ROA)


Rasio ini mengukur keberhasilan manajemen dalam menghasilkan laba
secara keseluruhan dengan cara membandingkan antara laba sebelum pajak
dengan total aset. ROA juga mengambarkan perputaran aktiva yang diukur dari
volume penjualan. Semakin besar ROA suatu bank, maka semakin besar pula
tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi
bank tersebut.

5. RASIO EFISIENSI KEGIATAN OPERASIONAL (REO)


Merupakan perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan
operasional dalam mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam
menunjang kegiatan operasional. Semakin kecil rasio biaya (beban)
operasionalnya akan lebih baik, karena biaya yang dikeluarkan lebih kecil
dibandingkan pendapatan yang diterima.

( )
( )

6. INCOME OF GROSS ASSET (IGA)


Rasio ini untuk mengetahui potensi seluruh aktiva yang dimiliki bank yang
mampu menghasilkan/memberikan pendapatan. Hal ini dapat diperoleh dari
rumus:

7. DEVERIFIKASI PENDAPATAN (DP)


Rasio ini bertujuan mengukur kemampuan bank syariah dalam
menghasilkan pendapatan jasa berbasis fee. Semakin tinggi pendapatan
berbasis fee mengidentifikasikan semakin berkurang ketergantungan bank
terhadap pendapatan dari penyaluran dana, 41diperoleh dari rumus sebagai
berikut:
DAFTAR PUSTAKA

Darmawi, Herman. 2011. Manajemen Perbankan. Jakarta:Bumi Aksara.

Effendi, Muh. Arief. 2009. The Power of Good Corporate Governance:Teori


danImplementasi. Jakarta: Salemba Empat. Cet. Ke-2.

Indonesia, Bankir Ikatan, dkk. 2013. Memahami Bisnis Bank. Jakarta:


PT.Gramedia Pustaka Utama. Cet. Ke-1.

Indonesia, Bankir Ikatan, dkk. 2015. Manajemen Risiko 1. Jakarta:


PT.Gramedia Pustaka Utama. Edisi. Ke-1.

Indonesia, Bankir Ikatan, dkk. 2016. Manajemen Kesehatan Bank Berbasus


Risiko. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. Edisi. Ke-1.

Ismail. 2011. Perbankan Syariah. Jakrata: Prenadamedia Group. Cet. Ke-1

Kasmir. 2008. Manajemen Perbankan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.


Cet. Ke-8

Lukviarman,Niki. 2016. Corporate Governance. Solo: PT.Era Adicitra


Intermedia. Cet. Ke-1

Muqorrobin, Masyhudi. 2012. Fikih Tata Kelola Organisasi Laba:Sebuah


Pengantar. Purwokerto: Universitas Muhammadiyah

Nur,Ahmad Rizka, Good Corporate Governance Dalam Perspektif Syariah,


Program Studi Ekonomi, Universitas islam Negeri

Nuruddin Amiur, Veithzal Rivai, 2012, Islamic Business dan Economic


Ethic. Jakarta: Bumi Aksara. Cet. Ke-1

Sudarsono, Heri. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Deskripsi dan


Ilustrasi. Yogyakarta: Ekonisia. Cet. Ke-2.

Supyadillah, Asep. 2013. Hukum Perbankan Syariah Jakarta: PT.Wahana


Kardofa. Cet. Ke-1.
Supyadillah, Asep. 2016. Produk Pendanaan Bank Syariah. Jakarta:
PT.Wahana Kardofa. Cet. Ke-2

Sutedi, Adrian. 2011. Good Corporate Governance. Jakarta: Sinar Grafika.


Cet. Ke-1

Umam, Khotibul. 2016. Perbankan Syariah. Jakarta: PT.Rajagrafindo


Persada. Cet. Ke-1

Anda mungkin juga menyukai