Anda di halaman 1dari 6

SEJARAH PENYEMBELIHAN QURBAN

Diajukan untuk memenuhi tugas mata pelajaran Fiqh


Guru Pengampu : Leni Abidah, S.Ag.

Disusun oleh :
Winda Aprilia Febriyanti
Seftiani Susanto
Raihan Abdul Rochman
M Komarudin
Naufal Aldiansyah

KELAS IX F
MTs NURUL FALAH
KOTA CIMAHI
SEJARAH PENYEMBELIHAN QURBAN

Idul Adha pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah juga dikenal dengan sebuatan “Hari Raya
Haji”, dimana kaum muslimin yang sedang menunaikan haji yang utama, yaitu wukuf di
Arafah. Mereka semua memakai pakaian serba putih dan tidak berjahit, yang di sebut pakaian
ihram, melambangkan persamaan akidah dan pandangan hidup, mempunyai tatanan nilai
yaitu nilai persamaan dalam segala segi bidang kehidupan. Tidak dapat dibedakan antara
mereka, semuanya merasa sederajat. Sama-sama mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha
Perkasa, sambil bersama-sama membaca kalimat talbiyah.

Disamping Idul Adha dinamakan hari raya haji, juga dinamakan “Idul Qurban”,
karena pada hari itu Allah memberi kesempatan kepada kita untuk lebih mendekatkan diri
kepada-Nya. Bagi umat muslim yang belum mampu mengerjakan perjalanan haji, maka ia
diberi kesempatan untuk berkurban, yaitu dengan menyembelih hewan qurban sebagai simbol
ketakwaan dan kecintaan kita kepada Allah SWT.

Jika kita menengok sisi historis dari perayaan Idul Adha ini, maka pikiran kita akan
teringat kisah teladan Nabi Ibrahim, yaitu ketika Beliau diperintahkan oleh Allah SWT untuk
menempatkan istrinya Hajar bersama Nabi Ismail putranya, yang saat itu masih menyusu.
Mereka ditempatkan disuatu lembah yang tandus, gersang, tidak tumbuh sebatang pohon pun.
Lembah itu demikian sunyi dan sepi tidak ada penghuni seorangpun. Nabi Ibrahim sendiri
tidak tahu, apa maksud sebenarnya dari wahyu Allah yang menyuruh menempatkan istri dan
putranya yang masih bayi itu, ditempatkan di suatu tempat paling asing, di sebelah utara
kurang lebih 1600 KM dari negaranya sendiri palestina. Tapi baik Nabi Ibrahim, maupin
istrinya Siti Hajar, menerima perintah itu dengan ikhlas dan penuh tawakkal.

Karena pentingnya peristiwa tersebut. Allah mengabadikannya dalam Al-Qur’an: 

‫نت ِمن ُذ ّ ِريَّيِت ب َِوا ٍد غَرْي ِ ِذي َز ْرعٍ ِعندَ بَيْ ِت َك الْ ُم َح َّر ِم َربَّنَا ِل ُي ِقميُو ْا‬ ُ ‫َّربَّنَا يِّن َأ ْس َك‬
‫ِإ‬
‫ر ِات لَ َعلَّه ُْم‬444 ‫م‬َّ ‫ث‬ ‫ال‬ ‫ن‬ ‫م‬ِ ‫ُم‬ ‫ه‬ ْ
‫ق‬ ‫ز‬ ‫ار‬
َ َ َ ّ ُ ْ َ ْ ِ ‫ّ َ َّ ْ ِ ِإ‬ ‫و‬ ‫م‬ َ
‫هْي‬ ‫ل‬ ‫ي‬ ‫و‬ 444 ‫هَت‬ ِ
‫اس‬ ‫ن‬‫ال‬ ‫ن‬‫م‬ِ ً
‫ة‬ َ‫د‬ ‫ِئ‬ْ ‫ف‬ ‫َأ‬ ْ
‫ل‬444‫ع‬‫ج‬
َْ ‫ا‬َ ‫ف‬ َ
‫ة‬ َ
‫ال‬ 444‫الص‬
َّ
‫ون‬ َ ‫ي َْش ُك ُر‬
Artinya: Ya Tuhan kami sesunggunnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di
suatu lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumahmu (Baitullah) yang
dimuliakan. Ya Tuhan kami (sedemikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka
jadikanlah gati sebagia manusia cenderung kepada mereka dan berizkilah mereka dari
buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS Ibrahim: 37)

Seperti yang diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa tatkala Siti Hajar kehabisan air
minum hingga tidak biasa menyusui nabi Ismail, beliau mencari air kian kemari sambil lari-
lari kecil (Sa’i) antara bukit Sofa dan Marwah sebanyak 7 kali. Tiba-tiba Allah mengutus
malaikat jibril membuat mata air Zam Zam. Siti Hajar dan Nabi Ismail memperoleh sumber
kehidupan.

