Anda di halaman 1dari 3

Inspirasi dari Khabbab bin Al-Arat

Sang Guru Besar Seni Pengorbanan

Hari itu, ketika sampai kembali di rumahnya, Khabbab telah v oleh banyak orang, ialah mereka yang
hendak mengambil pesanan pedang darinya. Orang-orang itu agaknya merasa tidak senang menunggu.
Apalagi yang ditunggu adalah seorang bekas budak. Khabbab sendiri hampir pasti tidak pernah
meninggalkan rumah. Pesanan pedang bertumpuk-tumpuk di bengkelnya. Belum lagi yang harus ia
selesaikan untuk dibawa ke pasar-pasar kota Makkah. Namun hari ini berbeda. Ia harus keluar untuk
menemui seseorang yang sangat penting.

“Maaf membuat kalian menunggu, tuan-tuan,” kata Khabbab. “Saya begitu senang hari ini. Keadaannya
begitu menakjubkan.”

“Keadaan apa yang kau maksudkan?”

“Apa kalian sudah melihatnya, mendengar kata-katanya?”

Orang-orang itu saling pandang dengan pikiran yang penuh dengan tanda Tanya. Lalu salah seorang dari
mereka menerapkan muslihat kepada Khabbab dengan bertanya balik, apakah ia sudah melihatnya?

Khabbab segera mengetahui siasat itu dan bertanya, “Siapa yang kau maksud?”

“Siapa lagi,” jawab orang itu. “Tentu saja orang yang baru saja kau temui itu.”

Khabbab pun memberi tahu yang sesungguhnya. Ia tidak mau dan tidak bisa dipancing-pancing. Jika hari
ini ia mengakui keimanannya di hadapan orang-orang itu, itu bukan lantaran terpancing oleh tipu
muslihat mereka, melainkan karena ia betul-betul meyakini kebenaran itu dan menganutnya, dan telah
mengambil keputusan untuk menyatakannya secara terus terang.

“Siapa orang yang kau katakana itu, wahai budak Ummu Anmar?”

“Siapa lagi, wahai Arab sahabatku? Siapa lagi di antara kaum kalian yang pada dirinya memancar
kebenaran dan tutur katanya memancarkan cahaya selain dia seorang?”

“Rupanya yang kamu maksudkan ialah Muhammad!”

Khabbab menganggukkan kepalanya dengan penuh kegembiraan. Dia berkata: “Benar, dialah utusan
Allah kepada kita untuk membebaskan kita dari kegelapan menuju terang benderang.”

Setelah mengucapkan kata-kata itu Khabbab tidak ingat lagi apa yang dia ucapkan atau yang diucapkan
orang kepadanya. Ia pingsan untuk beberapa waktu lamanya. Saat bangun tamu-tamunya sudah pergi,
meninggalkan bengkak dan memar-memar di tubuhnya, serta tulang-tulang yang terasa sakit dan darah
yang mengalir membasahi pakaiannya. Ia bangkit dan membalut luka-lukanya dan bersiap untuk
menerima siksaan dan penderitaan yang lebih dahsyat lagi.

Mulai saat itu, khabbab mendapatkan kedudukan yang tinggi di antara orang-orang yang tersiksa dan
teraniaya. Ia mendapatkan tempat terhormat di antara orang-orang yang –biarpun miskin dan tidak
berdaya –berani tegak menghadapi kesombongan, keazliman, dan kegilaan kaum kafir Quraish. Ia
beroleh kedudukan yang mulia di antara orang-orang yang telah memancangkan dalam jiwanya tiang
bendera yang mulai berkibar di ufuk luas sebagai pernyataan tenggelamnya masa pemujaan berhala dan
kekaisaran, sebagai berita gembira tibanya hari-hari bagi orang tertindak yang tidak berdaya.

Khabbab menunjukkan ketabahannya, dalam menghadapi siksaan, hingga tidak sedikitpun hatinya
terpengaruh oleh tindakan biadab orang-orang kafir. Mereka menindihkan batu membara ke
punggunya, hingga dagingnya terbakar.

