Anda di halaman 1dari 3

Kisah Mualaf Abdul Karim Oey (Bagian 1)

Pembela Rakyat Kecil

Di penjara itu, Abdul Karim Oey, pada suatu ketika, mendapatkan kunjungan istimewa.
Tak kurang dari Van den Berg sendiri mau menemui dan menawarkan kesepakatan kepadanya.
“Orang-orang Tionghoa biasanya pedagang,” kata pejabat colonial itu. “Tetapi tuan menjadi
orang politik. Sekarang sudah masuk penjara. Apa keuntungannya? Kalau tuan mau bekerjasama
dengan Belanda, bisa saya usulkan tuan menjadi agen perusahaan-perusahaan Belanda seperti
Borsumij, Internatio, Tels, atau agen Geo Wehry. Itukan suatu keuntungan besar?’
“Saya banyak mengucap terima kasih atas anjuran tuan yang baik itu.” Jawab Abdul
Karim. “Tetapi saya tidak bisa terima. Saya berjuang membela agama, bangsa, dan negara dari
muda sampai sekarang. Saya sudah menempuh berbagai kesulitan dan beberapa kali masuk
penjara. Sampai-sampai mau dibuang ke Digul.”

Pada akhir abad ke-19, dua keluarga dari suku Hokkian (Tionghoa) pindah ke Indonesia
dan menetap di daerah Belakang Tangsi Padang, Sumatera Barat.  Dari keluarga yang satu, lahir
seorang bayi laki-laki bernama Oey Tiang Seng. Sementara dari keluarga lainnya lahir seorang
bayi perempuan bernama Gho Soean Nio. Setelah keduanya dewasa, mereka menikah dan
lahirlah Oey Tjeng Hien pada 6 Juni 1905 di Padang Panjang.
Di kemudian hari, Oey Tjeng Hien lebih dikenal dengan nama Haji Abdul Karim Oey,
dia bersahabat dekat dengan Soekarno dan Buya Hamka. Pada tanggal 7 November 1945 Partai
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) didirikan di Yogyakarta. Pada tahun 1946, Partai
Masyumi Bengkulu didirikan, di sana Haji Abdul Karim Oey lah yang menjadi ketua umumnya.
[2]
Pada tahun 1963, Haji Abdul Karim Oey bersama Abdusomad Yap A Siong, dan Kho
Goan Tjin mendirikan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) di Jakarta. PITI merupakan
gabungan dari dua organisasi, yaitu Persatuan Islam Tionghoa yang berbasis di Medan dan
Persatuan Tionghoa Muslim yang berbasis di Bengkulu. Sampai hari ini PITI masih berdiri dan
memberikan sumbangan yang besar bagi kehidupan muslim di Indonesia, misalnya dengan
mendirikan masjid Cheng Ho di berbagai daerah di Indonesia.
Oey Tjeng Hien memulai pendidikannya di Hollands Chinese School (HCS). Di
sekolah, dia dikenal sebagai anak yang cerdas terutama dalam mata pelajaran ilmu bumi dan
sejarah. Setelah menamatkan HCS, ia mengikuti kursus-kursus, diantaranya kursus dagang. Dia
mulai berdagang  bersama kakaknya lalu sampai mampu mendirikan dan memajukan usahanya
sendiri.
Semasa muda, dia sangat aktif dalam kegiatan kepemudaan. Bersama teman
Tionghoanya, dia mendirikan organisasi Hiapsianghwe, dia berperan sebagai komisarisnya.
Kegiatan Hiapsianghwe diantaranya sepakbola, les dansa, musik, piknik, dan lain sebagainya.
Selain itu, dia dan teman Indonesianya mendirikan organisasi Tanah Air Sendiri (TAS),
dia bertindak sebagai presidennya. Kegiatan TAS diantaranya sepak bola, sandiwara, dan orkes
gambus. Seluruh biaya dan pembelian alat-alat menjadi tanggungannya. Di sini, hanya dia yang
berasal dari Tionghoa, selebihnya pemuda Indonesia. Saat itulah dia pertama kali berbaur dengan
