Anda di halaman 1dari 8

IDUL ADHA

Nama : Auliya Febriyanto


No : 02
Kelas : IX D

SMP N 31 PURWOREJO
IDUL ADHA

Idul Adha pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah juga dikenal dengan sebuatan “Hari Raya
Haji”, dimana kaum muslimin yang sedang menunaikan haji yang utama, yaitu wukuf di
Arafah. Mereka semua memakai pakaian serba putih dan tidak berjahit, yang di sebut
pakaian ihram, melambangkan persamaan akidah dan pandangan hidup, mempunyai
tatanan nilai yaitu nilai persamaan dalam segala segi bidang kehidupan. Tidak dapat
dibedakan antara mereka, semuanya merasa sederajat. Sama-sama mendekatkan diri
kepada Allah Yang Maha Perkasa, sambil bersama-sama membaca kalimat talbiyah.
Disamping Idul Adha dinamakan hari raya haji, juga dinamakan “Idul Qurban”, karena
pada hari itu Allah memberi kesempatan kepada kita untuk lebih mendekatkan diri kepada-
Nya. Bagi umat muslim yang belum mampu mengerjakan perjalanan haji, maka ia diberi
kesempatan untuk berkurban, yaitu dengan menyembelih hewan qurban sebagai simbol
ketakwaan dan kecintaan kita kepada Allah SWT Jika kita menengok sisi historis dari
perayaan Idul Adha ini, maka pikiran kita akan teringat kisah teladan Nabi Ibrahim, yaitu
ketika Beliau diperintahkan oleh Allah SWT untuk menempatkan istrinya Hajar bersama
Nabi Ismail putranya, yang saat itu masih menyusu. Mereka ditempatkan disuatu lembah
yang tandus, gersang, tidak tumbuh sebatang pohon pun. Lembah itu demikian sunyi dan
sepi tidak ada penghuni seorangpun. Nabi Ibrahim sendiri tidak tahu, apa maksud
sebenarnya dari wahyu Allah yang menyuruh menempatkan istri dan putranya yang masih
bayi itu, ditempatkan di suatu tempat paling asing, di sebelah utara kurang lebih 1600 KM
dari negaranya sendiri palestina. Tapi baik Nabi Ibrahim, maupin istrinya Siti Hajar,
menerima perintah itu dengan ikhlas dan penuh tawakkal.
Karena pentingnya peristiwa tersebut. Allah mengabadikannya dalam Al-Qur’an: 
‫?وي ِإلَ ْي ِه ْم‬
ِ ?‫اس تَ ْه‬ِ َّ‫صالَةَ فَاجْ َع??لْ َأ ْفِئ َدةً ِّمنَ الن‬ ْ ‫ك ْال ُم َحر َِّم َربَّنَا لِيُقِي ُم‬
َّ ‫وا ال‬ َ ِ‫ع ِعن َد بَ ْيت‬ ُ ‫َّربَّنَا ِإنِّي َأ ْس َك‬
ٍ ْ‫نت ِمن ُذرِّ يَّتِي بِ َوا ٍد َغي ِْر ِذي َزر‬
َ‫ت لَ َعلَّهُ ْم يَ ْش ُكرُون‬
ِ ‫َوارْ ُز ْقهُم ِّمنَ الثَّ َم َرا‬
Artinya: Ya Tuhan kami sesunggunnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di
suatu lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumahmu (Baitullah) yang
dimuliakan. Ya Tuhan kami (sedemikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka
jadikanlah gati sebagia manusia cenderung kepada mereka dan berizkilah mereka dari
buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS Ibrahim: 37)
Seperti yang diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa tatkala Siti Hajar kehabisan air minum
hingga tidak biasa menyusui nabi Ismail, beliau mencari air kian kemari sambil lari-lari
kecil (Sa’i) antara bukit Sofa dan Marwah sebanyak 7 kali. Tiba-tiba Allah mengutus
malaikat jibril membuat mata air Zam Zam. Siti Hajar dan Nabi Ismail memperoleh
sumber kehidupan.