Lembah yang dulunya gersang itu, mempunyai persediaan air yang melimpah-limpah.
Datanglah manusia dari berbagai pelosok terutama para pedagang ke tempat siti hajar dan
nabi ismail, untuk membeli air. Datang rejeki dari berbagai penjuru, dan makmurlah tempat
sekitarnya. Akhirnya lembah itu hingga saat ini terkenal dengan kota mekkah, sebuah kota
yang aman dan makmur, berkat do’a Nabi Ibrahim dan berkat kecakapan seorang ibu dalam
mengelola kota dan masyarakat. Kota mekkah yang aman dan makmur dilukiskan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad dalam Al-Qur’an:

‫َو ْذ قَا َل ْب َرا ِه ُمي َر ِ ّب ا ْج َع ْل َهـَ َذا بَدَل ًا آ ِمن ًا َو ْار ُز ْق َأ ْههَل ُ ِم َن الث َّ َم َر ِات َم ْن آ َم َن ِمهْن ُم اِب هّلل ِ َوالْ َي ْو ِم‬
‫ِإآل ِ ِإ‬
‫ا خ ِر‬
Artinya: Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo’a: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, sebagai
negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang
beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kiamat.” (QS Al-Baqarah: 126)
Dari ayat tersebut, kita memperoleh bukti yang jelas bahwa kota Makkah hingga saat ini
memiliki kemakmuran yang melimpah. Jamaah haji dari seluruh penjuru dunia, memperoleh
fasilitas yang cukup, selama melakukan ibadah haji maupun umrah.

Hal itu membuktikan tingkat kemakmuran modern, dalam tata pemerintahan dan ekonomi,
serta kaemanan hukum, sebagai faktor utama kemakmuran rakyat yang mengagumkan. Yang
semua itu menjadi dalil, bahwa do’a Nabi Ibrahim dikabulkan Allah SWT. Semua
kemakmuran tidak hanya dinikmati oleh orang islam saja. Orang-orang yang tidak beragama
Islam pun ikut menikmati.

Allah SWT berfirman:

‫قَا َل َو َمن َك َف َر فَُأ َم ِتّ ُع ُه قَ ِلي ًال مُث َّ َأضْ َط ُّر ُه ىَل عَ َذ ِاب النَّ ِار َو ِبْئ َس الْ َم ِص ُري‬
‫ِإ‬
Artinya: Allah berfirman: “Dan kepada orang kafirpun, aku beri kesenangan sementara,
kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka. Dan itulah seburuk buruk tempat
kembali.” (QS. Al-Baqarah: 126)

Idul Adha dinamai juga “Idul Nahr” artinya hari raya penyembelihan. Hal ini untuk
memperingati ujian paling berat yang menimpa Nabi Ibrahim. Akibat dari kesabaran dan
ketabahan Ibrahim dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan, Allah memberinya sebuah
anugerah, sebuah kehormatan “Khalilullah” (kekasih Allah).

Setelah gelar Al-khalil disandangnya, Malaikat bertanya kepada Allah: “Ya Tuhanku,
mengapa Engkau menjadikan Ibrahim sebagai kekasihmu. Padahal ia disibukkan oleh urusan
kekayaannya dan keluarganya?” Allah berfirman: “Jangan menilai hambaku Ibrahim ini
dengan ukuran lahiriyah, tengoklah isi hatinya dan amal baktinya!”

Sebagai realisasi dari firmannya ini, Allah SWT mengizinkan pada para malaikat
menguji keimanan serta ketaqwaan Nabi Ibrahim. Ternyata, kekayaan dan keluarganya dan
tidak membuatnya lalai dalam taatnya kepada Allah.

Dalam kitab “Misykatul Anwar” disebutkan bahwa konon, Nabi Ibrahim memiliki
kekayaan 1000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 ekor unta. Riwayat lain mengatakan,
kekayaan Nabi Ibrahim mencapai 12.000 ekor ternak. Suatu jumlah yang menurut orang di
zamannya adalah tergolong milliuner. Ketika pada suatu hari, Ibrahim ditanya oleh seseorang
“milik siapa ternak sebanyak ini?” maka dijawabnya: “Kepunyaan Allah, tapi kini masih
milikku. Sewaktu-waktu bila Allah menghendaki, aku serahkan semuanya. Jangankan cuma
ternak, bila Allah meminta anak kesayanganku Ismail, niscaya akan aku serahkan juga.”
Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Qur’anul ‘adzim mengemukakan bahwa, pernyataan Nabi
Ibrahim yang akan mengorbankan anaknya jika dikehendaki oleh Allah itulah yang kemudian
dijadikan bahan ujian, yaitu Allah menguji iman dan taqwa Nabi Ibrahim melalui mimpinya
yang haq, agar ia mengorbankan putranya yang kala itu masih berusia 7 tahun. Anak yang
elok rupawan, sehat lagi cekatan ini, supaya dikorbankan dan disembelih dengan
menggunakan tangannya sendiri. Sungguh sangat mengerikan! Peristiwa spektakuler itu
dinyatakan dalam Al-Qur’an:

َّ ‫قَا َل اَي بُيَن َّ يِّن َأ َرى يِف الْ َمنَا ِم َأيِّن َأ ْذحَب ُ َك فَا ُنظ ْر َما َذا تَ َرى قَا َل اَي َأب َ ِت افْ َع ْل َما تُْؤ َم ُر َس َتجِ دُ يِن ن َشاء اهَّلل ُ ِم َن‬
‫الصا ِب ِر َين‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
Artinya: Ibrahim berkata : “Hai anakkku sesungguhnay aku melihat dalam mimpi bahwa
aku menyembelihmu “maka fikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Wahai bapakku
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku
termasuk orang yang sabar.” (QS Aa-saffat: 102)

Ketika keduanya siap untuk melaksanakan perintah Allah, datanglah setan sambil berkata,
“Ibrahim, kamu orang tua macam apa kata orang nanti, anak saja disembelih?” “Apa kata
orang nanti?” “Apa tidak malu? Tega sekali, anak satu-satunya disembeli!” “Coba lihat,
anaknya lincah seperti itu!” “Anaknya pintar lagi, enak dipandang, anaknya patuh seperti itu
kok dipotong!” “Tidak punya lagi nanti setelah itu, tidak punya lagi yang seperti itu! Belum
tentu nanti ada lagi seperti dia.” Nabi Ibrahim sudah mempunya tekat. Ia mengambil batu lalu
mengucapkan, “Bismillahi Allahu akbar.” Batu itu dilempar. Akhirnya seluruh jamaah haji
sekarang mengikuti apa yang dulu dilakukan oleh Nabi Ibrahim ini di dalam mengusir setan
dengan melempar batu sambil mengatakan, “Bismillahi Allahu akbar”. Dan hal ini kemudian
menjadi salah satu rangkaian ibadah haji yakni melempar jumrah.

Ketika sang ayah belum juga mengayunkan pisau di leher putranya. Ismail mengira ayahnya
ragu, seraya ia melepaskan tali pengikat tali dan tangannya, agar tidak muncul suatu kesan
atau image dalam sejarah bahwa sang anak menurut untuk dibaringkan karena dipaksa ia
meminta ayahnya mengayunkan pisau sambil berpaling, supaya tidak melihat wajahnya.

Nabi Ibrahim memantapkan niatnya. Nabi Ismail pasrah bulat-bulat, seperti ayahnya yang
telah tawakkal. Sedetik setelah pisau nyaris digerakkan, tiba-tiba Allah berseru dengan
firmannya, menyuruh menghentikan perbuatannya tidak usah diteruskan pengorbanan
terhadap anaknya. Allah telah meridloi kedua ayah dan anak memasrahkan tawakkal mereka.
Sebagai imbalan keikhlasan mereka, Allah mencukupkan dengan penyembelihan seekor
kambing sebagai korban, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surat As-Saffat ayat
107-110:

‫َوفَدَ يْنَا ُه ِب ِذبْ ٍح َع ِظ ٍمي‬


“Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”

‫َوتَ َر ْكنَا عَلَ ْي ِه يِف اآْل ِخ ِر َين‬


“Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) dikalangan orang-orang yang datang
kemudian.”

‫َساَل ٌم عَىَل ْب َرا ِه َمي‬


‫ِإ‬
“Yaitu kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim.”
‫َك َذكِل َ جَن ْ ِزي الْ ُم ْح ِس ِن َني‬
“Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Menyaksikan tragedi penyembelihan yang tidak ada bandingannya dalam sejarah umat
manusia itu, Malaikat Jibril kagum, seraya terlontar darinya suatu ungkapan “Allahu Akbar,
Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Nabi Ibrahim menjawab “Laailaha illahu Allahu Akbar.” Yang
kemudian dismbung oleh Nabi Ismail “Allahu Akbar Walillahil Hamdu.’

