Disusun oleh:
Aryo Adhi Condro (G24130007)
Yuandanis Wahyu Salam (G24130008)
Fajar Syofwan (G24130011)
Dzaki Zakaria (G24130035)
Hudha Luthfi Sagita (G24130030)
Hilmi Muhammad Yusrin (G24130041)
Siti Masitoh (G24130043)
M. Ronal Sahbana (G24130050)
Yuni Marlina (G24130055)
‘All models are wrong, but some are useful.’ (Box and Draper 1987, p4)
‘The strongest arguments prove nothing so long as the conclusions are not verified by
experience. Experimental science is the queen of sciences and the goal of all
speculation.’ (Roger Bacon ca. 1214–1294)
Model zero EBM ini memberikan output berupa suhu rata-rata bumi
dan dapat dijelaskan sensitivitas suhu apabila diberikan impuls emisi
gelombang panjang yang berbeda.
Radiative convective model merupakan pengembangan dari zero-
dimensional EBM. Energi transpor seperti emisi gelombang panjang dan
konveksi diperhatikan dalam model ini. Kontribusi dari GRK dalam
mempengaruhi emisi dan suhu permukaan dapat dijelaskan melalui model
tersebut. Efek ice albedo feedback dapat terlihat dalam model tersebut.
Model-model di atas merupakan model iklim sederhana sebagai awal
mula pengembangan model-model iklim yang lebih kompleks. Penambahan
komponen ke dalam sistem dan proses coupling merupakan salah satu cara
7
dalam meningkatkan resolusi dari model iklim yang telah ada. Pada saat ini,
peneliti banyak mengembangkan GCM, AOGCM, maupun ESM.
dijelaskan seperti proses interaktif vegetasi dan proses kimia yang terjadi di
atmosfer. AR4 memiliki resolusi spasial sebesar ~110 km. Pada AR5, siklus
karbon di lautan, low caps ice, dan komponen C dan N pada vegetasi
ditambahkan dalam pemodelan ini. Resolusi GCM pada AR5 mencapai 30 km
x 30 km.
Peneliti terus mengembangkan kemampuan GCM untuk
mensimulasikan iklim skala besar dan dapat menjelaskan variabilitas
interannual. Bagaimanapun, model global ini tidak dapat mensimulasikan
fenomena lokal seperti presipitasi pada daerah Asia Timur. Oleh karena itu,
metode downscalling digunakan untuk menghasilkan model iklim dengan
cakupan wilayah yang lebih sempit tetapi memiliki resolusi yang lebih baik.
Downscaling
Data mentah GCM hanya menghasilkan satu grid data pada wilayah
Indonesia sehingga variasi presipitasi tidak dapat terlihat. Resolusi
presipitasi yang cukup tinggi baru terlihat setelah melalui proses
downscaling. Terlihat pengaruh topografi terhadap curah hujan sangat tinggi.
Dynamical downscaling merupakan metode peningkatan resolusi
model iklim menggunakan persamaan-persamaan fisik. Data RCMs, model
iklim PRECIS, dan ETA model merupakan contoh metode yang digunakan
dalam metode dynamical downscaling. Proses downscaling dapat
menghasilkan data hingga resolusi 30 detik atau setara dengan 1 km
sehingga resolusi yang dihasilkan tinggi.
Pattern scaling merupakan metode yang dikembangkan oleh
MarkSim Weather Generator yang memiliki tujuan sama dengan metode
downscaling. Pattern scaling mengkonstruksi data iklim harian untuk
membentuk model iklim regional dengan resolusi 5 menit. Pattern scaling ini
masih menggunakan CMIP3 sehingga dalam proyeksi menggunakan skenario
SRES.
13
RCM
Salah satu model yang berkembang saat ini adalah model iklim
regional (regional climate model/RCM). RCM merupakan model dinamik yang
dapat digunakan dalam skala lokal dengan resolusi tinggi. Teknik yang
digunakan untuk mendapatkan informasi iklim dalam skala lokal dengan
resolusi tinggi disebut dengan teknik downscaling. Teknik tersebut dilakukan
dengan mensimulasikan iklim dalam suatu area yang terbatas dengan
memanfaatkan data model iklim global GCM atau reanalysis. Pengembangan
dan pemanfaatan model iklim regional (RCM) sangat diperlukan untuk
kondisi wilayah seperti wilayah Indonesia mengingat sangat variasinya
kondisi iklim yang bersifat regional maupun lokal (IPCC 2007).
Gambar 15 Hindcast anomali suhu rata-rata global dari model iklim dan data
observasi
DAFTAR PUSTAKA