Lembah yang dulunya gersang itu, mempunyai persediaan air yang melimpah-limpah.
Datanglah manusia dari berbagai pelosok terutama para pedagang ke tempat siti hajar dan
nabi ismail, untuk membeli air. Datang rejeki dari berbagai penjuru, dan makmurlah
tempat sekitarnya. Akhirnya lembah itu hingga saat ini terkenal dengan kota mekkah,
sebuah kota yang aman dan makmur, berkat do’a Nabi Ibrahim dan berkat kecakapan
seorang ibu dalam mengelola kota dan masyarakat. Kota mekkah yang aman dan makmur
dilukiskan oleh Allah kepada Nabi Muhammad dalam Al-Qur’an:
‫ت َم ْن آ َمنَ ِم ْنهُم بِاهّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآل ِخ ِر‬
ِ ‫ال ِإ ْب َرا ِهي ُم َربِّ اجْ َعلْ هَـ َ َذا بَلَداً آ ِمنا ً َوارْ ُز ْق َأ ْهلَهُ ِمنَ الثَّ َم َرا‬
َ َ‫َوِإ ْذ ق‬
Artinya: Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo’a: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini,
sebagai negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kiamat.” (QS Al-
Baqarah: 126)
Dari ayat tersebut, kita memperoleh bukti yang jelas bahwa kota Makkah hingga saat ini
memiliki kemakmuran yang melimpah. Jamaah haji dari seluruh penjuru dunia,
memperoleh fasilitas yang cukup, selama melakukan ibadah haji maupun umrah.
Hal itu membuktikan tingkat kemakmuran modern, dalam tata pemerintahan dan ekonomi,
serta kaemanan hukum, sebagai faktor utama kemakmuran rakyat yang mengagumkan.
Yang semua itu menjadi dalil, bahwa do’a Nabi Ibrahim dikabulkan Allah SWT. Semua
kemakmuran tidak hanya dinikmati oleh orang islam saja. Orang-orang yang tidak
beragama Islam pun ikut menikmati.
Allah SWT berfirman:
ِ ‫س ْال َم‬
‫صي ُر‬ َ ‫ار َوبِْئ‬ ِ ‫قَا َل َو َمن َكفَ َر فَُأ َمتِّ ُعهُ قَلِيالً ثُ َّم َأضْ طَرُّ هُ ِإلَى َع َذا‬
ِ َّ‫ب الن‬
Artinya: Allah berfirman: “Dan kepada orang kafirpun, aku beri kesenangan sementara,
kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka. Dan itulah seburuk buruk tempat
kembali.” (QS. Al-Baqarah: 126)
Idul Adha dinamai juga “Idul Nahr” artinya hari raya penyembelihan. Hal ini untuk
memperingati ujian paling berat yang menimpa Nabi Ibrahim. Akibat dari kesabaran dan
ketabahan Ibrahim dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan, Allah memberinya
sebuah anugerah, sebuah kehormatan “Khalilullah” (kekasih Allah).
Setelah gelar Al-khalil disandangnya, Malaikat bertanya kepada Allah: “Ya Tuhanku,
mengapa Engkau menjadikan Ibrahim sebagai kekasihmu. Padahal ia disibukkan oleh
urusan kekayaannya dan keluarganya?” Allah berfirman: “Jangan menilai hambaku
Ibrahim ini dengan ukuran lahiriyah, tengoklah isi hatinya dan amal baktinya!”
Sebagai realisasi dari firmannya ini, Allah SWT mengizinkan pada para malaikat menguji
keimanan serta ketaqwaan Nabi Ibrahim. Ternyata, kekayaan dan keluarganya dan tidak
membuatnya lalai dalam taatnya kepada Allah.
Dalam kitab “Misykatul Anwar” disebutkan bahwa konon, Nabi Ibrahim memiliki
kekayaan 1000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 ekor unta. Riwayat lain mengatakan,
kekayaan Nabi Ibrahim mencapai 12.000 ekor ternak. Suatu jumlah yang menurut orang di
zamannya adalah tergolong milliuner. Ketika pada suatu hari, Ibrahim ditanya oleh
seseorang “milik siapa ternak sebanyak ini?” maka dijawabnya: “Kepunyaan Allah, tapi
kini masih milikku. Sewaktu-waktu bila Allah menghendaki, aku serahkan semuanya.