pemuda-pemuda Indonesia.
Sebagai pemuda yang mulai berpikir tentang masa depan, dia memutuskan untuk
merantau ke kota Bintuhan, Bengkulu. Dia mengetahui bahwa di Bintuhan terdapat banyak
rempah-rempah dan hasil bumi seperti cengkeh, lada, kopi, dan damar. Selain itu, jiwa
dagangnya memperhitungkan kota Bintuhan yang terletak di pinggir laut akan disinggahi kapal-
kapal laut. Dia sadar betapa kolonial Belanda memperoleh keuntungan besar dalam perdagangan
hasil bumi yang ditunjang kapal laut.
Di usianya yang ke 20, dia meninggalkan Padang. Setibanya di Bintuhan, dia melihat
orang-orang Tionghoa pada umumnya berdagang dan bertani. Kehadirannya di Bintuhan tidak
terlalu asing karena sudah banyak teman-teman seprofesi dan seketurunan. Sebagai pemuda yang
pandai bergaul, baik sesama Tionghoa maupun Indonesia, dalam waktu singkat dia mendapat
banyak teman dan sahabat. Tanpa canggung, dia juga bersahabat dengan Asisten Demang,
Demang, dan Kontrolir. Jiwa pergerakan membuatnya  punya banyak teman di kalangan tokoh-
tokoh masyarakat setempat.
Karena sudah agak mahir dalam berdagang dan pandai emas,  usahanya di Bintuhan
maju pesat. Hasil bumi penduduk dijual kepadanya yang kemudian dia jual kembali ke kota lain
termasuk pulau Jawa dan Jakarta. Dari situ, dia semakin dikenal oleh kalangan luas.
Meskipun masih bujangan, dia adalah orang yang percaya diri. Dia menerima amanat
untuk memimpin Perguruan Tionghoa Hwe Kwan, sebuah sekolah khusus untuk anak-anak
Tionghoa. Hobi lamanya dalam sepak bola kambuh dan segera dia mendirikan klub sepakbola di
Bintuhan. Demikian juga orkes musik. Kegiatan itu menyebabkannya mempunyai lebih banyak
teman, termasuk teman-teman angkatan muda.
Pergaulannya tidak mengenal batas. Dia bergaul dengan semua golongan, mulai dari
kontrolir dan demang sampai ke petani dan pemuda. Dia berhasil membuang jauh-jauh cara
pergaulan yang kaku dan eksklusif. Sifatnya tegas dan tanpa tedeng aling membela kepentingan
golongan lemah penduduk setempat yang terjerat oleh lintah darat kaki tangan Belanda dan
kapitalis Tionghoa.
Pengaruh lintah darat di kampung-kampung jelas membawa akibat yang merugikan bagi
para petani. Mereka terpaksa membayar bunga berlipat ganda atau menjual hasil kebunnya
dengan cara ijon—sistem jual hasil kebun lebih awal sebelum masa panen. Dia berusaha
meyakinkan para petani agar tidak lagi menjual hasil kebunnya dengan cara itu. Semampunya
dia turun tangan membantu bila benar-benar ada petani yang memerlukan bantuan atau pinjaman
uang tanpa bunga.
Keberaniannya membela rakyat kecil dianggap berbahaya oleh kontrolir dan demang.
Dia bahkan dituduh penghasut. Namun di kalangan masyarakat, derajat dan namanya justru
meningkat. Pada akhirnya kontrolir dan Demang berusaha lebih mendekatinya karena mereka
menganggapnya sebagai pengusaha keturunan Tionghoa yang sangat berpengaruh di masyarakat.
Pengaruh itu harus dijadikan alat penunjang kekuasaan kolonial, terutama terhadap masyarakat
Tionghoa yang umumnya terdiri dari saudagar dan pengusaha-pengusaha berbakat. Namun dia
tetap teguh pada pendirian bahwa dirinya tidak mau menjadi alat Belanda.

Anda mungkin juga menyukai