Orang-orang kafir Quraish telah mengubah semua besi yang terdapat di rumah Khabbab yang disediakan
sebagai bahan baku untuk membuat pedang, menjadi belenggu dan rantai besi. Lalu mereka
memasukkan ke dalam api hingga menyala dan merah membara, kemudian melilitkan ke tubuh, kedua
tangan dan kedua kaki Khabbab.

Suatu hari ia pergi bersama rekan-rekannya yang senasib dalam penderitaan menemui Rasulullah Saw,
bukan karena merasa kecewa dan kesal atas pengorbanannya selama ini, melainkan karena
mengharapkan keselamatan.

“Wahai Rasulullah, mengapa Anda tidak memintakan pertolongan bagi kami?”

Rasulullah pun bersabda: “Sebelum kjalian, ada seorang lelaki yang disiksa, tubuhnya dikubur hingga
sebatas leher ke atas, lalu sebuah gergaji diambil untuk memotong kepalanya. Namun siksaan demikian
itu tidak sedikitpun dapat memalingknnya dari agamanya. Ada pula yang disikat antara daging dan
tulang-tulangnya dengan sikat besi. Siksaan itu jug tidak dapat menggoyahkan keimannya. Sungguh,
Allah benar-benar akan menyempurnakan urusan ini, sehingga seorang pengembara dapat bepergian
dari Sana’a ke Hadramaut, dan tidak ada yang ditakutkan selain Allah Swt, walaupun serigala berada di
antara hewan gembalaannya. Namun, sayang kalian terburu-buru.”

Kalimat-kalimat itu menambah teguh dan kebulatan tekad mereka untuk bertahan dan membuktikan
kepada Allah dan Rasul-Nya ketabahan, kesabaran dan pengorbanan yang diharapkan dari mereka.

Khabbab menanggung penderitaan dengan sabar, tabah dan tawakal. Orang-orang Quraish terpaksa
meminta bantuan Ummu Anmar, bekas majikan Khabbab. Wanita tersebut turun tangan pula untuk
mengambil bagian untuk menyiksanya. Wanita itu mengambil besi panas yang menyala, lalu
menaruhnya di atas kepala dan ubun-ubun Khabbab, sementara Khabbab menggeliat kesakitan. Tetapi
nafasnya ditahan hingga tidak keluar keluhan yang akan menyebabkan algojo-algojo tersebut merasa
puas dan gembira.

Suatu hari Rasulullah Saw lewat di hadapannya, saat besi yang membara di atas kepalanya membakar
dan memanggangnya. Dada Rasulullah Saw terasa sesak Karen pilu dan iba. Rasulullah Saw mengangkat
tangan dan berdoa, “ Ya Allah, limpahkanlah pertolongan-Mu kepada Khabbab.”

Khabbab menyertai Rasulullah Saw dalam setiap pertempuran, dan selama hayatnya ia tetap membela
keimanan dan keyakinannya. Ketika baitul mal melimpah ruah dengan harta kekayaan pada masa
pemerintahan Umar dan Ustman, Khabbab mendpatkan gaji yang besar karena termasuk golongan
muhajirin yang masuk islam lebih awal. Penghasilan yang cukup ini memungkinnya untuk membangun
sebuah rumah di Kufah, dan harta kekayaannya disimpan pada suatu tempat di rumah itu, yang dikenal
oleh para sahabat dan tamu-tamu yang memerlukannya, hingga bila di antara mereka ada suatu
keperluan, ia dapat mengambil uang yang diperlukan dari tempat itu.
Khabbab wafat pada tahun ke-37 H, meninggalkan kenangan tentang seorang ahli pembuat pedang
paling handal di zaman Jahiliyah, seorang guru besar di bidang pengabdian dan pengorbanan dalam
Islam, serta ahli ilmu yang mengjarkan al-Qur’an kepada kaumnya.

Anda mungkin juga menyukai