Jangankan cuma ternak, bila Allah meminta anak kesayanganku Ismail, niscaya akan aku
serahkan juga.”
Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Qur’anul ‘adzim mengemukakan bahwa, pernyataan Nabi
Ibrahim yang akan mengorbankan anaknya jika dikehendaki oleh Allah itulah yang
kemudian dijadikan bahan ujian, yaitu Allah menguji iman dan taqwa Nabi Ibrahim
melalui mimpinya yang haq, agar ia mengorbankan putranya yang kala itu masih berusia 7
tahun. Anak yang elok rupawan, sehat lagi cekatan ini, supaya dikorbankan dan disembelih
dengan menggunakan tangannya sendiri. Sungguh sangat mengerikan! Peristiwa
spektakuler itu dinyatakan dalam Al-Qur’an:
ِ َ‫ال يَا َأب‬
َ‫ت ا ْف َعلْ َما تُْؤ َم ُر َستَ ِج ُدنِي ِإن َشاء هَّللا ُ ِمنَ الصَّابِ ِرين‬ َ ‫ي ِإنِّي َأ َرى فِي ْال َمن َِام َأنِّي َأ ْذبَ ُح‬
َ َ‫ك فَانظُرْ َما َذا تَ َرى ق‬ َ َ‫ق‬
َّ َ‫ال يَا بُن‬
Artinya: Ibrahim berkata : “Hai anakkku sesungguhnay aku melihat dalam mimpi bahwa
aku menyembelihmu “maka fikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Wahai
bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan
mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS Aa-saffat: 102)
Ketika keduanya siap untuk melaksanakan perintah Allah, datanglah setan sambil berkata,
“Ibrahim, kamu orang tua macam apa kata orang nanti, anak saja disembelih?” “Apa kata
orang nanti?” “Apa tidak malu? Tega sekali, anak satu-satunya disembeli!” “Coba lihat,
anaknya lincah seperti itu!” “Anaknya pintar lagi, enak dipandang, anaknya patuh seperti
itu kok dipotong!” “Tidak punya lagi nanti setelah itu, tidak punya lagi yang seperti itu!
Belum tentu nanti ada lagi seperti dia.” Nabi Ibrahim sudah mempunya tekat. Ia
mengambil batu lalu mengucapkan, “Bismillahi Allahu akbar.” Batu itu dilempar.
Akhirnya seluruh jamaah haji sekarang mengikuti apa yang dulu dilakukan oleh Nabi
Ibrahim ini di dalam mengusir setan dengan melempar batu sambil mengatakan,
“Bismillahi Allahu akbar”. Dan hal ini kemudian menjadi salah satu rangkaian ibadah haji
yakni melempar jumrah.
Ketika sang ayah belum juga mengayunkan pisau di leher putranya. Ismail mengira
ayahnya ragu, seraya ia melepaskan tali pengikat tali dan tangannya, agar tidak muncul
suatu kesan atau image dalam sejarah bahwa sang anak menurut untuk dibaringkan karena
dipaksa ia meminta ayahnya mengayunkan pisau sambil berpaling, supaya tidak melihat
wajahnya.
Nabi Ibrahim memantapkan niatnya. Nabi Ismail pasrah bulat-bulat, seperti ayahnya yang
telah tawakkal. Sedetik setelah pisau nyaris digerakkan, tiba-tiba Allah berseru dengan
firmannya, menyuruh menghentikan perbuatannya tidak usah diteruskan pengorbanan
terhadap anaknya. Allah telah meridloi kedua ayah dan anak memasrahkan tawakkal
mereka. Sebagai imbalan keikhlasan mereka, Allah mencukupkan dengan penyembelihan
seekor kambing sebagai korban, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surat As-
Saffat ayat 107-110:
‫َظ ٍيم‬ ٍ ‫َوفَ َد ْينَاهُ بِ ِذب‬
ِ ‫ْح ع‬
“Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
َ‫َوتَ َر ْكنَا َعلَ ْي ِه فِي اآْل ِخ ِرين‬
“Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) dikalangan orang-orang yang datang
kemudian.”