Pengorbanan Nabi Ibrahim AS yang paling besar dalam sejarah umat umat manusia itu
membuat Ibrahim menjadi seorang Nabi dan Rasul yang besar, dan mempunyai arti besar.
Peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail diatas, bagi kita harus dimaknai
sebagai pesan simbolik agama, yang mengandung pembelajaran paling tidak pada tiga hal;

Pertama, ketakwaan. Pengertian taqwa terkait dengan ketaatan seorang hamba pada Sang
Khalik dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Nya. Koridor agama (Islam)
mengemas kehidupan secara harmoni seperti halnya kehidupan dunia-akherat. Bahwa
mereaih kehidupan baik (hasanah) di akhierat kelak perlu melalui kehidupan di dunia yang
merupakan ladang untuk memperbanyak kebajikan dan memohon ridho Nya agar tercapai
kehidupan dunia dan akherat yang hasanah. Sehingga kehidupan di dunia tidak terpisah dari
upaya meraih kehidupan hasanah di akherat nanti. Tingkat ketakwaan seseorang dengan
demikian dapat diukur dari kepeduliannya terhadap sesamanya. Contoh seorang wakil rakyat
yang memiliki tingkat ketakwaan yang tinggi tentu tidak akan memanfaatkan wewenang
yang dimiliki untuk memperkaya dirinya sendiri bahkan orang seperti ini akan merasa malu
jika kehiudpannya lebih mewah dari pada rakyat yang diwakilinya. Kesiapsediaan Ibrahim
untuk menyembelih anak kesayangannya atas perintah Allah menandakan tingginya tingkat
ketakwaan Nabi Ibrahim, sehingga tidak terjerumus dalam kehidupan hedonis sesaat yang
sesat. Lalu dengan kuasa Allah ternyata yang disembelih bukan Ismail melainkan domba.
Peristiwa ini pun mencerminkan Islam sangat menghargai nyawa dan kehidupan manusia,
Islam menjunjung tinggi peradaban manusia.

Kedua, hubungan antar manusia. Ibadah-ibadah umat Islam yang diperintahkan Tuhan


senantiasa mengandung dua aspek tak terpisahkan yakni kaitannya dengan hubungan kepada
Allah (hablumminnalah) dan hubungan dengan sesama manusia atau hablumminannas.
Ajaran Islam sangat memerhatikan solidaritas sosial dan mengejawantahkan sikap kepekaan
sosialnya melalui media ritual tersebut. Saat kita berpuasa tentu merasakan bagaimana
susahnya hidup seorang dhua’afa yang memenuhi kebutuhan poangannya sehari-hari saja
sulit. Lalu dengan menyembelih hewan kurban dan membagikannya kepada kaum tak
berpunya itu merupakan salah satu bentuk kepedualian sosial seoarng muslim kepada
sesamanya yang tidak mampu. Kehidupan saling tolong menolong dan gotong royong dalam
kebaikan merupakan ciri khas ajaran Islam. Hikmah yang dapat dipetik dalam konteks ini
adalah seorang Muslim diingatkan untuk siap sedia berkurban demi kebahagiaan orang lain
khususnya mereka yang kurang beruntung, waspada atas godaan dunia agar tidak terjerembab
perilaku tidak terpuji seperti keserakahan, mementingkan diri sendiri, dan kelalaian dalam
beribadah kepada sang Pencipta.

Ketiga,  peningkatan kualitas diri. Hikmah ketiga dari ritual keagaamaan ini adalah
memperkukuh empati, kesadaran diri, pengendalian dan pengelolaan diri yang merupakan
cikal bakal akhlak terpuji seorang Muslim. Akhlak terpuji dicontohkan Nabi seperti
membantu sesama manusia dalam kebaikan, kebajikan, memuliakan tamu, mementingkani
orang lain (altruism) dan senantiasa sigap dalam menjalankan segala perintah agama dan
menjauhi hal-hal yang dilarang. Dalam Al Quran disebutkan bahwa Nabi Muhammad
memiliki akhlak yang agung (QS Al-Qalam: 4). Dalam Islam kedudukan akhlak sangat
penting merupakan “buah” dari pohon Islam berakarkan akidah dan berdaun syari”ah. Segala
aktivitas manusia tidak terlepas dari sikap yang melahirkan perbuatan dan tingkah laku
manusia. Sebaliknya, akhlak tercela dipastikan berasal dari orang yang bermasalah dalam
keimanan merupakan manisfestasi dari sifat-sifat syetan dan iblis.
Dari sejarahnya itu, maka lahirlah kota Makkah dan Ka’bah sebagai kiblat umat Islam
seluruh dunia, dengan air zam-zam yang tidak pernah kering, sejak ribuan tahunan yang
silam, sekalipun tiap harinya dikuras berjuta liter, sebagai tonggak jasa seorang wanita yang
paling sabar dan tabah yaitu Siti Hajar dan putranya Nabi Ismail.
Hikmah yang dapat diambil dari pelaksanaan shalat Idul Adha, bahwa hakikat manusia
adalah sama. Yang membedakan hanyalah taqwanya. Dan bagi yang menunaikan ibadah haji,
pada waktu wukuf di Arafah memberi gambaran bahwa kelak manusia akan dikumpulkan
dipadang mahsyar untuk dimintai pertanggung jawaban. 

Anda mungkin juga menyukai