‫َساَل ٌم َعلَى ِإ ْب َرا ِهي َم‬
“Yaitu kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim.”
َ‫َك َذلِكَ نَجْ ِزي ْال ُمحْ ِسنِين‬
“Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Menyaksikan tragedi penyembelihan yang tidak ada bandingannya dalam sejarah umat
manusia itu, Malaikat Jibril kagum, seraya terlontar darinya suatu ungkapan “Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Nabi Ibrahim menjawab “Laailaha illahu Allahu
Akbar.” Yang kemudian dismbung oleh Nabi Ismail “Allahu Akbar Walillahil Hamdu.’
Pengorbanan Nabi Ibrahim AS yang paling besar dalam sejarah umat umat manusia itu
membuat Ibrahim menjadi seorang Nabi dan Rasul yang besar, dan mempunyai arti besar.
Peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail diatas, bagi kita harus dimaknai
sebagai pesan simbolik agama, yang mengandung pembelajaran paling tidak pada tiga hal;
Pertama, ketakwaan. Pengertian taqwa terkait dengan ketaatan seorang hamba pada Sang
Khalik dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Nya. Koridor agama (Islam)
mengemas kehidupan secara harmoni seperti halnya kehidupan dunia-akherat. Bahwa
mereaih kehidupan baik (hasanah) di akhierat kelak perlu melalui kehidupan di dunia yang
merupakan ladang untuk memperbanyak kebajikan dan memohon ridho Nya agar tercapai
kehidupan dunia dan akherat yang hasanah. Sehingga kehidupan di dunia tidak terpisah
dari upaya meraih kehidupan hasanah di akherat nanti. Tingkat ketakwaan seseorang
dengan demikian dapat diukur dari kepeduliannya terhadap sesamanya. Contoh seorang
wakil rakyat yang memiliki tingkat ketakwaan yang tinggi tentu tidak akan memanfaatkan
wewenang yang dimiliki untuk memperkaya dirinya sendiri bahkan orang seperti ini akan
merasa malu jika kehiudpannya lebih mewah dari pada rakyat yang diwakilinya.
Kesiapsediaan Ibrahim untuk menyembelih anak kesayangannya atas perintah Allah
menandakan tingginya tingkat ketakwaan Nabi Ibrahim, sehingga tidak terjerumus dalam
kehidupan hedonis sesaat yang sesat. Lalu dengan kuasa Allah ternyata yang disembelih
bukan Ismail melainkan domba. Peristiwa ini pun mencerminkan Islam sangat menghargai
nyawa dan kehidupan manusia, Islam menjunjung tinggi peradaban manusia.
Kedua, hubungan antar manusia. Ibadah-ibadah umat Islam yang diperintahkan Tuhan
senantiasa mengandung dua aspek tak terpisahkan yakni kaitannya dengan hubungan
kepada Allah (hablumminnalah) dan hubungan dengan sesama manusia atau
hablumminannas. Ajaran Islam sangat memerhatikan solidaritas sosial dan
mengejawantahkan sikap kepekaan sosialnya melalui media ritual tersebut. Saat kita
berpuasa tentu merasakan bagaimana susahnya hidup seorang dhua’afa yang memenuhi
kebutuhan poangannya sehari-hari saja sulit. Lalu dengan menyembelih hewan kurban dan
membagikannya kepada kaum tak berpunya itu merupakan salah satu bentuk kepedualian
sosial seoarng muslim kepada sesamanya yang tidak mampu. Kehidupan saling tolong
menolong dan gotong royong dalam kebaikan merupakan ciri khas ajaran Islam. Hikmah
yang dapat dipetik dalam konteks ini adalah seorang Muslim diingatkan untuk siap sedia
berkurban demi kebahagiaan orang lain khususnya mereka yang kurang beruntung,
waspada atas godaan dunia agar tidak terjerembab perilaku tidak terpuji seperti
keserakahan, mementingkan diri sendiri, dan kelalaian dalam beribadah kepada sang
Pencipta.
Ketiga, peningkatan kualitas diri. Hikmah ketiga dari ritual keagaamaan ini adalah
memperkukuh empati, kesadaran diri, pengendalian dan pengelolaan diri yang merupakan
cikal bakal akhlak terpuji seorang Muslim. Akhlak terpuji dicontohkan Nabi seperti
membantu sesama manusia dalam kebaikan, kebajikan, memuliakan tamu, mementingkani
orang lain (altruism) dan senantiasa sigap dalam menjalankan segala perintah agama dan
menjauhi hal-hal yang dilarang. Dalam Al Quran disebutkan bahwa Nabi Muhammad
memiliki akhlak yang agung (QS Al-Qalam: 4). Dalam Islam kedudukan akhlak sangat
penting merupakan “buah” dari pohon Islam berakarkan akidah dan berdaun syari”ah.
Segala aktivitas manusia tidak terlepas dari sikap yang melahirkan perbuatan dan tingkah
laku manusia. Sebaliknya, akhlak tercela dipastikan berasal dari orang yang bermasalah
dalam keimanan merupakan manisfestasi dari sifat-sifat syetan dan iblis.
Dari sejarahnya itu, maka lahirlah kota Makkah dan Ka’bah sebagai kiblat umat Islam
seluruh dunia, dengan air zam-zam yang tidak pernah kering, sejak ribuan tahunan yang
silam, sekalipun tiap harinya dikuras berjuta liter, sebagai tonggak jasa seorang wanita
yang paling sabar dan tabah yaitu Siti Hajar dan putranya Nabi Ismail.
Hikmah yang dapat diambil dari pelaksanaan shalat Idul Adha, bahwa hakikat manusia
adalah sama. Yang membedakan hanyalah taqwanya. Dan bagi yang menunaikan ibadah
haji, pada waktu wukuf di Arafah memberi gambaran bahwa kelak manusia akan
dikumpulkan dipadang mahsyar untuk dimintai pertanggung jawaban.
Untuk menyembelih herwan kurban, ada tata cara berkurban yang harus diikuti. Paling
utama adalah robohkan hewan dengan kepala menghadap kiblat, awali dengan membaca
bismillah, lakukan sekali dengan gerakan potong pada leher hewan kurban, gantung kaki
belakang hewan setelah disembelih, ikat saluran makanan dan dubur hewan.
Setelah itu lakukan pengulitan perlahan, keluarkan isi dalam hewan dan pisahkan, bungkus
terpisah dengan plastik khusus makanan, dan yang pasti jagalah kebersihan daging kurban.

“Setelah disembelih, ada beberapa cara penanganan daging yang dapat dilakukan, yaitu
pemisahan kepala dan bagian-bagian lain dilakukan setelah hewan mati. Hewan digantung
pada kaki belakang untuk menyempurnakan pengeluaran darah yang masih tersisa untuk
mencegah kontaminasi hewan. Darah harus keluar sebanyak-banyaknya karena jika masih
tersisa, kuman yang tumbuh akan membuat daging cepat busuk,” kata Nurliyani.
Untuk menjaga higienitas daging, hindari tangan manusia kontak langsung dengan daging,
lalat atau serangga lain, peralatan yang kontak dengan daging, air kotor, alas/tanah yang
kotor. Untuk petugas/panitia kurban perlu menjaga kebersihan diri, mengenakan pakaian
yang bersih, dan sering mencuci tangan. Peralatan juga harus bersih dan terbuat dari bahan
yang tidak mencemari daging.
Dalam menyimpan daging, Nurliyani memaparkan 5 kunci penyimpanan yang benar,
yaitu: (1) bersihkan daging dengan baik, daging sapi dan kambing tidak perlu dicuci karena
justru akan merusak. (2) pisahkan makanan mentah dan matang agar tidak terjadi
kontaminasi silang. (3) masak makanan secara sempurna. (4) tempatkan makanan pada
temperatur yang sesuai. (5) gunakan air dan bahan mentah yang aman.
Nurliyani menambahkan terkait penyimpanan daging, area dengan kisaran suhu 5-60oC
adalah area berbahaya karena bakteri dapat tumbuh dengan cepat. Oleh karena itu,
disarankan untuk menyimpan daging di bawah 5oC atau di atas suhu 60oC. Daging sapi
mentah dapat bertahan di kulkas selama 3-5 hari sedangkan di freezer selama 4-6 bulan.
Kambing mentah dapat bertahan di kulkas selama 3-5 hari, di freezer selama 6-9 bulan.
Selain itu, dalam menyimpan daging di kulkas, Nurliyani menyarankan daging dikemas
dalam kemasan kecil dan langsung habis dimasak ketika dikeluarkan dari freezer. Daging
yang sudah dikeluarkan dari freezer hendaknya tidak dimasukkan lagi untuk disimpan
karena akan menurunkan kualitas daging.
Dekan Fapet UGM, Prof. Dr. Ir. Ali Agus, DAA., DEA., IPU., ASEAN. Eng mengatakan,
pelatihan ini merupakan pelatihan yang rutin dilaksanakan setiap tahun. Tahun ini,
meskipun terjadi pandemi, Fapet UGM tetap melaksanakan.
Sesuai syariat yang telah ada satu ekor sapi atau unta dapat digunakan untuk 7 orang yang
berkurban sementara kambing hanya sah untuk kurban sebanyak seorang saja.
Oleh karenanya, bila melakukan patungan atau kongsi melebihi ketentuan tersebut, sebagai
contoh sapi untuk 8 orang berkurban dan kambing untuk 2 orag yang berkurban, maka
hewan kurban yang disembelih tidak sah.
Hal tersebut dijelaskan dalam Hadis Syekh Khathib al-Syarbini, al-Iqna’ ‘Ala Matni Abi
Syuja’, juz.4, hal.332. Yang artinya sebagai berikut.
“Mencukupi satu kambing tertentu berupa domba atau kambing kacang dari satu orang
saja, maka bila ia menyembelih untuk dirinya dan keluarganya, atau untuk dirinya dan
menyertakan orang lain di dalam pahala berkurban, maka boleh. Atas ketentuan ini
diarahkan haditsnya Imam Muslim: Nabi berkurban dengan dua kambing gibas dan beliau
bersabda, Ya Allah semoga engkau terima kurban ini dari Muhammad, keluarga, dan
umatnya,” (Syekh Khathib al-Syarbini, al-Iqna’ ‘Ala Matni Abi Syuja’, juz.4, hal.332).

Cara pembagian daging kurban


Berdasarkan kaidah umumnya, daging kurban dibagikan kepada tiga golongan penerima
kurban.
1. Shohibul qurban beserta keluarganya
Sepertiga bagian kurban diberikan kepada shohibul qurban beserta keluarganya, sedangkan
duapertiga sisanya merupakan hak orang lain. Orang yang berkurban juga dapat
membagikan sepertiga bagiannya tersebut kepada pihak-pihak lain, misalnya kepada
panitia hewan kurban. Perlu diingat pula, pekurban tidak boleh menjual kurban bagiannya,
baik dalam bentuk daging, bulu, maupun kulit.
2. Sahabat, Kerabat, dan Tetangga
Sepertiga bagian selanjutnya diberikan kepada sahabat, kerabat dan tetangga. Walaupun
sahabat, kerabat, dan tetangga shohibul qurban merupakan orang yang berkecukupan,
mereka tetap berhak mendapatkan sepertiga bagian hewan kurban.
3. Fakir Miskin, Yatim, Piatu dan Dhuafa
Sepertiga lainnya diberikan kepada fakir miskin, Yatim, Piatu dan Dhuafa sebagai
kelompok yang paling membutuhkan. Shohibul qurban juga dapat menambahkan jatah
hewan kurban untuk fakir miskin, Yatim, Piatu dan Dhuafa dari bagian kurbannya. Hal ini
dilakukan shohibul qurban sebagai bentuk kepedulian dan solidaritas bagi orang-orang
yang berkekurangan.

Anda mungkin juga menyukai